1
Angkot Kalapa Dago. Aze sedang
berangkat sekolah. Seperti yang sudah-sudah, di tengah-tengah minggu seperti
ini, semangat Aze sedang berada di titik nadir. Jadi baru pukul 06.15 pagi
kayak sekarang juga Aze sudah menyandarkan kepalanya di pojok angkot,
memejamkan mata.
Tidak juga sih. Selalu saja ada
hal yang menggelisahkan pikirannya pagi-pagi begini, yang pasti masih ada
hubungan dengan sekolah dan seisinya, sehingga ia tidak bisa benar-benar pulas.
Padahal tahun ajaran sudah mau berakhir. Ada untungnya juga ia tidak bisa
pulas. Ia nyaris tidak pernah kebablasan naik angkot. Kalau sudah sampai Taman
Lalu Lalang dekat sekolah, ia pasti bangun. Kalau tidak, ia akan telat dan baru
diperbolehkan masuk lingkungan sekolah pada jam pelajaran kedua.
Dan kali ini, hal yang
menggelisahkan pikirannya adalah hal yang cukup gawat. Perihal ia yang kemarin
dipanggil guru Kimianya dan diberi tahu bahwa semua remedial dari remedial
ulangan hariannya tidak ada yang cukup nilainya. Oh iya, kalau sudah pakai kata
‘peri’ jangan diteruskan kata ‘hal’. Argh.
Aze tidak bisa memejamkan mata
lagi karena terlalu gelisah. Seolah tidak cukup akhir-akhir ini pikiran Aze
didera oleh bayangan cowok ganteng yang ternyata adalah kakak kelasnya, yang
dua hari lalu ia bikin celaka.
Ah, Taman Lalu Lalang. Pas
banget.
“Kiri, ki..,”Aze hendak
berseru, sebelum ia mangap kaget.
Di trotoar, di sebelah angkot
Aze, baru saja turun dari angkot di depannya. Lambat-lambat berjalan dengan
tangan kiri digips dan digantung di lehernya yang juga dibalut sesuatu berwarna
putih, dia.
Anjir.
2
Turun dari angkot, Elmo bengong
sebentar, melihat-lihat suasana sesaat sebelum bel SMAN Bilatung berbunyi pada
pukul 06.30 pagi. Oh, jadi kayak gini ya, yang dialami anak-anak yang ke
sekolah naik angkot tiap hari. Elmo nyengir-nyengir sombong sendiri. Dia kan ke
sekolah tidak pernah naik angkot, dari kelas satu juga.
Bel sekolah mulai melengking,
membelah udara yang penuh jeritan klakson kendaraan dan deru mesinnya. Elmo
tersentak, ia harus bergegas. Eh iya, dia kan sudah UN. Tinggal ujian praktek
dan UAS paling. Sama prom. Oh iya, dia kan mau mengambil jaket angkatan dan
buku tahunan juga. Mudah-mudahan
ngambilnya nggak usah langsung ke anak-anak mading kelas dua yang kecentilan
itu...
Elmo berjalan lambat-lambat,
tanpa memedulikan anak-anak kelas satu dan dua yang berlarian di sekelilingnya.
Kasihan, sebentar lagi mereka naik kelas. Lebih kasihan lagi yang dari kelas 1
ke 2 IPA 9 —seperti dia dulu—, kelas paling ujung dan letaknya di lantai 3.
Tapi enak juga sih. Gurunya jarang datang.
Tiba-tiba seorang cewek dengan
ransel pink buluk melesat melewatinya, dengan sembrono menyebrang jalan, dan
terus berlari masuk gerbang samping sekolahnya yang khusus dipakai oleh murid
setelah sebelumnya dibentak guru piket karena masih pakai jaket. Haha, dasar tolol. Bodoh. Kenapa ya,
kata-kata yang maknanya menyatakan kerendahan kapasitas intelektual selalu
berhuruf vokal ‘o’? Goblok juga gitu misalnya. Pikiran Elmo mengembara ke
ranah-ranah tidak penting sambil mengikuti cewek berkapasitas intelektual
rendah itu dengan pandangannya.
Ransel pink buluk. Elmo membeku
di tengah langkahnya menyebrangi jalan.
Ya ampun. Cewek laknat itu.
“TTIIIIIIIIIINN!!!!!!!”
Elmo terlonjak kaget.
Sebuah angkot Antapani-Ciroyom
mengerem mendadak saat jaraknya tinggal 5 cm dari Elmo. Sopirnya
menyumpah-nyumpah dari dalamnya. Menyebutkan satu persatu kata-kata yang tadi
terlintas di benak Elmo.
Elmo cepat-cepat meneruskan
langkahnya menyeberang jalan.
Karma + nasib jelek.
3
Meski jumlah kendaraan
bermotornya makin banyak, Bandung tetap terkenal dengan hawanya yang dingin.
Lebih dingin dari Jogja, apalagi Surabaya. Apalagi kalau siang-siang duduk di
lantai, lama menahan akhirnya tak kan kuat untuk segera mencari ‘kesetimbangan’
pada sebuah tempat yang disebut ‘belakang’.
Pagi ini para murid SMAN
Bilatung Bandung mencairkan kedinginan itu dengan saling menyapa orang-orang
yang mereka kenal begitu memasuki gerbang. Kedinginan itu dicairkan oleh
kehangatan dan keceriaan masa muda, sebelum mereka menjadi orang bertangan dingin
kebanggaan presiden nantinya.
Aze merasakan tangan
dingin itu menyentuh pundaknya.
Pucat, ia menoleh. Oh,
bagus. Itu temannya yang berasal dari daerah dingin di pinggiran Bandung.
Menyapanya.
“Hei...”
“Oh. Hai,” balas Aze
menyapa masih dengan ekspresi tegang,
Heuh, untung... untung
bukan dia.
Dingin itu menusuk.
Merasuk. Bagaimana ya rasanya kalau sudah dingin karena cuaca, dingin pula
karena sesuatu yang lain? Apakah itu? Bisa keringat dingin. Bulu kuduk
merinding. Bisa juga karena hati yang dingin. Wuow.
Itulah yang dirasakan Aze.
Ia bukanlah jenis anak yang bisa berkepala dingin dan bertangan dingin
sekaligus dalam suatu kondisi yang krusial—karena tidak terlalu bisa diandalkan
dalam segala hal. Tapi ia cukup peka dalam merasakan keberadaan hati yang dingin.
Atau mungkin... terbakar api kemarahan...? Bukan dingin dong namanya kalau
begitu. Intinya keringat dingin mengindikasikan adanya ketegangan. Dalam
Fisika, ketegangan itu sebanding dengan peregangan. Aze merasa ini bukan
saatnya untuk meregangkan diri dan rileks.
Ngapain dia dateng kemaren? UN kan udah lewat....
“Kenapa, Ze? Kok tegang
gitu?” tanya sang teman, jujur dan inosen.
“Ng....” Aze agak
menerawang, mencari ilham darimanakah gerangan datangnya perasaan buruk ini.
Yayaya, ia tahu sebenarnya perasaan ini datangnya dari mana. Ia hanya mencoba
menguji keilmiahannya seperti yang dilakukan anak SMAN Bilatung lainnya apabila
sedang menghadapi suatu permasalahan. Pemecahan permasalahan berbasis metode
ilmiah. Kesannya gimana gitu. Pak Presiden pasti bangga! “Kita... bareng yuk ke
kelas.”
Sang teman menatap Aze
heran.
Hingga datangnya sebuah
cobaan menghadang yang begitu tiba-tiba. Sebuah tangan kokoh nan sigap
menghunjam kuat pundak Aze yang langsung lunglai tak berdaya. Menariknya.
Menghentakkannya. Hingga tubuh Aze berbalik sepenuhnya berhadapan dengan sang
pencair kedinginan penghujung fajar... Aze refleks berteriak.
Ternyata orang itu
bertangan satu!
Yang satunya lagi tergantung dalam balutan
perban putih. Oh, crap!
Seandainya tangannya yang
satu sehat wal afiat mungkin akan ia sinergikan kekuatannya dengan tangan yang
satu lagi dan Aze tak mau memikirkan akan dibuat-jadi-mental ke mana. Orang
tersebut tidak memberi kesempatan Aze untuk menunduk lalu menatap takut-takut.
Pundaknya masih dipegang kuat dan ia melihat mata orang itu sudah
mengeksekusinya. Titik klimaksnya, orang itu bertanya dan itu benar-benar makin
menghentakkan Aze pada sanubarinya yang terdalam. “Heh, kenapa kabur kemarin?”
Meski nadanya terdengar
kalem dan tenang, Aze sadar orang itu bisa saja menarik perhatian orang-orang
di sekitarnya. Namun ada cara yang lebih kejam dari menembak seseorang dengan sniper yaitu membunuh dengan perlahan.
Dikuliti, disetrika, tidak diberi makan, tidak diberi kasih sayang, tekanan
mental dan psikis—apa coba yang mendorong seseorang untuk bunuh diri? Dikatakan
di alam kubur nanti, penyiksaan fisik itu nonsense
karena yang terkubur hanyalah jasad kita. Jiwa kita sudah di alam lain. Jiwa
kita itulah yang merasa tersiksa. Tersiksa dengan kenyataan bahwa ia sudah
tidak punya kesempatan lagi. Tersiksa dengan pertanyaan-pertanyaan, apakah ia
akan masuk surga atau neraka. Tersiksa memikirkan hari penimbangan amal.
Tersiksa membayangkan hari pembalasan apabila ia berdosa.
Satu kalimat saja membuat
Aze teringat seluruh dosanya.
Aze sadar ia masih di alam
dunia, bukan di alam barzah. Meski orang ini terasa seperti Munkar atau Nakir,
atau perpaduan keduanya. Aze yakin ia akan mendapat nilai bagus untuk UAS
Agama.
Dalam keadaan seperti itu
Aze yang terpana tak kuasa menjawab apapun. Membuat orang jangkung bersuara
berat bertangan kuat berwajah ganteng namun sangar itu tambah sebal. Bagai
singa gurun di padang lamun. Weow. Rrr...
“Bisa jawab gak sih kamu?
Jawab. Jawab.” Cowok itu mendorong pundak Aze. Pelan sih, tapi mengiris hati.
Aze sadar cowok ini bisa saja melakukan kekerasan fisik pada dirinya. Tapi di
pagi yang tenang dan membunuh ini cowok itu ingin berlatih melakukan kekerasan
psikis rupanya.
Dalam kesempatan itu Aze
melirik temannya yang sedang terpaku pada jaket hitam yang disampirkan di bahu
cowok itu. Apa yang istimewa dari sebuah jaket? Paling-paling jaket kelas. Atau jaket angkatan. Atau
ekskul. Atau organisasi.
“Heh, punya mulut gak
kamu?”
Fokus, Aze. Fokus.
“E... masalahnya....” Aze
menjawab gagap. Tanpa persiapan apa-apa, ia tahu sesudah ini berakhir ia akan
menggigit lidahnya sendiri. “Ma...”
“Kamu mau tanya masalahnya
apa?” cowok itu sudah menyelanya duluan.
“Kamu tanya masalahnya
apa?” ulang cowok itu lagi. Masih sok menjaga
kewibawaan mematikan.
“Kamu tau kok masalahnya
apa.” Cowok itu memicingkan mata ke arah sebelah tangannya yang digips.
Aze menampakkan wajah tak
takut dan tak gentar berharap wajah cowok itu membalasnya dengan siratan rasa
malu.
“Kamu sadar kan apa yang
udah kamu lakuin? Dua setengah bulan lagi SPMB, kamu sadar gak punya tanggung
jawab sama masa depan orang? Hah?”
Sialan. Sialan. Aku harus jawab apa...? ini emang kesalahanku... Oh, apa yang harus
kuperbuat...? Eh, tunggu. Yang digips kan...
Aze menunjuk tangan kanan
cowok itu. “Tangan kanannya kan masih bisa dipake. Nggak usah sok-sok
memperbesar masalah gitu deh.”
Cowok itu menjawab murung.
“Anjing, gua kidal.”
Aze terdiam. Ekspresinya
memancarkan ketersinggungan yang segera berubah menjadi kesokpolosan.
“...berarti, aku kadal?
Hahaha.”
Aze dan cowok itu bisa
mendengar sang teman terkikik juga tapi jelas bukan karena yang Aze bilang
barusan memang lucu, juga suara bel tanda masuk di kejauhan.
“DIEM!”
Kedua bocah perempuan yang
tak tahu diri itu terhenyak dibentak begitu. Teman Aze langsung memasang
tampang datar ala Patrick Star.
“Seenggaknya ada orang
celaka tuh tolongin kek. Jangan pura-pura nggak terlibat gitu. Anak Bilatung
tuh nyadar dong. Nggak pernah pake otak ya, sekolah di sini!?”
Suara bel perlahan menghilang,
bersamaan dengan berlalunya cowok itu yang dengan sengaja menghentakkan tasnya
pada Aze. Sampai di belokan yang menuju areal kelas 3, cowok itu terus
memandanginya dengan mata yang seolah meneriakkan maksud: “MATI! MATI! MATI!”
Yang dipandangi Aze dengan
ketegangan ekstra bukanlah mata itu melainkan lambang sayap merah besar di
bagian belakang jaket yang sedari tadi disampirkan di bahu terus ke punggung...
“Dia anak BKS, Je,” ujar
teman Aze merusak suasana.
BKS alias Badan Keamanan
Sekolah.
4
Surealis. Trista
mengerjap-ngerjapkan matanya. Kedatangan Elmo disambut dengan meriah oleh
teman-temannya. Ia melangkah di atas karpet merah menuju kelasnya. Cewek-cewek
anggota fans club-nya berdiri di
kanan-kiri karpet, menebar-nebar kelopak mawar dan melati di setiap langkah
Elmo, berebut mengelus gips yang membungkus lengan kiri Elmo. Beberapa
menjepretkan kamera, membuat Elmo melihat bercak-bercak ungu ke manapun ia
memandang. Semua orang memakai pin bergambar wajahnya. Elmo pun tampak menikmati
sambutan itu. Ia berjalan dengan langkah-langkah dramatis dan tangan kanannya
yang bebas melambai-lambai pada massa. Sesekali langkahnya melambat untuk
melayani permintaan tandatangan, foto bersama, atau sekedar menyapukan
tangannya pada barisan depan kerumunan.
Akhirnya Elmo sampai di kelas.
Trista sejak tadi hanya menyender di kusen pintu kelas sambil mengikuti
langkah-langkah Elmo dengan gerakan biji matanya yang berwarna coklat indah.
Trista lambat-lambat kembali ke bangkunya yang tidak jauh dari pintu. Pemandangan
tadi tidak terlalu jelas terlihat. Mungkin semestinya ia lepaskan saja ya,
kacamata gaulnya. Tapi Trista harus susah payah menahan keinginannya yang kuat
untuk melempari massa yang tidak terlalu jelas terlihat itu dengan kursi. Meja.
KBBI. Apapun yang tampak mantap saat mendarat telak di jidat orang dan bisa
menimbulkan cacat permanen pada cerebrum.
“Heboh amat sih,” komentar
Trista dengan angkara murka di bawah permukaan suaranya yang tenang pada teman
sebangkunya yang sama-sama merupakan anggota geng Boots, yang isinya cewek-cewek cantik supertajir sepertinya.
Terjemahannya adalah ‘kegatelan amat sih cewek-cewek itu’.
“Huh?” jawab si teman sebangku,
yang tampak dingin-dingin saja sambil membalik buletin DKM—Dewan Keluarga
Masjid.
Entah kenapa Trista tersentak
mendengar suara temannya yang terasa keras itu lalu mendapati bahwa massa heboh
yang tadinya merubungi Elmo sudah jauh berkurang. Trista tidak jadi melempar
deh. Ia malah sibuk memijit-mijit urat-urat yang sudah mulai bertonjolan di
keningnya.
Saat Elmo melewati bangku
Trista, ia berhenti sebentar untuk menyapa Trista. Kelihatan sekali bahwa Elmo
sudah jatuh dalam pesona Trista. Cukup lama tangan Elmo berhenti di udara untuk
melambai pada Trista, sebelum ia berhasil mengucap, ”Hai...”
“Hai!”sahut Trista ceria,
sebelum kemudian mendekati cowok tersebut untuk membesarkan hatinya atas
musibah yang baru menimpanya kemarin. Teman sebangku Trista mendongak dan ikut
berlama-lama menatap wajah Trista dengan ekspresi aneh.
Trista tidak menyadari, telah
bertonjolan di pelipisnya, urat-urat darah yang membesar satu setengah kali
normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar