Saat aku membuka pintu, sosok itu sudah menungguku di sana.
“Udah,
ayo, ke sini aja…”
Aku
jelas tak kenal dia.
“Ya,
tapi kamu siapa?”
“Aku?
Panggil aja aku Teman. Yuk, ke sini. Di sini aman. Kamu di sini aja sama aku.”
“Saya
nggak kenal kamu…”
“Kamu
bakal kenal saya.”
“Nggak
ah, makasih. Saya mau di luar aja.” Aku hendak menutup pintu.
“Eh,
jangan. Udah, kamu di sini aja. Di sini enak kok, nggak ada yang ganggu.”
“Diganggu
siapa? Nggak ada yang mengganggu saya.”
“Ya,
tapi di sini aman. Kamu bakal suka di sini. Ayo di sini sama aku. Temenin aku.”
Pada
mulanya aku bingung. Ajakannya begitu meyakinkan. Sepertinya akan menyenangkan
bersamanya di pojok sana. Entah kenapa begitu menggiurkan. Karena dia sosok
yang dicari semua orang.
“Aku
nggak akan bikin kamu kesepian.”
“Oh…”
Dengan
ragu kaki-kakiku mendekatkan diriku pada dia. Sampailah aku di sebelahnya. Kini
kami berhadapan.
“Ya, Raden. Sekarang kita berteman.”
888
Seperti sore yang biasanya kala itu. Raden dan Teman hanya berdua dan berbagi dunia mereka bersama. Pintu kamar terkunci.
“Hai, Teman.
“Ternyata kita memang cocok. Saya senang berteman sama kamu,” Raden berkata.
“Tuh kan, aku bilang juga apa, gak usah ragu temenan sama aku. Aku akan di samping kamu hingga kamu terbang nanti.” Teman merangkul bahu Raden erat.
“Saya nggak akan terbang. Saya senang sama-sama kamu,” kata Raden pelan.
Teman terdiam.
888
“Raden, kenapa kita nongkrongnya di tempat ini terus? Aku bosan selalu liat dinding-dinding putih ini yang menaungi kita. Gimana kalau kita pergi cari tempat yang lebih enak, di luar kotak ini. Aku tau tempat-tempat yang seru,” kata Teman suatu hari.
“Ya, kamu benar. Lagian orangtua saya mulai bertanya-tanya kenapa saya senang sekali mengurung diri di kamar.”
“Tapi kamu
nggak bilang apa-apa kan?”
“Nggak. Mereka
nggak perlu tahu. Ini kan rahasia kita berdua aja.”
“Ya, Raden.
Orangtua selalu aja mau tahu. Besok kita nggak usah main di sini lagi. Aku tau
tempat di mana kamu bisa mendapatkan kebebasan kamu. Kamu bakal suka.”
“Ya. Asal sama-sama kamu.”
888
“Teman, tadi menyenangkan sekali. Lain kali kita pergi ke tempat itu lagi, ya.”
“Nggak, Raden. Kita bakal pergi ke tempat lain. Tempat yang lebih menarik dari itu. Lebih jauh. Lebih tinggi.”
888
“Teman,
hanya kamu yang bisa mengerti perasaan saya, tanpa saya harus berkata banyak.
Cuman kamu yang bisa memahami saya. Cuman kamu tempat saya bisa menumpahkan
segalanya. Kamu jangan pernah pergi dari samping saya.”
“Ada
apa, Raden? Kenapa kamu tiba-tiba bicara begitu?”
“Entahlah, Teman... Orangtua saya semakin sering membicarakan saya. Mereka sekarang jadi curiga setiap saya akan ke luar rumah dan selalu ingin tahu ke mana saya mau pergi. Kemarin malam saya dengar mereka sedang memperbincangkan saya. Mereka menyebut-nyebut ‘rumah sakit’. Saya nggak mau dengar kelanjutannya. Saya lalu berusaha cepat-cepat tidur.
“Apa saya harus mengatakan yang sebenarnya?”
“Jangan.
Mereka nggak akan percaya. Mereka bakal menjauhkan kamu dari aku. Mereka bakal
ngelarang kamu main ke tempat itu lagi. Dan juga tempat-tempat lainnya.
Tempat-tempat asik yang pernah maupun belum—namun bakal—kita kunjungi.”
“Jadi...”
“Iya,
kamu diam aja setiap kamu ketemu sama mereka.”
“ng...”
888
Berbulan-bulan
hingga bertahun-tahun akhirnya Raden berteman dengan Teman. Kedekatan di antara
mereka berdua kian erat. Suatu hari Teman mengajaknya pergi ke tempat yang
sangat tinggi, ke atap gedung pencakar langit. Teman langsung berdiri di tepi
sementara Raden baru melangkah.
“Teman,
ngapain kamu di situ? Nanti jatuh!”
“Nggak,
aku nggak akan jatuh.” Teman menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum. Kedua
tangan ia masukkan ke saku celana. Punggungnya membelakangi cakrawala. Begitu
santai ia berdiri di situ. Padahal satu langkah lagi ia mundur ke belakang,
kepalanya dapat membentur bumi dalam hitungan detik.
“Ayo,
ke sini. Ke tempat yang aman.”
“Kamu
aja yang ke sini. Di sini enak lo. Nggak apa-apa, nggak akan jatuh.”
“Iya,
tapi posisi kamu itu loh, rawan banget. Ayo, mendekat ke sini.”
“Di
sini aja, Raden.” Teman mengulurkan tangannya. Meminta Raden menggapainya.
Dengan ragu akhirnya tangan Raden menyambutnya. Kaki-kakinya membawanya dekat
ke tepi.
Kini
mereka berdua tengah menatap kota. Merasakan angin yang dengan semangat hendak
menerjang mereka ke belakang. Hawa sore hari mendamaikan pikiran. Mereka berdua
hanya menerawang.
“Lihat
Raden, seluruh kota. Rasanya seperti ingin memeluknya, ya kan?”
“Hm…”
“Raden,
ayo kita terbang.”
“Apa?!”
Raden tersentak. “Terbang? Maksud kamu apa?”
“Ya,
aku dan kamu, kita berdua terbang. Kita akan memeluk kota. Kita akan
mengendalikan segalanya.”
Raden
refleks mundur. Ia kaget mendengar perkataan Teman. “Becanda kamu, kita ada di
ketinggian berapa. Kalau ke bawah bisa mati kita.”
“Iya,
tapi kamu harus terbang!”
“Nggak
ah. Saya di sini saja. Kamu juga sebaiknya jangan—apa-apaan sih? Itu sama aja
kayak bunuh diri tahu. Kamu ini kenapa?”
Teman
hanya tersenyum. “Terbang Raden, ayo terbang. Kamu harus maju duluan.”
“Iya,
tapi kamu tahu nggak sih kita ini lagi ada di mana?”
Ekspresi
cemas Teman membayangi Raden. “Kenapa sih kamu takut terbang?”
Tanpa
banyak kata lagi Teman menarik tangan Raden dengan kuat dan mengirimnya ke
udara.
Raden
pun terbang melayang.
“Raden,
kalau kamu nggak mau terbang kamu cuman jadi penyakit. Parasit.”
“...”
“Selamat
tinggal Raden. Sebetulnya aku sedih kamu nggak bisa ikut terbang sama aku.”
Teman pun loncat. Tapi dia sungguh terbang membumbung. Tidak seperti Raden, sebentar lagi dia akan menubruk tanah.
888
Pasien
baru itu setiap saat hanya terpaku. Kepalanya masih dibalut perban akibat
percobaan bunuh diri yang dilakukannya beberapa minggu yang lalu. Dahulu ia
gemar bicara sendiri. Indikasi adanya schizophrenia, tapi kini tak sepatah kata
pun pernah keluar dari mulutnya lagi.
Namun matanya bicara banyak.
888
Teman, kenapa
kamu biarkan aku sendirian? Kenapa kamu biarkan aku terkurung dalam ruangan
dingin ini? Kenapa kamu biarkan mereka memakaikan aku pakaian ini? Kenapa kamu
biarkan mereka menjejalkan benda-benda pahit itu ke dalam mulutku? Kenapa kamu
berduplikasi, sebab saat mereka mengeluarkan aku dari balik jeruji aku lihat
kamu jadi banyak sekali dan berbicara pada tiap-tiap orang itu... Orang-orang
yang kini aku serupa dengan mereka. Orang-orang yang berpakaian sama... dan
mereka semua sakit jiwa. Memangnya siapa kamu sebenarnya, Teman? Kenapa kamu
menjeratku?
1 hari Pahlawan 2006 cukup
revisi 270207 2:31 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar