Kuterima diarimu. Tlah kubaca. Dan aku mengerti. Betapa merindunya dirimu akan hadirnya dirinya.[1]
Dirinya. Bukan diriku. Moeny. Demikian dirimu memanggilnya.
Dalam ruang VVIP aroma bunga kemboja ini kini hanya ada aku dan dirimu. Tergeletak lemah dirimu di atas ranjang. Selang di bawah hidungmu. Juga menembus pergelangan tanganmu. Sudah beberapa minggu begitu saja kondisimu.
Aku yang mencintaimu berusaha berpacu dengan waktu. Menyelamatkanmu. Meski kini kutahu aku bukanlah yang kamu harapkan. Meskipun sudah beberapa bulan kita membangun bahtera rumah tangga.
Pada sore itu kita sedang bercengkerama di danau dengan menaiki perahu. Menikmati sisa-sisa bulan madu. Hanya kita berdua. Diiringi kabut. Pohon-pohon air. Lalu kita lihat ada sepasang kura-kura mendekati perahu kita.
Aku berkata, “Semoga kebersamaan kura-kura itu tetap abadi sebagaimana kebersamaan kita.” Kamu hanya tersenyum sambil mengangguk malu-malu.
Tiba-tiba perahu kita bocor entah apa sebabnya. Hingga kita terjatuh dalam air. Basah pakaianmu. Kamu meringis. Tertawa apa menangis. Aku bingung. Atau mungkin kamu yang bingung. Kenapa perahu yang kita naiki tiba-tiba bocor begitu.
“Kamu kenapa, Sayang?”[2]
“Ya kedinginan dong,” sungutmu. Lalu kita pulang. Kubawa kamu ke rumah sakit karena kamu pingsan di tengah jalan. Ternyata penyakitmu kambuh. Penyakit yang sebenarnya telah lama kamu derita sejak bertahun-tahun lalu. Penyakit ganas. Yang bikin bibir kamu makin merah karena darah. Kamu bilang itu lipstik. Lipstik tidak asin rasanya, Sayang. Dan mana ada lipstik yang meluber dari mulut begitu. Aku tak menyangka penyakitmu ini akan sampai membawamu ke ruang VVIP mewah ini. Kamu tak sadarkan lagi sejak itu. Sejak rumah sakit itu merujukmu untuk diopname di rumah sakit ini.
Kini tinggalah gundah gulana memenuhi ruang hatiku. Aku masih mencintaimu, sungguh! Namun apa yang kutemui pada diarimu. Yang kutemukan saat membereskan baju-bajumu untuk dibawa ke rumah sakit. Tak sengaja terbuka langsung pada halaman terakhir. Yang kamu tulis beberapa hari setelah hari pernikahan kita. Saat kita mulai pindahan ke rumah baru kita.
2 Juni 201x
Moeny...
Moeny... Apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja.
Moeny,
beberapa hari lalu telah kututup masa lajangku. Sekaligus masa pendambaanku
akan datangnya cinta darimu. Aku sudah tak mungkin menanti. Aku tak mau jadi
perawan tua. Lagipula pria tampan ini berkata dia sungguh mencintaiku. Dan dia
bukan object of ridicule. Dan dia bukan loser. Dan dia kaya raya.
Tidak,
Moeny, tidak demikian. Sungguh jauh dalam lubuk hatiku aku masih
mengharapkanmu. Setiap hari semenjak kamu mulai menjerat hatiku. Namun
penantianku ini seakan tak ada ujungnya. Karena kamu takkan pernah datang...
Mungkin sekarang kamu telah menikahi seseorang sebagaimana diriku kini. Namun
tahukah kamu, Moeny, tiap kali aku
berlutut, aku berdoa, suatu saat kau akan cinta padaku. Kadang pula aku
terbangun dengan sedih dan pilu, terutama setelah malamnya bermimpi tentangmu,
aku hanya bisa menangis dan mendekap wajahku dengan bantal sambil mengerang, “Mana
Moeny, mana Moenyku...?”[3]
Hingga
kini... Meski suamiku tak pernah tahu... Aku harus belajar melupakanmu meski
aku sangat ingin melihat dirimu sekali lagi untuk yang terakhir kalinya. Aku
harap usiaku masih ada hingga saat itu terjadi...
Kubelai
dan kucium tanganmu yang tak ada tenaga sama sekali di dalamnya. Berharap
matamu yang terpejam rapat itu bisa terbuka. Setidaknya untuk melihat Moenymu
dan mewujudkan obsesimu menjadi penyanyi berbahu indah setelah kau campakkan
cita-cita menjadi komikus. Ya. Apa boleh buat. Aku rela mencari Moeny sampai ke
Mesir sekali pun asal kamu mau membuka matamu, Sayangku. Karena, maafkan aku,
aku telah membaca seluruh isi diarimu tanpa minta izin terlebih dulu padamu
hingga aku tahu betapa kamu sangat mencintainya lebih dari apapun sejak dulu.
Jauh, sebelum kamu bertemu denganku...
Pria itu adalah seorang pecundang.
MOS. Merasakan Oh Siksa. Senior lari lari. Bentak
sana bentak sini. Tiga orang pecundang bernama Maman, Mamoen, dan Marwan
disuruh maju. Mereka jalan ke depan
dan para senior ingat cara jalan simpanse.[4]
“Kalian
bertiga! Nyanyi lagunya Westlife!”
“Waslap?
Yang buat ngelap?” di antara mereka yang paling tinggi bertanya pada di antara
mereka yang paling pendek. Wajah bingung.
“Tidak,
Sayang. Lagunya Westlife itu yang seperti...”
Lima
menit kemudian mereka bertiga menyanyikan ‘My Love’ dan ‘Soledad’ dengan gahar.
“Kurang
ece-ece!”
Mereka
melambai. Nyiur di pinggir pantai.
“Semua!
Liat sini! Inilah boyband kita!” Suara senior keras dibahanakan TOA sehingga sensasinya bagai piam di tengah
hutan bagi anak pramuka atau Pecinta Alam yang baru pertama kali merasakan
Pendidikan Latihan Dasar.
“Tepuk
tangan semuanya!” Tepuk tangan itu akan selalu mengiringi kepergian 3 M untuk
waktu yang cukup lama selama mereka berjalan di koridor sekolah. Di tengah para
murid jahil yang menyiuli dan
sok-sok minta tanda tangan padahal di belakang mereka hanya menjulurkan lidah
dan menepuk pantat.
Pria itu nama lengkapnya Mamoen M. Marhaen.
Hari
pertama belajar di kelas tidak selalu menyenangkan. Tidak hanya bagi si pemalu.
Tapi juga bagi si rebel Mamoen.
Giliran
Mamoen maju ke depan kelas untuk memperkenalkan dirinya. Mamoen menulis dengan
spidol di whiteboard. Tidak keren,
pikirnya. Efek yang ditimbulkan kapur putih di atas blackboard tak tok tak tok akan terdengar lebih rock ‘n roll. Yeah, baby. I’m a teenager.
Just be the part of rock ‘n roll generation. Sebuah tanggung jawab yang
amat besar menyandang kesadaran demikian.
Mamoen M. Marhaen
“Cita-cita
saya adalah membuat film! Film yang akan mengupas kebusukan masyarakat yang
mengaku dirinya beradab.”
Termasuk kalian yang udah ngetawain
gue. Gue yang udah jadi korban atas kesewenang-wenangan manusia-manusia borok
yang merasa harkat dirinya lebih tinggi!
“Film
yang akan dinantikan oleh jutaan pelajar di Indonesia. Yah, setidaknya 2,5
juta.”
Semua
terpana sebelum ada suara dari rimbunnya barisan murid baru kelas itu. “M-nya
apa tuh?”
“MONYET!”
“WAAHAHAHAHAA....”
“Anak-anak—sudah!”
Ibu guru mencoba jadi baik dan berwibawa.
“...sebenernya
itu Melodi...”[5]
desis Mamoen lirih. Matanya sarat amarah. Hingga menembus lensa kacamatanya.
Tidak heran. Sejak hari pertama menginjakkan kaki di SMA sampai hari pertama di
kelas X berbagai gencatan sudah menindasnya. Bagaimana dengan hari pertama-hari
pertama selanjutnya ya? Tidak ada yang jawab.
Anak-anak
ketawa makin keras.
“Nama
apaan tuh!?” Mulai saat itu mereka sepakat memanggilnya Moeny. Enak saja mengucapkan dan mendengarnya. Dan mereka tempel di mading kalau
anak X-9 bernama Mamoen Melodi Marhaen nama panggilannya Moeny. Dan dia gemar
main piano. Dan balet. Dan nyanyi. Dan potretnya ada di bonus snack berbentuk biskuit mini. Ada rasa
satenya juga loh...[6]
Selain
membuat film, Mamoen jadi ingin merombak mading juga.
Tau apa para anak mading itu?! Mereka pikir,
mereka yang paling pintar, merasa paling jago dan paling dahsyat...[7]
Sebagai remaja, pria itu tahu bagaimana dia harus mengaktualisaskan diri.
Dia tak segan melakukannya.
3
M sepakat membuat film yang akan merekam kebusukan dunia SMA. Dari akademis
sampai ke para individunya. Mereka belum punya adik kelas dan tidak ada yang
mendukung mereka selain para pecundang lainnya. Mereka ingin memutar film ini
di kelulusan sekolah meski mereka baru lulus 2,5 tahun lagi. Mereka tidak peduli
apa yang akan terjadi. Jiwa pemberontak mereka meyakinkan diri mereka kalau
sesuatu yang buruk sampai menimpa mereka, ya memberontak saja. Apa gunanya
punya jiwa pemberontak kalau tidak pernah memberontak. Memberontak bagai rock yang di-roll ombak.
Mereka berpikir keras untuk bisa mendapatkan judul yang pas bagi bakal film mereka itu. Mereka lakukan segalanya. Mulai dari memutari kuburan, mencari istri kontrak di desa[8], jadi bintang iklan sabun, hingga magang di Dinas Pemadam Kebakaran[9]. Apapun untuk mendapat inspirasi. Tidak hanya judulnya, tapi juga lain-lain untuk menambah materi film. Hingga mereka sampai pada sebuah keputusan kalau film itu harus dikasih judul ‘SMA’. Itu adalah judul yang paling cerdas. Dengan tagline yang tak kalah cerdas juga: ‘Sebuah Sekolah Menengah Atas’.[10]
Berlari-lari mereka di koridor sambil membawa handycam. Merekam apa yang patut direkam. Untuk dikenang. Untuk diludahi. Untuk dilaporkan ke polisi.
Kesialan rupanya masih betah merundung mereka. Mereka dilaporkan ke guru BP atas tuduhan hendak mengintil bagian dalam rok para siswi dan mengusik privasi dalam kamar mandi. Meskipun guru BP berkata salah sendiri rok para siswi terlalu pendek sehingga mudah saja diintil, 3 M tetap dihukum Menguras, Membersihkan, dan Menutup kamar mandi. Para siswa sok pahlawan yang mengaku jawaranya SMA karena telah memakai sabun jerawat sebuah merk sabun ternama merasa hukuman tersebut belum akan dapat membuat 3 M jera. Desas desusnya 3 M akan disuruh minum air kloset dan digantung di gerbang sekolah. Entah benar apa tidak. Itu terdengar berlebihan. Salah seorang anak mengusulkan agar mereka dikurung saja di gudang sekolah yang sudah lama tak dibuka. Kemunculan hantu Mpok Atie mungkin bisa membuat mereka lebih jera.
Untuk sementara waktu 3 M terpaksa melupakan obsesi mereka mem-publish band indie mereka bernama Gudang. Hanya karena mereka sering berlatih di gudang.[11] Kalau mereka berlatih di Ruang Tamu atau dapur atau WC mungkin nama band mereka akan lain lagi.
Pria itu pernah jatuh cinta juga.
Moeny
telah memesan kolam terbesar di sekolah itu untuk ia taburi bunga-bunga. Tidak
sembarang tabur. Taburan itu harus membentuk kata-kata I Love You. Terlalu panjang. Baiklah. I LUV U. Terlalu panjang. Baiklah. I <3 U. Meski kata ‘Love’ harus dikerdilkan menjadi ‘<3[12]’,
namun Moeny tidak akan pernah lupa bahwa Love
adalah bahasa Inggrisnya Cinta. Love is
Cinta[13].
Cinta adalah Love. Peduli amat. Anak
TK juga tahu.
Moeny berencana bolos jam terakhir untuk menata bunga-bunga merah-oren-pink itu di atas air kolam. Ketika bel pulang berbunyi ia akan segera menarik tangan cewek yang akan ditembaknya ke balkon melewati jalan yang tidak akan mungkin bagi cewek itu untuk mengetahui apa yang sudah Moeny perbuat pada kolam. Di mana mereka akan melihat kolam yang telah diwarna bunga itu menjadi suatu pemandangan indah dari atas. Dan Moeny akan mulai aksinya mengatakan cinta. Dan orang-orang akan mulai berkumpul di sekitar. Harap-harap cemas. Ditolak atau diterima. Moeny agak optimis ia akan diterima. Ia boleh buktikan kesetiaannya. Ia bukanlah playboy cap kabel. Ia akan berjanji tidak akan pulang sambil termehek-mehek.
Keyakinan itu muncul karena ia merasa si cewek itu juga menaruh perhatian padanya. Apalagi, buset, cewek itu memang kece! Mirip dengan pemeran salah satu tokoh utama di sinetron ‘SMP’. Tentu saja tagline-nya bukan kepanjangannya dalam versi Depdiknas: ‘Sebuah Sekolah Menengah Pertama’.
Cewek itu selalu memanggil nama ‘Moeny’ dengan mesra. Membuat Moeny jadi terima dipanggil ‘Moeny’. Meski kalau bukan oleh cewek itu ia masih agak-agak kurang ikhlas.
Cewek itu bahkan memperlihatkan komik ciptaannya. Cerita tentang peri yang menurut Moeny itu komedi paling lucu. Membuat cewek itu termangu dan mengatakan komik itu cerita yang teramat sedihnya karena pada akhirnya si peri mati kena sirosis.
Saat Moeny sedang asik main basket sampai kehujanan sampai pakaiannya basah dan melekat di tubuhnya yang sama sekali tidak ada bongkah-bongkahnya sampai ia masuk angin dan pilek dan batuk dan migren, cewek itu tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Pakai jas hujan. Pakai payung. Lalu cewek itu menari-nari. Biar kamu agak gila, biar kamu bebegig1 sawah tapi sikap kamu itu bikin aku jatuh cinta, batin Moeny. Apalagi kamu cantik banget. Gak penting kamu gila, yang penting kamu cantik. Apalagi sih yang orang butuhkan untuk jatuh cinta selain kecantikan lahiriah? Entah kenapa. Pecundang dan orang gila mungkin bisa jadi paduan yang menarik seperti cewek tomboi dan high heels.
Ia bahkan bertaruh dengan salah seorang temannya agar menabraknya kalau si cewek itu menolak.
“Kalo gue juga suka ama elo, gue gak akan sampe hati nabrak lo, Moen...” kata si cewek tomboi temannya itu. Cewek yang lebih cocok main dengan high heels ketimbang main dengan pecinta wanita yang mengaku bukan buaya seperti Moeny.
“Emang
elo suka ama gue?”
Cewek itu terdiam sebentar. Mungkin berpikir keras.
“Gue akan tabrak elo.”
Tapi Moeny lupa kalau mereka semua menganggapnya pecundang.
Semua berjalan sesuai rencana. Ketika Moeny melihat cewek itu dan cewek itu tersenyum malu-malu sambil menyembunyikan diarinya. Baru saja ia hendak memegang tangan si cewek, tiba-tiba seseorang bertinggi besar dan berwajah indo ganteng datang dan menampar si cewek itu. Ternyata itu pacarnya. Moeny ditarik kerahnya, diseret turun tangga dan dilempar ke dalam kolam. Bunga-bunga berpencar menghindar. ‘Aku cinta kamu’ hancur lebur. Namun Moeny tidak termehek-mehek. Kan sudah janji...
Janji harus ditepati. Termasuk janji untuk menabrak orang yang minta dirinya ditabrak kalau ditolak.
“Brrmm...
Brrm...” Terdengar suara mobil distarter keras-keras. Ohmaigawd. Jip! Temannya
itu tidak bilang akan menabraknya dengan jip. Dikiranya mau pakai sepeda.
“Eh,
lo kok nanggepinnya seriusan seh!?” Moeny panik.
Kebetulan kolamnya memang ada di tepi tempat parkir. Kebetulan tempat parkir dekat pintu keluar. Kebetulan ada jip. Kebetulan temannya itu bisa dapat izin pinjam meski setahu Moeny cewek tersebut belum punya SIM. Biarlah, anak jaman sekarang.
Moeny menganggap seluruh dunia membencinya. Bahkan temannya pun menganggapnya pecundang dan patut ditabrak dengan jip colongan.
Jip
itu meluncur masuk kolam bertepatan dengan meloncatnya Moeny dari kolam. Moeny
berlari-lari pulang ke rumah dengan baju basah dan menggigil. “Gue sumpahin lo
amputasi kaki atau terpaksa donor hati!” umpat Moeny dari balik jeruji penjara
batin.
Pria itu pernah jadi anak paling pintar di kelasnya.
Ada guru baru di kelas karena guru yang lama tewas menabrak pohon. Desas desusnya sih begitu. Padahal
mungkin saja guru itu keluar karena akhirnya menemukan pekerjaan yang lebih
baik dan lebih menunjang masa depan anak dan cucu ketimbang menjadi guru.
Soalnya guru tersebut masih muda. Masih banyak potensi yang tidak boleh
disia-siakan Lagipula ini Indonesia. Dan momen ini dimanfaatkan mitra polisi
untuk mengkampanyekan penggunaan safety
belt. Mau mendadak muncul hantu di depan muka saat lagi menyetir malam-malam tanpa menyalakan lampu
depan pun akan terhindar dari ketewasan kalau pakai safety belt. Kecuali kalau Tuhan berkehendak
lain.
Guru
itu boleh cantik, tapi pikirannya konservatif dan kalau bicara seperti senior-kebangetan
di acara OSPEK universitas tahun 70-an. Semua bangku di baris paling depan harus
diisi. Katanya kalau duduk di bangku paling depan murid bisa lebih konsentrasi
dalam menyerap pelajaran. Alasan.
“Saya
mah konsentrasinya kalau duduk di belakang, Bu,” pernah itu kata seorang anak.
“Alasan!”
Bentakan
galak sang guru membuat pagar pertahanan para murid runtuh juga dan Ketua Murid
sebagai wakil dari murid sekelas dengan pasrah mengajukan beberapa anak
berkacamata yang rajin belajar dan mengerjakan PR untuk duduk di barisan paling
depan. Tunggu dulu. Mereka memang sudah duduk di bangku paling depan. Namun
ternyata masih ada satu bangku yang tersisa di paling kanan. Tepat di depan
meja guru. Para murid menjulukinya si Bangkong. Alias BANGku KOsoNG.
Tidak
ada yang mau menempati bangku itu karena bangku itu terletak tepat di depan
meja guru. Anak dengan intelejensia rendah pun tahu kalau duduk di bangku itu
mana bisa nyontek, open book, dan
kerja sama kalau ulangan? Resiko ketahuannya lebih tinggi daripada posisi
bangku depan lainnya. Apalagi kalau gurunya pas ulangan hanya duduk-duduk saja di kursinya dan pakai kacamata kodok. Mana tahan?
“Kamu!”
Tunjuk Bu Guru Galak pada murid yang duduk tepat di belakang si Bangkong. “Maju
ke bangku depanmu!”
Anak
itu langsung muntah.
Tiga
anak lainnya mengaku mual dan satu kejang-kejang karena Bu Guru memerintahkan
hal yang sama pada mereka.
“Ada
apa sebenarnya di kelas ini? Ibu tahu kalian cuman BERPURA-PURA!” Ibu itu
memang bukan orang Batak, tapi dia menggebrak meja. Ada anekdot yang
mengatakan, bukan orang Batak namanya kalau belum bisa menggebrak meja.
“KETUA
MURID!” karena tak ada seorang pun yang berani menjawab meskipun Bu Guru
menjanjikan nilai 9 di rapot.
“I...itu
bangku terkutuk, Bu!” sahut Ketua Murid takut-takut. “Siapapun yang duduk di
bangku itu... dia... dia... dia akan... mati...”
Mati
gaya karena tidak bisa
melakukan kejahatan akademik dengan leluasa.
“Saya
tidak percaya dengan kisah mistik yang seperti itu. Sudah kalian buktikan
secara ilmiah?” Bu Guru mengedarkan pandangan menyelidik, menatap mata
murid-murid yang gentar. “Hare gene masih mikirin yang begituan? Kemane aje sih
loo?”
Ketua
Murid tiba-tiba mendapatkan ide brilian. Sepertinya PLN sedang berbaik hati mau
mengalirkan listrik untuk menyalakan lampu di atas kepalanya di tengah krisis
energi seperti ini. “Bu, bukankah yang diutamakan duduk di depan kelas adalah
siswa yang berkacamata?”
“Ya.
Sebaiknya memang begitu.”
“Masih
ada satu siswa kita yang berkacamata, Bu.”
Semua anak memutar kepala mereka ke arah pojok kanan kelas. Di mana ada sejumput rambut mencuat di atas tepi meja. Pantas dari tadi tidak keliatan. Pojok kanan memang kurang terpapar cahaya, segelap warna sejumput rambut itu. Lagian Bu Guru matanya agak rabun juga.
Anak itu Moeny julukannya. Ia sedang melihat katalog senjata api yang menjulur dari kolong meja sedari tadi, seolah tidak menyadari ada serigala betina yang sejak tadi bikin keributan di depan kelas. Antara Bazooka atau Kalashnikov. Atau AK 47. Yeah, masih banyak variasinya. Berapa peluru yang muat di selongsongnya. Bagaimana putarannya. Mudah dibawa dan praktis apa nggak... Moeny sibuk memilih mana yang paling pas ukurannya untuk melubangi tengkorak anak SMA. Dalam kepalanya sedang terkonsep rencana untuk bikin ekskul semacam Air Soft Gun dengan senjata api betulan dan sasaran tembak betulan yang lokasinya di sekolahan. Huhuhu... asik...asik... Pasti bakal beken deh. Setidaknya mengisi headline di segala macam media, baik bagi kaum berdasi maupun kaum pemungut ceceran nasi. Meskipun ambisi bikin film yang ditonton 2,5 juta pelajar se-Indonesia harus ditunda dulu, setidaknya kehadiran ekskul ini akan diketahui 2,5 milyar penduduk dunia. Cekikikan phsyco Moeny tersembur seiring dengan gerakan tangan Bu Guru yang merampas katalog senjata apinya.
Beberapa menit kemudian Moeny telah menyadari bahwa guru yang lama telah dimutasi. Bahwa ada guru baru bermuka dekok yang menjadi pengganti. Bahwa ia sedang menduduki si Bangkong kini.
Apa? Si Bangkong? Huaahhhaaa... Gue pecundang dan gue akan mati dimakan bangku terkutuk, pikir Moeny. Putus asa ataukah pasrah. Tiada beda.
Moeny menunduk dan mendapati bangku yang masih kokoh menampungnya itu menyadarkannya bahwa triplek seukuran F4 harus selalu dibawa kalau akan ujian. Terutama ujian yang menyuruhnya untuk menghitamkan dengan pensil komputer karena lembar jawab akan dikoreksi dengan scanner.
Permukaan meja ini tidak lagi rata. Penuh dengan coretan pulpen dan tipe-X. Yang apabila dibaca sungguh sangat mengenegkan hati anak SMA pada normalnya. Rumus trigonometri. Rumus kecap ABC dalam berbagai variasi. Hukum Newton. Rangkuman Biologi. Reaksi Kimia. Ada CP guru segala lagi. Moeny menengok ke dalam kolong bangku. Ada keluarga laba-laba di dalamnya. Mari berteman, batin Moeny sambil menertawakan dirinya yang mulai merasakan kegilaan. Di tepian bangku ada rumus Phytagoras. Melirik sedikit ke bawah dari posisi duduk tegak menempel sandaran kursi saja sudah kelihatan. Moeny lebih menunduk lagi dan mendapati, wuuu.... belum yang ada di kaki-kaki meja... Moeny sampai berdecak-decak. Sepertinya di permukaan kursi yang dia duduki juga ada. Tuh, benar saja... Dengan ditoreh tinta gelap seperti ini, mungkin dari meja guru pun takkan kentara ada sebegitu banyaknya contekan yang bertebaran di hampir seluruh permukaan bangku. Moeny sempat berniat untuk menambahkan juga tabel perkalian dari 11x11 sampai 21x21 untuk memudahkan perhitungan dalam mengotret. Kalau saja masih ada lahan...
Apakah gue terkutuk untuk menjadi pintar?
Sejak itu Moeny tidak pernah mendapat nilai kurang dari 8 di kelasnya padahal sebelumnya nilai-nilanya tidak pernah lebih dari 5—bahkan hampir tidak naik kelas saat pembagian rapot bayangan. Bahkan untuk pelajaran Matematika yang anak lainnya rata-rata hanya mendapatkan 5,5! Moeny mulai disayang-sayang guru. Didekati teman-teman pria dan wanita. Ditanyai PR dan soal ulangan yang tak terpecahkan. Moeny bagai buku catatan berjalan. Interaksi sosial demikian membuat Moeny melupakan sedikit demi sedikit masa lalunya yang kelam.
Hari ini, kubuka lembaran baru bagiku. Ku di sini karna kau yang memilihku.
Moeny si pecundang? Sapa tuch? Mamoen si bintang kelas? Wuaw, ke..ren... Oche dech!
Namun ada segerombolan oposisi yang meyakini bahwa Moeny takkan bisa lepas dari kepecundangannya. Bahwa anak itu masihlah pecundang sebagaimana telah tertulis sejak zaman azali. Gerombolan oposisi itu mulai mengirimkan intel-intel mereka untuk menyelidiki mengapa semua ini bisa terjadi.
Akankah ini slamanya? Atau hanya sementara?
Kerja keras, disiplin, dan kecermatan tingkat tinggi membuat penyelidikan super rahasia para intel itu berbuah kesimpulan: Si Bangkong ternyata menyimpan harta yang sangat berharga! Rangkuman rumus dan catatan!
Esok hari setelah kesimpulan dibacakan pada seluruh anggota gerombolan oposisi, mereka berlomba-lomba untuk merebut si Bangkong dari pantat Moeny. Tidak ada cara selain itu karena kini ada peraturan tidak boleh merusak properti sekolah. Pernah sekali salah satu di antara mereka coba menyalin kata-kata mutiara di atas meja namun kepergok Bu Guru Galak. Akibatnya ia didenda membayar sekian ribu. Si Bangkong adalah satu dari segelintir jumlah bangku tua yang ada coret-coretannya di sekolah itu. Jumlahnya yang sedikit sekali dan oleh karena itu harus dilestarikan membuat gerombolan oposisi berniat untuk bertransformasi menjadi Komunitas penyayANG bangKU laNGka (KANGKUNG) setelah perkara ini selesai. Namun karena Moeny kini dicintai dan tidak semudah itu mempencundanginya seperti jaman dulu kala, gerombolan oposisi memilih jalur diplomasi. Mereka melobi Bu Guru Galak, yang kini agak baik karena ada si Buku Catatan Berjalan di depan mejanya, agar melakukan pergantian tempat duduk. Mereka mengaku mata mereka lama kelamaan rabun karena terlalu lama duduk di belakang juga terlalu banyak membaca buku pelajaran agar bisa sepintar Moeny. Opini demikian disetujui Bu Guru.
“Memang benar keadilan harus ditegakkan,” ujarnya sementara beberapa anggota gerombolan oposisi berbisik bisik, “Nanti habis giliran elo duduk situ, gantian gue yaa...”, “Kita duduknya jangan sampai jauh-jauhan,”, dan sebagainya.
Pembagian tempat duduk baru pun dilakukan. Salah satu anggota gerombolan oposisi berhasil memenangkan si Bangkong.
“Horeee.... abis ini kita rayakan ke biskop dengan nonton film Indonesia yuk! Apapun judulnya, bagaimanapun kualitasnya, produk buatan dalam negri harus dihargai!” sorak sorai anggota lain bergembira, terutama yang ekstrimis aliran swadesi.
Saat si anggota yang beruntung itu hendak memindahkan tasnya, betapa kagetnya ia ternyata si Bangkong sudah tidak ada di tempat semula. Yang ada di depannya adalah seset bangku yang masih mulus permukaannya. Rupanya Moeny pecundang pindah ke tempat barunya dengan membawa si Bangkong turut serta. Pantatnya tidak mau lepas dari situ. Sudah dilem aibon kiranya.
“Gue mau bangku itu!” jerit si anggota beruntung dengan arogan. Teman-temannya hendak menyerbu Moeny, melepaskan si Bangkong dari pantatnya. Bu Guru Galak berteriak, “Apa-apaan ini? Kenapa kamu seperti itu? Bukankah temanmu sudah berbaik hati menukar bangku jelek itu dengan bangku yang mulus?”
Para anggota gerombolan oposisi tidak berani menjawab. Saat Bu Guru pergi sebentar ke luar dengan membanting pintu untuk menjawab telpon dari pacarnya, mereka segera menyerbu Moeny dan si Bangkong. Ada yang bawa dongkrak segala, untuk mengangkat pantat Moeny yang begitu kuatnya menempel. Moeny dan si Bangkong seakan sudah satu tubuh saja, tidak bisa dipisahkan.
Mendadak tubuh Moeny menegang. Matanya melotot. Kejang-kejang sambil mengeluarkan suara menggeram nggak jelas.
“Ayan! Ayan! Si Moeny ayan!” jerit salah seorang murid sambil lari menjauh seakan orang sakit ayan itu bisa meledak kalau kambuh. Padahal kalaupun sekolah itu ikut meledak karena Moeny—sebagaimana pikirnya seperti itu—kerugian yang ada tidak akan sebesar dengan ledakan mal atau hotel atau tempat manapun yang banyak orang berbicara bahasa Inggrisnya.
Mendadak geraman itu berganti menjadi nada pentatonis yang mendayu-dayu, “Eling-eling mangka eling... Rumingkang di bumi alam2... Teu horewang sumoreang tekadna pahlawan bangsa3...”
Leher Moeny mulai bergerak-gerak nggak jelas.
“SEMUANYA, JAUHIN DIA!”
Semua orang terkesiap. Berhenti dari pekerjaannya. Terutama yang barusan menjambak rambut Moeny. Terutama yang barusan memegang dongkrak. Terutama yang barusan berusaha menggesekkan selangkangan Moeny di kaki si Bangkong. Sekedar mengulang tradisi lama. Dulu yang begitu itu pernah ngetren, kata sesepuh sekolah.
“Gue inget! Gue inget!” teriak murid cewek yang barusan teriak. “Kejadian ini pernah ada di salah satu film Indonesia yang gue tonton!
“Saat si tokoh utama merasa terancam atau terganggu...” mimik gadis itu begitu serius. Keringat mengucur deras dari pelipis. Rambutnya pun mulai lepek basah. Mungkin dia sudah seminggu tidak keramas. Gadis itu menelan ludah, menambah efek horor yang telah merengkuh bahu sebagian besar murid... “... tanpa sadar dia akan melantunkan tembang dalam bahasa Jawa...”
“Tapi dia mah pake bahasa Sunda!”
“Orang Sunda kali dia!”
“Gue gak tau kalo si indo yang maen di film itu orang Jawa.”
“Adoh! Masak di kelas ini gak ada Rohisnya sih? Bacain Ayat Kursi napa?! Ini bukan film yah, plis, tolong, gue mulai frustasi beneran neh...”
“Biar gue trusin dulu!” histeria murid cewek yang ceritanya dipotong itu mengagetkan semua. Seakan kalau cerita itu tidak diteruskan akan memunculkan malapetaka besar yang akan mengancam kehidupan belia mereka. “...dan ketika tembang itu mulai dilantunkan... ternyata... ternyata... TEMBANG ITU ADALAH TEMBANG PEMANGGIL...”
“BRAK!”
“KYAAAAA!”
Murid-murid berhamburan. Berjumpalitan sejauh mungkin menjauhi Moeny dan pintu kelas yang terbanting secara tiba-tiba. Hampir semua bersembunyi di balik meja. Yang tidak kebagian, meringkuk di kursi, melindungi kepala sambil menghiba-hiba, “Ampuni saya... Ampuni saya... Saya tidak bersalah, saya cuman ikut-ikutan, saya tidak berbuat apa-apa, saya cuman pelengkap penderita, saya dibayar seratus ribu sekali lewat...” Sisanya terpaku di tempat dan membasahi ubin kelam dengan salah satu unsurnya adalah amoniak.
“Ada apa ini ada apa?” tanya bapak berkumis yang diketahui sebagai pegawai sekolah yang beberapa menit lalu memberi pelumas pada pintu kelas. Gara-gara dibanting Bu Guru pintu itu jadi agak macet.
Sebagian murid yang telah mendapat buah kesadaran bahwa mereka harus menjadi relijius setelah mengalami ketegangan ala film horor semacam tadi berkali kali bersujud syukur biarpun tak tahu arah kiblat. Bersyukur karena yang ada di ambang pintu bukanlah sesuatu yang meluncur tak berkaki ataupun berkaki tapi ngesot melainkan siluet pegawai berkumis dan Bu Guru Galak. Semua tampak masuk akal.
Bu Guru Galak memanggil Moeny dengan nama lengkapnya, yang lebih terdengar seperti bentakan untuk segera mulai menangkap belalang, merangkak, dan menyembah kaki sang guru sebagaimana tugas OSPEK 30 tahun lalu, disusul pernyataan, “Orangtua kamu menunggu di ruang Kepala Sekolah.”
Leher Moeny bergerak ke posisi yang lebih nyaman. Ia berhenti menyanyikan pupuh-pupuh Sunda yang wajib dihapalnya waktu SMP namun nyatanya ia tidak begitu hapal. Matanya membuka dan menatap mata Bu Guru Galak yang sedang melotot. Ia sadar kumis Pak Pegawai Sekolah yang seksi itu juga mengarahnya.
“Nggak mungkin. Jam segini ibu saya biasanya lagi yoga atau jalan-jalan dengan VW bunga-bunganya. Nggak mungkin juga ayah saya yang datang. Jam segini dia masih tidur karena malamnya harus mangkal di Taman Lalu Lintas. Atau dia mungkin sedang membeli rok baru... Nggak mungkin. Nggak mungkin.” Mata Moeny jadi putih lagi dan mulai meracau, “Mobil butut kaluaran baheula4... Di Curug Cinulang bulan bentang ngarembolan5...”
“Mereka ada,” tegas Bu Guru. Disusul hadirnya dua orang asing tak lama kemudian yang diiringi Kepala Sekolah. Dua orang asing itu, dua-duanya wanita. Ups, tidak. Yang satu lagi menyerupai wanita. Yang wanita asli memakai baju rumbai-rumbai, celana cutbrai, dan ikat kepala bunga-bunga. Mereka berkata, “Moeny, kami harus bicara sama kamu! Sekali kali menurutlah pada orangtua.”
“Manuk dadali... Manuk panggagahna6...” Setelah itu Moeny tidak mengeluarkan suara lagi. Mencicit pun tidak.
Para murid menggelengkan kepala. Ada yang bersujud syukur lagi. Bersyukur tidak ditakdirkan punya sepasang orangtua aneh dan lalu jadi anak aneh.
Pria itu pun pergi untuk selamanya dan tak seorangpun mengetahui keberadaannya.
Semenjak dua orang berpenampilan lain dari umumnya orang biasa-biasa saja datang menjemput anak mereka, Moeny si pecundang kesurupan tidak pernah nampak lagi ujung tangkai kacamatanya.
Kabarnya sih, dia dibawa ke psikolog dulu, baru ke psikiater.
Kabarnya sih, dia dibawa ke ustadz apaaa begitu. Diruqyah.
Kabarnya sih dia dibawa ke pesantren.
Tapi bisa saja.
Bisa saja dia masih di Rumah Sakit Jiwa.
Bisa saja dia sebetulnya anak normal yang sengaja bertingkah untuk cari perhatian.
Bisa saja dia tengah membuat kekacauan di sekolah lain.
Atau baru saja memulai hidup yang damai. Mungkin dia sudah menemukan orangtua baru.
Yang kemunculannya tidak hanya saat anaknya sakit-parah-dan-sebentar-lagi-akan-mati.
Yang tidak suka selingkuh sehingga bikin anaknya jadi homo atau makan narkoba.
Yang punya pekerjaan lain selain memikirkan cinta masa lalunya yang tidak kesampaian sampai-sampai melibatkan anak-anaknya.
Yang bukan hippie. Yang bukan transgender.
Biar sekolah menjadi damai tanpa kehadiran si Pecundang Kesurupan Moeny, tak seorang pun tahu, kalau ada yang menjadi amat kesepian akibat kepindahan yang mendadak itu.
Dialah cewek yang suka menulis diari. Membuat komik tentang peri sekarat yang dikira komedi. Yang dibilang bebegig sawah. Yang ditampar pacarnya saat ditembak si Kesurupan Moeny Pecundang.
Cewek itu kini tergeletak lemah tak berdaya di atas ranjang. Istriku. Yang menanti seseorang yang ia kira takkan pernah lagi akan bisa ia temui. Yang sampai kapanpun takkan bisa ia sampaikan perasaan cinta terpendam kepadanya.
Tenanglah istriku. Akan kutemukan pria itu. Mamoen Melodi Marhaen a.k.a. Moeny. Aku tidak akan menyebutnya Pecundang sebagaimana teman-teman masa kecilmu dulu. Apakah seseorang yang sedang menyelesaikan gelar masternya di utara Benua Hitam, seberang negri para nabi, masih bisa disebut Pecundang? Ya, aku telah menemukannya, istriku. Setelah merajut semua link yang aku punya.
“Silahkan masuk,” ujarku pada pria itu. Seorang pria kurus berwajah kalem yang memakai baju takwa. Di belakangnya mengekor seorang wanita dengan sepasang mata dan alis menggoda mengintip di atas cadarnya. Aku kira tidak cukup sopan untuk memberitahu wanita itu bahwa maskaranya meluber. Cuaca di luar memang sedang panas-panasnya.
Bagaimanapun
inilah akhirnya aku melihat Moeny. Dia datang dengan membawa istrinya. Begitu
pengakuannya.
“Maaf
saya baru bisa datang sekarang,” ujar pria itu. Lelah terpancar dari matanya.
“Tidak
apa-apa,” Tak tahukah kamu Cintaku telah menunggu lama? “Saya dengar Anda langsung
dari Mesir dan baru lepas dari sebuah masalah pelik?” Aku memasang wajah
prihatin. Berharap sorot-marah-menembus-lensa-kacamata yang dikagumi istriku
bisa aku saksikan juga. Tapi sepertinya pria ini sudah berubah, tidak
sebagaimana yang digambarkan istriku dalam diarinya dulu.
“Ya.
Urusannya rumit sekali. Wanita yang saya tolong malah menuduh saya
menghamilinya. Pengadilannya sungguh berbelit-belit... Sampai saking stresnya
saya tidak kuasa solat... Selain itu, beasiswaku dicabut juga...”
Kesunyian
berkeliaran. Menabrak-nabrak dinding ruang dingin ber-AC ini. Kemalangan pria
itu dari dulu sampai sekarang tampak tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengan anugrah yang diterimanya. Istrinya terkesan cantik dan kaya. Darimana
aku tahu kalau dia cantik? Lihat saja matanya seperti itu... Aku hampir tak bisa lepas memandangnya
kalau tak ingat istriku. Dilihat dari penampilannya, dia juga sepertinya dari
kalangan the-have-most. Bisa jadi
mereka datang ke sini dengan helikopter pribadi..
“Maaf, apakah Anda mau larutan penyegar panas dalam? Anda datang jauh-jauh dari tempat panas, langsung ke tempat yang dingin seperti ini?” ujarku mengusir sunyi itu sekaligus mengalihkan perhatian dari wanita high profile bercadar.
“Tidak. Makasih.” Ia menawarkan pada wanita bercadar di sebelahnya. Wanita itu menggeleng. Ketika pandang kami bertemu, kusadari bahwa pandangan matanya memang sangat menggoda. Seharusnya matanya diberi cadar juga. “Ngomong ngomong, bagaimana kabar... istrimu?”
Bisa kurasakan perubahan mimik wajahku, dari tegar menjadi kuyu. Aku bangkit sambil memberi isyarat kepadanya untuk mengikutiku ke ruangan sebelah.
Kupandangi wajah cantik istriku. Dengan wajah cantik seperti itu siapa yang tak akan jatuh cinta padanya sejak pandangan yang pertama? Kalau ia bangun nanti, setelah cukup pulih jasmani dan rohaninya, mungkin ada baiknya juga kalau aku menyarankannya untuk bercadar. Meski itu berarti dia sempat punya impian jadi penyanyi berbahu indah itu akan tetap jadi angan-angan. Akan hilang terbang seperti cita-cita jadi komikus yang dulu pernah dia punya karena dia tidak pernah berhasil membuat cerita sedih. Dia malah membuat orang menyandangkannya gelar Komikus Komedi. Kokom. Tapi setidaknya kini Moenynya telah nyata. Oleh karena itu, bangunlah, Sayang! Sedang apakah kamu di sana, wahai istriku? Mungkin dalam lelapmu itu kau tengah berayun di atas punggung unta dengan Moeny menjaga di belakangmu...
Sementara Moeny sedang larut dalam monolog bisu nan sendu di samping ranjang istriku, wanita bercadar itu mendekatiku. Dia berkata pelan, seolah tak ingin terdengar oleh Moeny, “Saya sudah mengikhlaskan perempuan itu untuk menjadi istri kedua Mas Moeny... Segalanya sudah saya persiapkan...”
Apapun yang ada di balik cadarnya, pasti sedang menunjukkan ekpresi tabah. Tapi ada yang tidak kumengerti dari perkataannya tadi itu.
“Perempuan itu... siapa maksudmu?”
Wanita bercadar itu menunjuk Sayangku dengan tolehan kepalanya.
Ucapku dengan mulut bergetar, “Saya suaminya.”
***
Keterangan:
1 = Bahasa Sunda: orang-orangan
2
= dari pupuh Asmarandana
3 = dari mana ya...? uh, lupa!
4
= lagu sunda ‘Mobil Butut’
5 = ‘Curug Cinulang’ oleh Yayan Jatnika
6
= ‘Manuk Dadali’
terima kasih
untuk www.sinema-indonesia.com.
maaf saya banyak nyatut dari situ. terima kasih atas sarannya untuk tidak
menonton film indonesia tertentu. saya tidak menonton semuanya.
2:50 AM
30 Juli 2008
[1] “Kangen”
(Dewa 19), lagu
[2] “Heart”,
lagu
[3] “Sunny”
(Bunga C. Lestari), lagu
[4] “Catatan
Akhir Sekolah”, film
[5]
“Petualangan Sherina”, film
[6] “Tini
Wini Biti”, iklan, dengan Sherina sebagai bintangnya
[7]
“Jagoan”, soundtrack “Petualangan
Sherina”
[8] “Kawin
Kontrak”, film
[9] “Si Jago
Merah”, film
[10] “Ekskul”,
film
[11]
“Garasi”, film
[12]
“Dealova”, film
[13] “Love is Cinta”, film
HABIS KATA #++
Cerpen ini saya buat karena diminta oleh Mbak Desi. Dia minta dibikinkan cerpen parodi untuk dimasukkan dalam antologi cerpen parodi yang rencananya akan diterbitkan oleh suatu penerbit. Karena cerpen ini dibuatnya sudah lama jadi saya tidak begitu ingat proses pembuatannya bagaimana. Yang jelas yang pertama saya hadapi adalah kebingungan karena saya jarang nonton film sehingga tidak tahu harus memparodikan film apa. Untung saya tahu situs www.sinema-indonesia.com. Saya sudah sering main ke ke situ sejak situs tersebut masih berupa blog. Situs itu menjadi panduan bagi yang hendak menonton film Indonesia. Karena gaya me-review-nya yang sangat tajam namun menghibur, maka situs itu menjadi situs favorit saya dan teman-teman. Sayang sekarang sudah tidak ada yang baru lagi dalam situs itu. Mungkin karena mutu film Indonesia semakin menurun meskipun jumlah yang diproduksi semakin banyak. Sehingga dalam pembuatan cerpen ini pun, keberadaan situs ini sangat membantu. Dari review-review tersebut saya mendapat gambaran hendak memparodikan apa. Bahkan review itu sendiri pun kadang berupa parodi. Jadilah cerpen ini rentetan parodi film-film Indonesia. Namun sebelum cerpen ini menjadi seperti ini, saya mengalami kesulitan dalam menampung ide yang bermunculan dan bagaimana bentuk cerpen ini nanti jika semua ide tersebut dimasukkan. Saya sempat berhenti ketika waktu deadline yang ditentukan Mbak Desi habis padahal saya sudah hampir menemukan titik cerah. Namun ternyata Mbak Desi memperpanjang tenggat waktunya sehingga saya memiliki kesempatan untuk mewujudkan cerpen ini dan saya bersyukur karena kepikiran membuat cerpen ini ke dalam bentuknya yang sekarang. Saya menyelesaikan cerpen ini dalam sekali duduk. Dari ba’da isya kiranya sampai sekitar jam 3 pagi hampir-hampir saya tidak beranjak dari kursi karena bersemangat menyelesaikan cerpen ini. Ketika akhirnya cerpen ini selesai, punggung dan pinggang saya rasanya kaku sekali sewaktu dibaringkan di atas kasur. Saya merasa telah benar-benar bekerja sebagai seorang pengarang.
Sebetulnya cerpen yang diminra itu kiranya hanya sepanjang 7-8 halaman saja. Namun karena saya menampung semua ide dan tidak tega menyia-nyiakannya, akhirnya cerpen ini panjangnya 15 halaman. Setelah saya serahkan pada Mbak Desi, sambil berjalan pulang dalam kegelapan sehabis petang, saya malah kepikiran akan ide-ide parodi yang baru. Sesampainya di rumah saya langsung menambahkannya pada cerpen ini dan akhirnya jadilah cerpen ini sepanjang 16 halaman. Tambahannya saya smskan juga pada Mbak Desi.
Pada akhirnya cerpen ini tidak jadi dipakai karena kepanjangan dan jumlah film yang diparodikan terlalu banyak.
Memang ada perasaan gimana... gitu yang terlintas dalam dada, tapi ya sudahlah. Saya tidak menyesal akan cerpen ini. Saya cukup menyukainya.
Cerpen ini dibuat pada bulan Juli sehingga cerpen ini dapat juga disebut cerpen Juli. Namun karena pada bulan Juli itu saya telah membuat cerpen, maka cerpen ini saya niatkan sebagai cerpen ++ saja. Sebenarnya ada niatan untuk menjadikannya cerpen Agustus—karena waktu itu saya malas memikirkan mau bikin apa untuk cerpen Agustus—namun hati kecil saya menolaknya. (12/31/2008)