Menangis.
Menangis ia di
bawah radiasi matahari. Matahari siang yang tak peduli pada umat manusia. Hanya
mengerjakan tugasnya.
Kiaracondong
siang yang tak begitu padat. Namun tingkat polusinya menimbulkan hujan asam.
Jalan layang yang kumuh, tempat puluhan kendaraan beradu dengan derunya yang
bergemuruh. Bangunan-bangunan kotor yang menjulang, tak memberi keteduhan
apa-apa. Tumpukan sampah menguarkan baunya. Apabila tidak terbiasa mana tahan.
Dari jarak 5 meter saja sudah tercium.
Menangis.
Masih ia
menangis. Anak sekecil itu mana peduli dengan kepedihan hidup? Ia hanya mampu
merasakan pengaruhnya, tidak menyadari, tidak memahami bahwa itu adalah bentuk
dari sebuah kepedihan hidup.
Ia menangis. Ia
mencari Emak. Ia tidak tahu di mana Emak.
Emak ke mana?
Pikirnya.
Duduk ia di
atas rel kereta api, dekat naungan keteduhan jembatan layang, namun ia tidak
berada di dalamnya. Ia biarkan sinar matahari membakar kulitnya, lagi, setiap
hari memang begitu.
Rambutnya yang
kemerahan. Kulitnya yang legam. Baju putihnya pun sudah tak terlihat lagi warna
putihnya. Satu-satunya warna cerah yang menempel di tubuhnya hanya jam tangan
hijau yang membalut pergelangan tangannya.
Ia mencari
Emak. Ia memanggil-manggilnya. Meratapi.
Namun semua
orang tak peduli. Mereka melangkahkan kakinya, menoleh hanya untuk melihat
siapa yang berteriak. Yang melengking sampai serak.
“EMAAAAAAAKKKK!”
Tangisannya
memecah siang yang sudah ramai.
Oh, mana Emak?
Ia katupkan
kedua matanya. Air matanya mengucur. Pita suaranya sudah soak. Saat gelombang
suaranya keluar dari situ untuk kembali memekik, mendesak-desak, sakit rasanya.
Sakit sekali.
Beberapa orang,
dari dekat, dari jauh, mulai memperhatikannya. Beberapa saja, tak lebih. Yang
lainnya pergi. Pergi semua. Beberapa yang bertahan untuk melihatnya pun hanya
diam saja. Untuk apa hanya melihat? Tapi ia pun tak berkenan orang-orang itu
mendekatinya.
Yang ada di
kepalanya sekarang hanya Emak. Emak di mana. Ia tidak tahu mengapa ia
membutuhkannya. Namun ia tetap memanggilnya.
Kiaracondong
yang terik, tak peduli.
Ia terbatuk. Ia
muntah. Muntah pun tak ada yang peduli. Ia lanjutkan saja tangisnya. Biar air
matanya habis, biar pita suaranya putus, biar suaranya tak kuasa lagi untuk
keluar.
Kiaracondong
yang kumuh, namun angkuh, tak peduli pada si kecil yang mencari Emak.
Hanya seorang
anak jalanan yang kumal, yang terlantar, sungguh kotor dan tak menarik.
Siapa yang
peduli?
D--- S-------- A---------,
30 November 2005,
Jam menunjukkan saat Dhuha,
Waktu Kelas X A--------- SMAN - Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar