Rabu, 30 Juli 2008

Moeny

Kuterima diarimu. Tlah kubaca. Dan aku mengerti. Betapa merindunya dirimu akan hadirnya dirinya.[1]

Dirinya. Bukan diriku. Moeny. Demikian dirimu memanggilnya.

Dalam ruang VVIP aroma bunga kemboja ini kini hanya ada aku dan dirimu. Tergeletak lemah dirimu di atas ranjang. Selang di bawah hidungmu. Juga menembus pergelangan tanganmu. Sudah beberapa minggu begitu saja kondisimu.

Aku yang mencintaimu berusaha berpacu dengan waktu. Menyelamatkanmu. Meski kini kutahu aku bukanlah yang kamu harapkan. Meskipun sudah beberapa bulan kita membangun bahtera rumah tangga.

Pada sore itu kita sedang bercengkerama di danau dengan menaiki perahu. Menikmati sisa-sisa bulan madu. Hanya kita berdua. Diiringi kabut. Pohon-pohon air. Lalu kita lihat ada sepasang kura-kura mendekati perahu kita.

Aku berkata, “Semoga kebersamaan kura-kura itu tetap abadi sebagaimana kebersamaan kita.” Kamu hanya tersenyum sambil mengangguk malu-malu.

Tiba-tiba perahu kita bocor entah apa sebabnya. Hingga kita terjatuh dalam air. Basah pakaianmu. Kamu meringis. Tertawa apa menangis. Aku bingung. Atau mungkin kamu yang bingung. Kenapa perahu yang kita naiki tiba-tiba bocor begitu.

“Kamu kenapa, Sayang?”[2]

“Ya kedinginan dong,” sungutmu. Lalu kita pulang. Kubawa kamu ke rumah sakit karena kamu pingsan di tengah jalan. Ternyata penyakitmu kambuh. Penyakit yang sebenarnya telah lama kamu derita sejak bertahun-tahun lalu. Penyakit ganas. Yang bikin bibir kamu makin merah karena darah. Kamu bilang itu lipstik. Lipstik tidak asin rasanya, Sayang. Dan mana ada lipstik yang meluber dari mulut begitu. Aku tak menyangka penyakitmu ini akan sampai membawamu ke ruang VVIP mewah ini. Kamu tak sadarkan lagi sejak itu. Sejak rumah sakit itu merujukmu untuk diopname di rumah sakit ini.

Kini tinggalah gundah gulana memenuhi ruang hatiku. Aku masih mencintaimu, sungguh! Namun apa yang kutemui pada diarimu. Yang kutemukan saat membereskan baju-bajumu untuk dibawa ke rumah sakit. Tak sengaja terbuka langsung pada halaman terakhir. Yang kamu tulis beberapa hari setelah hari pernikahan kita. Saat kita mulai pindahan ke rumah baru kita.

 

2 Juni 201x

Moeny... Moeny... Apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja.

Moeny, beberapa hari lalu telah kututup masa lajangku. Sekaligus masa pendambaanku akan datangnya cinta darimu. Aku sudah tak mungkin menanti. Aku tak mau jadi perawan tua. Lagipula pria tampan ini berkata dia sungguh mencintaiku. Dan dia bukan object of ridicule. Dan dia bukan loser. Dan dia kaya raya.

Tidak, Moeny, tidak demikian. Sungguh jauh dalam lubuk hatiku aku masih mengharapkanmu. Setiap hari semenjak kamu mulai menjerat hatiku. Namun penantianku ini seakan tak ada ujungnya. Karena kamu takkan pernah datang... Mungkin sekarang kamu telah menikahi seseorang sebagaimana diriku kini. Namun tahukah kamu, Moeny, tiap kali aku  berlutut, aku berdoa, suatu saat kau akan cinta padaku. Kadang pula aku terbangun dengan sedih dan pilu, terutama setelah malamnya bermimpi tentangmu, aku hanya bisa menangis dan mendekap wajahku dengan bantal sambil mengerang, “Mana Moeny, mana Moenyku...?”[3]

Hingga kini... Meski suamiku tak pernah tahu... Aku harus belajar melupakanmu meski aku sangat ingin melihat dirimu sekali lagi untuk yang terakhir kalinya. Aku harap usiaku masih ada hingga saat itu terjadi...

 

Kubelai dan kucium tanganmu yang tak ada tenaga sama sekali di dalamnya. Berharap matamu yang terpejam rapat itu bisa terbuka. Setidaknya untuk melihat Moenymu dan mewujudkan obsesimu menjadi penyanyi berbahu indah setelah kau campakkan cita-cita menjadi komikus. Ya. Apa boleh buat. Aku rela mencari Moeny sampai ke Mesir sekali pun asal kamu mau membuka matamu, Sayangku. Karena, maafkan aku, aku telah membaca seluruh isi diarimu tanpa minta izin terlebih dulu padamu hingga aku tahu betapa kamu sangat mencintainya lebih dari apapun sejak dulu. Jauh, sebelum kamu bertemu denganku...

  

Pria itu adalah seorang pecundang.

MOS. Merasakan Oh Siksa. Senior lari lari. Bentak sana bentak sini. Tiga orang pecundang bernama Maman, Mamoen, dan Marwan disuruh maju. Mereka jalan ke depan dan para senior ingat cara jalan simpanse.[4]

“Kalian bertiga! Nyanyi lagunya Westlife!”

“Waslap? Yang buat ngelap?” di antara mereka yang paling tinggi bertanya pada di antara mereka yang paling pendek. Wajah bingung.

“Tidak, Sayang. Lagunya Westlife itu yang seperti...”

Lima menit kemudian mereka bertiga menyanyikan ‘My Love’ dan ‘Soledad’ dengan gahar.

“Kurang ece-ece!”

Mereka melambai. Nyiur di pinggir pantai.

“Semua! Liat sini! Inilah boyband kita! Suara senior keras dibahanakan TOA sehingga sensasinya bagai piam di tengah hutan bagi anak pramuka atau Pecinta Alam yang baru pertama kali merasakan Pendidikan Latihan Dasar.

“Tepuk tangan semuanya!” Tepuk tangan itu akan selalu mengiringi kepergian 3 M untuk waktu yang cukup lama selama mereka berjalan di koridor sekolah. Di tengah para murid jahil yang menyiuli dan sok-sok minta tanda tangan padahal di belakang mereka hanya menjulurkan lidah dan menepuk pantat.

 

Pria itu nama lengkapnya Mamoen M. Marhaen.

Hari pertama belajar di kelas tidak selalu menyenangkan. Tidak hanya bagi si pemalu. Tapi juga bagi si rebel Mamoen.

Giliran Mamoen maju ke depan kelas untuk memperkenalkan dirinya. Mamoen menulis dengan spidol di whiteboard. Tidak keren, pikirnya. Efek yang ditimbulkan kapur putih di atas blackboard tak tok tak tok akan terdengar lebih rock ‘n roll. Yeah, baby. I’m a teenager. Just be the part of rock ‘n roll generation. Sebuah tanggung jawab yang amat besar menyandang kesadaran demikian.

 

Mamoen M. Marhaen

 

“Cita-cita saya adalah membuat film! Film yang akan mengupas kebusukan masyarakat yang mengaku dirinya beradab.”

Termasuk kalian yang udah ngetawain gue. Gue yang udah jadi korban atas kesewenang-wenangan manusia-manusia borok yang merasa harkat  dirinya lebih tinggi!

“Film yang akan dinantikan oleh jutaan pelajar di Indonesia. Yah, setidaknya 2,5 juta.”

Semua terpana sebelum ada suara dari rimbunnya barisan murid baru kelas itu. “M-nya apa tuh?”

“MONYET!”

“WAAHAHAHAHAA....”

“Anak-anak—sudah!” Ibu guru mencoba jadi baik dan berwibawa.

“...sebenernya itu Melodi...”[5] desis Mamoen lirih. Matanya sarat amarah. Hingga menembus lensa kacamatanya. Tidak heran. Sejak hari pertama menginjakkan kaki di SMA sampai hari pertama di kelas X berbagai gencatan sudah menindasnya. Bagaimana dengan hari pertama-hari pertama selanjutnya ya? Tidak ada yang jawab.

Anak-anak ketawa makin keras.

“Nama apaan tuh!?” Mulai saat itu mereka sepakat memanggilnya Moeny. Enak saja mengucapkan dan mendengarnya. Dan mereka tempel di mading kalau anak X-9 bernama Mamoen Melodi Marhaen nama panggilannya Moeny. Dan dia gemar main piano. Dan balet. Dan nyanyi. Dan potretnya ada di bonus snack berbentuk biskuit mini. Ada rasa satenya juga loh...[6]

Selain membuat film, Mamoen jadi ingin merombak mading juga.

Tau apa para anak mading itu?! Mereka pikir, mereka yang paling pintar, merasa paling jago dan paling dahsyat...[7]

 

Sebagai remaja, pria itu tahu bagaimana dia harus mengaktualisaskan diri. Dia tak segan melakukannya.

3 M sepakat membuat film yang akan merekam kebusukan dunia SMA. Dari akademis sampai ke para individunya. Mereka belum punya adik kelas dan tidak ada yang mendukung mereka selain para pecundang lainnya. Mereka ingin memutar film ini di kelulusan sekolah meski mereka baru lulus 2,5 tahun lagi. Mereka tidak peduli apa yang akan terjadi. Jiwa pemberontak mereka meyakinkan diri mereka kalau sesuatu yang buruk sampai menimpa mereka, ya memberontak saja. Apa gunanya punya jiwa pemberontak kalau tidak pernah memberontak. Memberontak bagai rock yang di-roll ombak.

Mereka berpikir keras untuk bisa mendapatkan judul yang pas bagi bakal film mereka itu. Mereka lakukan segalanya. Mulai dari memutari kuburan, mencari istri kontrak di desa[8], jadi bintang iklan sabun, hingga magang di Dinas Pemadam Kebakaran[9]. Apapun untuk mendapat inspirasi. Tidak hanya judulnya, tapi juga lain-lain untuk menambah materi film. Hingga mereka sampai pada sebuah keputusan kalau film itu harus dikasih judul ‘SMA’. Itu adalah judul yang paling cerdas. Dengan tagline yang tak kalah cerdas juga: ‘Sebuah Sekolah Menengah Atas’.[10]

Berlari-lari mereka di koridor sambil membawa handycam. Merekam apa yang patut direkam. Untuk dikenang. Untuk diludahi. Untuk dilaporkan ke polisi.

Kesialan rupanya masih betah merundung mereka. Mereka dilaporkan ke guru BP atas tuduhan hendak mengintil bagian dalam rok para siswi dan mengusik privasi dalam kamar mandi. Meskipun guru BP berkata salah sendiri rok para siswi terlalu pendek sehingga mudah saja diintil, 3 M tetap dihukum Menguras, Membersihkan, dan Menutup kamar mandi. Para siswa sok pahlawan yang mengaku jawaranya SMA karena telah memakai sabun jerawat sebuah merk sabun ternama merasa hukuman tersebut belum akan dapat membuat 3 M jera. Desas desusnya 3 M akan disuruh minum air kloset dan digantung di gerbang sekolah. Entah benar apa tidak. Itu terdengar berlebihan. Salah seorang anak mengusulkan agar mereka dikurung saja di gudang sekolah yang sudah lama tak dibuka. Kemunculan hantu Mpok Atie mungkin bisa membuat mereka lebih jera.

Untuk sementara waktu 3 M terpaksa melupakan obsesi mereka mem-publish band indie mereka bernama Gudang. Hanya karena mereka sering berlatih di gudang.[11] Kalau mereka berlatih di Ruang Tamu atau dapur atau WC mungkin nama band mereka akan lain lagi.

 

Pria itu pernah jatuh cinta juga.

Moeny telah memesan kolam terbesar di sekolah itu untuk ia taburi bunga-bunga. Tidak sembarang tabur. Taburan itu harus membentuk kata-kata I Love You. Terlalu panjang. Baiklah. I LUV U. Terlalu panjang. Baiklah. I <3 U. Meski kata ‘Love’ harus dikerdilkan menjadi ‘<3[12]’, namun Moeny tidak akan pernah lupa bahwa Love adalah bahasa Inggrisnya Cinta. Love is Cinta[13]. Cinta adalah Love. Peduli amat. Anak TK juga tahu.

Moeny berencana bolos jam terakhir untuk menata bunga-bunga merah-oren-pink itu di atas air kolam. Ketika bel pulang berbunyi ia akan segera menarik tangan cewek yang akan ditembaknya ke balkon melewati jalan yang tidak akan mungkin bagi cewek itu untuk mengetahui apa yang sudah Moeny perbuat pada kolam. Di mana mereka akan melihat kolam yang telah diwarna bunga itu menjadi suatu pemandangan indah dari atas. Dan Moeny akan mulai aksinya mengatakan cinta. Dan orang-orang akan mulai berkumpul di sekitar. Harap-harap cemas. Ditolak atau diterima. Moeny agak optimis ia akan diterima. Ia boleh buktikan kesetiaannya. Ia bukanlah playboy cap kabel. Ia akan berjanji tidak akan pulang sambil termehek-mehek.

Keyakinan itu muncul karena ia merasa si cewek itu juga menaruh perhatian padanya. Apalagi, buset, cewek itu memang kece! Mirip dengan pemeran salah satu tokoh utama di sinetron ‘SMP’. Tentu saja tagline-nya bukan kepanjangannya dalam versi Depdiknas: ‘Sebuah Sekolah Menengah Pertama’.

Cewek itu selalu memanggil nama ‘Moeny’ dengan mesra. Membuat Moeny jadi terima dipanggil ‘Moeny’. Meski kalau bukan oleh cewek itu ia masih agak-agak kurang ikhlas.

Cewek itu bahkan memperlihatkan komik ciptaannya. Cerita tentang peri yang menurut Moeny itu komedi paling lucu. Membuat cewek itu termangu dan mengatakan komik itu cerita yang teramat sedihnya karena pada akhirnya si peri mati kena sirosis.

Saat Moeny sedang asik main basket sampai kehujanan sampai pakaiannya basah dan melekat di tubuhnya yang sama sekali tidak ada bongkah-bongkahnya sampai ia masuk angin dan pilek dan batuk dan migren, cewek itu tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Pakai jas hujan. Pakai payung. Lalu cewek itu menari-nari. Biar kamu agak gila, biar kamu bebegig1 sawah tapi sikap kamu itu bikin aku jatuh cinta, batin Moeny. Apalagi kamu cantik banget. Gak penting kamu gila, yang penting kamu cantik. Apalagi sih yang orang butuhkan untuk jatuh cinta selain kecantikan lahiriah? Entah kenapa. Pecundang dan orang gila mungkin bisa jadi paduan yang menarik seperti cewek tomboi dan high heels.

Ia bahkan bertaruh dengan salah seorang temannya agar menabraknya kalau si cewek itu menolak.

“Kalo gue juga suka ama elo, gue gak akan sampe hati nabrak lo, Moen...” kata si cewek tomboi temannya itu. Cewek yang lebih cocok main dengan high heels ketimbang main dengan pecinta wanita yang mengaku bukan buaya seperti Moeny.

“Emang elo suka ama gue?”

Cewek  itu terdiam sebentar. Mungkin berpikir keras.

“Gue akan tabrak elo.”

Tapi  Moeny lupa kalau mereka semua menganggapnya pecundang.

Semua berjalan sesuai rencana. Ketika Moeny melihat cewek itu dan cewek itu tersenyum malu-malu sambil menyembunyikan diarinya. Baru saja ia hendak memegang tangan si cewek, tiba-tiba seseorang bertinggi besar dan berwajah indo ganteng datang dan menampar si cewek itu. Ternyata itu pacarnya. Moeny ditarik kerahnya, diseret turun tangga dan dilempar ke dalam kolam. Bunga-bunga berpencar menghindar. ‘Aku cinta kamu’ hancur lebur. Namun Moeny tidak termehek-mehek. Kan sudah janji...

Janji harus ditepati. Termasuk janji untuk menabrak orang yang minta dirinya ditabrak kalau ditolak.

“Brrmm... Brrm...” Terdengar suara mobil distarter keras-keras. Ohmaigawd. Jip! Temannya itu tidak bilang akan menabraknya dengan jip. Dikiranya mau pakai sepeda.

“Eh, lo kok nanggepinnya seriusan seh!?” Moeny panik.

Kebetulan kolamnya memang ada di tepi tempat parkir. Kebetulan tempat parkir dekat pintu keluar. Kebetulan ada jip. Kebetulan temannya itu bisa dapat izin pinjam meski setahu Moeny cewek tersebut belum punya SIM. Biarlah, anak jaman sekarang.

Moeny menganggap seluruh dunia membencinya. Bahkan temannya pun menganggapnya pecundang dan patut ditabrak dengan jip colongan. 

Jip itu meluncur masuk kolam bertepatan dengan meloncatnya Moeny dari kolam. Moeny berlari-lari pulang ke rumah dengan baju basah dan menggigil. “Gue sumpahin lo amputasi kaki atau terpaksa donor hati!” umpat Moeny dari balik jeruji penjara batin.

 

Pria itu pernah jadi anak paling pintar di kelasnya.

Ada guru baru di kelas karena guru yang lama tewas menabrak pohon. Desas desusnya sih begitu. Padahal mungkin saja guru itu keluar karena akhirnya menemukan pekerjaan yang lebih baik dan lebih menunjang masa depan anak dan cucu ketimbang menjadi guru. Soalnya guru tersebut masih muda. Masih banyak potensi yang tidak boleh disia-siakan Lagipula ini Indonesia. Dan momen ini dimanfaatkan mitra polisi untuk mengkampanyekan penggunaan safety belt. Mau mendadak muncul hantu di depan muka saat lagi menyetir malam-malam tanpa menyalakan lampu depan pun akan terhindar dari ketewasan kalau pakai safety belt. Kecuali kalau Tuhan berkehendak lain.

Guru itu boleh cantik, tapi pikirannya konservatif dan kalau bicara seperti senior-kebangetan di acara OSPEK universitas tahun 70-an. Semua bangku di baris paling depan harus diisi. Katanya kalau duduk di bangku paling depan murid bisa lebih konsentrasi dalam menyerap pelajaran. Alasan.

“Saya mah konsentrasinya kalau duduk di belakang, Bu,” pernah itu kata seorang anak.

“Alasan!”

Bentakan galak sang guru membuat pagar pertahanan para murid runtuh juga dan Ketua Murid sebagai wakil dari murid sekelas dengan pasrah mengajukan beberapa anak berkacamata yang rajin belajar dan mengerjakan PR untuk duduk di barisan paling depan. Tunggu dulu. Mereka memang sudah duduk di bangku paling depan. Namun ternyata masih ada satu bangku yang tersisa di paling kanan. Tepat di depan meja guru. Para murid menjulukinya si Bangkong. Alias BANGku KOsoNG.

Tidak ada yang mau menempati bangku itu karena bangku itu terletak tepat di depan meja guru. Anak dengan intelejensia rendah pun tahu kalau duduk di bangku itu mana bisa nyontek, open book, dan kerja sama kalau ulangan? Resiko ketahuannya lebih tinggi daripada posisi bangku depan lainnya. Apalagi kalau gurunya pas ulangan hanya duduk-duduk saja di kursinya dan pakai kacamata kodok. Mana tahan?

“Kamu!” Tunjuk Bu Guru Galak pada murid yang duduk tepat di belakang si Bangkong. “Maju ke bangku depanmu!”

Anak itu langsung muntah. 

Tiga anak lainnya mengaku mual dan satu kejang-kejang karena Bu Guru memerintahkan hal yang sama pada mereka.

“Ada apa sebenarnya di kelas ini? Ibu tahu kalian cuman BERPURA-PURA!” Ibu itu memang bukan orang Batak, tapi dia menggebrak meja. Ada anekdot yang mengatakan, bukan orang Batak namanya kalau belum bisa menggebrak meja.

“KETUA MURID!” karena tak ada seorang pun yang berani menjawab meskipun Bu Guru menjanjikan nilai 9 di rapot.

“I...itu bangku terkutuk, Bu!” sahut Ketua Murid takut-takut. “Siapapun yang duduk di bangku itu... dia... dia... dia akan... mati...”

Mati gaya karena tidak bisa melakukan kejahatan akademik dengan leluasa.

“Saya tidak percaya dengan kisah mistik yang seperti itu. Sudah kalian buktikan secara ilmiah?” Bu Guru mengedarkan pandangan menyelidik, menatap mata murid-murid yang gentar. “Hare gene masih mikirin yang begituan? Kemane aje sih loo?”

Ketua Murid tiba-tiba mendapatkan ide brilian. Sepertinya PLN sedang berbaik hati mau mengalirkan listrik untuk menyalakan lampu di atas kepalanya di tengah krisis energi seperti ini. “Bu, bukankah yang diutamakan duduk di depan kelas adalah siswa yang berkacamata?”

“Ya. Sebaiknya memang begitu.”

“Masih ada satu siswa kita yang berkacamata, Bu.”

Semua anak memutar kepala mereka ke arah pojok kanan kelas. Di mana ada sejumput rambut mencuat di atas tepi meja. Pantas dari tadi tidak keliatan. Pojok kanan memang kurang terpapar cahaya, segelap warna sejumput rambut itu. Lagian Bu Guru matanya agak rabun juga.

Anak itu Moeny julukannya. Ia sedang melihat katalog senjata api yang menjulur dari kolong meja sedari tadi, seolah tidak menyadari ada serigala betina yang sejak tadi bikin keributan di depan kelas. Antara Bazooka atau Kalashnikov. Atau AK 47. Yeah, masih banyak variasinya. Berapa peluru yang muat di selongsongnya. Bagaimana putarannya. Mudah dibawa dan praktis apa nggak... Moeny sibuk memilih mana yang paling pas ukurannya untuk melubangi tengkorak anak SMA. Dalam kepalanya sedang terkonsep rencana untuk bikin ekskul semacam Air Soft Gun dengan senjata api betulan dan sasaran tembak betulan yang lokasinya di sekolahan. Huhuhu... asik...asik... Pasti bakal beken deh. Setidaknya mengisi headline di segala macam media, baik bagi kaum berdasi maupun kaum pemungut ceceran nasi. Meskipun ambisi bikin film yang ditonton 2,5 juta pelajar se-Indonesia harus ditunda dulu, setidaknya kehadiran ekskul ini akan diketahui 2,5 milyar penduduk dunia. Cekikikan phsyco Moeny tersembur seiring dengan gerakan tangan Bu Guru yang merampas katalog senjata apinya.

Beberapa menit kemudian Moeny telah menyadari bahwa guru yang lama telah dimutasi. Bahwa ada guru baru bermuka dekok yang menjadi pengganti. Bahwa ia sedang menduduki si Bangkong kini.

Apa? Si Bangkong? Huaahhhaaa... Gue pecundang dan gue akan mati dimakan bangku terkutuk, pikir Moeny. Putus asa ataukah pasrah. Tiada beda.

Moeny menunduk dan mendapati bangku yang masih kokoh menampungnya itu menyadarkannya bahwa triplek seukuran F4 harus selalu dibawa kalau akan ujian. Terutama ujian yang menyuruhnya untuk menghitamkan dengan pensil komputer karena lembar jawab akan dikoreksi dengan scanner.

Permukaan meja ini tidak lagi rata. Penuh dengan coretan pulpen dan tipe-X. Yang apabila dibaca sungguh sangat mengenegkan hati anak SMA pada normalnya. Rumus trigonometri. Rumus kecap ABC dalam berbagai variasi. Hukum Newton. Rangkuman Biologi. Reaksi Kimia. Ada CP guru segala lagi. Moeny menengok ke dalam kolong bangku. Ada keluarga laba-laba di dalamnya. Mari berteman, batin Moeny sambil menertawakan dirinya yang mulai merasakan kegilaan. Di tepian bangku ada rumus Phytagoras. Melirik sedikit ke bawah dari posisi duduk tegak menempel sandaran kursi saja sudah kelihatan. Moeny lebih menunduk lagi dan mendapati, wuuu.... belum yang ada di kaki-kaki meja... Moeny sampai berdecak-decak. Sepertinya di permukaan kursi yang dia duduki juga ada. Tuh, benar saja... Dengan ditoreh tinta gelap seperti ini, mungkin dari meja guru pun takkan kentara ada sebegitu banyaknya contekan yang bertebaran di hampir seluruh permukaan bangku. Moeny sempat berniat untuk menambahkan juga tabel perkalian dari 11x11 sampai 21x21 untuk memudahkan perhitungan dalam mengotret. Kalau saja masih ada lahan...

Apakah gue terkutuk untuk menjadi pintar?

Sejak itu Moeny tidak pernah mendapat nilai kurang dari 8 di kelasnya padahal sebelumnya nilai-nilanya tidak pernah lebih dari 5—bahkan hampir tidak naik kelas saat pembagian rapot bayangan. Bahkan untuk pelajaran Matematika yang anak lainnya rata-rata hanya mendapatkan 5,5! Moeny mulai disayang-sayang guru. Didekati teman-teman pria dan wanita. Ditanyai PR dan soal ulangan yang tak terpecahkan. Moeny bagai buku catatan berjalan. Interaksi sosial demikian membuat Moeny melupakan sedikit demi sedikit masa lalunya yang kelam.

Hari ini, kubuka lembaran baru bagiku. Ku di sini karna kau yang memilihku.

Moeny si pecundang? Sapa tuch? Mamoen si bintang kelas? Wuaw, ke..ren... Oche dech!

Namun ada segerombolan oposisi yang meyakini bahwa Moeny takkan bisa lepas dari kepecundangannya. Bahwa anak itu masihlah pecundang sebagaimana telah tertulis sejak zaman azali. Gerombolan oposisi itu mulai mengirimkan intel-intel mereka untuk menyelidiki mengapa semua ini bisa terjadi.

Akankah ini slamanya? Atau hanya sementara?

Kerja keras, disiplin, dan kecermatan tingkat tinggi membuat penyelidikan super rahasia para intel itu berbuah kesimpulan: Si Bangkong ternyata menyimpan harta yang sangat berharga! Rangkuman rumus dan catatan!

Esok hari setelah kesimpulan dibacakan pada seluruh anggota gerombolan oposisi, mereka berlomba-lomba untuk merebut si Bangkong dari pantat Moeny. Tidak ada cara selain itu karena kini ada peraturan tidak boleh merusak properti sekolah. Pernah sekali salah satu di antara mereka coba menyalin kata-kata mutiara di atas meja namun kepergok Bu Guru Galak. Akibatnya ia didenda membayar sekian ribu. Si Bangkong adalah satu dari segelintir jumlah bangku tua yang ada coret-coretannya di sekolah itu. Jumlahnya yang sedikit sekali dan oleh karena itu harus dilestarikan membuat gerombolan oposisi berniat untuk bertransformasi menjadi Komunitas penyayANG bangKU laNGka (KANGKUNG) setelah perkara ini selesai. Namun karena Moeny kini dicintai dan tidak semudah itu mempencundanginya seperti jaman dulu kala, gerombolan oposisi memilih jalur diplomasi. Mereka melobi Bu Guru Galak, yang kini agak baik karena ada si Buku Catatan Berjalan di depan mejanya, agar melakukan pergantian tempat duduk. Mereka mengaku mata mereka lama kelamaan rabun karena terlalu lama duduk di belakang juga terlalu banyak membaca buku pelajaran agar bisa sepintar Moeny. Opini demikian disetujui Bu Guru.

“Memang benar keadilan harus ditegakkan,” ujarnya sementara beberapa anggota gerombolan oposisi berbisik bisik, “Nanti habis giliran elo duduk situ, gantian gue yaa...”, “Kita duduknya jangan sampai jauh-jauhan,”, dan sebagainya.

Pembagian tempat duduk baru pun dilakukan. Salah satu anggota gerombolan oposisi berhasil memenangkan si Bangkong.

“Horeee.... abis ini kita rayakan ke biskop dengan nonton film Indonesia yuk! Apapun judulnya, bagaimanapun kualitasnya, produk buatan dalam negri harus dihargai!” sorak sorai anggota lain bergembira, terutama yang ekstrimis aliran swadesi.

Saat si anggota yang beruntung itu hendak memindahkan tasnya, betapa kagetnya ia ternyata si Bangkong sudah tidak ada di tempat semula. Yang ada di depannya adalah seset bangku yang masih mulus permukaannya. Rupanya Moeny pecundang pindah ke tempat barunya dengan membawa si Bangkong turut serta. Pantatnya tidak mau lepas dari situ. Sudah dilem aibon kiranya.

“Gue mau bangku itu!” jerit si anggota beruntung dengan arogan. Teman-temannya hendak menyerbu Moeny, melepaskan si Bangkong dari pantatnya. Bu Guru Galak berteriak, “Apa-apaan ini? Kenapa kamu seperti itu? Bukankah temanmu sudah berbaik hati menukar bangku jelek itu dengan bangku yang mulus?”

Para anggota gerombolan oposisi tidak berani menjawab. Saat Bu Guru pergi sebentar ke luar dengan membanting pintu untuk menjawab telpon dari pacarnya, mereka segera menyerbu Moeny dan si Bangkong. Ada yang bawa dongkrak segala, untuk mengangkat pantat Moeny yang begitu kuatnya menempel. Moeny dan si Bangkong seakan sudah satu tubuh saja, tidak bisa dipisahkan.

Mendadak tubuh Moeny menegang. Matanya melotot. Kejang-kejang sambil mengeluarkan suara menggeram nggak jelas.

“Ayan! Ayan! Si Moeny ayan!” jerit salah seorang murid sambil lari menjauh seakan orang sakit ayan itu bisa meledak kalau kambuh. Padahal kalaupun sekolah itu ikut meledak karena Moeny—sebagaimana pikirnya seperti itu—kerugian yang ada tidak akan sebesar dengan ledakan mal atau hotel atau tempat manapun yang banyak orang berbicara bahasa Inggrisnya.

Mendadak geraman itu berganti menjadi nada pentatonis yang mendayu-dayu, “Eling-eling mangka eling... Rumingkang di bumi alam2... Teu horewang sumoreang tekadna pahlawan bangsa3...”

Leher Moeny mulai bergerak-gerak nggak jelas.

“SEMUANYA, JAUHIN DIA!”

Semua orang terkesiap. Berhenti dari pekerjaannya. Terutama yang barusan menjambak rambut Moeny. Terutama yang barusan memegang dongkrak. Terutama yang barusan berusaha menggesekkan selangkangan Moeny di kaki si Bangkong. Sekedar mengulang tradisi lama. Dulu yang begitu itu pernah ngetren, kata sesepuh sekolah.

“Gue inget! Gue inget!” teriak murid cewek yang barusan teriak. “Kejadian ini pernah ada di salah satu film Indonesia yang gue tonton!

“Saat si tokoh utama merasa terancam atau terganggu...” mimik gadis itu begitu serius. Keringat mengucur deras dari pelipis. Rambutnya pun mulai lepek basah. Mungkin dia sudah seminggu tidak keramas. Gadis itu menelan ludah, menambah efek horor yang telah merengkuh  bahu sebagian besar murid... “... tanpa sadar dia akan melantunkan tembang dalam bahasa Jawa...”

“Tapi dia mah pake bahasa Sunda!”

“Orang Sunda kali dia!”

“Gue gak tau kalo si indo yang maen di film itu orang Jawa.”

“Adoh! Masak di kelas ini gak ada Rohisnya sih? Bacain Ayat Kursi napa?! Ini bukan film yah, plis, tolong, gue mulai frustasi beneran neh...”

“Biar gue trusin dulu!” histeria murid cewek yang ceritanya dipotong itu mengagetkan semua. Seakan kalau cerita itu tidak diteruskan akan memunculkan malapetaka besar yang akan mengancam kehidupan belia mereka. “...dan ketika tembang itu mulai dilantunkan... ternyata... ternyata... TEMBANG ITU ADALAH TEMBANG PEMANGGIL...”

“BRAK!”

“KYAAAAA!”

Murid-murid berhamburan. Berjumpalitan sejauh mungkin menjauhi Moeny dan pintu kelas yang terbanting secara tiba-tiba. Hampir semua bersembunyi di balik meja. Yang tidak kebagian, meringkuk di kursi, melindungi kepala sambil menghiba-hiba, “Ampuni saya... Ampuni saya... Saya tidak bersalah, saya cuman ikut-ikutan, saya tidak berbuat apa-apa, saya cuman pelengkap penderita, saya dibayar seratus ribu sekali lewat...” Sisanya terpaku di tempat dan membasahi ubin kelam dengan salah satu unsurnya adalah amoniak.

“Ada apa ini ada apa?” tanya bapak berkumis yang diketahui sebagai pegawai sekolah yang beberapa menit lalu memberi pelumas pada pintu kelas. Gara-gara dibanting Bu Guru pintu itu jadi agak macet.

Sebagian murid yang telah mendapat buah kesadaran bahwa mereka harus menjadi relijius setelah mengalami ketegangan ala film horor semacam tadi berkali kali bersujud syukur biarpun tak tahu arah kiblat. Bersyukur karena yang ada di ambang pintu bukanlah sesuatu yang meluncur tak berkaki ataupun berkaki tapi ngesot melainkan siluet pegawai berkumis dan Bu Guru Galak. Semua tampak masuk akal.

Bu Guru Galak memanggil Moeny dengan nama lengkapnya, yang lebih terdengar seperti bentakan untuk segera mulai menangkap belalang, merangkak, dan menyembah kaki sang guru sebagaimana tugas OSPEK 30 tahun lalu, disusul pernyataan, “Orangtua kamu menunggu di ruang Kepala Sekolah.”

Leher Moeny bergerak ke posisi yang lebih nyaman. Ia berhenti menyanyikan pupuh-pupuh Sunda yang wajib dihapalnya waktu SMP namun nyatanya ia tidak begitu hapal. Matanya membuka dan menatap mata Bu Guru Galak yang sedang melotot. Ia sadar kumis Pak Pegawai Sekolah yang seksi itu juga mengarahnya.

“Nggak mungkin. Jam segini ibu saya biasanya lagi yoga atau jalan-jalan dengan VW bunga-bunganya. Nggak mungkin juga ayah saya yang datang. Jam segini dia masih tidur karena malamnya harus mangkal di Taman Lalu Lintas. Atau dia mungkin sedang membeli rok baru... Nggak mungkin. Nggak mungkin.” Mata Moeny jadi putih lagi dan mulai meracau, “Mobil butut kaluaran baheula4... Di Curug Cinulang bulan bentang ngarembolan5...

“Mereka ada,” tegas Bu Guru. Disusul hadirnya dua orang asing tak lama kemudian yang diiringi Kepala Sekolah. Dua orang asing itu, dua-duanya wanita. Ups, tidak. Yang satu lagi menyerupai wanita. Yang wanita asli memakai baju rumbai-rumbai, celana cutbrai, dan ikat kepala bunga-bunga. Mereka berkata, “Moeny, kami harus bicara sama kamu! Sekali kali menurutlah pada orangtua.”

Manuk dadali... Manuk panggagahna6...” Setelah itu Moeny tidak mengeluarkan suara lagi. Mencicit pun tidak.

Para murid menggelengkan kepala. Ada yang bersujud syukur lagi. Bersyukur tidak ditakdirkan punya sepasang orangtua aneh dan lalu jadi anak aneh.

 

Pria itu pun pergi untuk selamanya dan tak seorangpun mengetahui keberadaannya.

Semenjak dua orang berpenampilan lain dari umumnya orang biasa-biasa saja datang menjemput anak mereka, Moeny si pecundang kesurupan tidak pernah nampak lagi ujung tangkai kacamatanya.

Kabarnya sih, dia dibawa ke psikolog dulu, baru ke psikiater.

Kabarnya sih, dia dibawa ke ustadz apaaa begitu. Diruqyah.

Kabarnya sih dia dibawa ke pesantren.

Tapi bisa saja.

Bisa saja dia masih di Rumah Sakit Jiwa.

Bisa saja dia sebetulnya anak normal yang sengaja bertingkah untuk cari perhatian.

Bisa saja dia tengah membuat kekacauan di sekolah lain.

Atau baru saja memulai hidup yang damai. Mungkin dia sudah menemukan orangtua baru.

Yang kemunculannya tidak hanya saat anaknya sakit-parah-dan-sebentar-lagi-akan-mati.

Yang tidak suka selingkuh sehingga bikin anaknya jadi homo atau makan narkoba.

Yang punya pekerjaan lain selain memikirkan cinta masa lalunya yang tidak kesampaian sampai-sampai melibatkan anak-anaknya.

Yang bukan hippie. Yang bukan transgender.

Biar sekolah menjadi damai tanpa kehadiran si Pecundang Kesurupan Moeny, tak seorang pun tahu, kalau ada yang menjadi amat kesepian akibat kepindahan yang mendadak itu.

Dialah cewek yang suka menulis diari. Membuat komik tentang peri sekarat yang dikira komedi. Yang dibilang bebegig sawah. Yang ditampar pacarnya saat ditembak si Kesurupan Moeny Pecundang.


Cewek itu kini tergeletak lemah tak berdaya di atas ranjang. Istriku. Yang menanti seseorang yang ia kira takkan pernah lagi akan bisa ia temui. Yang sampai kapanpun takkan bisa ia sampaikan perasaan cinta terpendam kepadanya.

Tenanglah istriku. Akan kutemukan pria itu. Mamoen Melodi Marhaen a.k.a. Moeny. Aku tidak akan menyebutnya Pecundang sebagaimana teman-teman masa kecilmu dulu. Apakah seseorang yang sedang menyelesaikan gelar masternya di utara Benua Hitam, seberang negri para nabi, masih bisa disebut Pecundang? Ya, aku telah menemukannya, istriku. Setelah merajut semua link yang aku punya.


“Silahkan masuk,” ujarku pada pria itu. Seorang pria kurus berwajah kalem yang memakai baju takwa. Di belakangnya mengekor seorang wanita dengan sepasang mata dan alis menggoda mengintip di atas cadarnya. Aku kira tidak cukup sopan untuk memberitahu wanita itu bahwa maskaranya meluber. Cuaca di luar memang sedang panas-panasnya.

Bagaimanapun inilah akhirnya aku melihat Moeny. Dia datang dengan membawa istrinya. Begitu pengakuannya.

“Maaf saya baru bisa datang sekarang,” ujar pria itu. Lelah terpancar dari matanya.

“Tidak apa-apa,” Tak tahukah kamu Cintaku telah menunggu lama? “Saya dengar Anda langsung dari Mesir dan baru lepas dari sebuah masalah pelik?” Aku memasang wajah prihatin. Berharap sorot-marah-menembus-lensa-kacamata yang dikagumi istriku bisa aku saksikan juga. Tapi sepertinya pria ini sudah berubah, tidak sebagaimana yang digambarkan istriku dalam diarinya dulu.

“Ya. Urusannya rumit sekali. Wanita yang saya tolong malah menuduh saya menghamilinya. Pengadilannya sungguh berbelit-belit... Sampai saking stresnya saya tidak kuasa solat... Selain itu, beasiswaku dicabut juga...”

Kesunyian berkeliaran. Menabrak-nabrak dinding ruang dingin ber-AC ini. Kemalangan pria itu dari dulu sampai sekarang tampak tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan anugrah yang diterimanya. Istrinya terkesan cantik dan kaya. Darimana aku tahu kalau dia cantik? Lihat saja matanya seperti  itu... Aku hampir tak bisa lepas memandangnya kalau tak ingat istriku. Dilihat dari penampilannya, dia juga sepertinya dari kalangan the-have-most. Bisa jadi mereka datang ke sini dengan helikopter pribadi..  

“Maaf, apakah Anda mau larutan penyegar panas dalam? Anda datang jauh-jauh dari tempat panas, langsung ke tempat yang dingin seperti ini?” ujarku mengusir sunyi itu sekaligus mengalihkan perhatian dari wanita high profile bercadar.

“Tidak. Makasih.” Ia menawarkan pada wanita bercadar di sebelahnya. Wanita itu menggeleng. Ketika pandang kami bertemu, kusadari bahwa pandangan matanya memang sangat menggoda. Seharusnya matanya diberi cadar juga. “Ngomong ngomong, bagaimana kabar... istrimu?”

Bisa kurasakan perubahan mimik wajahku, dari tegar menjadi kuyu. Aku bangkit sambil memberi isyarat kepadanya untuk mengikutiku ke ruangan sebelah.

Kupandangi wajah cantik istriku. Dengan wajah cantik seperti itu siapa yang tak akan jatuh cinta padanya sejak pandangan yang pertama? Kalau ia bangun nanti, setelah cukup pulih jasmani dan rohaninya, mungkin ada baiknya juga kalau aku menyarankannya untuk bercadar. Meski itu berarti dia sempat punya impian jadi penyanyi berbahu indah itu akan tetap jadi angan-angan. Akan hilang terbang seperti cita-cita jadi komikus yang dulu pernah dia punya karena dia tidak pernah berhasil membuat cerita sedih. Dia malah membuat orang menyandangkannya gelar Komikus Komedi. Kokom. Tapi setidaknya kini Moenynya telah nyata. Oleh karena itu, bangunlah, Sayang! Sedang apakah kamu di sana, wahai istriku? Mungkin dalam lelapmu itu kau tengah berayun di atas punggung unta dengan Moeny menjaga di belakangmu...

Sementara Moeny sedang larut dalam monolog bisu nan sendu di samping ranjang istriku, wanita bercadar itu mendekatiku. Dia berkata pelan, seolah tak ingin terdengar oleh Moeny, “Saya sudah mengikhlaskan perempuan itu untuk menjadi istri kedua Mas Moeny... Segalanya sudah saya persiapkan...”

Apapun yang ada di balik cadarnya, pasti sedang menunjukkan ekpresi tabah. Tapi ada yang tidak kumengerti dari perkataannya tadi itu.

“Perempuan itu... siapa maksudmu?”

Wanita bercadar itu menunjuk Sayangku dengan tolehan kepalanya.

Ucapku dengan mulut bergetar, “Saya suaminya.”

***

 

Keterangan:

1 = Bahasa Sunda: orang-orangan                     

2 = dari pupuh Asmarandana

3 = dari mana ya...? uh, lupa!                           

4 = lagu sunda ‘Mobil Butut’

5 = ‘Curug Cinulang’ oleh Yayan Jatnika                     

6 = ‘Manuk Dadali’

 

terima kasih untuk www.sinema-indonesia.com. maaf saya banyak nyatut dari situ. terima kasih atas sarannya untuk tidak menonton film indonesia tertentu. saya tidak menonton semuanya.

 

2:50 AM

30 Juli 2008



[1] “Kangen” (Dewa 19), lagu

[2] “Heart”, lagu

[3] “Sunny” (Bunga C. Lestari), lagu

[4] “Catatan Akhir Sekolah”, film

[5] “Petualangan Sherina”, film

[6] “Tini Wini Biti”, iklan, dengan Sherina sebagai bintangnya

[7] “Jagoan”, soundtrack “Petualangan Sherina”

[8] “Kawin Kontrak”, film

[9] “Si Jago Merah”, film

[10] “Ekskul”, film

[11] “Garasi”, film

[12] “Dealova”, film

[13] “Love is Cinta”, film 


HABIS KATA #++ 

Cerpen ini saya buat karena diminta oleh Mbak Desi. Dia minta dibikinkan cerpen parodi untuk dimasukkan dalam antologi cerpen parodi yang rencananya akan diterbitkan oleh suatu penerbit. Karena cerpen ini dibuatnya sudah lama jadi saya tidak begitu ingat proses pembuatannya bagaimana. Yang jelas yang pertama saya hadapi adalah kebingungan karena saya jarang nonton film sehingga tidak tahu harus memparodikan film apa. Untung saya tahu situs www.sinema-indonesia.com. Saya sudah sering main ke ke situ sejak situs tersebut masih berupa blog. Situs itu menjadi panduan bagi yang hendak menonton film Indonesia. Karena gaya me-review-nya yang sangat tajam namun menghibur, maka situs itu menjadi situs favorit saya dan teman-teman. Sayang sekarang sudah tidak ada yang baru lagi dalam situs itu. Mungkin karena mutu film Indonesia semakin menurun meskipun jumlah yang diproduksi semakin banyak. Sehingga dalam pembuatan cerpen ini pun, keberadaan situs ini sangat membantu. Dari review-review tersebut saya mendapat gambaran hendak memparodikan apa. Bahkan review itu sendiri pun kadang berupa parodi. Jadilah cerpen ini rentetan parodi film-film Indonesia. Namun sebelum cerpen ini menjadi seperti ini, saya mengalami kesulitan dalam menampung ide yang bermunculan dan bagaimana bentuk cerpen ini nanti jika semua ide tersebut dimasukkan. Saya sempat berhenti ketika waktu deadline yang ditentukan Mbak Desi habis padahal saya sudah hampir menemukan titik cerah. Namun ternyata Mbak Desi memperpanjang tenggat waktunya sehingga saya memiliki kesempatan untuk mewujudkan cerpen ini dan saya bersyukur karena kepikiran membuat cerpen ini ke dalam bentuknya yang sekarang. Saya menyelesaikan cerpen ini dalam sekali duduk. Dari ba’da isya kiranya sampai sekitar jam 3 pagi hampir-hampir saya tidak beranjak dari kursi karena bersemangat menyelesaikan cerpen ini. Ketika akhirnya cerpen ini selesai, punggung dan pinggang saya rasanya kaku sekali sewaktu dibaringkan di atas kasur. Saya merasa telah benar-benar bekerja sebagai seorang pengarang.

Sebetulnya cerpen yang diminra itu kiranya hanya sepanjang 7-8 halaman saja. Namun karena saya menampung semua ide dan tidak tega menyia-nyiakannya, akhirnya cerpen ini panjangnya 15 halaman. Setelah saya serahkan pada Mbak Desi, sambil berjalan pulang dalam kegelapan sehabis petang, saya malah kepikiran akan ide-ide parodi yang baru. Sesampainya di rumah saya langsung menambahkannya pada cerpen ini dan akhirnya jadilah cerpen ini sepanjang 16 halaman. Tambahannya saya smskan juga pada Mbak Desi.

Pada akhirnya cerpen ini tidak jadi dipakai karena kepanjangan dan jumlah film yang diparodikan terlalu banyak.

Memang ada perasaan gimana... gitu yang terlintas dalam dada, tapi ya sudahlah. Saya tidak menyesal akan cerpen ini. Saya cukup menyukainya.

Cerpen ini dibuat pada bulan Juli sehingga cerpen ini dapat juga disebut cerpen Juli. Namun karena pada bulan Juli itu saya telah membuat cerpen, maka cerpen ini saya niatkan sebagai cerpen ++ saja. Sebenarnya ada niatan untuk menjadikannya cerpen Agustus—karena waktu itu saya malas memikirkan mau bikin apa untuk cerpen Agustus—namun hati kecil saya menolaknya. (12/31/2008)

Kamis, 17 Juli 2008

ATO

Bertemu lagi dengan Ato, yang bukan nama sebenarmu tapi kamu minta dipanggil demikian. Malam ini. Saat temanku membuka kunci pintu kamar kosnya. Kamu keluar dari kamar sebelahnya. Kamar yang biasanya kulihat kosong. Kamu wajah baru di kosan ini ya?

Kita sama-sama terpana. Setelah bertahun-tahun lamanya. Temanku menyadari kengehan di antara kita. Dia mengenalkanku padamu dan mengenalkanmu padaku. Kita sama-sama tertawa. Kita kan sudah saling mengenal sejak SD. Dia hanya terbengong akan hal yang tak disangkanya ini. Tapi sudah cukup bentar dulu aja nostalgianya, To. Aku sengaja menginap malam ini di kosan temanku untuk mengerjakan tugas kuliah bersama. Kamu juga masih harus membereskan barang-barang di kosanmu kan. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan padamu. Besok-besok hari mesti ada waktu bagi kita untuk bertukar kabar.

Dini hari, ketika aku dan temanku merasakan tugas telah rampung, dalam kegelapan kamar, pikiranku lari ke masa lalu. Membuka pintu yang di dalamnya ada kamu. Ingatan saat kita dulu sering sebangku. Sepulang sekolah main bersama. Besoknya dan besoknya kita ketemu lagi. Sampai kabar akan kepindahanmu ke lain kota mengagetkanku. Hubungan kita pun terputus. Aku tidak pernah menyangka akan bisa bertemu kamu lagi.

Paginya aku tak sempat mengetok pintumu. Kami bangun telat. Ke kampus melesat. Setelah beres kewajiban aku langsung pulang. Capek oleh pikiran-pikiran yang berkelebat.

 

Minggu yang harusnya santai malah diisi oleh keorganisasian. Hanya setengah hari. Aku terlanjur malas pulang. Kusempatkan mampir ke kosanmu yang tidak begitu jauh letaknya dari kampusku. Moga-moga saja kamu ada.

“Ato... Ato...” Kuketuk jendela kaca kamarmu yang masih tertutup gorden warna gelap. Aku sempat pesimis kamu sedang tidak ada. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan tampilah sosokmu. Mengebul asap dari rokok yang dikepit bibirmu. Isyarat kejut di matamu lenyap dengan cepat berganti binar. Kamu menyuruhku masuk.  

“Maaf, masih porak poranda,” katamu. “Pintunya tolong ditutup.”

Sambil menutup pintu pandangku beredar ke sekeliling kotak putih ukuran 3x3 m ini. Tidak banyak yang ada di kamarmu. Aku tahu dari temanku di kosan ini meja dan rak kecil sudah disediakan. Yang lain beli sendiri. Aku lihat isi rakmu masih lapang. Di atas meja ada laptop yang sedang kamu pakai. Di lantai tergelar sleeping bag dan ransel agak besar. Isi ranselmu bertebaran di mana-mana.

“Barang-barang yang lain belum sempat beli,” ujarmu tanpa menoleh dari LCD laptop yang menyinari sebagian wajahmu dalam ruangan gelap ini. Ada jeda di antara kita sampai kamu menoleh padaku dan sepertinya kamu menangkap ekspresi heran di wajahku. Kamu condong untuk mengaduk-aduk ransel yang ada di sampingku. Soft drink kalengan untukku. Lidahku merasakan soda yang kekuatannya memudar. Hidungku menyesap aroma rokok. Siang itu menuku adalah soda rokok dalam ruang pengap. Terlebih mulai terdengar serbuan air hujan pada atap dan lantai halaman.

“Rokok?” tawarmu. Kuambil sebatang. Ujungnya kini menyala dan menguar asap.

“Kapan sampai ke sini?” Pandangku masih beredar. Ke dinding. Ke atap.

“Beberapa hari yang lalu.”

“Kamu nggak kuliah, To? Sekarang kan bulan-bulannya kuliah. Atau jangan-jangan kamu mau pindah. Dulu kuliah di mana?” tanyaku seraya bersender di dinding.

Kamu telah kembali pada kerjaanmu di laptop. Aku bercakap dengan tampak sampingmu. “Belum?”

Sebelum aku hendak menyampaikan kata-kata yang telah kupikirkan untuk menjawabmu kamu berucap lagi, “Mungkin tahun depan.”

Nggak lulus ujian masuk ya?” tanyaku iseng. Aku ingat bertahun-tahun lalu kita kerap meledek satu sama lain. Hari kita selalu diisi oleh tawa karena hal demikian.

Kamu menggeleng. “Kamu gimana?”

“TI.” Kini tidur bertopang tangan poseku. “Sekarang ngapain aja dong?”

“Ya... begini ini.”

Aku mendekatimu dan memerhatikan apa yang sedang kamu kerjakan. Kamu bercerita mengenai peluang mendapatkan uang dari dunia maya tanpa harus bertatap muka dengan klien.

“Lumayan duitnya buat biaya kuliah ya,” ujarku. Selama ini kukira keluargamu berasal dari kalangan orang yang berkecukupan meski kamu tidak pernah cerita.

Kamu tersenyum simpul.

“Mandiri,” katamu membuat serpih takjub mendarat dalam pikiranku. 

Aku berbalik untuk duduk di tempat semula sambil memikirkan betapa orangtuamu mendidik kamu hingga berada pada jalan ini. Membuatku kagum. Sempat terpikir olehku untuk mencari kerja sambilan juga tapi padatnya kegiatan akademis di tahun pertama kuliah ini mengekangku.

“Ntar mo kuliah di tempat saya?”

“Mungkin.”

“Bukannya di kota kamu juga ada perguruan tinggi yang bagus?”

“Di sini juga bagus. Tempat kuliah bagus. Lapangan kerja bagus. Pingin cari yang di dunia nyata juga...”

Ya, kamu benar. Aku manggut manggut. Aku teringat kekonyolan kita di masa lalu. Kamu berjanji akan menelponku sesampainya kamu di kotamu yang baru padahal aku tidak pernah memberitahumu nomor telponku. Menggelikanmu. Aku dan tampak sampingmu menggali ingatan-ingatan yang memacu gelak tawa.

 

Aku jadi sering mampir ke kotakmu—begitu kamu menyebutnya, tidak apa-apa kan, To? Kelar urusan di kampus, baik setelahnya tidak ada acara lagi maupun untuk mengisi jeda sebelum harus kembali ke kampus lagi, kusempatkan mampir. Menemanimu mengerjakan tugas dari dunia maya sambil berbincang tentang macam-macam. Topik yang paling senang kita bahas adalah hal-hal yang ada di luar kita. Yang sedang jadi headline di koran langgananmu.

Pernah aku datang ke kotakmu lalu kamu tak ada. Kita lupa bertukar nomor ponsel. Kali berikutnya aku bertemu denganmu segera ku minta nomormu. Ternyata kamu juga kepikiran hal yang sama. Namun katamu kalau aku mau main kapanpun ke kotakmu silakan saja. Kunci pintu kotak ini akan kamu taruh di bawah pot depan. Yang ada anthuriumnya, yang paling subur tumbuhnya. Tak jarang juga aku menginap di tempatmu. Biarpun kita tidur hanya beralas tikar yang sengaja kuhibahkan padamu tanpa seorang pun di rumah yang tahu. Kotak kecil ini terasa lapang hanya untuk kita berdua. Namun pikiran kita berdua telah bersinergi dan mampu melebur dalam cakrawala tanpa harus menjebol atap.


Upah pertama dari tugas dunia maya, sebagian kecilnya kamu pakai untuk menraktirku dan anak-anak sekosan. Biar hanya di kedai pinggir jalan tapi itulah yang bikin perayaan makin semarak. Tidak terbayang bisa seriuh ini kalau di coffee shop.

Gelas kopi yang isinya barusan kamu teguk, kamu taruh di meja hadapanku. Hingga kamu dapati ada binar di mataku memandangmu. Kamu nyengir.

“Kenapa, heh?”

“Kayaknya enak punya penghasilan sendiri,” ujarku. Ada kekaguman sekaligus rasa iri. Seharusnya aku sudah bisa seperti kamu dari dulu.

“Hei, hei, ini baru gaji pertama... Haha, maaf deh nggak bisa bawa ke tempat yang agak mewah dikit. Ada anggaran lainnya nih.”

Bertopang daguku pada meja. Kamu tangkap pandangku agak sayu. Sebaiknya kamu jangan tanya aku kenapa. Aku hanya tiba-tiba teringat akan sesuatu. Pelarianku yang tidak pernah ada. Karena meskipun aku benar-benar marah aku terlalu frutasi hingga tak mampu bergerak. Seharusnya aku bisa seperti kamu sejak dulu... Benar.

“Jangan murung gitu lah...” Kamu menepuk pundakku. Aku berusaha tersenyum untuk menutupi getir itu dan kutegakkan pula punggungku.

Aku cuman ingin melupakan itu.

“Saya masih ingat...” Kamu senderkan bahumu pada dinding. “Waktu saya main ke rumah kamu. Saya ketemu orangtua kamu... Ada saudara perempuan kamu juga. Siapa sih itu namanya? Arma ya? Dulu saya sering main ke sana... Gimana mereka kabarnya? Arma sekarang kuliah dimana?”

Tidak akan kujawab.

Mereka belum mengerti kalau aku ingin melupakan itu. Aku belum memberitahunya. Di tengah keramaian seperti ini aku bisa saja berdiri di atas meja yang terletak di tengah kedai, lalu aku teriak keras-keras sama mereka, juga sama orang-orang di luar sana kalau mereka bisa dengar, untuk sekali-kali tidak mengingatkanku akan—

“Der, jangan diem aja. Ayo ikut nyanyi!”

Seseorang menarikku dalam hingar bingar anak-anak pasar.


Kamu mendapati aku terlentang di tengah kotakmu. Kamu nyengir melihat wajah lelahku dimana ekspresi yang sama terpatri juga padamu. Setelah meletakkan ransel kamu berbaring juga di sebelahku. Pandang kita sama-sama menembus jendela satu-satunya dalam kotak, tertuju pada selendang jingga yang terhampar di langit sana. Panah-panah hitam terbang menjauh.

“Abis ngapain sih?” tanyamu.

“Seksi logistik nih, seksi capek. Haha. Lusa himpunan jurusan mau ngadain acara... Dateng?”

“Hm.”

Aku  tak perlu menanyakan hal yang sama padamu karena aku tahu kamu habis dari kerja dunia nyatamu. Kerja fisik.

Kamu mengubah posisi tidurmu. “Keras...” keluhmu.

“Beli springbed dong!”

“Ahiya, haha, uangnya mending buat yang lain dululah! Masih enak pake sleeping bag lagian...”

“Minta orangtua kamu dong! Mandiri juga dikit-dikit perlu sokongan kan? Ehehe... Udah ditengokin sama mereka belum?”

Melihat wajahmu kukira kamu tidak mau menjawabnya dan tidak perlu bagiku untuk memaksamu.


Malam ini kita namakan malam manis. Aku membawakanmu sebungkus biskuit lemon tipis dengan lapisan gula yang sama-sama kita suka. Juga wafer coklat. Beberapa kaleng teh rasa buah. Sebungkus rokok. Asbak yang kamu bawa dari rumah ada tepat di tengah kotak. Yang tak terisi karena kita lebih sibuk mengisi mulut dengan makanan ketimbang asap.

Kumainkan gitarku yang sudah beberapa minggu ini kuinapkan juga di kotakmu. Tapi tidak untuk kuhibahkan ya. Sementara kamu sedang menekuni tugas dari dunia maya itu. Jadi aku bercakap-cakap dengan punggungmu.

Mulanya kita bicara soal waktu. Kita tidak bicara dengan bahasa yang terlampau berat, melainkan apa yang kita pahami. Tentang waktu yang semakin lama semakin cepat larinya. Tidak terasa. Betapa sewaktu kecil kita tidak merasa dihimpitnya. Kini terasa sekali adanya dimensi yang mengekang kita itu. Kita butuh lebih banyak waktu. Untuk melakukan lebih banyak pekerjaan. Tetek bengek akademisku. Berkumpul dengan komunitas kita masing-masing. Tugas dunia mayamu. Konsekuensi dari kerja dunia nyatamu. Waktu bagi kita untuk bercakap.

Kamu ingat, waktu yang terasa makin cepat katanya makin mendekati kiamat.

Otomatis, jawabmu.

Lebih enak mati pas kiamat atau mati sebelum kiamat?

Kamu terdiam sebelum mengatakan dengan pelan, “Mati muda.”

“Mati muda. Soe Hok Gie pernah mengatakan orang yang beruntung adalah orang  yang mati muda,” katamu lagi.

“Karena orang yang mati muda itu belum banyak melakukan dosa?”

Anggukmu.

“Bagaimana kalau orang mati di masa mudanya di mana dia masih bersenang senang di dalamnya? Bagaimana kalau dia mati sebelum sempat meluruskan dirinya di masa tuanya?”

“Hah?” Kini kepalamu juga ikut bicara.

“Tau kan, muda foya-foya. Tua kaya raya. Mati masuk surga... yah, yang semacam itulah, saya lupa. Orang bilang kan masa muda hanya sekali, sayang kalau tidak dipakai untuk bersenang-senang. Sudah tua, bau tanah, baru beribadah setakwa-takwanya sama Tuhan. Menurut saya orang mati muda itu belum tentu beruntung. Kalau mati saat masih bayi itu beruntung karena belum sempat melakukan dosa apa-apa.”

“Lebih beruntung tidak penah dilahirkan sama sekali,” balas punggungmu. “Tidak pernah menjadi ada. Bagian dari ketidakadaan. Tidak merasakan kenikmatan tidak apa-apa, karena tidak merasakan penderitaan juga.”

Lumeran biskuit lemon dalam rongga mulut terasa pahit dengan lidahku. Gitar kusenderkan di sebelah. Kutahan kepala dengan kedua lutut. Nanar tatap mataku pada anyaman pandan kering. Teringat lagi olehku sekelebat kenyataan kemarin yang tidak ingin kuterima.

Kenapa Ato bicara seperti itu. Apa yang dia mengerti. 

Gemuruh itu bagai lahar di dalam lindungan gunung pemahaman. Pemahaman yang kuusahakan habis-habisan. Lahar itu ingin membuncah. Kusumpal dengan sebongkah pemahaman instan. Pahamlah, bahwa masa lalu telah mati dan tidak semua masa lalu mempengaruhi masa depanmu.

Karena pikirku pun pernah demikian. Lalu kupupus halus-halus sampai tinggal kerak.

“Tidak begitu Ato. Kenikmatan itu terasa karena sebelumnya ada penderitaan. Katakanlah, seorang ibu yang berjuang mati-matian mengeluarkan anaknya dari dalam perutnya. Setelah anaknya lahir selamat dan sehat... Ibu mana yang tidak merasakan kebahagiaan setelah itu? Ibu dan ayah. Bersyukur atas dianugrahinya seorang anak pada mereka.”

Lidahku seperti tergigit setengah dan ikut tertelan bersama ludah. Kudorong diriku untuk melanjutkan, “Orangtuamu pasti bangga punya anak yang mandiri kayak kamu.”

Aku berhadapan dengan punggung bisu. Kepalamu juga tenggelam dalam dua lutut.

“Saya pernah dengar, kenikmatan tidak akan terasa sebagai kenikmatan kalau kita tidak mengalami penderitaann dulu sebelumnya.”

“Kalau penderitaan itu sudah ada tapi kenikmatan nggak datang juga?” Kepalamu menoleh ke belakang.

“...Berusaha mencari kenikmatan itu. Dalam berusaha pasti ada suka dan dukanya kan?”

“Kalau kita nggak sedang mencari kenikmatan tapi penderitaan itu datang dengan sendirinya?”

Aku tak tahu. Apa yang kupahami sepertinya sudah aku keluarkan semua. “Ah, Ato. Kamu ini seperti orang yang pesimis saja. Kamu pikir nggak ada sama sekali lebih enak dari menjadi ada? Kedengarannya seperti orang yang pingin mati aja.”

Punggungmu jatuh menimpa ubin. “Asal bukan saya sendiri yang melakukannya.” Dari mulutmu. Itu menimbulkan kesenyapan dalam kotak 9 m2 ini hingga kamu bangkit untuk membuka pintu.

“Saya mau solat.” Pengakuan atas suatu ketakutanmu ya. Memang sebaiknya tidak, saranku. Apa jadinya kalau orang yang kukagumi kemandiriannya ini sampai mati bunuh diri. 


Kantuk yang menguasaiku malam ini datangnya seperti teh celup. Lelap. Sadar. Lelap. Sadar. Di antara sadarku aku dengar kamu yang berbaring di sampingku bersuara, “Aku selalu diberi yang aku nggak minta. Aku nggak tahu gimana cara membalasnya. Aku kecewa karena mereka nggak memberiku yang seharusnya.”

Pada sadarku yang terakhir sebelum akhirnya lelap menang dan menguasaiku sampai pagi, aku dengar lagi suaramu, “Aku selalu diberi yang aku nggak minta. Aku nggak tahu gimana cara membalasnya. Aku kecewa karena Dia nggak memberiku yang seharusnya.”

Kamu ngomong sama siapa sih, To? Tentunya kamu tahu kan kalau aku sudah... hoahm..


Pukul 1 dini hari. Semakin bertambah saja kagumku. Bagiku kamu hebat. Bisnis dunia maya itu menggiring sekian juta ke rekeningmu setiap hari. Pada malam sama-sama-tidak-bisa-tidurnya kita kamu mengajakku ke toko yang buka 24 jam itu. Cari cemilan, katamu. Sesekali pake uangku, katamu. Ayolah. Sesekali kita coba dua singa jinjit juga. Pake uangku, bener. Ahaha, kamu bercanda, To... Tapi ayo deh.

Aku sudah melupakan keinginan tersiratmu untuk mati. Aku sudah paham ada topik-topik tertentu yang sebaiknya tidak usah kita bahas. Kita melenggang santai di jalanan terang temaram oleh lampu jalan. Serasa kitalah penguasa malam. Sesekali masih ada kendaraan lewat. Angin menderu keras. Sekeras tawa kita yang sesekali.

Memasuki toko dengan intensitas pencahayaan yang lebih tinggi. Kamu langsung menuju bagian belakang. Rak minuman. Sementara aku di rak samping. Aku memerhatikan harga-harga yang tertera... Fiu... benar juga, memang mahal-mahal ya di sini. Sebenarnya baru pertama kali juga aku masuk toko ini meski logonya ada dimana-mana. Sepertinya di setiap jalan ada.

Deru motor bersahut-sahutan memecah damainya malam. Banyak motor. Memenuhi area parkir toko. Beberapa orang berpenampilan berandal masuk ke dalam. Hawa mengancam menyesaki ruangan. Aku terpaku. Salah seorang di antara mereka menatapku garang. Aku mengalihkan perhatian pada lantai. Aku menunduk. Aku berpikir keras, apakah yang sebaiknya kulakukan. Sial, keringat dingin yang tidak kuharapkan ini... aku jadi tidak bisa konsentrasi...

Hei, sadarlah. Mereka belum berbuat apa-apa kan. Bisa saja mereka datang sebagai pembeli biasa. Mereka tidak akan macam-macam. Bisa saja rumor yang beredar itu tidak selamanya benar. Hanya saja penampilan mereka memang bisa membuat jantung berpacu lebih cepat.

Aku memberanikan diri untuk mengamati keadaan lagi. Sejauh ini aman. Orang yang satu mengambil beberapa botol hijau dari mesin pendingin. Yang lainnya mengambili barang-barang lainnya. Setelah itu mereka saling melihat satu sama lain. Seakan memberi isyarat, “sudah segini saja”.

Kasir berada di dekat pintu keluar. Mereka berjalan ke arah situ. Kamu mengekor di belakang dengan beberapa merk cemilan dalam ditopang dua lenganmu. Kamu juga beri isyarat padaku, apakah aku sudah memilih cemilan.

Baru aku hendak berjalan ke arahmu. Dimana pada saat itu kita sama-sama lihat mereka melenggang begitu saja tanpa mampir di meja kasir.

Perempuan berseragam penjaga kasir yang menegur dengan gugup.

Kamu berteriak, “HEI, BANG!”

Punggung mereka berbalik. Terusik dengan kerasnya suaramu.

Mereka mendekatimu. Aku maju selangkah. Menyaksikan kalian saling menyulut emosi dalam beberapa menit. Meneriaki. Kamu bicara dengan bahasamu. Mereka balas dengan kata-kata kasar. Adegan itu seolah tanpa suara bagiku. Berjalan lambat tapinya. Pada selanjutnya aku tak cukup kuat mengingatnya. Karena kejadian selanjutnya terjadi dalam tempo yang cepat sekali. Karena ada yang lebih kuingat. Bagaimana mereka menghunjamkan pisau itu di dadamu.

Perempuan berseragam penjaga kasir berteriak. Mereka berlari. Kawanan mereka sudah siap dengan motor masing-masing. Dengan terampil mereka meloncat naik dan dibonceng menerobos temaran malam. Menggerung-gerung. Pecah damai malam. Pecah tangis perempuan berseragam penjaga kasir itu. Pecah rasanya pembuluh jantungku. Mereka terlalu cepat untuk kukejar mau sekencang apapun lariku. Hawa dingin berlomba-lomba meredam panas tubuhku yang kini berpeluh keringat.

Kamu dalam dekapanku sementara perempuan berseragam penjaga kasir itu menelpon polisi mungkin. Dia histeris.

“...Ato...!” Kudengar suaraku serak. Cairan merah itu merembes ke bajuku. Mengenai kulitku. Aku bingung. Aku kalut. Aku selalu kabur dalam kegiatan PMR waktu SMP dulu.

Bertahanlah, Ato, Bertahanlah. Kamu sahabatku. Ah, apalagi kata-kata yang bisa kugunakan untuk menggambarkan dirimu. Menggambarkan persahabatan kita. “Kamu bisa...” Aku tidak tahu... Sudah tersengal nafasmu. Aku memelukmu makin erat setelah sebelumnya aku mencabut benda yang melubangimu. Dengan cepat. Apakah sakitnya terasa, To? Kututupi sumber darah itu dengan jaketku. Jangan sampai darahmu habis.... Aku lihat wajahmu yang kepayahan. Seperti apa rasanya? Aku benar-benar khawatir benda tajam itu mengenai bagian yang paling vital, yang apabila diusik akan menerbangkan nyawamu. Kupeluk kamu erat. Biar jadi perintang bagi malaikat pencabut nyawa...

Sirine ambulan... Polisi...

Sebelum mereka memindahkanmu ke atas kasur berjalan itu aku sempat lihat pada ketidakberdayaan yang menguasaimu, senyummu bagai bunga yang tercium harumnya di tengah hamparan kabut yang berbau embun. Aku ragu aku harus mengucapkan selamat jalan. Tangis dan marahku pecah. Meski tak ada apapun yang bisa didengar jelas yang keluar dari mulutku yang terbuka. Tadah air mata. Pertanyaan ke mana aku harus lari sekarang di tengah kesadaran bahwa seharusnya aku tidak bertanya demikian.

 

Kalau kurasa-rasa lagi sebenarnya aku masih menyimpan amarah. Amarah itu kutimbun dalam-dalam. Setelah sekian lama yang melupakan, amarah itu pun mengendap. Jadi dingin. Seperti puding yang lama dibiarkan di tempat sejuk. Namun kadang ada kesempatan dimana aku terlalu optimis untuk mengambilnya. Meski kalau dipikir jauh lagi aku tahu, dengan mengambil kesempatan itu sama saja seperti menuang air panas dalam pudingku. Ya, endapan itu agak mencair juga. Jadi amarah itu timbul lagi. Bergumul bagai pesumo Jepang, tapi mereka di sini, di dalam dadaku. Aku hanya bisa menahannya. Berharap lingkungan di sekitarku berubah dan mengendapkan yang telah cair atau menguap.

           

Kamu baik-baik saja. Pisau itu nyaris mengenai jantungmu. Tapi tidak. Tidak cukup dalam untuk melukai paru-paru bahkan. Aku sangat bersyukur untuk itu. sampai bertemu sesi diskusi denganmu lagi, Ato.

Aku agak kebingungan mengurus administrasi untukmu. Karena akulah seorang yang mengenalmu di tempat kejadian. Mereka bertanya apakah kamu punya askes. Aku tidak tahu. Aku suruh mereka untuk lihat langsung dompetmu. Mereka bertanya lagi, apakah ada nomor telpon sanak saudaramu yang bisa dihubungi. Aku tidak tahu. Kamu sama sekali tidak pernah menceritakan keluargamu. Bahkan sewaktu kita berteman saat SD dulu. Kamu tidak pernah mengungkitnya ataukah aku yang sudah lupa. Kalau kamu sudah sadar nanti bolehkan aku menanyakanmu hal-hal yang ditanyakan padaku tadi itu? Ohya, polisi kini sedang melacak pelakunya. Orang-orang aneh itu. Marah-marah saja sampai ada nafsu membunuh.

Menungguimu semalam yang tak bangun-bangun... Mataku berat tapi otakku serasa sesegar embun pagi meski kurasa ada bagian yang sejenuh rawa gambut juga. Mataku sepertinya masih merah dan bengkak. Aku berjalan menembus udara pagi nan dingin. Kulipat lengan di depan dadaku. Aku kan tidak mungkin berkeliaran di jalan, memasuki toko, dan membeli sarapan dengan jaket berlumuran darah.

Aku mencari-cari toko yang sudah buka di sekitar rumah sakit ini. Membeli roti untuk sarapan. Ambulan membawa kita ke daerah ini tadi malam.

Kacang. Coklat. Coklat keju. Coklat pisang... Mmm... ada pula rasa lainnya. Kurogoh saku celana. Menghitung nominal uang yang ada. Tidak membuatku merasa lebih lapang. Aku masih butuh beli minum juga. Kering tenggorokanku.

Aku mengambil dua bungkus roti tanpa melihat lagi petunjuk rasanya pada akhirnya. Baru aku berbalik, ada wajah yang sepertinya kukenal tepat di hadapanku kini.

“Deri kan?” tanyanya sambil menunjukku.

“Gufran...?”

Sambil sama-sama memilah minuman aku dan Gufran mengobrol tentang masa yang tidak kami lewatkan bersama. Aku satu sekolah dengannya saat SD dan dia masih satu komplotan denganku dan Ato.

Juga bagaimana dengan keadaan masing-masing di masa kini. Gufran kuliah di perguruan tinggi negri yang berbeda denganku, masih di kota ini tapi berjauhan. Dia juga sedang cari sarapan untuk dimakan dalam perjalanan ke kampus. Dia masuk agak siang. Aku bohong kalau aku juga masuk siang. Seharusnya aku kuliah pagi ini. 

“Tau gak, Siti si anak alim itu sekarang udah punya pacar. Janggal rasanya,” kata Gufran dengan ekspresi mengernyit khasnya.

“Jangan-jangan malah kamu yang naksir?”

“Ti...dak. Ngomong-ngomong soal teman lama, kamu masih ingat Ato kan?”

Aku terdiam sebentar sebelum mengucap, “Iya. Kenapa gitu?”

“Si Ato tuh kabur dari rumah ya?”

“Ha?”

“Orangtuanya nelpon saya... mm, kapan ya itu? Udah lama sih, beberapa minggu yang lalu. Tapi karena setelah bertahun-tahun ya rasanya aneh juga. Mereka tanya kalau-kalau sekiranya saya melihat Ato. Udah beberapa hari gitu dia ngilang katanya... ”

Gufran memang yang paling cerdas di antara komplotan kami. Ato selalu tanya PR padanya. Pantas saja dia menyimpan nomor telponnya.

“Tapi waktu itu kan Ato ma keluarganya pindah ke kota lain. Masak iya kaburnya sampe ke luar kota, ke kota ini lagi misalnya? Ah, aneh-aneh saja tuh  anak...”

“...”


Aku menutup pintu kamar tempat kamu dirawat. Kresek isi sarapan kutaruh di meja sampingmu. Kutengok. Kamu telah bangun rupanya. Kepalamu meleng ke arah jendela. Menantang hangat pancaran sinar matahari. Lalu ada pula langit biru cerah, tersaput awan jarang. Pagi yang indah, kan, To?

Kepalamu berganti arah menghadapku.

“Saya kira saya mati. Udahan.”

Dan kamu tahu salah perkiraanmu itu. Tidak mungkin ada malaikat surga yang seperti aku. Kalau kamu kira setelah mati kamu bakal langsung terbang ke surga.

“Ya. Pisaunya nyaris kena jantung kamu. Mungkin kalau pelakunya kemarin berhasil ditangkap polisi kamu bisa minta dia mengulangnya lagi.”

Senyum bermakna apa ya yang ada di mukamu itu, menganggapku bercanda atau getir?

Setelah aku duduk di kursi tanpa senderan itu, “Habis kamu pulih, pulanglah, To. Orangtua kamu nunggu. Mereka nyariin kamu sampai telpon si Gufran, satu-satunya teman SD yang kamu punya nomor teleponnya? Jangan sampai wajah kamu keburu dipampang di TV.”

Kamu tidak jadi memandang burung gereja yang hinggap di jendela. Bukan berarti memandangku bisa menimbulkan efek yang lebih baik. Soalnya ekspresimu seperti yang tercekat begitu. Hanya seperkian detik lamanya namun kentara. 

“Saya nggak tahu kamu sedang ada masalah apa. Mereka masih ada perhatian sama kamu, seenggaknya.”

Bantal di bawah kepalamu kini jadi penampung setetes air dari kelenjar air matamu. Yang ada di bawah matamu. Matamu yang menatap kosong pada atap. Atap yang kosong. Hanya warna putih.

“Nggak akan ada yang berubah, Der. Percuma. Sudah impulsif. Sudah jadi pola. Berulang dan berulang terus. Seperti grafik sinus. Apa yang kuamati selama bertahun-tahun.” Suaramu mengingatkanku pada gabus yang dijatuhkan ke air.

Taukah kamu, To, aku pun sedang berusaha agar pipiku tak lagi basah. Agar mataku tak lagi merah.

“Keluarga ideal, yah, kita nggak pernah ngomongin itu.” Kata-kata itu kutujukan lebih kepada diriku sendiri.

“Sebenarnya itu topik yang paling ingin saya bahas.”

“Jangan mimpiin itu, To. Setiap keluarga punya aibnya masing-masing. Bagaimana idealita tu didapat tergantung pada secerdik apa mereka menutupinya.”

Bolehkah merokok di ruangan ini? Rasanya aku tidak tahan...

“Ayah yang ternyata sedang membangun keluarga lain di luar keluarga intinya. Ibu yang ternyata punya anak dari orang lain dan anaknya itu udah sebesar kita. Saudara perempuan yang ternyata diambil dari solokan. Diri kamu sendiri, yang ternyata cuman anak titipan...”

“Yang mana yang kamu alami?”

“Salah satunya.” Tenggorokanku seperti disumbat batu. “Atau semuanya..?”

“Saya anak kurang ajar dan nggak tahu berterimakasih...”

“Bukan ini yang saya inginkan...”

“Yang ada cuman kesalahan...”

“Sebelum tiba saat di mana kita mendapatkan kesadaran akan itu, kita nggak bisa memilih...”

“Itu sudah mengakar. Saya nggak tahu siapa yang bisa beritahu...”

“Andai kenyataan ini nggak harus ada...”

“Andai saya bisa mendapatkan yang lebih baik...”

Kita lalu bisa dengar suara cicit burung yang merdu. Desir lembut angin. Pekikan anak-anak di bawah sana. Sepatu orang-orang yang berseliweran di lorong. Derik kasar jangkrik yang mendamaikan. Tidak begitu untuk apa yang ada dalam kepala kita. Yang sesaat aku merasa milikku kosong. Bagaimana dengan punyamu, To?”

“Argh... kayaknya pikiran kita mulai ngelantur...” Aku menjambak pelan rambutku sendiri, seakan kata-kata yang terucap semua tadi telah menimbulkan sesal. Sementara kamu masih diam saja. Agaknya kamu merenung. “Mungkin kita harus kembali ke kotak kamu?”

“Cuman  kotak saya?”

Sebetulnya tidak, kamu hanya salah satu di antaranya. Mari kita cari lagi dan kita bentuk perkumpulan anak tanpa orangtua. Siapa yang mau jadi pemimpinnya, kamu atau aku, To? Kamu bilang kamu harus jadi pemimpin untuk dirimu sendiri dulu. Kalau begitu aku mau jadi anak buahmu. Begitu pikirku sambil menyembunyikan kepala dalam lipatan lengan di atas lutut.

 

pada dikotomi hari-hari hampa dan ruang dingin

3 hari sampai 17 Juli 2008

untuk para anak tanpa orangtua


HABIS KATA #7

Asal mula terpikirkan cerpen ini adalah, kala itu saya sedang menyetrika, dan jiwa saya sedang diliputi kemarahan. Kemarahan itu sebenarnya sudah datang sejak beberapa waktu sebelumnya. Kemarahan itu tersalurkan sebagian dalam sebuah cerpen. Ya cerpen ini. Saya membuat cerpen ini tidak dalam sekali duduk melainkan berhari-hari dan selalu di malam hari. Setiap akan memulai saya menghimpun kekuatan agar muncul hasrat untuk menyelesaikan cerpen ini. Pada saat akan memulai sebenarnya keseluruhan cerita belumlah matang benar, melainkan hampir. Tapi toh akhirnya saya dapat menyelesaikannya juga. Setelah selesai itu saya baca dan edit lagi berulang-ulang kali dan akhirnya jadi kebiasaan untuk cerpen-cerpen selanjutnya. Namun bukan berarti kebiasaan tersebut membuat si cerpen menjadi sempurna. 

Tidak banyak sih yang bisa saya ungkapkan mengenai cerpen ini selain bahwa cerpen ini menjadi semacam pengukuhan akan suasana kelam yang kemungkinan akan muncul lagi di cerita-cerita saya berikutnya. (12/31/2008)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain