07.00
Mendung
08.00
Masih mendung
09.30
Awan menggumpal-gumpal layaknya plastisin. Langit semakin
hitam, kelam dan buram
10.45
Hujan rintik-rintik. Gerimis mengundang…
11.00
Hujan
11.59
Hujan deras
12.35
Hujan es
13.00
Hujan mirip badai
13.15
Badai
14.00
Badai mereda. Masih hujan tapinya.
14.15
Banjir semata kaki
14.20
Banjir sebetis
14.25
Banjir selutut
14.30
Banjir sepaha
14.45
Banjir se… seperut
15.00
Banjir seleher
16.00
Banjir 2 meter
Entah gimana
caranya sampe Anesya terpisah dari keluarganya dan bisa melayang-layang di atas
suatu benda di permukaan banjir yang berwarna coklat kekuning-kuningan ataukah
kuning kecoklat-coklatan (bedanya emang apa seh?) bersama gebetannya sepanjang
masa : Jaka (legend banget gak sih ni nama?)
Kampungnya
yang berada di kelurahan somewhere, kecamatan nowhere di kota antah berantah
ini emang langganan banjir sih. Minimal 2 tahun sekali kenalah. Dan tingginya
ni banjir juga minimal 2 meter. Err, maksimal maksudnya.
Namun banjir
kali ini membawa berkah, rizki dan nikmat tak terduga bagi Anesya. Non sense
bagi Jaka. Mereka terapung-apung di atas suatu benda (ayo tebak, apa coba????)
di tengah banjir yang kayaknya menjadi semakin tinggi dan tinggi aja, mo nyaingin
kolam renang umum kayaknya.
Let me
describe about their condition. Meski abis kena banjir, pakaian mereka masih
bisa dibilang kering dan cuman basah ujung-ujungnya dan di beberapa tempat
lainnya aja. Mereka duduk tenang di atas benda yang membawa mereka
terapung-apung entah ke mana, yang jelas benda tersebut membawa mereka semakin
jauh dari warga kampung yang, saking udah kebiasaan kena banjir, dengan
tenangnya mengatasi bencana dadakan tersebut. Anehnya, mereka (Anesya dan Jaka)
sama sekali nggak menyadari hal itu (bahwa mereka semakin jauh dari keramaian).
Hmm, cerita yang aneh memang…
Anesya
yang—meskipun tetanggaan—jarang punya kesempatan untuk berinteraksi dengan Jaka
sang gebetan sepanjang masa, memulai tahap awal PDKT dengan berkenalan.
“Jaka,” ujar
Jaka khidmat. Dan singkat.
Anesya hanya
menganggukan kepalanya sedikit, karena sudah mengetahui nama itu sejak dulu,
namun belum tentu Jaka tahu siapa namanya.
Kata Anesya, “Nama saya Anesya…”
Berharap Jaka bakal memuji namanya yang indah (bagi yang namanya sama dan baca cerita ini, dipersilakan ge-er).
“Amnesia?”
ulang Jaka. Emang sekarang lagi tren yah, orangtua ngasih nama anaknya kayak
nama penyakit? Pikir Jaka. Ni anak rada budi emang.
“Anesya…”
ulang Anesya lagi.
“Hah?”
diucapkan dengan tampang bego.
“Anesya.”
“Malaysia?”
He he, mang
nyambung yah? Jauh kali…
“Aaah, udah
deh panggil Eca ajalah, yang singkat-singkat!” sergah Anesya meski Eca itu
bukan nama panggilannya.
“Meja?”
“Eca,
goblog.”
Di tengah
hiruk pikuk keluarganya yang sedang menghadapi banjir, Anesya berhasil
menyelamatkan sebuah majalah yang menjadi benda keramat saat dibutuhkan karena
majalah tersebut berisi tentang panduan mengenai cara menghadapi banjir.
Majalah itu tetap kering dan hanya basah sedikit di bagian ujung-ujungnya dan
di beberapa tempat lainnya aja (perasaan kayak udah pernah denger ni kalimat
deh?).
Anesya dan
Jaka membaca majalah itu, tentang bagaimana cara menolong diri sendiri, cara
menolong orang lain, benda apa aja yang harus dibawa, langkah pertama apa aja
yang mesti dilakuin dan lain sebagainya. Well, majalah tersebut memang sangat
berguna, apalagi ketika semenit kemudian muncul sayup-sayup teriakan minta
tolong.
“Tolong!
Tolong!” (Sejak kapan ada orang minta tolong teriaknya, “Yippie…, Yippie…,
ASIK!)
“OMG, ah,
sialan!” pekik Anesya dalem ati yang merasa mengenal suara tersebut. “Itu kan
suara nenek gue yang bawel abis! Udah mah tadi pagi gue abis dimarain, sekarang
ganggu-ganggu saat gue lagi dua-duaan ama si Jaka lagi, kampret. Aduh… kenapa
nggak kelelep terus aja sih tu orang buat selamanyaaaaah!?”
Lalu muncul
kepala seorang nenek-nenek yang lagi asik megap-megap beberapa meter jauhnya di
depan mereka. Kepala tersebut muncul tenggelam dan tiba-tiba, ketika kepala
tersebut sedang tenggelam, muncul sepasang kaki dengan posisi tegak lurus
merapat ke atas. Lalu kaki tersebut tenggelam, dan tak lama tubuh nenek
tersebut muncul perlahan dari bawah air secara utuh terlentang di atas air.
Kaki merapat dan tangan naik turun kayak kupu-kupu. Tubuh tersebut
berputar-putar sebelum kemudian tenggelam dan muncul lagi kepala nenek-nenek
yang langsung asik megap-megap lagi. Asli, persis banget kayak balet air!
“Wah, itu kan
nenek-nenek yang tadi pagi renang di Murtnec bareng gue!” seru Jaka antusias.
“Whats!? Jadi
tadi…lu…ne…nenek gue? Renang?” Anesya berusaha untuk nggak terlalu kaget dan
menyembunyikan fakta bahwa orang tersebut adalah neneknya. “Yang bener aja deh
lo, tadi pagi ujan kale!”
“di Murtnec
baru ujan jam 11-an, gue di sana udah dari jam 8-an sementara tu nenek baru
datang jam 9 (“abis marain gue, enak dia, langsung ngadem di kolam renang!”
umpat Nesya—biar lebih singkat—dalem ati). Pulang-pulang ke sini udah ujan
lebat!” jelas Jaka. Btw, Murtnec itu ceritanya nama kolam renang umum yang letaknya
agak jauh dari kampung di cerita ini. “Eh, pas gue ngeliat tu nenek gitu yah,
renangnya jago loh, pake salto dalem air segala. Setelan stuntman ato atlet
gitu deh. Apalagi bikininya, coy…!”
Nenek gue
kan emang mantan atlet renang…. Tapi apa itu tadi? Bikini!?
“Trus itu nenek lo?”
“Eh,
bukaaaaan!!!! Bukan!”
“Kasian dia,
kita mesti menolongnyah!”
“Ah,
udahlaa…, ngapain juga susah-susah? Lempar aja majalahnya, suruh dia buka
sendiri halaman yang ada ‘tuntunan praktis menyelamatkan diri saat berada di
tengah banjir’!!” Nesya nyaris sesumbar sambil siap-siap melemparkan
majalahnya. Jaka langsung mencegah karena khawatir majalah tersebut malah
kelelep dalam banjir dan disusul tak lama kemudian oleh sang nenek.
“Tapi kan
tadi katanya dia jago renang!” ujar Nesya lagi.
“Di kolam
khusus anak-anak, Otoy!”seru Jaka, lelaki botak berkumis tipis gebetan Nesya
sepanjang masa.
“Tolong!
Tolong!” teriak nenek.
Lalu akhirnya
kata Jaka, “Gue becanda, dia emang jago renang—“
“Di kolam
khusus anak-anak…”
“BUKAAN!!!
Tapi lo coba analisis deh, ada alasan kenapa dia sampe gak bisa nolong dirnya
sendiri di tengah banjir padahal dia jago renang!”
“Karena dia
jago renang di kolam khusus anak-anak…”
“Tolong!
Tolong!” masih teriak nenek sambil berpegangan pada batang pohon yang ¾
bagiannya turut kelelep, menemukan sebotol Fanta yang masih utuh dan tertutup
rapat, membuka tutupnya dengan gigi dan meminumnya.
“Tapi dia
kan, udah nenek-nenek, mana airnya kotor geneh, coklat, ih, dingin pula, abis
ujan. Belum kalo ada makhluk-makhluknya, ga baik buat kesehatan diah, mana udah
sore… (Emang napa kalo udah sore? Ga ngerti gue juga…)
“Andaikan gue
berada di atap rumah, gue akan berandai-andai… Andaikan ini perahu, akan
kudayung hingga mencapai nenek-nenek tua itu dan kuselamatkan dia…”
“Kenapa nggak
sekalian aja berandai-andai lagi di atas perahu? Gak praktis amat. Pake
nebengin atap rumah segala…,” celetuk Nesya bete. “Andaikan kita sedang berada
di perahu?”
“Andaikan gue
sedang berada di perahu, gue akan berandai-andai… Andaikan ada dayung, akan
kudayung pelampung karet ini hingga mencapai nenek-nenek itu dan kuselamatkan
dia…”
Sayangnya,
benda yang mereka tumpangi bukanlah atap rumah dan perahu melainkan hanya
sebuah gelondongan kayu.
Rasanya
persis kayak naek gajah, suer. Sekali nggak bisa jaga keseimbangan ya jatoh,
kelelep deh.
“Tolong…!
Tolong…!” nenek masih bertolong-tolong ria.
Tiba-tiba
Jaka mendapat sebuah penerangan (=pencerahan, cerah=terang bukan?). “Eh iya,
perasaan tadi di majalah kamu ada cara nolong orang deh. Liat lagi dong
majalahnya!”
Nesya yang
sedang menikmati saat-saat berdua indahnya dengan Jaka, gebetan sepanjang
masanya, di atas gelondongan kayu yang bergoyang-goyang diterpa gelombang
mungil banjir, menoleh. “Hah? Eh, iya, inieh…”
Dengan cepat
Jaka membuka lembar demi lembar majalah tersebut dan setelah menemukan halaman
yang dicarinya, “Nah, ini dia! Kita bisa pake kantong plastik, celana ama
jerigen buat jadi pelampung darurat. Lu bawa ketiga benda itu nggak?”
Nesya
menggeleng. Mata mereka berdua pun menyapu daerah di sekitar gelondongan kayu,
sadar bahwa mereka sudah terbawa jauh dari orang-orang, dan terutama sadar
bahwa nggak ada satupun benda dari tiga yang mereka butuhkan ada di sekitar
situ.
“Hebat yah,
ini banjir tapi di sekeliling kita ga ada satupun benda yang berenang-renang
(kecuali nenek tua yang sedang asik ngumpulin perhiasan-perhiasan yang terbawa
hanyut oleh banjir). Banjir yang aneh.”
Nesya kembali
bete dan di kepalanya muncul recap adegan di mana nenek sedang marah-marah pada
Nesya. Kejadiannya tadi pagi.
“Pokoknya
nenek mo bawa bikini ini ke Murtnec! Kalo nggak, tunggu aja sampai rumah ini
hancur lebur ama bazoka…”
Sedeng emang…
“Ah,
udahlah!” tiba-tiba Jaka mencopot celananya.
“AAAAUUUWW!!!!!”
“Kenapa? Kamu
ada yang luka?” Tanya Jaka panik
“Nggak…!”
sergah Nesya sambil pelan-pelan membuka mata. Lalu, “Ngapain kamu buka
celana?!”
“Gak ada
kantong plastik, celana ama jerigen. Ya udah gue pake aja celana gue. Untungnya
gue pake celana parasut, tepat seperti yang diintruksiin ma majalah ini, he he
he…” Jaka terus membuka celananya. “Tenang aja, gue pake daleman celana Hawaii
juga, kok.”
Namun celana
tersebut ikut tertarik bersama celana panjang parasut Jaka ketika ia sedang
berusaha mencopot celananya sambil berusaha menjaga keseimbangan pada
gelondongan kayu yang kini sedang bergoyang-goyang heboh akibat guncangan di
atasnya. Jadi, sekarang Jaka hanya memakai sepotong celana…fiuuh…, renang. Merk
Speedo. Untungnya si…bukan kolor putih biasa yang suka tembus pandang kalo kena
air...
Menurut
majalah, setelah dicopot paksa dari tubuh pemiliknya, kedua ujung pipa celana
harus diikat oleh tali. Jaka pun mencari-cari tali untuk mengikat kedua ujung
celananya. Dan hasilnya nihil. Nesya memperhatikan Jaka dengan pandangan ilfil.
“Waduh, nggak
ada tali nih, pake tali BH lu aja deh, boleh ga?”
“HEH,
MESUM!!!!”
“Sori…sori…”
mencoba menghindar dari Nesya yang menunjukkan gelagat akan segera medorongnya
dari gelondongan kayu dan menenggelamkannya dengan kaki, dengan penuh tenaga
Jaka akhirnya merobek celana Hawaiinya sehingga tersedialah beberapa tali
panjang untuk mengikat ujung celana. Jaka
mengikatnya kuat-kuat sesuai dengan yang diinstruksikan majalah. Setelah
selesai, ia melakukan tahap-tahap terakhir pembuatan pelampung darurat
tersebut.
Pelampung
darurat selesai. Jaka menyeburkan diri ke dalam air, berenang menuju nenek dan
membantunya untuk menuju ke arah gelondongan kayu.
Adegannya
mirip banget kayak di film Baywatch.
It’s story without CLIMAX
Sekembalinya
Jaka (+nenek), Nesya merasa ilfil pada cowok tersebut. Penyebabnya ada dua hal
:
- Jaka hanya memakai
celana renang. Celana renang yang mini banget itu loh, persis kayak celana
dalem, kolor, apalah. Jadi tentunya keliatan jelaslah bagian dari pangkal
paha sampe ke ujung kaki, mana banyak bulunya lagi. Nesya tiba-tiba jadi
merasa mual dan jijik. “Gak lagi-lagi deh gue ngecengin si Jaka. Ilfil
gue…, ILFIL!!!”
- Jaka telah membuat
hidup Nesya menjadi semakin sengsara lagi karena Jaka telah menyelamatkan
nenek yang merupakan orang yang paling dibencinya di dunia. Mana sekarang
tu orang lagi marah-marahin dia lagi. “Eh… dasar lu yah, cucu gak tau
diri. Udah tau nenek lu ini kelelep, bukannya nyorakin orang yang nulungin
nenek atau apa kek, kasi dukungan, malah diem ajah lu! Bikini lu gak bakal
gua balikin! Rasain lu!” semprot nenek yang sering buka situs-situs gaul
ini, ngomongnya aje pake gue-elu!
“Ternyata Jaka sama sekali nggak tau apa yang gue rasain.
Ternyata dia bukanlah cinta sejati gue. Kalo dia emang mengerti perasaan gue,
seharusnya dia biarin aja tu orang kelelep! Huuu…” isak Nesya dalem hati. Orang
yang lagi keruh suasana hatinya memungkinkan keruh pula pikirannya sehingga
nggak bisa berpikir jernih. Mana mungkin Jaka bisa langsung mengerti
perasaannya kalau kenalan aja belum sampe sehari??? Cewek yang aneh.
Untunglah,
nggak sampe semenit kemudian muncul dua buah perahu karet yang masing-masing
berisikan beberapa orang bapak-bapak dan beberapa orang lagi adalah anggota tim
SAR. Di antara para bapak-bapak tersebut adalah bapaknya Nesya dan bapaknya
Jaka.
Dua perahu
karet tersebut segera mendekat ke arah gelondongan kayu yang berisikan Jaka,
nenek dan Nesya.
Bapaknya
Nesya dan anaknya (yaitu Nesya gitu loh) segera berpelukan melepas rindu. “Oh,
anakku…”
“Oh,
bapakku…”
“Kau
baik-baik saja, anakku?”
“Tentu,
Bapak…”
“Dan kenapa
pemuda yang tadi terapung-apung bersamamu hanya memakai celana renang?”
“Ng, itu…,
jijik ya Pak? Tapi yang bapak juga perasaan sama aja ah.”
“Hey,
menantuku, tolong bantu aku menaiki perahu ini!” suara cempreng nenek memecah
suasana dramatis yang sedang tercipta antara bapak dan anak.
Sebelum
membantu mertuanya naik ke perahu, bapaknya Nesya sempat berbisik ke anaknya
(yaitu Nesya gitu loh), “Anakku, kenapa kau tidak tenggelamkan saja mertuaku
ini?”
Nesya
menjawab,”Tidak bisa Bapak, karena pemuda itu sudah keburu menolongnya
(menunjuk Jaka). Lagian kalo kita biarkan dia mati…, ng…, perasaan kok kita
jadi bapak dan anak durhaka banget, yah? Gitu-gitu dia manusia juga loh. Kita
anak beranak yang aneh ya?”
Lain Bapaknya
Nesya dan anaknya (yaitu Nesya gitu loh), lain pula Bapaknya Jaka dan anaknya.
Supaya lebih singkat, nama bapaknya Jaka adalah Pak Joko.
“Kenapa kamu
cuman pake celana renang?” Tanya Pak Joko.
“Karena…”
Jaka pun menjelaskan kepada bapaknya kenapa dia begitu, alasan dan penyebabnya
dan terakhir,cara membuat pelampung darurat dari majalah Nesya yang telah
dipelajarinya.
“Oh, begitu.
Kamu pintar sekali, Nak. Ayo cepat, naik ke perahu, bapak dan bapak-bapak
lainnya akan mencari korban yang terdampar jauh lainnya selain kamu dan
orang-orang itu.”
“Ya, Pak.”
Dengan patuh Jaka menurut dan… to the point, ketiga orang tersebut pun (Nesya,
Jaka dan nenek Nesya) diantar ke tempat penampungan oleh anggota tim SAR yang
tersisa di perahu yang satu. Sementara perahu yang satu lagi pergi ke tempat
yang lebih jauh untuk mengevakuasi—siapa tau aja masih ada—korban lainnya.
1 jam kemudian,
Perahu tersebut datang dengan membawa beberapa korban yang
telah berhasil ditemukan (ya iyalah,
kalo belum ketemu emangnya mo ngebawa sape?) dan sisanya adalah tim penyelamat
yang terdiri dari beberapa bapak-bapak dan beberapa tim SAR. Setelah perahu
tersebut sampai ke tempat penampungan, dan para penumpangnya pada berdiri untuk
pindah dari perahu ke tempat tersebut, terlihatlah pemandangan beberapa
bapak-bapak yang hanya memakai kolor doang sementara celana mereka
entah-pada-ke-mana-kok-nggak-dipake. Baju mereka semuanya basah kuyup.
Nesya
memandang Jaka.
“Jaka,
kemari!” ujar Pak Joko dengan tampang menyeramkan. Nesya segera menoleh ke arah
lain dan pura-pura nggak tau.
Well, rupanya
Jaka lupa memberitahu kalau ternyata hanya celana parasut yang bisa dijadikan
pelampung darurat sementara celana yang lain tidak. Walhasil, saat bapak-bapak
yang selalu ingin tahu ini (anak pintar…) mencoba, bukannya ngapung, mereka
malah tenggelam.
Demikianlah
akhir dari sebuah kisah yang terjadi saat banjir tiba.
Aneh. Garing. Anti klimaks.
Jangan pura-pura tidak mengerti, tidak menyesal dan tidak mencemooh setelah Anda selesai membaca cerita ini. Jujur, saya aja yang bikin merasa begituh…