Kamis, 30 Juni 2005

T3L@t

Jam tangan Naisha menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit.

“Tuh kan, bener, telat!” seru Naisha kesel dan dengan terburu-buru melepaskan shelty belt. “Katanya 5 menit bisa nyampe ke sekolah?!”

“Emang nyetir tuh gampang? Siapa yang suruh pergi ke sekolahnya dimundurin 20 menit?” bales nyokapnya senewen.

Naisha membuka pintu mobil, mengangkat ransel dengan tergesa-gesa dan membanting pintu.

“Kok gak salam?!” teriak nyokap.

“Iya! Salamoalaikum!” Naisha langsung cepat-cepat berlari ke pintu gerbang sekolah yang mana—untungnya—belum dikonci. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengacuhkan tatapan mata para pedagang yang jualan di depan sekolah. Pos satpam tampak kosong. Kemana Pak Satpam, ya? Pikirnya. Eh, ngapain juga dipikirin? Masih untung nggak ada. Coba bayangin kalo ada, pasti bakal ditanya-tanyain!

Ruang guru piket sekolahnya terletak di dalem area sekolah, yang mana tepat berada di dekat gerbang masuk khusus siswa. Dan untuk sampai ke gerbang khusus siswa tersebut, ia bakal melewati pos satpam, ruangan kelas, ruang tamu sekolah, ruangan kelas, ruangan kelas, dan ruangan kelas lagi, juga lapangan.

Perasaan Naisha agak was-was. Maklum deh, baru kali ini ia telat masuk sekolah. Biasanya sih dia nggak pernah telat, karena dia selalu disiplin dalam mematuhi tata tertib sekolah. Sekolah Naisha bel masuknya berbunyi jam 06.40 dan biasanya setengah jam sebelumnya dia udah berangkat dari rumah. Perjalanannya dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit. Tapi hari ini, selain karena dia bangun telat, 1 menit sebelum keberangkatannya ke sekolah tiba-tiba perutnya sakit dan akhirnya Naisha menghabiskan beberapa menit lamanya nongkrong di kamar mandi. Jangan tanya deh, dia ngapain aja di sana.

Naisha pun berjalan ke arah gerbang khusus siswa dengan memeluk ransel yang nggak sempat dia sampirkan di pundak. Dan seperti yang biasa dia lakukan setiap pagi ketika sedang berjalan ke gerbang khusus siswa, dia selalu mengintip ke dalam kelas kecengannya yang terletak di pinggir lapangan dan jauhnya 1 ruangan kelas dari gerbang khusus siswa. Ngintipnya ya dari jauh aja. Masak mo dari deket sih? Maling kali. Lagian kecengannya Naisha itu—namanya Opin—duduknya pas banget di pinggir jendela. Jadi, kalo lewat sana Naisha cuman perlu melongokkan kepala dan terlihatlah kepala Opin dan kalo lagi beruntung, yaitu saat Opin melihat ke luar jendela, Naisha akan bisa melihat wajah tampannya, hehehe.

Semakin ia berjalan mendekati kelas Opin, Naisha berjinjit-jinjit dan melongok-longokkan kepalanya kayak burung onta.

Nah, nah, itu dia kepalanya si Opin! Opin ganteeeeeng, madep sini dong! Liat, ini Naisha dateng telat. Naisha pingin diliatin ama kamuuuuuu!!!!!!! Jerit Naisha dalem hati.

Opin menoleh ke luar jendela, ke arah lapangan. Dan selain sepasang ring basket, bangku-bangku dan tiang bendera (yang lainnya seperti semak-semak, gudang, dll, ga masuk hitungan) ia hanya bisa melihat Naisha yang merupakan the only people who stands on the edge of court.

Naisha nyaris menjerit ketika Opin melihatnya. Ia buru-buru memalingkan kepalanya ke arah lain, menutupi wajahnya dengan tas dan berlari ke arah gerbang khusus siswa. Sementara Opin yang nggak terlalu memperhatikan hal tersebut diam saja dan menoleh kembali ke arah guru yang sedang ngomongin infotainment kemarin sore di depan kelas.

