Ruang
Jumat, 31 Juli 2009
Senin, 20 Juli 2009
Kaum Parsimonious
Kaum
Parsimonious membuat gubuk—begitu mereka menyebutnya—mereka di pinggiran kota.
Jauh dari hiruk pikuk masyarakat kota dan tidak ada yang bisa membujuk mereka
untuk membeli barang-barang yang tidak mereka perlukan.
Brangkal
merupakan bahan utama yang digunakan Kaum Parsimonious untuk membangun gubuk
mereka. Mereka mengolahnya lagi sehingga layak dipakai. Jika mereka membutuhkan
yang lain mereka akan mengambil secukupnya. Gubuk itu dirancang bersama-sama
dan seorang pensiunan insinyur sipil di antara mereka memberitahu bahan mana
yang baik untuk dijadikan bagian apa. Gubuk itu masih utuh meski angin puting
beliung dan gempa pernah menghampiri daerah tersebut.
Ruang
utama gubuk mampu menampung puluhan anggota Kaum Parsimonious. Ruangan itu
temaram karena mereka belum merasa butuh untuk mengganti lampunya dengan lampu
100 watt. Mereka menggunakan ruangan itu hanya untuk rapat atau kegiatan verbal
lainnya yang tidak membutuhkan pencahayaan tinggi.
Di satu
sisi terpampang sebuah papan ukuran besar yang bersih dari serangan debu. Papan
itu berisi tulisan demikian:
P R I N S I P – P R I N S I P
K A U M P A R S I M O N I O U S
1
Gunakan akal pikiranmu.
Pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.
2
Carilah penghasilan sendiri.
3
Simpan untuk orang lain dan diri sendiri untuk masa depan.
4
Gunakan jika menyangkut kebutuhan hidup yang vital.
Pilih produk yang murah tapi berkualitas
5
Untuk kebutuhan yang tidak terlalu vital, terapkan selalu 3R: Reuse, Recycle, Refill.
Ingat selalu prinsip “dengan modal kecil mendapatkan keuntungan secukupnya”
6
Manfaatkan kebaikan orang lain tanpa harus kehilangan harga diri. Jangan
melewatkan orang-orang ikhlas yang memberikan gratis.
7
Bermurahhatilah. Maka orang lain pun akan bermurah hari padamu.
Kaum
Parsimonious berpegang pada ketujuh prinsip ini dalam urusan mereka yang
berhubungan dengan finansial.
Kamis malam ini, yang merupakan jadwal pertemuan rutin diadakan, ruangan itu tengah diisi sekitar duapuluhan anggota. Mereka duduk melingkar dan tampak serius membicarakan sesuatu.
“Terimb
membeli silikon untuk membungkus ponselnya,” seorang wanita mendesis.
“Kemarin
kita sudah sepakat bahwa kita tidak membutuhkannya kalau kita bisa menjaga
barang kita dengan hati-hati,” sahut seorang pemuda yang berpeci hijau.
“Tapi
tidak ada yang bisa menjamin kalau kita bisa selalu bersikap hati-hati,”
celetuk seseorang dengan lantang.
“Kalau
kita menggunakan pelindung, itu akan mengurangi kehati-hatian kita. Jatuh
sesekali mungkin tidak apa-apa. Itu akan menjadi pengingat bagi kita untuk
selalu berhati-hati menjaga barang kita,” balas si pemuda berpeci hijau lagi.
“Ya,
sesungguhnya kita tidak membutuhkannya. Kaum Enturpeneer telah mempengaruhi masyarakat
sedemikian rupa sehingga mereka merasa membutuhkannya,” tambah seorang
perempuan yang sedang memelintir tali yang menjuntai dari rok belelnya.
“Bagaimana
dengan Konstipastop?”
“Apa itu?”
“Obat
sembelit. Aku melihat Hilda memborongnya kemarin.”
“Satu lagi
anggota kita yang kelebihan uangnya,” gumam seseorang. “Padahal ia bisa
menggunakan uangnya untuk hal yang lebih penting.”
“Ia tak
perlu membelinya kalau saja ia rajin makan sayur dan buah berserat. Itu lebih
murah ketimbang membeli produk-produk Taishit,” kata perempuan dengan rok belel
itu lagi.
“Ya...
Ya...” Orang-orang bergumam menyetujui.
Pemuda
berpeci hijau menepuk tangannya beberapa kali agar perhatian orang-orang
beralih kembali padanya. “Hari ini telah kita dengar beberapa saudara kita
telah terjerat bujuk rayu Kaum Enturpeneer.”
“Ya!
Mereka telah membuat orang-orang membeli barang yang tidak perlu!”
“Kita
tidak boleh lengah, Saudara-saudara! Kita harus selalu berpikir sebelum
memutuskan membeli sesuatu.”
“Ya! Ya!”
Orang-orang berseru dan itu menutup pertemuan rutin kali itu.
Lepas dari
ruang utama di mana beberapa orang masih tinggal untuk berdiskusi, Mahet,
perempuan dengan rok belel tadi, berjalan gontai menuju satu pintu. Dibukanya
pintu itu dan didapatkannya beberapa orang di dalam ruangan kedap suara. Setiap
sisi dinding ruangan itu dilapisi busa styrofoam tebal. Mereka banyak
mendapatkannya di Tempat Pembuangan Sampah Akhir—sumber utama bahan bangunan
gubuk tersebut. Orang-orang dalam ruangan itu sedang bermain-main dengan alat
musik mereka masing-masing. Alat musik buatan mereka sendiri yang
bahan-bahannya kau-pasti-sudah-dapat-menebak-darimana-mereka-mendapatkannya.
Mahet
tersenyum murung pada mereka semua. Seseorang berpeci Turki menyapa, “Hai
Mahet, lagu apa lagi yang kau buat?”
“Kami
menanti-nanti lagu ciptaanmu yang bercerita tentang seseorang berpeci hijau,”
celetuk seorang yang lain dengan nada menggoda sambil mengedipkan mata. Mahet
menyeringai.
“Oh Raf,
memang apa yang bisa dia lihat dari aku? Yang hanya bisa mengkhayalkan
kata-kata dan nada?”
“Setidaknya
kami bisa membuatnya jadi nyata.” Raf mengangkat bahu.
Mahet
mencoba terlihat senang untuk merespons orang-orang yang mencoba menghiburnya
ini. Mereka pandai bermusik tapi terlalu malas berupaya menciptakan sendiri
lagu mereka. Kemunculan Mahet sedikit banyak menolong mereka meski kebanyakan
lagu-lagu ciptaannya bernada pesimis—berkebalikan dengan mereka yang rata-rata
selalu menanggapi apapun dengan positif.
“Sebetulnya
sejak kemarin-kemarin aku memikirkan lagu yang menceritakan tentang sejarah
terbentuknya Kaum Parsimonious, Abun,” Mahet membalas pertanyaan dari orang
yang tadi pertama kali menyapanya.
“Bagaimana
liriknya?” teriak seseorang di pojok belakang seakan sudah siap membuat irama.
Keahliannya adalah dalam memainkan alat musik pukul.
“Sebenarnya
aku belum benar-benar merangkai liriknya. Mm, mungkin seperti ini...
dalam gubuk kecil ini kami adalah mereka
yang tergerus dari peradaban
karena tak punya cukup uang
untuk mengikuti gaya hidup masyarakat urban
jadi kami mundur dan hidup dengan cara kami sendiri
mereka menerimanya dengan cibiran dan cemoohan
menjauhlah kami ke pinggiran.”
“Nada
minor seperti biasa,” Raf mengedipkan mata pada Abun.
“tapi kami menemukan bahwa kami masih bisa
hidup
dengan cara kami yang sederhana
kami tak butuh semua barang itu
kami hanya butuh yang kami butuhkan bukan yang kami
inginkan
jika kau punya
lebih, lebih baik berikan pada yang
membutuhkan.”
Masih dengan peci hijau
bertengger di kepalanya, Sotka masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di
belakangnya sambil melanjutkan kalimat Mahet.
“Lirik
buatanmu butuh polesan lagi,” ucap Mahet gagap karena menyadari kehadiran
Sotka.
“Hei,
kayak lirik buatanmu sendiri cukup bagus saja,” ledek Raf.
“Memang
tidak ya?”
“Keluarlah
dan kembali kalau sudah mendapatkan mood.”
Mahet
menurut. Lewat pintu di sisi lain ruangan ia keluar dan mendapatkan langit
gelap bergemerlapan bintang-bintang menaungi Tempat Pembuangan Sampah Akhir
yang terhampar beberapa puluh meter jauhnya di depan. Di belakangnya tampak
siluet beberapa gundukan bukit. Perbukitan tandus yang Kaum Parsimonious
terlalu-sibuk-mengolah-sampah untuk memikirkannya.
Ia mencoba
merangkai kata-kata lagi. Yang penting adalah idenya. Bagaimana memoles
kata-katanya menjadi lirik yang mengena itu urusan nanti. Ia mengeluarkan isi
kepalanya sambil coba-coba menyanyikannya.
“mereka membeli terlalu banyak barang
dan membuangnya ke tempat kami.
negeri ini tidak tahu bagaimana mengelola sampahnya,
(meski kami tahu)
tapi mengapa mereka tetap membeli banyak barang...
kau tahu berapa banyak sampah yang bakal dihasilkan
karena itu...”
Ponselnya berbunyi
dan ia kehilangan kata-kata. Ah, biarlah. Toh yang barusan keluar dari mulutnya
itu pun terasa bagai sesuatu yang tak ada maknanya. Dibacanya sms yang masuk.
Sms itu dari temannya yang ia kenal dari kursus menjahit semester pendek yang
diikutinya setahun lalu. Kursus yang berguna karena kini ia bisa menambal
sendiri pakaiannya meskipun itu membuat bisik-bisik tetangganya semakin keras.
Mereka bisa menjadikan pakaian kurang bahan sebagai mode lalu apa salahnya jika
pakaian penuh tambalan dipandang juga sebagai suatu mode?
Yafa
menawarkan suatu pekerjaan part time
yang bisa memberinya lima ratus ribu per bulan. Ia sendiri sudah mencobanya.
Menarik! Penghasilannya selama ini sebagai penulis lagu untuk The Parsimoniy
tidak bisa dibilang cukup berarti. Band milik Kaum Parsimonious ini mengedarkan
sendiri lagu-lagu mereka. Label mayor tidak bisa menerimanya karena meskipun
komposisi musiknya kaya (bunyi-bunyian yang hanya bisa kau dapatkan dari alat
musik-alat musik hasil modifikasi berbahan sampah) akan tetapi kebanyakan
liriknya amat tidak komersil. Selain itu masyarakat pun tidak menyukai lirik
lagu-lagu The Parsimony karena isinya kebanyakan menohok masyarakat dengan
keburukan-keburukan yang mereka perbuat sendiri. Hanya segelintir manusia
idealis-realistis yang cukup berani untuk menyukai karya mereka.
Mahet
tersenyum sendiri membayangkan ia akan bisa memenuhi biaya hidupnya sendiri
tanpa harus bergantung pada orangtuanya. Orangtuanya yang masih bertahan dengan
gaya hidup masyarakat kota padahal akan lebih baik bagi masa depan mereka kalau
mereka mau menganut juga prinsip-prinsip Kaum Parsimonious sepertinya.
Ia
membalas sms temannya itu dengan menanyakan deskripsi pekerjaan itu setelah
mengucapkan terimakasih atas tawarannya.
Mari besok bertemu di Selasar Balai Kota. Akan kubawa kau
ke kantor dan mereka akan menjelaskannya untukmu.
Tidak bisakah lewat sms saja, please?
Tiba-tiba
ia ingat jangan-jangan pekerjaan ini adalah semacam MLM seperti Taishit. Kalau
benar begitu tentu saja ia tidak bisa menerima pekerjaan ini! Ia melanjutkan
mengetik sms,
Apakah ini semacam MLM? Kalau iya, aku tidak bisa. Aku
tidak yakin memiliki kemampuan seperti itu.
Bukan jadi sales, kok. Pekerjaan ini semacam menjadi
promotor produk kesehatan.
Mahet
terdiam. Tuh kan, benar. Ia tidak bisa menerima pekerjaan ini. Ia tidak bisa
menjadi bagian dari mereka yang membujuk rayu orang-orang agar jadi konsumtif.
Membeli barang-barang yang tidak mereka mereka butuhkan.
Mahet,
sebagaimana anggota setia Kaum Parsimonious lainnya, yakin bahwa mereka masih
dapat hidup sehat tanpa harus mengonsumsi produk kesehatan macam itu. Asalkan
mengaplikasikan gaya hidup sehat tentu saja. Kaum Parsimonious tahu bagaimana
mengaplikasikannya dengan cara semurah-murahnya dan sehemat-hematnya karena itu
sudah bisa dikatakan asas hidup mereka. Kaum Parsimonious memahami bahwa
sesungguhnya manusia zaman ini semakin kesusahan mendapatkan uang karena
persaingan mendapatkan penghasilan yang makin ketat dan tidak sehat. Tapi Kaum
Enturpeneer terus menerus menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Mereka mempengaruhi
masyarakat bahwa kebutuhan-kebutuhan itu harus mereka penuhi kalau tidak mau
ketinggalan zaman. Kini kita hidup di masa di mana bukan lagi kerusakan moral
akan tetapi menjadi ketinggalan zamanlah yang merupakan sanksi sosial terberat.
Namun Kaum Parsimonious terdiri dari orang-orang menengah ke bawah yang tidak
boleh begitu saja terjerat pengaruh Kaum Enturpeneer yang sangat menuntut
tingginya finansial. Mereka berhasil menggunakan akal mereka untuk memilah-milah
mana kebutuhan yang vital dan mana yang tidak. Mereka memisahkan antara
kebutuhan yang menopang hidup dengan keinginan sesaat yang tidak akan
menyebabkan kefatalan kalau tidak mereka penuhi. Prinsip-prinsip Kaum
Parsimonius—yang dirancang oleh para pemikir terdahulu mereka—begitu kuat
mereka terapkan sehingga ketika mereka mendapatkan kelebihan, itu tidak akan
mereka gunakan untuk menyenangkan diri mereka dengan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang tidak perlu, melainkan akan mereka berikan kepada orang-orang
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan vital mereka. Masih ada banyak orang-orang
seperti itu di negeri ini.
Mahet
tidak memberitahu alasan itu pada Yafa, demi hubungan baik mereka, meskipun
hubungan itu belum begitu dekat sehingga Mahet bisa mengajak Yafa untuk
bergabung dengan Kaum Parsimonious.
.
Sebenarnya
Mahet agak paranoid ketika harus memasuki kawasan pusat kota. Orang-orang pasti
memperhatikannya, entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka
akan memperhatikan penampilannya yang sederhana dan mencela pilihannya pada
produk-produk yang tidak bergengsi.
Apa boleh
buat. Pusat kota adalah pusat segalanya, di mana kita bisa mendapatkan
supermarket, toko sayur dan buah, toko daging, toko buku, perpustakan, dan
seterusnya. Mahet harus ke pusat kota setidaknya dua hari sekali untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Meski harus mengecap paranoia, setidaknya apa yang ia
dapatkan dengan indranya di sana bisa menjadi stimulan untuk ide-ide
kreatifnya.
Seperti
biasa Mahet menapaki jalan yang memisahkan deretan toko yang satu dengan
deretan toko yang lainnya. Jalanan itu tertutup paving blok yang rapat dan
tidak akan membiarkan tanah di bawahnya meresap air kecuali setetes demi
setetes yang melalui celah-celahnya. Mereka seharusnya tidak perlu menghabiskan
begitu banyak uang membuat ini, pikir Mahet. Setidaknya dengan paving blok
serapat ini. Andai mereka memilih paving blok dengan lubang-lubang yang
berumput, mereka tidak akan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh air
bersih. Rerumputan akan menghisap air hujan yang turun, menampungnya di dalam
tanah, menjadi sumber air bagi masyarakat kota...
Mahet
berbelok ke jalan raya. Ia berjalan di jalur pedestrian yang ditutupi oleh
kanopi yang ditopang tiang-tiang. Mereka seharusnya tidak perlu mengeluarkan
begitu banyak uang untuk membuat ini. Tanami saja pepohonan di sepanjang jalan
ini, yang terdiri dari jenis-jenis bertajuk rindang dengan perakaran dalam.
Jalur di pinggir pepohonan akan cukup teduh untuk menaungi pedestrian, pikir
Mahet. Polusi dari kendaraan-kendaraan yang berseliweran pun akan terserap oleh
kehadiran pohon-pohon itu.
Mahet
telah memasuki pusat perbelanjaan yang lain dan kembali menapaki paving blok.
Ia menangkap headline beberapa koran
berbeda yang dijajakan sebuah kios yang dilewatinya. Ia berhenti sebentar untuk
membaca berita apa yang tengah jadi sajian utama koran-koran itu. Rupanya
negeri ini sedang digemparkan oleh hasil sebuah penelitian yang baru-baru ini
dilakukan serentak di seluruh negeri. Penelitian ini melibatkan sekitar 10%
dari jumlah populasi penduduk dan menghasilkan suatu kenyataan mengerikan:
Kualitas Intelejensia Sumber Daya Manusia Terancam Mengalami Penurunan.
Mahet tahu
negerinya sedang dalam usaha menjadi negara maju dan tentu saja itu membutuhkan
SDM yang berotak cemerlang. Pembangunan telah dilakukan di mana-mana dan
ternyata itu menjadi pedang bermata dua. Pembangunan yang dilakukan di negeri
ini ternyata tidak memenuhi AMDAL. Banyak polutan dilepas begitu saja di alam.
Polutan tersebut banyak terhirup dan mengental bersama darah masyarakat lewat
udara, makanan, dan masih banyak lagi sumber tercemar lainnya. Polutan yang
paling berbahaya adalah Pb alias pumblum atau timbal. Hasil penelitian
menunjukkan 10% penduduk yang tersebar di seluruh penjuru negeri yang telah
hampir merata pembangunannya ini telah menurun intelejensianya akibat sering
terpapar timbal. Penelitian itu juga memaparkan bahwa semakin banyak bayi autis
yang dilahirkan di negeri ini adalah akibat paparan timbal juga.
Tidak
heran, Mahet mengerling ke arah jalan raya, kalau jumlah kendaraan bermotor
yang lewat setiap harinya sebanyak ini. Awalnya Kaum Parsimonious juga tidak
mau melepaskan ketergantungan mereka pada kendaraan bermotor karena itu lebih
murah ketimbang harus menggunakan kendaraan umum. Tapi lalu seorang pemikir di
antara mereka berhasil meyakinkan bahwa berjalan kaki dan bersepeda jauh lebih
murah daripada naik kendaraan bermotor dan keuntungan yang didapatkan jauh
lebih besar dan berjangka panjang ketimbang menggunakan kendaraan bermotor,
meskipun harus berlelah-lelah dulu karenanya. Ya, pada mulanya tidak sedikit
Kaum Parsimonious yang mengeluh kelelahan karena mencoba usul sang pemikir ini.
Mereka juga harus menahan celaan dari masyarakat yang memandang rendah mereka,
mengira mereka orang tak berpunya, karena tidak menggunakan kendaraan bermotor.
Tapi lama kelamaan mereka dapat menepis celaan itu. Mereka juga tidak merasakan
kelelahan lagi ketika harus mengayuh pedal berkilometer-kilometer jauhnya
karena mereka menyadari stamina mereka meningkat dari hari ke hari. Mereka jadi
tidak mudah sakit dan itu mengurangi anggaran untuk ke dokter.
Tapi kini
masyarakat tidak perlu khawatir, Mahet membaca di kolom lain, Perusahaan
Taishit telah menemukan tablet kalsium yang dapat mengurangi kadar timbal dalam
darah. Presiden bahkan menganjurkan masyarakat agar mengonsumsinya. Perusahaan
Taishit pun tidak mematok harga yang tinggi sehingga semua lapisan masyarakat
bisa membelinya.
Mahet
mencoba menerka-nerka berapa besar keuntungan yang dapat diperoleh Perusahaan
Taishit dari penjualan tablet kalsium ini.
Oh, oh,
sungguh pengeluaran yang tidak perlu! Masyarakat seharusnya tidak perlu membeli
tablet ini. Kalau saja mereka rajin mengonsumsi pangan yang mengandung kalsium
dalam makanan sehari-hari mereka (yang dengan semakin cepatnya zaman bergerak,
maka orang-orang pun membutuhkan makanan yang ‘cepat’. Kau tahu, gizi di
dalamnya sudah banyak terdegradasi). Kalau saja mereka mau mengurangi
penggunaan kendaraan bermotor dan menciptakan pembangunan yang bebas polusi...
“Heh, kau
pasti si Parsiomonious pelit!” Tahu-tahu pemilik kios telah berada di
sampingnya, mengawasinya.
“Darimana
kau tahu?” Mahet menatap curiga. Tubuhnya mengkeret.
“Kaum
Parsimonious adalah orang-orang kikir yang inginnya mendapat gratisan...” desis
si pemilik kios bengis. Mahet ingat kata ‘gratis’ memang ada di salah satu sila
Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious dan jelas si pemilik toko ini bukanlah orang
yang ‘ikhlas’. “Dan kalian suka membeli barang-barang murahan, saking kikirnya
kalian...”
“Hei, kami
lihat-lihat kualitas juga, tahu!”
“Kau harus
bayar kalau mau membaca koran ini!”
Pemilik
toko itu mengusirnya. Mahet beringsut menjauh. Seorang ibu berpakaian modis
menarik anaknya, yang pakaiannya senada dengan ibunya, menjauh begitu jarak
Mahet dengan mereka berdekatan. Mahet hanya bisa menelan kepahitannya. Namun ia
punya sesuatu yang bisa menjadi topik menarik untuk dibahas dalam pertemuan
rutin berikutnya!
.
Orang tua
itu tak bisa menyembunyikan ketakutannya. “Mereka memeriksa kandungan timbal di
darahku dan mereka menyuruhku mengonsumsi banyak tablet kalsium...”
Semua
orang dalam keremangan ruang utama menyimak perkataan orang tua tersebut dengan
serius.
“Karena
aku juga sering membawa cucuku tersayang berjalan-jalan di kota, maka aku
khawatir ia terpapar juga. Padahal ia masih berumur 6 tahun! Ia baru akan
menginjak Sekolah Dasar! Ia membutuhkan kecerdasannya!” Orang tua itu memandang
sekitarnya sambil mengumpulkan keberanian untuk berbicara, “Bolehkah aku
memberinya tablet kalsium?”
“Kau tidak
perlu memberinya,” sahut Sotka tenang. Semua mata menatap ke arahnya. Sebagian
besar terkejut—terutama si orang tua—dengan perkataan pemuda yang yang kerap
menjadi pemimpin pertemuan itu. “Cucumu makan tiga kali sehari kan? Jika setiap
ia makan, kau berikan ia makanan yang mengandung banyak kalsium, aku rasa itu
sudah cukup. Kau cukup memberinya susu di pagi hari, ikan teri dan brokoli di
siang hari, dan yoghurt di malam hari. Itu semua mengandung kalsium dan kau
tidak usah memberinya lagi tablet kalsium. Masih banyak contoh makanan lainnya
yang mengandung kalsium. Mereka membuatmu ketakutan, itu taktik mereka agar kau
membeli produk mereka.”
“Ya, aku
pikir itu lebih efektif,” seseorang menanggapi. “Masukkan pangan yang
mengandung kalsium dalam menu harianmu. Kau tidak lagi membutuhkan tablet
kalsium.”
“Lagipula
kita tinggal di pinggiran kota, tersisih dari masyarakat pemakai kendaraan
bermotor. Sedikit kita hirup asap kendaraan di sini dan bukankah kita juga
menjaga dengan ketat limbah pabrik pengolahan sampah kita? Bahkan kita
memanfaatkan limbah untuk sesuatu yang dapat berguna untuk kita! Kita tidak
begitu saja membuangnya dan mencemari lingkungan, bukan?”
“Tunggu,
bukankah jika kita menggunakan lagi limbah itu... Apakah di dalamnya masih
terdapat polutan?”
“Hei,
percayalah pada para ilmuwan kita! Kita punya beberapa ilmuwan yang secara
sukarela bekerja di sini dan tidak terikat kegilaan materi!”
Hampir
saja terjadi perdebatan yang mengarah pada kesengitan antara dua orang itu.
Sotka menepuk tangannya berkali-kali untuk menengahi.
“Intinya,
kita semua juga punya potensi untuk terpapar. Setelah ini kita harus melakui
pemeriksaan, sudah aku siapkan beberapa orang kita yang kompeten dalam hal itu.
Beberapa di antara mereka adalah masyarakat kota tapi mereka adalah simpatisan
kita.”
“Kalau
begitu, berarti kita memang membutuhkan tablet kalsium?!”
“Oh, Gia,
kau bilang begitu seakan kita tidak akan bisa hidup tanpa mengonsumsi tablet
itu. Bukankah itu racun Kaum Enturpeneer?” seseorang memprotes dan yang disebut
Gia langsung diam.
“Ya tentu
saja dia sudah terpengaruh. Aku melihatnya kemarin mengganti ponselnya padahal
kalian tahu ponselnya yang lama masih berfungsi dengan baik,” seseorang bicara
dengan ketus.
“Tenanglah
kalian semua!” suara Sotka menggelegar, mendiamkan ruangan utama yang dipenuhi
oleh suara orang-orang saling berdebat.
“Sotka!
Sotka!” seseorang mencoba menarik perhatiannya. Setelah ia berhasil mendiamkan
orang-orang, ia mempersilahkan orang itu berbicara. “Aku rasa memang benar apa
yang dikatakan masyarakat, kita terlalu ekstrim dalam menghemat.”
“Kau bisa
bicara begitu karena asalmu dari kalangan menengah ke atas,” sela seseorang
dengan nada benci.
“Ya, kita
menerapkan prinsip-prinsip ini karena dengan beginilah kami bisa tetap bertahan
hidup, tapi masih bisa tetap memberi orang lain, sampai saat ini.”
“Kalau kau
tak suka dengan ini semua, gabung saja dengan masyarakat konsumtif di pusat
kota sana!” tambah yang lain dengan kemarahan tertahan.
“Hei,
maksudku tidak sampai seperti itu. Kita beri kelonggaran sedikit saja dalam
prinsip kita—maksudku, lambat laun tablet kalsium akan menjadi kebutuhan vital
bagi kita di tengah kemajuan zaman ini!”
“Ya, dan
itu yang juga mereka lakukan dengan silikon dan Konstipastop,” seseorang berkata
sambil mendelik kepada Terimb dan Hilda bergantian. Keduanya kebetulan saja
sedang menghadiri pertemuan rutin yang jarang-jarang mereka hadiri itu.
“Memang
itulah hasrat para Kaum Enturpeneer, mereka membuat kita membutuhkan barang
yang sebetulnya tidak kita benar-benar butuhkan! Mereka membuat barang itu
menjadi vital artinya bagi kita!”
“Tapi tak
bisa kita pungkiri bahwa kita juga sudah terjerat pengaruh mereka. Orang zaman
dulu masih bisa hidup tanpa ponsel? Sekarang? Aku tak akan bisa mendapatkan
pekerjaanku yang sekarang kalau aku tidak memberikan nomor ponselku dan itu
sebabnya aku punya ponsel...”
“Ya, ya,
kau benar,” sela Sotka. “Memang ada beberapa barang yang pada akhirnya menjadi
bagian dari kebutuhan kita sehari-hari. Kita tidak bisa menghindar dari
kemajuan zaman. Tapi bukan berarti kita harus mengikuti arusnya begitu saja.
Karena jika demikian kita akan mulai menghabiskan uang kita untuk barang-barang
yang kurang penting—yang Kaum Enturpeneer membuatnya seolah-olah barang itu
sangat penting—padahal sebetulnya kita tidak membutuhkan barang itu sama
sekali. Barang itu hanya terpakai sekali lalu tidak kita acuhkan sama sekali,
menumpuk begitu saja di gudang. Padahal seseorang di luar sana mungkin lebih membutuhkannya
daripada kita. Mungkin bukan benar-benar barang itu yang dia butuhkan, tapi
uang yang digunakan untuk membeli barang itu, yang dia butuhkan untuk memenuhi
kebutuhan vitalnya!
“Memang
seiring dengan perkembangan zaman kita tidak bisa bertahan hidup hanya dengan
pangan, papan, dan sandang saja. Itu kebutuhan manusia primitif! Sekarang kita
butuh ponsel, bahkan tukang cendol pun butuh! Ponsel tidak bisa digantikan
fungsinya dengan telepon biasa, yang kalau kau bawa ke mana-mana kabelnya akan
copot dari colokannya dan memutus urusan pentingmu atau malah kau tersandung
karenanya, atau mungkin dengan barang lainnya... apalah. Memang ada
toleransi-toleransi semacam itu. Tapi selama kita masih bisa menemukan barang
pengganti, mengapa tidak? Dalam hal tabet kalsium, aku sudah menyebutkan
beberapa contoh penggantinya.”
“Sotka
mulai panas nih,” seseorang berbisik di kuping Mahet, membuatnya terkikik
kecil.
“Ya,
jangan menerapkan Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious secara picik. Sila satu
saja menyuruhmu agar menggunakan akal pikiranmu.”
“Mereka
mengatakan kita terlalu kikir... Kata guruku kikir itu tidak baik,” seorang
anak menyahut pelan.
Sotka
memandangnya, “Kita menyimpan setiap kelebihan dari penghematan kita dan
memberikannya sebagian untuk orang-orang yang kekurangan, apa itu disebut
kikir? Kita tidak menggunakan kelebihan itu untuk membeli barang-barang yang
kurang perlu!”
Seseorang
berdeham yang kedengarannya seperti, “Kembali ke masalah tablet kalsium.”
“Terimakasih
telah mengingatkan.” Sotka menyapu pandangannya pada semua orang yang memenuhi
ruangan remang-remang itu. “Jadi, apa kita akan menoleransi penghematan kita
untuk tablet kalsium? Aku rasa tidak.”
“Hei,
memangnya kau pikir kita semua punya uang untuk membeli susu dan semacamnya
itu? Itu kan barang mahal. Aku tidak mungkin punya uang untuk membelikan
anak-anakku susu setiap hari!”
“Ya, dia
benar!”
Ruangan
itu dipenuhi suara-suara protes. Sotka mengusap mukanya. Ia mengira telah
berhasil menentramkan mereka tapi ternyata belum. Mahet mengamati Sotka dan
merasa iba padanya. Seharusnya ia sebagai orang muda dari kaum ini mampu
memikirkan sesuatu yang bisa memecahkan masalah. Tapi apa? Tiba-tiba ia ingat
akan pikirannya kemarin siang bahwa akan lebih baik jika jalur pedestrian
diganti dengan pepohonan...
Mahet
mengacungkan tangan.
“Hei,
penulis lagu kita mau bicara!” seru Raf menarik perhatian.
“Ya,
kembalilah tulis lirik-lirik nakalmu dan buat kita makin dicela!”
“Hei,
lirik-lirik yang dibuat Mahet itu revolusioner tahu!” Raf hampir saja berdiri untuk
menghajar orang yang barusan bicara itu kalau saja Abun tidak menahannya.
“Bicaralah,
Mahet!” ujar Sotka.
Mahet
merasa mukanya memanas ketika ia berdiri dan berbicara, “Aku rasa, keterbatasan
seharusnya dapat membuat kita lebih kreatif.”
“Langsung
saja, Mahet!”
“Baiklah,
kita berada di pinggiran kota yang tandus...”
“Karena
setiap lahan yang subur segera dirampok Kaum Enturpeneer begitu mereka
menemukannya!” timpal Raf.
“Itu ada
dalam lirik salah satu lagu di album kedua kami, kalian harus mendengarkannya,”
Abun menambahkan.
Beberapa
orang tertawa. “Huu, promosi!”
“Tapi kami
tidak menyuruh kalian membelinya! Kami hanya meminta kalian memasukkan harga
yang pantas di kenclengan ayam kami, untuk biaya produksi! Itu pun kalau kalian
berkenan dan ikhlas!” bela Abun. Sotka segera membentaknya untuk diam.
Mahet
melanjutkan. “Bukannya lahan tandus itu tidak berguna. Kita melewatkannya
karena selama ini kita hanya sibuk-sibuk dengan sampah-sampah kita—“
“Masyarakat
kota membuang semua sampah mereka ke tempat kita.”
“Dan
kebanyakan dari sampah-sampah itu masih bisa diolah untuk dimanfaatkan!”
“Raf,
Abun, diamlah atau kukurung kalian dalam studio kalian, SELAMA-LAMANYA.”.
“Aku
takut,” kata Raf tanpa ekspresi. Abun terkekeh. Lalu mereka berdua benar-benar
diam.
“Kita bisa
menggunakan produksi kompos kita untuk menyuburkannya. Kita tanam dengan
tanam-tanaman yang mengandung banyak kalsium. Lalu kita ternakkan banyak sapi
perah untuk memberi kita susu, dan kita bisa mendapatkan banyak hasil
olahannya.”
Orang-orang
terdiam sampai seseorang menyahut, “Ya, kita tidak pernah berpikir tentang
sektor agrokompleks. Kita selalu berpikir tentang hal-hal di luar itu, mengirim
anak-anak kita ke kedokteran dan teknik... Itu sangat paradigma masyarakat
kota.”
“Tapi kita
memang membutuhkannya. Setidaknya untuk komunitas kita sendiri.”
“Ya, tapi
semuanya harus merata, seimbang, adil. Bukankah begitu arti pembangunan
seharusnya?”
Memang ada
beberapa perdebatan lagi tapi pada akhirnya pertemuan rutin itu ditutup dengan
kesepakatan untuk membentuk tim kerja pemanfaatan bukit tandus di belakang
Tempat Pembuangan Akhir.
.
Mahet,
Raf, Abun, dan si ahli alat musik pukul duduk gelisah dalam studio.
“Mengapa
Sotka lama sekali?” tanya Abun.
“Untuk
memberi kalian waktu untuk melakukan latihan solo. Ayo kalian semua, mainkan
lagi alat musik kalian!”
“Ah,
Mahet, meski berkata begitu aku tahu kau sangat mencemaskannya, haha...” Raf
tak tahan untuk menggoda Mahet, setidaknya itu cukup untuk mencairkan
kegelisahannya. Tadi di tengah latihan, seseorang datang memanggil Sotka untuk
menjadi wakil pemuda dalam pertemuan dengan Kaum Enturpeneer. Semua orang dalam
studio tersebut langsung ternganga.
“Mau apa
para bangsat itu datang kemari? Hidup kami sudah susah untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari tanpa harus dipengaruhi bujuk rayu mereka!” umpat Raf.
“Raf,
seharusnya tadi kamu melengking seperti itu di bait ketiga,” ucap Mahet
spontan.
“Tenanglah,
teman-teman. Aku tak bisa mendengarnya bicara!” volume suara Sotka membesar.
“Mau apa mereka ke sini?”
“Entahlah.
Mungkin membicarakan soal kerjasama?” jawab pemanggil itu seadanya.
“Kerjasama
apa?” Sotka mengerutkan dahi.
“Entahlah,”
jawab orang itu lagi. “Aku percaya kau akan mampu mengatasi ini bersama para
tetua. Ayo, mereka semua sudah menunggu.”
Sotka menaruh
alat petiknya dan pergi keluar ruangan bersama orang itu.
“Jadi apakah benar isu itu?”
si ahli alat musik pukul bersuara. “Taitshi menaikkan harga obat kalsium.
Banyak perusahan pesaing. Kehabisan bahan baku. Masyarakat resah karena
persedian obat kalsium menipis?”
“Oh, ayolah, yang perlu
mereka lakukan hanya mengurangi kendaraan bermotor, lalu naik kendaraan umum,
bersepeda atau berjalan kaki seperti kita. Dan semua permasalahan beres! Polusi
akan berkurang drastis dan mereka akan menjadi lebih sehat dan lebih bahagia,”
Mahet mengangkat kedua tangannya ke samping.
“Sesimpel
itukah?”
“Raf,
pakai otakmu dong.”
“Kabarnya
mereka tahu kalau kita punya cadangan kalsium yang cukup banyak,” lanjut si
ahli alat musik pukul.
“Tentu
saja, sapi-sapi kita gemuk-gemuk kok,” timpal Abun.
“Dan kita
bisa mengubah gurun jadi ladang brokoli atau tambak ikan teri.”
“Kita
tidak punya gurun, Raf.”
“Aku
menyebut bukit-bukit tandus di belakang itu gurun.”
“Tapi
gurun tidak seperti itu.”
“Kurasa
Mahet lebih cocok dengan Raf daripada dengan Sotka,” Abun mengerling pada si
ahli alat musik pukul. Mahet dan Raf merengut. Ahli alat musik pukul
melanjutkan, “Jadi aku dengar-dengar mereka hendak menanam investasi di sana.”
Butuh
beberapa menit bagi ketiga temannya untuk memikirkan hal itu dan
menyambungkannya dengan bayangan masa depan mereka.
“Jadi kaki
tangan Kaum Enturpeneer? Taishit sialan! Sampai kapan pun aku tak sudi! Kita
harus mempertahankan tempat kita!” Raf menendang kursi di depannya.
“Hei,
tenanglah Raf! Itu belum terjadi!” Abun dan si ahli alat musik pemukul segera
bangkit untuk mencegah Raf merusak seluruh isi studio.
“Laguku
berikutnya akan berjudul ‘Enturpener Keparat’...” sahut Mahet nyinyir. Sudah
cukup masyarakat kota, dengan Kaum Enturpeneer di belakang mereka, mencela-cela
gaya hidup Kaum Parsimonious. Mereka menyebut kaumnya gila hemat, kikir,
miskin, dan sebagainya. Kini, setelah Kaum Parsimonious berhasil menyimpan
manfaat dari gaya hidupnya selama ini, mereka hendak merebutnya! Mereka pikir
darimana Kaum Parsimonious berhasil membangun ladang kalsium yang luas dan
kaya? Semua bibit untuk membuat itu didapatkan dari tabungan Kaum Parsimonious,
yang mencari penghasilan dengan gigih dan mengatur pengeluaran seirit mungkin
agar bisa menyimpan kelebihannya untuk hari-hari ke depan!
Raf
berhasil didiamkan dan mereka semua menyimpan kegelisahan mereka masing-masing
sebagai usaha untuk menghindari konfrontasi.
Pintu
studio terbuka.
“Kau lama
sekali, Sotka!” suara Raf hampir seperti bentakan. Sotka tampak kaget
dibuatnya. Ia meraih alat petiknya kembali, duduk di kursinya, dan mulai
memainkannya lagi.
“Hei,
jangan bertingkah seolah tak ada apa-apa seperti itu!” emosi Raf meluap. Sotka
menoleh dengan pandangan letih. “Setengah jam kami membentak mereka, menghalau
mereka agar tidak merampas apa yang kami bangun dengan susah payah, lalu
menjualnya dengan harga tinggi pada masyarakat. Sementara kami di sini hanya
mengambil secukupnya untuk kami, secukupnya untuk orang-orang yang kekurangan,
dan sisanya untuk masyarakat kota simpatisan yang sudah tidak kebagian tablet
kalsium lagi. Lalu apa yang mereka bilang sebelum mereka pergi? Mereka bilang
mereka akan kembali lagi. Kalian tahu apa artinya itu.
“Sekarang
kalau kalian ingin agar aku bicara lebih, dengarkan saja suara alatku ini. Aku
benar-benar butuh rileks sejenak sebelum memikirkan bagaimana nanti kalau
mereka datang ke sini lagi. Kalian tahu, apa yang mungkin bakal terjadi.”
Setelah
itu Sotka diam dan memainkan alat petiknya dengan brutal.
“Apa
memang artinya?” Raf menoleh ke arah lain, meminta jawaban.
“Seperti
anak angsa di tengah kawanan anak itik. Sekuat apapun si anak angsa melawan,
jumlahnya tetap tidak lebih banyak dibandingkan anak-anak itik itu,” jawab
Mahet. “Oke, mungkin itu bukan analogi yang terlalu tepat.”
Raf masih
memandangnya dengan penuh ketidakmengertian.
“Kaum
Enturpeneer akan masuk ke wilayah kita dengan menunggangi masyarakat kota yang
congkak... Mereka akan menguasai wilayah kita. Mau tak mau kita harus berbaur
dengan mereka sampai kita bisa menemukan tempat baru. Bayangkan kalau kita
harus berbaur dengan mereka? Beberapa dari kita mungkin tidak akan
terkondisikan. Kaum Enturpeneer akan terus mengeluarkan bujuk rayu mereka dan
kita, yang berada di posisi lemah, bisa apa selain menuruti mereka? Lepaslah
prinsip-prinsip kita,” Sotka tak tahan untuk tidak berbicara. “Pada akhirnya,
mereka akan membuat kita merasa tidak bisa hidup kalau tidak mengikuti gaya
hidup mereka.”
“Hai,
Sotka, kau ikut-ikutan pesimis seperti Mahet!” celetuk Abun.
Mahet
cemberut. Oh, andaikan mereka tahu... Mereka adalah bagian dari Kaum
Parsimonious yang terlalu lama tinggal di ‘surga’ mereka, tak berbaur dengan
‘peradaban’ di tengah kota. “Kalian tahu, aku termasuk salah satu yang tetap
tinggal di kota sementara sebagian kalian menyepi di pinggiran kota. Aku ke
sini hanya untuk pertemuan rutin dan menemui kalian. Selebihnya waktuku
kuhabiskan di kota, bersama keluarga dan tetanggaku dan kau tahu, merekalah
orang-orang itu! Orang-orang yang terjerat senjata bujuk rayu Kaum Enturpeneer.
Sebagian besar teman-temanku juga dan aku hampir putus asa sampai aku menemukan
kalian. Tapi itu tidak serta merta melabuhkan diriku terus menerus di sini. Aku
masih bisa bertahan di kota, yang merupakan sumber inspirasiku, sehingga aku bisa
memberikan kalian lirik-lirik ‘nakal’ itu, karena aku mengamati dan mengalami
benar-benar keburukan mereka. Dan inilah aku, contoh nyata seorang Parsimonious
bisa bertahan di tengah masyarakat konsumtif. Kalian mestinya juga bisa dan
lebih kuat daripada aku. Ayo, kita bertahan dengan prinsip-prinsip kita dan
tunjukkan pada orang lain bahwa apa yang kita lakukan adalah benar, maka
mungkin mereka akan mengikuti kita. Meski itu mungkin membutuhkan waktu yang
tidak sebentar...”
“Apa judul
lagu yang tepat untuk lirikmu yang panjang tadi itu?” Sotka menunjukkan
ketertarikkannya.
“Mempertahankan
Prinsip!”
200709, 18.48 WIB
aku tau ini masi sangat kurang
Minggu, 05 Juli 2009
Tragedi Vampir Kelaparan
Muka dan telapak
tangan mereka lengket pada kaca jendela lantai dua. Mereka sedang mengamati apa
yang terjadi di bawah. Tepat di tepi halaman rumah, sebuah mobil colt buntung baru saja berhenti. Baknya
memuat beberapa kuli angkut serta barang-barang perabotan rumah tangga yang
tampak antik. Namun ada satu benda yang benar-benar menarik perhatian mereka.
Peti mati.
Peti mati itu
bentuknya tidak persegi panjang benar. Terdapat tiga sisi di bagian pangkal
lalu menyempit di bagian ujung yang hanya memiliki dua sisi. Peti tersebut
terbuat dari kayu dan kelihatan sangat tua, setua warna coklatnya. Bisa dilihat dari permukaannya yang tidak lagi mulus. Ada
bagian yang seperti sudah digerogoti rayap.
Dari dalam rumah
keluarlah seorang pria paruh baya berkacamata dengan perawakan kurus dan agak
tinggi. Rambut cepak berwarna putih dan hitam tersebar acak di kepalanya. Rompi
wol menutupi kemejanya yang kedua bagian lengannya setengah tergulung;
melindunginya dari serangan angin dingin di petang yang agak mendung. Celana
bahannya licin kaku disetrika namun jika kita telusuri terus ke bawah tampaklah
bahwa pria itu hanya mengenakan sandal jepit. Pria itu berbicara pada sopir colt buntung sambil menunjuk ke arah
kos-kosan di sebelah rumah itu.
Colt buntung pun menggeram kembali lantas
berjalan dengan kalem ke sebelah rumah.
Kembali ke lantai
dua rumah tersebut, Vido melepaskan muka dan telapak tangannya dari kaca
jendela. Ia menoleh pada anak di sebelahnya yang masih mengikuti gerakan mobil
dengan sudut matanya. Tak lama, Ghira akhirnya menyadari juga bahwa sobatnya
sudah kembali tidur-tiduran di kasur sambil menekuni set ensiklopedia
terbarunya. Berbinar-binar pandangnya pada bocah berkacamata
tebal itu.
“Vido, kamu liat
nggak tadi? Peti mati!” sahutnya, namun lebih terdengar seperti pekikan.
Vido tak bisa
menyembunyikan lebih lama lagi sikap sok cueknya. “Mau menyelidiki?”
Keduanya bertukar
pandang lantas seketika berebutan keluar dari dalam kamar. Dengan langkah kaki
yang menggebu-gebu dan ocehan penuh antusiasme, mereka menimbulkan kegaduhan
apalagi ketika sedang menuruni tangga.
“Hei, jangan
lari-lari begitu kalian, jatuhlah entar!” Seseorang memperingatkan namun mereka
tidak memedulikan. Sesampainya di halaman samping rumah, terburu-buru mereka
mengenakan alas kaki karena ingin segera melesat ke kos-kosan sebelah.
Mereka mendekati
pria berompi wol tadi, yang kini telah ada di sana untuk mengamat-amati proses
penurunan muatan dari dalam bak menuju ke ruangan pojok di lantai dua kos-kosan
tersebut. Kos-kosan tersebut bentuknya seperti bingkai foto kalau dilihat dari
atas; berbentuk persegi panjang dengan lubang berbentuk persegi panjang juga di
tengahnya.
“Pi, Papi, barang-barang
ini untuk apa sih, Pi?” tanya Vido begitu dekat pria tersebut. Nafasnya masih
tersengal-sengal.
“Ada aa-aa baru
yang mau pindahan ya, Om?” Ghira menambahkan pertanyaan dengan sengalan pula.
“Hm?” Papi Vido
menunduk untuk menjawab pertanyaan para lawan bicaranya. “Ini barang-barangnya
teman Papi.”
“Kenapa, Om?”
“Teman Om dapat
warisan
rumah tua begitulah. Rumahnya mau dibetulin jadi
barang-barangnya harus disingkirin dulu. Mumpung di kos-kosan masih ada yang kosong ya nggak apa-apalah di Om
dulu...”
“Tapi kok ada peti
matinya sih, Pi?”
“Iya, apa nggak
serem, Om?”
Papi Vido hanya
tertawa. Beberapa anak muda penghuni kos mendekatinya untuk menanyakan hal yang
sama dengan Ghira dan Vido tadi. Kedua bocah itu pun beringsut menjauh lalu
berjalan-jalanlah mereka masih di sekitar areal kos-kosan.
“Ghir, peti matinya
kira-kira ada isinya nggak ya?”
“Iya, penasaran nih
Vid.”
“Cari tahu, yuk!”
“Caranya?”
“Peti matinya kita
buka!”
“Hah? Entar kalau ada isinya gimana, Vid? Ah, serem ah, Vid...”
“Eh, belum tentu
lagi isinya makhluk hidup. Atau sesuatu yang dulunya pernah hidup.”
“Dua-duanya
nyeremin ah, Vid.”
“Heu, ya udah balik
aja yuk kalau gitu ke kamar.”
Ghira menahan
lengan Vido yang sudah hendak menuju ke rumahnya kembali. “Tapi penasaran,
Vid...” Ghira meringis.
“Jadi?”
“Tapi rada maleman
aja yuk, biar seru...” Vido bisa menangkap binar-binar dalam pandangan Ghira.
“Beneran?”
Terlihat masih ada
sedikit keraguan pada air muka Ghira. Namun itu perlahan sirna digantikan oleh
anggukan sumringah.
Vido menepuk
dahinya dan menjatuhkan kepalanya ke belakang. Ia tidak mengerti akan jalan
pikiran sahabatnya ini.
“Lanjutin baca ensiklopedianya yuk!” Ghira merangkul pundak
Vido dan serta merta menggiringnya ke dalam rumah.
Ghira memandang gentar
bulan purnama yang tersaput awan tipis di langit ungu gelap. Di belakangnya
Vido sedang mencari batre dalam laci-laci untuk diisikan ke dalam senternya.
Begitu menemukan, memasukkan ke dalam lubang batre, dan menutup lubang tersebut
kembali rapat-rapat, dengan ceria Vido memanggil, “Yuk, Ghir! “
Ghira menoleh dengan takut-takut. “Kamu yakin,
Vid?”
“Ih, kan kamu yang
tadi semangat mau. Gimana sih?” Dengan gerakan cepat Vido mematikan lampu kamar
dan berlari ke luar sambil tertawa-tawa disusul Ghira yang berteriak-teriak
histeris. Sambil menuju halaman samping mereka melewati pantry. Mami Vido menutup koran yang sedang dibacanya. “Ghira udah
bilang mamanya mau nginep belum?”
“Udah, Tante.”
Ghira nyengir sopan.
“Loh, ini mau ke
mana keluar malem-malem?”
“Main ke kos-kosan sebelah, Mi,” jawab Vido sambil mengenakan
sandalnya. “Pulangnya jangan kemaleman ya. Balik sebelum jam sembilan ya.”
“Iyaaa..”. jawab
Vido dan Ghira kompak sambil mulai menyusuri halaman rumah Vido yang luas
berumput. Ghira selalu mencoba menjejeri Vido dan tidak mau mereka terlalu jauh
berjarak. Vido yang menyadari hal itu iseng mempercepat langkahnya sekali-kali,
membuat nafas Ghira makin memburu. Akhirnya sampailah mereka di dalam areal
kos-kosan. Sambil berjalan menuju ruangan pojok di lantai dua yang menjadi
tempat menyimpan peti mati yang jadi tujuan mereka, mereka menyapa anak-anak
kos yang mereka temui. Vido melakukannya dengan santai sambil memendam kegelian
akan sikap Ghira yang begitu kentara menunjukkan ketakutannya.
“A, nggak ngapel,
A, malem minggu gini?”
“Boro-boro ngejar
cewek, ngejar tenggat waktu ngumpulin laporan praktikum dulu nih!”
“Eh, Vido, Ghira...
ngapain?”
“Maen, A.”
“Ghira kenapa
mukanya kek orang yang mo mati gitu?”
Vido terkekeh.
Entah mengapa Ghira merasa tubuhnya makin lemas saja.
Akhirnya setelah
melalui perjalanan yang bagi Ghira terasa amat panjang dan menyita energi itu,
terutama ketika menaiki tangga, sampailah mereka di sayap bangunan di mana
ruangan yang mereka tuju berada di ujungnya. Tidak ada lampu luar yang
menerangi sayap ini. Deretan kamar pada sayap ini memang belum semuanya ada
aa-aa yang mengisi. Entah kalau makhluk lainnya, hiii... Pikiran ini
membuat Ghira makin merinding saja. Bahkan untuk merengek agar kembali saja
pada Vido sekalipun dia tak sanggup.
“Ayo, Ghir.” Dengan
enteng Vido menyalakan senternya dan mulai menembus kegelapan di depan sana.
Ghira heran mengapa Vido tampak seperti tidak memiliki kekhawatiran sedikit pun
akan kemungkinan munculnya sesuatu... nanti... Menyadari jaraknya dengan Vido
semakin jauh, dan ia juga tidak bisa membiarkan Vido beraksi tanpa dirinya,
cepat-cepat Ghira mengejar Vido. Hampir-hampir ia menubruk sahabatnya itu.
Kamar itu tidak
berpintu dan tidak bertirai. Tampaknya memang sengaja diperuntukkan sebagai
gudang. Tanpa perlu menyoroti dengan lampu senter pun, pemandangan dalam kamar
tersebut sudah dapat dibedakan dengan jelas berkat adanya sinar bulan purnama
yang sedang terang-terangnya.
Ghira bisa
mendengar Vido menghirup nafas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam
kamar. “Bismillah dulu, Ghir,” katanya kemudian masih dengan nada tenang. “Ayo
nggak usah takut gitu.”
Vido mendapati
Ghira mengkeret di belakangnya, menarik ujung kemeja polonya. Vido
menggeleng-gelengkan kepala. Timbul gagasan usil dalam benaknya. Secepat kilat
ia berputar hingga pegangan tangan Ghira pada ujung bajunya terlepas. Ghira
menjerit. Ia berputar-putar seperti anak ayam kehilangan induknya, seakan-akan
tidak ada penerangan sama sekali di situ hingga ia tak bisa menentukan arah.
Tanpa sempat Ghira waspadai, Vido menerjang bocah itu dari belakang. Meledaklah
teriakan Ghira. Juga tawa kencang Vido.
Mereka berdua jatuh
berguling di lantai ubin yang dingin. Vido masih bisa tertawa sampai menyadari
bahwa lengan Ghira terluka. Rupanya saat mereka terguling tadi, entah benda apa
yang telah menggores lengan Ghira hingga menimbulkan luka panjang berdarah.
“Aduh, Ghira, maaf,
saya nggak tahu...” Vido tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya.
“Eh, nggak apa-apa
kok, Vid,” ujar Ghira sok tenang padahal sedang ia tahannya
perih yang tiba-tiba mendera lengannya itu. “Dijilat juga sembuh.”
Vido langsung
mencegah tindakan sobatnya itu. “Jangan ah, kayak kucing aja. Ya udah yuk,
balik aja. Diobatin dulu lukanya. Entar takutnya kamu kena tetanus.”
Ghira menyadari
bahwa itu merupakan kesempatan untuk membatalkan niat mengeksplorasi peti mati
dalam gudang ini, tapi entah kenapa kejadian itu malah membuat keberanian
tumbuh dalam jiwanya. Dipikirnya, sudah
sampai berdarah-darah gini kok malah gitu aja balik kanan... Nggak jentel
amat... Meski Ghira tidak mengerti amat apa artinya jentel itu.
“Entar ajalah Vid, ini mah.
Bisa nanti aja habis ini. Nanggung udah ampe sini.”
Vido
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak sok heran. Padahal bisa
dipahaminya sikap plin plan temannya itu. Ghira memang perlu didorong terus
menerus supaya bisa sampai ke tujuan, sebab kalau tidak bisa-bisa ia berhenti
di tengah jalan karena dihadang keraguan. Ia membantu sobatnya itu bangkit lalu
mereka berdiri berjejer di salah satu sisi peti mati itu.
“Kita apain ya,
Ghir, ini peti mati?” Vido memancing.
“Mmm... Tunggu
sebentar, saya ada ide!” Ghira memejamkan mata sambil mengacungkan tangannya
dengan semangat. “Gimana kalau kita Uka-Uka aja?”
Vido melihat
arlojinya. “Sekarang udah jam delapan lebih, Ghir. Jam sembilan kan kita harus
balik. Masak Uka-Uka cuman kurang dari satu jam? Entar diketawain Hari
Pantja dong.” Vido membuka ingatan akan acara hantu-hantuan yang pernah eksis
beberapa tahun silam. Padahal waktu itu ia masih kecil sekali. Namun ia juga
tahu kalau Uka-Uka bukan salah satu sesi dari Dunia Lain, melainkan program
semacam di stasiun televisi lain. Jadi sesi semacam itu di Dunia Lain namanya
Uji Nyali, bukan Uka-Uka. Ghira bahkan tidak tahu persis apa itu Uka-Uka. Dari
hasil mengikuti pembicaraan para aa di kosan tersebut, ia hanya tahu kalau
Uka-Uka itu adalah kegiatan mendekam lama malam-malam di kuburan atau tempat
angker lainnya.
Padahal memang itu
maksud Ghira; supaya mereka tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu.
Tiba-tiba rasa takutnya menyesap kembali. Tapi ia belum menunjukkannya pada
Vido. Sementara itu Vido merasa sudah saatnya mengajukan pikirannya. “Saya
punya ide yang lebih baik, Ghir. Gimana kalau kita buka aja peti mati—“
“Nggak!” pekik
Ghira sementara Vido malah sudah mengambil handycam
dari
saku celananya.
“Kita lihat apa
isinya...” Vido tidak mengacuhkan respons Ghira yang penuh kengerian itu. Dengan
tenang ia menyalakan handycam-nya.
“T—t—tappii... Vid,
kkkita... kkan nggak t—tau appa is—isinya...!” Ghira merasa malu berbicara
gagap seperti itu namun apa boleh buat, rasa takutnya sudah naik sampai ke
ubun-ubun. Kini ia sepenuhnya dikendalikan oleh itu. Ia sudah lemas saja.
Keringat dingin sedang menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Karena itu makanya
kita liat,” sahut Vido masih dalam ketenangannya. “Takutnya disimpen buat nanti
ajalah, Ghir, kalau udah keliatan apa isinya, hihihi...”
Vido menyeringai,
menambah tinggi saja stadium keremangan bulu kuduk Ghira.
“Ghir... Ghir...”
panggil Vido, mencoba mengembalikan Ghira ke alam nyata. “Kamu nggak apa-apa
kan?”
Ghira tidak kuasa
berkata-kata.
“Udahlah Ghir,
tenang aja. Kalau orang udah mati mah
ya mati aja, nggak bakal hidup lagi... Kan kata Pak Karim juga gitu. Yang
biasanya gentayangan itu bukan si orang matinya tapi jin. Entar kalau ada jin
kita baca Ayat Kursi aja...
“Ya kan, Ghir?”
panggil Vido lagi. Dengan penjelasan tersebut ia mencoba memberikan sedikit
ketenangan pada sobatnya. Perlahan urat ketegangan Ghira mengendur. Vido
menunggu beberapa lama sampai Ghira benar-benar tenang. “Capek deh...” desahnya
diam-diam.
“Udah siap, Ghir?”
Satu tangan Vido sudah berada di tepian tutup peti mati sementara tangan
satunya lagi siaga dengan handycam
menempel.
“Ya...” ucap Ghira
tidak yakin.
“Satu... dua...
tiga....” Tutup peti mati itu ternyata berat sekali. Entah terbuat dari kayu
apa. Vido sedang menimbang-nimbang antara eboni, jati, dengan cendana. Kalau
dilihat dari warnanya yang agak terang sih... Tapi memangnya kayu peti mati ini
berasal dari mana?
Karena merasa tak
kuat kalau harus mengangkat, akhirnya mereka berdua sepakat untuk menggeser
saja tutup peti mati itu. Memang tidak ada engsel pada sisi satunya peti mati
tersebut. Mereka sama-sama menghitung satu sampai tiga. Perlahan tutup peti
mati itu bergeser, membuat sinar rembulan dapat menerobos masuk ke dalamnya,
menyoroti apa isinya... yang telah mempermudah pekerjaan kedua sahabat itu.
Hampir setengah terbuka, tutup peti mati itu tiba-tiba terangkat sendiri. Yang
mengangkatnya adalah satu tangan pucat namun kokoh dengan kuku yang begitu
panjang dan tajam. Tutup peti mati itu pun terjungkal. Kini dalam bak peti mati
itu duduk tegak seorang pria kurus dengan pandang menerawang.
Terpukau, Vido
tidak melewatkan kesempatan itu untuk mengabadikannya dalam lensa handycam. Pada gambar yang tertangkap,
Vido memerhatikan, betapa tirusnya pipi pria itu, rambutnya licin, dan ujung
atas kedua telinganya melancip. Sinar bulan purnama cukup terang untuk membuat
Vido terpana karena kulit pria itu terlihat begitu tipis[1].
Dengan kaku makhluk itu menoleh pada anak-anak. Ia menyeringai, memperlihatkan
sepasang gigi taring yang amat runcing namun putih bersinar dalam kegelapan,
dan dengan parau mengeluarkan suara lirih, “Lapaar...”
Ghira sudah
tergeletak lemas di lantai sementara Vido masih enteng merekam fenomena aneh di
depannya. Ia begitu takjub hingga pandangnya tak lepas dari LCD handycam yang masih menampilkan gerak
gerik makhluk tersebut. Ya, makhluk apa ini? Apakah dia juga manusia? Tiba-tiba
makhluk tersebut merosot dari duduknya. Vido mendekat untuk merekam apa yang
terjadi. Makhluk itu sedang dalam posisi tidur, mungkin karena lemas. Bahasa
tubuhnya menampakkan demikian.
Apakah dia terlalu
lama dikurung dalam peti mati hingga kehabisan oksigen dan hampir mati lemas
karenanya? Jangan-jangan dia korban penculikan! Dada Vido berdebar karena
misteri ini. Kalau benar dugaannya, ia dan mitra setianya, Ghira, akhirnya
punya juga kasus menarik untuk dipecahkan! Karir detektifnya mungkin akan
dimulai sejak detik ini...
Atau tidak. Mungkin
saja ini bukanlah kasus kriminal. Selain fakta-fakta yang telah diamatinya
semenjak tadi, kini ia juga harus menghadapi satu fakta yang paling tidak boleh
dilewatkan: makhluk itu tiba-tiba mencengkeram lengannya! Menggigitnya!
Menghisap darahnya! Melepehkannya kembali!
Vido jatuh
terduduk. Tubuhnya bergetar. Nafasnya terengah-engah. Ia benar-benar tidak
menyangka akan mengalami ini. Ia juga tidak tahu apa maksudnya makhluk itu tadi
berbuat begitu. Ia memandang bekas gigitan di lengannya yang kini mulai
mengalirkan darah. Tak terpikir sama sekali olehnya untuk merekam bekas
tersebut dengan handycam-nya.
Satu-satunya ingatan yang berasosiasi dengan fakta ini dalam ingatannya adalah
bahwa: makhluk menyerupai manusia yang suka menghisap darah itu namanya vampir!
Dan sekali suatu makhluk digigit oleh vampir, jika ia tidak mati, maka ia akan
menjadi vampir juga. Vido lalu teringat film Twilight, yang beberapa waktu lalu
ia tonton di laptop kakaknya. Dalam film itu, si tokoh utama, Bella Swan,
digigit vampir jahat yang entah siapa itu namanya. Lalu akibatnya Bella jadi
sekarat. Oh, mungkin sebentar lagi aku mati...? batin Vido nelangsa. Kini dialaminya apa yang dialami Bella dalam film Twilight.
Mungkin jika ia terbangun lagi nanti yang diinginkannya pertama kali adalah
menghisap darah seseorang...
Lamat-lamat atap
kelam di atas sana menjadi kabur dalam pandangannya. Kacamatanya sudah sedari
tadi jatuh ke lantai.
Sementara itu, Ghira sadar dari pingsannya
untuk mendapati bahwa suatu keadaan mencekam tengah terjadi. Di depannya,
sesosok makhluk ganjil tengah melepeh-lepeh sesuatu. Dengan gemetar ia menoleh
ke tempat di mana seingatnya Vido terakhir kali berada untuk bertanya apa yang
telah terjadi. Namun yang ia dapati adalah kini
sobatnya itu sedang meregang nyawa. Dengan suara tercekik, Vido mengucap, “Ghira... ada... racun... di... tubuh... h.. sa..
ya... Har...rus dihilang...kan...”
“Gimana caranya?!”
teriak Ghira ketakutan, masih kebingungan apa yang telah makhluk ganjil itu
lakukan pada sobat karibnya. Vido bahkan sudah tidak sanggup memegang erat-erat
handycam-nya lagi. Ia biarkan benda itu tergeletak di samping tangannya, padahal
itu merupakan salah satu benda kesayangan yang tak mungkin ia biarkan
jauh-jauh.
Susah payah Vido
menggali ingatannya mengenai apa yang Edward Cullen lakukan pada Bella Swan
untuk menghilangkan racun dari tubuh gadis itu. “Dii... issep... terus...
dilepeh lagi... gitu!?”
Terdengar suara
parau keras menyeramkan dari arah si makhluk ganjil, “Ya, benar, hilangkan
racun dari darahmu!” Sambil berkata begitu ia mengurut-urut lehernya.
“Gimana caranya?!” Ghira
sudah menangis. Isaknya semakin keras ketika mendengar rintihan sahabatnya. Ia
tidak tahu harus berbuat apa. Ia coba memijit-mijit Vido. “Vido! Bertahan ya!
Vido! Tangan kamu kenapa?! Berdarah!”
“Aku tidak tahu!
Pokoknya darahnya tidak enak!”
Ghira tercengang
karena mengetahui bahwa memang makhluk itu yang telah membuat temannya terluka
dan lukanya itu bekas gigitan. Makhluk itu telah menghisap darah temannya!
Semakin bertambah kengerian Ghira. Jangan-jangan makhluk itu vampir!?
“Tapi kalau nggak
cepet-cepet ditolong, dia bakal jadi vampir juga! Kayak kamu!”
“Hmph!” Anehnya, vampir itu malah menanggapi kepanikan Ghira dengan suara seperti tawa tertahan. “Non sense! Aku terlalu lemah untuk mengeluarkan zat yang bisa membuatnya jadi vampir juga!”
“Jadi saya nggak
bakalan jadi vampir juga?” Mendadak Vido mendapat kekuatan untuk kembali duduk
tegak dan tidak meronta-ronta lagi. Ia merasa normal dan sehat sebagaimana ia
sebelum kena gigitan dan menyangka bahwa dirinya akan mati atau ikut menjadi
vampir.
“Ya, kalau dalam
jangka sepuluh menit setelah ku gigit, kau membubuhkan sari bawang putih ke
bekas gigitanku. Cepatlah, Nak, waktu terus berjalan!”
“Beneran?!” Ghira
sudah siap menarik Vido untuk cepat-cepat angkat kaki dari situ.
“Bohong.”
“Heehh?”
“Aku memang tidak
suka bawang putih. Kebanyakan kami tidak. Oh, tentu saja semuanya! Kau tahu,
bawang putih dapat menghilangkan lemak darah[2]
padahal itulah pendukung kekuatan kami agar dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu yang lama! Selain itu aku memang tidak menyukai baunya. Terlalu
menyengat, Nak...”
“Iya, saya juga
lebih suka bawang merah daripada bawang putih kalau disangrai,” sempat Ghira
menyela.
“...jadi jawaban
singkatnya... tidak. Kalau semua yang kami gigit menjadi vampir, betapa dunia
ini akan dipenuhi vampir. Manusia vampir, sapi vampir, kambing vampir. Kami
menjadikan sesuatu sebagai vampir harus dengan tujuan dan alasan yang kuat. Ada
zat khusus yang kami keluarkan dari taring kami untuk itu. Lagipula, jika kau
merelakan darahmu untuk dihisap, itu akan bagus untuk kesehatanmu.”
“Seperti cuci
darah, begitu?” Vido mengkonfimasi.
Tuan Vampir mengangkat bahu.
“Kok kayak lintah?”
komentar Vido lagi.
“Eh, saya pernah
denger pengobatan dengan lintah gitu, Vido, katanya bagus ya?” ujar Ghira.
“Jijik ah,” tanggap
Vido.
Ghira mengangkat
tangannya, “Kalau gitu saya mau!”
Vido tersentak akan
kelakukan sahabatnya. “Jangan Ghira, siapa tau yang dia bilang itu boong, cuman
supaya dia bisa ngisep darah kamu ampe abis trus kamu tewas. Kalo nggak, kamu
bakal jadi vampir!”
“Hei, kau kira aku
seorang pembohong, Nak?!” Tuan Vampir murka. “Seorang Vladimir Draculae
tidak akan pernah berdusta! Itu menjatuhkan martabatnya!”
Guntur menggelegar
membelah langit hingga membuat Ghira dan Vido gentar dan gemetar. Kesempatan
itu tidak disia-siakan Tuan Vampir...
“Hm, inilah sumber
dari bau darah yang kucium sedari tadi...” desahnya sebelum dengan secepat
kilat menangkap lengan Ghira dengan mulutnya. Ghira dan Vido bahkan tak sempat
waspada karena mereka memang tak melihat adanya gerakan tersebut saking
cepatnya. Tancapan taringnya yang tiba-tiba membuat Ghira berteriak kesakitan sekaligus kaget. Demikian pun si vampir.
Dia langsung melepeh cc demi cc darah yang tadi disesapnya. “Bah! Darah kalian
sama sekali tidak enak! Darah lumpur! Cuih! Seharusnya aku sadar sejak mencium
baunya tadi! Darah seperti itu memang tidak baik untuk diambil! Tapi aku
terlalu lapar!”
“Tuh kan, bener,
kamu itu seorang, eh, sevampir tukang dusta!” cecar Vido geram.
Dengan mata
berkaca-kaca dan tubuh gemetar, Ghira terisak, “Vido, kita bakal sama-sama jadi
vampir...”
Vido segera
bangkit, memasukkan handycam-nya ke
dalam tas, dan menarik lengan Ghira. Sahutnya, “Cepat, Ghira, kita harus segera
ke dapur minta bawang putih! Siapa tau aja racunnya si vampir bisa takut juga
sama bawang putih!”
Kedua bocah itu
tunggang langgang meninggalkan gudang.
Sepeninggal mereka, Tuan Vampir menyenderkan
punggungnya pada pangkal bak peti dan menyilangkan tangan. “Dasar anak-anak,”
ujarnya datar.
Vido dan Ghira
langsung menuju dapur dan mendesak pembantu Vido yang kebetulan sedang berada
di sana untuk segera memberikan mereka beberapa iris bawang putih. Dengan penuh
keheranan, perempuan paruh baya itu menuruti permintaan sang majikan muda yang
tak mau menyebutkan alasannya. Ketika Mami Vido mendatangi dapur karena
mendengar ada kegaduhan yang dibuat anak-anak di sana, kedua bocah itu
cepat-cepat mengambil beberapa lapis bawang putih yang sudah teriris lantas
segera lari ke kamar Vido. Di dalam kamar, mereka langsung menyusup ke balik
selimut tebal yang semula tertata rapi di kasur. Menyadari bahwa kegelapanlah
yang menyelubungi mereka, Ghira merengek habis-habisan pada Vido agar bocah
yang lebih pemberani daripadanya itu mau beranjak menyalakan lampu dan mengunci
semua pintu dan jendela rapat-rapat. Setelah melakukan apa yang dipinta dengan
ketakutan memburu, Vido masuk lagi ke dalam kasur untuk menetap di zona
amannya. Ketukan di pintu membuat mereka kaget setengah mati meskipun itu
adalah Mami Vido.
“Anak-anak, kenapa
sih?” Wanita paruh baya itu juga heran sebagaimana pembantunya yang sedang
berada di sebelahnya membawa tatakan dengan sisa bawang putih yang telah
teriris. “Bawang putihnya ini loh, udah diiriskan. Buat apa sih?”
Ghira mendesak Vido
untuk segera menjawab pertanyaan ibunya dan membuka pintu. Tanpa pikir panjang
Vido menurut. Saat menghadap wajah ibunya ia menjawab, “Bawang putihnya udah
cukup segini aja, Mi, buat percobaan! Udah ya, Mi, Vido ma Ghira lagi sibuk
nih!”
Vido lekas menutup pintu kembali. Kedua
wanita di luar pintu kamar hanya menggeleng-geleng kebingungan. Mami Vido
mencoba memahami kelakuan eksentrik anaknya sebagaimana suaminya yang ilmuwan
itu. “Yah, namanya anak-anak ya, Mbok,” ujarnya sambil menuruni tangga diekori
pembantunya.
Sementara itu di
dalam kasur, Ghira terus menerus menyenggol Vido. “Vid, kalo vampirnya ngejar
sampai sini gimana? Entar kalo besok pagi pas kita bangun
tau-tau seisi rumah udah jadi vampir gimana?”
“Gimana kalau kita
balik lagi buat ngunci pintu gudang itu?”
“Ah! Nggak mau!
Nggak mau! Saya nggak mau balik ke tempat itu sampai kapan pun!”
“Oh iya, gudang itu
kan emang nggak ada pintunya,” kata Vido kalem sementara Ghira masih
meronta-ronta tidak mau sedikit pun beranjak dari situ.
“Jadi gimana dong,
Vid? Huhuhu...” Ghira hampir tidak bisa menahan hasrat ingin menangis yang
menderanya.
“Aduh! Nggak tau
ah! Kita berdoa aja sama Allah!”
“Heu... iya... Ya
Allah, semoga pas kita bangun besok orang-orang nggak pada berubah jadi vampir!
Amin!”
“Eh, Ghira, kita
kan udah kegigit, jadi mestinya kita duluan yang berubah jadi vampir sebelum
mereka. Jadi mestinya kita nggak usah takut. Toh pas kita bangun nanti mungkin
kita semua sama-sama udah jadi vampir.”
“Huhu... Nggak mau,
Ya Allah, nggak mau...”
“Mudah-mudahan ini
hanya mimpi, Ya Allah. Amin,” ucap Vido tapi ia tidak bisa menyembunyikan
keresahan yang melandanya jua. Namun demikian ia sudah tidak ingin memikirkan
apa-apa lagi. Ia hanya ingin tidur, melupakan teror di malam ini, dan ketika
bangun keesokan paginya, semoga semuanya sudah di-reset dan tidak pernah ada peti mati itu dalam gudang kos-kosan
sebelah rumah.
“Semoga begitu, Ya
Allah, amin!” doanya, hendak menutup hari itu dan cepat-cepat terlelap dalam
damai.
“Vido,” usik Ghira,
membuat Vido kesal. “Pintu kamar mandi udah dikunci belum?”
Vido menyentakkan
selimut yang menyelubunginya di tengah teriakan Ghira yang mengawasinya, takut
tiba-tiba terjadi apa-apa lagi, “Vido cepetan balik...!”
Baru beberapa menit memejamkan mata setelah kembali lagi
dalam naungan selimut tebal, Ghira mengusiknya lagi, “Vido, hk, kita tidurnya
pelukan ya Vid, saya takut...”
Ghira mengamati
bayangannya di cermin kamar mandi kamar Vido. Sepulang sekolah itu bukannya
kembali dulu ke rumahnya, ia malah ikut pulang lagi ke rumah Vido. Mamanya
pasti marah-marah sepulangnya ia ke rumahnya sendiri nanti karena sudah ‘begitu
lama’ menumpang hidup di rumah orang, seakan tidak punya rumah sendiri saja.
Tapi ia punya alasan yang kuat untuk tidak pulang ke rumahnya dulu. Ia ingin
memastikan terlebih dulu apakah dirinya sudah cukup ‘aman’ untuk pulang ke
rumah. Ia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan memvampirkan
mamanya dan anggota keluarganya yang lain nanti.
Ghira memastikan
air mukanya tidak memucat sebagaimana Tuan Vampir yang mereka temui kemarin
malam. Ia juga menyeringai untuk memastikan kedua taringnya tidak tumbuh
panjang. Kenyataannya adalah kulitnya masih segar berseri seperti biasa dan
sepertinya taringnya pun tidak bertambah panjang semili pun sejak kemarin
malam—meskipun ia belum memastikannya dengan penggaris. Di sebelahnya, Vido
melakukan hal yang sama. Di dalam cermin mereka saling bertukar pandang.
Ghira teringat
bahwa ia sempat melihat kemarin malam betapa panjang dan tajamnya kuku si Tuan
Vampir. Ia mengamati kukunya. “Kuku kamu tambah panjang nggak, Vid? Ingat,
kemarin kukunya si Mister Vampir... hiii....” Ghira bergidik ketika membuka
lagi ingatannya.
“Sebetulnya dari
waktu ke waktu kuku kita kan emang tumbuh panjang?” Vido mengernyit. Ia merasa
apa yang mereka lakukan selama hampir berpuluh menit ini konyol sekali. Meski
demikian tetap saja dirinya penasaran dan ragu juga; apakah benar gigitan
vampir tidak selalu membuat korban gigitannya suatu saat akan menjadi vampir
juga? Vido merasa kepastian tidak hanya bisa diamati lewat fisik saja. Ia
berucap setengah berbisik, “Ghir, seharian ini kamu ngerasa kayak pingin ngisep
darah orang nggak?”
Ghira menggeleng
cepat. Sejurus kemudian dengan terbata-bata ia berkata, “Vido, saya ngaku, tadi
pas deket-deket si Bunga saya kayak nyium bau wangi gitu dari dia...
Jangan-jangan... itu bau darahnya dia?! Bau darahnya udah bisa saya cium!?”
Ghira memegang kepalanya, panik.
Tanpa ekspresi Vido
menanggapi, “Bukannya cewek-cewek emang suka pake apa itu, cologne?“
Ghira tidak
menggubris tanggapan Vido. Ia mencecar lagi, “Trus ya Vid, tadi saya dijauhin
anak-anak terus! Apa mereka mulai ada perasaan kalau saya bakal jadi vampir?”
Ghira menggoncang-goncangkan pundak Vido. Vido balas memegang pundak sobatnya
itu, berusaha mendiamkan. “Ghira, itu mah
cuman perasaan kamu aja. Kita nggak bakal jadi vampir! Dan lagi, kamu tau
nggak, pantes aja tau kamu tuh dijauhin, kamu tuh BAU!”
Ghira terhenyak.
“Saya bau?!”
“Iya! Bau bawang
putih campur minyak telon!”
Ghira melirik
lengannya, di mana bekas gigitan si Vampir berada. “Iya sih, tadi pagi pas
habis mandi emang saya balurin lagi bawang putih ke sini, biar cepet ilang
racunnya.”
Selain itu, Ghira tidak
pernah lupa pesan mamanya agar selalu memakai minyak telon sehabis mandi supaya
tidak masuk angin.
Vido menepuk
dahinya dan menjatuhkan kepalanya ke belakang.
“Eh, tapi bener loh
Vid, pagi tadi saya agak ngerasa segaran gitu. Mungkin bener ya, si Vampir itu,
dia nyuci darah kita, jadi bersih deh...” Ghira mengekori Vido keluar kamar.
“Ngisep darah kotor
maksudnya?” Vido jadi ingat lintah.
“Hehehe, bersih
darah kayak nama pil apaan gitu ya, Vid. Trus, cuci darah itu kayak buat orang
yang sakit ginjal...”
Vido menjatuhkan
dirinya di tempat tidur mobil-mobilannya. Dipandanginya langit-langit dengan
dahi yang berkerut-kerut. Kedua lengan dijadikannya bantal. “Mana ada sih vampir beneran?”
“Tapi liat aja
perilakunya, Vido, dia ngegigit kita! Mana mungkin ada orang normal yang suka
gigit manusia lain?”
“Sumanto? Mungkin
aja dia itu orang gila?”
Sambil
tidur-tiduran di kasur, mereka mencorat-coret buku tulis masing-masing.
“Sekarang gimana
kabarnya si Vampir ya?” ucap Vido di tengah keasyikannya mengulik rumus
aerodinamika.
“Oh ya, kemarin
kita kan lupa nutup pintu lagi...” Satu sudut telah Ghira goreskan sehingga
kini gambar Patrick Star-nya sudah jadi.
Mereka berdua
terdiam.
“Dia mungkin
kabur!”
Mereka berebut lari
ke luar kamar. Mereka tidak menghiraukan si Mbok yang menegur mereka agar
jangan lari-lari ketika sedang menuruni tangga supaya tidak jatuh. Oh,
mungkinkah si Mbok sudah bertemu dan digigit si Vampir sehingga sekarang sedang
dalam tahap menjadi vampir juga? Mungkin saja sebetulnya seisi rumah itu juga
demikian!? Mereka berdua tak mau memikirkannya.
Sebetulnya si Mbok
heran juga dengan kelakuan kedua anak itu sejak kemarin malam. Den Vido juga
tidak seperti biasanya, tadi pagi baru bangun setelah pintu kamarnya digedor.
Lalu setelah bangun kedua anak itu rusuh sekali karena belum menyiapkan apa
yang mau dibawa ke sekolah, belum lagi mandi dan sarapan. Sepulang dari
sekolah, mereka pun cepat-cepat masuk ke kamar.
Sementara itu,
kedua anak yang sedang jadi bahan pikiran si Mbok sedang secepat-cepatnya lari
ke kos-kosan samping rumah.
“Aduh, gimana Vid
kalau dia kabur, entar semua orang di kos-kosan digigit trus pada jadi vampir
deh!” ucap Ghira di tengah nafasnya yang memburu sebelum ia dan Vido menabrak
seorang anak kos yang bertampang amat pucat. Kedua anak itu berteriak hingga
mengagetkan aa-aa tersebut.
“A Engkus, napa
wajahnya jadi tambah jelek gitu?!” sahut Vido.
“Jangan-jangan udah
jadi vampir lagi,” Ghira mencicit.
Yang dipanggil A
Engkus berteriak, “Ngaco! Abis ngerjain tugas dua hari dua malam tau! Stres!”
“Trus ngapain
bawa-bawa obat serangga?” tanya Ghira sambil menunjuk semacam tabung yang
sedang diapit pemuda tersebut di ketiaknya.
“Oh, ini...”
Muncul seseorang
yang dikenal dengan nama A Ibrom. “Engkus, udah ketemu lom?”
“Udah. Kecoa tiga.
Nyamuk dua lusin.”
“Ada apaan sih, A?”
rengek Vido penasaran.
“Ini, anak-anak
kosan pada digigitan serangga gitu. Nggak tau serangga apa,” jawab A Ibrom.
“Tapi aneh juga
loh, bekas gigitannya dua titik gitu. Jangan-jangan... vampir?” timpal A Engkus serius, membuat Ghira dan Vido terperanjat. Kedua bocah
ini tidak tahu kalau A Engkus mengoleksi serial Cirque du Freak[3]
karangan Darren Shan di kamarnya. Koleksi Bram Stokernya juga cukup lengkap.
“Ah, masak vampir?”
A Ibrom menyangkal. Namun lalu katanya dengan mimik tak kalah serius, “Tapi
emang sih, tadi malem tuh si Tomi bilang ada bapak-bapak pake jas kerah tinggi
gitu nyasar ke sini nyari makan. Ah, si Tomi inilah, lagi stres juga kali dia,
ngerjain skripsi, makanya pikirannya jadi ngaco, hahaha...”
“Haha, emang
dasarnya kita jorok. Jadinya kosannya banyak serangga, hahaha...” lanjut A Engkus tanpa memedulikan ucapannya sebelum ini yang telah
membuat Vido dan Ghira saling bertukar pandang dengan kekhawatiran berlebih.
Mereka sama-sama menyadari kehadiran dua titik bekas gigitan di lengan A Ibrom
yang sedang tertawa mendengar pernyataan penghuni kamar sebelahnya itu. Itu
pasti bekas tancapan kedua taring si Vampir!
“A, itu ya bekas
gigitannya?” Vido menunjuk bekas gigitan tersebut.
“Hah? Heueuh.”
“Nih, punya saya
lebih banyak,” dengan bangga A Engkus menyingkap lengan atas bajunya.
“Satu, dua, tiga...”
Ghira langsung
menarik lengan Vido untuk segera lari. Kedua pemuda itu mendengar jeritan Ghira
yang semakin menjauh, “Hii... pada jadi vampir!”
Baik A Engkus maupun A Ibrom, keduanya mengangkat bahu. Mereka balik kanan hendak
meneruskan perburuan mereka. Terdengar suara A Engkus ketika
melewati salah satu kamar, “Hoy, Jang, gimana kamu? Nemu berapa?”
Dorong-dorongan,
akhirnya Vido dan Ghira sampai juga ke depan pintu kamar di ujung sayap
kos-kosan yang jarang dijamah tersebut. Di sisi yang terdalam dan tergelap
kamar—cuaca mendung sejak pagi, tampak si vampir masih duduk dalam posisi dan
ekspresi yang sama dengan saat terakhir kali mereka meninggalkannya.
Takut-takut mereka mendekatinya.
“Jadi ini semua
emang bukan mimpi...!” desis Ghira pada Vido yang tetap serius mengawasi si vampir.
Tiba-tiba si vampir berkata, “Beritahu aku, Nak, beritahu sedang berada di
jaman apa aku sekarang. Segalanya tampak berbeda dengan sejak terakhir kali aku
menutup mata, ketika para pemburu laknat itu menyegelku dalam peti ini... Aku
masih ingat tahunnya... hm, tidak, aku tidak ingat persis, mungkin saat itu
sekitar tahun 1400...an, menurut Gregorian...”
“Sekarang tahun
2009, Pak,” Ghira menyahut pelan.
“Ooh... Segalanya
menjadi berbau logam... Ketika kalian mendekat, aku bisa mencium bau logam itu
pun semakin mendekat... Apakah sekarang sedang jaman logam?”
Salah tingkah,
kedua anak itu mengendus tubuh mereka masing-masing. Tidak tercium bau logam
sama sekali tuh. Apalagi dari tubuh Ghira, yang tercium adalah aroma bawang
putih campur minyak telon yang kuat.
Si vampir melanjutkan, “Aku begitu lapar, hingga beberapa lama
setelah kalian pergi, menunggu sepi, aku merangkak ke luar dengan hati-hati...
Dengan susah payah kuubah wujudku menjadi seekor kelelawar mungil, sebagaimana
aku biasa menjelma saat sedang mencari mangsa...
“Aku berusaha
menemukan makhluk lainnya yang bisa kuhisap darahnya, syukur-syukur manusia.
Ya, aku menemukan mereka, dalam kamar-kamar sempit beratap rendah berbau
sengak. Tapi demi mengisi energiku kembali, aku menguatkan diriku memasuki
kamar itu, mencari makhluk yang sedang lengah di dalamnya, menemukan makhluk
berbau tengik, yang ternyata rasa darahnya sama busuknya dengan darah kalian.
Seperti bekas air mandi kuda, oh, andai kalian tahu bagaimana rasanya... Aku
sendiri tak tahu, hanya mengira-ngira. Oh, apakah masih ada kuda pada jaman
ini? Karena selama aku berjalan-jalan kemarin tak kutemukan kandang kuda di
sini... Ah, semuanya telah menjadi berbeda...”
“Mungkin ada kata
yang lebih enak selain ‘busuk’, Pak?” Vido tersinggung tapi tetap mendengarkan.
Selain itu, dicatatnya dalam otaknya untuk memberitahu papinya, jika ingin
membangun kos-kosan lagi sebaiknya yang ukurannya lebih luas dengan atap yang
lebih tinggi dan ventilasi yang lebih besar mungkin.
Si vampir melanjutkan, “Sampai akhirnya aku sudah tidak kuat lagi. Aku ambruk di depan sebuah pintu dan berubahlah lagi wujudku menjadi seperti ini tanpa kuhendaki. Manusia di balik pintu itu keluar, menanyakan diriku kenapa. Aku berkata aku harus mengisi tenaga agar bisa pulang ke kastilku di Rumania. Aku sungguh-sungguh saat mengatakannya. Manusia itu lalu memberiku sesuatu yang dia namakan nasi-goreng-tapi-sisa dan air putih setelah dia mengeluarkanku dari bangunan ini. Tentu saja perutku menolak semua itu, meskipun kupaksa, hingga aku pun muntah-muntah dan itu memakan kembali sisa tenagaku. Dengan tenaga yang tersisa, aku menjelma kelelawar dan kembali lagi ke tempat peristirahatanku ini. Kurasa aku telah menghabiskan semua tenagaku. Aku tak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhku. Aku bersyukur masih bisa mencurahkan pengalaman pedihku ini pada kalian...”
Kepala si vampir terkulai. Tanpa sadar, Ghira mencari-cari buntalan kain
untuk menyangga kepala si vampir.
“Terimakasih, Nak,
kamu baik sekali. Seharusnya anak sebaikmu memiliki rasa darah yang selembut
madu tapi yang tercium olehku malah pahitnya empedu.”
Ghira merinding
mendengar perkataan itu, terlebih lagi ketika menyadari bahwa ia sudah
berdekatan dengan makhluk tersebut. Cepat-cepat ia menarik dirinya lagi.
Vido mengangkat
tangan. “Pertanyaan, Pak, kenapa Bapak mengatakan darah kami busuk? Kami kan
masih hidup, seharusnya darah kami masih segar dong, Pak. Bukan bermaksud
menawarkan darah kami untuk diisep loh, Pak.”
“Ya, kualitas darah
kalian sangat buruk, sangat berbeda jauh dengan kualitas darah di masaku dulu,
yang begitu gurih, nikmat, manis bagai susu sapi Alpenia, nyam...nyam... Ya,
bahkan jika dibandingkan dengan darah sapi sekalipun! Pada waktu itu adalah
kemewahan jika bisa mendapatkan setetes darah manusia hidup apalagi yang masih
muda belia seperti kalian—meskipun darah hewan pun bisa jadi alternatif yang
tidak buruk. Sebenarnya busuk bukan kata yang terlalu tepat. Bagaimana
menjelaskan ya? Rasa darah kalian itu seperti darah yang sudah terlalu lama
dibiarkan dengan logam berada di dalamnya. Logam berkarat.”
Ghira dan Vido
merinding.
“Aku juga tidak
tahu mengapa. Ketika semalam aku coba menggigit seorang manusia di tiga bagian
yang berbeda, siapa tahu bagian tubuh berpengaruh signifikan terhadap rasa.
Tapi ternyata sama tidak enaknya! Aku tidak mau mengingat-ingat lagi. Rasanya,
pengalaman kuliner terburuk seumur hidupku!
“Yang kuinginkan
hanya pulang. Kembali ke kastil tinggiku di Rumania dan beristirahat dengan
damai, terbangun di malam purnama, menyebrangi padang rerumputan dan menyergap
sapi-sapi yang masih terjaga... syukur-syukur manusia...”
Vido menyela, “Tapi
jaman kan udah berubah. Siapa tahu Rumania pun udah berubah drastis kayak yang
Bapak liat di sini? Ah, saya harus mencari ini segera di google nanti!”
Sesuatu yang
berwarna hitam keluar dari pelupuk mata dan mengalir di pipi Tuan Vampir.
Kiranya itu adalah air mata darah hingga seketika Ghira menjerit, segera
menutup mulut, dan mengguncang-guncangkan tubuh Vido. “Vido, ayo kita harus
segera memberi Pak Vampir makan!”
Vido menatap Ghira
dengan bingung. Karena Vido tak bergeming, Ghira segera lari ke luar tanpa
banyak berbicara.
“Ke mana temanmu?”
Pak Vampir menoleh.
“Mencari bantuan?”
“Dia baik sekali.
Kalau saja aku punya cukup kekuatan mungkin akan kubawa ia pulang serta. Tentu saja,
terlebih dulu akan kujadikan ia vampir.”
“Jangan dong! Dia
sahabat saya!” sergah Vido marah.
Si vampir hanya terkekeh. “Tidak mungkin, Nak, aku tidak akan
sanggup memurnikan darahnya yang buruk itu. Darah vampir harus murni tanpa
kontaminasi. Omong-omong, panggil saja aku Vlad.”
“Baiklah, Pak
Vlad... Ah, enakan manggil Pak Vampir... Pak Vampir, kok Bapak bisa sampai sini
sih?”
“Mana aku tahu? Kan
kalian yang membangunkanku? Tahu-tahu saja aku sudah berada pada jaman ini.”
Vido mencatat bahwa
sebertemunya ia dengan papinya nanti di rumah harus ia tanyakan kenapa peti
mati Pak Vampir bisa berada di rumah tua yang diwariskan kepada teman papinya
itu.
“Yang kuingat
terakhir kali adalah para pemburu itu berhasil menangkapku dan mengurung diriku
dalam peti sempit ini setelah menidurkanku. Aku tidak
tahu bagaimana mereka bisa melakukannya. Bodohnya aku terlalu lengah saat itu
karena kebanyakan minum darah manusia. Oh, masih kuingat rasanya yang...”
“Iya, Pak Vampir,
nggak usah diulang-ulang deh,” cepat-cepat Vido memotong sebelum Pak Vampir
meneruskan ke bagian yang dapat membuatnya bergidik ngeri lagi. Mana sekarang
ia hanya berdua saja dengan makluk itu pula. Aduh, mana sih Ghira, kok tadi
tiba-tiba lari? Kenapa sih? Akankah ia kembali?
“Ngomong-ngomong kenapa Bapak bisa jadi
vampir? Apa sejak lahir Bapak sudah jadi vampir?” Vido melanjutkan
investigasinya.
“Tidak... Bapak
angkatku, yang ternyata vampir—pantas saja ia tidak tua-tua, memvampirkanku
karena takut aku tewas terkena flu Spanyol. Pada waktu itu di tempatku penyakit
itu sedang mewabah...[4]”
“Hm, seperti pernah
dengar...” Vido mengelus-elus dagunya.
Terdengar langkah
kaki berlari mendekat. Dapat ditebak, itu adalah Ghira yang ternyata datang
sambil membawa sesuatu yang tak sempat ditebak; lengannya yang satu menggendong
seekor kucing sementara lengan satunya lagi menjinjing sebungkus plastik ikan
mentah.
“Pak, doyan darah
ikan, nggak?” tanya Ghira di tengah sengalnya.
Setelah sadar dari
keterpanaannya, Pak Vampir menjawab pelan, “Boleh dicoba...”
Ghira menyerahkan
si ikan. Dengan kukunya yang tajam si vampir merobek ikan tersebut hingga darah
di dalamnya memercik keluar. Dijilatnya jarinya yang terkena darah. Mulutnya
berdecak-decak.
“Darimana kamu
dapat ikan?” tanya Vido pada Ghira sementara itu.
“Minta ama Bik
Rara.” Ghira menyebut nama salah seorang pembantu di rumah Vido.
“Kucingnya?”
“Mungut di jalan.”
Si vampir melempar si ikan. “Sudah kuduga... Dari jauh saja sudah
tercium bau amisnya padahal yang kucium bukan bau darahnya.”
“Gimana kalau
kucing?” Ghira menyodorkan kucing dalam gendongannya itu. Kucing itu
meronta-ronta. Si vampir mencengkeram si kucing erat.
Dengan cepat disesapnya darah si kucing yang langsung mencakar muka si vampir
lalu meloncat ke ikan yang tadi dilempar, mencomotnya, lalu kabur. Si vampir menyemburkan gumpalan rambut kucing dan beberapa percik
darah dari mulutnya.
“Huek,” rintihnya
mual. “Bahkan darah kucing pun hampir sama tidak enaknya dengan darah
manusia...”
Vido berkata sinis
pada Ghira, “Bagus, besok bawa kambing ya, dan kamar ini bakal semakin
belepotan darah.”
Ghira menatap Vido
dengan polos. “Tapi Idul Adha kan masih jauh, mana ada yang jualan kambing?”
Vido menepuk dahi
dan menjatuhkan kepalanya ke belakang.
Tanpa memedulikan
kelakuan Vido, Ghira berkata lagi, “Pak Vampir, sambil nahan laper gimana kalau
Bapak tidur lagi aja? Saya juga kalau laper tapi mama belum masak, saya suka
tidur dulu. Pas bangun, makanannya udah jadi deh.”
“Kamu serius mau
cari kambing!?” Vido histeris.
“Hei, Nak, aku
sudah begitu lama tidur hingga akhirnya ada yang membangunkanku. Sekarang kamu
menyuruhku tidur lagi? Sel-sel otakku bisa mati! Aku seharusnya tidak tidur
lagi setidaknya selama enam abad ke depan. Tapi aku butuh beberapa liter darah
agar bisa bertahan...
“Aku hanya butuh
energi untuk kembali ke kastilku saja, sungguh. Kalau memang aku harus mati
karena tidak bisa lagi menemukan darah yang tidak akan ditolak tubuhku, aku
ingin mati dalam kastilku yang damai...”
Pak Vampir menutup
mukanya dengan kedua belah tangan dan tersedu sedan. Ghira terenyuh.
“Pak Vampir, mau
saya tutupkan petinya, siapa tau kalau gelap Bapak bisa lebih nyaman tidurnya?
Ya kan, Vid, kalau tidur itu baiknya digelapin kan lampunya? Eh, maksudnya di
tempat yang gelap gitu?”
“Oh, anakku, aku
hanya ingin bersedih... Terima kasih sudah berbuat baik padaku. Semoga ini
semua hanya mimpi...”
“Mimpi yang indah,
ya, Pak.”
Itulah kalimat
terakhir Ghira sebelum Vido menariknya pergi dari gudang itu.
“Vido, kenapa ya,
darah kita kok katanya busuk gitu. Padahal kalau nggak, saya pingin donor darah
ke dia supaya dia bisa pulang. Kan kasihan...” ucap Ghira dalam perjalanan
mereka kembali ke rumah Vido.
“Eh, jangan gitu,
Ghira Kamu nggak tahu si Vampir itu pingin ngejadiin kamu vampir juga tau!
Jangan terlalu baik sama dia!”
“Tapi Vido, kata guru PPKn kita kan harus
saling tolong menolong.”
“Duh, susah ah...”
“Kan abis diisep
darahnya, kita jadi seger, Vid.”
“Ah, paling-paling
boong.”
“Trus kita bisa
buka praktek klinik cuci darah...”
“Hus!”
“Ih, kok kamu jahat
banget sih ama dia?”
“Abisnya...”
“Eh, Vido, mungkin
nggak ya kita beli darah di PMI. Siapa tahu aja di sana darahnya bagus-bagus.
Masak PMI nyimpen darah yang kualitasnya nggak baik sih? Pasti darah
pilihanlah!”
“Duh, Ghira...”
“Ohya, besok kan di
sekolah bakal ada cek darah, Vid. Mungkin antar kita bisa minta tolong...?”
Vido tidak tahu
lagi harus bicara apa.
Aula SD Ulul Azmi
dipenuhi anak-anak kelas tiga sampai kelas lima yang masuk dalam daftar anak
yang dipilih secara acak untuk melakukan tes darah. Ghira dan Vido termasuk
dalam daftar tersebut. Mereka ikut mengisi keriuhan dengan mendiskusikan
persoalan si Tuan Vampir dengan suara pelan agar tidak menarik perhatian anak
lainnya untuk ikutan nimbrung.
“Vid, mungkin entar
kita bisa tanya sama orang yang ngecek darah kita, sebetulnya di dalam darah
kita ada apanya sih sampai-sampai Pak Vampir nggak doyan?”
“Wah, jangan, Ghir!
Bahaya kalau orang-orang sampai tahu keberadaan Pak Vampir!”
“Emang kenapa gitu,
Vid? Siapa tau aja entar kita bisa nemu orang yang darahnya cocok sama selera
si Pak Vampir? Kan kasian Vid, Pak Vampir kan cuman butuh darah buat ngisi
tenaga supaya kuat balik ke negaranya?”
“Nggak, ah, Ghir.
Entar orang-orang pada menuh-menuhin kosan sebelah rumah. Pasti bakal ribut
banget deh jadinya. Entar saya nggak bisa konsen belajar dong. Trus si Pak
Vampir pasti entar jadi nggak tenang hidupnya karena banyak disorot orang.
Didatengin orang. Diminta-minta berkahnya. Entar dia malah jadi nggak bisa
pulang.”
“Hah, masak bisa
gitu sih, Vid?”
“Ya bisa aja. Ini kan Indonesia.”
“Ya udah, kalau
gitu gimana kalau kita tanya sama mereka kenapa darah kita rasanya busuk? Trus
gimana caranya supaya nggak busuk lagi?”
Vido cemberut. Ia
tidak tahu bagaimana caranya supaya Ghira bisa sejalan dengan pikirannya.
“Kasian, Vid, Pak
Vampir…”
“Atriary Farido…”
“Nah, itu giliran
saya,” ujar Vido lega. Katanya sebelum meninggalkan Ghira, “Inget Ghir, jangan
dulu bilang siapa-siapa tentang Pak Vampir dan soal darah-darah kita itu!”
Ghira hanya bisa
mengangguk dengan tidak puas.
Sebut saja Melati.
Ia adalah satu dari beberapa mahasiswa yang beruntung bisa ikut
dalam proyek kerja sama tiga perguruan tinggi ternama di
Indonesia dengan sebuah LSM asing. Berkat itu, kini ia
berada di aula salah satu dari beberapa SD tujuan penelitian
mereka. Penelitian ini bermaksud memeriksa seberapa besar kandungan timbal di
dalam darah anak-anak SD di kota tersebut.
Sampel berikutnya,
seorang anak laki-laki berambut lebat dan berkacamata tebal, baru saja duduk di
hadapannya. Melati menyobek segel salah satu jarum sambil berbasa-basi mengajak
anak itu kenalan. Ternyata anak itu lebih aktif daripada yang ia duga.
“Bu, napa sih kok
darah kita diambil?”
Bu?
“Untuk dicek,
Sayang.” Melati mengusap-ngusap kulit anak tersebut dengan kapas yang sudah
diolesi alkohol.
“Dicek apanya, Bu?”
“Ya dicek gimana
kandungannya. Ada penyakitnya apa nggak. Ada timbalnya apa nggak,” jawab Melati
seadanya. Ia sebenarnya bukan orang yang suka memikirkan dulu apa yang hendak
diucapkannya.
“Timbal itu apaan,
Bu?”
“Timbal itu yang
ada di dalam asap knalpot kendaraan...”
“Yang asap item
yang suka keluar dari bis Damri itu ya, Bu?”
“Mm, ya.... Timbal
itu kayak semacam logam gitu.”
“Logam? Kayak besi
atau baja gitu dong, Bu?”
“Ya...?”
“Kok bisa sih masuk
ke dalam darah? Kan logam, Bu, gede.”
“Ya bisa. Kan ada
logam yang kecil. Dalam darah kita juga ada zat besinya loh.”
“Hah, besi beneran?
Kayak besi pager gitu?”
“Ya nggak, Sayang.
Logam yang ini mah nggak keliatan
sama mata.”
“Terus, kenapa kandungannya harus dicek, Bu?”
“Supaya kalian
tetep sehat,” jawab Melati asal.
“Ah, Ibu mah nggak seru.”
Gadis tersebut
gondok. Selain karena dipanggil ‘Bu’ padahal baru beberapa tahun yang lalu ia
berusia dua puluh, ia bingung bagaimana harus menjelaskan perkataannya tadi.
“Gimana ya, Dek, sebetulnya timbal itu bahaya buat
tubuh kita. Makanya tiap anak harus dicek darahnya, supaya tahu,” jawab Melati
akhirnya.
“Bahayanya timbal
emang apa, Bu?”
Ba-bu-ba-bu, Teteh kek!
“Timbal itu bisa nurunin IQ. IQ tuh sekali turun nggak bisa naik lagi[5].”
Tanpa sadar, Melati menyeringai. Entah karena ekspresinya itu atau perkataannya
barusan atau memang dua-duanya, ia mendapati raut muka anak di depannya
berubah.
“Beneran, bisa nurunin
IQ?”
“Tiap peningkatan
timbal 10 mikrogram/100 cc darah diperkirakan menurunkan skor IQ sebanyak 2-3
poin. Selain itu, apabila tubuh sudah terpapar timbal cukup lama, bisa juga
menyebabkan anemia, lambat tumbuh, gangguan pendengaran, penurunan kecerdasan,
perubahan perilaku, kram perut, kejang-kejang, sampai kerusakan permanen sistem
saraf pusat, khususnya otak.”
Melati menyadari
omongannya seperti meng-copy-paste
buku
teks saja, tapi biarlah, mungkin anak di depannya ini sudah
bisa mengerti. Anak itu terlihat seperti anak jenius. Mungkin
itu yang menyebabkannya terlihat shock
dengan pernyataan bahwa timbal bisa menurunkan IQ. Hm, mungkinkah?
Pengambilan sampel
darah anak ini sudah selesai. Melati merapikan test-kit sumbangan USAID yang barusan dipakainya. Satu perangkat test-kit di antaranya meliputi jarum,
penyedot darah kapiler, pipet, sensor untuk tekanan darah (lead care), dan tempat pencampur darah dengan larutan kimia. Satu test-kit seharga tujuh dollar AS[6].
Melati merasa sangat bangga bisa terlibat dalam proyek mahal ini. Ia
menghembuskan nafas. Anak di depannya belum pergi juga padahal anak giliran
selanjutnya sudah berdiri tepat di belakang kursinya. Tampaknya anak itu masih
penasaran dengan dunia pertimbalan.
“Maaf ya, Dek,
gantian sama temennya ya…” ujar Melati seraya menyiapkan test-kit baru.
“Satu pertanyaan
lagi deh, Bu,” kata anak itu seakan telah menyadari bahwa ia sudah tidak
diharapkan lagi di situ. “Timbal bisa bikin kualitas darah berubah kan?”
“Ya.” Melati sudah
bersiap hendak melambaikan tangan pada anak itu.
Anak itu
mencondongkan tubuhnya pada Melati, seolah tidak ingin agar ucapannya berikut
didengar, “Terus, rasa darahnya bisa ikut berubah juga nggak?”
“Eh, itu dua
pertanyaan tau.”
Kamu-keliatan-kayak-anak-jenius-tapi-kok-nggak-bisa-ngitung-dengan-benar-sih,
begitu arti tatapan Melati pada anak itu.
Dan lagi,
pertanyaannya itu aneh. Rasa darah? Emang darah apa rasanya? Manis? Asem? Asin?
Nama permen dong. Seumur-umur ia belum pernah mencicipi rasanya darah.
Memangnya ia vampir? “Maksudnya apa, Dek?”
“Rasanya darah yang
ada timbalnya itu kayak gimana? Contohnya begini, kayak sayur yang dikasih
garam terus rasanya jadi gurih!” Anak itu memandanginya dengan
serius.
Sayur dikasih garam
terus rasanya jadi gurih? Itu mah kambing
juga ngerti! Lah, terus kalau darah dikasih timbal rasanya
jadi kayak gimana? “Ada rasa-rasa logamnya begitu kali ya, Dek? Timbal kan logam. Kayak air yang keluar dari pipa karatan begitu kali ya?.”
Dengan pandangan
penuh rasa terima kasih anak itu menatapnya untuk yang terakhir kali, sebelum ia akhirnya benar-benar beranjak pergi. Melati
garuk-garuk kepala.
Ghira tidak bilang
pada Vido kalau ia sempat menangis sebelum disuntik untuk diambil darahnya
tadi. Saking takutnya disuntik ia sampai lupa mau bertanya-tanya soal rasa
darah yang tidak enak. Ia kini sedang serius mendengarkan Vido menceritakan
ulang percakapannya dengan petugas yang mengambil darahnya tadi. Mereka duduk
di pinggir lapangan sekolah sambil memakan snack
masing-masing setelah menukarkannya dengan nomor antrian tes darah.
“Jadi, Ghir, saya
sampai pada suatu kesimpulan… Jangan-jangan darah kita itu jadi nggak enak rasanya gara-gara ada timbalnya!”
“Hah? Apa itu?”
seru Ghira takjub karena tidak mengerti dengan apa yang barusan Vido ucapkan.
“Ya, Pak Vampir kan
pernah bilang kalau rasa darah kita itu seperti logam berkarat—“
“Hah, iya ya?”
Ghira sudah lupa. Ia memaklumi dirinya tidak punya ingatan sebaik sahabatnya
itu.
“Iya tau, si ibu
tadi itu, dia bilang kalau timbal itu tuh logam. Nah, kalau bener di darah kita
ada timbalnya, berarti itulah alasan kenapa Pak Vampir nggak suka darah kita.
Karena ada logamnya, makanya rasanya jadi kayak logam!”
“Hah, masak?!” Ghira jadi penasaran ingin mencicipi darahnya sendiri. “Berarti Vido, selama ini kita suka makan siang di depan sekolah dengan nasi yang ada logamnya?”
Vido terperangah.
Ia tidak tahu Ghira sedang menjayus atau memang serius. “Itu nasi timbel[7],
Ghira. Timbal dan timbel. Beda tau!”
“Trus, jadi timbal
itu apa? Trus kenapa di dalam darah kita bisa ada timbalnya?”
“Nggak tau. Tadi
sih ibunya bilang timbal itu ada di dalam asap knalpot kendaraan gitu. Tapi
saya juga nggak gitu ngerti. Eh, itu kan Mami!”
Vido bangkit sambil
melambaikan lengannya pada seorang wanita paruh baya berjilbab yang baru
melintas di seberang sana. Wanita berkacamata itu menoleh lalu mendekat.
“Eh, Vido, Mami
cariin dari tadi. Udah makan siang belum?”
“Tante, Tante mau
jemput Vido?” Ghira menghampiri.
“Eh, Ghira… Iya,
tapi nanti. Ini kan tes darahnya masih belum selesai.”
“Emang Tante ikut
tes darah juga? Kirain cuman buat kita-kita aja.”
Mami Vido tertawa.
“Nggak, Ghira. Tante lagi tugas di sini.”
“Tes darah ini kan
yang ngadain Mami sama temen-temennya,” jelas Vido singkat.
“Ih, curang, nggak
bilang-bilang!”
“Biarin, hehe.”
“Ya udah, entar
Ghira ikut pulang sama Tante dan Vido aja ya. Tapi entar, nunggu sampai
acaranya ini selesai dulu. Makan siang dulu sama Vido ya.”
“Oke, Tante!” Ghira
meringis.
Selepas ashar,
mobil sedan yang berisikan Ghira di jok belakang dan Vido dan ibunya di jok
depan meluncur keluar dari SD Ulul Azmi.
Suara Vido berpadu
dengan desir AC, “Mi, timbal itu sebenernya apaan sih?”
“Iya, Tante? Itu
apaan sih? Kirain Ghira makanan loh,” sosor Ghira. Vido menoleh pada Ghira
dengan pandangan aneh lalu menatap ibunya lagi untuk meminta penjelasan.
Mami Vido sedang
memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan timbal kepada anak-anak
yang rasa ingin tahunya besar ini. Mereka pasti sudah tidak sabar menunggu
jawabannya. “Kalo Vido sendiri taunya timbal itu apaan?”
“Kalo kata ibu-ibu
yang meriksa aku tadi sih, timbal itu nama logam yang ada di asap knalpot
kendaraan. Terus bahayanya banyak banget. Bisa nurunin IQ, anemia,
lambat tumbuh, gangguan pendengaran, penurunan kecerdasan, perubahan perilaku,
kram perut, kejang-kejang, sampai kerusakan permanen sistem saraf pusat,
khususnya otak!” Vido puas bisa mengingat semua kata persis seperti yang
diucapkan ibu-ibu tadi. “Terus darah kita tadi diambil buat tau
kandungan timbalnya seberapa banyak.”
Ghira
manggut-manggut. “Terus, kalo udah tau di dalam darah kita
timbalnya ada berapa, gimana?”
Vido menjawab
dengan muram, “Dengan begitu kita jadi tau IQ kita turun berapa poin...”
Ghira melongo
karena tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Vido sementara Mami Vido
tertawa. Vido cemberut, “Kenapa sih, Mi? Emangnya Vido salah ya?”
“Kata ibu-ibunya
kayak gitu ya?”
“Itu kesimpulan
Vido aja sih, Mi. Abis katanya tiap peningkatan timbal 10 mikrogram/100 cc
darah diperkirakan menurunkan skor IQ sebanyak 2-3 poin!” Vido mendesis. Hal
itu sangat mengerikan baginya. Ia sungguh penasaran bagaimana hasil tesnya
nanti. Semoga saja darahnya tidak mengandung timbal sama sekali sehingga ia tidak
usah khawatir telah mengalami penurunan kecerdasan.
Ghira menoel Vido,
“Eh, tapi kok bisa sih timbal ada di dalam darah kita?”
“Kan keluarnya dari
asap. Asapnya mengandung timbal, terus asapnya kita hirup. Nah, apa yang
kita hirup itu kan nantinya terlarut di dalam darah kita. Uh, Ghira, kamu nggak
pernah baca buku Biologi ya?”
Ghira bengong. Yang
seperti itu ada di buku pelajarannya? Mungkin yang Vido baca itu buku pelajaran
SMP atau SMA kakaknya?
“Sebenarnya timbal
itu nggak cuman ada di asap kendaraan aja,” akhirnya Mami Vido angkat suara.
“Timbal itu ada di mana-mana. Timbal kan logam yang bisa dipakai macem-macem. Selain di asap kendaraan, timbal juga bisa ada di air minum
kalau pipanya pipa timbal. Dari makanan kaleng, alat makan, main-main tanah
yang ada
timbalnya.... Macem-macem... Di Indonesia, masih banyak
kendaraan yang bahan bakarnya pakai timbal...[8]”
“Tante, kok bisa
tanah juga ada timbalnya?”
Vido menjawab,
“Gini Ghir, kalau misalnya lagi hujan, debu dari asapnya kan jadi terlarut dalam
air hujan itu. Terus air hujannya mengalir terus sampai diserap sama tanahnya.
Kepikiran nggak, Ghir, kalau misalnya di pinggir jalan raya gitu ada sawah, terus
sawah itu diairinnya pake air yang di dalamnya ada timbalnya?”
Ghira terperangah
dengan perkataan Vido yang seperti menakut-nakuti itu. Tapi ia tidak ingin
memikirkannya.
“Terus, tadi kan katanya timbal ada di mana-mana. Ada di makanan
kaleng, pipa, dan lain-lain, terus itu gimana, Tante? Kita berarti
bakal kena timbal terus?” Ghira khawatir. Kadang-kadang ia suka makan sarden
atau kornet dalam kemasan kaleng. Apakah itu mungkin berbahaya?
“Nggak semuanya,
Ghira. Lagipula kita bisa kok bikin tubuh kita kurang menyerap timbal. Pokoknya
rajin-rajin makan makanan yang banyak kalsium dan zat besinya, kayak susu,
sayuran hijau...” kata Mami Vido.
Ghira menekuk muka.
Selama ini ia susah kalau disuruh Mama makan sayur. Kalau susu sih, ia suka
sekali.
“Mi, efek timbal
yang tadi Vido sebutin itu bener nggak sih?”
“O, ya bener. Malah masih banyak lagi... Kalau buat ibu
hamil, itu bisa sampai bikin bayinya meninggal loh…”
Ghira memasang
tampang shock yang berlebihan. Tanpa
harus meniru gelagat Ghira, Vido mengerti bahwa masalah ini adalah masalah
serius yang bisa menyebabkan penurunan kualitas generasi bangsa. Ini tidak
main-main dan tentu saja ia tidak mau sampai mengalami penurunan kecerdasan!
“Mi, terus apa yang bisa kita lakukan buat ngurangin timbal?”
“Menurut kalian
gimana?” Seperti biasa Mami Vido selalu balik tanya agar anak-anak berusaha mencari
jawabannya sendiri dulu.
“Kurangi asap
kendaraan!” seru Ghira.
“Iya, kurangin
jumlah kendaraan di jalan,” Vido melengkapi.
“Terus apalagi ya?” Ghira bergumam.
“Kurangi produksi
barang yang mengandung timbal,” dengan mantap Vido menambahi.
“Gimana caranya?”
tanya Ghira bingung.
“Caranya, besok
kamu harus jadi ahli kimia, Ghir!”
“Tapi aku mau jadi
pilot!”
Mami Vido
tersenyum-senyum saja mendengar celotehan dua anak itu. “Timbal ini bisa dikurangi dengan nanam pohon-pohonan loh.”
“Kok bisa, Tante?”
“Iya, daun-daun
pohonnya
kan entar yang menyerap timbal, debu,
sama
temen-temennya itu. Kalau udah keserap, kan timbalnya jadi nggak terbang ke
mana-mana lagi. Yang paling baik untuk menyerap timbal
itu pohon puring, pohon beringin, pohon tanjung... Jadi kita juga harus banyak
menanam pohon...”
“Oo... Global warming ya, Tante...” ingatan
Ghira langsung berasosiasi ke sana meski ia tidak mengerti amat akan istilah
tersebut. Sering dengar saja.
“Mi, pohon puring
tuh yang kayak gimana sih?”
“Entar Mami tunjukin... Di rumah Bu Nenden ada, entar kita lewat sana aja.”
Masih beberapa
belas menit lagi sebelum sampai ke tempat yang disebutkan Mami Vido. Kini mobil
yang mereka tumpangi meluncur di jalanan di kawasan alun-alun kota. Dari balik
jendela, Ghira dan Vido memandangi orang-orang. Pedagang kaki lima, polisi lalu
lintas, anak jalanan... Pemandangan yang hampir selalu mereka saksikan setiap
hari. Orang-orang yang sama. Yang sudah mereka kenali wajah-wajahnya. Dengan
pengetahuan baru yang telah mereka dapatkan, muncul suatu perasaan miris dalam
diri mereka.
“Timbal di dalam
darah mereka pasti banyak banget yah,” ujar Ghira pada Vido yang masih
memandang keluar. Tangannya menempel di kaca jendela.
“Iya...” Vido
terdiam. Ia sedang larut dalam perasaan kasihan terhadap anak-anak seumurannya
yang harus tinggal di jalanan. Menghirup timbal setiap hari. Bagaimana mereka
mau jadi cerdas?
“Pak Vampir pasti
lebih muntah lagi kalau ngisep darah mereka,” Ghira berbisik. Vido tersentak
karena teringatkan akan penghuni kamar kosong di kos-kosan sebelah rumah.
“Pak Vampir... Tadi
di sekolah saya dikasih tablet kunyah kalsium sama bu guru,” Ghira menunjukkan
botol kecil berisi penuh dengan tablet kecil-kecil pula. Sepulang sekolah hari
itu, seperti biasa Ghira main dulu ke rumah Vido. Ghira langsung lari ke kamar
Pak Vampir sementara Vido tertahan di rumah karena disuruh ayahnya membantu
mengerjakan penelitiannya sebentar. “Masih banyak lagi sih yang dikasih, tapi
nggak semuanya. Terus kita harus minum tablet ini sampai tiga bulan. Buat apa ya? Kalo inget kata-katanya Mami Vido sih,
kalsium itu bisa bikin tubuh kita jadi nggak gitu menyerap timbal. Jadi nanti
mungkin kalau saya terus minum tablet ini, darah saya jadi nggak mempan Sama timbal lagi deh! Nanti boleh deh saya kasih sedikit darah
saya sama Pak Vampir. Tapi dikit aja ya, Pak. Oh ya, si Vido kayaknya sirik deh
saya dikasih tablet ini tapi dia nggak. Dia nggak termasuk anak-anak yang
dikasih tablet ini, hihihi... Tapi, Pak, katanya setelah tiga bulan lagi itu, bakal dilakuin tes darah lagi. Padahal kan
sebetulnya saya takut, Pak. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Pak.... Tau
gitu kan kenapa bukan Vido aja ya yang dikasih tablet ini. Dia kan nggak takut
disuntik. Tapi ya gimana lagi, disuruh bu gurunya gitu... Kata Vido sih
sebenernya ini untuk penelitian lagi. Tapi nggak tau penelitian apaan…[9]” Kepala Ghira naik turun sok merenung.
Pak Vampir terbaring lemah dalam petinya. Beberapa tumpuk bantal
menyangga punggung dan kepalanya agar ia bisa duduk tegak dan melihat-lihat
pemandangan di luar peti dengan ranah pandang yang lebih luas. Meski yang dapat
ia lihat hanyalah tumpukan barang-barang bekas dan kuno tak terpakai di seluruh
penjuru kamar. Pemandangan ini tak berubah-ubah dari hari ke hari. Hari-hari di
mana ia menghitung mundur waktu sampai ke ajalnya. Yang mendatangi kamar ini
hanya dua anak ini saja, Ghira dan Vido namanya. Mereka memasang tripleks pada
rongga pintu yang bolong supaya Pak Vampir tidak masuk angin dan lagi Pak
Vampir tidak begitu menyukai cahaya matahari.
Pak Vampir kini
sudah tidak punya tenaga, bahkan untuk mengubah dirinya menjadi kelelewar.
Sisa-sisa tenaganya telah menyusut padahal aktivitas yang dilakukannya hanyalah
mendongeng kepada dua anak itu mengenai kehidupannya dulu. Masa lalunya.
Hari-hari indahnya di kastil megah di suatu dataran tinggi nun jauh di sana.
Kampung halaman yang takkan pernah mampu ia raih lagi. Ia akan menjadi tiada di
tanah orang.
Kini Pak Vampir
hampir-hampir tidak bisa bergerak kalau tidak dibantu. Ketika dua anak itu
datang, ia hanya bisa menjadi pendengar. Mereka akan berceloteh dengan ramai
dan sok serius dan tenaga yang ia punya hanya cukup untuk menyeret bola matanya
menatap ke arah lawan bicaranya. Oh, tentu saja ia sendiri bukan lawan yang
baik kini. Ia hanya bisa mendengar mereka tanpa mampu banyak menimpal balik.
Beberapa hari yang lalu, anak-anak ini
bercerita padanya kalau darah mereka tidak enak rasanya mungkin karena
mengandung suatu logam yang bernama timbal. Mereka banyak bercerita tentang
benda itu. Ia hanya bisa mengerutkan kening (dan itu juga menyita sedikit
tenaganya) karena tidak bisa membayangkan bagaimana suatu logam bisa masuk ke
dalam tubuh anak-anak kecil itu dan mengontaminasi darah mereka. Terhirup
melalui hidung? Hm, yang ia ingat tentang logam hanyalah baju zirah yang suka
dipakai para ksatria yang sesekali menginap di kastilnya kalau cuaca sedang
buruk. Hm, ia masih ingat rasa darah mereka. Korban yang benar-benar empuk.
Darah para pemberani. Benar-benar membangkitkan gejolaknya. Begitupun kuda-kuda
mereka yang gagah-gagah. Ah ya, alas kaki kuda mereka juga menggunakan logam.
Pikiran Pak Vampir mengembara lagi, menelusuri masa lalunya, mengenangnya
sebelum tidak dapat ia kenang lagi untuk selama-selamanya.
Ghira tiba-tiba
berhenti bicara, bersamaan dengan bergesernya tripleks di belakangnya karena
Vido hendak masuk ke dalam. Dua sahabat itu saling memandang.
Sambil menggeser
kembali tripleks ke tempatnya, sehingga ruangan itu hanya diterangi beberapa
garis cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang
ditutupi kain seadanya, Vido berujar pada Ghira,”Kamu udah bilang rencana kita
kemarin?”
Mata Pak Vampir
mengikuti gerak Vido yang kini sedang mendekatinya.
Ghira menggeleng.
Vido mendengus, tentu saja, mana kawannya ini akan bertindak kalau tidak
diingatkan...
“Jadi begini, Pak
Vampir, kita kemarin kan udah diskusi gimana caranya supaya Bapak bisa sehat
lagi. Trus kami kepikiran buat ngebawa Bapak ke suatu tempat.”
“Yang udaranya
masih bersih!” sela Ghira yang semangatnya timbul begitu ingat dengan ide yang
dianggapnya brilian ini.
“Yang
orang-orangnya belum pada kena timbal,” tambah Vido.
“Kita bakal ke
desa!” sorak Ghira.
“Minggu besok. Jadi
maaf, Pak Vampir, Bapak masih harus nunggu beberapa hari lagi soalnya kalo
nggak di hari Minggu kita kan harus sekolah.”
“Iya, maaf, ya,
Pak. Bertahan, Pak!”
“Tapi, ada
syaratnya, Pak.”
Mata Pak Vampir
bergerak-gerak, berganti-ganti menatap dua bocah yang berbicara sambung
menyambung tak ada putusnya itu.
“Yang pertama,
Bapak harus berubah jadi kelelawar dulu supaya muat masuk tas. Soalnya, kalau
Bapak nggak berubah nanti gimana kami bisa bawa Bapak tanpa ketahuan sama
keluarga kami?” sambung Vido lagi. “Terus, yang kedua, Bapak harus janji,
setelah tenaga Bapak pulih, Bapak bener-bener langsung balik ke tempat Bapak
seperti yang kemarin Bapak bilang itu.”
“Kata Vido, Bapak
nggak boleh terus tinggal di sini, soalnya, drakula itu kan tinggalnya di
Eropa. Kalo entar Bapak menetap di Indonesia....”
“Ghira, itu nggak
penting tau!” Vido mencubit pipi Ghira keras. Ghira memegangi pipinya yang
memerah dan meringis sementara Vido menyadari bahwa Pak Vampir kini sudah
begitu lemahnya. Perasaan kemarin belum begitu parah...
Pandangan Pak
Vampir meredup.
Matanya membuka
lagi saat Ghira menggoncang-goncangkan lengan Pak Vampir. “Pak Vampir! Pak
Vampir!” jeritnya.
Vido terpaku di
tempat. Bingung harus bagaimana.
“Jangan mati, Pak!”
Ghira jelas sama bingungnya.
Mulut Pak Vampir
membuka, terlihat kedua taringnya yang tajam menyempil. Dengan susah payah ia
berkata terpatah-patah,” B—Bagaimana kk—kalian, para manusia, bisa tahan hidup
dengan racun mengalir di tt—tubuh kaliann??”
Pak Vampir masih
sempat menggores lengan Ghira dengan kukunya yang tajam. Ujung kuku yang
berlumur setitik darah itu dijilatnya. Ia melepeh.
“Rasanya tetap
tidak enak meski di saat-saat terakhirku...” gumamnya tapi tak terdengar oleh
kedua bocah yang sedang panik itu.
Kepalanya terkulai.
Tubuhnya kaku seketika. Kini hanya tinggal seekor kelelawar mungil di atas
telapak tangan Ghira.
“Mukanya kelihatan
menderita,” Vido berkomentar.
Ghira mengusap
matanya dengan lengan baju.
Di balik tajuk
pohon beringin, di tengah taman kompleks perumahan Vido, puncak
mentari jingga menyembul dengan damai. Cahayanya menaungi kepiluan dua bocah
yang sedang berdiri berhadapan di bawah tajuk pohon beringin. Di tengah-tengah
mereka sudah digali sebuah liang kecil yang akan digunakan sebagai tempat
peristirahatan terakhir si Vampir.
Ghira berlutut,
hendak membenamkan kelelawar di lengannya ke dalam liang tersebut. Kelelawar
itu sudah dibalutnya dengan kain putih yang ditemukannya di kamar tadi. Entah kain
bekas apa. Tangan Ghira tertahan di atas liang.
“Bener, kita nggak
usah solatin dulu?”
Vido memutar bola
matanya.
Tangan Ghira sudah
menyentuh dasar liang kini. Ditariknya dengan lembut. Gundukan tanah yang ada
di sekitar liang ia siramkan ke dalam liang. Pelan-pelan, bagai sedang menabur
makanan ayam. Vido mengikuti perbuatan sobatnya itu. Ia ambil sebongkah tanah dan
dalam sekejap liang itu sudah tertutup lagi. Ia ratakan gundukan kuburan si
kelelawar dengan sekop yang dibawanya dari rumah.
“Selesai,” ujarnya
sambil pura-pura mengusap peluh di balik poninya.
Ghira cemberut
karena upacara penguburan Pak Vampir jadi hilang kehikmatannya.
“Kenapa ya darah
kita harus nggak enak gitu rasanya. Jadinya kan kita nggak bisa menolong Pak
Vampir,” ucap Ghira murung, lebih kepada dirinya sendiri, seusai bangkit dari
mendoakan jenazah dalam liang kubur.
Vido tersenyum
simpul, coba menghibur sobatnya itu dengan suatu pikiran yang spontan melintas
di otaknya, “Mungkin yang harus kita lakuin sekarang adalah menanam banyak
pohon di kota supaya bisa memperbaiki kualitas darah kita. Jadi kalau suatu
saat ada vampir kelaparan datang lagi, kualitas darah kita udah cukup baik
untuk disumbangkan.”
Ghira tampak ragu.
“Inget nggak, pas tahun lalu kita ada acara nanem pohon di belakang sekolah?
Sampai sekarang nggak ada yang tumbuh tuh.”
“Ada tau, nggak
semua tapi. Mungkin gara-gara nggak ada yang ngerawat kali? Mami saya nanem
pohon mangga di halaman pas saya masih kecil. Tiap hari disiramin terus kadang
dikasih pupuk juga. Sekarang pohonnya udah gede tuh.”
“Oh, yang suka kita
panjatin itu?”
Vido mengangguk.
“Iya, yang itu.”
“Jadi percuma nanam
banyak pohon kalau nggak dirawat, Ghir...”
Sepasang sahabat
itu pulang sambil merangkul bahu satu sama lain, kembali meninggalkan Pak Vampir yang
terbenam dalam kelamnya tanah.
050709.13.22WIB
[1] Seperti penggambaran Mr.
Drakula dalam Mr. Drakula Ikut Pesta
oleh Silvia Iskandar, Situs Web Kimia Indonesia, diunduh 16 Februari 2009, 2.38
PM.
[2] Disesuaikan dari
informasi dalam thread Dracula, fakta
yang dikaburkan, forum Kapanlagi.com, 29 Desember 2008, diunduh 16 Februari
2009, 2.38 PM.
[3] Ceritanya kurang lebih
tentang seorang anak laki-laki yang bertemu vampir di suatu sirkus kemudian ia
divampirkan oleh vampir tersebut. Namun masih ada serangkaian ujian yang harus
ia lewati untuk menjadi vampir sejati.
[4] Sebetulnya flu Spanyol adalah epidemik tahun 1917 yang
membunuh lebih banyak orang daripada Perang Dunia I (sumber: A Reader for Developing Writers oleh
Santi V. Buscemi, McGraw-Hill, 2002), yang mengubah Edward Cullen dalam Twilight jadi vampir.
[5] Sebanyak 66 % siswa di
Kota Bandung memiliki kadar timbal dalam darah melewati nilai ambang batas dari
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 ug/dL. Data tersebut berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Departemen Teknik Lingkungan ITB, Indonesian
Lead Information Center (LIC-Jakarta), Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dan
Fakultas Psikologi Unpad, sejak Mei hingga Desember 2005. Penelitian dilakukan
terhadap 400 anak dari 40 sekolah dasar (SD) yang tersebar di 25 kecamatan di
Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan, ada korelasi negatif antara kadar
timbal dalam darah dan intelligence
quotient (IQ) anak-anak. (66% Siswa
di Bandung Tercemar Timbal, Website Udara Kota, 1 Januari 2007, diunduh 16
Februari 2009, 2.21 PM)
[6]Anak-anak Berisiko Tinggi Tercemar Timbal dalam Darah, oleh Gsianturi, 27
April 2004 (www.gizi.net), diunduh 16 Februari 2009, 2.22 PM
[7] Makanan khas Sunda.
Biasa disuguhkan di atas daun pisang dengan komposisi: nasi, lalapan, sambal,
ikan asin, tahu-tempe-ayam goreng—bisa pula ditambah lauk lainnya.
[8] Timbal si Pencuri IQ, laman CBN (www.cbn.net.id), 18 September
2002, diunduh 16 Februari 2009, 2.22 PM
[9] Penelitian terhadap 400
murid pada 40 sekolah dasar di Kota Bandung membuktikan bahwa intervensi
kalsium secara rutin pada anak menurunkan kadar timbal dalam darah. Penelitian
ini dilakukan pertengahan tahun 2005 hingga akhir 2006 serta melibatkan pihak
sekolah dan orangtua murid. Selama 90 hari, 270 murid kelas III dan IV
diwajibkan mengonsumsi tablet kunyah mengandung mineral kalsium, masing-masing
dosis 500 miligram per hari (sebanyak 140 anak) dan 250 mg per hari (130 anak).
Sebanyak 130 anak lainnya tak diwajibkan mengonsumsi tablet kunyah sebagai
pembanding sebelum kesimpulan penelitian. Hasilnya, kadar timbal dalam darah
yang mengonsumsi tablet kunyah kalsium turun hingga setengahnya. (Terapi Kalsium Tekan Kadar Timbal dalam
Darah dalam laman KOMPAS, 28
Desember 2007, diunduh 16 Februari 2009, 2.31 PM)
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu