Minggu, 20 Januari 2008

Rasain!

1

Angkot Kalapa Dago. Aze sedang berangkat sekolah. Seperti yang sudah-sudah, di tengah-tengah minggu seperti ini, semangat Aze sedang berada di titik nadir. Jadi baru pukul 06.15 pagi kayak sekarang juga Aze sudah menyandarkan kepalanya di pojok angkot, memejamkan mata.

Tidak juga sih. Selalu saja ada hal yang menggelisahkan pikirannya pagi-pagi begini, yang pasti masih ada hubungan dengan sekolah dan seisinya, sehingga ia tidak bisa benar-benar pulas. Padahal tahun ajaran sudah mau berakhir. Ada untungnya juga ia tidak bisa pulas. Ia nyaris tidak pernah kebablasan naik angkot. Kalau sudah sampai Taman Lalu Lalang dekat sekolah, ia pasti bangun. Kalau tidak, ia akan telat dan baru diperbolehkan masuk lingkungan sekolah pada jam pelajaran kedua.

Dan kali ini, hal yang menggelisahkan pikirannya adalah hal yang cukup gawat. Perihal ia yang kemarin dipanggil guru Kimianya dan diberi tahu bahwa semua remedial dari remedial ulangan hariannya tidak ada yang cukup nilainya. Oh iya, kalau sudah pakai kata ‘peri’ jangan diteruskan kata ‘hal’. Argh.

Aze tidak bisa memejamkan mata lagi karena terlalu gelisah. Seolah tidak cukup akhir-akhir ini pikiran Aze didera oleh bayangan cowok ganteng yang ternyata adalah kakak kelasnya, yang dua hari lalu ia bikin celaka.

Ah, Taman Lalu Lalang. Pas banget.

“Kiri, ki..,”Aze hendak berseru, sebelum ia mangap kaget.

Di trotoar, di sebelah angkot Aze, baru saja turun dari angkot di depannya. Lambat-lambat berjalan dengan tangan kiri digips dan digantung di lehernya yang juga dibalut sesuatu berwarna putih, dia.

Anjir.

 

2         

Turun dari angkot, Elmo bengong sebentar, melihat-lihat suasana sesaat sebelum bel SMAN Bilatung berbunyi pada pukul 06.30 pagi. Oh, jadi kayak gini ya, yang dialami anak-anak yang ke sekolah naik angkot tiap hari. Elmo nyengir-nyengir sombong sendiri. Dia kan ke sekolah tidak pernah naik angkot, dari kelas satu juga.

Bel sekolah mulai melengking, membelah udara yang penuh jeritan klakson kendaraan dan deru mesinnya. Elmo tersentak, ia harus bergegas. Eh iya, dia kan sudah UN. Tinggal ujian praktek dan UAS paling. Sama prom. Oh iya, dia kan mau mengambil jaket angkatan dan buku tahunan juga. Mudah-mudahan ngambilnya nggak usah langsung ke anak-anak mading kelas dua yang kecentilan itu...

Elmo berjalan lambat-lambat, tanpa memedulikan anak-anak kelas satu dan dua yang berlarian di sekelilingnya. Kasihan, sebentar lagi mereka naik kelas. Lebih kasihan lagi yang dari kelas 1 ke 2 IPA 9 —seperti dia dulu—, kelas paling ujung dan letaknya di lantai 3. Tapi enak juga sih. Gurunya jarang datang.

Tiba-tiba seorang cewek dengan ransel pink buluk melesat melewatinya, dengan sembrono menyebrang jalan, dan terus berlari masuk gerbang samping sekolahnya yang khusus dipakai oleh murid setelah sebelumnya dibentak guru piket karena masih pakai jaket. Haha, dasar tolol. Bodoh. Kenapa ya, kata-kata yang maknanya menyatakan kerendahan kapasitas intelektual selalu berhuruf vokal ‘o’? Goblok juga gitu misalnya. Pikiran Elmo mengembara ke ranah-ranah tidak penting sambil mengikuti cewek berkapasitas intelektual rendah itu dengan pandangannya.

Ransel pink buluk. Elmo membeku di tengah langkahnya menyebrangi jalan.

Ya ampun. Cewek laknat itu.

“TTIIIIIIIIIINN!!!!!!!”

Elmo terlonjak kaget.

Sebuah angkot Antapani-Ciroyom mengerem mendadak saat jaraknya tinggal 5 cm dari Elmo. Sopirnya menyumpah-nyumpah dari dalamnya. Menyebutkan satu persatu kata-kata yang tadi terlintas di benak Elmo.

Elmo cepat-cepat meneruskan langkahnya menyeberang jalan.

Karma + nasib jelek.

 

3

Meski jumlah kendaraan bermotornya makin banyak, Bandung tetap terkenal dengan hawanya yang dingin. Lebih dingin dari Jogja, apalagi Surabaya. Apalagi kalau siang-siang duduk di lantai, lama menahan akhirnya tak kan kuat untuk segera mencari ‘kesetimbangan’ pada sebuah tempat yang disebut ‘belakang’.

Pagi ini para murid SMAN Bilatung Bandung mencairkan kedinginan itu dengan saling menyapa orang-orang yang mereka kenal begitu memasuki gerbang. Kedinginan itu dicairkan oleh kehangatan dan keceriaan masa muda, sebelum mereka menjadi orang bertangan dingin kebanggaan presiden nantinya.

Aze merasakan tangan dingin itu menyentuh pundaknya.

Pucat, ia menoleh. Oh, bagus. Itu temannya yang berasal dari daerah dingin di pinggiran Bandung. Menyapanya.

“Hei...”

“Oh. Hai,” balas Aze menyapa masih dengan ekspresi tegang,

Heuh, untung... untung bukan dia.

Dingin itu menusuk. Merasuk. Bagaimana ya rasanya kalau sudah dingin karena cuaca, dingin pula karena sesuatu yang lain? Apakah itu? Bisa keringat dingin. Bulu kuduk merinding. Bisa juga karena hati yang dingin. Wuow.

Itulah yang dirasakan Aze. Ia bukanlah jenis anak yang bisa berkepala dingin dan bertangan dingin sekaligus dalam suatu kondisi yang krusial—karena tidak terlalu bisa diandalkan dalam segala hal. Tapi ia cukup peka dalam merasakan keberadaan hati yang dingin. Atau mungkin... terbakar api kemarahan...? Bukan dingin dong namanya kalau begitu. Intinya keringat dingin mengindikasikan adanya ketegangan. Dalam Fisika, ketegangan itu sebanding dengan peregangan. Aze merasa ini bukan saatnya untuk meregangkan diri dan rileks.

Ngapain dia dateng kemaren? UN kan udah lewat....

“Kenapa, Ze? Kok tegang gitu?” tanya sang teman, jujur dan inosen.

“Ng....” Aze agak menerawang, mencari ilham darimanakah gerangan datangnya perasaan buruk ini. Yayaya, ia tahu sebenarnya perasaan ini datangnya dari mana. Ia hanya mencoba menguji keilmiahannya seperti yang dilakukan anak SMAN Bilatung lainnya apabila sedang menghadapi suatu permasalahan. Pemecahan permasalahan berbasis metode ilmiah. Kesannya gimana gitu. Pak Presiden pasti bangga! “Kita... bareng yuk ke kelas.”

Sang teman menatap Aze heran.

Hingga datangnya sebuah cobaan menghadang yang begitu tiba-tiba. Sebuah tangan kokoh nan sigap menghunjam kuat pundak Aze yang langsung lunglai tak berdaya. Menariknya. Menghentakkannya. Hingga tubuh Aze berbalik sepenuhnya berhadapan dengan sang pencair kedinginan penghujung fajar... Aze refleks berteriak.

Ternyata orang itu bertangan satu!

 Yang satunya lagi tergantung dalam balutan perban putih. Oh, crap!

Seandainya tangannya yang satu sehat wal afiat mungkin akan ia sinergikan kekuatannya dengan tangan yang satu lagi dan Aze tak mau memikirkan akan dibuat-jadi-mental ke mana. Orang tersebut tidak memberi kesempatan Aze untuk menunduk lalu menatap takut-takut. Pundaknya masih dipegang kuat dan ia melihat mata orang itu sudah mengeksekusinya. Titik klimaksnya, orang itu bertanya dan itu benar-benar makin menghentakkan Aze pada sanubarinya yang terdalam. “Heh, kenapa kabur kemarin?”

Meski nadanya terdengar kalem dan tenang, Aze sadar orang itu bisa saja menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Namun ada cara yang lebih kejam dari menembak seseorang dengan sniper yaitu membunuh dengan perlahan. Dikuliti, disetrika, tidak diberi makan, tidak diberi kasih sayang, tekanan mental dan psikis—apa coba yang mendorong seseorang untuk bunuh diri? Dikatakan di alam kubur nanti, penyiksaan fisik itu nonsense karena yang terkubur hanyalah jasad kita. Jiwa kita sudah di alam lain. Jiwa kita itulah yang merasa tersiksa. Tersiksa dengan kenyataan bahwa ia sudah tidak punya kesempatan lagi. Tersiksa dengan pertanyaan-pertanyaan, apakah ia akan masuk surga atau neraka. Tersiksa memikirkan hari penimbangan amal. Tersiksa membayangkan hari pembalasan apabila ia berdosa.

Satu kalimat saja membuat Aze teringat seluruh dosanya.

Aze sadar ia masih di alam dunia, bukan di alam barzah. Meski orang ini terasa seperti Munkar atau Nakir, atau perpaduan keduanya. Aze yakin ia akan mendapat nilai bagus untuk UAS Agama.

Dalam keadaan seperti itu Aze yang terpana tak kuasa menjawab apapun. Membuat orang jangkung bersuara berat bertangan kuat berwajah ganteng namun sangar itu tambah sebal. Bagai singa gurun di padang lamun. Weow. Rrr...

“Bisa jawab gak sih kamu? Jawab. Jawab.” Cowok itu mendorong pundak Aze. Pelan sih, tapi mengiris hati. Aze sadar cowok ini bisa saja melakukan kekerasan fisik pada dirinya. Tapi di pagi yang tenang dan membunuh ini cowok itu ingin berlatih melakukan kekerasan psikis rupanya.

Dalam kesempatan itu Aze melirik temannya yang sedang terpaku pada jaket hitam yang disampirkan di bahu cowok itu. Apa yang istimewa dari sebuah jaket? Paling-paling  jaket kelas. Atau jaket angkatan. Atau ekskul. Atau organisasi.

“Heh, punya mulut gak kamu?”

Fokus, Aze. Fokus.

“E... masalahnya....” Aze menjawab gagap. Tanpa persiapan apa-apa, ia tahu sesudah ini berakhir ia akan menggigit lidahnya sendiri. “Ma...”

“Kamu mau tanya masalahnya apa?” cowok itu sudah menyelanya duluan.

“Kamu tanya masalahnya apa?” ulang cowok itu lagi. Masih sok menjaga

 kewibawaan mematikan.

“Kamu tau kok masalahnya apa.” Cowok itu memicingkan mata ke arah sebelah tangannya yang digips.

Aze menampakkan wajah tak takut dan tak gentar berharap wajah cowok itu membalasnya dengan siratan rasa malu.

“Kamu sadar kan apa yang udah kamu lakuin? Dua setengah bulan lagi SPMB, kamu sadar gak punya tanggung jawab sama masa depan orang? Hah?”

Sialan. Sialan. Aku harus jawab apa...? ini emang kesalahanku... Oh, apa yang harus kuperbuat...? Eh, tunggu. Yang digips kan...

Aze menunjuk tangan kanan cowok itu. “Tangan kanannya kan masih bisa dipake. Nggak usah sok-sok memperbesar masalah gitu deh.”

Cowok itu menjawab murung. “Anjing, gua kidal.”

Aze terdiam. Ekspresinya memancarkan ketersinggungan yang segera berubah menjadi kesokpolosan.

“...berarti, aku kadal? Hahaha.”

Aze dan cowok itu bisa mendengar sang teman terkikik juga tapi jelas bukan karena yang Aze bilang barusan memang lucu, juga suara bel tanda masuk di kejauhan.  

“DIEM!”

Kedua bocah perempuan yang tak tahu diri itu terhenyak dibentak begitu. Teman Aze langsung memasang tampang datar ala Patrick Star.

“Seenggaknya ada orang celaka tuh tolongin kek. Jangan pura-pura nggak terlibat gitu. Anak Bilatung tuh nyadar dong. Nggak pernah pake otak ya, sekolah di sini!?”     

Suara bel perlahan menghilang, bersamaan dengan berlalunya cowok itu yang dengan sengaja menghentakkan tasnya pada Aze. Sampai di belokan yang menuju areal kelas 3, cowok itu terus memandanginya dengan mata yang seolah meneriakkan maksud: “MATI! MATI! MATI!”                   

Yang dipandangi Aze dengan ketegangan ekstra bukanlah mata itu melainkan lambang sayap merah besar di bagian belakang jaket yang sedari tadi disampirkan di bahu terus ke punggung...

“Dia anak BKS, Je,” ujar teman Aze merusak suasana.

BKS alias Badan Keamanan Sekolah.

 

4

Surealis. Trista mengerjap-ngerjapkan matanya. Kedatangan Elmo disambut dengan meriah oleh teman-temannya. Ia melangkah di atas karpet merah menuju kelasnya. Cewek-cewek anggota fans club-nya berdiri di kanan-kiri karpet, menebar-nebar kelopak mawar dan melati di setiap langkah Elmo, berebut mengelus gips yang membungkus lengan kiri Elmo. Beberapa menjepretkan kamera, membuat Elmo melihat bercak-bercak ungu ke manapun ia memandang. Semua orang memakai pin bergambar wajahnya. Elmo pun tampak menikmati sambutan itu. Ia berjalan dengan langkah-langkah dramatis dan tangan kanannya yang bebas melambai-lambai pada massa. Sesekali langkahnya melambat untuk melayani permintaan tandatangan, foto bersama, atau sekedar menyapukan tangannya pada barisan depan kerumunan.

Akhirnya Elmo sampai di kelas. Trista sejak tadi hanya menyender di kusen pintu kelas sambil mengikuti langkah-langkah Elmo dengan gerakan biji matanya yang berwarna coklat indah. Trista lambat-lambat kembali ke bangkunya yang tidak jauh dari pintu. Pemandangan tadi tidak terlalu jelas terlihat. Mungkin semestinya ia lepaskan saja ya, kacamata gaulnya. Tapi Trista harus susah payah menahan keinginannya yang kuat untuk melempari massa yang tidak terlalu jelas terlihat itu dengan kursi. Meja. KBBI. Apapun yang tampak mantap saat mendarat telak di jidat orang dan bisa menimbulkan cacat permanen pada cerebrum.

“Heboh amat sih,” komentar Trista dengan angkara murka di bawah permukaan suaranya yang tenang pada teman sebangkunya yang sama-sama merupakan anggota geng Boots, yang isinya cewek-cewek cantik supertajir sepertinya. Terjemahannya adalah ‘kegatelan amat sih cewek-cewek itu’.

“Huh?” jawab si teman sebangku, yang tampak dingin-dingin saja sambil membalik buletin DKM—Dewan Keluarga Masjid.

Entah kenapa Trista tersentak mendengar suara temannya yang terasa keras itu lalu mendapati bahwa massa heboh yang tadinya merubungi Elmo sudah jauh berkurang. Trista tidak jadi melempar deh. Ia malah sibuk memijit-mijit urat-urat yang sudah mulai bertonjolan di keningnya.

Saat Elmo melewati bangku Trista, ia berhenti sebentar untuk menyapa Trista. Kelihatan sekali bahwa Elmo sudah jatuh dalam pesona Trista. Cukup lama tangan Elmo berhenti di udara untuk melambai pada Trista, sebelum ia berhasil mengucap, ”Hai...”

“Hai!”sahut Trista ceria, sebelum kemudian mendekati cowok tersebut untuk membesarkan hatinya atas musibah yang baru menimpanya kemarin. Teman sebangku Trista mendongak dan ikut berlama-lama menatap wajah Trista dengan ekspresi aneh.

Trista tidak menyadari, telah bertonjolan di pelipisnya, urat-urat darah yang membesar satu setengah kali normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain