April 2007
1
Siang terik. Seorang anak manusia berwajah tidak rupawan
bernama Aze berjalan dengan muka mengerut menuju ke rumahnya. Tangannya
menarik-narik tali ransel yang sebetulnya berwarna pink—yang belum dicuci sejak
delapan bulan lalu, di mana tanpa sengaja ia ceburkan tasnya ke kubangan lumpur
saat sedang lintas alam. Kini tas itu terlihat seperti jambu air raksasa yang
terlalu lama direndam kotoran.
Ia sedang berada di tengah jalan beraspal ukuran dua
mobil yang terletak di tengah-tengah sawah luas nan hijau yang sering ia lewati
untuk memotong jalan. Beberapa puluh meter jauhnya di depan Aze ada sebuah
tikungan tajam. Di balik tikungan tersebut terdapat pagar tembok yang bolong
bagian bawahnya—seukuran tubuh manusia yang sedang nungging. Beberapa menit
lagi Aze akan merangkak melewatinya, menemukan sepetak tanah kosong yang
jauhnya hanya 100 meter dari rumahnya.
Ia yang baru pulang dari sekolah merasa harus ikut
sekolah akting untuk menghilangkan stresnya. Ya, dia sedang stres. Ia hanya
punya waktu dua hari sebelum hari Senin. Hari Senin adalah harinya eksak dimana
keempat pelajaran yang Agung akan diulangankan. Matematika, Kimia, Biologi,
Fisika. Ah, mending aku jadi TKW sajalah,
pikir gadis tersebut. Ulangan Fisikanya kemarin saja, yah, lumayan sih, bukan
yang paling kecil di kelas. Nilainya 17,25 untuk skala 100 dan nilai yang
paling besar adalah 95. Memalukan! Betapa
apesnya hidup ini kalau segala hal ditentukan dengan nilai.
Dia yang sedang kesal menendang benda-benda kecil yang
ada di depannya. Ia sekolah di SMA Negeri paling unggul, favorit, berkualitas
(katanya) dan blablabla di kotanya. Sebuah kota besar. Bandung namanya. Banyak
anak daerah yang ingin bersekolah di sekolah tersebut.
Aih, andai mereka tahu. Gadis itu masih membatin. Anak-anak yang ingin sekolah, andai mereka tahu kalau sekolah favorit
itu beginilah keadaannya, mereka pasti akan menyesal setelah masuk ke sana, mau
pakai beasiswa juga.
Ia mencoba menghilangkan stres pre ulangan eksakta dengan
mengatupkan kedua matanya. Membentangkan tangannya bagai burung yang hendak
terbang. Kepalanya menengadah ke atas. Mencoba mengheningkan cipta... Meresapi
langit kebiruan luas yang menaunginya. Aku
adalah burung. Ia mencoba menanamkan sugesti yang kiranya bisa membuat
kejenuhan di hatinya sirna perlahan. Seekor burung yang cantik, warnanya pink—kayak warna kesukaanku—terbang dengan
cueknya di belantara alam. Seekor burung
tidak pernah memikirkan ulangan eksakta, jadi buat apa aku mikirin itu? Aku
adalah burung... Aku adalah burung...Oohh...
Aze menutup mata, membentangkan tangan, menengadahkan
kepala, jalannya jadi zigzag tak beraturan di tengah jalan. Saat pagi hari,
banyak yang berolahraga di kawasan jalan ini. Sore harinya banyak diisi
anak-anak yang bermain layang-layang atau melepas merpati. Saat malam, ramai
dipakai ajang balapan motor. Namun saat siang suasananya sungguh sepi. Para
petani beristirahat pada jam segini, membuka bekal makan siang berupa nasi dan
ikan teri di saung mereka yang asri yang berada di tengah sawah. Aze merasa
jalan ini hanya miliknya sendiri karena nyaris tidak ada pemakai jalan lain. Ia
mulai menari-nari. Biarin ah, nggak ada
kendaraan ini...Nggak ada yang liat...
Masih.
Aku adalah burung... Seekor burung yang jelita tidak pernah memikirkan
ulangan dan remedial laknat...
“TEEENN!!!! TEN!!!!!” Matanya membuka seketika, pundaknya
naik karena kaget diterpa oleh suara klakson yang membahana dari depan sana.
Honda CBR dengan kecepatan tinggi itu berlari ke arahnya.
Hendak menabraknya.
2
Aze jarang menyukai sekolah. Baginya
sekolah hanyalah ajang main tempat ia bertemu dengan teman-temannya, bercanda
bergembira, tertawa ria sentosa... Momen yang paling asik untuk mengobrol
adalah di tengah jam pelajaran. Tidak ada bedanya dengan main bungee jumping atau joget poco-poco
di pinggir tebing; sama-sama mengadu adrenalin. Biar saja guru yang di depan
itu ngomong sampai berbusa. Mau didengarkan juga pikiran selalu mengawang-awang
entah ke mana. Hari itu Aze sudah kepergok dua guru sedang ngobrol di bangku
belakang.
Kalau tidak ngobrol maka ia akan menulis. Tulisannya tidak jauh dari
curahan hati khas anak sekolahan yang biasa ditemukan di bangku-bangku kayu
reot di kelas macam, “BT!”, “School sucks!”, “Sekolah mematikan potensi dan bakat terpendamku”,
“Sekolah bayarnya lebih mahal dari bayar rekening telepon sebulan,” “Buat apa
ikutan bimbel kalau ada sekolah? Emangnya sekolah aja nggak cukup?” “Sekolah memakan waktuku yang berharga bagai Nepenthes memakan lalat bulat-bulat...”
Suatu hari Aze kepergok saat sedang menulis yang beginian. Bu guru tersebut
menyuruhnya menulis di kertas, jangan merusak bangku kayu yang merupakan
properti sekolah. Sebagai hukuman ia harus menulis esai sebanyak 7 halaman
diketik komputer, font Times
New Roman, 12 pt, 1,5 line spacing. Dikumpulkan besok.
Besok harinya Aze
mengumpulkan tugas tersebut. Pulangnya ia dipanggil ke ruang kepala sekolah. Di
dalam sudah berjejer guru Kewarganegaraan, guru Bahasa Indonesia, dan
lain-lainnya. Mereka semua sepertinya hendak menghakimi Aze atas esai yang
dibuatnya.
Apa terlalu radikal ya? Pikir Aze senang, merasa dirinya keren karena selevel dengan
antek-antek Indische Partij.
Ya, benar, mereka menguliahi Aze.
Mungkin tulisan aku terlalu jujur kali ya? Yah, mau
gimana lagi sih, aku kan cuman manusia biasa berhati tulus. Aku kan cuman
nulisin apa yang aku tau tentang pendidikan di Indonesia. Memangnya aku nggak
boleh bilang kalau KBK itu bikin siswa kehabisan tinta dan kertas, juga bikin
murid kos-kosan repot bayar rental? Memangnya salah kalau aku bilang SPP di
sekolah ini terlalu mahal dan guru-gurunya mengabaikan potensi siswa-siswi yang
bukan dalam hal eksakta? Memangnya salah kalau aku bilang sekolah itu cuman
bikin murid yang rajin jadi tambah banyak kerjaan sementara murid yang malas
makin malas? Memangnya... Aze hanya bisa
menjulurkan lidah. Sikapnya itu membuat mereka makin ganas menerkamnya. Mereka
bilang sebagai murid SMAN Bilatung yang beradab ia tak sepatutnya berpikiran
seperti yang tercantum dalam esainya. Selain itu ia juga dituntut untuk tidak
bersikap kurang ajar seperti itu dan memerhatikan etika.
Alah, bawel.
“Murid-murid di sini emang cerdas, pintar, itu betul Pak. Namun, masih
banyak yang suka kongkalingkong konsolidasi manipulasi...”—sebetulnya Aze tidak
mengerti kata-kata ini—“guru-gurunya pada nggak tau. Kalau benar seperti yang
dikatakan iklan layanan masyarakat kalau murid-murid yang hobi begitu itu
berpotensi jadi koruptor, berarti nggak sedikit siswa yang udah maupun akan
lulus dari sini adalah calon koruptor masa depan. Dan kalau benar seorang
koruptor itu nggak pernah diberi pendidikan moral, itu artinya pendidikan di
SMA ini bisa dikatakan gagal, Pak. Trus ya, Pak, lulusan SMA ini kan banyak
yang masuk Institut Top Banget. Apa Bapak Ibu sekalian pernah baca artikel di
koran yang bilang kalau lulusan sana tuh ternyata banyak juga penganggurannya?
Bapak Ibu tau nggak apa sebabnya?”
Guru bahasa Indonesia konservatif bin feodal itu menyela dan
memperingatinya bahwa setelah Aze mengucapkan “Bapak Ibu” pada kalimat kedua dari
akhir ucapannya itu semestinya tidak ditambahi “sekalian”. Kalau dia tetap
begitu ia tidak akan lulus UAN.
Ah.
Kalau aku ngomong ini ke Pak Presiden dia pasti bakal
ngelus-ngelus kepala aku karena senang ma kecerdasan dan kejujuran aku. Kalau
omongan aku kedengeran ma para koruptor pasti mereka bakal nyewa pembunuh
bayaran... hay hay hay...
Aze hanya bisa berkhayal untuk menghabiskan menit-menit terakhirnya di
sini.
Sebelum menutup pintu ruang kepala sekolah, gadis kelas 2 SMA yang pernah
hampir tak naik kelas ini berkata dengan senyum sinis sok idealis. “Ya... orang
besar itu pikirannya luas kan ya, Pak...”
3
Siang itu Elmo merasa dirinya menjelma menjadi Valentino
Rossi. NaIk motor keren pemberian papanya tercinta dan ngebut dengan kecepatan
tinggi. Soal keamanan tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena helm yang
melindungi kepalanya ini bagus dan mahal. Sayangnya, ini bukan sirkuit,
melainkan jalan beraspal mulus nan sepi yang berada di tengah hamparan sawah.
Ia ingin cepat-cepat sampai rumah dan makan masakan echo markotop
pembantunya.
Di depan sana ada tikungan tajam. Ah, paling-paling nggak ada orang. Tancap terusss!!!
Ia salah kira, begitu belok ia menemukan seorang gadis berseragam
SMA yang sedang menutup mata, membentangkan tangan, menengadahkan kepala dan
menari-nari di tengah jalan.
Kepanikan kilat menyerbu otaknya. Bisa-bisanya ada gadis
bodoh yang berada dalam pose dan posisi seperti itu di tengah jalan sepi yang
ingin ia arungi untuk melepaskan nafsu pembalapnya yang liar. Sepertinya pula
gadis itu tidak sadar ada motor keren berkecepatan tinggi akan menghajarnya.
Elmo menekan klakson kuat-kuat. Ia tidak ingin kecelakaan itu terjadi. Ia
bergidik membayangkan itu. Diingatnya adegan per adegan film-film horor
Indonesia yang pernah ditontonnya. Saat gadis itu baru membuka mata dan baru
mau sadar akan tragedi yang nyaris menimpanya, Elmo sudah membanting stangnya
ke sebelah kiri—masih dengan kecepatan tinggi. Kemudian ia menikung lagi ke
sebelah kanan dan berhasil kembali ngebut di tengah jalan. Gadis itu juga
berhasil tidak ia tabrak. Meski begitu, ia menengok ke belakang untuk
melayangkan pandangan keji penuh dendam dan kemarahan untuk gadis tersebut,
yang sedang menengok ke belakang dengan sorot ketakutan. Elmo tidak bisa
melihat wajah gadis itu dengan jelas. Gadis itu sudah memalingkan wajahnya
duluan.
Elmo, yang ketika itu sedang menengok ke belakang, tidak
sadar ada mobil SUV hitam yang juga sedang melaju dengan kecepatan ultra ke
arahnya. Saat SUV tersebut mengklakson, ia baru sadar. Matanya yang bolor itu
melotot.
4
Elmo adalah seorang pemuda ganteng berkacamata yang banyak digemari
murid-murid perempuan di sekolahnya. Meski agak cunihin[1], tapi itu tidak mengurangi kharismanya yang begitu
memesona. Ia hanya memilih gadis-gadis berkulit putih dan imut yang—selevel
dengan kegantengannya—untuk dijadikan pacarnya. Yang lain, ah, hanya lumut!
Kagantengannya diimbangi dengan nilai-nilai pelajarannya yang selalu
stabil, tidak pernah begitu jeblok. Orangtuanya tidak pernah merasa sangat
kecewa atas nilai-nilai rapotnya. Apalagi kurikulum sekarang kan ada
remedialnya. Ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Itu prinsipnya yang
paling mendasar.
Keberhasilannya dalam nilai akademis tidak lepas dari bimbingan belajar
privat top nomor satu paling murah yang ada di Bandung. Letaknya cukup
strategis, meski agak jauh dari rumah. Nama bimbelnya adalah Brilliant Club.
Siang itu Elmo datang ke depan Mas Fahri, sang pengajar utama, dengan
senyum penuh keramahtamahan. Ia melepas jaket dan tas dan menaruhnya di kursi
sebelah yang masih kosong. Mas Fahri menatapnya penuh selidik.
“Kenapa kamu berseri-seri gitu, pasti ada yang nggak beres nih... Eh, iya,
kok jam segini udah pulang?”
“Aaah... Persiapan UAS gitu deh, Mas. Jadi pulangnya cepet.”
Elmo mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Secarik kertas yang terlipat.
Ia membuka lipatan kertas tersebut dan membentangkannya di depan mata Mas Fahri
dengan penuh kebahagiaan.
Hujan rintik-rintik mulai menyusup ke dalam pori-pori bumi. Sejenak Mas
Fahri mengkhawatirkan jemurannya.
“Liat ampe bolor nih Mas, hasil Try Out Elmo kemarin!” Elmo nyaris berteriak. Ia
sangat semangat dan antusias .”Dan yang kemarin, yang kemarinnya lagi yang
kemarinnya lagi..” Elmo mengeluarkan kertas-kertas lagi dari tasnya. Ia sudah janji
pada Mas Fahri untuk membawa semua hasil Try Out-nya hari ini. Bagus-bagus banget kan nilainya?! Ahh... Institut Top
Banget di depan mata... “Makasih, Mas atas jasa Mas selama ini! Elmo yakin
pasti bisa lulus SPMB, bisa masuk STEI—Sekolah Teknik Elektronika dan
Informasi— kayak impian Elmo selama
ini...”
Mas Fahri melihat bintang-bintang berpendar di mata Elmo.
“Ini pasti keajaiban alam...,” bisiknya takjub melihat bintang-bintang
tersebut. Hanya sekilat karena ia kemudian sadar untuk segera menanggapi Elmo
atau anak ini akan mengoceh terus. “Yah,
kamu bisa, Elmo!”
“Ya kan, Mas?! Jadi sekarang Elmo mau traktir Mas bakso!!”
“MANTAP!”
Mas Fahri mengacungkan kedua jempolnya sambil nyengir lebar memperlihatkan
deretan giginya yang rapi dan putih.
5
Motor Elmo meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah
pohon. Menabrak dengan suara yang mengenaskan. Si pengendara jatuh terpelanting
dari motor. Tubuhnya membentur badan jalan. Lalu terdengar bunyi ‘krakk’
menyedihkan. Bagian tubuhnya dari pinggang sampai kaki berada di bahu jalan,
sisanya berada hanya 5 cm dari ujung helai daun padi.
Kepalanya juga berada di bawah kakinya.
Elmo membuka matanya. Terdiam sesaat. Shock.
Mengira dirinya hanya bermimpi. Saat merasakan sakit menjalar ke sekujur
tubuhnya, ia meringis, “Ohow, Mamah...”
6
Setelah menangkap pandangan keji penuh dendam dan
kemarahan dari si pengendara motor dengan sorot mata ketakutan dan penuh rasa
bersalah, Aze cepat-cepat memalingkan mukanya. Berharap si pengemudi motor tak
sempat menghapal mukanya.
Saat ia berbalik itulah, suara yang membuat jantungnya
bagai terkena bom atom terdengar.
Ia menggigit bibirnya dan membuang pandangan ke bawah
samping. Kakinya serasa terpaku di tempat.
Gadis itu menengok, jantungnya masih berbunyi dag dig
dug. Wah, sepertinya bakal seru nih!
Pikirnya.
Saat ia melihat ke jalan di belakangnya, ada sebuah motor
dalam posisi tidur yang hancur karena menabrak pohon. Sementara itu si
pengemudinya berada dalam posisi yang mengindikasikan kondisi sakaratul maut.
Itu kan motor yang tadi ngebut, ya salahnya sendiri sih,
ngapain juga ngebut-ngebut. Gadis itu
tertawa dalam hati. Ya ampun... tabrakan
yang tadi nilai elastisitasnya berapa
ya?? Karena ia merasa kejadian itu sangat seru ia ingin sekali mendekati
tempat kejadian perkara.
Setelah agak dekat ia menyesal karena belum men-charge
hp kameranya.
Pengemudi motor celaka itu ternyata masih hidup. Ia
bangkit dari posisinya yang memprihatinkan dengan sudah payah dan melepaskan
helm standarnya dengan tangan kirinya, dan menampakkan wajahnya pada dunia.
Aze ternganga. Masya Allah. Cowok Ganteng!!
Nyesel! Nyesel!
Petani-petani bangkit dari istirahatnya dan bergegas
menuju ke arah korban kecelakaan. Sebagian besar lebih memilih untuk menolong
si pengendara SUV dulu, selain karena bodinya lebih bagus dan mewah, mobil ini
juga mahal harganya dan boros BBM. Pemiliknya pasti orang kaya. Setelah selesai
menolong pasti akan diberi tip.
Sebagian kecil, menuju ke arah si pengemudi motor.
Seorang memberdirikan motor, yang lainnya membantu si pengendara tersebut berdiri,
sambil menepuk-nepuk debu dari celana seragam SMA-nya. Setelah ia dapat berdiri
ia membungkuk dan memegang lengan kirinya. Ia mengernyit.
“Euh, sial,” umpatnya pelan dan tak terdengar siapapun.
“Oh, anjir...”
Ia terdengar menghayati. Aze yang mendengar menggumam,
“Ih, ganteng ganteng ngomongnya kasar yak...”
Tapi perasaan Aze pernah melihat Si Ganteng ini di
manaa.. gitu. Di mana yah?
Beberapa orang membantu orang ganteng tersebut ke pinggir
jalan agar tak menghalangi jalan kendaraan lain, begitupun dengan motornya.
Meskipun orang-orang telah membantu memapahnya, orang tersebut masih tampak
susah berjalan dan ekspresi wajahnya yang ganteng memancarkan kesakitan.
Wajahnya tegang, matanya celingukan. Mereka mendudukkannya di bangku kayu.
Pandangan Aze lalu berpindah, dari si orang ganteng lalu
ke mobil SUV hitam. Sesekali terdengar bunyi rrrr-rrr. Mobil yang terjebak
dalam lumpur itu tampaknya berusaha keluar.
Oh... ternyata ada mobil terbalik juga toh. Ajaib, ajaib.
Aze kembali kepada motor
yang sekarang sudah tidak begitu mirip motor lagi. Dan cowok ganteng yang sudah
tidak begitu utuh lagi. Untung mukanya tidak kenapa-napa.
“Mangkanya, tong ngebut-ngebut teuing, Jang,[2]” seseorang berkata.
“Ah enggak. Saya nggak ngebut kok. Kan bentar lagi SPMB,”
sangkal si pengendara motor tidak nyambung sambil mendelik aneh. Aze berjalan
mendekat, menyeruak kerumunan yang menghalangi pandangannya pada Si Ganteng
Celaka.
“Tadi ada mobil dari situ ngebut banget,” jelas Si
Ganteng, “Terus kan saya ngehindar.”
Mata si Ganteng celingukan seperti mencari-cari sesuatu,
tapi lehernya diam, kaku. Aneh juga. “Kayaknya mobil yang ngebut tadi itu
kecelakaan juga deh...”
Mata si Ganteng berhenti bergerak saat menangkap tubuh
Aze, yang ikut memerhatikannya meskipun tidak dari jarak sedekat orang-orang
yang menolongnya.
Aze terkesiap.
Si Ganteng geram.
“Oh ya,” kata si Ganteng lagi pelan-pelan, menahan amarah
yang seketika muncul menggelegak dalam dirinya, “Sebelum saya ngehindar dari
mobil itu, ada cewek aneh lagi joget-joget ngalangin di tengah jalan...”
Si Ganteng menatap Aze penuh dendam. Jelas cewek brengsek inilah yang tadi menari-nari tak jelas di tengah jalan tadi. Lalu mata Si Ganteng berpindah menatap lencana di kerah Aze, dan sabuk Aze. Lalu kaus kaki putihnya yang bertuliskan huruf-huruf balok hitam. Yang dengan lantang berbunyai SMAN Bilatung Bandung. Kaus kaki yang sama dengan yang dipakai Si Ganteng.
Tetes-tetes keringat di dahi dan punggung Aze menjadi
terasa sangat dingin. Pantesan pernah lihat. Ternyata orang ini kakak kelas
Aze. Yang dulu pas MOS jadi tatib sehingga kerap dilihatnya orang ini mondar
mandir dengan muka garang siap menerkam.
Aduh.
Dan para penolong itu kini mulai menoleh ke arahnya.
Aze memilih untuk
jadi oknum yang tidak bertanggung jawab seperti biasanya dan cepat-cepat kabur
dari situ.
Ia nyengir selebar mungkin ke arah mereka, berjalan
mundur lalu berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.
Sayup-sayup terdengar si Ganteng galak berteriak, “Hoy,
tangan gue patah neh!! Auw! Anjrit, gua gak bisa nengok juga! Aduh, Pak, ngapunten,
mbok ya ojo mentang-mentang patah lantas dipegang-pegang yaa...”
Aze berhenti sejenak dan hati nuraninya berbisik agar ia
mengakui perbuatannya dan bertanggung jawab dan membawa orang tersebut ke dukun
patah tulang untuk digips dan ia yang harus membiayainya.
Muncul suara yang menyatakan setuju tapi mengingat
kondisi ekonomi dan budaya keluarganya sedang mengalami dekadensi maka ia
memutuskan kembali ke rencana awal; pergi dari situ, pulang ke rumah dan
memotong kuku.
Aze terhibur dengan sisi lain hatinya yang mengatakan
bahwa itu sudah takdir Tuhan buat Si Ganteng Celaka yang datang melalui dirinya
dan pohon sial tersebut dan... sudahlah, itu urusan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar