Sabtu, 30 April 2005

9@R4” 8aN7!r Jd 1LfIl !

07.00

Mendung

 

08.00

Masih mendung

 

09.30

Awan menggumpal-gumpal layaknya plastisin. Langit semakin hitam, kelam dan buram

 

10.45

Hujan rintik-rintik. Gerimis mengundang…

 

11.00

Hujan

 

11.59

Hujan deras

 

12.35

Hujan es

 

13.00

Hujan mirip badai

 

13.15

Badai

 

14.00

Badai mereda. Masih hujan tapinya.

 

14.15

Banjir semata kaki

 

14.20

Banjir sebetis

 

14.25

Banjir selutut

 

14.30

Banjir sepaha

 

14.45

Banjir se… seperut

 

15.00

Banjir seleher

 

16.00

Banjir 2 meter

 

Entah gimana caranya sampe Anesya terpisah dari keluarganya dan bisa melayang-layang di atas suatu benda di permukaan banjir yang berwarna coklat kekuning-kuningan ataukah kuning kecoklat-coklatan (bedanya emang apa seh?) bersama gebetannya sepanjang masa : Jaka (legend banget gak sih ni nama?)

Kampungnya yang berada di kelurahan somewhere, kecamatan nowhere di kota antah berantah ini emang langganan banjir sih. Minimal 2 tahun sekali kenalah. Dan tingginya ni banjir juga minimal 2 meter. Err, maksimal maksudnya.

Namun banjir kali ini membawa berkah, rizki dan nikmat tak terduga bagi Anesya. Non sense bagi Jaka. Mereka terapung-apung di atas suatu benda (ayo tebak, apa coba????) di tengah banjir yang kayaknya menjadi semakin tinggi dan tinggi aja, mo nyaingin kolam renang umum kayaknya.

Let me describe about their condition. Meski abis kena banjir, pakaian mereka masih bisa dibilang kering dan cuman basah ujung-ujungnya dan di beberapa tempat lainnya aja. Mereka duduk tenang di atas benda yang membawa mereka terapung-apung entah ke mana, yang jelas benda tersebut membawa mereka semakin jauh dari warga kampung yang, saking udah kebiasaan kena banjir, dengan tenangnya mengatasi bencana dadakan tersebut. Anehnya, mereka (Anesya dan Jaka) sama sekali nggak menyadari hal itu (bahwa mereka semakin jauh dari keramaian). Hmm, cerita yang aneh memang…

Anesya yang—meskipun tetanggaan—jarang punya kesempatan untuk berinteraksi dengan Jaka sang gebetan sepanjang masa, memulai tahap awal PDKT dengan berkenalan.

“Jaka,” ujar Jaka khidmat. Dan singkat.

Anesya hanya menganggukan kepalanya sedikit, karena sudah mengetahui nama itu sejak dulu, namun belum tentu Jaka tahu siapa namanya.

Kata Anesya, “Nama saya Anesya…”

Berharap Jaka bakal memuji namanya yang indah (bagi yang namanya sama dan baca cerita ini, dipersilakan ge-er).

“Amnesia?” ulang Jaka. Emang sekarang lagi tren yah, orangtua ngasih nama anaknya kayak nama penyakit? Pikir Jaka. Ni anak rada budi emang.

“Anesya…” ulang Anesya lagi.

“Hah?” diucapkan dengan tampang bego.

“Anesya.”

“Malaysia?”

He he, mang nyambung yah? Jauh kali…

“Aaah, udah deh panggil Eca ajalah, yang singkat-singkat!” sergah Anesya meski Eca itu bukan nama panggilannya.

“Meja?”

“Eca, goblog.”

 

 

Di tengah hiruk pikuk keluarganya yang sedang menghadapi banjir, Anesya berhasil menyelamatkan sebuah majalah yang menjadi benda keramat saat dibutuhkan karena majalah tersebut berisi tentang panduan mengenai cara menghadapi banjir. Majalah itu tetap kering dan hanya basah sedikit di bagian ujung-ujungnya dan di beberapa tempat lainnya aja (perasaan kayak udah pernah denger ni kalimat deh?).

Anesya dan Jaka membaca majalah itu, tentang bagaimana cara menolong diri sendiri, cara menolong orang lain, benda apa aja yang harus dibawa, langkah pertama apa aja yang mesti dilakuin dan lain sebagainya. Well, majalah tersebut memang sangat berguna, apalagi ketika semenit kemudian muncul sayup-sayup teriakan minta tolong.

“Tolong! Tolong!” (Sejak kapan ada orang minta tolong teriaknya, “Yippie…, Yippie…, ASIK!)

“OMG, ah, sialan!” pekik Anesya dalem ati yang merasa mengenal suara tersebut. “Itu kan suara nenek gue yang bawel abis! Udah mah tadi pagi gue abis dimarain, sekarang ganggu-ganggu saat gue lagi dua-duaan ama si Jaka lagi, kampret. Aduh… kenapa nggak kelelep terus aja sih tu orang buat selamanyaaaaah!?”

Lalu muncul kepala seorang nenek-nenek yang lagi asik megap-megap beberapa meter jauhnya di depan mereka. Kepala tersebut muncul tenggelam dan tiba-tiba, ketika kepala tersebut sedang tenggelam, muncul sepasang kaki dengan posisi tegak lurus merapat ke atas. Lalu kaki tersebut tenggelam, dan tak lama tubuh nenek tersebut muncul perlahan dari bawah air secara utuh terlentang di atas air. Kaki merapat dan tangan naik turun kayak kupu-kupu. Tubuh tersebut berputar-putar sebelum kemudian tenggelam dan muncul lagi kepala nenek-nenek yang langsung asik megap-megap lagi. Asli, persis banget kayak balet air!

“Wah, itu kan nenek-nenek yang tadi pagi renang di Murtnec bareng gue!” seru Jaka antusias.

“Whats!? Jadi tadi…lu…ne…nenek gue? Renang?” Anesya berusaha untuk nggak terlalu kaget dan menyembunyikan fakta bahwa orang tersebut adalah neneknya. “Yang bener aja deh lo, tadi pagi ujan kale!”

“di Murtnec baru ujan jam 11-an, gue di sana udah dari jam 8-an sementara tu nenek baru datang jam 9 (“abis marain gue, enak dia, langsung ngadem di kolam renang!” umpat Nesya—biar lebih singkat—dalem ati). Pulang-pulang ke sini udah ujan lebat!” jelas Jaka. Btw, Murtnec itu ceritanya nama kolam renang umum yang letaknya agak jauh dari kampung di cerita ini. “Eh, pas gue ngeliat tu nenek gitu yah, renangnya jago loh, pake salto dalem air segala. Setelan stuntman ato atlet gitu deh. Apalagi bikininya, coy…!”

Nenek gue kan emang mantan atlet renang…. Tapi apa itu tadi? Bikini!?

“Trus itu nenek lo?”

“Eh, bukaaaaan!!!! Bukan!”

“Kasian dia, kita mesti menolongnyah!”

“Ah, udahlaa…, ngapain juga susah-susah? Lempar aja majalahnya, suruh dia buka sendiri halaman yang ada ‘tuntunan praktis menyelamatkan diri saat berada di tengah banjir’!!” Nesya nyaris sesumbar sambil siap-siap melemparkan majalahnya. Jaka langsung mencegah karena khawatir majalah tersebut malah kelelep dalam banjir dan disusul tak lama kemudian oleh sang nenek.

“Tapi kan tadi katanya dia jago renang!” ujar Nesya lagi.

“Di kolam khusus anak-anak, Otoy!”seru Jaka, lelaki botak berkumis tipis gebetan Nesya sepanjang masa.

“Tolong! Tolong!” teriak nenek.

Lalu akhirnya kata Jaka, “Gue becanda, dia emang jago renang—“

“Di kolam khusus anak-anak…”

“BUKAAN!!! Tapi lo coba analisis deh, ada alasan kenapa dia sampe gak bisa nolong dirnya sendiri di tengah banjir padahal dia jago renang!”

“Karena dia jago renang di kolam khusus anak-anak…”

“Tolong! Tolong!” masih teriak nenek sambil berpegangan pada batang pohon yang ¾ bagiannya turut kelelep, menemukan sebotol Fanta yang masih utuh dan tertutup rapat, membuka tutupnya dengan gigi dan meminumnya.

“Tapi dia kan, udah nenek-nenek, mana airnya kotor geneh, coklat, ih, dingin pula, abis ujan. Belum kalo ada makhluk-makhluknya, ga baik buat kesehatan diah, mana udah sore… (Emang napa kalo udah sore? Ga ngerti gue juga…)

“Andaikan gue berada di atap rumah, gue akan berandai-andai… Andaikan ini perahu, akan kudayung hingga mencapai nenek-nenek tua itu dan kuselamatkan dia…”

“Kenapa nggak sekalian aja berandai-andai lagi di atas perahu? Gak praktis amat. Pake nebengin atap rumah segala…,” celetuk Nesya bete. “Andaikan kita sedang berada di perahu?”

“Andaikan gue sedang berada di perahu, gue akan berandai-andai… Andaikan ada dayung, akan kudayung pelampung karet ini hingga mencapai nenek-nenek itu dan kuselamatkan dia…”

Sayangnya, benda yang mereka tumpangi bukanlah atap rumah dan perahu melainkan hanya sebuah gelondongan kayu.

Rasanya persis kayak naek gajah, suer. Sekali nggak bisa jaga keseimbangan ya jatoh, kelelep deh.

“Tolong…! Tolong…!” nenek masih bertolong-tolong ria.

Tiba-tiba Jaka mendapat sebuah penerangan (=pencerahan, cerah=terang bukan?). “Eh iya, perasaan tadi di majalah kamu ada cara nolong orang deh. Liat lagi dong majalahnya!”

Nesya yang sedang menikmati saat-saat berdua indahnya dengan Jaka, gebetan sepanjang masanya, di atas gelondongan kayu yang bergoyang-goyang diterpa gelombang mungil banjir, menoleh. “Hah? Eh, iya, inieh…”

Dengan cepat Jaka membuka lembar demi lembar majalah tersebut dan setelah menemukan halaman yang dicarinya, “Nah, ini dia! Kita bisa pake kantong plastik, celana ama jerigen buat jadi pelampung darurat. Lu bawa ketiga benda itu nggak?”

Nesya menggeleng. Mata mereka berdua pun menyapu daerah di sekitar gelondongan kayu, sadar bahwa mereka sudah terbawa jauh dari orang-orang, dan terutama sadar bahwa nggak ada satupun benda dari tiga yang mereka butuhkan ada di sekitar situ.

“Hebat yah, ini banjir tapi di sekeliling kita ga ada satupun benda yang berenang-renang (kecuali nenek tua yang sedang asik ngumpulin perhiasan-perhiasan yang terbawa hanyut oleh banjir). Banjir yang aneh.”

Nesya kembali bete dan di kepalanya muncul recap adegan di mana nenek sedang marah-marah pada Nesya. Kejadiannya tadi pagi.

“Pokoknya nenek mo bawa bikini ini ke Murtnec! Kalo nggak, tunggu aja sampai rumah ini hancur lebur ama bazoka…”

Sedeng emang…

“Ah, udahlah!” tiba-tiba Jaka mencopot celananya.

“AAAAUUUWW!!!!!”

“Kenapa? Kamu ada yang luka?” Tanya Jaka panik

“Nggak…!” sergah Nesya sambil pelan-pelan membuka mata. Lalu, “Ngapain kamu buka celana?!”

“Gak ada kantong plastik, celana ama jerigen. Ya udah gue pake aja celana gue. Untungnya gue pake celana parasut, tepat seperti yang diintruksiin ma majalah ini, he he he…” Jaka terus membuka celananya. “Tenang aja, gue pake daleman celana Hawaii juga, kok.”

Namun celana tersebut ikut tertarik bersama celana panjang parasut Jaka ketika ia sedang berusaha mencopot celananya sambil berusaha menjaga keseimbangan pada gelondongan kayu yang kini sedang bergoyang-goyang heboh akibat guncangan di atasnya. Jadi, sekarang Jaka hanya memakai sepotong celana…fiuuh…, renang. Merk Speedo. Untungnya si…bukan kolor putih biasa yang suka tembus pandang kalo kena air...

Menurut majalah, setelah dicopot paksa dari tubuh pemiliknya, kedua ujung pipa celana harus diikat oleh tali. Jaka pun mencari-cari tali untuk mengikat kedua ujung celananya. Dan hasilnya nihil. Nesya memperhatikan Jaka dengan pandangan ilfil.

“Waduh, nggak ada tali nih, pake tali BH lu aja deh, boleh ga?”

“HEH, MESUM!!!!”

“Sori…sori…” mencoba menghindar dari Nesya yang menunjukkan gelagat akan segera medorongnya dari gelondongan kayu dan menenggelamkannya dengan kaki, dengan penuh tenaga Jaka akhirnya merobek celana Hawaiinya sehingga tersedialah beberapa tali panjang untuk mengikat ujung celana. Jaka mengikatnya kuat-kuat sesuai dengan yang diinstruksikan majalah. Setelah selesai, ia melakukan tahap-tahap terakhir pembuatan pelampung darurat tersebut.

Pelampung darurat selesai. Jaka menyeburkan diri ke dalam air, berenang menuju nenek dan membantunya untuk menuju ke arah gelondongan kayu.

Adegannya mirip banget kayak di film Baywatch.

           

It’s story without CLIMAX

 

Sekembalinya Jaka (+nenek), Nesya merasa ilfil pada cowok tersebut. Penyebabnya ada dua hal :

  1. Jaka hanya memakai celana renang. Celana renang yang mini banget itu loh, persis kayak celana dalem, kolor, apalah. Jadi tentunya keliatan jelaslah bagian dari pangkal paha sampe ke ujung kaki, mana banyak bulunya lagi. Nesya tiba-tiba jadi merasa mual dan jijik. “Gak lagi-lagi deh gue ngecengin si Jaka. Ilfil gue…, ILFIL!!!”
  2. Jaka telah membuat hidup Nesya menjadi semakin sengsara lagi karena Jaka telah menyelamatkan nenek yang merupakan orang yang paling dibencinya di dunia. Mana sekarang tu orang lagi marah-marahin dia lagi. “Eh… dasar lu yah, cucu gak tau diri. Udah tau nenek lu ini kelelep, bukannya nyorakin orang yang nulungin nenek atau apa kek, kasi dukungan, malah diem ajah lu! Bikini lu gak bakal gua balikin! Rasain lu!” semprot nenek yang sering buka situs-situs gaul ini, ngomongnya aje pake gue-elu!

“Ternyata Jaka sama sekali nggak tau apa yang gue rasain. Ternyata dia bukanlah cinta sejati gue. Kalo dia emang mengerti perasaan gue, seharusnya dia biarin aja tu orang kelelep! Huuu…” isak Nesya dalem hati. Orang yang lagi keruh suasana hatinya memungkinkan keruh pula pikirannya sehingga nggak bisa berpikir jernih. Mana mungkin Jaka bisa langsung mengerti perasaannya kalau kenalan aja belum sampe sehari??? Cewek yang aneh.

 

Untunglah, nggak sampe semenit kemudian muncul dua buah perahu karet yang masing-masing berisikan beberapa orang bapak-bapak dan beberapa orang lagi adalah anggota tim SAR. Di antara para bapak-bapak tersebut adalah bapaknya Nesya dan bapaknya Jaka.

Dua perahu karet tersebut segera mendekat ke arah gelondongan kayu yang berisikan Jaka, nenek dan Nesya.

Bapaknya Nesya dan anaknya (yaitu Nesya gitu loh) segera berpelukan melepas rindu. “Oh, anakku…”

“Oh, bapakku…”

“Kau baik-baik saja, anakku?”

“Tentu, Bapak…”

“Dan kenapa pemuda yang tadi terapung-apung bersamamu hanya memakai celana renang?”

“Ng, itu…, jijik ya Pak? Tapi yang bapak juga perasaan sama aja ah.”

“Hey, menantuku, tolong bantu aku menaiki perahu ini!” suara cempreng nenek memecah suasana dramatis yang sedang tercipta antara bapak dan anak.

Sebelum membantu mertuanya naik ke perahu, bapaknya Nesya sempat berbisik ke anaknya (yaitu Nesya gitu loh), “Anakku, kenapa kau tidak tenggelamkan saja mertuaku ini?”

Nesya menjawab,”Tidak bisa Bapak, karena pemuda itu sudah keburu menolongnya (menunjuk Jaka). Lagian kalo kita biarkan dia mati…, ng…, perasaan kok kita jadi bapak dan anak durhaka banget, yah? Gitu-gitu dia manusia juga loh. Kita anak beranak yang aneh ya?”

Lain Bapaknya Nesya dan anaknya (yaitu Nesya gitu loh), lain pula Bapaknya Jaka dan anaknya. Supaya lebih singkat, nama bapaknya Jaka adalah Pak Joko.

“Kenapa kamu cuman pake celana renang?” Tanya Pak Joko.

“Karena…” Jaka pun menjelaskan kepada bapaknya kenapa dia begitu, alasan dan penyebabnya dan terakhir,cara membuat pelampung darurat dari majalah Nesya yang telah dipelajarinya.

“Oh, begitu. Kamu pintar sekali, Nak. Ayo cepat, naik ke perahu, bapak dan bapak-bapak lainnya akan mencari korban yang terdampar jauh lainnya selain kamu dan orang-orang itu.”

“Ya, Pak.” Dengan patuh Jaka menurut dan… to the point, ketiga orang tersebut pun (Nesya, Jaka dan nenek Nesya) diantar ke tempat penampungan oleh anggota tim SAR yang tersisa di perahu yang satu. Sementara perahu yang satu lagi pergi ke tempat yang lebih jauh untuk mengevakuasi—siapa tau aja masih ada—korban lainnya.

 

1 jam kemudian,

 

Perahu tersebut datang dengan membawa beberapa korban yang telah berhasil ditemukan  (ya iyalah, kalo belum ketemu emangnya mo ngebawa sape?) dan sisanya adalah tim penyelamat yang terdiri dari beberapa bapak-bapak dan beberapa tim SAR. Setelah perahu tersebut sampai ke tempat penampungan, dan para penumpangnya pada berdiri untuk pindah dari perahu ke tempat tersebut, terlihatlah pemandangan beberapa bapak-bapak yang hanya memakai kolor doang sementara celana mereka entah-pada-ke-mana-kok-nggak-dipake. Baju mereka semuanya basah kuyup.

Nesya memandang Jaka.

“Jaka, kemari!” ujar Pak Joko dengan tampang menyeramkan. Nesya segera menoleh ke arah lain dan pura-pura nggak tau.

Well, rupanya Jaka lupa memberitahu kalau ternyata hanya celana parasut yang bisa dijadikan pelampung darurat sementara celana yang lain tidak. Walhasil, saat bapak-bapak yang selalu ingin tahu ini (anak pintar…) mencoba, bukannya ngapung, mereka malah tenggelam.

Demikianlah akhir dari sebuah kisah yang terjadi saat banjir tiba.

Aneh. Garing. Anti klimaks.

Jangan pura-pura tidak mengerti, tidak menyesal dan tidak mencemooh setelah Anda selesai membaca cerita ini. Jujur, saya aja yang bikin merasa begituh…

 

 

It’s dedicated to… no one

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain