Minggu, 06 Januari 2008

Jangan Merasa Berkuasa di Tengah Jalan Sepi

April 2007


1

Siang terik. Seorang anak manusia berwajah tidak rupawan bernama Aze berjalan dengan muka mengerut menuju ke rumahnya. Tangannya menarik-narik tali ransel yang sebetulnya berwarna pink—yang belum dicuci sejak delapan bulan lalu, di mana tanpa sengaja ia ceburkan tasnya ke kubangan lumpur saat sedang lintas alam. Kini tas itu terlihat seperti jambu air raksasa yang terlalu lama direndam kotoran.

Ia sedang berada di tengah jalan beraspal ukuran dua mobil yang terletak di tengah-tengah sawah luas nan hijau yang sering ia lewati untuk memotong jalan. Beberapa puluh meter jauhnya di depan Aze ada sebuah tikungan tajam. Di balik tikungan tersebut terdapat pagar tembok yang bolong bagian bawahnya—seukuran tubuh manusia yang sedang nungging. Beberapa menit lagi Aze akan merangkak melewatinya, menemukan sepetak tanah kosong yang jauhnya hanya 100 meter dari rumahnya.

Ia yang baru pulang dari sekolah merasa harus ikut sekolah akting untuk menghilangkan stresnya. Ya, dia sedang stres. Ia hanya punya waktu dua hari sebelum hari Senin. Hari Senin adalah harinya eksak dimana keempat pelajaran yang Agung akan diulangankan. Matematika, Kimia, Biologi, Fisika. Ah, mending aku jadi TKW sajalah, pikir gadis tersebut. Ulangan Fisikanya kemarin saja, yah, lumayan sih, bukan yang paling kecil di kelas. Nilainya 17,25 untuk skala 100 dan nilai yang paling besar adalah 95. Memalukan! Betapa apesnya hidup ini kalau segala hal ditentukan dengan nilai.

Dia yang sedang kesal menendang benda-benda kecil yang ada di depannya. Ia sekolah di SMA Negeri paling unggul, favorit, berkualitas (katanya) dan blablabla di kotanya. Sebuah kota besar. Bandung namanya. Banyak anak daerah yang ingin bersekolah di sekolah tersebut.

Aih, andai mereka tahu. Gadis itu masih membatin. Anak-anak yang ingin sekolah, andai mereka tahu kalau sekolah favorit itu beginilah keadaannya, mereka pasti akan menyesal setelah masuk ke sana, mau pakai beasiswa juga.

Ia mencoba menghilangkan stres pre ulangan eksakta dengan mengatupkan kedua matanya. Membentangkan tangannya bagai burung yang hendak terbang. Kepalanya menengadah ke atas. Mencoba mengheningkan cipta... Meresapi langit kebiruan luas yang menaunginya. Aku adalah burung. Ia mencoba menanamkan sugesti yang kiranya bisa membuat kejenuhan di hatinya sirna perlahan. Seekor burung yang cantik, warnanya pink—kayak warna kesukaanku—terbang dengan cueknya di belantara alam. Seekor burung tidak pernah memikirkan ulangan eksakta, jadi buat apa aku mikirin itu? Aku adalah burung... Aku adalah burung...Oohh...

Aze menutup mata, membentangkan tangan, menengadahkan kepala, jalannya jadi zigzag tak beraturan di tengah jalan. Saat pagi hari, banyak yang berolahraga di kawasan jalan ini. Sore harinya banyak diisi anak-anak yang bermain layang-layang atau melepas merpati. Saat malam, ramai dipakai ajang balapan motor. Namun saat siang suasananya sungguh sepi. Para petani beristirahat pada jam segini, membuka bekal makan siang berupa nasi dan ikan teri di saung mereka yang asri yang berada di tengah sawah. Aze merasa jalan ini hanya miliknya sendiri karena nyaris tidak ada pemakai jalan lain. Ia mulai menari-nari. Biarin ah, nggak ada kendaraan ini...Nggak ada yang liat...

Masih.

Aku adalah burung... Seekor burung yang jelita tidak pernah memikirkan ulangan dan remedial laknat...

“TEEENN!!!! TEN!!!!!” Matanya membuka seketika, pundaknya naik karena kaget diterpa oleh suara klakson yang membahana dari depan sana.

Honda CBR dengan kecepatan tinggi itu berlari ke arahnya. Hendak menabraknya.

 

2

Aze  jarang menyukai sekolah. Baginya sekolah hanyalah ajang main tempat ia bertemu dengan teman-temannya, bercanda bergembira, tertawa ria sentosa... Momen yang paling asik untuk mengobrol adalah di tengah jam pelajaran. Tidak ada bedanya dengan main bungee jumping atau joget poco-poco di pinggir tebing; sama-sama mengadu adrenalin. Biar saja guru yang di depan itu ngomong sampai berbusa. Mau didengarkan juga pikiran selalu mengawang-awang entah ke mana. Hari itu Aze sudah kepergok dua guru sedang ngobrol di bangku belakang.

Kalau tidak ngobrol maka ia akan menulis. Tulisannya tidak jauh dari curahan hati khas anak sekolahan yang biasa ditemukan di bangku-bangku kayu reot di kelas macam, “BT!”, “School sucks!”, “Sekolah mematikan potensi dan bakat terpendamku”, “Sekolah bayarnya lebih mahal dari bayar rekening telepon sebulan,” “Buat apa ikutan bimbel kalau ada sekolah? Emangnya sekolah aja nggak cukup?”  “Sekolah memakan waktuku yang berharga bagai Nepenthes memakan lalat bulat-bulat...”

Suatu hari Aze kepergok saat sedang menulis yang beginian. Bu guru tersebut menyuruhnya menulis di kertas, jangan merusak bangku kayu yang merupakan properti sekolah. Sebagai hukuman ia harus menulis esai sebanyak 7 halaman diketik komputer, font Times New Roman, 12 pt, 1,5 line spacing. Dikumpulkan besok.

Besok harinya Aze mengumpulkan tugas tersebut. Pulangnya ia dipanggil ke ruang kepala sekolah. Di dalam sudah berjejer guru Kewarganegaraan, guru Bahasa Indonesia, dan lain-lainnya. Mereka semua sepertinya hendak menghakimi Aze atas esai yang dibuatnya.

Apa terlalu radikal ya? Pikir Aze senang, merasa dirinya keren karena selevel dengan antek-antek Indische Partij.

Ya, benar, mereka menguliahi Aze.

Mungkin tulisan aku terlalu jujur kali ya? Yah, mau gimana lagi sih, aku kan cuman manusia biasa berhati tulus. Aku kan cuman nulisin apa yang aku tau tentang pendidikan di Indonesia. Memangnya aku nggak boleh bilang kalau KBK itu bikin siswa kehabisan tinta dan kertas, juga bikin murid kos-kosan repot bayar rental? Memangnya salah kalau aku bilang SPP di sekolah ini terlalu mahal dan guru-gurunya mengabaikan potensi siswa-siswi yang bukan dalam hal eksakta? Memangnya salah kalau aku bilang sekolah itu cuman bikin murid yang rajin jadi tambah banyak kerjaan sementara murid yang malas makin malas? Memangnya... Aze hanya bisa menjulurkan lidah. Sikapnya itu membuat mereka makin ganas menerkamnya. Mereka bilang sebagai murid SMAN Bilatung yang beradab ia tak sepatutnya berpikiran seperti yang tercantum dalam esainya. Selain itu ia juga dituntut untuk tidak bersikap kurang ajar seperti itu dan memerhatikan etika.

Alah, bawel.

“Murid-murid di sini emang cerdas, pintar, itu betul Pak. Namun, masih banyak yang suka kongkalingkong konsolidasi manipulasi...”—sebetulnya Aze tidak mengerti kata-kata ini—“guru-gurunya pada nggak tau. Kalau benar seperti yang dikatakan iklan layanan masyarakat kalau murid-murid yang hobi begitu itu berpotensi jadi koruptor, berarti nggak sedikit siswa yang udah maupun akan lulus dari sini adalah calon koruptor masa depan. Dan kalau benar seorang koruptor itu nggak pernah diberi pendidikan moral, itu artinya pendidikan di SMA ini bisa dikatakan gagal, Pak. Trus ya, Pak, lulusan SMA ini kan banyak yang masuk Institut Top Banget. Apa Bapak Ibu sekalian pernah baca artikel di koran yang bilang kalau lulusan sana tuh ternyata banyak juga penganggurannya? Bapak Ibu tau nggak apa sebabnya?”

Guru bahasa Indonesia konservatif bin feodal itu menyela dan memperingatinya bahwa setelah Aze mengucapkan “Bapak Ibu” pada kalimat kedua dari akhir ucapannya itu semestinya tidak ditambahi “sekalian”. Kalau dia tetap begitu ia tidak akan lulus UAN.

 Ah.

Kalau aku ngomong ini ke Pak Presiden dia pasti bakal ngelus-ngelus kepala aku karena senang ma kecerdasan dan kejujuran aku. Kalau omongan aku kedengeran ma para koruptor pasti mereka bakal nyewa pembunuh bayaran... hay hay hay...

Aze hanya bisa berkhayal untuk menghabiskan menit-menit terakhirnya di sini.

Sebelum menutup pintu ruang kepala sekolah, gadis kelas 2 SMA yang pernah hampir tak naik kelas ini berkata dengan senyum sinis sok idealis. “Ya... orang besar itu pikirannya luas kan ya, Pak...”

 

3

Siang itu Elmo merasa dirinya menjelma menjadi Valentino Rossi. NaIk motor keren pemberian papanya tercinta dan ngebut dengan kecepatan tinggi. Soal keamanan tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena helm yang melindungi kepalanya ini bagus dan mahal. Sayangnya, ini bukan sirkuit, melainkan jalan beraspal mulus nan sepi yang berada di tengah hamparan sawah.

Ia ingin cepat-cepat sampai rumah dan makan masakan echo markotop pembantunya.

Di depan sana ada tikungan tajam. Ah, paling-paling nggak ada orang. Tancap terusss!!!

Ia salah kira, begitu belok ia menemukan seorang gadis berseragam SMA yang sedang menutup mata, membentangkan tangan, menengadahkan kepala dan menari-nari di tengah jalan.

Kepanikan kilat menyerbu otaknya. Bisa-bisanya ada gadis bodoh yang berada dalam pose dan posisi seperti itu di tengah jalan sepi yang ingin ia arungi untuk melepaskan nafsu pembalapnya yang liar. Sepertinya pula gadis itu tidak sadar ada motor keren berkecepatan tinggi akan menghajarnya. Elmo menekan klakson kuat-kuat. Ia tidak ingin kecelakaan itu terjadi. Ia bergidik membayangkan itu. Diingatnya adegan per adegan film-film horor Indonesia yang pernah ditontonnya. Saat gadis itu baru membuka mata dan baru mau sadar akan tragedi yang nyaris menimpanya, Elmo sudah membanting stangnya ke sebelah kiri—masih dengan kecepatan tinggi. Kemudian ia menikung lagi ke sebelah kanan dan berhasil kembali ngebut di tengah jalan. Gadis itu juga berhasil tidak ia tabrak. Meski begitu, ia menengok ke belakang untuk melayangkan pandangan keji penuh dendam dan kemarahan untuk gadis tersebut, yang sedang menengok ke belakang dengan sorot ketakutan. Elmo tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Gadis itu sudah memalingkan wajahnya duluan.

Elmo, yang ketika itu sedang menengok ke belakang, tidak sadar ada mobil SUV hitam yang juga sedang melaju dengan kecepatan ultra ke arahnya. Saat SUV tersebut mengklakson, ia baru sadar. Matanya yang bolor itu melotot.

 

4

Elmo adalah seorang pemuda ganteng berkacamata yang banyak digemari murid-murid perempuan di sekolahnya. Meski agak cunihin[1], tapi itu tidak mengurangi kharismanya yang begitu memesona. Ia hanya memilih gadis-gadis berkulit putih dan imut yang—selevel dengan kegantengannya—untuk dijadikan pacarnya. Yang lain, ah, hanya lumut!

Kagantengannya diimbangi dengan nilai-nilai pelajarannya yang selalu stabil, tidak pernah begitu jeblok. Orangtuanya tidak pernah merasa sangat kecewa atas nilai-nilai rapotnya. Apalagi kurikulum sekarang kan ada remedialnya. Ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Itu prinsipnya yang paling mendasar.

Keberhasilannya dalam nilai akademis tidak lepas dari bimbingan belajar privat top nomor satu paling murah yang ada di Bandung. Letaknya cukup strategis, meski agak jauh dari rumah. Nama bimbelnya adalah Brilliant Club.

Siang itu Elmo datang ke depan Mas Fahri, sang pengajar utama, dengan senyum penuh keramahtamahan. Ia melepas jaket dan tas dan menaruhnya di kursi sebelah yang masih kosong. Mas Fahri menatapnya penuh selidik.

“Kenapa kamu berseri-seri gitu, pasti ada yang nggak beres nih... Eh, iya, kok jam segini udah pulang?”

“Aaah... Persiapan UAS gitu deh, Mas. Jadi pulangnya cepet.”

Elmo mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Secarik kertas yang terlipat. Ia membuka lipatan kertas tersebut dan membentangkannya di depan mata Mas Fahri dengan penuh kebahagiaan.

Hujan rintik-rintik mulai menyusup ke dalam pori-pori bumi. Sejenak Mas Fahri mengkhawatirkan jemurannya.

“Liat ampe bolor nih Mas, hasil Try Out Elmo kemarin!” Elmo nyaris berteriak. Ia sangat semangat dan antusias .”Dan yang kemarin, yang kemarinnya lagi yang kemarinnya lagi..” Elmo mengeluarkan kertas-kertas lagi dari tasnya. Ia sudah janji pada Mas Fahri untuk membawa semua hasil Try Out-nya hari ini. Bagus-bagus banget kan nilainya?! Ahh... Institut Top Banget di depan mata... “Makasih, Mas atas jasa Mas selama ini! Elmo yakin pasti bisa lulus SPMB, bisa masuk STEI—Sekolah Teknik Elektronika dan Informasi— kayak  impian Elmo selama ini...”

Mas Fahri melihat bintang-bintang berpendar di mata Elmo.

“Ini pasti keajaiban alam...,” bisiknya takjub melihat bintang-bintang tersebut. Hanya sekilat karena ia kemudian sadar untuk segera menanggapi Elmo atau anak ini akan mengoceh terus.  “Yah, kamu bisa, Elmo!”

“Ya kan, Mas?! Jadi sekarang Elmo mau traktir Mas bakso!!”

“MANTAP!”

Mas Fahri mengacungkan kedua jempolnya sambil nyengir lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.

 

5

Motor Elmo meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah pohon. Menabrak dengan suara yang mengenaskan. Si pengendara jatuh terpelanting dari motor. Tubuhnya membentur badan jalan. Lalu terdengar bunyi ‘krakk’ menyedihkan. Bagian tubuhnya dari pinggang sampai kaki berada di bahu jalan, sisanya berada hanya 5 cm dari ujung helai daun padi.

Kepalanya juga berada di bawah kakinya.

Elmo membuka matanya. Terdiam sesaat. Shock. Mengira dirinya hanya bermimpi. Saat merasakan sakit menjalar ke sekujur tubuhnya, ia meringis, “Ohow, Mamah...”

 

6

Setelah menangkap pandangan keji penuh dendam dan kemarahan dari si pengendara motor dengan sorot mata ketakutan dan penuh rasa bersalah, Aze cepat-cepat memalingkan mukanya. Berharap si pengemudi motor tak sempat menghapal mukanya.

Saat ia berbalik itulah, suara yang membuat jantungnya bagai terkena bom atom terdengar.

Ia menggigit bibirnya dan membuang pandangan ke bawah samping. Kakinya serasa terpaku di tempat.

Gadis itu menengok, jantungnya masih berbunyi dag dig dug. Wah, sepertinya bakal seru nih! Pikirnya.

Saat ia melihat ke jalan di belakangnya, ada sebuah motor dalam posisi tidur yang hancur karena menabrak pohon. Sementara itu si pengemudinya berada dalam posisi yang mengindikasikan kondisi sakaratul maut.

Itu kan motor yang tadi ngebut, ya salahnya sendiri sih, ngapain juga ngebut-ngebut. Gadis itu tertawa dalam hati. Ya ampun... tabrakan yang tadi nilai  elastisitasnya berapa ya?? Karena ia merasa kejadian itu sangat seru ia ingin sekali mendekati tempat kejadian perkara.

Setelah agak dekat ia menyesal karena belum men-charge hp kameranya.

Pengemudi motor celaka itu ternyata masih hidup. Ia bangkit dari posisinya yang memprihatinkan dengan sudah payah dan melepaskan helm standarnya dengan tangan kirinya, dan menampakkan wajahnya pada dunia.

Aze ternganga. Masya Allah. Cowok Ganteng!!

Nyesel! Nyesel!

Petani-petani bangkit dari istirahatnya dan bergegas menuju ke arah korban kecelakaan. Sebagian besar lebih memilih untuk menolong si pengendara SUV dulu, selain karena bodinya lebih bagus dan mewah, mobil ini juga mahal harganya dan boros BBM. Pemiliknya pasti orang kaya. Setelah selesai menolong pasti akan diberi tip.

Sebagian kecil, menuju ke arah si pengemudi motor. Seorang memberdirikan motor, yang lainnya membantu si pengendara tersebut berdiri, sambil menepuk-nepuk debu dari celana seragam SMA-nya. Setelah ia dapat berdiri ia membungkuk dan memegang lengan kirinya. Ia mengernyit.

“Euh, sial,” umpatnya pelan dan tak terdengar siapapun. “Oh, anjir...”

Ia terdengar menghayati. Aze yang mendengar menggumam, “Ih, ganteng ganteng ngomongnya kasar yak...”

Tapi perasaan Aze pernah melihat Si Ganteng ini di manaa.. gitu. Di mana yah?

Beberapa orang membantu orang ganteng tersebut ke pinggir jalan agar tak menghalangi jalan kendaraan lain, begitupun dengan motornya. Meskipun orang-orang telah membantu memapahnya, orang tersebut masih tampak susah berjalan dan ekspresi wajahnya yang ganteng memancarkan kesakitan. Wajahnya tegang, matanya celingukan. Mereka mendudukkannya di bangku kayu.

Pandangan Aze lalu berpindah, dari si orang ganteng lalu ke mobil SUV hitam. Sesekali terdengar bunyi rrrr-rrr. Mobil yang terjebak dalam lumpur itu tampaknya berusaha keluar.

Oh... ternyata ada mobil terbalik juga toh. Ajaib, ajaib.

Aze kembali kepada motor yang sekarang sudah tidak begitu mirip motor lagi. Dan cowok ganteng yang sudah tidak begitu utuh lagi. Untung mukanya tidak kenapa-napa.

Mangkanya, tong ngebut-ngebut teuing, Jang,[2]” seseorang berkata.

“Ah enggak. Saya nggak ngebut kok. Kan bentar lagi SPMB,” sangkal si pengendara motor tidak nyambung sambil mendelik aneh. Aze berjalan mendekat, menyeruak kerumunan yang menghalangi pandangannya pada Si Ganteng Celaka.

“Tadi ada mobil dari situ ngebut banget,” jelas Si Ganteng, “Terus kan saya ngehindar.”

Mata si Ganteng celingukan seperti mencari-cari sesuatu, tapi lehernya diam, kaku. Aneh juga. “Kayaknya mobil yang ngebut tadi itu kecelakaan juga deh...”

Mata si Ganteng berhenti bergerak saat menangkap tubuh Aze, yang ikut memerhatikannya meskipun tidak dari jarak sedekat orang-orang yang menolongnya.

Aze terkesiap.

Si Ganteng geram.

“Oh ya,” kata si Ganteng lagi pelan-pelan, menahan amarah yang seketika muncul menggelegak dalam dirinya, “Sebelum saya ngehindar dari mobil itu, ada cewek aneh lagi joget-joget ngalangin di tengah jalan...”

Si Ganteng menatap Aze penuh dendam. Jelas cewek brengsek inilah yang tadi menari-nari tak jelas di tengah jalan tadi. Lalu mata Si Ganteng berpindah menatap lencana di kerah Aze, dan sabuk Aze. Lalu kaus kaki putihnya yang bertuliskan huruf-huruf balok hitam. Yang dengan lantang berbunyai SMAN Bilatung Bandung. Kaus kaki yang sama dengan yang dipakai Si Ganteng.

Tetes-tetes keringat di dahi dan punggung Aze menjadi terasa sangat dingin. Pantesan pernah lihat. Ternyata orang ini kakak kelas Aze. Yang dulu pas MOS jadi tatib sehingga kerap dilihatnya orang ini mondar mandir dengan muka garang siap menerkam.

Aduh.

Dan para penolong itu kini mulai menoleh ke arahnya.

 Aze memilih untuk jadi oknum yang tidak bertanggung jawab seperti biasanya dan cepat-cepat kabur dari situ.

Ia nyengir selebar mungkin ke arah mereka, berjalan mundur lalu berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.

Sayup-sayup terdengar si Ganteng galak berteriak, “Hoy, tangan gue patah neh!! Auw! Anjrit, gua gak bisa nengok juga! Aduh, Pak, ngapunten, mbok ya ojo mentang-mentang patah lantas dipegang-pegang yaa...”

Aze berhenti sejenak dan hati nuraninya berbisik agar ia mengakui perbuatannya dan bertanggung jawab dan membawa orang tersebut ke dukun patah tulang untuk digips dan ia yang harus membiayainya.

Muncul suara yang menyatakan setuju tapi mengingat kondisi ekonomi dan budaya keluarganya sedang mengalami dekadensi maka ia memutuskan kembali ke rencana awal; pergi dari situ, pulang ke rumah dan memotong kuku.

Aze terhibur dengan sisi lain hatinya yang mengatakan bahwa itu sudah takdir Tuhan buat Si Ganteng Celaka yang datang melalui dirinya dan pohon sial tersebut dan... sudahlah, itu urusan Tuhan.



[1] Genit

[2] Makanya, jangan terlalu ngebut, nak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain