Jam tangan Naisha menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit.
“Tuh
kan, bener, telat!” seru Naisha kesel dan dengan terburu-buru melepaskan shelty
belt. “Katanya 5 menit bisa nyampe ke sekolah?!”
“Emang nyetir
tuh gampang? Siapa yang suruh pergi ke sekolahnya dimundurin 20 menit?” bales
nyokapnya senewen.
Naisha
membuka pintu mobil, mengangkat ransel dengan tergesa-gesa dan membanting
pintu.
“Kok gak
salam?!” teriak nyokap.
“Iya!
Salamoalaikum!” Naisha langsung cepat-cepat berlari ke pintu gerbang sekolah
yang mana—untungnya—belum dikonci. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengacuhkan
tatapan mata para pedagang yang jualan di depan sekolah. Pos satpam tampak
kosong. Kemana Pak Satpam, ya? Pikirnya. Eh, ngapain juga dipikirin? Masih
untung nggak ada. Coba bayangin kalo ada, pasti bakal ditanya-tanyain!
Ruang guru
piket sekolahnya terletak di dalem area sekolah, yang mana tepat berada di
dekat gerbang masuk khusus siswa. Dan untuk sampai ke gerbang khusus siswa
tersebut, ia bakal melewati pos satpam, ruangan kelas, ruang tamu sekolah,
ruangan kelas, ruangan kelas, dan ruangan kelas lagi, juga lapangan.
Perasaan Naisha agak was-was. Maklum deh, baru kali ini ia telat masuk sekolah. Biasanya sih dia nggak pernah telat, karena dia selalu disiplin dalam mematuhi tata tertib sekolah. Sekolah Naisha bel masuknya berbunyi jam 06.40 dan biasanya setengah jam sebelumnya dia udah berangkat dari rumah. Perjalanannya dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit. Tapi hari ini, selain karena dia bangun telat, 1 menit sebelum keberangkatannya ke sekolah tiba-tiba perutnya sakit dan akhirnya Naisha menghabiskan beberapa menit lamanya nongkrong di kamar mandi. Jangan tanya deh, dia ngapain aja di sana.
Naisha pun berjalan ke arah gerbang khusus siswa dengan memeluk ransel yang nggak sempat dia sampirkan di pundak. Dan seperti yang biasa dia lakukan setiap pagi ketika sedang berjalan ke gerbang khusus siswa, dia selalu mengintip ke dalam kelas kecengannya yang terletak di pinggir lapangan dan jauhnya 1 ruangan kelas dari gerbang khusus siswa. Ngintipnya ya dari jauh aja. Masak mo dari deket sih? Maling kali. Lagian kecengannya Naisha itu—namanya Opin—duduknya pas banget di pinggir jendela. Jadi, kalo lewat sana Naisha cuman perlu melongokkan kepala dan terlihatlah kepala Opin dan kalo lagi beruntung, yaitu saat Opin melihat ke luar jendela, Naisha akan bisa melihat wajah tampannya, hehehe.
Semakin ia berjalan mendekati kelas Opin, Naisha berjinjit-jinjit dan melongok-longokkan kepalanya kayak burung onta.
Nah, nah, itu dia kepalanya si Opin! Opin ganteeeeeng, madep sini dong! Liat, ini Naisha dateng telat. Naisha pingin diliatin ama kamuuuuuu!!!!!!! Jerit Naisha dalem hati.
Opin menoleh
ke luar jendela, ke arah lapangan. Dan selain sepasang ring basket, bangku-bangku
dan tiang bendera (yang lainnya seperti semak-semak, gudang, dll, ga masuk
hitungan) ia hanya bisa melihat Naisha yang merupakan the only people who
stands on the edge of court.
Naisha nyaris
menjerit ketika Opin melihatnya. Ia buru-buru memalingkan kepalanya ke arah
lain, menutupi wajahnya dengan tas dan berlari ke arah gerbang khusus siswa.
Sementara Opin yang nggak terlalu memperhatikan hal tersebut diam saja dan
menoleh kembali ke arah guru yang sedang ngomongin infotainment kemarin sore di
depan kelas.
Sesampainya
di kelas, Naisha segera menceritakan kejadian tersebut dengan ribut di depan
teman-temannya.
“Trus lo
bilang apa ke guru piket?” tanya salah seorang temannya yang nggak terlalu ngeh
dengan cerita tersebut.
“Ya, gue
bilang aja yang sebenernya kalo jam weker gue lupa disetel jadi gue bangun
telat dan udah itu gue boker dulu bentar….”
Temen-temen
Naisha hanya tersenyum mendengar ucapan temen mereka tersebut. Lalu salah
seorang dari mereka tiba-tiba ada yang nyeletuk,
“Eh, tapi lu
bodo ih. Kenapa pas dia ngeliat ke elo, elonya nggak senyum aja gitu ke dia.
Kan itung-itung pedekate. Kalo lagi beruntung ya, dia mungkin ngebales senyum
lo.”
Naisha
mencerna ucapan temannya itu sebentar dan langsung berteriak-teriak lagi. “Oh,
iya ya! Ih, lo pinter banget deh! Kalo gitu besok gue telat lagi ah! Siapa tau
besok dia bakal ngeliat ke arah gue lagi, trus gue senyumin dia dan dia bales
senyumin gue! Ampun deh, gue nggak sabar lagi nunggu hari esok tibaaaa!!!”
Setelah itu
guru Naisha datang. Sambil mengikuti pelajaran Naisha berdoa komat-kamit dalam
hati agar bel pulang segera berbunyi nggak lama lagi. Entah itu karena ada
rapat guru, atau kedatangan tamu penting, atau penyakit jantung kepala sekolah
kambuh lagi (yang mana 2 alasan terakhir sama sekali nggak nyambung) atau
tiba-tiba ada gempa bumi mendadak sebesar 9 skala Ritcher sehingga murid-murid
dipulangkan.
Waktu pun
terus berlalu, bel pulang berbunyi, Naisha dengan bersemangat pulang ke
rumahnya dan sesampainya di sana, ia segera berlari-lari ke arah nyokapnya dan
berteriak, “Maaaaaa, besok perginya dimundurin 20 menit lagi yah???!!!!!!!!!”
Keesokkan
harinya neh…
Naisha dateng
telat lagi dan dengan riang ia memasuki gerbang sekolah tanpa memedulikan
tatapan Pak Satpam. Ketika Pak Satpam datang mendekat untuk bertanya-tanya,
Naisha langsung pura-pura lagi jogging sehingga bisa segera menghindar. Yang
penting bisa segera sampai ke dekat kelasnya Opin!
Mendekati
kelasnya Opin, Naisha berjalan dengan pelan-pelan. Emang agak mirip maling,
tapi ini malingnya bukan mo nyuri tapi cuman mo ngintip doang! Sampai di depan
jendela TEPAT di mana Opin sedang duduk diam dan mendengarkan gurunya yang
sedang sibuk membahas tentang infotainment kemarin sore, Naisha berhenti di
sana dan mencondongkan kepalanya untuk dapat melihat kepala Opin dengan lebih
spesifik. Ayo, Opin! Ini Naisha udah berdiri di sini demi supaya bisa
mendapatkan senyumanmu yang membahagiakan hati ini. Ayo cepetan noleh dooong!!!
Ntar keburu dipergokin ama guru piket nih…!
Seperti bisa
mendengarkan suara hati Naisha, Opin menoleh ke luar kelas. Maksud sebenarnya
adalah untuk menghirup udara pagi yang meyejukkan sejenak dan mengalihkan
perhatian sebentar dari sang guru yang sedang ngomongin hal-hal yang nggak dia
mengerti. Sementara Opin sedang memikirkan mengenai kabar Vassili Berezoutski,
Alex Ferguson, Cristiano Ronaldo, Arsene Wenger dan Cecep Supriatna yang ia
baca di tabloid olahraga kemarin, sang guru malah sibuk ngomongin Tamara
Bleszyinski, Trie Utami, Benigno Aquino, Rivaldo, Dewi Hughes dan Roma Irama.
Jadi ya jelas nggak nyambung!
Seperti
dialiri arus listrik 220 volt, tubuh Naisha seperti bergetar pas Opin
melihatnya. Maksudnya nervous + deg-degan gitu. Dengan susah payah Naisha
menarik bibirnya untuk tersenyum. Tangan-tangannya yang berkeringat dingin
dimainkan di belakang punggung. Aduh, pikirnya, kalo si Opin nggak tau kalo gue
lagi senyum ke dia dan dia nggak balik ngebales senyuman gue pasti gue bakal
disangka orang gila nih, senyum-senyum sendiri…
Opin, yang
lagi-lagi hanya bisa melihat Naisha sebagai satu-satunya makhluk hidup di
pinggir lapangan, menganggukkan kepala dan membalas senyuman Naisha. Mulut Naisha langsung menganga dan ia
merasa seperti habis dilontarkan ke atas langit oleh meriam bellina, eh, meriam
tempur. Opin? Ngebales senyuman gue? Oh, God, kok bisa sih? Karunia apa
ini???????!!!!!!!!!!!!!!!
Di tengah
kebahagiaan-berjuta-rasanya, ia membalas lagi senyuman Opin dengan senyum yang
lebih terbuka dan sadar kalo ia nggak boleh lama-lama di sini. Selain karena
dia nggak tau mesti ngapain lagi dengan Opin karena malu berat, sekarang pun ia
pasti lagi ditungguin ama guru piket. Maka, cepat-cepat Naisha tersenyum lagi
untuk terakhir kalinya pada Opin dan setelah itu langsung berlari-lari ke arah
gerbang khusus siswa dan berteriak-teriak dengan suara nggak jelas,
“YIPPPPIIIIIIIIIIIIIEEEEEE!!!!! OPIN NGEBALES SENYUMAN GUEEEEE!!!!!!!!!”
Seluruh anak
yang sedang berada di kelasnya masing-masing di sekolah tersebut langsung
menoleh ke arah teman yang terdekat duduknya. “Siapa sih itu, yang
teriak-teriak? Kenceng banget ya?”
Opin di kelasnya,
Sehabis memutuskan untuk nggak ambil pusing buat memikirkan
tentang kejadian barusan, Opin meletakkan pandangannya lagi ke dalam kelas. Dan
daripada ngeliatin gurunya yang masih sibuk ngomongin Bajaj Bajuri, Opin
mengajak bicara Dinar, teman sebangkunya—cowok loh—yang berbadan besar.
“Siapa yang
teriak tadi, ya?” tanya Dinar pada Opin sambil tertawa. Sebelum diajak bicara
ternyata Dinar sudah berbicara duluan.
“Itu…” jawab
Opin sambil tertawa juga. “Tadi liat nggak, ada cewek di luar jendela. Gak tau
tuh siapa dia, apa namanya sama kelas berapa. Tiba-tiba udah nangkring aja di
situ (Opin menunjuk tempat Naisha berdiri tadi) sambil senyum-senyum gitu, ya
udah saya bales aja. Aneh, ih…”
“Iya. Aneh,
ya. Siapa sih tuh cewek?” tanggap Dinar.
Setelah itu
Opin dan Dinar sibuk keketawaan.
Keesokkan
harinya lagi…
Hari ini Naisha memutuskan untuk telat lagi. Kenapa? Saat
kemarin dia menceritakan kejadian kemarin pada teman-temannya, temannya yang
kemarin laginya menganjurkan agar Naisha tersenyum pada Opin kalo Opin sedang
ngeliat dia, mengatakan kalo Naisha seharusnya jangan hanya tersenyum ketika
Opin melihatnya. Kalo perlu, Naisha seharusnya melambaikan tangannya sebagai
tahap lanjut dari sebuah senyuman.
Naisha pun
menganggap bahwa saran temannya itu patut dipertimbangkan dan akhirnya ia
memutuskan untuk telat lagi hari ini agar rencana tersebut dapat dilaksanakan.
Pokoknya, kalo si Opin ngeliat gue lagi hari ini, gue harus memberikan lambaian
tangan paling bermakna untuk dia! Naisha bertekad dan berniat dalam hati.
Oh ya, dan
alasan untuk guru piket atas keterlambatannya yang ketiga kali selama tiga hari
berturut-turut ini adalah bahwa jam wekernya nyemplung ke Kali Cikapundung
sewaktu hendak dibawanya ke tukang servis jam! Soalnya, pas hari kedua dia
telat kemarin, dia bilang jam wekernya rusak parah sehingga mesti diperbaiki
oleh ahlinya.
Jadi, seperti
2 hari kemarin, Naisha pun telat lagi. Dengan penuh semangat dan hasrat, Naisha
berjalan dengan hati deg-degan mendekati kelas Opin. Naisha mengintip sebentar,
menanti kepala Opin nongol untuk membalas senyumnya lagi dan membalas lambaian
tangannya juga. Aaaaaah…, terbayang deh indahnya….
Naisha
mengintip—dari jauh tentunya—dengan lebih mencondongkan tubuhnya untuk melihat
kepala Opin.
Nah! Nah!
Nah! Ini dia! Dia, kepalanya nongol! Dan, Naisha, tersenyum lebar dan
berseri-seri kepadanya, dan, Naisha, ah, akhirnya, YES, berhasil, melambaikan,
tangan! Ya Tuhan…, kekuatan darimana ini??? Gue bisaaaaaaaaaa!!!!!!
Tapi Opin
hanya menatapnya.
Yah, Naisha melambaikan tangannya. Gak perlu tinggi-tinggi, ntar bauket. Dan Opin HANYA melihat.
Tiba-tiba kepala Dinar muncul dari balik bahu Opin. Dinar melihat Naisha berdiri di luar kelas dan sedang tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya (maksudnya ke Opin, bukan ke Dinar tapi ni anak salah persepsi). Dinar pun balas tersenyum seramah-ramahnya
Dan dengan lembutnya melambaikan tangan.
AAAAAAAAAARRRRRRRRGGGGGGGHHHHH!!!!!!!!!!!!
Naisha nyaris berteriak begitu ketika melihat bukannya Opin yang membalas
lambaian tangannya melainkan makhluk yang tidak diperkirakan seperti Dinar. Ia
segera menggerakkan kedua kaki untuk lari secepat-cepatnya dari situ. Kabur
maksudnya.
Sementara itu
di dalam kelas Opin, Dinar sedang memegang bahu Opin dan berkata. “Ih, anaknya
lucu ya, Pin? Baik pula kayaknya. Kemarin dia senyum ke kamu. Hari ini dia
senyum ke saya, pake ngelambain tangan pula. Besok pasti giliran orang yang ada
di depan kita yang dia senyumin. Ya nggak. Pin?”
Opin hanya
mengangguk sambil tertawa.
Hari
berikutnya (Naisha: “Hari ini gue akan coba lagi ngelambain tangan sama Opin
dan jangan sampe si Dinar berbadan besar itu yang ngebales!! Hari ini pasti
berhasil!!!!”)
Dengan nggak sabaran, Naisha turun dari mobil, membanting
pintunya dan berlari dengan tergesa-gesa ke arah gerbang dan seorang guru
ternyata sudah menghadangnya di depan! Nama guru itu Bu Nawilis. Banyak yang
bilang kalo Bu Nawilis itu killer abis sampe-sampe pernah jadi bintang tamu
Killer Instinct!
Bu Nawilis,
dengan tampang killernya, memasang senyum killernya yang bisa meng-kill
siapapun yang melihatnya.
“Naisha
Kusumadinata!” cegat Bu Nawilis, melotot. Naisha memandang Bu Nawilis dengan
pandangan waspada. Bersiap menerima serangan killer milik Bu Nawilis meskipun
hatinya dag dig dug deg-degan setengah modar. Wanita yang sebetulnya masih bisa
dibilang cukup muda itu berjalan dengan gayanya yang killer mengelilingi
Naisha.
“Kenapa
terlambat, Naisha?”
“Ng…, anu
Bu…”
“Ibu
mendapatkan laporan bahwa kamu sudah 3 hari berturut-turut telat terus dan
sekarang adalah yang keempat kalinya. Kenapa Naisha? Kenapa bisa begitu? Apa
ada masalah di rumah kamu? (Lalu Bu Nawilis berhenti tepat di depan Naisha dan
seperti melihat sesuatu dari belakang bahu tu cewek). Nah, bagus, itu ada
Dinar. Ayo kemari, Dinar. Sini, berdiri di sebelah Naisha. Sekarang Ibu
interogasi kamu. Kenapa kamu terlambat? Tumben sekali kamu terlambat, biasanya
kan nggak. Kenapa ini, Dinar? Kalo begitu, sekarang kalian berdua lari keliling
lapangan aja ya, sebagai hukumannya. Lumayan kan, buat manasin otak? 10 kali
ya, nggak boleh kurang dari itu. Kalo mo lebih mah ya silakan aja, mangga. Sok,
sekarang juga ke lapangan!”
“Haaaaaaah…” Naisha mendesah dengan pasrah. Huh, sama Dinar pula. Masih mending kalo sama Opin!
Beberapa menit kemudian Naisha dan Dinar udah sibuk berlari-lari keliling lapangan. Naisha yang berada di depan sedangkan Dinar berlari di belakangnya. Dan setiap Naisha melihat Dinar di belakangnya, Dinar yang melihat Naisha sedang melihatnya langsung tersenyum dan melambaikan tangan. Heuheu…
Anak-anak
yang ruangan kelasnya berada di pinggir lapangan langsung menempel dan memenuhi
pinggiran jendela kelas mereka untuk melihat tontonan gratis tersebut. Sebenernya
jarang-jarang ada murid telat yang disuruh lari. Paling-paling juga disuruh
push up 100 kali. Tapi kalo guru piketnya Bu Nawilis sih jangan tanya….
Anak-anak
kelas Naisha juga pada berlarian keluar kelas dan mengerumunii pinggiran
lapangan untuk melihat peristiwa tersebut. Seharusnya saat ini mereka pergi ke
lab. komputer karena sudah tiba pelajarannya. Tapi mendengar ada rame-rame
mereka langsung berubah haluan, lari ke arah lapangan. Dan mereka semua (ada
yang berdiri dan ada pula yang jongkok) langsung rame teriak-teriak, “Ayo
Naisha! Jangan mau kalah ama Dinar! Jangan sampai kesusul!”
Rupanya
anak-anak kelas Opin yang juga kelasnya Dinar nggak mau kalah nyemangatin!
“Ayo, Dinar! Lari terus biar kurus! Susul aja, woy, SUSSUUUULL!!!!!!”
“Huuuu!!!!!”
Kelas Naisha makin rame menyoraki. “Lari terus Naisha, jangan kalah!!!!!!”
Naisha yang
sedang mencoba memahami kondisinya saat itu (tapi sayang, sepertinya ia tak
kuasa…), hanya bisa terisak-isak dengan air muka menyedihkan. Dalam sorak sorai
bergembira, eh, sorak sorai riuh ramai yang mengisi daerah lapangan dan
sekitarnya, ia bersumpah, “Pokoknya mulai sekarang gue kapok telat lagi!!
Apalagi kalo disengajain! Nggak lagi-lagi deh!!”
Tapi suaranya
tertelan oleh ramainya anak-anak yang berteriak.
Tak lama
kemudian, sepasukan guru, satpam dan lain-lain yang tergabung dalam PKS alias
Penjaga Keamanan Sekolah sudah mengerubungi tempat tersebut dan mengamankan
alias menertibkan seluruh anak.
Bagi Naisha,
hari tersebut merupakan hari ter-bad day sedunia.
Sementara
itu, di dekat pos satpam yang letaknya masih beberapa belas meter jauhnya dari
lapangan yang riuh, Bu Nawilis sedang memberikan hukuman push up pada seorang
murid lagi yang juga datang terlambat.
“31… 32… 33…
34…, ayo terus Opin, biar badannya tambah gagah, tambah perkasa, biar makin
banyak anak-anak perempuan yang suka… 39… 40… 41…”
Opin
hah-heh-hoh kecapean sambil terus melanjutkan push upnya. (DSA)
(it’s dedicated to…me, to my sunlight,
and his bodyguard)