 

Sesampainya di kelas, Naisha segera menceritakan kejadian tersebut dengan ribut di depan teman-temannya.

“Trus lo bilang apa ke guru piket?” tanya salah seorang temannya yang nggak terlalu ngeh dengan cerita tersebut.

“Ya, gue bilang aja yang sebenernya kalo jam weker gue lupa disetel jadi gue bangun telat dan udah itu gue boker dulu bentar….”

Temen-temen Naisha hanya tersenyum mendengar ucapan temen mereka tersebut. Lalu salah seorang dari mereka tiba-tiba ada yang nyeletuk,

“Eh, tapi lu bodo ih. Kenapa pas dia ngeliat ke elo, elonya nggak senyum aja gitu ke dia. Kan itung-itung pedekate. Kalo lagi beruntung ya, dia mungkin ngebales senyum lo.”

Naisha mencerna ucapan temannya itu sebentar dan langsung berteriak-teriak lagi. “Oh, iya ya! Ih, lo pinter banget deh! Kalo gitu besok gue telat lagi ah! Siapa tau besok dia bakal ngeliat ke arah gue lagi, trus gue senyumin dia dan dia bales senyumin gue! Ampun deh, gue nggak sabar lagi nunggu hari esok tibaaaa!!!”

Setelah itu guru Naisha datang. Sambil mengikuti pelajaran Naisha berdoa komat-kamit dalam hati agar bel pulang segera berbunyi nggak lama lagi. Entah itu karena ada rapat guru, atau kedatangan tamu penting, atau penyakit jantung kepala sekolah kambuh lagi (yang mana 2 alasan terakhir sama sekali nggak nyambung) atau tiba-tiba ada gempa bumi mendadak sebesar 9 skala Ritcher sehingga murid-murid dipulangkan.

Waktu pun terus berlalu, bel pulang berbunyi, Naisha dengan bersemangat pulang ke rumahnya dan sesampainya di sana, ia segera berlari-lari ke arah nyokapnya dan berteriak, “Maaaaaa, besok perginya dimundurin 20 menit lagi yah???!!!!!!!!!”

 

Keesokkan harinya neh…

Naisha dateng telat lagi dan dengan riang ia memasuki gerbang sekolah tanpa memedulikan tatapan Pak Satpam. Ketika Pak Satpam datang mendekat untuk bertanya-tanya, Naisha langsung pura-pura lagi jogging sehingga bisa segera menghindar. Yang penting bisa segera sampai ke dekat kelasnya Opin!

Mendekati kelasnya Opin, Naisha berjalan dengan pelan-pelan. Emang agak mirip maling, tapi ini malingnya bukan mo nyuri tapi cuman mo ngintip doang! Sampai di depan jendela TEPAT di mana Opin sedang duduk diam dan mendengarkan gurunya yang sedang sibuk membahas tentang infotainment kemarin sore, Naisha berhenti di sana dan mencondongkan kepalanya untuk dapat melihat kepala Opin dengan lebih spesifik. Ayo, Opin! Ini Naisha udah berdiri di sini demi supaya bisa mendapatkan senyumanmu yang membahagiakan hati ini. Ayo cepetan noleh dooong!!! Ntar keburu dipergokin ama guru piket nih…!

Seperti bisa mendengarkan suara hati Naisha, Opin menoleh ke luar kelas. Maksud sebenarnya adalah untuk menghirup udara pagi yang meyejukkan sejenak dan mengalihkan perhatian sebentar dari sang guru yang sedang ngomongin hal-hal yang nggak dia mengerti. Sementara Opin sedang memikirkan mengenai kabar Vassili Berezoutski, Alex Ferguson, Cristiano Ronaldo, Arsene Wenger dan Cecep Supriatna yang ia baca di tabloid olahraga kemarin, sang guru malah sibuk ngomongin Tamara Bleszyinski, Trie Utami, Benigno Aquino, Rivaldo, Dewi Hughes dan Roma Irama. Jadi ya jelas nggak nyambung!

Seperti dialiri arus listrik 220 volt, tubuh Naisha seperti bergetar pas Opin melihatnya. Maksudnya nervous + deg-degan gitu. Dengan susah payah Naisha menarik bibirnya untuk tersenyum. Tangan-tangannya yang berkeringat dingin dimainkan di belakang punggung. Aduh, pikirnya, kalo si Opin nggak tau kalo gue lagi senyum ke dia dan dia nggak balik ngebales senyuman gue pasti gue bakal disangka orang gila nih, senyum-senyum sendiri…

Opin, yang lagi-lagi hanya bisa melihat Naisha sebagai satu-satunya makhluk hidup di pinggir lapangan, menganggukkan kepala dan membalas senyuman Naisha.      Mulut Naisha langsung menganga dan ia merasa seperti habis dilontarkan ke atas langit oleh meriam bellina, eh, meriam tempur. Opin? Ngebales senyuman gue? Oh, God, kok bisa sih? Karunia apa ini???????!!!!!!!!!!!!!!!

Di tengah kebahagiaan-berjuta-rasanya, ia membalas lagi senyuman Opin dengan senyum yang lebih terbuka dan sadar kalo ia nggak boleh lama-lama di sini. Selain karena dia nggak tau mesti ngapain lagi dengan Opin karena malu berat, sekarang pun ia pasti lagi ditungguin ama guru piket. Maka, cepat-cepat Naisha tersenyum lagi untuk terakhir kalinya pada Opin dan setelah itu langsung berlari-lari ke arah gerbang khusus siswa dan berteriak-teriak dengan suara nggak jelas, “YIPPPPIIIIIIIIIIIIIEEEEEE!!!!! OPIN NGEBALES SENYUMAN GUEEEEE!!!!!!!!!”

Seluruh anak yang sedang berada di kelasnya masing-masing di sekolah tersebut langsung menoleh ke arah teman yang terdekat duduknya. “Siapa sih itu, yang teriak-teriak? Kenceng banget ya?”

 

Opin di kelasnya,

Sehabis memutuskan untuk nggak ambil pusing buat memikirkan tentang kejadian barusan, Opin meletakkan pandangannya lagi ke dalam kelas. Dan daripada ngeliatin gurunya yang masih sibuk ngomongin Bajaj Bajuri, Opin mengajak bicara Dinar, teman sebangkunya—cowok loh—yang berbadan besar.

“Siapa yang teriak tadi, ya?” tanya Dinar pada Opin sambil tertawa. Sebelum diajak bicara ternyata Dinar sudah berbicara duluan.

“Itu…” jawab Opin sambil tertawa juga. “Tadi liat nggak, ada cewek di luar jendela. Gak tau tuh siapa dia, apa namanya sama kelas berapa. Tiba-tiba udah nangkring aja di situ (Opin menunjuk tempat Naisha berdiri tadi) sambil senyum-senyum gitu, ya udah saya bales aja. Aneh, ih…”

“Iya. Aneh, ya. Siapa sih tuh cewek?” tanggap Dinar.

Setelah itu Opin dan Dinar sibuk keketawaan.

 

Keesokkan harinya lagi…

Hari ini Naisha memutuskan untuk telat lagi. Kenapa? Saat kemarin dia menceritakan kejadian kemarin pada teman-temannya, temannya yang kemarin laginya menganjurkan agar Naisha tersenyum pada Opin kalo Opin sedang ngeliat dia, mengatakan kalo Naisha seharusnya jangan hanya tersenyum ketika Opin melihatnya. Kalo perlu, Naisha seharusnya melambaikan tangannya sebagai tahap lanjut dari sebuah senyuman.

Naisha pun menganggap bahwa saran temannya itu patut dipertimbangkan dan akhirnya ia memutuskan untuk telat lagi hari ini agar rencana tersebut dapat dilaksanakan. Pokoknya, kalo si Opin ngeliat gue lagi hari ini, gue harus memberikan lambaian tangan paling bermakna untuk dia! Naisha bertekad dan berniat dalam hati.

Oh ya, dan alasan untuk guru piket atas keterlambatannya yang ketiga kali selama tiga hari berturut-turut ini adalah bahwa jam wekernya nyemplung ke Kali Cikapundung sewaktu hendak dibawanya ke tukang servis jam! Soalnya, pas hari kedua dia telat kemarin, dia bilang jam wekernya rusak parah sehingga mesti diperbaiki oleh ahlinya.

Jadi, seperti 2 hari kemarin, Naisha pun telat lagi. Dengan penuh semangat dan hasrat, Naisha berjalan dengan hati deg-degan mendekati kelas Opin. Naisha mengintip sebentar, menanti kepala Opin nongol untuk membalas senyumnya lagi dan membalas lambaian tangannya juga. Aaaaaah…, terbayang deh indahnya….

Naisha mengintip—dari jauh tentunya—dengan lebih mencondongkan tubuhnya untuk melihat kepala Opin.

Nah! Nah! Nah! Ini dia! Dia, kepalanya nongol! Dan, Naisha, tersenyum lebar dan berseri-seri kepadanya, dan, Naisha, ah, akhirnya, YES, berhasil, melambaikan, tangan! Ya Tuhan…, kekuatan darimana ini??? Gue bisaaaaaaaaaa!!!!!!

Tapi Opin hanya menatapnya.

Yah, Naisha melambaikan tangannya. Gak perlu tinggi-tinggi, ntar bauket. Dan Opin HANYA melihat.

Tiba-tiba kepala Dinar muncul dari balik bahu Opin. Dinar melihat Naisha berdiri di luar kelas dan sedang tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya (maksudnya ke Opin, bukan ke Dinar tapi ni anak salah persepsi). Dinar pun balas tersenyum seramah-ramahnya

Dan dengan lembutnya melambaikan tangan.

AAAAAAAAAARRRRRRRRGGGGGGGHHHHH!!!!!!!!!!!! Naisha nyaris berteriak begitu ketika melihat bukannya Opin yang membalas lambaian tangannya melainkan makhluk yang tidak diperkirakan seperti Dinar. Ia segera menggerakkan kedua kaki untuk lari secepat-cepatnya dari situ. Kabur maksudnya.

Sementara itu di dalam kelas Opin, Dinar sedang memegang bahu Opin dan berkata. “Ih, anaknya lucu ya, Pin? Baik pula kayaknya. Kemarin dia senyum ke kamu. Hari ini dia senyum ke saya, pake ngelambain tangan pula. Besok pasti giliran orang yang ada di depan kita yang dia senyumin. Ya nggak. Pin?”

Opin hanya mengangguk sambil tertawa.

 

Hari berikutnya (Naisha: “Hari ini gue akan coba lagi ngelambain tangan sama Opin dan jangan sampe si Dinar berbadan besar itu yang ngebales!! Hari ini pasti berhasil!!!!”)

Dengan nggak sabaran, Naisha turun dari mobil, membanting pintunya dan berlari dengan tergesa-gesa ke arah gerbang dan seorang guru ternyata sudah menghadangnya di depan! Nama guru itu Bu Nawilis. Banyak yang bilang kalo Bu Nawilis itu killer abis sampe-sampe pernah jadi bintang tamu Killer Instinct!

Bu Nawilis, dengan tampang killernya, memasang senyum killernya yang bisa meng-kill siapapun yang melihatnya.

“Naisha Kusumadinata!” cegat Bu Nawilis, melotot. Naisha memandang Bu Nawilis dengan pandangan waspada. Bersiap menerima serangan killer milik Bu Nawilis meskipun hatinya dag dig dug deg-degan setengah modar. Wanita yang sebetulnya masih bisa dibilang cukup muda itu berjalan dengan gayanya yang killer mengelilingi Naisha.

“Kenapa terlambat, Naisha?”

“Ng…, anu Bu…”

“Ibu mendapatkan laporan bahwa kamu sudah 3 hari berturut-turut telat terus dan sekarang adalah yang keempat kalinya. Kenapa Naisha? Kenapa bisa begitu? Apa ada masalah di rumah kamu? (Lalu Bu Nawilis berhenti tepat di depan Naisha dan seperti melihat sesuatu dari belakang bahu tu cewek). Nah, bagus, itu ada Dinar. Ayo kemari, Dinar. Sini, berdiri di sebelah Naisha. Sekarang Ibu interogasi kamu. Kenapa kamu terlambat? Tumben sekali kamu terlambat, biasanya kan nggak. Kenapa ini, Dinar? Kalo begitu, sekarang kalian berdua lari keliling lapangan aja ya, sebagai hukumannya. Lumayan kan, buat manasin otak? 10 kali ya, nggak boleh kurang dari itu. Kalo mo lebih mah ya silakan aja, mangga. Sok, sekarang juga ke lapangan!”

“Haaaaaaah…” Naisha mendesah dengan pasrah. Huh, sama Dinar pula. Masih mending kalo sama Opin!

Beberapa menit kemudian Naisha dan Dinar udah sibuk berlari-lari keliling lapangan. Naisha yang berada di depan sedangkan Dinar berlari di belakangnya. Dan setiap Naisha melihat Dinar di belakangnya, Dinar yang melihat Naisha sedang melihatnya langsung tersenyum dan melambaikan tangan. Heuheu…

Anak-anak yang ruangan kelasnya berada di pinggir lapangan langsung menempel dan memenuhi pinggiran jendela kelas mereka untuk melihat tontonan gratis tersebut. Sebenernya jarang-jarang ada murid telat yang disuruh lari. Paling-paling juga disuruh push up 100 kali. Tapi kalo guru piketnya Bu Nawilis sih jangan tanya….

Anak-anak kelas Naisha juga pada berlarian keluar kelas dan mengerumunii pinggiran lapangan untuk melihat peristiwa tersebut. Seharusnya saat ini mereka pergi ke lab. komputer karena sudah tiba pelajarannya. Tapi mendengar ada rame-rame mereka langsung berubah haluan, lari ke arah lapangan. Dan mereka semua (ada yang berdiri dan ada pula yang jongkok) langsung rame teriak-teriak, “Ayo Naisha! Jangan mau kalah ama Dinar! Jangan sampai kesusul!”

Rupanya anak-anak kelas Opin yang juga kelasnya Dinar nggak mau kalah nyemangatin! “Ayo, Dinar! Lari terus biar kurus! Susul aja, woy, SUSSUUUULL!!!!!!”

“Huuuu!!!!!” Kelas Naisha makin rame menyoraki. “Lari terus Naisha, jangan kalah!!!!!!”

Naisha yang sedang mencoba memahami kondisinya saat itu (tapi sayang, sepertinya ia tak kuasa…), hanya bisa terisak-isak dengan air muka menyedihkan. Dalam sorak sorai bergembira, eh, sorak sorai riuh ramai yang mengisi daerah lapangan dan sekitarnya, ia bersumpah, “Pokoknya mulai sekarang gue kapok telat lagi!! Apalagi kalo disengajain! Nggak lagi-lagi deh!!”

Tapi suaranya tertelan oleh ramainya anak-anak yang berteriak.

Tak lama kemudian, sepasukan guru, satpam dan lain-lain yang tergabung dalam PKS alias Penjaga Keamanan Sekolah sudah mengerubungi tempat tersebut dan mengamankan alias menertibkan seluruh anak.

Bagi Naisha, hari tersebut merupakan hari ter-bad day sedunia.

 

Sementara itu, di dekat pos satpam yang letaknya masih beberapa belas meter jauhnya dari lapangan yang riuh, Bu Nawilis sedang memberikan hukuman push up pada seorang murid lagi yang juga datang terlambat.

“31… 32… 33… 34…, ayo terus Opin, biar badannya tambah gagah, tambah perkasa, biar makin banyak anak-anak perempuan yang suka… 39… 40… 41…”

Opin hah-heh-hoh kecapean sambil terus melanjutkan push upnya. (DSA)

 

 

(it’s dedicated to…me, to my sunlight,

 and his bodyguard)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain