Kamis, 17 Juli 2008

ATO

Bertemu lagi dengan Ato, yang bukan nama sebenarmu tapi kamu minta dipanggil demikian. Malam ini. Saat temanku membuka kunci pintu kamar kosnya. Kamu keluar dari kamar sebelahnya. Kamar yang biasanya kulihat kosong. Kamu wajah baru di kosan ini ya?

Kita sama-sama terpana. Setelah bertahun-tahun lamanya. Temanku menyadari kengehan di antara kita. Dia mengenalkanku padamu dan mengenalkanmu padaku. Kita sama-sama tertawa. Kita kan sudah saling mengenal sejak SD. Dia hanya terbengong akan hal yang tak disangkanya ini. Tapi sudah cukup bentar dulu aja nostalgianya, To. Aku sengaja menginap malam ini di kosan temanku untuk mengerjakan tugas kuliah bersama. Kamu juga masih harus membereskan barang-barang di kosanmu kan. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan padamu. Besok-besok hari mesti ada waktu bagi kita untuk bertukar kabar.

Dini hari, ketika aku dan temanku merasakan tugas telah rampung, dalam kegelapan kamar, pikiranku lari ke masa lalu. Membuka pintu yang di dalamnya ada kamu. Ingatan saat kita dulu sering sebangku. Sepulang sekolah main bersama. Besoknya dan besoknya kita ketemu lagi. Sampai kabar akan kepindahanmu ke lain kota mengagetkanku. Hubungan kita pun terputus. Aku tidak pernah menyangka akan bisa bertemu kamu lagi.

Paginya aku tak sempat mengetok pintumu. Kami bangun telat. Ke kampus melesat. Setelah beres kewajiban aku langsung pulang. Capek oleh pikiran-pikiran yang berkelebat.

 

Minggu yang harusnya santai malah diisi oleh keorganisasian. Hanya setengah hari. Aku terlanjur malas pulang. Kusempatkan mampir ke kosanmu yang tidak begitu jauh letaknya dari kampusku. Moga-moga saja kamu ada.

“Ato... Ato...” Kuketuk jendela kaca kamarmu yang masih tertutup gorden warna gelap. Aku sempat pesimis kamu sedang tidak ada. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan tampilah sosokmu. Mengebul asap dari rokok yang dikepit bibirmu. Isyarat kejut di matamu lenyap dengan cepat berganti binar. Kamu menyuruhku masuk.  

“Maaf, masih porak poranda,” katamu. “Pintunya tolong ditutup.”

Sambil menutup pintu pandangku beredar ke sekeliling kotak putih ukuran 3x3 m ini. Tidak banyak yang ada di kamarmu. Aku tahu dari temanku di kosan ini meja dan rak kecil sudah disediakan. Yang lain beli sendiri. Aku lihat isi rakmu masih lapang. Di atas meja ada laptop yang sedang kamu pakai. Di lantai tergelar sleeping bag dan ransel agak besar. Isi ranselmu bertebaran di mana-mana.

“Barang-barang yang lain belum sempat beli,” ujarmu tanpa menoleh dari LCD laptop yang menyinari sebagian wajahmu dalam ruangan gelap ini. Ada jeda di antara kita sampai kamu menoleh padaku dan sepertinya kamu menangkap ekspresi heran di wajahku. Kamu condong untuk mengaduk-aduk ransel yang ada di sampingku. Soft drink kalengan untukku. Lidahku merasakan soda yang kekuatannya memudar. Hidungku menyesap aroma rokok. Siang itu menuku adalah soda rokok dalam ruang pengap. Terlebih mulai terdengar serbuan air hujan pada atap dan lantai halaman.

“Rokok?” tawarmu. Kuambil sebatang. Ujungnya kini menyala dan menguar asap.

“Kapan sampai ke sini?” Pandangku masih beredar. Ke dinding. Ke atap.

“Beberapa hari yang lalu.”

“Kamu nggak kuliah, To? Sekarang kan bulan-bulannya kuliah. Atau jangan-jangan kamu mau pindah. Dulu kuliah di mana?” tanyaku seraya bersender di dinding.

Kamu telah kembali pada kerjaanmu di laptop. Aku bercakap dengan tampak sampingmu. “Belum?”

Sebelum aku hendak menyampaikan kata-kata yang telah kupikirkan untuk menjawabmu kamu berucap lagi, “Mungkin tahun depan.”

Nggak lulus ujian masuk ya?” tanyaku iseng. Aku ingat bertahun-tahun lalu kita kerap meledek satu sama lain. Hari kita selalu diisi oleh tawa karena hal demikian.

Kamu menggeleng. “Kamu gimana?”

“TI.” Kini tidur bertopang tangan poseku. “Sekarang ngapain aja dong?”

“Ya... begini ini.”

Aku mendekatimu dan memerhatikan apa yang sedang kamu kerjakan. Kamu bercerita mengenai peluang mendapatkan uang dari dunia maya tanpa harus bertatap muka dengan klien.

“Lumayan duitnya buat biaya kuliah ya,” ujarku. Selama ini kukira keluargamu berasal dari kalangan orang yang berkecukupan meski kamu tidak pernah cerita.

Kamu tersenyum simpul.

“Mandiri,” katamu membuat serpih takjub mendarat dalam pikiranku. 

Aku berbalik untuk duduk di tempat semula sambil memikirkan betapa orangtuamu mendidik kamu hingga berada pada jalan ini. Membuatku kagum. Sempat terpikir olehku untuk mencari kerja sambilan juga tapi padatnya kegiatan akademis di tahun pertama kuliah ini mengekangku.

“Ntar mo kuliah di tempat saya?”

“Mungkin.”

“Bukannya di kota kamu juga ada perguruan tinggi yang bagus?”

“Di sini juga bagus. Tempat kuliah bagus. Lapangan kerja bagus. Pingin cari yang di dunia nyata juga...”

Ya, kamu benar. Aku manggut manggut. Aku teringat kekonyolan kita di masa lalu. Kamu berjanji akan menelponku sesampainya kamu di kotamu yang baru padahal aku tidak pernah memberitahumu nomor telponku. Menggelikanmu. Aku dan tampak sampingmu menggali ingatan-ingatan yang memacu gelak tawa.

 

Aku jadi sering mampir ke kotakmu—begitu kamu menyebutnya, tidak apa-apa kan, To? Kelar urusan di kampus, baik setelahnya tidak ada acara lagi maupun untuk mengisi jeda sebelum harus kembali ke kampus lagi, kusempatkan mampir. Menemanimu mengerjakan tugas dari dunia maya sambil berbincang tentang macam-macam. Topik yang paling senang kita bahas adalah hal-hal yang ada di luar kita. Yang sedang jadi headline di koran langgananmu.

Pernah aku datang ke kotakmu lalu kamu tak ada. Kita lupa bertukar nomor ponsel. Kali berikutnya aku bertemu denganmu segera ku minta nomormu. Ternyata kamu juga kepikiran hal yang sama. Namun katamu kalau aku mau main kapanpun ke kotakmu silakan saja. Kunci pintu kotak ini akan kamu taruh di bawah pot depan. Yang ada anthuriumnya, yang paling subur tumbuhnya. Tak jarang juga aku menginap di tempatmu. Biarpun kita tidur hanya beralas tikar yang sengaja kuhibahkan padamu tanpa seorang pun di rumah yang tahu. Kotak kecil ini terasa lapang hanya untuk kita berdua. Namun pikiran kita berdua telah bersinergi dan mampu melebur dalam cakrawala tanpa harus menjebol atap.


Upah pertama dari tugas dunia maya, sebagian kecilnya kamu pakai untuk menraktirku dan anak-anak sekosan. Biar hanya di kedai pinggir jalan tapi itulah yang bikin perayaan makin semarak. Tidak terbayang bisa seriuh ini kalau di coffee shop.

Gelas kopi yang isinya barusan kamu teguk, kamu taruh di meja hadapanku. Hingga kamu dapati ada binar di mataku memandangmu. Kamu nyengir.

“Kenapa, heh?”

“Kayaknya enak punya penghasilan sendiri,” ujarku. Ada kekaguman sekaligus rasa iri. Seharusnya aku sudah bisa seperti kamu dari dulu.

“Hei, hei, ini baru gaji pertama... Haha, maaf deh nggak bisa bawa ke tempat yang agak mewah dikit. Ada anggaran lainnya nih.”

Bertopang daguku pada meja. Kamu tangkap pandangku agak sayu. Sebaiknya kamu jangan tanya aku kenapa. Aku hanya tiba-tiba teringat akan sesuatu. Pelarianku yang tidak pernah ada. Karena meskipun aku benar-benar marah aku terlalu frutasi hingga tak mampu bergerak. Seharusnya aku bisa seperti kamu sejak dulu... Benar.

“Jangan murung gitu lah...” Kamu menepuk pundakku. Aku berusaha tersenyum untuk menutupi getir itu dan kutegakkan pula punggungku.

Aku cuman ingin melupakan itu.

“Saya masih ingat...” Kamu senderkan bahumu pada dinding. “Waktu saya main ke rumah kamu. Saya ketemu orangtua kamu... Ada saudara perempuan kamu juga. Siapa sih itu namanya? Arma ya? Dulu saya sering main ke sana... Gimana mereka kabarnya? Arma sekarang kuliah dimana?”

Tidak akan kujawab.

Mereka belum mengerti kalau aku ingin melupakan itu. Aku belum memberitahunya. Di tengah keramaian seperti ini aku bisa saja berdiri di atas meja yang terletak di tengah kedai, lalu aku teriak keras-keras sama mereka, juga sama orang-orang di luar sana kalau mereka bisa dengar, untuk sekali-kali tidak mengingatkanku akan—

“Der, jangan diem aja. Ayo ikut nyanyi!”

Seseorang menarikku dalam hingar bingar anak-anak pasar.


Kamu mendapati aku terlentang di tengah kotakmu. Kamu nyengir melihat wajah lelahku dimana ekspresi yang sama terpatri juga padamu. Setelah meletakkan ransel kamu berbaring juga di sebelahku. Pandang kita sama-sama menembus jendela satu-satunya dalam kotak, tertuju pada selendang jingga yang terhampar di langit sana. Panah-panah hitam terbang menjauh.

“Abis ngapain sih?” tanyamu.

“Seksi logistik nih, seksi capek. Haha. Lusa himpunan jurusan mau ngadain acara... Dateng?”

“Hm.”

Aku  tak perlu menanyakan hal yang sama padamu karena aku tahu kamu habis dari kerja dunia nyatamu. Kerja fisik.

Kamu mengubah posisi tidurmu. “Keras...” keluhmu.

“Beli springbed dong!”

“Ahiya, haha, uangnya mending buat yang lain dululah! Masih enak pake sleeping bag lagian...”

“Minta orangtua kamu dong! Mandiri juga dikit-dikit perlu sokongan kan? Ehehe... Udah ditengokin sama mereka belum?”

Melihat wajahmu kukira kamu tidak mau menjawabnya dan tidak perlu bagiku untuk memaksamu.


Malam ini kita namakan malam manis. Aku membawakanmu sebungkus biskuit lemon tipis dengan lapisan gula yang sama-sama kita suka. Juga wafer coklat. Beberapa kaleng teh rasa buah. Sebungkus rokok. Asbak yang kamu bawa dari rumah ada tepat di tengah kotak. Yang tak terisi karena kita lebih sibuk mengisi mulut dengan makanan ketimbang asap.

Kumainkan gitarku yang sudah beberapa minggu ini kuinapkan juga di kotakmu. Tapi tidak untuk kuhibahkan ya. Sementara kamu sedang menekuni tugas dari dunia maya itu. Jadi aku bercakap-cakap dengan punggungmu.

Mulanya kita bicara soal waktu. Kita tidak bicara dengan bahasa yang terlampau berat, melainkan apa yang kita pahami. Tentang waktu yang semakin lama semakin cepat larinya. Tidak terasa. Betapa sewaktu kecil kita tidak merasa dihimpitnya. Kini terasa sekali adanya dimensi yang mengekang kita itu. Kita butuh lebih banyak waktu. Untuk melakukan lebih banyak pekerjaan. Tetek bengek akademisku. Berkumpul dengan komunitas kita masing-masing. Tugas dunia mayamu. Konsekuensi dari kerja dunia nyatamu. Waktu bagi kita untuk bercakap.

Kamu ingat, waktu yang terasa makin cepat katanya makin mendekati kiamat.

Otomatis, jawabmu.

Lebih enak mati pas kiamat atau mati sebelum kiamat?

Kamu terdiam sebelum mengatakan dengan pelan, “Mati muda.”

“Mati muda. Soe Hok Gie pernah mengatakan orang yang beruntung adalah orang  yang mati muda,” katamu lagi.

“Karena orang yang mati muda itu belum banyak melakukan dosa?”

Anggukmu.

“Bagaimana kalau orang mati di masa mudanya di mana dia masih bersenang senang di dalamnya? Bagaimana kalau dia mati sebelum sempat meluruskan dirinya di masa tuanya?”

“Hah?” Kini kepalamu juga ikut bicara.

“Tau kan, muda foya-foya. Tua kaya raya. Mati masuk surga... yah, yang semacam itulah, saya lupa. Orang bilang kan masa muda hanya sekali, sayang kalau tidak dipakai untuk bersenang-senang. Sudah tua, bau tanah, baru beribadah setakwa-takwanya sama Tuhan. Menurut saya orang mati muda itu belum tentu beruntung. Kalau mati saat masih bayi itu beruntung karena belum sempat melakukan dosa apa-apa.”

“Lebih beruntung tidak penah dilahirkan sama sekali,” balas punggungmu. “Tidak pernah menjadi ada. Bagian dari ketidakadaan. Tidak merasakan kenikmatan tidak apa-apa, karena tidak merasakan penderitaan juga.”

Lumeran biskuit lemon dalam rongga mulut terasa pahit dengan lidahku. Gitar kusenderkan di sebelah. Kutahan kepala dengan kedua lutut. Nanar tatap mataku pada anyaman pandan kering. Teringat lagi olehku sekelebat kenyataan kemarin yang tidak ingin kuterima.

Kenapa Ato bicara seperti itu. Apa yang dia mengerti. 

Gemuruh itu bagai lahar di dalam lindungan gunung pemahaman. Pemahaman yang kuusahakan habis-habisan. Lahar itu ingin membuncah. Kusumpal dengan sebongkah pemahaman instan. Pahamlah, bahwa masa lalu telah mati dan tidak semua masa lalu mempengaruhi masa depanmu.

Karena pikirku pun pernah demikian. Lalu kupupus halus-halus sampai tinggal kerak.

“Tidak begitu Ato. Kenikmatan itu terasa karena sebelumnya ada penderitaan. Katakanlah, seorang ibu yang berjuang mati-matian mengeluarkan anaknya dari dalam perutnya. Setelah anaknya lahir selamat dan sehat... Ibu mana yang tidak merasakan kebahagiaan setelah itu? Ibu dan ayah. Bersyukur atas dianugrahinya seorang anak pada mereka.”

Lidahku seperti tergigit setengah dan ikut tertelan bersama ludah. Kudorong diriku untuk melanjutkan, “Orangtuamu pasti bangga punya anak yang mandiri kayak kamu.”

Aku berhadapan dengan punggung bisu. Kepalamu juga tenggelam dalam dua lutut.

“Saya pernah dengar, kenikmatan tidak akan terasa sebagai kenikmatan kalau kita tidak mengalami penderitaann dulu sebelumnya.”

“Kalau penderitaan itu sudah ada tapi kenikmatan nggak datang juga?” Kepalamu menoleh ke belakang.

“...Berusaha mencari kenikmatan itu. Dalam berusaha pasti ada suka dan dukanya kan?”

“Kalau kita nggak sedang mencari kenikmatan tapi penderitaan itu datang dengan sendirinya?”

Aku tak tahu. Apa yang kupahami sepertinya sudah aku keluarkan semua. “Ah, Ato. Kamu ini seperti orang yang pesimis saja. Kamu pikir nggak ada sama sekali lebih enak dari menjadi ada? Kedengarannya seperti orang yang pingin mati aja.”

Punggungmu jatuh menimpa ubin. “Asal bukan saya sendiri yang melakukannya.” Dari mulutmu. Itu menimbulkan kesenyapan dalam kotak 9 m2 ini hingga kamu bangkit untuk membuka pintu.

“Saya mau solat.” Pengakuan atas suatu ketakutanmu ya. Memang sebaiknya tidak, saranku. Apa jadinya kalau orang yang kukagumi kemandiriannya ini sampai mati bunuh diri. 


Kantuk yang menguasaiku malam ini datangnya seperti teh celup. Lelap. Sadar. Lelap. Sadar. Di antara sadarku aku dengar kamu yang berbaring di sampingku bersuara, “Aku selalu diberi yang aku nggak minta. Aku nggak tahu gimana cara membalasnya. Aku kecewa karena mereka nggak memberiku yang seharusnya.”

Pada sadarku yang terakhir sebelum akhirnya lelap menang dan menguasaiku sampai pagi, aku dengar lagi suaramu, “Aku selalu diberi yang aku nggak minta. Aku nggak tahu gimana cara membalasnya. Aku kecewa karena Dia nggak memberiku yang seharusnya.”

Kamu ngomong sama siapa sih, To? Tentunya kamu tahu kan kalau aku sudah... hoahm..


Pukul 1 dini hari. Semakin bertambah saja kagumku. Bagiku kamu hebat. Bisnis dunia maya itu menggiring sekian juta ke rekeningmu setiap hari. Pada malam sama-sama-tidak-bisa-tidurnya kita kamu mengajakku ke toko yang buka 24 jam itu. Cari cemilan, katamu. Sesekali pake uangku, katamu. Ayolah. Sesekali kita coba dua singa jinjit juga. Pake uangku, bener. Ahaha, kamu bercanda, To... Tapi ayo deh.

Aku sudah melupakan keinginan tersiratmu untuk mati. Aku sudah paham ada topik-topik tertentu yang sebaiknya tidak usah kita bahas. Kita melenggang santai di jalanan terang temaram oleh lampu jalan. Serasa kitalah penguasa malam. Sesekali masih ada kendaraan lewat. Angin menderu keras. Sekeras tawa kita yang sesekali.

Memasuki toko dengan intensitas pencahayaan yang lebih tinggi. Kamu langsung menuju bagian belakang. Rak minuman. Sementara aku di rak samping. Aku memerhatikan harga-harga yang tertera... Fiu... benar juga, memang mahal-mahal ya di sini. Sebenarnya baru pertama kali juga aku masuk toko ini meski logonya ada dimana-mana. Sepertinya di setiap jalan ada.

Deru motor bersahut-sahutan memecah damainya malam. Banyak motor. Memenuhi area parkir toko. Beberapa orang berpenampilan berandal masuk ke dalam. Hawa mengancam menyesaki ruangan. Aku terpaku. Salah seorang di antara mereka menatapku garang. Aku mengalihkan perhatian pada lantai. Aku menunduk. Aku berpikir keras, apakah yang sebaiknya kulakukan. Sial, keringat dingin yang tidak kuharapkan ini... aku jadi tidak bisa konsentrasi...

Hei, sadarlah. Mereka belum berbuat apa-apa kan. Bisa saja mereka datang sebagai pembeli biasa. Mereka tidak akan macam-macam. Bisa saja rumor yang beredar itu tidak selamanya benar. Hanya saja penampilan mereka memang bisa membuat jantung berpacu lebih cepat.

Aku memberanikan diri untuk mengamati keadaan lagi. Sejauh ini aman. Orang yang satu mengambil beberapa botol hijau dari mesin pendingin. Yang lainnya mengambili barang-barang lainnya. Setelah itu mereka saling melihat satu sama lain. Seakan memberi isyarat, “sudah segini saja”.

Kasir berada di dekat pintu keluar. Mereka berjalan ke arah situ. Kamu mengekor di belakang dengan beberapa merk cemilan dalam ditopang dua lenganmu. Kamu juga beri isyarat padaku, apakah aku sudah memilih cemilan.

Baru aku hendak berjalan ke arahmu. Dimana pada saat itu kita sama-sama lihat mereka melenggang begitu saja tanpa mampir di meja kasir.

Perempuan berseragam penjaga kasir yang menegur dengan gugup.

Kamu berteriak, “HEI, BANG!”

Punggung mereka berbalik. Terusik dengan kerasnya suaramu.

Mereka mendekatimu. Aku maju selangkah. Menyaksikan kalian saling menyulut emosi dalam beberapa menit. Meneriaki. Kamu bicara dengan bahasamu. Mereka balas dengan kata-kata kasar. Adegan itu seolah tanpa suara bagiku. Berjalan lambat tapinya. Pada selanjutnya aku tak cukup kuat mengingatnya. Karena kejadian selanjutnya terjadi dalam tempo yang cepat sekali. Karena ada yang lebih kuingat. Bagaimana mereka menghunjamkan pisau itu di dadamu.

Perempuan berseragam penjaga kasir berteriak. Mereka berlari. Kawanan mereka sudah siap dengan motor masing-masing. Dengan terampil mereka meloncat naik dan dibonceng menerobos temaran malam. Menggerung-gerung. Pecah damai malam. Pecah tangis perempuan berseragam penjaga kasir itu. Pecah rasanya pembuluh jantungku. Mereka terlalu cepat untuk kukejar mau sekencang apapun lariku. Hawa dingin berlomba-lomba meredam panas tubuhku yang kini berpeluh keringat.

Kamu dalam dekapanku sementara perempuan berseragam penjaga kasir itu menelpon polisi mungkin. Dia histeris.

“...Ato...!” Kudengar suaraku serak. Cairan merah itu merembes ke bajuku. Mengenai kulitku. Aku bingung. Aku kalut. Aku selalu kabur dalam kegiatan PMR waktu SMP dulu.

Bertahanlah, Ato, Bertahanlah. Kamu sahabatku. Ah, apalagi kata-kata yang bisa kugunakan untuk menggambarkan dirimu. Menggambarkan persahabatan kita. “Kamu bisa...” Aku tidak tahu... Sudah tersengal nafasmu. Aku memelukmu makin erat setelah sebelumnya aku mencabut benda yang melubangimu. Dengan cepat. Apakah sakitnya terasa, To? Kututupi sumber darah itu dengan jaketku. Jangan sampai darahmu habis.... Aku lihat wajahmu yang kepayahan. Seperti apa rasanya? Aku benar-benar khawatir benda tajam itu mengenai bagian yang paling vital, yang apabila diusik akan menerbangkan nyawamu. Kupeluk kamu erat. Biar jadi perintang bagi malaikat pencabut nyawa...

Sirine ambulan... Polisi...

Sebelum mereka memindahkanmu ke atas kasur berjalan itu aku sempat lihat pada ketidakberdayaan yang menguasaimu, senyummu bagai bunga yang tercium harumnya di tengah hamparan kabut yang berbau embun. Aku ragu aku harus mengucapkan selamat jalan. Tangis dan marahku pecah. Meski tak ada apapun yang bisa didengar jelas yang keluar dari mulutku yang terbuka. Tadah air mata. Pertanyaan ke mana aku harus lari sekarang di tengah kesadaran bahwa seharusnya aku tidak bertanya demikian.

 

Kalau kurasa-rasa lagi sebenarnya aku masih menyimpan amarah. Amarah itu kutimbun dalam-dalam. Setelah sekian lama yang melupakan, amarah itu pun mengendap. Jadi dingin. Seperti puding yang lama dibiarkan di tempat sejuk. Namun kadang ada kesempatan dimana aku terlalu optimis untuk mengambilnya. Meski kalau dipikir jauh lagi aku tahu, dengan mengambil kesempatan itu sama saja seperti menuang air panas dalam pudingku. Ya, endapan itu agak mencair juga. Jadi amarah itu timbul lagi. Bergumul bagai pesumo Jepang, tapi mereka di sini, di dalam dadaku. Aku hanya bisa menahannya. Berharap lingkungan di sekitarku berubah dan mengendapkan yang telah cair atau menguap.

           

Kamu baik-baik saja. Pisau itu nyaris mengenai jantungmu. Tapi tidak. Tidak cukup dalam untuk melukai paru-paru bahkan. Aku sangat bersyukur untuk itu. sampai bertemu sesi diskusi denganmu lagi, Ato.

Aku agak kebingungan mengurus administrasi untukmu. Karena akulah seorang yang mengenalmu di tempat kejadian. Mereka bertanya apakah kamu punya askes. Aku tidak tahu. Aku suruh mereka untuk lihat langsung dompetmu. Mereka bertanya lagi, apakah ada nomor telpon sanak saudaramu yang bisa dihubungi. Aku tidak tahu. Kamu sama sekali tidak pernah menceritakan keluargamu. Bahkan sewaktu kita berteman saat SD dulu. Kamu tidak pernah mengungkitnya ataukah aku yang sudah lupa. Kalau kamu sudah sadar nanti bolehkan aku menanyakanmu hal-hal yang ditanyakan padaku tadi itu? Ohya, polisi kini sedang melacak pelakunya. Orang-orang aneh itu. Marah-marah saja sampai ada nafsu membunuh.

Menungguimu semalam yang tak bangun-bangun... Mataku berat tapi otakku serasa sesegar embun pagi meski kurasa ada bagian yang sejenuh rawa gambut juga. Mataku sepertinya masih merah dan bengkak. Aku berjalan menembus udara pagi nan dingin. Kulipat lengan di depan dadaku. Aku kan tidak mungkin berkeliaran di jalan, memasuki toko, dan membeli sarapan dengan jaket berlumuran darah.

Aku mencari-cari toko yang sudah buka di sekitar rumah sakit ini. Membeli roti untuk sarapan. Ambulan membawa kita ke daerah ini tadi malam.

Kacang. Coklat. Coklat keju. Coklat pisang... Mmm... ada pula rasa lainnya. Kurogoh saku celana. Menghitung nominal uang yang ada. Tidak membuatku merasa lebih lapang. Aku masih butuh beli minum juga. Kering tenggorokanku.

Aku mengambil dua bungkus roti tanpa melihat lagi petunjuk rasanya pada akhirnya. Baru aku berbalik, ada wajah yang sepertinya kukenal tepat di hadapanku kini.

“Deri kan?” tanyanya sambil menunjukku.

“Gufran...?”

Sambil sama-sama memilah minuman aku dan Gufran mengobrol tentang masa yang tidak kami lewatkan bersama. Aku satu sekolah dengannya saat SD dan dia masih satu komplotan denganku dan Ato.

Juga bagaimana dengan keadaan masing-masing di masa kini. Gufran kuliah di perguruan tinggi negri yang berbeda denganku, masih di kota ini tapi berjauhan. Dia juga sedang cari sarapan untuk dimakan dalam perjalanan ke kampus. Dia masuk agak siang. Aku bohong kalau aku juga masuk siang. Seharusnya aku kuliah pagi ini. 

“Tau gak, Siti si anak alim itu sekarang udah punya pacar. Janggal rasanya,” kata Gufran dengan ekspresi mengernyit khasnya.

“Jangan-jangan malah kamu yang naksir?”

“Ti...dak. Ngomong-ngomong soal teman lama, kamu masih ingat Ato kan?”

Aku terdiam sebentar sebelum mengucap, “Iya. Kenapa gitu?”

“Si Ato tuh kabur dari rumah ya?”

“Ha?”

“Orangtuanya nelpon saya... mm, kapan ya itu? Udah lama sih, beberapa minggu yang lalu. Tapi karena setelah bertahun-tahun ya rasanya aneh juga. Mereka tanya kalau-kalau sekiranya saya melihat Ato. Udah beberapa hari gitu dia ngilang katanya... ”

Gufran memang yang paling cerdas di antara komplotan kami. Ato selalu tanya PR padanya. Pantas saja dia menyimpan nomor telponnya.

“Tapi waktu itu kan Ato ma keluarganya pindah ke kota lain. Masak iya kaburnya sampe ke luar kota, ke kota ini lagi misalnya? Ah, aneh-aneh saja tuh  anak...”

“...”


Aku menutup pintu kamar tempat kamu dirawat. Kresek isi sarapan kutaruh di meja sampingmu. Kutengok. Kamu telah bangun rupanya. Kepalamu meleng ke arah jendela. Menantang hangat pancaran sinar matahari. Lalu ada pula langit biru cerah, tersaput awan jarang. Pagi yang indah, kan, To?

Kepalamu berganti arah menghadapku.

“Saya kira saya mati. Udahan.”

Dan kamu tahu salah perkiraanmu itu. Tidak mungkin ada malaikat surga yang seperti aku. Kalau kamu kira setelah mati kamu bakal langsung terbang ke surga.

“Ya. Pisaunya nyaris kena jantung kamu. Mungkin kalau pelakunya kemarin berhasil ditangkap polisi kamu bisa minta dia mengulangnya lagi.”

Senyum bermakna apa ya yang ada di mukamu itu, menganggapku bercanda atau getir?

Setelah aku duduk di kursi tanpa senderan itu, “Habis kamu pulih, pulanglah, To. Orangtua kamu nunggu. Mereka nyariin kamu sampai telpon si Gufran, satu-satunya teman SD yang kamu punya nomor teleponnya? Jangan sampai wajah kamu keburu dipampang di TV.”

Kamu tidak jadi memandang burung gereja yang hinggap di jendela. Bukan berarti memandangku bisa menimbulkan efek yang lebih baik. Soalnya ekspresimu seperti yang tercekat begitu. Hanya seperkian detik lamanya namun kentara. 

“Saya nggak tahu kamu sedang ada masalah apa. Mereka masih ada perhatian sama kamu, seenggaknya.”

Bantal di bawah kepalamu kini jadi penampung setetes air dari kelenjar air matamu. Yang ada di bawah matamu. Matamu yang menatap kosong pada atap. Atap yang kosong. Hanya warna putih.

“Nggak akan ada yang berubah, Der. Percuma. Sudah impulsif. Sudah jadi pola. Berulang dan berulang terus. Seperti grafik sinus. Apa yang kuamati selama bertahun-tahun.” Suaramu mengingatkanku pada gabus yang dijatuhkan ke air.

Taukah kamu, To, aku pun sedang berusaha agar pipiku tak lagi basah. Agar mataku tak lagi merah.

“Keluarga ideal, yah, kita nggak pernah ngomongin itu.” Kata-kata itu kutujukan lebih kepada diriku sendiri.

“Sebenarnya itu topik yang paling ingin saya bahas.”

“Jangan mimpiin itu, To. Setiap keluarga punya aibnya masing-masing. Bagaimana idealita tu didapat tergantung pada secerdik apa mereka menutupinya.”

Bolehkah merokok di ruangan ini? Rasanya aku tidak tahan...

“Ayah yang ternyata sedang membangun keluarga lain di luar keluarga intinya. Ibu yang ternyata punya anak dari orang lain dan anaknya itu udah sebesar kita. Saudara perempuan yang ternyata diambil dari solokan. Diri kamu sendiri, yang ternyata cuman anak titipan...”

“Yang mana yang kamu alami?”

“Salah satunya.” Tenggorokanku seperti disumbat batu. “Atau semuanya..?”

“Saya anak kurang ajar dan nggak tahu berterimakasih...”

“Bukan ini yang saya inginkan...”

“Yang ada cuman kesalahan...”

“Sebelum tiba saat di mana kita mendapatkan kesadaran akan itu, kita nggak bisa memilih...”

“Itu sudah mengakar. Saya nggak tahu siapa yang bisa beritahu...”

“Andai kenyataan ini nggak harus ada...”

“Andai saya bisa mendapatkan yang lebih baik...”

Kita lalu bisa dengar suara cicit burung yang merdu. Desir lembut angin. Pekikan anak-anak di bawah sana. Sepatu orang-orang yang berseliweran di lorong. Derik kasar jangkrik yang mendamaikan. Tidak begitu untuk apa yang ada dalam kepala kita. Yang sesaat aku merasa milikku kosong. Bagaimana dengan punyamu, To?”

“Argh... kayaknya pikiran kita mulai ngelantur...” Aku menjambak pelan rambutku sendiri, seakan kata-kata yang terucap semua tadi telah menimbulkan sesal. Sementara kamu masih diam saja. Agaknya kamu merenung. “Mungkin kita harus kembali ke kotak kamu?”

“Cuman  kotak saya?”

Sebetulnya tidak, kamu hanya salah satu di antaranya. Mari kita cari lagi dan kita bentuk perkumpulan anak tanpa orangtua. Siapa yang mau jadi pemimpinnya, kamu atau aku, To? Kamu bilang kamu harus jadi pemimpin untuk dirimu sendiri dulu. Kalau begitu aku mau jadi anak buahmu. Begitu pikirku sambil menyembunyikan kepala dalam lipatan lengan di atas lutut.

 

pada dikotomi hari-hari hampa dan ruang dingin

3 hari sampai 17 Juli 2008

untuk para anak tanpa orangtua


HABIS KATA #7

Asal mula terpikirkan cerpen ini adalah, kala itu saya sedang menyetrika, dan jiwa saya sedang diliputi kemarahan. Kemarahan itu sebenarnya sudah datang sejak beberapa waktu sebelumnya. Kemarahan itu tersalurkan sebagian dalam sebuah cerpen. Ya cerpen ini. Saya membuat cerpen ini tidak dalam sekali duduk melainkan berhari-hari dan selalu di malam hari. Setiap akan memulai saya menghimpun kekuatan agar muncul hasrat untuk menyelesaikan cerpen ini. Pada saat akan memulai sebenarnya keseluruhan cerita belumlah matang benar, melainkan hampir. Tapi toh akhirnya saya dapat menyelesaikannya juga. Setelah selesai itu saya baca dan edit lagi berulang-ulang kali dan akhirnya jadi kebiasaan untuk cerpen-cerpen selanjutnya. Namun bukan berarti kebiasaan tersebut membuat si cerpen menjadi sempurna. 

Tidak banyak sih yang bisa saya ungkapkan mengenai cerpen ini selain bahwa cerpen ini menjadi semacam pengukuhan akan suasana kelam yang kemungkinan akan muncul lagi di cerita-cerita saya berikutnya. (12/31/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain