Rabu, 31 Desember 2008

Ketika Rumpus dalam Moi

Kusadari sudah hingga berjam-jam aku duduk beberapa meter jauhnya dari pintu rumah kami. Rumah mungil yang menjadi bagian dari komplek gedung rumah susun ini.

Aku dan abangku adalah anak tanpa orangtua. Kami lari dan hidup berdua. Bertiga, karena sejak menemukan kebebsannya, abangku membawa si jalang itu.

Aku tak mau masuk rumah kalau ada dia. Dia di dalam, entah sedang mengapakan abangku, aku tak mau tahu. Mungkin dia adalah korban seperti kami. Tapi aku tak mau dia menjadi bagian dari kami. Membuatku malu saja. Dengan pahit harus kuakui bahwa hanya dia yang mampu membuat abangku kalem di saat masa labilnya datang.

Masa labil itu selalu datang.

Aku tak tahu ke mana harus pulang selain ke tempat ini. Namun bahkan tempat ini pun tak terasa seperti rumah. Tak ada orangtua yang menyambutmu setelah kamu melewati pintu depan, dan bertanya, “Habis dari mana saja?”

Pun tak ada yang namanya berlari-larian mengelilingi rumah bersama saudara kandungmu. Memang, aku dan abangku sudah besar. Tak mungkin melakukan itu lagi. Namun seharusnya kami bisa melakukan sesuatu yang sama hangatnya dengan itu.

Kini tak pernah. Sejak kelabilan itu menguasainya. Sejak si jalang itu datang. Aku terlalu muak untuk menceritakan asal mulanya.

Aku menghela nafas. Sampai kapankah aku harus terus di sini...? Memeluk kedua lutut dan tak tahu harus melakukan apa...

 

Abangku kalau marah buruk sekali. Buruk. Tak perlu banyak kalimat untuk menggambarkan betapa buruknya itu ketika terjadi: Seluruh barang di rumah porak poranda.

 

Tuh dengar. Abangku mulai lagi. Aku menempelkan sebelah telingaku ke pintu. Terdengar suara teriakan. Barang-barang dilempar. Ada yang pecah. Si jalang itu memekik. Mungkin dia bingung harus melakukan apa. Mungkin dia sedang tersengguk-sengguk di pojok ruangan.

Sama sepertiku, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Aku menyandarkan punggungku di pintu dan menerawang ke langit-langit.

Ah, Abang... Abang... Bikin malu tetangga saja kau... Tak tahukah kau bahwa kita hidup bersama kumpulan manusia lainnya di rusun kumuh nan sempit ini.

10 menit... 20... setengah jam... 45 menit...

Aku tak tahan.

Memang kadang-kadang tak terdengar suara lagi di balik pintu ini. Hening. Namun mesti tak lama kemudian akan muncul suara-suara terbenturnya benda keras lagi.

Hal ini terjadi minimal dua kali dalam seminggu.

Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Tapi aku tak mau masuk kalau masih ada si jalang itu di dalam sana.

Masuk... Tidak... Masuk... Tidak...

Secepat mungkin aku menarik gagang pintu, masuk ke dalam. Dari belakang aku menarik kedua lengan abang. Ampun, tenaganya kuat sekali. Aku nyaris melayang-layang dibuatnya. Kuperkuat peganganku. Dia memberontak. Aku menoleh pada si jalang yang tengah menangis ketakutan, memberi isyarat agar dia membantuku melaksanakan rencanaku.

Dengan ragu-ragu dia mendekat...

Dalam waktu beberapa menit kami telah bahu membahu menyeret lelaki muda ini ke tempat yang telah kurencanakan.

Kamar mandi.

Kepayahan kami dengan pemberontakan yang dilakukan abang. Dia bau sekali. Bau badan. Bau alkohol. Matanya kuning. Brewokan. Menyeramkan. Aku akan membuat kami tak usah melihat keseraman itu. Beberapa bagian tubuhku telah sakit karena terantuk-antuk sikut abang dengan kekuatan besar di dalamnya. Mungkin si jalang pun merasakan hal yang sama.

Hingga akhirnya kami berhasil menyentuh ubin dingin kamar mandi.

“Balikkan dia!” seruku pada si jalang. Si jalang mengeluarkan suara payah yang keheranan. Namun tetap dilakukannya juga apa yang ku mau. Kami berhasil memasukkan kepala abang ke dalam bak kamar mandi. Bening dan dingin. Aku menekan kepala abang agar usahanya untuk keluar dari sergapan air tak berhasil. Tangannya menggapai-gapai berusaha untuk mencengkeram dan menghajar lawannya. Hanya tanganku saja yang condong ke depan, menahan kepala abang. Tubuhku kutarik ke belakang. Begitupun si jalang yang sudah terlebih dulu melakukannya. Dia berdiri ketakutan di ambang pintu kamar mandi.

Setelah abangku sudah hampir kehabisan tenaga, aku buru-buru melepaskan tanganku dari kepalanya dan meloncat ke luar kamar mandi. Tergopoh-gopoh si jalang mengikutiku. Pintu kamar mandi kubanting dan kukunci dari luar. Kuncinya lalu kumasukkan lagi ke dalam kamar mandi lewat lubang ventilasi di atas pintu.

Aku dan si jalang terduduk di luar pintu. Sebagian pantat kami menimpa keset, tak peduli betapa itu adalah benda kotor menjijikkan.

“Apa yang kita lakukan tadi...?” si jalang mendesah lemas dan gemetaran.

“Amarah terbuat dari api. Air yang mampu memadamkannya,” ucapku kalem.

Setelah agak tenang dan sengalku berkurang, aku menuju ruang tengah. Kuraih telepon. Kutekan nomor kantor polisi. Aku hendak melapor bahwa telah terjadi usaha bunuh diri di rumahku. Abangku harus segera diselamatkan. Tapi ia mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk ke sana...

 

Kucium kening abang yang tengah tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Perawat telah membersihkan tubuhnya. Pakaian baunya telah diganti oleh pakaian pasien rumah sakit yang bersih. Dia tampak damai sekali. Tak ada yang menyangka bahwa wajah ini bisa menghasilkan seringai beringas dan mulut yang terkatup itu kerap menyemburkan kata-kata kotor.

Tak lama lagi ia sudah dapat keluar dari rumah sakit. Sebetulnya aku tak mau hal itu cepat-cepat terjadi. Aku ingin mereka menemukan bahwa ada yang salah dengan abangku. Entah itu dalam fisiknya, kejiwaan atau apa. Biar mereka saja yang mengurus abangku. Aku tak mau.

Ketika aku keluar kamar, kulihat si jalang berdiri di hadapanku. Penampilannya rapi dan kuakui dia tampak cantik. Dibawakannya seikat bunga.

Kuajak dia pergi dari situ untuk menuju tempat yang sepi. Dia bertanya-tanya mau dibawa ke mana dirinya. Aku diam saja. Toh dia akhirnya mengikutiku juga.

“Kamu boleh merawat abangku selama dia di sini,” kataku ketika kami sudah berdiri saling berhadapan di pinggir taman yang jarang dilalui orang ini. “Tapi aku nggak mau kamu kembali ke rumah kami lagi.”

Aku memicingkan mataku, tepat menuju ke matanya. “Kembalilah kalau kalian sudah punya surat nikah yang sah.”

Dia menatapku lekat-lekat lalu menunduk sambil tersenyum.

“Semoga abangmu cepat sembuh,” katanya sebelum aku pergi dari situ. Aku menoleh untuk tersenyum sekilas padanya sebelum aku meninggalkan tempat itu dan tak menoleh ke belakang lagi.

 

311208


HABIS KATA #8 

Saya baru membuat cerpen ini di hari deadline-nya Rombongan Cerpen 2008 ini.

Cerpen ini selesai dalam waktu yang singkat. Ide cerpen ini sebenarnya memang muncul sejak Agustus 2008 lalu dan yang mendasarinya adalah masih  suasana kemarahan yang sedang saya rasakan. Biasalah, kita manusia punya saat-saat senang, sedih, melankolis, dan sebagainya. Begitupun saat-saat marah. Segala hal bersalah dan dapat memicu kemarahan kita. Pada akhirnya ya tersimpan saja dalam dada. Jadi tema utama dari cerita ini adalah ‘amarah’. Bagaimana kita dapat memanusiakan amarah. Saya ngunduh banyak artikel tentang amarah dari google. Hasilnya memang tidak begitu banyak memberikan inspirasi sih. Namun alurnya saat itu sudah ada. Ada adegan apa saja. Tinggal bagaimana saya menuangkannya dalam tulisan. Saya telah membuat berbagai versi dari ide ini (tidak banyak sih, cuman 1–2) dan kesemuanya saya hapus karena saya tidak begitu menyukainya.

Pada bulan Agustus 2008 itu sebetulnya kegiatan belajar mengajar di kampus belumlah efektif. Seharusnya saya bisa menggarap cerita ini di bulan itu juga. Namun entah apa yang saya lakukan hingga suasana marah dalam perasaan saya pun keburu berlalu. Ketika saya ingin membuat/meneruskan cerita ini lagi, feel itu sudah tidak ada. Beberapa kali saya mencoba hingga akhirnya saya memutuskan untuk melupakan saja ide ini. Feel sudah tidak ada, cerita ini pun terasa tidak penting lagi artinya untuk digarap. Berbulan-bulan kemudian, mendekati tenggat waktu di mana Rombongan Cerpen 2008 harus segera dituntaskan, cerpen Agustus masihlah kosong. Cerpen Agustus ini haruslah yang idenya muncul di bulan Agustus 2008. Maka saya buka buku ide saya dan membaca-baca apa yang saya tulis selama bulan Agustus 2008 itu. Sebenarnya saya sudah tahu kalau saya harus kembali pada cerita ini lagi. Tidak ada catatan mengenai alur lengkap cerita ini, padahal sepertinya dulu ada dan selalu saya ulang-ulang dalam kepala. Mungkin ada, tapi saya tidak mencarinya lebih jauh. Sehingga karena kelupaan itu akhirnya begini sajalah yang saya buat. Saya langsung pada apa yang saya ingat dan paling ingin saya tampilkan. Seharusnya cerpen ini memang tidaklah sesingkat ini.

Sebenarnya pula saya masih bingung dengan tokoh-tokohnya, terutama latar belakang mereka. Banyak tokoh suram dalam khayalan saya namun belum saya inventarisasi. Untuk efisiensinya sih ya memang jangan terlalu banyak. Seperlunya saja, tapi karakternya kuat dan konflik yang dialaminya memang ‘dalem’. (12/31/2008)

Selasa, 30 Desember 2008

T O I L E T

Aku pikir aku akan segera mati begitu sampai sini. Odong-odong reyot yang kunaiki terantuk-antuk melalui jalan berbatu menuju sebuah kota terpencil—yang saking udiknya sampai kapan pun aku tidak akan bisa menyebut namanya. Jadi sebut saja kota ini sebagai Kota T. T untuk Tinja. Nah, itu mobil penyedot-tinja milik ayahku datang. Lengkap dengan tulisan ‘Anda Sembelit, Kami Merugi’ di bemper depannya.

Ayahku masih tetap ayahku. Masih tetap supir truk tinja sampai kapan pun. Aku tidak usah repot mengingat nomor telepon rumah jika ada temanku yang bertanya. Aku tinggal mencari tiang listrik dengan papan kecil bertulisan ‘SEDOT TINJA, Hub. XXXXXXX’. Tinggal katakan saja apa keperluanmu, hendak menyedot tinja di rumahmu atau bicara denganku.

Namun untungnya hal itu tidak pernah terjadi. Ayah dan ibuku bercerai ketika umurku masih beberapa bulan. Saat itu kami semua masih tinggal di kota ini. Ayah dan ibuku lahir di sini. Ibuku minggat karena ayah hanya seorang supir truk tinja. Lalu mengapa ibuku mau menikah dengan ayahku? Waktu itu ayahku bukanlah supir truk tinja, melainkan supir pribadi walikota. Walikota tersebut kemudian dipecat karena terlibat skandal. Ayahku yang mestinya tak bersalah ikut mendapat getah.

Ibuku sendiri sejak pindah ke kota besar, dengan membawaku serta, mengalami kenaikan strata yang menakjubkan. Dalam beberapa tahun Ibu sudah mendapat posisi mapan di suatu perusahaan. Tapi sudahlah cukup cerita tentangnya. Ibu sudah tiada. Terpeleset di toilet. Kata mereka Ibu terkena stroke. Ibu berwasiat, sepeninggalnya, aku harus berada dalam pengasuhan ayahku sampai aku berumur 18 tahun, atau setidak-tidaknya sampai aku lulus SMA.

Truk tinja itu berhenti di depanku. Ayahku yang kumal turun. Aku bertanya padanya apa ia hendak menjemputku atau menunaikan tugasnya. Ia memandangku heran. Aku mendongak pada tulisan ‘TOILET’ yang berada di atasku. Sejak tadi aku menunggunya sambil menyender pada dinding situ.

Karena kukira aku masihlah asing bagi kota ini, semestinya aku tidak usah malu saat harus menebeng truk tinja Ayah. Toh sekali ini saja, karena aku tidak tahu bagaimana cara menuju rumah yang akan kutempati nanti dari terminal.

***

Aku berusaha membuat diriku nyaman di kamarku yang baru, dengan satu-satunya toilet di rumah mungil ini berada di sampingnya. Aku sudah lupa bagaimana keadaannya dulu ketika aku meninggalkannya pada umur beberapa bulan.

“Ina!” terdengar suara Ayah memanggil. Aku mencari sumber suara yang rupanya berasal dari sumber bau. Ayah berada di garasi, terhalang truk tinjanya. Lama-lama aku bisa kebal juga dengan bau tinja. Sepertinya Ayah harus memperbaiki tangki truknya.

“Kemarin kamu minta kendaraan, Nak.”

Tentu saja aku ingat. Aku tidak ingin pergi sekolah diantar truk tinja. Namun aku tidak bisa berharap banyak aku bakal dikasih kendaraan apa dengan profesi Ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Aku tidak akan keberatan kalaupun aku dikasih becak bekas seharga cuma-cumahasil belas kasih teman Ayah yang mungkin saja seorang pengusaha becak. Aku bisa sambil mencari penghasilan tambahan dengan sekalian mengangkut teman-temanku ke sekolah. Pulang dari sekolah aku bisa mangkal di terminal.

“Ayah nggak tau kamu bakal suka apa nggak.” Ayah menggiringku ke balik truk tinja dan aku mendapati sebuah sepeda ontel. Tua tapi antik. Agak kusam tapi klasik.

“Makasih, Yah! Ini lebih dari yang aku bayangin!” ucapku sumringah. Aku tulus kok. Di kota asalku sekarang sedang ramai gerakan bersepeda dalam rangka meminimalisir polusi. Kamu akan lebih dianggap keren kalau sepedamu adalah sepeda antik atau bermerk terkenal. Sepeda antik memiliki nilai tambah karena pemiliknya dianggap seolah dia telah melestarikan benda warisan sejarah.

“Ini punya kakekmu. Ayah dapat ini sewaktu pembagian harta setelah kakek meninggal dulu itu.”

Awesome!

***

Orang-orang memandangku ketika aku memberhentikan sepeda ontel yang kukendarai ini di dekat mereka yang sedang berkerumun di halaman sekolah baruku, SMAN T. Oh, hai. Aku orang baru. Aku berkata begitu lewat senyumku. Aku malas buang-buang waktu dengan mereka. Aku segera mencari di mana kelasku. Bel tanda masuk kelas berbunyi. Kususuri lorong suram ini. Kumasuki sebuah kelas yang kukira itu kelasku. Aku berteriak ketika kipas angin yang berdiri di samping pintu kelas mengacak-ngacak rambut panjangku. Aku benar-benar kaget. Kipas angin!? Di dalam kelas!? Di sekolahku dulu pake AC.

Aku merapikan rambut dengan jari-jari dan duduk di bangku yang masih kosong. Di mana calon teman sebangkuku sedang menungguku duduk di sebelahnya.

Tampannya...

Kulirik dia menutup hidung dan menahan mual ketika aku duduk di sampingnya. Dia seperti mau muntah.

“Kamu baik-baik aja?”

Dari gelagatnya dia memintaku untuk tidak mengkhawatirkannya. Tapi dia memang mengkhawatirkan sih.

“Kamu masuk angin? Aku bawa minyak kayu putih.”

Cowok itu buru-buru menggoyangkan tangannya. Ekspresi kemualannya makin ekstrim saja. Seperti hendak muntah.

Ya sudahlah.

Sepanjang pelajaran itu aku merasa tidak nyaman sekali. Tadi sebelum berangkat sekolah aku menyemprotkan parfum banyak-banyak ke pakaianku karena aku takut bau tinja di penjuru rumah dapat meresap ke dalam pori-pori pakaianku. Aku tidak menyangka bau parfumnya akan begitu menyengat jadinya. Bahkan aku sendiri pun merasa tidak nyaman, bagaimana dengan orang-orang di sekitarku? Lihat saja ‘teman’ sebangkuku ini. Ia seperti memandangiku terus-terusan. Ketidaknyamanan kuadrat.

Aku benci hidupku sebagai anak supir truk tinja yang membawa pekerjaannya pulang ke rumah. Ya, rumah kami kan terletak tepat di samping perusahaan pengolahan tinja, sehingga bau tinja kadang-kadang sampai ke rumah kami. Tinja ternyata dapat dimanfaatkan menjadi biogas, sebagai pengganti gas elpiji untuk memasak. Aku tidak mau bilang pada siapapun bahwa kami sekeluarga (ya, hanya aku dan ayahku) adalah salah satu konsumennya. Fasilitas perusahaan sih, gratis.

Selain melayani jasa sedot tinja, perusahaan tersebut juga menjual beberapa bentuk jasa lainnya seperti membersihkan toilet. Mereka punya produk pembersih toilet yang bagus-bagus, dijamin toiletmu akan kinclong dalam waktu sekejap. Aku bahkan ditawari kerja sebagai pegawai divisi Pembersihan Toilet tersebut. “Waktunya fleksibel kok, Dik. Tergantung permintaan.” kata orang yang menawariku itu. Sori ya, aku masih punya harga diri.

Pantas saja aku menjuluki kota ini sebagai kota Tinja. Yang bisa diunggulkan dari kota ini mungkin hanya perusahaan pengolahan tinjanya, yang jadi rujukan bagi perusahaan semacam di kota-kota lainnya. Bahkan mungkin kota asalku. Sebuah kota besar dengan sinar matahari yang tidak malu-malu. Pusat gaul anak muda negri ini. Aku cinta kota itu. Aku benci harus di sini. Sebut saja kota asalku dengan kota M. M untuk Matahari atau untuk Milikku.

Tepat satu detik sebelum bel tanda istirahat berbunyi, cowok tampan di sebelahku meninggalkan bangkunya dan menuju ke luar kelas.

Aku ingin minta maaf padanya karena nasibnya tidak begitu baik hari ini.


Perjalanan pulang dari sekolah ke rumah melewati sebuah jalan, di mana di samping jalan tersebut ada lembah melandai ke bawah, di mana di bagian bawah tersebut rupanya merupakan tempat nongkrong anak-anak sekolahanku. Aku kenal muka beberapa di antara mereka. Mereka yang tampaknya sedang bersenang-senang. Beberapa mobil mengkilap keluaran terbaru berjejer di dekat mereka. Aku sempat mendengar isu di sekolah ini memang ada gap antara penduduk pribumi yang udik-udik dengan pendatang dari kota-kota besar yang datang untuk mengisi kursi pemerintahan di kota kecil ini. Sebut saja pejabat. Aku juga berasal dari kota besar, tapi sayangnya aku belum cukup umur untuk jadi pejabat dan punya rumahku sendiri sehingga tidak harus tinggal di rumah supir truk tinja yang sering bau tinja.

Aku mengamati terus para anak pejabat kota T ini hingga tak memperhatikan jalanan di depanku. Entah apa sebabnya, yang jelas kecelakaan ini terjadi cepat sekali. Aku tak bisa mengendalikan sepeda ontelku. Aku berteriak-teriak panik. Aku terjatuh dari sepedaku dan berguling dari atas hingga dasar lembah sementara sepedaku... Oh... Oh... Sepedaku... Ia melayang....

Ketika akhirnya berhenti juga aku berguling, aku sadar aku telah mendarat di tempat yang tidak seharusnya. Kami saling berhadap-hadapan... Aku dan dia... Cowok tampan itu... Yang tadi sebangku denganku...

Aku cepat-cepat bangkit. Tanpa sempat membersihkan pakaianku dari tanah dan rumput aku terhenyak mendapati sepeda ontelku mendarat di tempat yang tidak seharusnya juga. Ia telah meretakkan kaca depan salah satu dari jejeran mobil mahal itu.

Sepeda ontelku masihlah antik dan klasik, namun ini bukan saat yang tepat untuk membatidakannya.


Seseorang memanggil namaku. Aku sudah hapal suaranya. Toto. Ya, itu dia namanya. Cowok tampan yang kini sering sebangku denganku. Yang jadi landasan empukku ketika aku terbang akibat kecelakaan kemarin itu. Sejak itu entah kenapa sepertinya dia jadi suka mendekati aku. Bukannya aku GR. Tapi aku belum berminat untuk meladeni dia. Aku sedang super bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk mengganti kaca depan yang retak itu. Pemiliknya memang tidak sampai mencak-mencak memarahi aku, bahkan kaca retaknya pun sudah diganti dengan yang baru. Tapi itu bukan berarti aku bebas dari tanggung jawab mengganti biaya penggantian kaca. Selain itu kap mobil itu juga tergores. Goresan yang panjang dan akibatnya kapnya juga harus diganti. Jadi berapa total biaya penggantian kaca dan kap itu???

Aku benar-benar tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana...

Cowok itu akhirnya berhasil memegang pundakku. Masih dengan nafas tersengal ia berkata sumringah, “Ina, pulang bareng aku yuk.”

“Aku udah punya kendaraanku sendiri,” kataku dingin.

“Tidak masalah,” ujarnya sambil tersenyum.

Setengah jam kemudian mobil sport-nya (oh ya, dia salah satu dari anak-anak elit yang terjebak dalam kota udik ini) melaju dengan membawa aku di dalamnya dan sepeda ontelku diikat di atap mobil.

Rumahku tak begitu jauh sebetulnya dari sekolah. Tidak sampai seperempat jam kami telah sampai di belokan dekat rumahku. Aku buru-buru menyuruhnya berhenti.

“Aku turun di sini aja,” kataku sambil menurunkan sepeda ontelku. Dia ikut membantu.

“Kenapa tidak sampai depan rumahmu aja?” Aku tidak heran kalau dia heran.

“Ayahku galak,” sahutku pendek.

Dia mengangkat pundak. “Tapi nanti malam bisa kan?”

“Apa?”

“Ke Telaga Asih? Kita barusan ngomongin kan?”

“Oh ya?” Aku tidak bisa menyembunyikan tampang sok tahuku. “Maaf, tadi aku tidak gitu konsentrasi...”

“Tidak papa...”

Aku masih memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang pengganti kecelakaan itu.

“Jam berapa?”

“Jam 7?”

Aku tersenyum basa-basi, “Oke, jemput aku di belokan ini aja.”

Dia masuk ke dalam mobilnya setelah mengucapkan dadah. Setelah mobilnya hilang dari pandangan, aku mengayuh sepeda ontelku cepat-cepat supaya segera sampai, bukan ke rumahku, melainkan gedung di sampingnya, milik Perusahaan Sari Tinja.

Aku bilang pada resepsionisnya bahwa aku mau melamar pekerjaan di divisi Pembersihan Toilet.


Aku hampir mati kebosanan mendengar Toto memuji-mujiku terus sejak awal aku masuk ke dalam mobilnya. Iya, aku tahu aku cantik. Kamu tampan. Kita sama-sama memiliki fisik yang indah dan itulah sebabnya kenapa aku dan kamu tampak serasi. Dan anak-anak lain banyak yang ngomongin kita, betapa akan cocoknya kalau kita jadian, berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.

Oh, Toto, taukah kamu kalau aku bukan cewek dangkal yang bisa dengan begitu mudahnya jatuh cinta pada seseorang hanya karena dia begitu tampannya? Seperti kamu misalnya? Pepatah orang tua ‘darimana-datangnya-lintah-dari-sawah-turun-ke-kali-darimana-datangnya-cinta-dari-mata-turun-ke-hati’, tidak berlaku untukku.

Dalam malam yang temaram ini, karena suasana di tepi telaga ini memang diset demikian, dengan lampion-lampion dan pendar lilin, dan dimanfaatkan untuk bisnis menjual pangan, Toto menggenggam tangaku dan berkata, “Maukah kamu jadi pacarku?”

Dia bahkan belum tahu apa pekerjaan orangtuaku.

“Aku tidak mau terburu-buru. Cinta itu tumbuh seiring dengan waktu,” ucapku diplomatis.

Sepanjang malam itu sampai waktunya aku harus pulang, kami hanya saling memandang. Memandang wajah satu sama lain. Memandang telaga. Memandang karyawan tempat makan ini. Memandang pengunjung lainnya. Memandang penampakkan. Aku harap dia bosan melihat wajahku.

Tapi sepertinya itu pun membutuhkan waktu. Setelah malam itu, dia masih saja suka mengantar-jemputku (tentu saja kusuruh dia berhenti sebelum belokan dan dia nurut saja), membawaku jalan-jalan ke beberapa tempat di kota ini yang belum banyak terjamah tangan manusia, bahkan ia mengajakku untuk ikut acara keluarganya. Ngapain coba? Mereka rupanya punya lapangan golf pribadi. Bisa saja mereka memanfaatkan lahan kosong yang masih banyak tersebar di kota ini.

Keluarganya baik-baik padaku. Orangtunya kelihatan masih muda. Kakak-kakaknya pada punya pasangan. Hanya dia saja yang belum.

Aku tidak ikutan main bersama mereka. Tidak semua orang di kota besar bisa main golf, jelasku pada mereka.

Ya ampun, dengan segala perlakuan baiknya itu padaku, lama-lama aku bisa jatuh cinta beneran sama dia!!


Ini kali kedua Toto mengajakku ‘olahraga’ bersama keluarganya. Dengan sangat menyesal aku mengatakan aku tidak bisa ikut. Ada urusan. Tentu saja aku tidak mengatakan padanya bahwa urusanku adalah bahwa aku harus memenuhi panggilan tugasku yang pertama.

Tugasku adalah mendatangi rumah di alamat ini untuk membersikan toiletnya. Ya ampun, orang kaya di kota kecil aja sok-sokan amat sih, pake malas bersiin toilet sendiri segala. Seorang rekanku mengingatkanku untuk tidak mengeluh, selama bertahun-tahun, membersihkan toilet rumah ini sudah jadi agenda perusahaan. Mereka pelanggan setia.

Bersama rekanku itu—karena aku masih baru, jadi peranku lebih kepada menjadi asistennya—kami melaju dengan mobil perusahaan (dengan tulisan besar ‘Perusahaan Sari Tinja’, alamat, dan nomor telepon tertera di samping badannya) menuju ke sebuah komplek perumahan elit satu-satunya di kota ini. Katanya hanya pejabat dan konglomerat yang bisa tinggal di situ.

Perusahaan Sari Tinja sungguh profesional. Untuk pekerjaan membersihkan toilet saja, ada outfit khusus untuk itu. Aku berharap di kotak peralatanku tersedia masker juga.

Mobil berhenti di suatu rumah yang rupanya sudah tidak asing lagi bagiku. Aku sering dibawa ke sini oleh seseorang... Rekanku mengetuk pintu depan rumah. Tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu itu. Yeah, wajahnya pun sudah tidak asing lagi bagiku. Aku yakin aku cukup mengenali wajah seluruh penghuni rumah ini.

Bukannya mereka seharusnya sedang berolahraga? Masak hanya gara-gara aku tidak bisa mereka pun urung jadinya?

“Selamat siang, kami dari perusahaan Sari Tinja...,” ramah aku dan rekanku menyapa.


Cek warisan dari mendiang ibuku akhirnya cair juga. Aku bisa membayar biaya penggantian kaca depan dan kap mobil itu dengan penghasilanku sendiri ditambah sebagian uang warisan ibu. Sisanya kutabung. Aku bercita-cita selepas SMA akan pergi dari kota ini, kuliah di PTN favorit di kota besar dan tentu saja hidup mandiri.

Sudah beberapa bulan berlalu sejak panggilan tugas pertamaku sebagai seorang pembersih toilet. Kini aku adalah siswi SMA yang juga pembersih toilet profesional. Gajinya lumayan loh. Ada desas desus bahwa aku sedang dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Menunggui meja operator misalnya. Aku tidak begitu mengharapkan jabatan itu. Aku ingin kembali ke kotaku yang dulu.

Aku masih suka memakai sepeda ontelku. Lebih sehat dan ramah lingkungan dari mobil sport.

Dalam perjalanan pulang dari minimarket membeli bahan-bahan untuk masak makan malam, kulihat mobil sport yang dulu biasa mengantar-jemputku ke mana-mana terparkir di depan sebuah kafe yang baru beberapa minggu ini berdiri.

Pembangunan di kota kecil ini mulai terlihat. Jalanan berbatu diaspal. Lahan-lahan kosong disiangi karena akan dibangun bangunan industri. Beberapa kafe mulai bermunculan. Mal katanya akan segera didirikan.

Melihat nomor platnya, kukenali mobil itu tak lain dan tak bukan adalah milik Toto. Toto yang seminggu setelah panggilan tugas pertamaku bilang padaku bahwa keluarganya tak bisa menerimaku lagi sebagaimana dulu. Terlebih setelah mereka tahu kalau aku hanya seorang anak supir truk tinja. Cantik-cantik ternyata cuman anak supir truk tinja, huh. Aku tidak pernah mau datang ke rumah itu lagi, membersihkan toiletnya lagi, meski rekanku bilang kalau pekerjaanku selalu memuaskan pelanggan.

Setelah sebelumnya kurasakan bahwa di sekolah, dia sendiri pun lama-lama menjauhiku. Mengucapkan beribu alasan kenapa dia tidak bisa mengantar-jemputku lagi padahal aku tidak bertanya. Lebih sakit saat pernah suatu ketika aku lewat di depannya dan teman-temannya dan mereka meledekku dengan menutup hidung mereka. Padahal aku tidak pernah menyemprotkan parfum banyak-banyak lagi. Untungnya seiring dengan berjalannya waktu, teman-temanku bertambah banyak. Mereka tidak masalah dengan statusku sebagai anak supir truk tinja toh mereka juga anak dari orang-orang tertindas seperti buruh tani, buruh cuci, dan sebagainya. Meski ada juga beberapa temanku yang dari golongan menengah dan menengah ke atas.

Kini Toto sudah punya pacar baru. Pindahan dari luar kota juga. Cantik juga. Tentu saja kali ini dia tidak mengulangi kekhilafannya dulu. Dia tahu pasti kalau pacarnya sekarang anak kapten polisi. Kini ia setia menaikkan pacarnya ke dalam mobilnya supaya pacarnya itu tidak usah diantar sekolah pakai mobil polisi.

 

301208


HABIS KATA #12 

Untuk cerpen Desember sebenarnya saya memikirkannya sudah sejak lama dan ada beberapa ide yang hendak dijadikan cerpen. Saya masih bingung memilih-milihnya dan belum sempat mencari bahan. Hingga datang lagi seorang Mbak Desi. Pada suatu Kamis petang di bulan Desember, setelah sekian lama, dia mendatangi kembali Forum Fiksi FLP Jogja. Dia menyuruh saya mendekat dan ternyata dia meminta saya untuk membuat cerpen parodi lagi, tapi parodikan satu film saja, jangan banyak-banyak. Panjangnya cukup 7-8 halaman. Boleh lebih dari dua.

Kalau sudah diminta seperti itu susah bagi saya untuk tidak tidak mengerjakannya. Yang langsung terpikirkan oleh saya adalah memparodikan film Twilight. Film itu sedang ngetren saat itu dan saya pun pernah memiliki kepenasaranan yang tinggi terhadapnya, terutama pada pemeran tokoh Edward Cullen yang diperankan oleh Robert Pattinson. Via google, saya membaca-baca artikel mengenai Robert Pattinson. Saya kira film Twilight itu sedemikian hebatnya sampai banyak orang yang membicarakannya. Tapi setelah membaca beberapa artikel, perkiraan itu terkikis sedikit demi sedikit. Leila S. Chudori membahas film ini dalam Tempo. Dia bilang, tidak heran film ini sangat digandrungi remaja putri karena, ya ampun, lihat saja ada cowok sesempurna Edward Cullen di dalamnya. Film ini memenuhi semua impian yang dimiliki remaja putri normal. Dalam buku hariannya, teman saya menulis, tidak ada alasan yang kuat bagi si tokoh utama untuk jatuh cinta pada si vampir selain karena vampir itu ganteng. Ada juga yang membagi komentarnya tentang film ini dalam suatu blog. Jadi orang itu seorang cowok yang telah menemani ceweknya nonton ‘Toilet’. Dia cuman bisa menghela nafas ketika ceweknya mendesah-desah kegirangan setiap sosok Edward ‘Culun’ muncul. Karena membaca ini, ketika diminta bikin cerpen parodi itu saya langsung kepikiran untuk memparodikan Twilight dan memplesetkan judulnya menjadi ‘Toilet’. Jadi cerpen ini harus berisi plot film Twilight dan harus dikaitkan dengan toilet. Saya pun memasukkan kata ‘toilet’ dalam mesin pencari google. Saya juga memasukkan frase ‘sedot tinja’. Saya sempat tidak berniat untuk melanjutkan cerpen ini. Saya tidak tahu bagaimana harus menyimpangkan alur film ini dan mengkaitkannya dengan toilet. Namun deadline mengejar dan Mbak Desi pun memberikan syarat cerpen ini harus selesai karena saya telah meminta dia memberi pendapat mengenai salah satu masalah dalam novel kolaborasi saya. Sebelumnya, saya telah mengetik 2 halaman tapi lalu malas melanjutkan. Karena 2 halaman awal itu saya rasa sudah cukup oke, jadi ya saya lanjutkan saja. Saya memikirkan alur cerpen ini untuk melanjutkan 2 halaman itu sambil menyapu dan nyuci piring. Ini namanya efisiensi waktu. Alhamdulillah cerpen ini dapat diselesaikan. Namun saya merasa cerpen ini dangkal dan tidak layak untuk diterbitkan (Mbak Desi meminta cerpen ini karena memang dia diminta oleh suatu penerbit untuk menyusun antologi cerita parodi). Cerpen ini bahkan tidak ada unsur komedinya. Saya berharap cerpen ini tidak diterbitkan saja. (12/31/2008)

Senin, 24 November 2008

Makan Langit-langitmu

Bagaimana ia dapat melukiskannya ya. Lukisan yang berisi apa yang dirasakannya saat ini. Ia hanya mematung dengan dagu menggantung di meja belajar. Alat tulis, kertas folio, buku praktikum, textbook-textbook kuliah... Benda-benda lain semacam itu yang terletak di sana dan sini kamar adalah seperti apa yang ada dalam dirinya.

Ia menghela nafas. Dinyalamatikannya lampu temaram. Kegelapan meliputinya selama beberapa detik lalu segera digantikan lagi oleh remang-remang selama beberapa detik. Dibiarkannya kepalanya jatuh hingga menindih kuping sehingga ia bisa melihat buku praktikum berwarna pink itu. Pink itu lembut. Tapi pink yang ini merisaukan. Ia mengganti arah sehingga yang ditatapnya adalah jam weker. Pukul sembilan kurang di mana kesunyian mulai melanda. Sekitar dua belas jam dari sekarang ia harus berlari menyusuri koridor, masuk ke dalam laboratorium, dan meletakkan buku itu pada tempatnya sehingga saat hari praktikum acara selanjutnya tiba ia bisa mendapatkan buku itu kembali ke tangannya dengan angka puluhan tertera di sudut kanan suatu halaman. Tidak bisa dipungkirinya bahwa berapa besar pastinya angka puluhan itu kerap terpikirkan juga.

Dibalikkannya kepalanya ke arah sebelumnya. Dengan jari-jari ia buka-buka halaman per halaman buku praktikum itu. Lalu ditutupnya. Kepalanya dipalingkan ke arah lain.

Bangkit lagi kepalanya. Ia ambil buku ilustrasi itu. Ia buka halaman per halaman. Buku ilustrasi itu isinya ratusan halaman tanpa garis. Sebagian besar darinya telah terukir oleh pensil; variasi garis yang membentuk rangkaian imaji.

Ia menggambar kepala orang dengan ekspresi wajah muram. Ketika sudah selesai menggambar setengah badan, ia berhenti. Ia menggambar lagi orang yang sama tapi dengan ekspresi yang berbeda. Orang itu digambarnya memegang korek. Beberapa jauh dekat kaki orang itu (ia tersenyum ketika bisa menggambar kaki dengan garis yang sempurna sehingga sepasang kaki itu bisa tampak proporsional) digambarnya sebuah buku yang sedang terbakar api unggun. Ia meraih buku praktikum pink itu. Dicermati sebentar cover-nya. Diletakkannya kembali sementara ia mulai menyalin apa yang barusan dicermatinya pada buku yang sedang terbakar api unggun itu. Sekali-kali diraihnya kembali buku praktikum pink itu untuk memastikan bahwa apa yang telah digambarnya telah mirip. Orang pada gambar ia berikan ekspresi sadis. Kedua alis terangkat ke atas. Mulut menyeringai lebar. Ia gambar balon suara besar-besar di atas kepala orang itu dengan bingkai garis naik turun. Tulisannya: “MMUUHAHAHHAHAHHAA...!”

Tanpa sadar ia mengikuti ekspresi orang yang digambarnya itu. Lalu ingatannya melayang dan melayang...

 

Ibu sudah lewat beberapa kali kamarnya.

“Kamu sudah makan belum?”

Setiap kali ibu mengintip ke dalam kamar melalui pintu yang terbuka sedikit, ia cepat-cepat menutup buku ilustrasinya.

“Istrirahat dulu gambarnya. Makan dulu.”      

Melihat ibu pergi lagi, pelan-pelan ia membuka lagi buku ilustrasinya.

“Kalau di dalam kamar gelap, di luar saja gambar-gambarnya. Di luar terang gini kena matahari kok malah gelap-gelapan. Nanti matanya rusak!”

Sehabis ibu pergi, ia benar keluar kamar tanpa membawa buku ilustrasinya. Tak pernah ia akan melakukan itu. Buku ilustrasinya... buku-buku ilustrasinya yang gembung karena lembaran-lembarannya penuh terisi dan semua itu ada di atas lemarinya.

Orang bijak bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit-langit, karena jika kamu menggantungnya di langit, kamu tidak akan pernah bisa mencapainya. Kecuali kalau kamu punya kesempatan untuk menaiki roket. Jadi buku-buku ilustrasinya itu ia taruh di atas lemari. Akan tiba saatnya tumpukan itu meninggi sampai menyentuh langit-langit. Tapi mungkin juga tidak. Bagaimana kalau itu ternyata bukan cita-citanya?

Sambil mengunyah, ia pandangi lemari di seberangnya. Pada lemari itu terdapat selembar piagam penghargaan dalam bingkai berdebu; didapatkan karena partisipasinya dalam lomba melukis antar SD dalam lingkup nasional. Ia ingat bahwa ia sudah merasa puas dengan juara harapan III. Bukan itu cita-citaku. Aku ingin yang tertumpuk di atas lemariku hingga berhimpit dengan langit-langit, bersanding dengan buku-buku ilustrasiku yang tinggal membutuhkan beberapa buku lagi untuk mencapai langiit-langit, adalah diktat-diktat kuliahku di Kedokteran. Lemariku pun bukanlah lemari dari kayu ringan murahan yang selalu menghasilkan banyak serbuk di lantai yang membuat kamarku kotor, tapi lemari dari kayu jati! Kalau bukan cendana atau eboni... Matanya kini sedang menekuri halaman koran yang menampilkan iklan mebel dari kayu.  

 

Tampangnya sekusut rambutnya.

“Kamu tuh mau masuk Kedokteran ngapain?”

Jika ia hendak menggambarkan adegan ini dalam buku ilustrasinya nanti, tentu ia akan menambahkan banyak warna merah untuk api yang menjalar di sekeliling tubuh manusia kurus gondrong berkumis lebat ini. Mungkin ia bisa menggambarkan sesajen berupa bunga-bungaan dan kepala kerbau untuk menambah kesan lain.

“Ya jadi dokterlah!”

“Untuk apalah kamu jadi dokter itu? Kamu takkan tahan. Ayah tau dalam darahmu itu mengalir jiwa yang sama dengan Ayah!”

Ia memalingkan muka; pasang tampang malas.

“Ayah, kalau aku selama 12 tahun ini belajar keras hanya untuk menjadi seperti Ayah, apa gunanya? Aku nggak mau kayak Ayah, hidup pas-pasan cuma mengandalkan lukisan-lukisan yang belum tentu laku!”

“Apa?!” Mata Ayah melotot. Cuping hidungnya mengembang. Warna merah sudah tak tepat lagi untuk menggambarkan adegan yang akan dicatat dalam buku ilustrasinya ini nanti, melainkan warna ungu!

“Mana formulir SPMB-mu itu?! Masuk jurusan Seni sajalah kamu! Kamu kira kamu bisa mengingkari takdir keluarga kita?!”

Pada halaman selanjutnya ia akan menggambar imajinasi akan ayah dari ayahnya, ayah dari kakeknya, ayah dari ayah dari kakeknya, ayah dari ayah dari ayah kakeknya, dan seterusnya, dan seterusnya, sampai halaman itu penuh... dan semuanya akan menjadi orang dengan tipe yang sama; dandanan nyentrik seniman gila! Ia tidak mungkin menggambarkan dirinya dengan penampilan tak terurus sebagaimana mereka-mereka yang telah menduluinya. Ia akan memakai kalung stetoskop di lehernya dengan uang terus mengalir ke dalam jas putihnya.

“Aku nggak mau kayak Ayah! Aku mau masa depanku lebih terjamin!” Ia melirik ibunya yang mengawasi pertikaian ini dengan wajah prihatin dari sisi ruangan yang gelap. Hampir semua temanku memilih Kedokteran. Mereka mengharapkan masa depan yang cemerlang. Dengan menjadi dokter kehidupan yang mapan adalah lebih pasti ketimbang memilih jalan hdup menjadi seorang seniman!

“Memangnya kenapa kalau kamu ikut jejak Ayah? Bukankah kamu tau kamu mampu?”

“Yah, masyarakat nggak membutuhkan lebih banyak seniman yang hidup jauh dari kota, nggak mengurusi masyarakat secara langsung! Mereka butuh lebih banyak dokter. Ayah baca koran nggak sih? Bencana di mana-mana! Kesehatan penduduk siapa yang mau menjaganya? Dengan menjadi dokter, kita bisa menjaga kelangsungan hidup manusia...”

Ia sadar sebenarnya pengetahuannya akan hal ini minim. Jadi ia meninggalkan arena perdebatan di mana lawan sudah akan melontarkan serangan lagi; masuk ke dalam kamarnya yang hanya mampu disinari lampu temaram. Ia membuka-buka buku ilustrasinya yang sedari tadi tergeletak di meja; merekam segala yang terjadi tanpa mampu menyajikan bukti dan komentar. Kecuali oleh tangan kanan yang lihai mengisinya beberapa kali dalam sehari. Ketika halaman demi halaman buku itu terbuka, sebagian besarnya adalah api merah yang menusuk mata dengan tanggal pembuatan yang berbeda-beda. Beberapa jauh dalam dada pembuat gambar-gambar itu seakan tertusuk benda tumpul saat melihat gambar-gambar itu.

 

Ayah menepuk-nepuk kepalanya.

“Baik-baiklah kamu di kota ini,” katanya.

“Kembali kalau sudah jadi dokter ya.” Ibu tidak bisa menyembunyikan kesedihan bercampur haru.

Ia hanya mengangguk-angguk, mengiyakan segala macam nasihat ini itu dari kedua orangtuanya. Dipandanginya adik-adiknya yang menatapnya dengan polos. Ayah dan ibu kini tak usah merisaukannya lagi. Risaukan saja mereka yang masih kecil-kecil itu. Mereka pun masuk ke dalam mobil mungil reyot itu, yang akan kembali melakukan perjalanan lintas pulau. Betapa jauh dari mata kampung halaman. Namun inilah kampus Kedoteran terbaik di negri ini, yang telah begitu bermurah hari mengizinkan keberuntungannya mengetuk pintu. Dipasangnya muka tegar. Dikumpulkannya kembali segenap idealisme dan harapannya untuk membunuh romansa yang mulai bergolak.

Setelah melambaikan tangan sampai mobil mungil reyot itu tak terlihat lagi, ia masuk dan membuka buku ilustrasinya yang baru. Digambarnya dirinya sedang melonjak-lonjak. Kedua tangan diangkat ke atas. Mata berbinar. Tawa yang lebar. Ekspresi kesenangan. Jauh dari rumah! Kebebasan! Menjadi mahasiswa Kedokteran! Kemapanan! Digambarnya kalung stetoskop pada bagian leher. Beberapa jauh di depan orang gambarannya, selembar uang raksasa bersiap memeluk orang tersebut jika telah sampai padanya dan menghambur. Di belakang uang raksasa itu ia gambar lembar-lembar uang lainnya terpisah-pisah dengan ekspresi minta dipeluk juga.


Ia telah kembali ke masa kini. Telah digambarnya sebuah rumah. Terbuat dari bambu. Atapnya dari ijuk. Ada macam-macam ornamen menghiasi baik di dinding rumah maupun di halaman, membuat rumah itu terlihat unik dan ramai. Pada aslinya, rumah itu memang ada. Ayah, dengan segala daya kreativitasnya, yang membuatnya. Di bagian paling depan, ia gambar keluarganya saling bergandeng tangan. Ayahnya bergandeng dengan ibunya bergandeng dengan adiknya dengan adiknya dengan... Dirinya tidak di situ. Karena dirinya berada di kota ini.

Digambarnya tali berduri tengah menjerat tubuh seseorang...

Bagian muka orang itu dibekap buku tebal. Di kakinya dijerat buku tebal. Di lehernya terikat kalung anjing. Tali kalung itu dipegang oleh buku tebal. Dan ia dengan enggan sekali-kali melirik textbook-textbook kuliahnya yang bertebaran di kasur. Semua buku tebal pada gambar memiliki cover yang serupa dengan textbook-textbook itu.

Selesai dengan itu, ia menyenderkan badan sejenak pada punggung kursi sambil menutup mata. Tak lama kemudian ia buka halaman-halaman yang telah terisi sebelumnya pada buku ilustrasi tersebut. Gambar-gambar dengan tema serupa dengan apa yang ia gambar malam ini yang mendominasi. Ia berhenti pada suatu gambar tertanggal dua hari yang lalu. Gambar itu menunjukkan dirinya yang sedang menggambar. Di belakangnya ada lemari kayu reyot dengan buku ilustrasi-buku ilustrasi yang telah menghimpit langit-langit. Gundukan serbuk kayu teronggok di salah satu kaki lemari tersebut. Di samping lemari tersebut ada pigura berisi gambarnya sedang bersalaman dengan Benny dan Mice di sampingnya. Pada dua orang yang bersalaman itu, tangan yang satunya lagi memegang sebuah piagam. Bagian bawah piagam itu diisi titik-titik teratur yang maksudnya adalah tulisan yang saking kecilnya sampai tak terbaca. Namun di atas titik-titik itu terdapat rangkaian huruf yang masih dapat terbaca: “Juara Harapan III”

Tangannya bergerak lagi pada sisa halaman yang masih kosong cukup banyak. Jas dokter dan stetoskop itu terbang. Sesosoknya dari tampak belakang berlari ke arah sesosok ayahnya. Sesosoknya memegang kuas. Ayahnya memegang kanvas.

Dicoretnya gambar itu dengan sekali tarikan garis yang membelah kepala ayah. Diraihnya buku praktikum pink untuk ia sandingkan di sebelah buku ilustrasinya yang terbuka. Ia diam, mungkin berpikir mungkin tidak, sampai matanya menutup perlahan. Kepalanya lunglai dan terjatuh di antara dua buku.

 

                                                bermula dari...

istilahna mah,

krisis cita-cita euy..

23-241108.22:12


HABIS KATA #11

Ya, cerpen ini berasal dari krisis cita-cita yang saya alami. Saya memilih sendiri jurusan saya di kampus. Saya tidak berminta masuk ke jurusan tenar meski orangtua mana yang tidak menginginkan anaknya masuk ke jrurusan tenar? Setelah setahun lebih saya kuliah, saya mengalami suatu kebingungan yang amat merisaukan yaitu, selulusnya saya kuliah, saya mau kerja jadi apa? Dimana? Dan sebagainya. Saya memikirkan lagi, jika dulu saya mengikuti keinginan orangtua saya masuk jurusan tenar, apakah yang akan saya rasakan?

Berangkat dari situ, cerpen ini juga bermaksud menceritakan tentang krisis cita-cita dalam kasus yang lain. Yaitu dimana orangtua si tokoh utama sudah tahu potensi anaknya, akan tetapi anaknya itu tidak menganggap itu penting. Dia merupakan korban dari paradigma masuklah-jurusan-tenar-setelah-lulus-SMA. Di kemudian hari, setelah mengalami apa yang dia penasarani dan harapkan dulu ternyata tidaklah selalu enak, dia memikirkan kembali keputusannya dulu itu sembari menyadari akan potensinya yang sebenarnya. Namun tidak banyak yang bisa dia lakukan karena sudah terlanjur basah.

Urusan potensi dan cita-cita itu tidaklah boleh sembarangan karena itu menyangkut pada ketentraman batin. Kita tidak bisa menikmati hidup kalau batin kita tersiksa, ya kan?

Sama seperti cerpen September, cerpen ini pun terjadi begitu saja. Saya mengalami kegelisahan dalam suatu hal selama berhari-hari, dan pada suatu malam di antara hari-hari itu saya luapkan. Mestilah memang sebelumnya harus ada bayangan akan bagaimana jadinya alur cerita.

Pada cerpen ini saya sadari saya banyak menggambarkan apa yang dilakukan tokoh utama, yang memang kerjaannya sukanya menggambar, dan gambarannya itu mewakili apa yang sedang dia rasakan. Saya kira cukuplah itu yang berbicara. Penjelasan-penjelasan selain itu diberikan kalau diperlukan. Cerpen ini selesai dalam sekali duduk. Setelah itu ya masih dbaca ulang dan diperbaiki dikit-dikit tapi tidak sesering cerpen-cerpen kemarin.

Oh ya, lagi-lagi saya memasukkan tokoh utama yang tidak jelas jenis kelaminnya apa. Pada cerpen-cerpen sebelumnya juga begitu. Saya malas sih menentukan si tokoh ini cewek atau cowok. Menurut saya, dalam konteks cerpen-cerpen saya ini, hal itu baru penting kalau memang dibutuhkan. Tergantung konteks cerita yang saya mau bikin tentang apaan, apakah itu membutuhkan pembedaan jenis kelamin yang jelas atau tidak. Kalau bikin novel sih mungkin sudah jelas ya. (12/31/2008)

Senin, 06 Oktober 2008

Hari Pengumuman SNMPTN 2008

Agustus 2008


Hari yang mestinya penuh kejayaan ini terasa sendu bagi Elmo bukan hanya karena cuaca mendung, tetapi juga karena tidak ada orang untuk diajak berbagi. Elmo menandatangani semacam absensi sebelum meninggalkan loket pengambilan formulir daftar ulang di gedung rektorat perguruan tinggi impiannya. Gerakannya sarat pikiran. Toh ia tidak mesti cepat-cepat. Semua loket nyaris kosong. Peserta SNMPTN yang lulus kebanyakan menunggu setidaknya hingga esok hari untuk mulai mengurusi tetek bengek macam ini. Hari ini adalah untuk merayakan.

Tetapi apa yang mesti Elmo kerjakan selama sisa hari ini? Ia hanya berbagi kejayaan dengan orang tuanya. Lalu ia mengirim sms pada lima orang saja. Mas Fahri, Mas Luki, Yadi, Yayat, Trista. Ia ragu-ragu ketika terpikir untuk mengirim sms pada satu orang lagi, lalu menunda pengambilan keputusan untuk mengsms orang itu atau tidak. Orang itu. Ngertilah, si Aze. Dia lulus nggak ya?

Oh ya, Elmo tahu Aze ikut SNMPTN. Di malam sebelum SNMPTN ia mendapat sms minta didoakan dari Aze. Sebelumnya ia juga mengirim sms seperti itu padanya.

Itu saja. Elmo tidak bertukar kabar lain. Ia bahkan tidak tahu Aze mendaftar ke mana. Bingung juga, itu urusannya atau bukan sih?

Aze dengan kartu peserta SNMPTN-nya.

Elmo berkedip-kedip, membetulkan letak kacamatnya, sambil menatap sosok yang sudah tidak ditemuinya selama tiga bulan itu. Aze yang tadinya sedang mencari loket tujuannya menangkap sosok Elmo dan tertegun.

Not quite a year since she went away, Rosanna, yeah/Now she’s gone, and I have to say/Meet you all the way..[1]

Mereka berdua sama-sama senyum salting. Idih, Elmo merasa makin rikuh.

”Eh, Aze. Keterima di sini juga?”

“Iya. Ng, kamu juga?”

Elmo mengangguk.

“Wah, selamat ya, Elmo,”

Elmo merasa sulit untuk menjawab,

“Iya,

“.. makasih.

“...Kamu juga,”

Elmo teringat janji yang mereka buat pada suatu senja di atap BSM, beberapa menit setelah mereka jadian. Kapan sih itu? November tahun lalu? Rasanya sudah lama sekali. Siapa sangka ternyata janji yang itu malah mereka tepati?

Padahal kampus mereka sempit. Bagaimana sikap mereka kalau bertemu lagi? Yah, kira-kira seperti inilah.

Hening.

“Mau ngambil formulir,” kata Aze akhirnya sambil menunjuk loket.

“Oh, iya. Duluan, Aze!”seru Elmo. Mereka saling melambaikan tangan.

Elmo melangkah keluar dari atap yang menaungi teras loket sambil menaikkan tudung jaketnya. Map plastik berisi formulir ia selipkan ke dalam jaket untuk menghindari tetesan gerimis. Ia melangkah cepat-cepat ke mobilnya tanpa menengok lagi ke belakang.



[1] Toto - Rosanna

Sabtu, 20 September 2008

And How I Wish That It Would Rain..

1

Elmo sudah menggeser satu anggapan mengenai dirinya sendiri. Ia termasuk orang yang tidak tahan perubahan ternyata. Ia tidak mau ada hal lain yang berubah dalam hidupnya, kecuali mungkin status penganggurannya. Hari ini selesai shift di PS dan selesai Aze bersekolah, Elmo akan berusaha menarik hati Aze lagi dengan mengantarnya ke BC. Rutinitas yang biasa, berkat saran Trista yang kali ini oke banget. Duhai, sudah lama sekali sejak ia terakhir kali melakukannya, cowok macam apa kamu Elmo?

Kalau rencana yang ini berhasil, Elmo ingin mengajak Aze ikut kumpul-kumpul bareng teman-teman SMA-nya. Kalau rencana ini tidak berhasilpun Elmo akan mengajak Aze ke sana.

Elmo menghentikan mobilnya di gerbang samping SMA Bilatung. Ayo Aze cepatlah keluar. Harapannya, Aze keluar tanpa mesti dihubungi dulu, terus oke-oke saja ketika Elmo menyuruhnya masuk ke mobilnya.

Itu dia. Biar dia lihat sendirilah, Elmo malas memanggilnya dengan cara apapun.

Aze berjalan perlahan di belakang rombongan temannya. Jeritan klakson mobil-mobil di belakang Elmo makin keras dan sering saja. Elmo menulikan telinganya. Ayo Aze, cepatlah jalannya! Aze sampai di gerbang, matanya membesar melihat cowoknya yang mendesis menyuruhnya cepat masuk.

Tanpa berpikir, Aze langsung masuk saja ke mobil. Elmo menaikkan langsung menginjak pedal gas dan cabut.

Untuk sesaat, mereka sama-sama diam. Membiasakan diri dengan kehadiran yang lain. Lalu Aze bersuara.

”Mau ke mana?”

”Ke BC. Udah lama kan kita nggak ke BC? Nggak kangen emangnya?”Elmo nyengir kepada roda kemudinya.

”Aku sering kok ke BC. Kamu aja yang nggak pernah ke situ kalo aku lagi ada.”

”Eh iya, hihi.”

Diam, diam, diam. Aze merindukan keterusterangannya yang mungkin akan menjernihkan suasana antara dia dan Elmo. Mungkin konfrontasi langsung lebih baik daripada suasana begini, mereka sama-sama tahu ada yang tidak beres, tapi tidak ada yang punya nyali untuk mengangkatnya. Juga tidak ada yang cukup cuek untuk benar-benar bersikap biasa.

Mereka mengobrol sedikit tentang apa-apa saja yang terjadi sejak mereka tidak saling kontak lagi, melewatkan bagian ketika Elmo datang ke tempat Aze lalu Aze kelepasan menangis. Lalu di tengah percakapan garing yang berlangsung, sampailah mereka di belokan BC. Sebuah dorongan impulsif mampir ke benak Elmo.

”Ze, bolos BC yu!”

”Hah?”

”Kita nyewa film dari Zy-E terus nonton? Atau mau ke PS? Udah lama banget Aze nggak ke situ!”

Ampun. Aze benar-benar tidak sedang dalam mood untuk beginian, apalagi bareng Elmo. Yang bener aja Elmo, UN hari Selasa! Bagaimana menolaknya tanpa membuka peluang konflik? Aze meringis minta maaf.

”Heu, Elmo, aku sedang nggak mood ni,” kata Aze perlahan.

Elmo menatap Aze yang kuyu dan sedang ’nggak mood’. Yah, mau gimana lagi?

”Yah, ya udah deh. Tapi janji ya ikut Elmo ketemuan sama temen.”

”Ketemuan sama temen Elmo? Siapa? Kapan?”

”Waktunya sih belum direncanain. Tanggal-tanggal habis UN. Janji ya Ze?”

Aze yang sudah terbiasa dengan tampang Elmo tiba-tiba tersadar akan kegantengan cowoknya yang berkacamata.

“Iya.”

Suara itu dari mana datangnya? Oh, itu pasti dari mulutnya sendiri. Aze, apa yang kamu lakukan?

 

2

Di BC. Elmo dengan tangan kidalnya mencorat-coret kotretan dengan beringas sementara Aze yang duduk di sebelahnya sedang mendengar penjelasan Mas Fahri dengan mata menerawang. Aze yang dulu bakal bilang emang Elmo punya temen? Aze yang dulu tidak akan meringis minta maaf saat menolak ajakannya. Aze yang dulu akan langsung menolak tanpa basa-basi kalau ia tidak mau, walaupun Elmo juga tahu bahwa Aze yang dulu bakal langsung mengiyakan untuk bolos BC, apalagi untuk bersenang-senang bareng Elmo, bagaimanapun ‘nggak mood’-nya dia..

Ya ampun. Betapa Elmo benci pada perubahan. Betapa Elmo benci pada wajah meringis minta maaf.

Tahu-tahu sesi kelas BC sudah selesai. Biasanya Elmo dan Aze tetap nongkrong di BC sepulangnya nurid-murid lain. Tapi kayaknya hari ini nggak dulu deh. Elmo yakin Aze juga berpikir sama dengannya. Dia kan lagi ’nggak mood’. Hih.

Elmo menyelempangkan tasnya, menarik-narik lengan seragam Aze, lalu berjalan keluar. Ia mengangguk sedikit saat bertemu istri Mas Fahri, menunggu tidak sabar saat Aze mengajak Wili bermain, lalu akhirnya mereka berdua sampai ke mobil dan duduk dalam hening.

Tidak ada yang menyalakan radio. Elmo sampat mengira mungkin mereka tidak akan pernah sampai ke rumah Aze. Mereka sampai, lalu setelah ’dadah Elmo’ yang suram dari Aze, Elmo ngebut pulang. Perjalanan ke rumah Aze terasa sangat menyedihkan walaupun ada kawan yang duduk di samping Elmo. Coba bertanya pada rumput yang bergoyang. Elmo cuma ingin sampai ke rumahnya, minum kopi racikannya sendiri sambil menonton Fight Club. Ia ’nggak mood nonton Spongebob.

 

Mei 2008

3

Elmo bangun pagi ini tanpa semangat atau optimisme. Ia merasa jadi orang gagal lagi, hal yang baru pernah dirasakannya setelah bulan Agustus 2007 datang. Ia jadi kembali  ingat perasaan itu, yang membuatnya ingin meringkuk saja di tempat tidur atau melakukan hal tidak berguna lainnya. Kalau di film Shaun of the Dead, dia akan menjadi salah satu dari pecundang-pecundang yang menghabiskan hidupnya dengan minum bir dan makan kacang di pub Winchester.

Oh, tapi kini tidak, bukankah Elmo mestinya sudah melewati tahap pecundang, tahap labil, dan tahap menghindari teman? Bukankah hari ini ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan muncul di acara kumpul-kumpul alumni BKS 2007 untuk pertama kalinya? Elmo agak penasaran juga apa yang teman-temannya bicarakan di kumpul alumni sebelumnya.

Dan tentu saja, hari ini rencananya ia muncul dengan Aze, ceweknya, orang yang membantunya melewati tahap pecundang dalam hidupnya yang masih belia itu. Krisis paruh remaja akhir, bisa dibilang begitu.

Tapi bagaimanapun, ia masih butuh Aze untuk bisa rileks di hadapan teman-teman yang sudah tidak ditemuinya selama delapan bulan.

           

4         

Elmo tiba di Dago Plaza. Setelah ia memarkir mobilnya, ia berjalan cepat-cepat ke dalam. Panas terik hari ini. Ia berhenti di pintu depan, mencoba menghubungi Aze yang mestinya sudah berada di sini. Mana sih itu anak?

Di tengah kegelisahannya, sosok salah satu temannya yang kribo, Achdiat alias Yayat, muncul. Senyumnya otomatis mengembang lebar di wajahnya dan wajah temannya itu.

“Edan, si ganteng! Kamana wae bal[1]!!”seru Yayat penuh semangat sambil menghantam punggung Elmo keras-keras dengan buku tebal yang dibawanya sampai-sampai kacamata Elmo terpental. Elmo meringis sambil membetulkan kacamatanya. Ia tidak menjawab, Yayat sendiri tidak mengharapkan jawabannya. Ia sudah senang bisa melihat Elmo.

Yayat menggiring Elmo masuk walau sebenarnya Elmo tidak ingin muncul tanpa Aze. Mereka sampai di depan pintu studio karaoke keluarga tempat beberapa alumni BKS lain sudah nongkrong. Dua orang dari mereka, entah siapa, mengajak ceweknya. Wah, ada Yadi yang nggak lulus SPMB juga! Roim yang  juga aktivis DKM. Fredi si preman karbitan. Baduy yang masih bertampang filsuf madesu. Karinta yang suka bagi-bagi makanan. Nia. Lala. Lima-enam orang lainnya, semua nyengir menatap Elmo. Elmo balas menatap mereka satu per satu. Betapa senang hatinya berjumpa lagi dengan mereka. Kenapa ia dulu bisa-bisanya memutuskan hubungan dengan teman-teman yang sudah bersama dengannya digampar senior BKS?

Elmo duduk di sebelah Yadi sambil nyengir lebar. Kapan terakhir kali ia duduk di sebelah Yadi? Teman-temannya yang tadi duduk bangkit berdiri untuk menyalami, menggebuk, merangkul, dan menanyakan kabar Elmo. Perasaan nostalgia membuat hati Elmo menghangat dan bahunya menyantai.

Adeuh, Elmo. Baru keliatan lagi maneh. Mana cewek lo Mo? Bawa pan?”

“Elmo! Muncul juga lo,”

Elmo nyengir lagi di tengah rentetan pertanyaan, ”Iya, muncul juga gue, haha..”

“Kerja lo sekarang?”

“Buka usaha Mo? Jadi entrepreneur?”

“Si Trista apa kabar Mo?”

“Cewek lo mana Mo?”

“Hehe.. Tau tu..”

“Cewek lo sekarang siapa Mo? Trista bukan?”

Elmo menggeleng sambil nyengir membayangkan kalau mereka sampai tahu ceweknya sekarang siapa.

“Yah Elmo, udah nunggu-nunggu gue ampe lo jadian ama Trista. Cewek lo siapa emang Mo?”

“Itu, Aze, anak Bilatung 2008,”jawab Elmo sekenanya, disambut ketidak-ngeh-an teman-temannya.

“Hah?”

Saha?[2]

“Aze, yang dulu jatuh dari tangga?”sembur Roim heboh. Wajar Roim menjadi yang pertama kali ngeh. Roim itu mantan anak PA juga selain aktif di DKM.

Teman-temannya tampak geli sekaligus kagum, entah kenapa.

Euleuh Elmo, awewe nu kitu diembat oge?![3] Dahsyatlah.”seru Karinta di tengah tawanya.

“Edan Elmo. Dari kecelakaan tumbuh cinta gitu?”bahkan Baduy melepas rokoknya dan tampak takjub.

Nu mana sih Aze-Aze teh Mo?[4]”Yayat bertanya.

Eta anu geubis ti tangga aula[5]. Anak PA,”jawab Elmo malu-malu.

“Anjrit. Itu bukannya yang bikin elo kecelakaan Mo? Baleg we.. [6]“tukas Fredi geli.

Elmo, yang mulai merasa canggung dengan segala obrolan tentang dirinya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Kesalahan, ternyata, seperti yang terbukti kemudian.

“Eh Yat, kok lo bawa buku sih? Bukannya sekarang udah libur?”Elmo memulai topik barunya.

“Oh, ini, iya, gue ngambil SP nih. Sialan.”

Elmo berusaha menebak-nebak apa itu SP. Oh iya, semester pendek. Kayaknya.

“Kok sialan? Eh, bukannya tingkat satu belum bisa ngambil SP?”tanya  Fredi yang satu kampus dengan Yayat. Sebenarnya, hampir semua dari mereka satu kampus. Yang beda hanya Nia dan Bamba yang kuliah di Salemba, serta kaum marjinal, Elmo dan Yadi.

“Ngulang gue. Taun depan ini jadi mata kuliah tingkat satu. Jadi mesti lulus taun ini, anjing.”jawab Yayat suram.

“Oh iya, kan kurikulumnya ganti ya, lupa gue,”

“Seenggaknya lo udah dijurusin kan. Gue ni, entah gimana nasib ntar. IP perbatasan. Tai.”

“Emang rese ya. Gua juga kejeblos edan, cuma kurang nol koma nol tiga, kejeblos lah gue.”

“Tapi kemana juga yang penting IP-nya bagus. Di atas tiga lah seenggaknya.”

“Iya ni. IP gue dua koma aja dua semester berturut-turut. Edan. Ntar gimana nyari kerja?”keluh Roim menyesali hidup yang sulit.

Elmo menanti-nanti sampai ia bisa masuk lagi ke pembicaraan. Tapi kesempatan yang ia tunggu tidak kunjung muncul. Ngomong apa gerangan orang-orang ini?

“Jadi aktivis aja lo,”kata Yadi sotoy pada Roim yang memang aktivis.

“Iya, tu bener. Di himpunanlah. BEM-lah. Unitlah.”

“Sama banyak-banyakin sertifikat,”

“Probabilitas lo udah nol, soalnya, buat jadi asisten,”celetuk Nia, disambut tawa membahana rombongan mereka. Padahal tidak lucu-lucu amat. Yadi cuek saja ikut ketawa. Mungkin dia ngerti, mungkin juga tidak.

Elmo bengong.

“Udahlah, asal ada cap gajah di ijazah, mau ke mana juga bisa,”

“Ah, nggak lagi sekarang. Nama universitas udah nggak diliat. Mau Institut Top Bwanget juga kalo IP di bawah tiga mah...”

“Iya, tu.”

Bamba datang dengan ceweknya. Bamba, yang dulu membantunya menolong Aze. Ah, Aze. Elmo kembali mencoba menghubungi Aze. Ia tahu betul bahwa hari ini ujian praktek sudah selesai. Aze tidak punya alasan akademis apapun untuk mengingkari janjinya.

”Yee, Elmo mah. Udah, nggak boleh nelepon-nelepon lagi! Nelepon siapa sih?”

”Nggak.”

Lalu ia kembali terdiam sementara obrolan anak kuliahan mengalir mengelilinginya. Perasaan nostalgia sudah menghilang. Ia cuma ingin ’kumpul-kumpul’ ini cepat selesai dan ia cabut dari sini. Yah, setidaknya nanti kalau mereka mulai berkaraoke, mereka sudah tidak bisa ngobrol lagi.

 

5

Inilah saat-saat yang ditunggu Elmo. Akhirnya datang juga! Sudah lama ia tidak ke tempat seperti ini. Lampu remang-remang dinyalakan. Teman-teman Elmo ribut mengelilingi bagian tengah meja, hendak memilih-milih lagu apa saja yang akan mereka nyanyikan. Elmo mengalah saja. Hanya tertawa-tawa. Mau lagu macam apapun terserah. Acara karaokean begini kalau lagunya nggak norak, mana seru?

Oh ya?

Elmo tertegun membaca teks yang berjalan di layar.

            Telah habis kata terangkat... untuk membuatmu kembali mengingat... semua apapun janjimu...

Elmo heran kenapa teks yang tertera di sana bisa sama persis dengan apa yang tergores pada dinding hatinya saat ini. Layar itu seperti menelanjangi batinnya.

“Elmo! keur naon cicing wae di ditu?[7]” Teman-temannya dengan semangat menarik-narik Elmo untuk ikut maju ke depan layar dan bernyanyi bersama-sama. Beberapa sudah menampilkan koreografi terbaiknya. Mic itu disorong-sorongkan ke depan mulutnya, memaksa Elmo ikut mengeluarkan nada mellow. Jika saja hati dapat bersuara tanpa harus dengan bantuan mulut, mungkin sudah dari tadi Elmolah yang  jadi maestro.

Aku mohon dengan sangat kepadamu....

“Ayo atuh, Mo! Hihihi...” Ampun, bahkan cewek-ceweknya juga...

Kembalilah.... wahai sayangku... hanya itu yang membuat aku.... tenang....

Kembalilah.... kembali padaku... aku takkan pernah bisa... hidup.... tanpamu...[8]

 

5

Aze menatap ponselnya yang tanpa lelah bergetar sejak setengah jam yang lalu. Sungguh pengecut dia. Tidak ada cewek yang lebih payah daripada dirinya.

Ia dan tujuh orang temannya sedang dalam perjalanan angkot menuju rumah Aze, tempat kawanan Aze akan mengadakan pesta rujak. Dua kali sudah mereka mengadakan beginian. Kali ini, di rumah Aze, dan dulu ketika kenaikan kelas. Dulu, ketika ia baru mengenal Elmo, cowok yang membuat perut Aze serasa kram, padahal biasa saja, saat berada di dekatnya.

Elmo yang dulu dengan wajah memelas berkata bahwa dia sangat membutuhkan Aze. Sekarang, setelah kehidupannya perlahan-lahan kembali, memangnya Elmo masih butuh Aze?

Menggunakan jeda yang singkat di antara panggilan telepon dari Elmo, ia cepat-cepat mengetik sms, mengira Elmo masih bisa dibodohi,

           

            Mo,sry bgt aq g bs dtg.ad ujyn prktk ntr sore.

 

”Kenapa Ze?”

”Nggak.”

“Kiri mang!”

Rombongan turun dari angkot, lalu berjalan menuju komplek perumahan lokasi perjamuan sambil berceloteh riang ala cewek SMA. Aze merasa begitu nyaman dan hangat, bukan karena sinar matahari yang begitu terik. Perasaan hangat ini datang dari dalam hati manakala ia berada di tengah orang-orang yang membuatnya nyaman, entah bagaimana. Aze tidak bisa menjelaskan.

Ia hanya mendengarkan celoteh ribut teman-temannya, merasa terisi kembali setelah satu setengah bulan terakhir ini merasa terkuras.

UN salah satu penyebab. Ujian praktek. Elmo, pastinya..

Huh. Cowoknya, yang mestinya jadi sumber penghiburan bagi dirinya. Aze tidak tahu sih dengan orang lain yang sepertinya menikmati konflik dengan pacar, dia sih tidak butuh. Tenaganya terbatas, tidak ada jatah untuk dihabiskan dalam drama percintaan.

Sebuah mobil terdengar mengklakson dengan keras dan melaju ngebut dari arah datang mereka. Karena jalan sempit, Aze dan kawan-kawan berhenti sejenak, sambil menengok dengan kesal pada pengemudi yang egois.

Aze melanjutkan berjalan di tengah rombongan temannya. Ia tidak bilang apa-apa tentang Yaris biru yang baru saja melewati mereka.

 

6

Aze si raja tega. Tega berbohong padanya. Aze mengingkari janjinya untuk ada saat Elmo butuh.

Apa salah Elmo? Kenapa kamu nggak bilang aja? Elmo janji nggak akan mengulanginya.

            Sunshine, blue sky, please go away... My girl found another, and gone away...

Ia sudah berada di garasi rumahnya tanpa sadar. Ia belum pernah merindukan kamarnya seperti ini.

Menabrak pembantunya. Masuk kamar. Pasang MP3 player. Selimut.

            Cry so badly, I wouldn’t go outside... but everyone knows that a man ain’t supposed to cry...[9]

Elmo bergelung di tempat tidur. Ia tidak mau keluar rumah lagi.



[1] Kemana aja!

[2] Siapa?

[3] Ya ampun Elmo, cewek kek gitu diembat juga?

[4] Yang mana sih Aze-aze itu?

[5] Itu, yang jatuh dari tangga aula.

[6] Yang bener aja.

[7] Elmo, ngapain diem aja di situ?

[8] D’Massiv – Tak Bisa Hidup Tanpamu

[9] The Temptations – I Wish It Would Rain

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain