Rabu, 31 Desember 2008

Ketika Rumpus dalam Moi

Kusadari sudah hingga berjam-jam aku duduk beberapa meter jauhnya dari pintu rumah kami. Rumah mungil yang menjadi bagian dari komplek gedung rumah susun ini.

Aku dan abangku adalah anak tanpa orangtua. Kami lari dan hidup berdua. Bertiga, karena sejak menemukan kebebsannya, abangku membawa si jalang itu.

Aku tak mau masuk rumah kalau ada dia. Dia di dalam, entah sedang mengapakan abangku, aku tak mau tahu. Mungkin dia adalah korban seperti kami. Tapi aku tak mau dia menjadi bagian dari kami. Membuatku malu saja. Dengan pahit harus kuakui bahwa hanya dia yang mampu membuat abangku kalem di saat masa labilnya datang.

Masa labil itu selalu datang.

Aku tak tahu ke mana harus pulang selain ke tempat ini. Namun bahkan tempat ini pun tak terasa seperti rumah. Tak ada orangtua yang menyambutmu setelah kamu melewati pintu depan, dan bertanya, “Habis dari mana saja?”

Pun tak ada yang namanya berlari-larian mengelilingi rumah bersama saudara kandungmu. Memang, aku dan abangku sudah besar. Tak mungkin melakukan itu lagi. Namun seharusnya kami bisa melakukan sesuatu yang sama hangatnya dengan itu.

Kini tak pernah. Sejak kelabilan itu menguasainya. Sejak si jalang itu datang. Aku terlalu muak untuk menceritakan asal mulanya.

Aku menghela nafas. Sampai kapankah aku harus terus di sini...? Memeluk kedua lutut dan tak tahu harus melakukan apa...

 

Abangku kalau marah buruk sekali. Buruk. Tak perlu banyak kalimat untuk menggambarkan betapa buruknya itu ketika terjadi: Seluruh barang di rumah porak poranda.

 

Tuh dengar. Abangku mulai lagi. Aku menempelkan sebelah telingaku ke pintu. Terdengar suara teriakan. Barang-barang dilempar. Ada yang pecah. Si jalang itu memekik. Mungkin dia bingung harus melakukan apa. Mungkin dia sedang tersengguk-sengguk di pojok ruangan.

Sama sepertiku, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Aku menyandarkan punggungku di pintu dan menerawang ke langit-langit.

Ah, Abang... Abang... Bikin malu tetangga saja kau... Tak tahukah kau bahwa kita hidup bersama kumpulan manusia lainnya di rusun kumuh nan sempit ini.

10 menit... 20... setengah jam... 45 menit...

Aku tak tahan.

Memang kadang-kadang tak terdengar suara lagi di balik pintu ini. Hening. Namun mesti tak lama kemudian akan muncul suara-suara terbenturnya benda keras lagi.

Hal ini terjadi minimal dua kali dalam seminggu.

Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Tapi aku tak mau masuk kalau masih ada si jalang itu di dalam sana.

Masuk... Tidak... Masuk... Tidak...

Secepat mungkin aku menarik gagang pintu, masuk ke dalam. Dari belakang aku menarik kedua lengan abang. Ampun, tenaganya kuat sekali. Aku nyaris melayang-layang dibuatnya. Kuperkuat peganganku. Dia memberontak. Aku menoleh pada si jalang yang tengah menangis ketakutan, memberi isyarat agar dia membantuku melaksanakan rencanaku.

Dengan ragu-ragu dia mendekat...

Dalam waktu beberapa menit kami telah bahu membahu menyeret lelaki muda ini ke tempat yang telah kurencanakan.

Kamar mandi.

Kepayahan kami dengan pemberontakan yang dilakukan abang. Dia bau sekali. Bau badan. Bau alkohol. Matanya kuning. Brewokan. Menyeramkan. Aku akan membuat kami tak usah melihat keseraman itu. Beberapa bagian tubuhku telah sakit karena terantuk-antuk sikut abang dengan kekuatan besar di dalamnya. Mungkin si jalang pun merasakan hal yang sama.

Hingga akhirnya kami berhasil menyentuh ubin dingin kamar mandi.

“Balikkan dia!” seruku pada si jalang. Si jalang mengeluarkan suara payah yang keheranan. Namun tetap dilakukannya juga apa yang ku mau. Kami berhasil memasukkan kepala abang ke dalam bak kamar mandi. Bening dan dingin. Aku menekan kepala abang agar usahanya untuk keluar dari sergapan air tak berhasil. Tangannya menggapai-gapai berusaha untuk mencengkeram dan menghajar lawannya. Hanya tanganku saja yang condong ke depan, menahan kepala abang. Tubuhku kutarik ke belakang. Begitupun si jalang yang sudah terlebih dulu melakukannya. Dia berdiri ketakutan di ambang pintu kamar mandi.

Setelah abangku sudah hampir kehabisan tenaga, aku buru-buru melepaskan tanganku dari kepalanya dan meloncat ke luar kamar mandi. Tergopoh-gopoh si jalang mengikutiku. Pintu kamar mandi kubanting dan kukunci dari luar. Kuncinya lalu kumasukkan lagi ke dalam kamar mandi lewat lubang ventilasi di atas pintu.

Aku dan si jalang terduduk di luar pintu. Sebagian pantat kami menimpa keset, tak peduli betapa itu adalah benda kotor menjijikkan.

“Apa yang kita lakukan tadi...?” si jalang mendesah lemas dan gemetaran.

“Amarah terbuat dari api. Air yang mampu memadamkannya,” ucapku kalem.

Setelah agak tenang dan sengalku berkurang, aku menuju ruang tengah. Kuraih telepon. Kutekan nomor kantor polisi. Aku hendak melapor bahwa telah terjadi usaha bunuh diri di rumahku. Abangku harus segera diselamatkan. Tapi ia mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk ke sana...

 

Kucium kening abang yang tengah tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Perawat telah membersihkan tubuhnya. Pakaian baunya telah diganti oleh pakaian pasien rumah sakit yang bersih. Dia tampak damai sekali. Tak ada yang menyangka bahwa wajah ini bisa menghasilkan seringai beringas dan mulut yang terkatup itu kerap menyemburkan kata-kata kotor.

Tak lama lagi ia sudah dapat keluar dari rumah sakit. Sebetulnya aku tak mau hal itu cepat-cepat terjadi. Aku ingin mereka menemukan bahwa ada yang salah dengan abangku. Entah itu dalam fisiknya, kejiwaan atau apa. Biar mereka saja yang mengurus abangku. Aku tak mau.

Ketika aku keluar kamar, kulihat si jalang berdiri di hadapanku. Penampilannya rapi dan kuakui dia tampak cantik. Dibawakannya seikat bunga.

Kuajak dia pergi dari situ untuk menuju tempat yang sepi. Dia bertanya-tanya mau dibawa ke mana dirinya. Aku diam saja. Toh dia akhirnya mengikutiku juga.

“Kamu boleh merawat abangku selama dia di sini,” kataku ketika kami sudah berdiri saling berhadapan di pinggir taman yang jarang dilalui orang ini. “Tapi aku nggak mau kamu kembali ke rumah kami lagi.”

Aku memicingkan mataku, tepat menuju ke matanya. “Kembalilah kalau kalian sudah punya surat nikah yang sah.”

Dia menatapku lekat-lekat lalu menunduk sambil tersenyum.

“Semoga abangmu cepat sembuh,” katanya sebelum aku pergi dari situ. Aku menoleh untuk tersenyum sekilas padanya sebelum aku meninggalkan tempat itu dan tak menoleh ke belakang lagi.

 

311208


HABIS KATA #8 

Saya baru membuat cerpen ini di hari deadline-nya Rombongan Cerpen 2008 ini.

Cerpen ini selesai dalam waktu yang singkat. Ide cerpen ini sebenarnya memang muncul sejak Agustus 2008 lalu dan yang mendasarinya adalah masih  suasana kemarahan yang sedang saya rasakan. Biasalah, kita manusia punya saat-saat senang, sedih, melankolis, dan sebagainya. Begitupun saat-saat marah. Segala hal bersalah dan dapat memicu kemarahan kita. Pada akhirnya ya tersimpan saja dalam dada. Jadi tema utama dari cerita ini adalah ‘amarah’. Bagaimana kita dapat memanusiakan amarah. Saya ngunduh banyak artikel tentang amarah dari google. Hasilnya memang tidak begitu banyak memberikan inspirasi sih. Namun alurnya saat itu sudah ada. Ada adegan apa saja. Tinggal bagaimana saya menuangkannya dalam tulisan. Saya telah membuat berbagai versi dari ide ini (tidak banyak sih, cuman 1–2) dan kesemuanya saya hapus karena saya tidak begitu menyukainya.

Pada bulan Agustus 2008 itu sebetulnya kegiatan belajar mengajar di kampus belumlah efektif. Seharusnya saya bisa menggarap cerita ini di bulan itu juga. Namun entah apa yang saya lakukan hingga suasana marah dalam perasaan saya pun keburu berlalu. Ketika saya ingin membuat/meneruskan cerita ini lagi, feel itu sudah tidak ada. Beberapa kali saya mencoba hingga akhirnya saya memutuskan untuk melupakan saja ide ini. Feel sudah tidak ada, cerita ini pun terasa tidak penting lagi artinya untuk digarap. Berbulan-bulan kemudian, mendekati tenggat waktu di mana Rombongan Cerpen 2008 harus segera dituntaskan, cerpen Agustus masihlah kosong. Cerpen Agustus ini haruslah yang idenya muncul di bulan Agustus 2008. Maka saya buka buku ide saya dan membaca-baca apa yang saya tulis selama bulan Agustus 2008 itu. Sebenarnya saya sudah tahu kalau saya harus kembali pada cerita ini lagi. Tidak ada catatan mengenai alur lengkap cerita ini, padahal sepertinya dulu ada dan selalu saya ulang-ulang dalam kepala. Mungkin ada, tapi saya tidak mencarinya lebih jauh. Sehingga karena kelupaan itu akhirnya begini sajalah yang saya buat. Saya langsung pada apa yang saya ingat dan paling ingin saya tampilkan. Seharusnya cerpen ini memang tidaklah sesingkat ini.

Sebenarnya pula saya masih bingung dengan tokoh-tokohnya, terutama latar belakang mereka. Banyak tokoh suram dalam khayalan saya namun belum saya inventarisasi. Untuk efisiensinya sih ya memang jangan terlalu banyak. Seperlunya saja, tapi karakternya kuat dan konflik yang dialaminya memang ‘dalem’. (12/31/2008)

Selasa, 30 Desember 2008

T O I L E T

Aku pikir aku akan segera mati begitu sampai sini. Odong-odong reyot yang kunaiki terantuk-antuk melalui jalan berbatu menuju sebuah kota terpencil—yang saking udiknya sampai kapan pun aku tidak akan bisa menyebut namanya. Jadi sebut saja kota ini sebagai Kota T. T untuk Tinja. Nah, itu mobil penyedot-tinja milik ayahku datang. Lengkap dengan tulisan ‘Anda Sembelit, Kami Merugi’ di bemper depannya.

Ayahku masih tetap ayahku. Masih tetap supir truk tinja sampai kapan pun. Aku tidak usah repot mengingat nomor telepon rumah jika ada temanku yang bertanya. Aku tinggal mencari tiang listrik dengan papan kecil bertulisan ‘SEDOT TINJA, Hub. XXXXXXX’. Tinggal katakan saja apa keperluanmu, hendak menyedot tinja di rumahmu atau bicara denganku.

Namun untungnya hal itu tidak pernah terjadi. Ayah dan ibuku bercerai ketika umurku masih beberapa bulan. Saat itu kami semua masih tinggal di kota ini. Ayah dan ibuku lahir di sini. Ibuku minggat karena ayah hanya seorang supir truk tinja. Lalu mengapa ibuku mau menikah dengan ayahku? Waktu itu ayahku bukanlah supir truk tinja, melainkan supir pribadi walikota. Walikota tersebut kemudian dipecat karena terlibat skandal. Ayahku yang mestinya tak bersalah ikut mendapat getah.

Ibuku sendiri sejak pindah ke kota besar, dengan membawaku serta, mengalami kenaikan strata yang menakjubkan. Dalam beberapa tahun Ibu sudah mendapat posisi mapan di suatu perusahaan. Tapi sudahlah cukup cerita tentangnya. Ibu sudah tiada. Terpeleset di toilet. Kata mereka Ibu terkena stroke. Ibu berwasiat, sepeninggalnya, aku harus berada dalam pengasuhan ayahku sampai aku berumur 18 tahun, atau setidak-tidaknya sampai aku lulus SMA.

Truk tinja itu berhenti di depanku. Ayahku yang kumal turun. Aku bertanya padanya apa ia hendak menjemputku atau menunaikan tugasnya. Ia memandangku heran. Aku mendongak pada tulisan ‘TOILET’ yang berada di atasku. Sejak tadi aku menunggunya sambil menyender pada dinding situ.

Karena kukira aku masihlah asing bagi kota ini, semestinya aku tidak usah malu saat harus menebeng truk tinja Ayah. Toh sekali ini saja, karena aku tidak tahu bagaimana cara menuju rumah yang akan kutempati nanti dari terminal.

***

Aku berusaha membuat diriku nyaman di kamarku yang baru, dengan satu-satunya toilet di rumah mungil ini berada di sampingnya. Aku sudah lupa bagaimana keadaannya dulu ketika aku meninggalkannya pada umur beberapa bulan.

“Ina!” terdengar suara Ayah memanggil. Aku mencari sumber suara yang rupanya berasal dari sumber bau. Ayah berada di garasi, terhalang truk tinjanya. Lama-lama aku bisa kebal juga dengan bau tinja. Sepertinya Ayah harus memperbaiki tangki truknya.

“Kemarin kamu minta kendaraan, Nak.”

Tentu saja aku ingat. Aku tidak ingin pergi sekolah diantar truk tinja. Namun aku tidak bisa berharap banyak aku bakal dikasih kendaraan apa dengan profesi Ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Aku tidak akan keberatan kalaupun aku dikasih becak bekas seharga cuma-cumahasil belas kasih teman Ayah yang mungkin saja seorang pengusaha becak. Aku bisa sambil mencari penghasilan tambahan dengan sekalian mengangkut teman-temanku ke sekolah. Pulang dari sekolah aku bisa mangkal di terminal.

“Ayah nggak tau kamu bakal suka apa nggak.” Ayah menggiringku ke balik truk tinja dan aku mendapati sebuah sepeda ontel. Tua tapi antik. Agak kusam tapi klasik.

“Makasih, Yah! Ini lebih dari yang aku bayangin!” ucapku sumringah. Aku tulus kok. Di kota asalku sekarang sedang ramai gerakan bersepeda dalam rangka meminimalisir polusi. Kamu akan lebih dianggap keren kalau sepedamu adalah sepeda antik atau bermerk terkenal. Sepeda antik memiliki nilai tambah karena pemiliknya dianggap seolah dia telah melestarikan benda warisan sejarah.

“Ini punya kakekmu. Ayah dapat ini sewaktu pembagian harta setelah kakek meninggal dulu itu.”

Awesome!

***

Orang-orang memandangku ketika aku memberhentikan sepeda ontel yang kukendarai ini di dekat mereka yang sedang berkerumun di halaman sekolah baruku, SMAN T. Oh, hai. Aku orang baru. Aku berkata begitu lewat senyumku. Aku malas buang-buang waktu dengan mereka. Aku segera mencari di mana kelasku. Bel tanda masuk kelas berbunyi. Kususuri lorong suram ini. Kumasuki sebuah kelas yang kukira itu kelasku. Aku berteriak ketika kipas angin yang berdiri di samping pintu kelas mengacak-ngacak rambut panjangku. Aku benar-benar kaget. Kipas angin!? Di dalam kelas!? Di sekolahku dulu pake AC.

Aku merapikan rambut dengan jari-jari dan duduk di bangku yang masih kosong. Di mana calon teman sebangkuku sedang menungguku duduk di sebelahnya.

Tampannya...

Kulirik dia menutup hidung dan menahan mual ketika aku duduk di sampingnya. Dia seperti mau muntah.

“Kamu baik-baik aja?”

Dari gelagatnya dia memintaku untuk tidak mengkhawatirkannya. Tapi dia memang mengkhawatirkan sih.

“Kamu masuk angin? Aku bawa minyak kayu putih.”

Cowok itu buru-buru menggoyangkan tangannya. Ekspresi kemualannya makin ekstrim saja. Seperti hendak muntah.

Ya sudahlah.

Sepanjang pelajaran itu aku merasa tidak nyaman sekali. Tadi sebelum berangkat sekolah aku menyemprotkan parfum banyak-banyak ke pakaianku karena aku takut bau tinja di penjuru rumah dapat meresap ke dalam pori-pori pakaianku. Aku tidak menyangka bau parfumnya akan begitu menyengat jadinya. Bahkan aku sendiri pun merasa tidak nyaman, bagaimana dengan orang-orang di sekitarku? Lihat saja ‘teman’ sebangkuku ini. Ia seperti memandangiku terus-terusan. Ketidaknyamanan kuadrat.

Aku benci hidupku sebagai anak supir truk tinja yang membawa pekerjaannya pulang ke rumah. Ya, rumah kami kan terletak tepat di samping perusahaan pengolahan tinja, sehingga bau tinja kadang-kadang sampai ke rumah kami. Tinja ternyata dapat dimanfaatkan menjadi biogas, sebagai pengganti gas elpiji untuk memasak. Aku tidak mau bilang pada siapapun bahwa kami sekeluarga (ya, hanya aku dan ayahku) adalah salah satu konsumennya. Fasilitas perusahaan sih, gratis.

Selain melayani jasa sedot tinja, perusahaan tersebut juga menjual beberapa bentuk jasa lainnya seperti membersihkan toilet. Mereka punya produk pembersih toilet yang bagus-bagus, dijamin toiletmu akan kinclong dalam waktu sekejap. Aku bahkan ditawari kerja sebagai pegawai divisi Pembersihan Toilet tersebut. “Waktunya fleksibel kok, Dik. Tergantung permintaan.” kata orang yang menawariku itu. Sori ya, aku masih punya harga diri.

Pantas saja aku menjuluki kota ini sebagai kota Tinja. Yang bisa diunggulkan dari kota ini mungkin hanya perusahaan pengolahan tinjanya, yang jadi rujukan bagi perusahaan semacam di kota-kota lainnya. Bahkan mungkin kota asalku. Sebuah kota besar dengan sinar matahari yang tidak malu-malu. Pusat gaul anak muda negri ini. Aku cinta kota itu. Aku benci harus di sini. Sebut saja kota asalku dengan kota M. M untuk Matahari atau untuk Milikku.

Tepat satu detik sebelum bel tanda istirahat berbunyi, cowok tampan di sebelahku meninggalkan bangkunya dan menuju ke luar kelas.

Aku ingin minta maaf padanya karena nasibnya tidak begitu baik hari ini.


Perjalanan pulang dari sekolah ke rumah melewati sebuah jalan, di mana di samping jalan tersebut ada lembah melandai ke bawah, di mana di bagian bawah tersebut rupanya merupakan tempat nongkrong anak-anak sekolahanku. Aku kenal muka beberapa di antara mereka. Mereka yang tampaknya sedang bersenang-senang. Beberapa mobil mengkilap keluaran terbaru berjejer di dekat mereka. Aku sempat mendengar isu di sekolah ini memang ada gap antara penduduk pribumi yang udik-udik dengan pendatang dari kota-kota besar yang datang untuk mengisi kursi pemerintahan di kota kecil ini. Sebut saja pejabat. Aku juga berasal dari kota besar, tapi sayangnya aku belum cukup umur untuk jadi pejabat dan punya rumahku sendiri sehingga tidak harus tinggal di rumah supir truk tinja yang sering bau tinja.

Aku mengamati terus para anak pejabat kota T ini hingga tak memperhatikan jalanan di depanku. Entah apa sebabnya, yang jelas kecelakaan ini terjadi cepat sekali. Aku tak bisa mengendalikan sepeda ontelku. Aku berteriak-teriak panik. Aku terjatuh dari sepedaku dan berguling dari atas hingga dasar lembah sementara sepedaku... Oh... Oh... Sepedaku... Ia melayang....

Ketika akhirnya berhenti juga aku berguling, aku sadar aku telah mendarat di tempat yang tidak seharusnya. Kami saling berhadap-hadapan... Aku dan dia... Cowok tampan itu... Yang tadi sebangku denganku...

Aku cepat-cepat bangkit. Tanpa sempat membersihkan pakaianku dari tanah dan rumput aku terhenyak mendapati sepeda ontelku mendarat di tempat yang tidak seharusnya juga. Ia telah meretakkan kaca depan salah satu dari jejeran mobil mahal itu.

Sepeda ontelku masihlah antik dan klasik, namun ini bukan saat yang tepat untuk membatidakannya.


Seseorang memanggil namaku. Aku sudah hapal suaranya. Toto. Ya, itu dia namanya. Cowok tampan yang kini sering sebangku denganku. Yang jadi landasan empukku ketika aku terbang akibat kecelakaan kemarin itu. Sejak itu entah kenapa sepertinya dia jadi suka mendekati aku. Bukannya aku GR. Tapi aku belum berminat untuk meladeni dia. Aku sedang super bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk mengganti kaca depan yang retak itu. Pemiliknya memang tidak sampai mencak-mencak memarahi aku, bahkan kaca retaknya pun sudah diganti dengan yang baru. Tapi itu bukan berarti aku bebas dari tanggung jawab mengganti biaya penggantian kaca. Selain itu kap mobil itu juga tergores. Goresan yang panjang dan akibatnya kapnya juga harus diganti. Jadi berapa total biaya penggantian kaca dan kap itu???

Aku benar-benar tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana...

Cowok itu akhirnya berhasil memegang pundakku. Masih dengan nafas tersengal ia berkata sumringah, “Ina, pulang bareng aku yuk.”

“Aku udah punya kendaraanku sendiri,” kataku dingin.

“Tidak masalah,” ujarnya sambil tersenyum.

Setengah jam kemudian mobil sport-nya (oh ya, dia salah satu dari anak-anak elit yang terjebak dalam kota udik ini) melaju dengan membawa aku di dalamnya dan sepeda ontelku diikat di atap mobil.

Rumahku tak begitu jauh sebetulnya dari sekolah. Tidak sampai seperempat jam kami telah sampai di belokan dekat rumahku. Aku buru-buru menyuruhnya berhenti.

“Aku turun di sini aja,” kataku sambil menurunkan sepeda ontelku. Dia ikut membantu.

“Kenapa tidak sampai depan rumahmu aja?” Aku tidak heran kalau dia heran.

“Ayahku galak,” sahutku pendek.

Dia mengangkat pundak. “Tapi nanti malam bisa kan?”

“Apa?”

“Ke Telaga Asih? Kita barusan ngomongin kan?”

“Oh ya?” Aku tidak bisa menyembunyikan tampang sok tahuku. “Maaf, tadi aku tidak gitu konsentrasi...”

“Tidak papa...”

Aku masih memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang pengganti kecelakaan itu.

“Jam berapa?”

“Jam 7?”

Aku tersenyum basa-basi, “Oke, jemput aku di belokan ini aja.”

Dia masuk ke dalam mobilnya setelah mengucapkan dadah. Setelah mobilnya hilang dari pandangan, aku mengayuh sepeda ontelku cepat-cepat supaya segera sampai, bukan ke rumahku, melainkan gedung di sampingnya, milik Perusahaan Sari Tinja.

Aku bilang pada resepsionisnya bahwa aku mau melamar pekerjaan di divisi Pembersihan Toilet.


Aku hampir mati kebosanan mendengar Toto memuji-mujiku terus sejak awal aku masuk ke dalam mobilnya. Iya, aku tahu aku cantik. Kamu tampan. Kita sama-sama memiliki fisik yang indah dan itulah sebabnya kenapa aku dan kamu tampak serasi. Dan anak-anak lain banyak yang ngomongin kita, betapa akan cocoknya kalau kita jadian, berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.

Oh, Toto, taukah kamu kalau aku bukan cewek dangkal yang bisa dengan begitu mudahnya jatuh cinta pada seseorang hanya karena dia begitu tampannya? Seperti kamu misalnya? Pepatah orang tua ‘darimana-datangnya-lintah-dari-sawah-turun-ke-kali-darimana-datangnya-cinta-dari-mata-turun-ke-hati’, tidak berlaku untukku.

Dalam malam yang temaram ini, karena suasana di tepi telaga ini memang diset demikian, dengan lampion-lampion dan pendar lilin, dan dimanfaatkan untuk bisnis menjual pangan, Toto menggenggam tangaku dan berkata, “Maukah kamu jadi pacarku?”

Dia bahkan belum tahu apa pekerjaan orangtuaku.

“Aku tidak mau terburu-buru. Cinta itu tumbuh seiring dengan waktu,” ucapku diplomatis.

Sepanjang malam itu sampai waktunya aku harus pulang, kami hanya saling memandang. Memandang wajah satu sama lain. Memandang telaga. Memandang karyawan tempat makan ini. Memandang pengunjung lainnya. Memandang penampakkan. Aku harap dia bosan melihat wajahku.

Tapi sepertinya itu pun membutuhkan waktu. Setelah malam itu, dia masih saja suka mengantar-jemputku (tentu saja kusuruh dia berhenti sebelum belokan dan dia nurut saja), membawaku jalan-jalan ke beberapa tempat di kota ini yang belum banyak terjamah tangan manusia, bahkan ia mengajakku untuk ikut acara keluarganya. Ngapain coba? Mereka rupanya punya lapangan golf pribadi. Bisa saja mereka memanfaatkan lahan kosong yang masih banyak tersebar di kota ini.

Keluarganya baik-baik padaku. Orangtunya kelihatan masih muda. Kakak-kakaknya pada punya pasangan. Hanya dia saja yang belum.

Aku tidak ikutan main bersama mereka. Tidak semua orang di kota besar bisa main golf, jelasku pada mereka.

Ya ampun, dengan segala perlakuan baiknya itu padaku, lama-lama aku bisa jatuh cinta beneran sama dia!!


Ini kali kedua Toto mengajakku ‘olahraga’ bersama keluarganya. Dengan sangat menyesal aku mengatakan aku tidak bisa ikut. Ada urusan. Tentu saja aku tidak mengatakan padanya bahwa urusanku adalah bahwa aku harus memenuhi panggilan tugasku yang pertama.

Tugasku adalah mendatangi rumah di alamat ini untuk membersikan toiletnya. Ya ampun, orang kaya di kota kecil aja sok-sokan amat sih, pake malas bersiin toilet sendiri segala. Seorang rekanku mengingatkanku untuk tidak mengeluh, selama bertahun-tahun, membersihkan toilet rumah ini sudah jadi agenda perusahaan. Mereka pelanggan setia.

Bersama rekanku itu—karena aku masih baru, jadi peranku lebih kepada menjadi asistennya—kami melaju dengan mobil perusahaan (dengan tulisan besar ‘Perusahaan Sari Tinja’, alamat, dan nomor telepon tertera di samping badannya) menuju ke sebuah komplek perumahan elit satu-satunya di kota ini. Katanya hanya pejabat dan konglomerat yang bisa tinggal di situ.

Perusahaan Sari Tinja sungguh profesional. Untuk pekerjaan membersihkan toilet saja, ada outfit khusus untuk itu. Aku berharap di kotak peralatanku tersedia masker juga.

Mobil berhenti di suatu rumah yang rupanya sudah tidak asing lagi bagiku. Aku sering dibawa ke sini oleh seseorang... Rekanku mengetuk pintu depan rumah. Tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu itu. Yeah, wajahnya pun sudah tidak asing lagi bagiku. Aku yakin aku cukup mengenali wajah seluruh penghuni rumah ini.

Bukannya mereka seharusnya sedang berolahraga? Masak hanya gara-gara aku tidak bisa mereka pun urung jadinya?

“Selamat siang, kami dari perusahaan Sari Tinja...,” ramah aku dan rekanku menyapa.


Cek warisan dari mendiang ibuku akhirnya cair juga. Aku bisa membayar biaya penggantian kaca depan dan kap mobil itu dengan penghasilanku sendiri ditambah sebagian uang warisan ibu. Sisanya kutabung. Aku bercita-cita selepas SMA akan pergi dari kota ini, kuliah di PTN favorit di kota besar dan tentu saja hidup mandiri.

Sudah beberapa bulan berlalu sejak panggilan tugas pertamaku sebagai seorang pembersih toilet. Kini aku adalah siswi SMA yang juga pembersih toilet profesional. Gajinya lumayan loh. Ada desas desus bahwa aku sedang dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Menunggui meja operator misalnya. Aku tidak begitu mengharapkan jabatan itu. Aku ingin kembali ke kotaku yang dulu.

Aku masih suka memakai sepeda ontelku. Lebih sehat dan ramah lingkungan dari mobil sport.

Dalam perjalanan pulang dari minimarket membeli bahan-bahan untuk masak makan malam, kulihat mobil sport yang dulu biasa mengantar-jemputku ke mana-mana terparkir di depan sebuah kafe yang baru beberapa minggu ini berdiri.

Pembangunan di kota kecil ini mulai terlihat. Jalanan berbatu diaspal. Lahan-lahan kosong disiangi karena akan dibangun bangunan industri. Beberapa kafe mulai bermunculan. Mal katanya akan segera didirikan.

Melihat nomor platnya, kukenali mobil itu tak lain dan tak bukan adalah milik Toto. Toto yang seminggu setelah panggilan tugas pertamaku bilang padaku bahwa keluarganya tak bisa menerimaku lagi sebagaimana dulu. Terlebih setelah mereka tahu kalau aku hanya seorang anak supir truk tinja. Cantik-cantik ternyata cuman anak supir truk tinja, huh. Aku tidak pernah mau datang ke rumah itu lagi, membersihkan toiletnya lagi, meski rekanku bilang kalau pekerjaanku selalu memuaskan pelanggan.

Setelah sebelumnya kurasakan bahwa di sekolah, dia sendiri pun lama-lama menjauhiku. Mengucapkan beribu alasan kenapa dia tidak bisa mengantar-jemputku lagi padahal aku tidak bertanya. Lebih sakit saat pernah suatu ketika aku lewat di depannya dan teman-temannya dan mereka meledekku dengan menutup hidung mereka. Padahal aku tidak pernah menyemprotkan parfum banyak-banyak lagi. Untungnya seiring dengan berjalannya waktu, teman-temanku bertambah banyak. Mereka tidak masalah dengan statusku sebagai anak supir truk tinja toh mereka juga anak dari orang-orang tertindas seperti buruh tani, buruh cuci, dan sebagainya. Meski ada juga beberapa temanku yang dari golongan menengah dan menengah ke atas.

Kini Toto sudah punya pacar baru. Pindahan dari luar kota juga. Cantik juga. Tentu saja kali ini dia tidak mengulangi kekhilafannya dulu. Dia tahu pasti kalau pacarnya sekarang anak kapten polisi. Kini ia setia menaikkan pacarnya ke dalam mobilnya supaya pacarnya itu tidak usah diantar sekolah pakai mobil polisi.

 

301208


HABIS KATA #12 

Untuk cerpen Desember sebenarnya saya memikirkannya sudah sejak lama dan ada beberapa ide yang hendak dijadikan cerpen. Saya masih bingung memilih-milihnya dan belum sempat mencari bahan. Hingga datang lagi seorang Mbak Desi. Pada suatu Kamis petang di bulan Desember, setelah sekian lama, dia mendatangi kembali Forum Fiksi FLP Jogja. Dia menyuruh saya mendekat dan ternyata dia meminta saya untuk membuat cerpen parodi lagi, tapi parodikan satu film saja, jangan banyak-banyak. Panjangnya cukup 7-8 halaman. Boleh lebih dari dua.

Kalau sudah diminta seperti itu susah bagi saya untuk tidak tidak mengerjakannya. Yang langsung terpikirkan oleh saya adalah memparodikan film Twilight. Film itu sedang ngetren saat itu dan saya pun pernah memiliki kepenasaranan yang tinggi terhadapnya, terutama pada pemeran tokoh Edward Cullen yang diperankan oleh Robert Pattinson. Via google, saya membaca-baca artikel mengenai Robert Pattinson. Saya kira film Twilight itu sedemikian hebatnya sampai banyak orang yang membicarakannya. Tapi setelah membaca beberapa artikel, perkiraan itu terkikis sedikit demi sedikit. Leila S. Chudori membahas film ini dalam Tempo. Dia bilang, tidak heran film ini sangat digandrungi remaja putri karena, ya ampun, lihat saja ada cowok sesempurna Edward Cullen di dalamnya. Film ini memenuhi semua impian yang dimiliki remaja putri normal. Dalam buku hariannya, teman saya menulis, tidak ada alasan yang kuat bagi si tokoh utama untuk jatuh cinta pada si vampir selain karena vampir itu ganteng. Ada juga yang membagi komentarnya tentang film ini dalam suatu blog. Jadi orang itu seorang cowok yang telah menemani ceweknya nonton ‘Toilet’. Dia cuman bisa menghela nafas ketika ceweknya mendesah-desah kegirangan setiap sosok Edward ‘Culun’ muncul. Karena membaca ini, ketika diminta bikin cerpen parodi itu saya langsung kepikiran untuk memparodikan Twilight dan memplesetkan judulnya menjadi ‘Toilet’. Jadi cerpen ini harus berisi plot film Twilight dan harus dikaitkan dengan toilet. Saya pun memasukkan kata ‘toilet’ dalam mesin pencari google. Saya juga memasukkan frase ‘sedot tinja’. Saya sempat tidak berniat untuk melanjutkan cerpen ini. Saya tidak tahu bagaimana harus menyimpangkan alur film ini dan mengkaitkannya dengan toilet. Namun deadline mengejar dan Mbak Desi pun memberikan syarat cerpen ini harus selesai karena saya telah meminta dia memberi pendapat mengenai salah satu masalah dalam novel kolaborasi saya. Sebelumnya, saya telah mengetik 2 halaman tapi lalu malas melanjutkan. Karena 2 halaman awal itu saya rasa sudah cukup oke, jadi ya saya lanjutkan saja. Saya memikirkan alur cerpen ini untuk melanjutkan 2 halaman itu sambil menyapu dan nyuci piring. Ini namanya efisiensi waktu. Alhamdulillah cerpen ini dapat diselesaikan. Namun saya merasa cerpen ini dangkal dan tidak layak untuk diterbitkan (Mbak Desi meminta cerpen ini karena memang dia diminta oleh suatu penerbit untuk menyusun antologi cerita parodi). Cerpen ini bahkan tidak ada unsur komedinya. Saya berharap cerpen ini tidak diterbitkan saja. (12/31/2008)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain