Rabu, 30 November 2005

DIA MENCARI EMAK

Menangis.

Menangis ia di bawah radiasi matahari. Matahari siang yang tak peduli pada umat manusia. Hanya mengerjakan tugasnya.

Kiaracondong siang yang tak begitu padat. Namun tingkat polusinya menimbulkan hujan asam. Jalan layang yang kumuh, tempat puluhan kendaraan beradu dengan derunya yang bergemuruh. Bangunan-bangunan kotor yang menjulang, tak memberi keteduhan apa-apa. Tumpukan sampah menguarkan baunya. Apabila tidak terbiasa mana tahan. Dari jarak 5 meter saja sudah tercium.

Menangis.

Masih ia menangis. Anak sekecil itu mana peduli dengan kepedihan hidup? Ia hanya mampu merasakan pengaruhnya, tidak menyadari, tidak memahami bahwa itu adalah bentuk dari sebuah kepedihan hidup.

Ia menangis. Ia mencari Emak. Ia tidak tahu di mana Emak.

Emak ke mana? Pikirnya.

Duduk ia di atas rel kereta api, dekat naungan keteduhan jembatan layang, namun ia tidak berada di dalamnya. Ia biarkan sinar matahari membakar kulitnya, lagi, setiap hari memang begitu.

Rambutnya yang kemerahan. Kulitnya yang legam. Baju putihnya pun sudah tak terlihat lagi warna putihnya. Satu-satunya warna cerah yang menempel di tubuhnya hanya jam tangan hijau yang membalut pergelangan tangannya.

Ia mencari Emak. Ia memanggil-manggilnya. Meratapi.

Namun semua orang tak peduli. Mereka melangkahkan kakinya, menoleh hanya untuk melihat siapa yang berteriak. Yang melengking sampai serak.

“EMAAAAAAAKKKK!”

Tangisannya memecah siang yang sudah ramai.

Oh, mana Emak?

Ia katupkan kedua matanya. Air matanya mengucur. Pita suaranya sudah soak. Saat gelombang suaranya keluar dari situ untuk kembali memekik, mendesak-desak, sakit rasanya. Sakit sekali.

Beberapa orang, dari dekat, dari jauh, mulai memperhatikannya. Beberapa saja, tak lebih. Yang lainnya pergi. Pergi semua. Beberapa yang bertahan untuk melihatnya pun hanya diam saja. Untuk apa hanya melihat? Tapi ia pun tak berkenan orang-orang itu mendekatinya.

Yang ada di kepalanya sekarang hanya Emak. Emak di mana. Ia tidak tahu mengapa ia membutuhkannya. Namun ia tetap memanggilnya.

Kiaracondong yang terik, tak peduli.

Ia terbatuk. Ia muntah. Muntah pun tak ada yang peduli. Ia lanjutkan saja tangisnya. Biar air matanya habis, biar pita suaranya putus, biar suaranya tak kuasa lagi untuk keluar.

Kiaracondong yang kumuh, namun angkuh, tak peduli pada si kecil yang mencari Emak.

Hanya seorang anak jalanan yang kumal, yang terlantar, sungguh kotor dan tak menarik.

Siapa yang peduli?

 

 

 

D--- S-------- A---------,

30 November 2005,

Jam menunjukkan saat Dhuha, 

Waktu Kelas X A--------- SMAN - Bandung.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain