Senin, 20 Juli 2009

Kaum Parsimonious

Kaum Parsimonious membuat gubuk—begitu mereka menyebutnya—mereka di pinggiran kota. Jauh dari hiruk pikuk masyarakat kota dan tidak ada yang bisa membujuk mereka untuk membeli barang-barang yang tidak mereka perlukan.

Brangkal merupakan bahan utama yang digunakan Kaum Parsimonious untuk membangun gubuk mereka. Mereka mengolahnya lagi sehingga layak dipakai. Jika mereka membutuhkan yang lain mereka akan mengambil secukupnya. Gubuk itu dirancang bersama-sama dan seorang pensiunan insinyur sipil di antara mereka memberitahu bahan mana yang baik untuk dijadikan bagian apa. Gubuk itu masih utuh meski angin puting beliung dan gempa pernah menghampiri daerah tersebut.

Ruang utama gubuk mampu menampung puluhan anggota Kaum Parsimonious. Ruangan itu temaram karena mereka belum merasa butuh untuk mengganti lampunya dengan lampu 100 watt. Mereka menggunakan ruangan itu hanya untuk rapat atau kegiatan verbal lainnya yang tidak membutuhkan pencahayaan tinggi.

Di satu sisi terpampang sebuah papan ukuran besar yang bersih dari serangan debu. Papan itu berisi tulisan demikian:

 

P R I N S I P – P R I N S I P

K A U M  P A R S I M O N I O U S

 

1

Gunakan akal pikiranmu.

Pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.

2

Carilah penghasilan sendiri.

3

Simpan untuk orang lain dan diri sendiri untuk masa depan.

4

Gunakan jika menyangkut kebutuhan hidup yang vital.

Pilih produk yang murah tapi berkualitas

5

Untuk kebutuhan yang tidak terlalu vital, terapkan selalu 3R: Reuse, Recycle, Refill.

Ingat selalu prinsip “dengan modal kecil mendapatkan keuntungan secukupnya”

6

Manfaatkan kebaikan orang lain tanpa harus kehilangan harga diri. Jangan melewatkan orang-orang ikhlas yang memberikan gratis.

7

Bermurahhatilah. Maka orang lain pun akan bermurah hari padamu.

 

Kaum Parsimonious berpegang pada ketujuh prinsip ini dalam urusan mereka yang berhubungan dengan finansial.

Kamis malam ini, yang merupakan jadwal pertemuan rutin diadakan, ruangan itu tengah diisi sekitar duapuluhan anggota. Mereka duduk melingkar dan tampak serius membicarakan sesuatu.              

“Terimb membeli silikon untuk membungkus ponselnya,” seorang wanita mendesis.

“Kemarin kita sudah sepakat bahwa kita tidak membutuhkannya kalau kita bisa menjaga barang kita dengan hati-hati,” sahut seorang pemuda yang berpeci hijau.

“Tapi tidak ada yang bisa menjamin kalau kita bisa selalu bersikap hati-hati,” celetuk seseorang dengan lantang.

“Kalau kita menggunakan pelindung, itu akan mengurangi kehati-hatian kita. Jatuh sesekali mungkin tidak apa-apa. Itu akan menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berhati-hati menjaga barang kita,” balas si pemuda berpeci hijau lagi.

“Ya, sesungguhnya kita tidak membutuhkannya. Kaum Enturpeneer telah mempengaruhi masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka merasa membutuhkannya,” tambah seorang perempuan yang sedang memelintir tali yang menjuntai dari rok belelnya.

“Bagaimana dengan Konstipastop?”

“Apa itu?”

“Obat sembelit. Aku melihat Hilda memborongnya kemarin.”

“Satu lagi anggota kita yang kelebihan uangnya,” gumam seseorang. “Padahal ia bisa menggunakan uangnya untuk hal yang lebih penting.”

“Ia tak perlu membelinya kalau saja ia rajin makan sayur dan buah berserat. Itu lebih murah ketimbang membeli produk-produk Taishit,” kata perempuan dengan rok belel itu lagi.

“Ya... Ya...” Orang-orang bergumam menyetujui.

Pemuda berpeci hijau menepuk tangannya beberapa kali agar perhatian orang-orang beralih kembali padanya. “Hari ini telah kita dengar beberapa saudara kita telah terjerat bujuk rayu Kaum Enturpeneer.”

“Ya! Mereka telah membuat orang-orang membeli barang yang tidak perlu!”

“Kita tidak boleh lengah, Saudara-saudara! Kita harus selalu berpikir sebelum memutuskan membeli sesuatu.”

“Ya! Ya!” Orang-orang berseru dan itu menutup pertemuan rutin kali itu.

Lepas dari ruang utama di mana beberapa orang masih tinggal untuk berdiskusi, Mahet, perempuan dengan rok belel tadi, berjalan gontai menuju satu pintu. Dibukanya pintu itu dan didapatkannya beberapa orang di dalam ruangan kedap suara. Setiap sisi dinding ruangan itu dilapisi busa styrofoam tebal. Mereka banyak mendapatkannya di Tempat Pembuangan Sampah Akhir—sumber utama bahan bangunan gubuk tersebut. Orang-orang dalam ruangan itu sedang bermain-main dengan alat musik mereka masing-masing. Alat musik buatan mereka sendiri yang bahan-bahannya kau-pasti-sudah-dapat-menebak-darimana-mereka-mendapatkannya.

Mahet tersenyum murung pada mereka semua. Seseorang berpeci Turki menyapa, “Hai Mahet, lagu apa lagi yang kau buat?”

“Kami menanti-nanti lagu ciptaanmu yang bercerita tentang seseorang berpeci hijau,” celetuk seorang yang lain dengan nada menggoda sambil mengedipkan mata. Mahet menyeringai.

“Oh Raf, memang apa yang bisa dia lihat dari aku? Yang hanya bisa mengkhayalkan kata-kata dan nada?”

“Setidaknya kami bisa membuatnya jadi nyata.” Raf mengangkat bahu.

Mahet mencoba terlihat senang untuk merespons orang-orang yang mencoba menghiburnya ini. Mereka pandai bermusik tapi terlalu malas berupaya menciptakan sendiri lagu mereka. Kemunculan Mahet sedikit banyak menolong mereka meski kebanyakan lagu-lagu ciptaannya bernada pesimis—berkebalikan dengan mereka yang rata-rata selalu menanggapi apapun dengan positif.

“Sebetulnya sejak kemarin-kemarin aku memikirkan lagu yang menceritakan tentang sejarah terbentuknya Kaum Parsimonious, Abun,” Mahet membalas pertanyaan dari orang yang tadi pertama kali menyapanya.

“Bagaimana liriknya?” teriak seseorang di pojok belakang seakan sudah siap membuat irama. Keahliannya adalah dalam memainkan alat musik pukul.

“Sebenarnya aku belum benar-benar merangkai liriknya. Mm, mungkin seperti ini...

dalam gubuk kecil ini kami adalah mereka

yang tergerus dari peradaban

karena tak punya cukup uang

untuk mengikuti gaya hidup masyarakat urban

jadi kami mundur dan hidup dengan cara kami sendiri

mereka menerimanya dengan cibiran dan cemoohan

menjauhlah kami ke pinggiran.”

“Nada minor seperti biasa,” Raf mengedipkan mata pada Abun.

tapi kami menemukan bahwa kami masih bisa hidup

dengan cara kami yang sederhana

kami tak butuh semua barang itu

kami hanya butuh yang kami butuhkan bukan yang kami inginkan

 jika kau punya lebih, lebih baik berikan pada yang

membutuhkan.” 

Masih dengan peci hijau bertengger di kepalanya, Sotka masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya sambil melanjutkan kalimat Mahet.

“Lirik buatanmu butuh polesan lagi,” ucap Mahet gagap karena menyadari kehadiran Sotka.

“Hei, kayak lirik buatanmu sendiri cukup bagus saja,” ledek Raf.

“Memang tidak ya?”

“Keluarlah dan kembali kalau sudah mendapatkan mood.”

Mahet menurut. Lewat pintu di sisi lain ruangan ia keluar dan mendapatkan langit gelap bergemerlapan bintang-bintang menaungi Tempat Pembuangan Sampah Akhir yang terhampar beberapa puluh meter jauhnya di depan. Di belakangnya tampak siluet beberapa gundukan bukit. Perbukitan tandus yang Kaum Parsimonious terlalu-sibuk-mengolah-sampah untuk memikirkannya.

Ia mencoba merangkai kata-kata lagi. Yang penting adalah idenya. Bagaimana memoles kata-katanya menjadi lirik yang mengena itu urusan nanti. Ia mengeluarkan isi kepalanya sambil coba-coba menyanyikannya.

mereka membeli terlalu banyak barang

dan membuangnya ke tempat kami.

negeri ini tidak tahu bagaimana mengelola sampahnya,

(meski kami tahu)

tapi mengapa mereka tetap membeli banyak barang...

kau tahu berapa banyak sampah yang bakal dihasilkan

karena itu...

Ponselnya berbunyi dan ia kehilangan kata-kata. Ah, biarlah. Toh yang barusan keluar dari mulutnya itu pun terasa bagai sesuatu yang tak ada maknanya. Dibacanya sms yang masuk. Sms itu dari temannya yang ia kenal dari kursus menjahit semester pendek yang diikutinya setahun lalu. Kursus yang berguna karena kini ia bisa menambal sendiri pakaiannya meskipun itu membuat bisik-bisik tetangganya semakin keras. Mereka bisa menjadikan pakaian kurang bahan sebagai mode lalu apa salahnya jika pakaian penuh tambalan dipandang juga sebagai suatu mode?

Yafa menawarkan suatu pekerjaan part time yang bisa memberinya lima ratus ribu per bulan. Ia sendiri sudah mencobanya. Menarik! Penghasilannya selama ini sebagai penulis lagu untuk The Parsimoniy tidak bisa dibilang cukup berarti. Band milik Kaum Parsimonious ini mengedarkan sendiri lagu-lagu mereka. Label mayor tidak bisa menerimanya karena meskipun komposisi musiknya kaya (bunyi-bunyian yang hanya bisa kau dapatkan dari alat musik-alat musik hasil modifikasi berbahan sampah) akan tetapi kebanyakan liriknya amat tidak komersil. Selain itu masyarakat pun tidak menyukai lirik lagu-lagu The Parsimony karena isinya kebanyakan menohok masyarakat dengan keburukan-keburukan yang mereka perbuat sendiri. Hanya segelintir manusia idealis-realistis yang cukup berani untuk menyukai karya mereka.

Mahet tersenyum sendiri membayangkan ia akan bisa memenuhi biaya hidupnya sendiri tanpa harus bergantung pada orangtuanya. Orangtuanya yang masih bertahan dengan gaya hidup masyarakat kota padahal akan lebih baik bagi masa depan mereka kalau mereka mau menganut juga prinsip-prinsip Kaum Parsimonious sepertinya.

Ia membalas sms temannya itu dengan menanyakan deskripsi pekerjaan itu setelah mengucapkan terimakasih atas tawarannya.

Mari besok bertemu di Selasar Balai Kota. Akan kubawa kau ke kantor dan mereka akan menjelaskannya untukmu.

Tidak bisakah lewat sms saja, please?

Tiba-tiba ia ingat jangan-jangan pekerjaan ini adalah semacam MLM seperti Taishit. Kalau benar begitu tentu saja ia tidak bisa menerima pekerjaan ini! Ia melanjutkan mengetik sms,

Apakah ini semacam MLM? Kalau iya, aku tidak bisa. Aku tidak yakin memiliki kemampuan seperti itu.

Bukan jadi sales, kok. Pekerjaan ini semacam menjadi promotor produk kesehatan.

Mahet terdiam. Tuh kan, benar. Ia tidak bisa menerima pekerjaan ini. Ia tidak bisa menjadi bagian dari mereka yang membujuk rayu orang-orang agar jadi konsumtif. Membeli barang-barang yang tidak mereka mereka butuhkan.

Mahet, sebagaimana anggota setia Kaum Parsimonious lainnya, yakin bahwa mereka masih dapat hidup sehat tanpa harus mengonsumsi produk kesehatan macam itu. Asalkan mengaplikasikan gaya hidup sehat tentu saja. Kaum Parsimonious tahu bagaimana mengaplikasikannya dengan cara semurah-murahnya dan sehemat-hematnya karena itu sudah bisa dikatakan asas hidup mereka. Kaum Parsimonious memahami bahwa sesungguhnya manusia zaman ini semakin kesusahan mendapatkan uang karena persaingan mendapatkan penghasilan yang makin ketat dan tidak sehat. Tapi Kaum Enturpeneer terus menerus menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Mereka mempengaruhi masyarakat bahwa kebutuhan-kebutuhan itu harus mereka penuhi kalau tidak mau ketinggalan zaman. Kini kita hidup di masa di mana bukan lagi kerusakan moral akan tetapi menjadi ketinggalan zamanlah yang merupakan sanksi sosial terberat. Namun Kaum Parsimonious terdiri dari orang-orang menengah ke bawah yang tidak boleh begitu saja terjerat pengaruh Kaum Enturpeneer yang sangat menuntut tingginya finansial. Mereka berhasil menggunakan akal mereka untuk memilah-milah mana kebutuhan yang vital dan mana yang tidak. Mereka memisahkan antara kebutuhan yang menopang hidup dengan keinginan sesaat yang tidak akan menyebabkan kefatalan kalau tidak mereka penuhi. Prinsip-prinsip Kaum Parsimonius—yang dirancang oleh para pemikir terdahulu mereka—begitu kuat mereka terapkan sehingga ketika mereka mendapatkan kelebihan, itu tidak akan mereka gunakan untuk menyenangkan diri mereka dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak perlu, melainkan akan mereka berikan kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan vital mereka. Masih ada banyak orang-orang seperti itu di negeri ini.

Mahet tidak memberitahu alasan itu pada Yafa, demi hubungan baik mereka, meskipun hubungan itu belum begitu dekat sehingga Mahet bisa mengajak Yafa untuk bergabung dengan Kaum Parsimonious.

.

Sebenarnya Mahet agak paranoid ketika harus memasuki kawasan pusat kota. Orang-orang pasti memperhatikannya, entah secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka akan memperhatikan penampilannya yang sederhana dan mencela pilihannya pada produk-produk yang tidak bergengsi.

Apa boleh buat. Pusat kota adalah pusat segalanya, di mana kita bisa mendapatkan supermarket, toko sayur dan buah, toko daging, toko buku, perpustakan, dan seterusnya. Mahet harus ke pusat kota setidaknya dua hari sekali untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Meski harus mengecap paranoia, setidaknya apa yang ia dapatkan dengan indranya di sana bisa menjadi stimulan untuk ide-ide kreatifnya.

Seperti biasa Mahet menapaki jalan yang memisahkan deretan toko yang satu dengan deretan toko yang lainnya. Jalanan itu tertutup paving blok yang rapat dan tidak akan membiarkan tanah di bawahnya meresap air kecuali setetes demi setetes yang melalui celah-celahnya. Mereka seharusnya tidak perlu menghabiskan begitu banyak uang membuat ini, pikir Mahet. Setidaknya dengan paving blok serapat ini. Andai mereka memilih paving blok dengan lubang-lubang yang berumput, mereka tidak akan mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh air bersih. Rerumputan akan menghisap air hujan yang turun, menampungnya di dalam tanah, menjadi sumber air bagi masyarakat kota...

Mahet berbelok ke jalan raya. Ia berjalan di jalur pedestrian yang ditutupi oleh kanopi yang ditopang tiang-tiang. Mereka seharusnya tidak perlu mengeluarkan begitu banyak uang untuk membuat ini. Tanami saja pepohonan di sepanjang jalan ini, yang terdiri dari jenis-jenis bertajuk rindang dengan perakaran dalam. Jalur di pinggir pepohonan akan cukup teduh untuk menaungi pedestrian, pikir Mahet. Polusi dari kendaraan-kendaraan yang berseliweran pun akan terserap oleh kehadiran pohon-pohon itu.

Mahet telah memasuki pusat perbelanjaan yang lain dan kembali menapaki paving blok. Ia menangkap headline beberapa koran berbeda yang dijajakan sebuah kios yang dilewatinya. Ia berhenti sebentar untuk membaca berita apa yang tengah jadi sajian utama koran-koran itu. Rupanya negeri ini sedang digemparkan oleh hasil sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan serentak di seluruh negeri. Penelitian ini melibatkan sekitar 10% dari jumlah populasi penduduk dan menghasilkan suatu kenyataan mengerikan: Kualitas Intelejensia Sumber Daya Manusia Terancam Mengalami Penurunan.

Mahet tahu negerinya sedang dalam usaha menjadi negara maju dan tentu saja itu membutuhkan SDM yang berotak cemerlang. Pembangunan telah dilakukan di mana-mana dan ternyata itu menjadi pedang bermata dua. Pembangunan yang dilakukan di negeri ini ternyata tidak memenuhi AMDAL. Banyak polutan dilepas begitu saja di alam. Polutan tersebut banyak terhirup dan mengental bersama darah masyarakat lewat udara, makanan, dan masih banyak lagi sumber tercemar lainnya. Polutan yang paling berbahaya adalah Pb alias pumblum atau timbal. Hasil penelitian menunjukkan 10% penduduk yang tersebar di seluruh penjuru negeri yang telah hampir merata pembangunannya ini telah menurun intelejensianya akibat sering terpapar timbal. Penelitian itu juga memaparkan bahwa semakin banyak bayi autis yang dilahirkan di negeri ini adalah akibat paparan timbal juga.

Tidak heran, Mahet mengerling ke arah jalan raya, kalau jumlah kendaraan bermotor yang lewat setiap harinya sebanyak ini. Awalnya Kaum Parsimonious juga tidak mau melepaskan ketergantungan mereka pada kendaraan bermotor karena itu lebih murah ketimbang harus menggunakan kendaraan umum. Tapi lalu seorang pemikir di antara mereka berhasil meyakinkan bahwa berjalan kaki dan bersepeda jauh lebih murah daripada naik kendaraan bermotor dan keuntungan yang didapatkan jauh lebih besar dan berjangka panjang ketimbang menggunakan kendaraan bermotor, meskipun harus berlelah-lelah dulu karenanya. Ya, pada mulanya tidak sedikit Kaum Parsimonious yang mengeluh kelelahan karena mencoba usul sang pemikir ini. Mereka juga harus menahan celaan dari masyarakat yang memandang rendah mereka, mengira mereka orang tak berpunya, karena tidak menggunakan kendaraan bermotor. Tapi lama kelamaan mereka dapat menepis celaan itu. Mereka juga tidak merasakan kelelahan lagi ketika harus mengayuh pedal berkilometer-kilometer jauhnya karena mereka menyadari stamina mereka meningkat dari hari ke hari. Mereka jadi tidak mudah sakit dan itu mengurangi anggaran untuk ke dokter.

Tapi kini masyarakat tidak perlu khawatir, Mahet membaca di kolom lain, Perusahaan Taishit telah menemukan tablet kalsium yang dapat mengurangi kadar timbal dalam darah. Presiden bahkan menganjurkan masyarakat agar mengonsumsinya. Perusahaan Taishit pun tidak mematok harga yang tinggi sehingga semua lapisan masyarakat bisa membelinya.

Mahet mencoba menerka-nerka berapa besar keuntungan yang dapat diperoleh Perusahaan Taishit dari penjualan tablet kalsium ini.

Oh, oh, sungguh pengeluaran yang tidak perlu! Masyarakat seharusnya tidak perlu membeli tablet ini. Kalau saja mereka rajin mengonsumsi pangan yang mengandung kalsium dalam makanan sehari-hari mereka (yang dengan semakin cepatnya zaman bergerak, maka orang-orang pun membutuhkan makanan yang ‘cepat’. Kau tahu, gizi di dalamnya sudah banyak terdegradasi). Kalau saja mereka mau mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan menciptakan pembangunan yang bebas polusi...

“Heh, kau pasti si Parsiomonious pelit!” Tahu-tahu pemilik kios telah berada di sampingnya, mengawasinya.

“Darimana kau tahu?” Mahet menatap curiga. Tubuhnya mengkeret.

“Kaum Parsimonious adalah orang-orang kikir yang inginnya mendapat gratisan...” desis si pemilik kios bengis. Mahet ingat kata ‘gratis’ memang ada di salah satu sila Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious dan jelas si pemilik toko ini bukanlah orang yang ‘ikhlas’. “Dan kalian suka membeli barang-barang murahan, saking kikirnya kalian...”

“Hei, kami lihat-lihat kualitas juga, tahu!”

“Kau harus bayar kalau mau membaca koran ini!”

Pemilik toko itu mengusirnya. Mahet beringsut menjauh. Seorang ibu berpakaian modis menarik anaknya, yang pakaiannya senada dengan ibunya, menjauh begitu jarak Mahet dengan mereka berdekatan. Mahet hanya bisa menelan kepahitannya. Namun ia punya sesuatu yang bisa menjadi topik menarik untuk dibahas dalam pertemuan rutin berikutnya!

.

Orang tua itu tak bisa menyembunyikan ketakutannya. “Mereka memeriksa kandungan timbal di darahku dan mereka menyuruhku mengonsumsi banyak tablet kalsium...”

Semua orang dalam keremangan ruang utama menyimak perkataan orang tua tersebut dengan serius.

“Karena aku juga sering membawa cucuku tersayang berjalan-jalan di kota, maka aku khawatir ia terpapar juga. Padahal ia masih berumur 6 tahun! Ia baru akan menginjak Sekolah Dasar! Ia membutuhkan kecerdasannya!” Orang tua itu memandang sekitarnya sambil mengumpulkan keberanian untuk berbicara, “Bolehkah aku memberinya tablet kalsium?”

“Kau tidak perlu memberinya,” sahut Sotka tenang. Semua mata menatap ke arahnya. Sebagian besar terkejut—terutama si orang tua—dengan perkataan pemuda yang yang kerap menjadi pemimpin pertemuan itu. “Cucumu makan tiga kali sehari kan? Jika setiap ia makan, kau berikan ia makanan yang mengandung banyak kalsium, aku rasa itu sudah cukup. Kau cukup memberinya susu di pagi hari, ikan teri dan brokoli di siang hari, dan yoghurt di malam hari. Itu semua mengandung kalsium dan kau tidak usah memberinya lagi tablet kalsium. Masih banyak contoh makanan lainnya yang mengandung kalsium. Mereka membuatmu ketakutan, itu taktik mereka agar kau membeli produk mereka.”

“Ya, aku pikir itu lebih efektif,” seseorang menanggapi. “Masukkan pangan yang mengandung kalsium dalam menu harianmu. Kau tidak lagi membutuhkan tablet kalsium.”

“Lagipula kita tinggal di pinggiran kota, tersisih dari masyarakat pemakai kendaraan bermotor. Sedikit kita hirup asap kendaraan di sini dan bukankah kita juga menjaga dengan ketat limbah pabrik pengolahan sampah kita? Bahkan kita memanfaatkan limbah untuk sesuatu yang dapat berguna untuk kita! Kita tidak begitu saja membuangnya dan mencemari lingkungan, bukan?”

“Tunggu, bukankah jika kita menggunakan lagi limbah itu... Apakah di dalamnya masih terdapat polutan?”

“Hei, percayalah pada para ilmuwan kita! Kita punya beberapa ilmuwan yang secara sukarela bekerja di sini dan tidak terikat kegilaan materi!”

Hampir saja terjadi perdebatan yang mengarah pada kesengitan antara dua orang itu. Sotka menepuk tangannya berkali-kali untuk menengahi.

“Intinya, kita semua juga punya potensi untuk terpapar. Setelah ini kita harus melakui pemeriksaan, sudah aku siapkan beberapa orang kita yang kompeten dalam hal itu. Beberapa di antara mereka adalah masyarakat kota tapi mereka adalah simpatisan kita.”

“Kalau begitu, berarti kita memang membutuhkan tablet kalsium?!”

“Oh, Gia, kau bilang begitu seakan kita tidak akan bisa hidup tanpa mengonsumsi tablet itu. Bukankah itu racun Kaum Enturpeneer?” seseorang memprotes dan yang disebut Gia langsung diam.

“Ya tentu saja dia sudah terpengaruh. Aku melihatnya kemarin mengganti ponselnya padahal kalian tahu ponselnya yang lama masih berfungsi dengan baik,” seseorang bicara dengan ketus.

“Tenanglah kalian semua!” suara Sotka menggelegar, mendiamkan ruangan utama yang dipenuhi oleh suara orang-orang saling berdebat.

“Sotka! Sotka!” seseorang mencoba menarik perhatiannya. Setelah ia berhasil mendiamkan orang-orang, ia mempersilahkan orang itu berbicara. “Aku rasa memang benar apa yang dikatakan masyarakat, kita terlalu ekstrim dalam menghemat.”

“Kau bisa bicara begitu karena asalmu dari kalangan menengah ke atas,” sela seseorang dengan nada benci.

“Ya, kita menerapkan prinsip-prinsip ini karena dengan beginilah kami bisa tetap bertahan hidup, tapi masih bisa tetap memberi orang lain, sampai saat ini.”

“Kalau kau tak suka dengan ini semua, gabung saja dengan masyarakat konsumtif di pusat kota sana!” tambah yang lain dengan kemarahan tertahan.

“Hei, maksudku tidak sampai seperti itu. Kita beri kelonggaran sedikit saja dalam prinsip kita—maksudku, lambat laun tablet kalsium akan menjadi kebutuhan vital bagi kita di tengah kemajuan zaman ini!”

“Ya, dan itu yang juga mereka lakukan dengan silikon dan Konstipastop,” seseorang berkata sambil mendelik kepada Terimb dan Hilda bergantian. Keduanya kebetulan saja sedang menghadiri pertemuan rutin yang jarang-jarang mereka hadiri itu.

“Memang itulah hasrat para Kaum Enturpeneer, mereka membuat kita membutuhkan barang yang sebetulnya tidak kita benar-benar butuhkan! Mereka membuat barang itu menjadi vital artinya bagi kita!”

“Tapi tak bisa kita pungkiri bahwa kita juga sudah terjerat pengaruh mereka. Orang zaman dulu masih bisa hidup tanpa ponsel? Sekarang? Aku tak akan bisa mendapatkan pekerjaanku yang sekarang kalau aku tidak memberikan nomor ponselku dan itu sebabnya aku punya ponsel...”

“Ya, ya, kau benar,” sela Sotka. “Memang ada beberapa barang yang pada akhirnya menjadi bagian dari kebutuhan kita sehari-hari. Kita tidak bisa menghindar dari kemajuan zaman. Tapi bukan berarti kita harus mengikuti arusnya begitu saja. Karena jika demikian kita akan mulai menghabiskan uang kita untuk barang-barang yang kurang penting—yang Kaum Enturpeneer membuatnya seolah-olah barang itu sangat penting—padahal sebetulnya kita tidak membutuhkan barang itu sama sekali. Barang itu hanya terpakai sekali lalu tidak kita acuhkan sama sekali, menumpuk begitu saja di gudang. Padahal seseorang di luar sana mungkin lebih membutuhkannya daripada kita. Mungkin bukan benar-benar barang itu yang dia butuhkan, tapi uang yang digunakan untuk membeli barang itu, yang dia butuhkan untuk memenuhi kebutuhan vitalnya!

“Memang seiring dengan perkembangan zaman kita tidak bisa bertahan hidup hanya dengan pangan, papan, dan sandang saja. Itu kebutuhan manusia primitif! Sekarang kita butuh ponsel, bahkan tukang cendol pun butuh! Ponsel tidak bisa digantikan fungsinya dengan telepon biasa, yang kalau kau bawa ke mana-mana kabelnya akan copot dari colokannya dan memutus urusan pentingmu atau malah kau tersandung karenanya, atau mungkin dengan barang lainnya... apalah. Memang ada toleransi-toleransi semacam itu. Tapi selama kita masih bisa menemukan barang pengganti, mengapa tidak? Dalam hal tabet kalsium, aku sudah menyebutkan beberapa contoh penggantinya.”

“Sotka mulai panas nih,” seseorang berbisik di kuping Mahet, membuatnya terkikik kecil.

“Ya, jangan menerapkan Prinsip-prinsip Kaum Parsimonious secara picik. Sila satu saja menyuruhmu agar menggunakan akal pikiranmu.”

“Mereka mengatakan kita terlalu kikir... Kata guruku kikir itu tidak baik,” seorang anak menyahut pelan.

Sotka memandangnya, “Kita menyimpan setiap kelebihan dari penghematan kita dan memberikannya sebagian untuk orang-orang yang kekurangan, apa itu disebut kikir? Kita tidak menggunakan kelebihan itu untuk membeli barang-barang yang kurang perlu!”

Seseorang berdeham yang kedengarannya seperti, “Kembali ke masalah tablet kalsium.”

“Terimakasih telah mengingatkan.” Sotka menyapu pandangannya pada semua orang yang memenuhi ruangan remang-remang itu. “Jadi, apa kita akan menoleransi penghematan kita untuk tablet kalsium? Aku rasa tidak.”

“Hei, memangnya kau pikir kita semua punya uang untuk membeli susu dan semacamnya itu? Itu kan barang mahal. Aku tidak mungkin punya uang untuk membelikan anak-anakku susu setiap hari!”

“Ya, dia benar!”

Ruangan itu dipenuhi suara-suara protes. Sotka mengusap mukanya. Ia mengira telah berhasil menentramkan mereka tapi ternyata belum. Mahet mengamati Sotka dan merasa iba padanya. Seharusnya ia sebagai orang muda dari kaum ini mampu memikirkan sesuatu yang bisa memecahkan masalah. Tapi apa? Tiba-tiba ia ingat akan pikirannya kemarin siang bahwa akan lebih baik jika jalur pedestrian diganti dengan pepohonan...

Mahet mengacungkan tangan.

“Hei, penulis lagu kita mau bicara!” seru Raf menarik perhatian.

“Ya, kembalilah tulis lirik-lirik nakalmu dan buat kita makin dicela!”

“Hei, lirik-lirik yang dibuat Mahet itu revolusioner tahu!” Raf hampir saja berdiri untuk menghajar orang yang barusan bicara itu kalau saja Abun tidak menahannya.

“Bicaralah, Mahet!” ujar Sotka.

Mahet merasa mukanya memanas ketika ia berdiri dan berbicara, “Aku rasa, keterbatasan seharusnya dapat membuat kita lebih kreatif.”

“Langsung saja, Mahet!”

“Baiklah, kita berada di pinggiran kota yang tandus...”

“Karena setiap lahan yang subur segera dirampok Kaum Enturpeneer begitu mereka menemukannya!” timpal Raf.

“Itu ada dalam lirik salah satu lagu di album kedua kami, kalian harus mendengarkannya,” Abun menambahkan.

Beberapa orang tertawa. “Huu, promosi!”

“Tapi kami tidak menyuruh kalian membelinya! Kami hanya meminta kalian memasukkan harga yang pantas di kenclengan ayam kami, untuk biaya produksi! Itu pun kalau kalian berkenan dan ikhlas!” bela Abun. Sotka segera membentaknya untuk diam.

Mahet melanjutkan. “Bukannya lahan tandus itu tidak berguna. Kita melewatkannya karena selama ini kita hanya sibuk-sibuk dengan sampah-sampah kita—“

“Masyarakat kota membuang semua sampah mereka ke tempat kita.”

“Dan kebanyakan dari sampah-sampah itu masih bisa diolah untuk dimanfaatkan!”

“Raf, Abun, diamlah atau kukurung kalian dalam studio kalian, SELAMA-LAMANYA.”.

“Aku takut,” kata Raf tanpa ekspresi. Abun terkekeh. Lalu mereka berdua benar-benar diam.

“Kita bisa menggunakan produksi kompos kita untuk menyuburkannya. Kita tanam dengan tanam-tanaman yang mengandung banyak kalsium. Lalu kita ternakkan banyak sapi perah untuk memberi kita susu, dan kita bisa mendapatkan banyak hasil olahannya.”

Orang-orang terdiam sampai seseorang menyahut, “Ya, kita tidak pernah berpikir tentang sektor agrokompleks. Kita selalu berpikir tentang hal-hal di luar itu, mengirim anak-anak kita ke kedokteran dan teknik... Itu sangat paradigma masyarakat kota.”

“Tapi kita memang membutuhkannya. Setidaknya untuk komunitas kita sendiri.”

“Ya, tapi semuanya harus merata, seimbang, adil. Bukankah begitu arti pembangunan seharusnya?”

Memang ada beberapa perdebatan lagi tapi pada akhirnya pertemuan rutin itu ditutup dengan kesepakatan untuk membentuk tim kerja pemanfaatan bukit tandus di belakang Tempat Pembuangan Akhir.

.

Mahet, Raf, Abun, dan si ahli alat musik pukul duduk gelisah dalam studio.

“Mengapa Sotka lama sekali?” tanya Abun.

“Untuk memberi kalian waktu untuk melakukan latihan solo. Ayo kalian semua, mainkan lagi alat musik kalian!”

“Ah, Mahet, meski berkata begitu aku tahu kau sangat mencemaskannya, haha...” Raf tak tahan untuk menggoda Mahet, setidaknya itu cukup untuk mencairkan kegelisahannya. Tadi di tengah latihan, seseorang datang memanggil Sotka untuk menjadi wakil pemuda dalam pertemuan dengan Kaum Enturpeneer. Semua orang dalam studio tersebut langsung ternganga.

“Mau apa para bangsat itu datang kemari? Hidup kami sudah susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus dipengaruhi bujuk rayu mereka!” umpat Raf.

“Raf, seharusnya tadi kamu melengking seperti itu di bait ketiga,” ucap Mahet spontan.

“Tenanglah, teman-teman. Aku tak bisa mendengarnya bicara!” volume suara Sotka membesar. “Mau apa mereka ke sini?”

“Entahlah. Mungkin membicarakan soal kerjasama?” jawab pemanggil itu seadanya.

“Kerjasama apa?” Sotka mengerutkan dahi.

“Entahlah,” jawab orang itu lagi. “Aku percaya kau akan mampu mengatasi ini bersama para tetua. Ayo, mereka semua sudah menunggu.”

Sotka menaruh alat petiknya dan pergi keluar ruangan bersama orang itu.

“Jadi apakah benar isu itu?” si ahli alat musik pukul bersuara. “Taitshi menaikkan harga obat kalsium. Banyak perusahan pesaing. Kehabisan bahan baku. Masyarakat resah karena persedian obat kalsium menipis?”

“Oh, ayolah, yang perlu mereka lakukan hanya mengurangi kendaraan bermotor, lalu naik kendaraan umum, bersepeda atau berjalan kaki seperti kita. Dan semua permasalahan beres! Polusi akan berkurang drastis dan mereka akan menjadi lebih sehat dan lebih bahagia,” Mahet mengangkat kedua tangannya ke samping.

“Sesimpel itukah?”

“Raf, pakai otakmu dong.”

“Kabarnya mereka tahu kalau kita punya cadangan kalsium yang cukup banyak,” lanjut si ahli alat musik pukul.

“Tentu saja, sapi-sapi kita gemuk-gemuk kok,” timpal Abun.

“Dan kita bisa mengubah gurun jadi ladang brokoli atau tambak ikan teri.”

“Kita tidak punya gurun, Raf.”

“Aku menyebut bukit-bukit tandus di belakang itu gurun.”

“Tapi gurun tidak seperti itu.”

“Kurasa Mahet lebih cocok dengan Raf daripada dengan Sotka,” Abun mengerling pada si ahli alat musik pukul. Mahet dan Raf merengut. Ahli alat musik pukul melanjutkan, “Jadi aku dengar-dengar mereka hendak menanam investasi di sana.”

Butuh beberapa menit bagi ketiga temannya untuk memikirkan hal itu dan menyambungkannya dengan bayangan masa depan mereka.

“Jadi kaki tangan Kaum Enturpeneer? Taishit sialan! Sampai kapan pun aku tak sudi! Kita harus mempertahankan tempat kita!” Raf menendang kursi di depannya.

“Hei, tenanglah Raf! Itu belum terjadi!” Abun dan si ahli alat musik pemukul segera bangkit untuk mencegah Raf merusak seluruh isi studio.

“Laguku berikutnya akan berjudul ‘Enturpener Keparat’...” sahut Mahet nyinyir. Sudah cukup masyarakat kota, dengan Kaum Enturpeneer di belakang mereka, mencela-cela gaya hidup Kaum Parsimonious. Mereka menyebut kaumnya gila hemat, kikir, miskin, dan sebagainya. Kini, setelah Kaum Parsimonious berhasil menyimpan manfaat dari gaya hidupnya selama ini, mereka hendak merebutnya! Mereka pikir darimana Kaum Parsimonious berhasil membangun ladang kalsium yang luas dan kaya? Semua bibit untuk membuat itu didapatkan dari tabungan Kaum Parsimonious, yang mencari penghasilan dengan gigih dan mengatur pengeluaran seirit mungkin agar bisa menyimpan kelebihannya untuk hari-hari ke depan!

Raf berhasil didiamkan dan mereka semua menyimpan kegelisahan mereka masing-masing sebagai usaha untuk menghindari konfrontasi.

Pintu studio terbuka.

“Kau lama sekali, Sotka!” suara Raf hampir seperti bentakan. Sotka tampak kaget dibuatnya. Ia meraih alat petiknya kembali, duduk di kursinya, dan mulai memainkannya lagi.

“Hei, jangan bertingkah seolah tak ada apa-apa seperti itu!” emosi Raf meluap. Sotka menoleh dengan pandangan letih. “Setengah jam kami membentak mereka, menghalau mereka agar tidak merampas apa yang kami bangun dengan susah payah, lalu menjualnya dengan harga tinggi pada masyarakat. Sementara kami di sini hanya mengambil secukupnya untuk kami, secukupnya untuk orang-orang yang kekurangan, dan sisanya untuk masyarakat kota simpatisan yang sudah tidak kebagian tablet kalsium lagi. Lalu apa yang mereka bilang sebelum mereka pergi? Mereka bilang mereka akan kembali lagi. Kalian tahu apa artinya itu.

“Sekarang kalau kalian ingin agar aku bicara lebih, dengarkan saja suara alatku ini. Aku benar-benar butuh rileks sejenak sebelum memikirkan bagaimana nanti kalau mereka datang ke sini lagi. Kalian tahu, apa yang mungkin bakal terjadi.”

Setelah itu Sotka diam dan memainkan alat petiknya dengan brutal.

“Apa memang artinya?” Raf menoleh ke arah lain, meminta jawaban.

“Seperti anak angsa di tengah kawanan anak itik. Sekuat apapun si anak angsa melawan, jumlahnya tetap tidak lebih banyak dibandingkan anak-anak itik itu,” jawab Mahet. “Oke, mungkin itu bukan analogi yang terlalu tepat.”

Raf masih memandangnya dengan penuh ketidakmengertian.

“Kaum Enturpeneer akan masuk ke wilayah kita dengan menunggangi masyarakat kota yang congkak... Mereka akan menguasai wilayah kita. Mau tak mau kita harus berbaur dengan mereka sampai kita bisa menemukan tempat baru. Bayangkan kalau kita harus berbaur dengan mereka? Beberapa dari kita mungkin tidak akan terkondisikan. Kaum Enturpeneer akan terus mengeluarkan bujuk rayu mereka dan kita, yang berada di posisi lemah, bisa apa selain menuruti mereka? Lepaslah prinsip-prinsip kita,” Sotka tak tahan untuk tidak berbicara. “Pada akhirnya, mereka akan membuat kita merasa tidak bisa hidup kalau tidak mengikuti gaya hidup mereka.”

“Hai, Sotka, kau ikut-ikutan pesimis seperti Mahet!” celetuk Abun.

Mahet cemberut. Oh, andaikan mereka tahu... Mereka adalah bagian dari Kaum Parsimonious yang terlalu lama tinggal di ‘surga’ mereka, tak berbaur dengan ‘peradaban’ di tengah kota. “Kalian tahu, aku termasuk salah satu yang tetap tinggal di kota sementara sebagian kalian menyepi di pinggiran kota. Aku ke sini hanya untuk pertemuan rutin dan menemui kalian. Selebihnya waktuku kuhabiskan di kota, bersama keluarga dan tetanggaku dan kau tahu, merekalah orang-orang itu! Orang-orang yang terjerat senjata bujuk rayu Kaum Enturpeneer. Sebagian besar teman-temanku juga dan aku hampir putus asa sampai aku menemukan kalian. Tapi itu tidak serta merta melabuhkan diriku terus menerus di sini. Aku masih bisa bertahan di kota, yang merupakan sumber inspirasiku, sehingga aku bisa memberikan kalian lirik-lirik ‘nakal’ itu, karena aku mengamati dan mengalami benar-benar keburukan mereka. Dan inilah aku, contoh nyata seorang Parsimonious bisa bertahan di tengah masyarakat konsumtif. Kalian mestinya juga bisa dan lebih kuat daripada aku. Ayo, kita bertahan dengan prinsip-prinsip kita dan tunjukkan pada orang lain bahwa apa yang kita lakukan adalah benar, maka mungkin mereka akan mengikuti kita. Meski itu mungkin membutuhkan waktu yang tidak sebentar...”

“Apa judul lagu yang tepat untuk lirikmu yang panjang tadi itu?” Sotka menunjukkan ketertarikkannya.

“Mempertahankan Prinsip!”

 

 

200709, 18.48 WIB

aku tau ini masi sangat kurang


Minggu, 05 Juli 2009

Tragedi Vampir Kelaparan


Muka dan telapak tangan mereka lengket pada kaca jendela lantai dua. Mereka sedang mengamati apa yang terjadi di bawah. Tepat di tepi halaman rumah, sebuah mobil colt buntung baru saja berhenti. Baknya memuat beberapa kuli angkut serta barang-barang perabotan rumah tangga yang tampak antik. Namun ada satu benda yang benar-benar menarik perhatian mereka. Peti mati.

Peti mati itu bentuknya tidak persegi panjang benar. Terdapat tiga sisi di bagian pangkal lalu menyempit di bagian ujung yang hanya memiliki dua sisi. Peti tersebut terbuat dari kayu dan kelihatan sangat tua, setua warna coklatnya. Bisa dilihat dari permukaannya yang tidak lagi mulus. Ada bagian yang seperti sudah digerogoti rayap.

Dari dalam rumah keluarlah seorang pria paruh baya berkacamata dengan perawakan kurus dan agak tinggi. Rambut cepak berwarna putih dan hitam tersebar acak di kepalanya. Rompi wol menutupi kemejanya yang kedua bagian lengannya setengah tergulung; melindunginya dari serangan angin dingin di petang yang agak mendung. Celana bahannya licin kaku disetrika namun jika kita telusuri terus ke bawah tampaklah bahwa pria itu hanya mengenakan sandal jepit. Pria itu berbicara pada sopir colt buntung sambil menunjuk ke arah kos-kosan di sebelah  rumah itu.

Colt buntung pun menggeram kembali lantas berjalan dengan kalem ke sebelah rumah.

Kembali ke lantai dua rumah tersebut, Vido melepaskan muka dan telapak tangannya dari kaca jendela. Ia menoleh pada anak di sebelahnya yang masih mengikuti gerakan mobil dengan sudut matanya. Tak lama, Ghira akhirnya menyadari juga bahwa sobatnya sudah kembali tidur-tiduran di kasur sambil menekuni set ensiklopedia terbarunya. Berbinar-binar pandangnya pada bocah berkacamata tebal itu.

“Vido, kamu liat nggak tadi? Peti mati!” sahutnya, namun lebih terdengar seperti pekikan.

Vido tak bisa menyembunyikan lebih lama lagi sikap sok cueknya. “Mau menyelidiki?”

Keduanya bertukar pandang lantas seketika berebutan keluar dari dalam kamar. Dengan langkah kaki yang menggebu-gebu dan ocehan penuh antusiasme, mereka menimbulkan kegaduhan apalagi ketika sedang menuruni tangga.

“Hei, jangan lari-lari begitu kalian, jatuhlah entar!” Seseorang memperingatkan namun mereka tidak memedulikan. Sesampainya di halaman samping rumah, terburu-buru mereka mengenakan alas kaki karena ingin segera melesat ke kos-kosan sebelah.

Mereka mendekati pria berompi wol tadi, yang kini telah ada di sana untuk mengamat-amati proses penurunan muatan dari dalam bak menuju ke ruangan pojok di lantai dua kos-kosan tersebut. Kos-kosan tersebut bentuknya seperti bingkai foto kalau dilihat dari atas; berbentuk persegi panjang dengan lubang berbentuk persegi panjang juga di tengahnya.

“Pi, Papi, barang-barang ini untuk apa sih, Pi?” tanya Vido begitu dekat pria tersebut. Nafasnya masih tersengal-sengal.

“Ada aa-aa baru yang mau pindahan ya, Om?” Ghira menambahkan pertanyaan dengan sengalan pula.

“Hm?” Papi Vido menunduk untuk menjawab pertanyaan para lawan bicaranya. “Ini barang-barangnya teman Papi.”

“Kenapa, Om?”

“Teman Om dapat warisan rumah tua begitulah. Rumahnya mau dibetulin jadi barang-barangnya harus disingkirin dulu. Mumpung di kos-kosan masih ada yang kosong ya nggak apa-apalah di Om dulu...”

“Tapi kok ada peti matinya sih, Pi?”

“Iya, apa nggak serem, Om?”

Papi Vido hanya tertawa. Beberapa anak muda penghuni kos mendekatinya untuk menanyakan hal yang sama dengan Ghira dan Vido tadi. Kedua bocah itu pun beringsut menjauh lalu berjalan-jalanlah mereka masih di sekitar areal kos-kosan.

“Ghir, peti matinya kira-kira ada isinya nggak ya?”

“Iya, penasaran nih Vid.”

“Cari tahu, yuk!”

“Caranya?”

“Peti matinya kita buka!”

“Hah? Entar kalau ada isinya gimana, Vid? Ah, serem ah, Vid...”

“Eh, belum tentu lagi isinya makhluk hidup. Atau sesuatu yang dulunya pernah hidup.”

“Dua-duanya nyeremin ah, Vid.”

“Heu, ya udah balik aja yuk kalau gitu ke kamar.”

Ghira menahan lengan Vido yang sudah hendak menuju ke rumahnya kembali. “Tapi penasaran, Vid...” Ghira meringis.

“Jadi?”

“Tapi rada maleman aja yuk, biar seru...” Vido bisa menangkap binar-binar dalam pandangan Ghira.

“Beneran?”

Terlihat masih ada sedikit keraguan pada air muka Ghira. Namun itu perlahan sirna digantikan oleh anggukan sumringah.

Vido menepuk dahinya dan menjatuhkan kepalanya ke belakang. Ia tidak mengerti akan jalan pikiran sahabatnya ini.

“Lanjutin baca ensiklopedianya yuk!” Ghira merangkul pundak Vido dan serta merta menggiringnya ke dalam rumah.

 

 

Ghira memandang gentar bulan purnama yang tersaput awan tipis di langit ungu gelap. Di belakangnya Vido sedang mencari batre dalam laci-laci untuk diisikan ke dalam senternya. Begitu menemukan, memasukkan ke dalam lubang batre, dan menutup lubang tersebut kembali rapat-rapat, dengan ceria Vido memanggil, “Yuk, Ghir! “

 Ghira menoleh dengan takut-takut. “Kamu yakin, Vid?”

“Ih, kan kamu yang tadi semangat mau. Gimana sih?” Dengan gerakan cepat Vido mematikan lampu kamar dan berlari ke luar sambil tertawa-tawa disusul Ghira yang berteriak-teriak histeris. Sambil menuju halaman samping mereka melewati pantry. Mami Vido menutup koran yang sedang dibacanya. “Ghira udah bilang mamanya mau nginep belum?”

“Udah, Tante.” Ghira nyengir sopan.

“Loh, ini mau ke mana keluar malem-malem?”

“Main ke kos-kosan sebelah, Mi,” jawab Vido sambil mengenakan sandalnya.       “Pulangnya jangan kemaleman ya. Balik sebelum jam sembilan ya.”

“Iyaaa..”. jawab Vido dan Ghira kompak sambil mulai menyusuri halaman rumah Vido yang luas berumput. Ghira selalu mencoba menjejeri Vido dan tidak mau mereka terlalu jauh berjarak. Vido yang menyadari hal itu iseng mempercepat langkahnya sekali-kali, membuat nafas Ghira makin memburu. Akhirnya sampailah mereka di dalam areal kos-kosan. Sambil berjalan menuju ruangan pojok di lantai dua yang menjadi tempat menyimpan peti mati yang jadi tujuan mereka, mereka menyapa anak-anak kos yang mereka temui. Vido melakukannya dengan santai sambil memendam kegelian akan sikap Ghira yang begitu kentara menunjukkan ketakutannya.

“A, nggak ngapel, A, malem minggu gini?”

“Boro-boro ngejar cewek, ngejar tenggat waktu ngumpulin laporan praktikum dulu nih!”

“Eh, Vido, Ghira... ngapain?”

“Maen, A.”

“Ghira kenapa mukanya kek orang yang mo mati gitu?”

Vido terkekeh. Entah mengapa Ghira merasa tubuhnya makin lemas saja.

Akhirnya setelah melalui perjalanan yang bagi Ghira terasa amat panjang dan menyita energi itu, terutama ketika menaiki tangga, sampailah mereka di sayap bangunan di mana ruangan yang mereka tuju berada di ujungnya. Tidak ada lampu luar yang menerangi sayap ini. Deretan kamar pada sayap ini memang belum semuanya ada aa-aa yang mengisi. Entah kalau makhluk lainnya, hiii... Pikiran ini membuat Ghira makin merinding saja. Bahkan untuk merengek agar kembali saja pada Vido sekalipun dia tak sanggup.

“Ayo, Ghir.” Dengan enteng Vido menyalakan senternya dan mulai menembus kegelapan di depan sana. Ghira heran mengapa Vido tampak seperti tidak memiliki kekhawatiran sedikit pun akan kemungkinan munculnya sesuatu... nanti... Menyadari jaraknya dengan Vido semakin jauh, dan ia juga tidak bisa membiarkan Vido beraksi tanpa dirinya, cepat-cepat Ghira mengejar Vido. Hampir-hampir ia menubruk sahabatnya itu.

Kamar itu tidak berpintu dan tidak bertirai. Tampaknya memang sengaja diperuntukkan sebagai gudang. Tanpa perlu menyoroti dengan lampu senter pun, pemandangan dalam kamar tersebut sudah dapat dibedakan dengan jelas berkat adanya sinar bulan purnama yang sedang terang-terangnya.

Ghira bisa mendengar Vido menghirup nafas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke dalam kamar. “Bismillah dulu, Ghir,” katanya kemudian masih dengan nada tenang. “Ayo nggak usah takut gitu.”

Vido mendapati Ghira mengkeret di belakangnya, menarik ujung kemeja polonya. Vido menggeleng-gelengkan kepala. Timbul gagasan usil dalam benaknya. Secepat kilat ia berputar hingga pegangan tangan Ghira pada ujung bajunya terlepas. Ghira menjerit. Ia berputar-putar seperti anak ayam kehilangan induknya, seakan-akan tidak ada penerangan sama sekali di situ hingga ia tak bisa menentukan arah. Tanpa sempat Ghira waspadai, Vido menerjang bocah itu dari belakang. Meledaklah teriakan Ghira. Juga tawa kencang Vido.

Mereka berdua jatuh berguling di lantai ubin yang dingin. Vido masih bisa tertawa sampai menyadari bahwa lengan Ghira terluka. Rupanya saat mereka terguling tadi, entah benda apa yang telah menggores lengan Ghira hingga menimbulkan luka panjang berdarah.

“Aduh, Ghira, maaf, saya nggak tahu...” Vido tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya.

“Eh, nggak apa-apa kok, Vid,” ujar Ghira sok tenang padahal sedang ia tahannya perih yang tiba-tiba mendera lengannya itu. “Dijilat juga sembuh.”

Vido langsung mencegah tindakan sobatnya itu. “Jangan ah, kayak kucing aja. Ya udah yuk, balik aja. Diobatin dulu lukanya. Entar takutnya kamu kena tetanus.”

Ghira menyadari bahwa itu merupakan kesempatan untuk membatalkan niat mengeksplorasi peti mati dalam gudang ini, tapi entah kenapa kejadian itu malah membuat keberanian tumbuh dalam jiwanya. Dipikirnya, sudah sampai berdarah-darah gini kok malah gitu aja balik kanan... Nggak jentel amat... Meski Ghira tidak mengerti amat apa artinya jentel itu.

Entar ajalah Vid, ini mah. Bisa nanti aja habis ini. Nanggung udah ampe sini.”

Vido menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak sok heran. Padahal bisa dipahaminya sikap plin plan temannya itu. Ghira memang perlu didorong terus menerus supaya bisa sampai ke tujuan, sebab kalau tidak bisa-bisa ia berhenti di tengah jalan karena dihadang keraguan. Ia membantu sobatnya itu bangkit lalu mereka berdiri berjejer di salah satu sisi peti mati itu.

“Kita apain ya, Ghir, ini peti mati?” Vido memancing.

“Mmm... Tunggu sebentar, saya ada ide!” Ghira memejamkan mata sambil mengacungkan tangannya dengan semangat. “Gimana kalau kita Uka-Uka aja?”

Vido melihat arlojinya. “Sekarang udah jam delapan lebih, Ghir. Jam sembilan kan kita harus balik. Masak Uka-Uka cuman kurang dari satu jam? Entar diketawain Hari Pantja dong.” Vido membuka ingatan akan acara hantu-hantuan yang pernah eksis beberapa tahun silam. Padahal waktu itu ia masih kecil sekali. Namun ia juga tahu kalau Uka-Uka bukan salah satu sesi dari Dunia Lain, melainkan program semacam di stasiun televisi lain. Jadi sesi semacam itu di Dunia Lain namanya Uji Nyali, bukan Uka-Uka. Ghira bahkan tidak tahu persis apa itu Uka-Uka. Dari hasil mengikuti pembicaraan para aa di kosan tersebut, ia hanya tahu kalau Uka-Uka itu adalah kegiatan mendekam lama malam-malam di kuburan atau tempat angker lainnya.

Padahal memang itu maksud Ghira; supaya mereka tidak usah lama-lama tinggal di tempat itu. Tiba-tiba rasa takutnya menyesap kembali. Tapi ia belum menunjukkannya pada Vido. Sementara itu Vido merasa sudah saatnya mengajukan pikirannya. “Saya punya ide yang lebih baik, Ghir. Gimana kalau kita buka aja peti mati—“

“Nggak!” pekik Ghira sementara Vido malah sudah mengambil handycam dari saku celananya.

“Kita lihat apa isinya...” Vido tidak mengacuhkan respons Ghira yang penuh kengerian itu. Dengan tenang ia menyalakan handycam-nya.

“T—t—tappii... Vid, kkkita... kkan nggak t—tau appa is—isinya...!” Ghira merasa malu berbicara gagap seperti itu namun apa boleh buat, rasa takutnya sudah naik sampai ke ubun-ubun. Kini ia sepenuhnya dikendalikan oleh itu. Ia sudah lemas saja. Keringat dingin sedang menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Karena itu makanya kita liat,” sahut Vido masih dalam ketenangannya. “Takutnya disimpen buat nanti ajalah, Ghir, kalau udah keliatan apa isinya, hihihi...”

Vido menyeringai, menambah tinggi saja stadium keremangan bulu kuduk Ghira.

“Ghir... Ghir...” panggil Vido, mencoba mengembalikan Ghira ke alam nyata. “Kamu nggak apa-apa kan?”

Ghira tidak kuasa berkata-kata.

“Udahlah Ghir, tenang aja. Kalau orang udah mati mah ya mati aja, nggak bakal hidup lagi... Kan kata Pak Karim juga gitu. Yang biasanya gentayangan itu bukan si orang matinya tapi jin. Entar kalau ada jin kita baca Ayat Kursi aja...

“Ya kan, Ghir?” panggil Vido lagi. Dengan penjelasan tersebut ia mencoba memberikan sedikit ketenangan pada sobatnya. Perlahan urat ketegangan Ghira mengendur. Vido menunggu beberapa lama sampai Ghira benar-benar tenang. “Capek deh...” desahnya diam-diam.

“Udah siap, Ghir?” Satu tangan Vido sudah berada di tepian tutup peti mati sementara tangan satunya lagi siaga dengan handycam menempel.

“Ya...” ucap Ghira tidak yakin.

“Satu... dua... tiga....” Tutup peti mati itu ternyata berat sekali. Entah terbuat dari kayu apa. Vido sedang menimbang-nimbang antara eboni, jati, dengan cendana. Kalau dilihat dari warnanya yang agak terang sih... Tapi memangnya kayu peti mati ini berasal dari mana?

Karena merasa tak kuat kalau harus mengangkat, akhirnya mereka berdua sepakat untuk menggeser saja tutup peti mati itu. Memang tidak ada engsel pada sisi satunya peti mati tersebut. Mereka sama-sama menghitung satu sampai tiga. Perlahan tutup peti mati itu bergeser, membuat sinar rembulan dapat menerobos masuk ke dalamnya, menyoroti apa isinya... yang telah mempermudah pekerjaan kedua sahabat itu. Hampir setengah terbuka, tutup peti mati itu tiba-tiba terangkat sendiri. Yang mengangkatnya adalah satu tangan pucat namun kokoh dengan kuku yang begitu panjang dan tajam. Tutup peti mati itu pun terjungkal. Kini dalam bak peti mati itu duduk tegak seorang pria kurus dengan pandang menerawang.

Terpukau, Vido tidak melewatkan kesempatan itu untuk mengabadikannya dalam lensa handycam. Pada gambar yang tertangkap, Vido memerhatikan, betapa tirusnya pipi pria itu, rambutnya licin, dan ujung atas kedua telinganya melancip. Sinar bulan purnama cukup terang untuk membuat Vido terpana karena kulit pria itu terlihat begitu tipis[1]. Dengan kaku makhluk itu menoleh pada anak-anak. Ia menyeringai, memperlihatkan sepasang gigi taring yang amat runcing namun putih bersinar dalam kegelapan, dan dengan parau mengeluarkan suara lirih, “Lapaar...”

Ghira sudah tergeletak lemas di lantai sementara Vido masih enteng merekam fenomena aneh di depannya. Ia begitu takjub hingga pandangnya tak lepas dari LCD handycam yang masih menampilkan gerak gerik makhluk tersebut. Ya, makhluk apa ini? Apakah dia juga manusia? Tiba-tiba makhluk tersebut merosot dari duduknya. Vido mendekat untuk merekam apa yang terjadi. Makhluk itu sedang dalam posisi tidur, mungkin karena lemas. Bahasa tubuhnya menampakkan demikian.

Apakah dia terlalu lama dikurung dalam peti mati hingga kehabisan oksigen dan hampir mati lemas karenanya? Jangan-jangan dia korban penculikan! Dada Vido berdebar karena misteri ini. Kalau benar dugaannya, ia dan mitra setianya, Ghira, akhirnya punya juga kasus menarik untuk dipecahkan! Karir detektifnya mungkin akan dimulai sejak detik ini...

Atau tidak. Mungkin saja ini bukanlah kasus kriminal. Selain fakta-fakta yang telah diamatinya semenjak tadi, kini ia juga harus menghadapi satu fakta yang paling tidak boleh dilewatkan: makhluk itu tiba-tiba mencengkeram lengannya! Menggigitnya! Menghisap darahnya! Melepehkannya kembali!

Vido jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar. Nafasnya terengah-engah. Ia benar-benar tidak menyangka akan mengalami ini. Ia juga tidak tahu apa maksudnya makhluk itu tadi berbuat begitu. Ia memandang bekas gigitan di lengannya yang kini mulai mengalirkan darah. Tak terpikir sama sekali olehnya untuk merekam bekas tersebut dengan handycam-nya. Satu-satunya ingatan yang berasosiasi dengan fakta ini dalam ingatannya adalah bahwa: makhluk menyerupai manusia yang suka menghisap darah itu namanya vampir! Dan sekali suatu makhluk digigit oleh vampir, jika ia tidak mati, maka ia akan menjadi vampir juga. Vido lalu teringat film Twilight, yang beberapa waktu lalu ia tonton di laptop kakaknya. Dalam film itu, si tokoh utama, Bella Swan, digigit vampir jahat yang entah siapa itu namanya. Lalu akibatnya Bella jadi sekarat. Oh, mungkin sebentar lagi aku mati...? batin Vido nelangsa. Kini dialaminya apa yang dialami Bella dalam film Twilight. Mungkin jika ia terbangun lagi nanti yang diinginkannya pertama kali adalah menghisap darah seseorang...

Lamat-lamat atap kelam di atas sana menjadi kabur dalam pandangannya. Kacamatanya sudah sedari tadi jatuh ke lantai.

 Sementara itu, Ghira sadar dari pingsannya untuk mendapati bahwa suatu keadaan mencekam tengah terjadi. Di depannya, sesosok makhluk ganjil tengah melepeh-lepeh sesuatu. Dengan gemetar ia menoleh ke tempat di mana seingatnya Vido terakhir kali berada untuk bertanya apa yang telah terjadi. Namun yang ia dapati adalah kini sobatnya itu sedang meregang nyawa. Dengan suara tercekik, Vido mengucap, “Ghira... ada... racun... di... tubuh... h.. sa.. ya... Har...rus dihilang...kan...”

“Gimana caranya?!” teriak Ghira ketakutan, masih kebingungan apa yang telah makhluk ganjil itu lakukan pada sobat karibnya. Vido bahkan sudah tidak sanggup memegang erat-erat handycam-nya lagi. Ia biarkan benda itu tergeletak di samping tangannya, padahal itu merupakan salah satu benda kesayangan yang tak mungkin ia biarkan jauh-jauh.

Susah payah Vido menggali ingatannya mengenai apa yang Edward Cullen lakukan pada Bella Swan untuk menghilangkan racun dari tubuh gadis itu. “Dii... issep... terus... dilepeh lagi... gitu!?”

Terdengar suara parau keras menyeramkan dari arah si makhluk ganjil, “Ya, benar, hilangkan racun dari darahmu!” Sambil berkata begitu ia mengurut-urut lehernya.

“Gimana caranya?!” Ghira sudah menangis. Isaknya semakin keras ketika mendengar rintihan sahabatnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia coba memijit-mijit Vido. “Vido! Bertahan ya! Vido! Tangan kamu kenapa?! Berdarah!”

“Aku tidak tahu! Pokoknya darahnya tidak enak!”

Ghira tercengang karena mengetahui bahwa memang makhluk itu yang telah membuat temannya terluka dan lukanya itu bekas gigitan. Makhluk itu telah menghisap darah temannya! Semakin bertambah kengerian Ghira. Jangan-jangan makhluk itu vampir!?

“Tapi kalau nggak cepet-cepet ditolong, dia bakal jadi vampir juga! Kayak kamu!”

“Hmph!” Anehnya, vampir itu malah menanggapi kepanikan Ghira dengan suara seperti tawa tertahan. “Non sense! Aku terlalu lemah untuk mengeluarkan zat yang bisa membuatnya jadi vampir juga!”

“Jadi saya nggak bakalan jadi vampir juga?” Mendadak Vido mendapat kekuatan untuk kembali duduk tegak dan tidak meronta-ronta lagi. Ia merasa normal dan sehat sebagaimana ia sebelum kena gigitan dan menyangka bahwa dirinya akan mati atau ikut menjadi vampir.

“Ya, kalau dalam jangka sepuluh menit setelah ku gigit, kau membubuhkan sari bawang putih ke bekas gigitanku. Cepatlah, Nak, waktu terus berjalan!”

“Beneran?!” Ghira sudah siap menarik Vido untuk cepat-cepat angkat kaki dari situ.

“Bohong.”

“Heehh?”

“Aku memang tidak suka bawang putih. Kebanyakan kami tidak. Oh, tentu saja semuanya! Kau tahu, bawang putih dapat menghilangkan lemak darah[2] padahal itulah pendukung kekuatan kami agar dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama! Selain itu aku memang tidak menyukai baunya. Terlalu menyengat, Nak...”    

“Iya, saya juga lebih suka bawang merah daripada bawang putih kalau disangrai,” sempat Ghira menyela.

“...jadi jawaban singkatnya... tidak. Kalau semua yang kami gigit menjadi vampir, betapa dunia ini akan dipenuhi vampir. Manusia vampir, sapi vampir, kambing vampir. Kami menjadikan sesuatu sebagai vampir harus dengan tujuan dan alasan yang kuat. Ada zat khusus yang kami keluarkan dari taring kami untuk itu. Lagipula, jika kau merelakan darahmu untuk dihisap, itu akan bagus untuk kesehatanmu.”

“Seperti cuci darah, begitu?” Vido mengkonfimasi.

Tuan Vampir mengangkat bahu.

“Kok kayak lintah?” komentar Vido lagi.

“Eh, saya pernah denger pengobatan dengan lintah gitu, Vido, katanya bagus ya?” ujar Ghira.

“Jijik ah,” tanggap Vido.

Ghira mengangkat tangannya, “Kalau gitu saya mau!”

Vido tersentak akan kelakukan sahabatnya. “Jangan Ghira, siapa tau yang dia bilang itu boong, cuman supaya dia bisa ngisep darah kamu ampe abis trus kamu tewas. Kalo nggak, kamu bakal jadi vampir!”

“Hei, kau kira aku seorang pembohong, Nak?!” Tuan Vampir murka. “Seorang Vladimir Draculae tidak akan pernah berdusta! Itu menjatuhkan martabatnya!”

Guntur menggelegar membelah langit hingga membuat Ghira dan Vido gentar dan gemetar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Tuan Vampir...

“Hm, inilah sumber dari bau darah yang kucium sedari tadi...” desahnya sebelum dengan secepat kilat menangkap lengan Ghira dengan mulutnya. Ghira dan Vido bahkan tak sempat waspada karena mereka memang tak melihat adanya gerakan tersebut saking cepatnya. Tancapan taringnya yang tiba-tiba membuat Ghira berteriak kesakitan sekaligus kaget. Demikian pun si vampir. Dia langsung melepeh cc demi cc darah yang tadi disesapnya. “Bah! Darah kalian sama sekali tidak enak! Darah lumpur! Cuih! Seharusnya aku sadar sejak mencium baunya tadi! Darah seperti itu memang tidak baik untuk diambil! Tapi aku terlalu lapar!”

“Tuh kan, bener, kamu itu seorang, eh, sevampir tukang dusta!” cecar Vido geram.

Dengan mata berkaca-kaca dan tubuh gemetar, Ghira terisak, “Vido, kita bakal sama-sama jadi vampir...”

Vido segera bangkit, memasukkan handycam-nya ke dalam tas, dan menarik lengan Ghira. Sahutnya, “Cepat, Ghira, kita harus segera ke dapur minta bawang putih! Siapa tau aja racunnya si vampir bisa takut juga sama bawang putih!”

Kedua bocah itu tunggang langgang meninggalkan gudang.

Sepeninggal mereka, Tuan Vampir menyenderkan punggungnya pada pangkal bak peti dan menyilangkan tangan. “Dasar anak-anak,” ujarnya datar.

 

 

Vido dan Ghira langsung menuju dapur dan mendesak pembantu Vido yang kebetulan sedang berada di sana untuk segera memberikan mereka beberapa iris bawang putih. Dengan penuh keheranan, perempuan paruh baya itu menuruti permintaan sang majikan muda yang tak mau menyebutkan alasannya. Ketika Mami Vido mendatangi dapur karena mendengar ada kegaduhan yang dibuat anak-anak di sana, kedua bocah itu cepat-cepat mengambil beberapa lapis bawang putih yang sudah teriris lantas segera lari ke kamar Vido. Di dalam kamar, mereka langsung menyusup ke balik selimut tebal yang semula tertata rapi di kasur. Menyadari bahwa kegelapanlah yang menyelubungi mereka, Ghira merengek habis-habisan pada Vido agar bocah yang lebih pemberani daripadanya itu mau beranjak menyalakan lampu dan mengunci semua pintu dan jendela rapat-rapat. Setelah melakukan apa yang dipinta dengan ketakutan memburu, Vido masuk lagi ke dalam kasur untuk menetap di zona amannya. Ketukan di pintu membuat mereka kaget setengah mati meskipun itu adalah Mami Vido.

“Anak-anak, kenapa sih?” Wanita paruh baya itu juga heran sebagaimana pembantunya yang sedang berada di sebelahnya membawa tatakan dengan sisa bawang putih yang telah teriris. “Bawang putihnya ini loh, udah diiriskan. Buat apa sih?”

Ghira mendesak Vido untuk segera menjawab pertanyaan ibunya dan membuka pintu. Tanpa pikir panjang Vido menurut. Saat menghadap wajah ibunya ia menjawab, “Bawang putihnya udah cukup segini aja, Mi, buat percobaan! Udah ya, Mi, Vido ma Ghira lagi sibuk nih!”

Vido lekas menutup pintu kembali. Kedua wanita di luar pintu kamar hanya menggeleng-geleng kebingungan. Mami Vido mencoba memahami kelakuan eksentrik anaknya sebagaimana suaminya yang ilmuwan itu. “Yah, namanya anak-anak ya, Mbok,” ujarnya sambil menuruni tangga diekori pembantunya.

Sementara itu di dalam kasur, Ghira terus menerus menyenggol Vido. “Vid, kalo vampirnya ngejar sampai sini gimana? Entar kalo besok pagi pas kita bangun tau-tau seisi rumah udah jadi vampir gimana?”

“Gimana kalau kita balik lagi buat ngunci pintu gudang itu?”

“Ah! Nggak mau! Nggak mau! Saya nggak mau balik ke tempat itu sampai kapan pun!”

“Oh iya, gudang itu kan emang nggak ada pintunya,” kata Vido kalem sementara Ghira masih meronta-ronta tidak mau sedikit pun beranjak dari situ.

“Jadi gimana dong, Vid? Huhuhu...” Ghira hampir tidak bisa menahan hasrat ingin menangis yang menderanya.

“Aduh! Nggak tau ah! Kita berdoa aja sama Allah!”

“Heu... iya... Ya Allah, semoga pas kita bangun besok orang-orang nggak pada berubah jadi vampir! Amin!”

“Eh, Ghira, kita kan udah kegigit, jadi mestinya kita duluan yang berubah jadi vampir sebelum mereka. Jadi mestinya kita nggak usah takut. Toh pas kita bangun nanti mungkin kita semua sama-sama udah jadi vampir.”

“Huhu... Nggak mau, Ya Allah, nggak mau...”

“Mudah-mudahan ini hanya mimpi, Ya Allah. Amin,” ucap Vido tapi ia tidak bisa menyembunyikan keresahan yang melandanya jua. Namun demikian ia sudah tidak ingin memikirkan apa-apa lagi. Ia hanya ingin tidur, melupakan teror di malam ini, dan ketika bangun keesokan paginya, semoga semuanya sudah di-reset dan tidak pernah ada peti mati itu dalam gudang kos-kosan sebelah rumah.

“Semoga begitu, Ya Allah, amin!” doanya, hendak menutup hari itu dan cepat-cepat terlelap dalam damai.

“Vido,” usik Ghira, membuat Vido kesal. “Pintu kamar mandi udah dikunci belum?”

Vido menyentakkan selimut yang menyelubunginya di tengah teriakan Ghira yang mengawasinya, takut tiba-tiba terjadi apa-apa lagi, “Vido cepetan balik...!”

Baru beberapa menit memejamkan mata setelah kembali lagi dalam naungan selimut tebal, Ghira mengusiknya lagi, “Vido, hk, kita tidurnya pelukan ya Vid, saya takut...”

 

 

Ghira mengamati bayangannya di cermin kamar mandi kamar Vido. Sepulang sekolah itu bukannya kembali dulu ke rumahnya, ia malah ikut pulang lagi ke rumah Vido. Mamanya pasti marah-marah sepulangnya ia ke rumahnya sendiri nanti karena sudah ‘begitu lama’ menumpang hidup di rumah orang, seakan tidak punya rumah sendiri saja. Tapi ia punya alasan yang kuat untuk tidak pulang ke rumahnya dulu. Ia ingin memastikan terlebih dulu apakah dirinya sudah cukup ‘aman’ untuk pulang ke rumah. Ia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan memvampirkan mamanya dan anggota keluarganya yang lain nanti.

Ghira memastikan air mukanya tidak memucat sebagaimana Tuan Vampir yang mereka temui kemarin malam. Ia juga menyeringai untuk memastikan kedua taringnya tidak tumbuh panjang. Kenyataannya adalah kulitnya masih segar berseri seperti biasa dan sepertinya taringnya pun tidak bertambah panjang semili pun sejak kemarin malam—meskipun ia belum memastikannya dengan penggaris. Di sebelahnya, Vido melakukan hal yang sama. Di dalam cermin mereka saling bertukar pandang.

Ghira teringat bahwa ia sempat melihat kemarin malam betapa panjang dan tajamnya kuku si Tuan Vampir. Ia mengamati kukunya. “Kuku kamu tambah panjang nggak, Vid? Ingat, kemarin kukunya si Mister Vampir... hiii....” Ghira bergidik ketika membuka lagi ingatannya.

“Sebetulnya dari waktu ke waktu kuku kita kan emang tumbuh panjang?” Vido mengernyit. Ia merasa apa yang mereka lakukan selama hampir berpuluh menit ini konyol sekali. Meski demikian tetap saja dirinya penasaran dan ragu juga; apakah benar gigitan vampir tidak selalu membuat korban gigitannya suatu saat akan menjadi vampir juga? Vido merasa kepastian tidak hanya bisa diamati lewat fisik saja. Ia berucap setengah berbisik, “Ghir, seharian ini kamu ngerasa kayak pingin ngisep darah orang nggak?”

Ghira menggeleng cepat. Sejurus kemudian dengan terbata-bata ia berkata, “Vido, saya ngaku, tadi pas deket-deket si Bunga saya kayak nyium bau wangi gitu dari dia... Jangan-jangan... itu bau darahnya dia?! Bau darahnya udah bisa saya cium!?” Ghira memegang kepalanya, panik.

Tanpa ekspresi Vido menanggapi, “Bukannya cewek-cewek emang suka pake apa itu, cologne?“

Ghira tidak menggubris tanggapan Vido. Ia mencecar lagi, “Trus ya Vid, tadi saya dijauhin anak-anak terus! Apa mereka mulai ada perasaan kalau saya bakal jadi vampir?” Ghira menggoncang-goncangkan pundak Vido. Vido balas memegang pundak sobatnya itu, berusaha mendiamkan. “Ghira, itu mah cuman perasaan kamu aja. Kita nggak bakal jadi vampir! Dan lagi, kamu tau nggak, pantes aja tau kamu tuh dijauhin, kamu tuh BAU!”

Ghira terhenyak. “Saya bau?!”

“Iya! Bau bawang putih campur minyak telon!”

Ghira melirik lengannya, di mana bekas gigitan si Vampir berada. “Iya sih, tadi pagi pas habis mandi emang saya balurin lagi bawang putih ke sini, biar cepet ilang racunnya.”

Selain itu, Ghira tidak pernah lupa pesan mamanya agar selalu memakai minyak telon sehabis mandi supaya tidak masuk angin.

Vido menepuk dahinya dan menjatuhkan kepalanya ke belakang.

“Eh, tapi bener loh Vid, pagi tadi saya agak ngerasa segaran gitu. Mungkin bener ya, si Vampir itu, dia nyuci darah kita, jadi bersih deh...” Ghira mengekori Vido keluar kamar.

“Ngisep darah kotor maksudnya?” Vido jadi ingat lintah.

“Hehehe, bersih darah kayak nama pil apaan gitu ya, Vid. Trus, cuci darah itu kayak buat orang yang sakit ginjal...”

Vido menjatuhkan dirinya di tempat tidur mobil-mobilannya. Dipandanginya langit-langit dengan dahi yang berkerut-kerut. Kedua lengan dijadikannya bantal. “Mana ada sih vampir beneran?”

“Tapi liat aja perilakunya, Vido, dia ngegigit kita! Mana mungkin ada orang normal yang suka gigit manusia lain?”

“Sumanto? Mungkin aja dia itu orang gila?”

Sambil tidur-tiduran di kasur, mereka mencorat-coret buku tulis masing-masing.

“Sekarang gimana kabarnya si Vampir ya?” ucap Vido di tengah keasyikannya mengulik rumus aerodinamika.

“Oh ya, kemarin kita kan lupa nutup pintu lagi...” Satu sudut telah Ghira goreskan sehingga kini gambar Patrick Star-nya sudah jadi.

Mereka berdua terdiam.

“Dia mungkin kabur!”

Mereka berebut lari ke luar kamar. Mereka tidak menghiraukan si Mbok yang menegur mereka agar jangan lari-lari ketika sedang menuruni tangga supaya tidak jatuh. Oh, mungkinkah si Mbok sudah bertemu dan digigit si Vampir sehingga sekarang sedang dalam tahap menjadi vampir juga? Mungkin saja sebetulnya seisi rumah itu juga demikian!? Mereka berdua tak mau memikirkannya.

Sebetulnya si Mbok heran juga dengan kelakuan kedua anak itu sejak kemarin malam. Den Vido juga tidak seperti biasanya, tadi pagi baru bangun setelah pintu kamarnya digedor. Lalu setelah bangun kedua anak itu rusuh sekali karena belum menyiapkan apa yang mau dibawa ke sekolah, belum lagi mandi dan sarapan. Sepulang dari sekolah, mereka pun cepat-cepat masuk ke kamar. 

Sementara itu, kedua anak yang sedang jadi bahan pikiran si Mbok sedang secepat-cepatnya lari ke kos-kosan samping rumah.

“Aduh, gimana Vid kalau dia kabur, entar semua orang di kos-kosan digigit trus pada jadi vampir deh!” ucap Ghira di tengah nafasnya yang memburu sebelum ia dan Vido menabrak seorang anak kos yang bertampang amat pucat. Kedua anak itu berteriak hingga mengagetkan aa-aa tersebut.

“A Engkus, napa wajahnya jadi tambah jelek gitu?!” sahut Vido.

“Jangan-jangan udah jadi vampir lagi,” Ghira mencicit.

Yang dipanggil A Engkus berteriak, “Ngaco! Abis ngerjain tugas dua hari dua malam tau! Stres!”

“Trus ngapain bawa-bawa obat serangga?” tanya Ghira sambil menunjuk semacam tabung yang sedang diapit pemuda tersebut di ketiaknya.

“Oh, ini...”

Muncul seseorang yang dikenal dengan nama A Ibrom. “Engkus, udah ketemu lom?”

“Udah. Kecoa tiga. Nyamuk dua lusin.”

“Ada apaan sih, A?” rengek Vido penasaran.

“Ini, anak-anak kosan pada digigitan serangga gitu. Nggak tau serangga apa,” jawab A Ibrom.

“Tapi aneh juga loh, bekas gigitannya dua titik gitu. Jangan-jangan... vampir?” timpal A Engkus serius, membuat Ghira dan Vido terperanjat. Kedua bocah ini tidak tahu kalau A Engkus mengoleksi serial Cirque du Freak[3] karangan Darren Shan di kamarnya. Koleksi Bram Stokernya juga cukup lengkap.

“Ah, masak vampir?” A Ibrom menyangkal. Namun lalu katanya dengan mimik tak kalah serius, “Tapi emang sih, tadi malem tuh si Tomi bilang ada bapak-bapak pake jas kerah tinggi gitu nyasar ke sini nyari makan. Ah, si Tomi inilah, lagi stres juga kali dia, ngerjain skripsi, makanya pikirannya jadi ngaco, hahaha...”

“Haha, emang dasarnya kita jorok. Jadinya kosannya banyak serangga, hahaha...” lanjut A Engkus tanpa memedulikan ucapannya sebelum ini yang telah membuat Vido dan Ghira saling bertukar pandang dengan kekhawatiran berlebih. Mereka sama-sama menyadari kehadiran dua titik bekas gigitan di lengan A Ibrom yang sedang tertawa mendengar pernyataan penghuni kamar sebelahnya itu. Itu pasti bekas tancapan kedua taring si Vampir!

“A, itu ya bekas gigitannya?” Vido menunjuk bekas gigitan tersebut.

“Hah? Heueuh.”

“Nih, punya saya lebih banyak,” dengan bangga A Engkus menyingkap lengan atas bajunya. “Satu, dua, tiga...”

Ghira langsung menarik lengan Vido untuk segera lari. Kedua pemuda itu mendengar jeritan Ghira yang semakin menjauh, “Hii... pada jadi vampir!”

Baik A Engkus maupun A Ibrom, keduanya mengangkat bahu. Mereka balik kanan hendak meneruskan perburuan mereka. Terdengar suara A Engkus ketika melewati salah satu kamar, “Hoy, Jang, gimana kamu? Nemu berapa?”

 

 

Dorong-dorongan, akhirnya Vido dan Ghira sampai juga ke depan pintu kamar di ujung sayap kos-kosan yang jarang dijamah tersebut. Di sisi yang terdalam dan tergelap kamar—cuaca mendung sejak pagi, tampak si vampir masih duduk dalam posisi dan ekspresi yang sama dengan saat terakhir kali mereka meninggalkannya. Takut-takut mereka mendekatinya.

“Jadi ini semua emang bukan mimpi...!” desis Ghira pada Vido yang tetap serius mengawasi si vampir.

Tiba-tiba si vampir berkata, “Beritahu aku, Nak, beritahu sedang berada di jaman apa aku sekarang. Segalanya tampak berbeda dengan sejak terakhir kali aku menutup mata, ketika para pemburu laknat itu menyegelku dalam peti ini... Aku masih ingat tahunnya... hm, tidak, aku tidak ingat persis, mungkin saat itu sekitar tahun 1400...an, menurut Gregorian...”

“Sekarang tahun 2009, Pak,” Ghira menyahut pelan.

“Ooh... Segalanya menjadi berbau logam... Ketika kalian mendekat, aku bisa mencium bau logam itu pun semakin mendekat... Apakah sekarang sedang jaman logam?”

Salah tingkah, kedua anak itu mengendus tubuh mereka masing-masing. Tidak tercium bau logam sama sekali tuh. Apalagi dari tubuh Ghira, yang tercium adalah aroma bawang putih campur minyak telon yang kuat.

Si vampir melanjutkan, “Aku begitu lapar, hingga beberapa lama setelah kalian pergi, menunggu sepi, aku merangkak ke luar dengan hati-hati... Dengan susah payah kuubah wujudku menjadi seekor kelelawar mungil, sebagaimana aku biasa menjelma saat sedang mencari mangsa...

“Aku berusaha menemukan makhluk lainnya yang bisa kuhisap darahnya, syukur-syukur manusia. Ya, aku menemukan mereka, dalam kamar-kamar sempit beratap rendah berbau sengak. Tapi demi mengisi energiku kembali, aku menguatkan diriku memasuki kamar itu, mencari makhluk yang sedang lengah di dalamnya, menemukan makhluk berbau tengik, yang ternyata rasa darahnya sama busuknya dengan darah kalian. Seperti bekas air mandi kuda, oh, andai kalian tahu bagaimana rasanya... Aku sendiri tak tahu, hanya mengira-ngira. Oh, apakah masih ada kuda pada jaman ini? Karena selama aku berjalan-jalan kemarin tak kutemukan kandang kuda di sini... Ah, semuanya telah menjadi berbeda...”

“Mungkin ada kata yang lebih enak selain ‘busuk’, Pak?” Vido tersinggung tapi tetap mendengarkan. Selain itu, dicatatnya dalam otaknya untuk memberitahu papinya, jika ingin membangun kos-kosan lagi sebaiknya yang ukurannya lebih luas dengan atap yang lebih tinggi dan ventilasi yang lebih besar mungkin.

Si vampir melanjutkan, “Sampai akhirnya aku sudah tidak kuat lagi. Aku ambruk di depan sebuah pintu dan berubahlah lagi wujudku menjadi seperti ini tanpa kuhendaki. Manusia di balik pintu itu keluar, menanyakan diriku kenapa. Aku berkata aku harus mengisi tenaga agar bisa pulang ke kastilku di Rumania. Aku sungguh-sungguh saat mengatakannya. Manusia itu lalu memberiku sesuatu yang dia namakan nasi-goreng-tapi-sisa dan air putih setelah dia mengeluarkanku dari bangunan ini. Tentu saja perutku menolak semua itu, meskipun kupaksa, hingga aku pun muntah-muntah dan itu memakan kembali sisa tenagaku. Dengan tenaga yang tersisa, aku menjelma kelelawar dan kembali lagi ke tempat peristirahatanku ini. Kurasa aku telah menghabiskan semua tenagaku. Aku tak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhku. Aku bersyukur masih bisa mencurahkan pengalaman pedihku ini pada kalian...”

Kepala si vampir terkulai. Tanpa sadar, Ghira mencari-cari buntalan kain untuk menyangga kepala si vampir.

“Terimakasih, Nak, kamu baik sekali. Seharusnya anak sebaikmu memiliki rasa darah yang selembut madu tapi yang tercium olehku malah pahitnya empedu.”

Ghira merinding mendengar perkataan itu, terlebih lagi ketika menyadari bahwa ia sudah berdekatan dengan makhluk tersebut. Cepat-cepat ia menarik dirinya lagi.

Vido mengangkat tangan. “Pertanyaan, Pak, kenapa Bapak mengatakan darah kami busuk? Kami kan masih hidup, seharusnya darah kami masih segar dong, Pak. Bukan bermaksud menawarkan darah kami untuk diisep loh, Pak.”

“Ya, kualitas darah kalian sangat buruk, sangat berbeda jauh dengan kualitas darah di masaku dulu, yang begitu gurih, nikmat, manis bagai susu sapi Alpenia, nyam...nyam... Ya, bahkan jika dibandingkan dengan darah sapi sekalipun! Pada waktu itu adalah kemewahan jika bisa mendapatkan setetes darah manusia hidup apalagi yang masih muda belia seperti kalian—meskipun darah hewan pun bisa jadi alternatif yang tidak buruk. Sebenarnya busuk bukan kata yang terlalu tepat. Bagaimana menjelaskan ya? Rasa darah kalian itu seperti darah yang sudah terlalu lama dibiarkan dengan logam berada di dalamnya. Logam berkarat.”

Ghira dan Vido merinding.

“Aku juga tidak tahu mengapa. Ketika semalam aku coba menggigit seorang manusia di tiga bagian yang berbeda, siapa tahu bagian tubuh berpengaruh signifikan terhadap rasa. Tapi ternyata sama tidak enaknya! Aku tidak mau mengingat-ingat lagi. Rasanya, pengalaman kuliner terburuk seumur hidupku!

“Yang kuinginkan hanya pulang. Kembali ke kastil tinggiku di Rumania dan beristirahat dengan damai, terbangun di malam purnama, menyebrangi padang rerumputan dan menyergap sapi-sapi yang masih terjaga... syukur-syukur manusia...”

Vido menyela, “Tapi jaman kan udah berubah. Siapa tahu Rumania pun udah berubah drastis kayak yang Bapak liat di sini? Ah, saya harus mencari ini segera di google nanti!”

Sesuatu yang berwarna hitam keluar dari pelupuk mata dan mengalir di pipi Tuan Vampir. Kiranya itu adalah air mata darah hingga seketika Ghira menjerit, segera menutup mulut, dan mengguncang-guncangkan tubuh Vido. “Vido, ayo kita harus segera memberi Pak Vampir makan!”

Vido menatap Ghira dengan bingung. Karena Vido tak bergeming, Ghira segera lari ke luar tanpa banyak berbicara.

“Ke mana temanmu?” Pak Vampir menoleh.

“Mencari bantuan?”

“Dia baik sekali. Kalau saja aku punya cukup kekuatan mungkin akan kubawa ia pulang serta. Tentu saja, terlebih dulu akan kujadikan ia vampir.”

“Jangan dong! Dia sahabat saya!” sergah Vido marah.

Si vampir hanya terkekeh. “Tidak mungkin, Nak, aku tidak akan sanggup memurnikan darahnya yang buruk itu. Darah vampir harus murni tanpa kontaminasi. Omong-omong, panggil saja aku Vlad.”

“Baiklah, Pak Vlad... Ah, enakan manggil Pak Vampir... Pak Vampir, kok Bapak bisa sampai sini sih?”

“Mana aku tahu? Kan kalian yang membangunkanku? Tahu-tahu saja aku sudah berada pada jaman ini.”

Vido mencatat bahwa sebertemunya ia dengan papinya nanti di rumah harus ia tanyakan kenapa peti mati Pak Vampir bisa berada di rumah tua yang diwariskan kepada teman papinya itu.

“Yang kuingat terakhir kali adalah para pemburu itu berhasil menangkapku dan mengurung diriku dalam peti sempit ini setelah menidurkanku. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa melakukannya. Bodohnya aku terlalu lengah saat itu karena kebanyakan minum darah manusia. Oh, masih kuingat rasanya yang...”

“Iya, Pak Vampir, nggak usah diulang-ulang deh,” cepat-cepat Vido memotong sebelum Pak Vampir meneruskan ke bagian yang dapat membuatnya bergidik ngeri lagi. Mana sekarang ia hanya berdua saja dengan makluk itu pula. Aduh, mana sih Ghira, kok tadi tiba-tiba lari? Kenapa sih? Akankah ia kembali?

 “Ngomong-ngomong kenapa Bapak bisa jadi vampir? Apa sejak lahir Bapak sudah jadi vampir?” Vido melanjutkan investigasinya.

“Tidak... Bapak angkatku, yang ternyata vampir—pantas saja ia tidak tua-tua, memvampirkanku karena takut aku tewas terkena flu Spanyol. Pada waktu itu di tempatku penyakit itu sedang mewabah...[4]

“Hm, seperti pernah dengar...” Vido mengelus-elus dagunya.

Terdengar langkah kaki berlari mendekat. Dapat ditebak, itu adalah Ghira yang ternyata datang sambil membawa sesuatu yang tak sempat ditebak; lengannya yang satu menggendong seekor kucing sementara lengan satunya lagi menjinjing sebungkus plastik ikan mentah.

“Pak, doyan darah ikan, nggak?” tanya Ghira di tengah sengalnya.

Setelah sadar dari keterpanaannya, Pak Vampir menjawab pelan, “Boleh dicoba...”

Ghira menyerahkan si ikan. Dengan kukunya yang tajam si vampir merobek ikan tersebut hingga darah di dalamnya memercik keluar. Dijilatnya jarinya yang terkena darah. Mulutnya berdecak-decak.

“Darimana kamu dapat ikan?” tanya Vido pada Ghira sementara itu.

“Minta ama Bik Rara.” Ghira menyebut nama salah seorang pembantu di rumah Vido.

“Kucingnya?”

“Mungut di jalan.”

Si vampir melempar si ikan. “Sudah kuduga... Dari jauh saja sudah tercium bau amisnya padahal yang kucium bukan bau darahnya.”

“Gimana kalau kucing?” Ghira menyodorkan kucing dalam gendongannya itu. Kucing itu meronta-ronta. Si vampir mencengkeram si kucing erat. Dengan cepat disesapnya darah si kucing yang langsung mencakar muka si vampir lalu meloncat ke ikan yang tadi dilempar, mencomotnya, lalu kabur. Si vampir menyemburkan gumpalan rambut kucing dan beberapa percik darah dari mulutnya.

“Huek,” rintihnya mual. “Bahkan darah kucing pun hampir sama tidak enaknya dengan darah manusia...”

Vido berkata sinis pada Ghira, “Bagus, besok bawa kambing ya, dan kamar ini bakal semakin belepotan darah.”

Ghira menatap Vido dengan polos. “Tapi Idul Adha kan masih jauh, mana ada yang jualan kambing?”

Vido menepuk dahi dan menjatuhkan kepalanya ke belakang.

Tanpa memedulikan kelakuan Vido, Ghira berkata lagi, “Pak Vampir, sambil nahan laper gimana kalau Bapak tidur lagi aja? Saya juga kalau laper tapi mama belum masak, saya suka tidur dulu. Pas bangun, makanannya udah jadi deh.”

“Kamu serius mau cari kambing!?” Vido histeris.

“Hei, Nak, aku sudah begitu lama tidur hingga akhirnya ada yang membangunkanku. Sekarang kamu menyuruhku tidur lagi? Sel-sel otakku bisa mati! Aku seharusnya tidak tidur lagi setidaknya selama enam abad ke depan. Tapi aku butuh beberapa liter darah agar bisa bertahan...

“Aku hanya butuh energi untuk kembali ke kastilku saja, sungguh. Kalau memang aku harus mati karena tidak bisa lagi menemukan darah yang tidak akan ditolak tubuhku, aku ingin mati dalam kastilku yang damai...”

Pak Vampir menutup mukanya dengan kedua belah tangan dan tersedu sedan. Ghira terenyuh.

“Pak Vampir, mau saya tutupkan petinya, siapa tau kalau gelap Bapak bisa lebih nyaman tidurnya? Ya kan, Vid, kalau tidur itu baiknya digelapin kan lampunya? Eh, maksudnya di tempat yang gelap gitu?”

“Oh, anakku, aku hanya ingin bersedih... Terima kasih sudah berbuat baik padaku. Semoga ini semua hanya mimpi...”

“Mimpi yang indah, ya, Pak.”

Itulah kalimat terakhir Ghira sebelum Vido menariknya pergi dari gudang itu.

“Vido, kenapa ya, darah kita kok katanya busuk gitu. Padahal kalau nggak, saya pingin donor darah ke dia supaya dia bisa pulang. Kan kasihan...” ucap Ghira dalam perjalanan mereka kembali ke rumah Vido.

“Eh, jangan gitu, Ghira Kamu nggak tahu si Vampir itu pingin ngejadiin kamu vampir juga tau! Jangan terlalu baik sama dia!”

 “Tapi Vido, kata guru PPKn kita kan harus saling tolong menolong.”

“Duh, susah ah...”

“Kan abis diisep darahnya, kita jadi seger, Vid.”

“Ah, paling-paling boong.”

“Trus kita bisa buka praktek klinik cuci darah...”

“Hus!”

“Ih, kok kamu jahat banget sih ama dia?”

“Abisnya...”

“Eh, Vido, mungkin nggak ya kita beli darah di PMI. Siapa tahu aja di sana darahnya bagus-bagus. Masak PMI nyimpen darah yang kualitasnya nggak baik sih? Pasti darah pilihanlah!”

“Duh, Ghira...”

“Ohya, besok kan di sekolah bakal ada cek darah, Vid. Mungkin antar kita bisa minta  tolong...?”

Vido tidak tahu lagi harus bicara apa.

 

 

Aula SD Ulul Azmi dipenuhi anak-anak kelas tiga sampai kelas lima yang masuk dalam daftar anak yang dipilih secara acak untuk melakukan tes darah. Ghira dan Vido termasuk dalam daftar tersebut. Mereka ikut mengisi keriuhan dengan mendiskusikan persoalan si Tuan Vampir dengan suara pelan agar tidak menarik perhatian anak lainnya untuk ikutan nimbrung.

“Vid, mungkin entar kita bisa tanya sama orang yang ngecek darah kita, sebetulnya di dalam darah kita ada apanya sih sampai-sampai Pak Vampir nggak doyan?”

“Wah, jangan, Ghir! Bahaya kalau orang-orang sampai tahu keberadaan Pak Vampir!”

“Emang kenapa gitu, Vid? Siapa tau aja entar kita bisa nemu orang yang darahnya cocok sama selera si Pak Vampir? Kan kasian Vid, Pak Vampir kan cuman butuh darah buat ngisi tenaga supaya kuat balik ke negaranya?”

“Nggak, ah, Ghir. Entar orang-orang pada menuh-menuhin kosan sebelah rumah. Pasti bakal ribut banget deh jadinya. Entar saya nggak bisa konsen belajar dong. Trus si Pak Vampir pasti entar jadi nggak tenang hidupnya karena banyak disorot orang. Didatengin orang. Diminta-minta berkahnya. Entar dia malah jadi nggak bisa pulang.”

“Hah, masak bisa gitu sih, Vid?”

“Ya bisa aja. Ini kan Indonesia.

“Ya udah, kalau gitu gimana kalau kita tanya sama mereka kenapa darah kita rasanya busuk? Trus gimana caranya supaya nggak busuk lagi?”

Vido cemberut. Ia tidak tahu bagaimana caranya supaya Ghira bisa sejalan dengan pikirannya.

“Kasian, Vid, Pak Vampir…”

“Atriary Farido…”

“Nah, itu giliran saya,” ujar Vido lega. Katanya sebelum meninggalkan Ghira, “Inget Ghir, jangan dulu bilang siapa-siapa tentang Pak Vampir dan soal darah-darah kita itu!”

Ghira hanya bisa mengangguk dengan tidak puas.

 

 

Sebut saja Melati. Ia adalah satu dari beberapa mahasiswa yang beruntung bisa ikut dalam proyek kerja sama tiga perguruan tinggi ternama di Indonesia dengan sebuah LSM asing. Berkat itu, kini ia berada di aula salah satu dari beberapa SD tujuan penelitian mereka. Penelitian ini bermaksud memeriksa seberapa besar kandungan timbal di dalam darah anak-anak SD di kota tersebut.

Sampel berikutnya, seorang anak laki-laki berambut lebat dan berkacamata tebal, baru saja duduk di hadapannya. Melati menyobek segel salah satu jarum sambil berbasa-basi mengajak anak itu kenalan. Ternyata anak itu lebih aktif daripada yang ia duga.

“Bu, napa sih kok darah kita diambil?”

Bu?

“Untuk dicek, Sayang.” Melati mengusap-ngusap kulit anak tersebut dengan kapas yang sudah diolesi alkohol.

“Dicek apanya, Bu?”

“Ya dicek gimana kandungannya. Ada penyakitnya apa nggak. Ada timbalnya apa nggak,” jawab Melati seadanya. Ia sebenarnya bukan orang yang suka memikirkan dulu apa yang hendak diucapkannya.

“Timbal itu apaan, Bu?”

“Timbal itu yang ada di dalam asap knalpot kendaraan...”

“Yang asap item yang suka keluar dari bis Damri itu ya, Bu?”

“Mm, ya.... Timbal itu kayak semacam logam gitu.”

“Logam? Kayak besi atau baja gitu dong, Bu?”

“Ya...?”

“Kok bisa sih masuk ke dalam darah? Kan logam, Bu, gede.”

“Ya bisa. Kan ada logam yang kecil. Dalam darah kita juga ada zat besinya loh.”

“Hah, besi beneran? Kayak besi pager gitu?”

“Ya nggak, Sayang. Logam yang ini mah nggak keliatan sama mata.”

“Terus, kenapa kandungannya harus dicek, Bu?”

“Supaya kalian tetep sehat,” jawab Melati asal.

“Ah, Ibu mah nggak seru.”

Gadis tersebut gondok. Selain karena dipanggil ‘Bu’ padahal baru beberapa tahun yang lalu ia berusia dua puluh, ia bingung bagaimana harus menjelaskan perkataannya tadi. “Gimana ya, Dek, sebetulnya timbal itu bahaya buat tubuh kita. Makanya tiap anak harus dicek darahnya, supaya tahu,” jawab Melati akhirnya.

“Bahayanya timbal emang apa, Bu?”

Ba-bu-ba-bu, Teteh kek! “Timbal itu bisa nurunin IQ. IQ tuh sekali turun nggak bisa naik lagi[5].” Tanpa sadar, Melati menyeringai. Entah karena ekspresinya itu atau perkataannya barusan atau memang dua-duanya, ia mendapati raut muka anak di depannya berubah.

“Beneran, bisa nurunin IQ?”

“Tiap peningkatan timbal 10 mikrogram/100 cc darah diperkirakan menurunkan skor IQ sebanyak 2-3 poin. Selain itu, apabila tubuh sudah terpapar timbal cukup lama, bisa juga menyebabkan anemia, lambat tumbuh, gangguan pendengaran, penurunan kecerdasan, perubahan perilaku, kram perut, kejang-kejang, sampai kerusakan permanen sistem saraf pusat, khususnya otak.”

Melati menyadari omongannya seperti meng-copy-paste buku teks saja, tapi biarlah, mungkin anak di depannya ini sudah bisa mengerti. Anak itu terlihat seperti anak jenius. Mungkin itu yang menyebabkannya terlihat shock dengan pernyataan bahwa timbal bisa menurunkan IQ. Hm, mungkinkah?

Pengambilan sampel darah anak ini sudah selesai. Melati merapikan test-kit sumbangan USAID yang barusan dipakainya. Satu perangkat test-kit di antaranya meliputi jarum, penyedot darah kapiler, pipet, sensor untuk tekanan darah (lead care), dan tempat pencampur darah dengan larutan kimia. Satu test-kit seharga tujuh dollar AS[6]. Melati merasa sangat bangga bisa terlibat dalam proyek mahal ini. Ia menghembuskan nafas. Anak di depannya belum pergi juga padahal anak giliran selanjutnya sudah berdiri tepat di belakang kursinya. Tampaknya anak itu masih penasaran dengan dunia pertimbalan.

“Maaf ya, Dek, gantian sama temennya ya…” ujar Melati seraya menyiapkan test-kit baru.

“Satu pertanyaan lagi deh, Bu,” kata anak itu seakan telah menyadari bahwa ia sudah tidak diharapkan lagi di situ. “Timbal bisa bikin kualitas darah berubah kan?”

“Ya.” Melati sudah bersiap hendak melambaikan tangan pada anak itu.

Anak itu mencondongkan tubuhnya pada Melati, seolah tidak ingin agar ucapannya berikut didengar, “Terus, rasa darahnya bisa ikut berubah juga nggak?”

“Eh, itu dua pertanyaan tau.”

Kamu-keliatan-kayak-anak-jenius-tapi-kok-nggak-bisa-ngitung-dengan-benar-sih, begitu arti tatapan Melati pada anak itu.

Dan lagi, pertanyaannya itu aneh. Rasa darah? Emang darah apa rasanya? Manis? Asem? Asin? Nama permen dong. Seumur-umur ia belum pernah mencicipi rasanya darah. Memangnya ia vampir? “Maksudnya apa, Dek?”

“Rasanya darah yang ada timbalnya itu kayak gimana? Contohnya begini, kayak sayur yang dikasih garam terus rasanya jadi gurih!” Anak itu memandanginya dengan serius.

Sayur dikasih garam terus rasanya jadi gurih? Itu mah kambing juga ngerti! Lah, terus kalau darah dikasih timbal rasanya jadi kayak gimana? Ada rasa-rasa logamnya begitu kali ya, Dek? Timbal kan logam. Kayak air yang keluar dari pipa karatan begitu kali ya?.”

Dengan pandangan penuh rasa terima kasih anak itu menatapnya untuk yang terakhir kali, sebelum ia akhirnya benar-benar beranjak pergi. Melati garuk-garuk kepala.

 

 

Ghira tidak bilang pada Vido kalau ia sempat menangis sebelum disuntik untuk diambil darahnya tadi. Saking takutnya disuntik ia sampai lupa mau bertanya-tanya soal rasa darah yang tidak enak. Ia kini sedang serius mendengarkan Vido menceritakan ulang percakapannya dengan petugas yang mengambil darahnya tadi. Mereka duduk di pinggir lapangan sekolah sambil memakan snack masing-masing setelah menukarkannya dengan nomor antrian tes darah.

“Jadi, Ghir, saya sampai pada suatu kesimpulan… Jangan-jangan darah kita itu jadi nggak enak rasanya gara-gara ada timbalnya!”

“Hah? Apa itu?” seru Ghira takjub karena tidak mengerti dengan apa yang barusan Vido ucapkan.

“Ya, Pak Vampir kan pernah bilang kalau rasa darah kita itu seperti logam berkarat—“

“Hah, iya ya?” Ghira sudah lupa. Ia memaklumi dirinya tidak punya ingatan sebaik sahabatnya itu.

“Iya tau, si ibu tadi itu, dia bilang kalau timbal itu tuh logam. Nah, kalau bener di darah kita ada timbalnya, berarti itulah alasan kenapa Pak Vampir nggak suka darah kita. Karena ada logamnya, makanya rasanya jadi kayak logam!”

“Hah, masak?!” Ghira jadi penasaran ingin mencicipi darahnya sendiri. “Berarti Vido, selama ini kita suka makan siang di depan sekolah dengan nasi yang ada logamnya?”

Vido terperangah. Ia tidak tahu Ghira sedang menjayus atau memang serius. “Itu nasi timbel[7], Ghira. Timbal dan timbel. Beda tau!”

“Trus, jadi timbal itu apa? Trus kenapa di dalam darah kita bisa ada timbalnya?”

“Nggak tau. Tadi sih ibunya bilang timbal itu ada di dalam asap knalpot kendaraan gitu. Tapi saya juga nggak gitu ngerti. Eh, itu kan Mami!”

Vido bangkit sambil melambaikan lengannya pada seorang wanita paruh baya berjilbab yang baru melintas di seberang sana. Wanita berkacamata itu menoleh lalu mendekat.

“Eh, Vido, Mami cariin dari tadi. Udah makan siang belum?”

“Tante, Tante mau jemput Vido?” Ghira menghampiri.

“Eh, Ghira… Iya, tapi nanti. Ini kan tes darahnya masih belum selesai.”

“Emang Tante ikut tes darah juga? Kirain cuman buat kita-kita aja.”

Mami Vido tertawa. “Nggak, Ghira. Tante lagi tugas di sini.”

“Tes darah ini kan yang ngadain Mami sama temen-temennya,” jelas Vido singkat.

“Ih, curang, nggak bilang-bilang!”

“Biarin, hehe.”

“Ya udah, entar Ghira ikut pulang sama Tante dan Vido aja ya. Tapi entar, nunggu sampai acaranya ini selesai dulu. Makan siang dulu sama Vido ya.”

“Oke, Tante!” Ghira meringis.

 

 

Selepas ashar, mobil sedan yang berisikan Ghira di jok belakang dan Vido dan ibunya di jok depan meluncur keluar dari SD Ulul Azmi.

Suara Vido berpadu dengan desir AC, “Mi, timbal itu sebenernya apaan sih?”

“Iya, Tante? Itu apaan sih? Kirain Ghira makanan loh,” sosor Ghira. Vido menoleh pada Ghira dengan pandangan aneh lalu menatap ibunya lagi untuk meminta penjelasan.

Mami Vido sedang memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan timbal kepada anak-anak yang rasa ingin tahunya besar ini. Mereka pasti sudah tidak sabar menunggu jawabannya. “Kalo Vido sendiri taunya timbal itu apaan?”

“Kalo kata ibu-ibu yang meriksa aku tadi sih, timbal itu nama logam yang ada di asap knalpot kendaraan. Terus bahayanya banyak banget. Bisa nurunin IQ, anemia, lambat tumbuh, gangguan pendengaran, penurunan kecerdasan, perubahan perilaku, kram perut, kejang-kejang, sampai kerusakan permanen sistem saraf pusat, khususnya otak!” Vido puas bisa mengingat semua kata persis seperti yang diucapkan ibu-ibu tadi. “Terus darah kita tadi diambil buat tau kandungan timbalnya seberapa banyak.”

Ghira manggut-manggut. “Terus, kalo udah tau di dalam darah kita timbalnya ada berapa, gimana?”

Vido menjawab dengan muram, “Dengan begitu kita jadi tau IQ kita turun berapa poin...”

Ghira melongo karena tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Vido sementara Mami Vido tertawa. Vido cemberut, “Kenapa sih, Mi? Emangnya Vido salah ya?”

“Kata ibu-ibunya kayak gitu ya?”

“Itu kesimpulan Vido aja sih, Mi. Abis katanya tiap peningkatan timbal 10 mikrogram/100 cc darah diperkirakan menurunkan skor IQ sebanyak 2-3 poin!” Vido mendesis. Hal itu sangat mengerikan baginya. Ia sungguh penasaran bagaimana hasil tesnya nanti. Semoga saja darahnya tidak mengandung timbal sama sekali sehingga ia tidak usah khawatir telah mengalami penurunan kecerdasan.

Ghira menoel Vido, “Eh, tapi kok bisa sih timbal ada di dalam darah kita?”

“Kan keluarnya dari asap. Asapnya mengandung timbal, terus asapnya kita hirup. Nah, apa yang kita hirup itu kan nantinya terlarut di dalam darah kita. Uh, Ghira, kamu nggak pernah baca buku Biologi ya?”

Ghira bengong. Yang seperti itu ada di buku pelajarannya? Mungkin yang Vido baca itu buku pelajaran SMP atau SMA kakaknya?

“Sebenarnya timbal itu nggak cuman ada di asap kendaraan aja,” akhirnya Mami Vido angkat suara. “Timbal itu ada di mana-mana. Timbal kan logam yang bisa dipakai macem-macem. Selain di asap kendaraan, timbal juga bisa ada di air minum kalau pipanya pipa timbal. Dari makanan kaleng, alat makan, main-main tanah yang ada timbalnya.... Macem-macem... Di Indonesia, masih banyak kendaraan yang bahan bakarnya pakai timbal...[8]

“Tante, kok bisa tanah juga ada timbalnya?”

Vido menjawab, “Gini Ghir, kalau misalnya lagi hujan, debu dari asapnya kan jadi terlarut dalam air hujan itu. Terus air hujannya mengalir terus sampai diserap sama tanahnya. Kepikiran nggak, Ghir, kalau misalnya di pinggir jalan raya gitu ada sawah, terus sawah itu diairinnya pake air yang di dalamnya ada timbalnya?”

Ghira terperangah dengan perkataan Vido yang seperti menakut-nakuti itu. Tapi ia tidak ingin memikirkannya.

“Terus, tadi kan katanya timbal ada di mana-mana. Ada di makanan kaleng, pipa, dan lain-lain, terus itu gimana, Tante? Kita berarti bakal kena timbal terus?” Ghira khawatir. Kadang-kadang ia suka makan sarden atau kornet dalam kemasan kaleng. Apakah itu mungkin berbahaya?

“Nggak semuanya, Ghira. Lagipula kita bisa kok bikin tubuh kita kurang menyerap timbal. Pokoknya rajin-rajin makan makanan yang banyak kalsium dan zat besinya, kayak susu, sayuran hijau...” kata Mami Vido.

Ghira menekuk muka. Selama ini ia susah kalau disuruh Mama makan sayur. Kalau susu sih, ia suka sekali.

“Mi, efek timbal yang tadi Vido sebutin itu bener nggak sih?”

“O, ya bener. Malah masih banyak lagi... Kalau buat ibu hamil, itu bisa sampai bikin bayinya meninggal loh…

Ghira memasang tampang shock yang berlebihan. Tanpa harus meniru gelagat Ghira, Vido mengerti bahwa masalah ini adalah masalah serius yang bisa menyebabkan penurunan kualitas generasi bangsa. Ini tidak main-main dan tentu saja ia tidak mau sampai mengalami penurunan kecerdasan!

“Mi, terus apa yang bisa kita lakukan buat ngurangin timbal?”

“Menurut kalian gimana?” Seperti biasa Mami Vido selalu balik tanya agar anak-anak berusaha mencari jawabannya sendiri dulu.

“Kurangi asap kendaraan!” seru Ghira.

“Iya, kurangin jumlah kendaraan di jalan,” Vido melengkapi.

“Terus apalagi ya?” Ghira bergumam.

“Kurangi produksi barang yang mengandung timbal,” dengan mantap Vido menambahi.

“Gimana caranya?” tanya Ghira bingung.

“Caranya, besok kamu harus jadi ahli kimia, Ghir!”

“Tapi aku mau jadi pilot!”

Mami Vido tersenyum-senyum saja mendengar celotehan dua anak itu. “Timbal ini bisa dikurangi dengan nanam pohon-pohonan loh.”

“Kok bisa, Tante?”

“Iya, daun-daun pohonnya kan entar yang menyerap timbal, debu, sama temen-temennya itu. Kalau udah keserap, kan timbalnya jadi nggak terbang ke mana-mana lagi. Yang paling baik untuk menyerap timbal itu pohon puring, pohon beringin, pohon tanjung... Jadi kita juga harus banyak menanam pohon...”

“Oo... Global warming ya, Tante...” ingatan Ghira langsung berasosiasi ke sana meski ia tidak mengerti amat akan istilah tersebut. Sering dengar saja.

“Mi, pohon puring tuh yang kayak gimana sih?”

Entar Mami tunjukin... Di rumah Bu Nenden ada, entar kita lewat sana aja.”

Masih beberapa belas menit lagi sebelum sampai ke tempat yang disebutkan Mami Vido. Kini mobil yang mereka tumpangi meluncur di jalanan di kawasan alun-alun kota. Dari balik jendela, Ghira dan Vido memandangi orang-orang. Pedagang kaki lima, polisi lalu lintas, anak jalanan... Pemandangan yang hampir selalu mereka saksikan setiap hari. Orang-orang yang sama. Yang sudah mereka kenali wajah-wajahnya. Dengan pengetahuan baru yang telah mereka dapatkan, muncul suatu perasaan miris dalam diri mereka.

“Timbal di dalam darah mereka pasti banyak banget yah,” ujar Ghira pada Vido yang masih memandang keluar. Tangannya menempel di kaca jendela.

“Iya...” Vido terdiam. Ia sedang larut dalam perasaan kasihan terhadap anak-anak seumurannya yang harus tinggal di jalanan. Menghirup timbal setiap hari. Bagaimana mereka mau jadi cerdas?

“Pak Vampir pasti lebih muntah lagi kalau ngisep darah mereka,” Ghira berbisik. Vido tersentak karena teringatkan akan penghuni kamar kosong di kos-kosan sebelah rumah.

 

 

“Pak Vampir... Tadi di sekolah saya dikasih tablet kunyah kalsium sama bu guru,” Ghira menunjukkan botol kecil berisi penuh dengan tablet kecil-kecil pula. Sepulang sekolah hari itu, seperti biasa Ghira main dulu ke rumah Vido. Ghira langsung lari ke kamar Pak Vampir sementara Vido tertahan di rumah karena disuruh ayahnya membantu mengerjakan penelitiannya sebentar. “Masih banyak lagi sih yang dikasih, tapi nggak semuanya. Terus kita harus minum tablet ini sampai tiga bulan. Buat apa ya? Kalo inget kata-katanya Mami Vido sih, kalsium itu bisa bikin tubuh kita jadi nggak gitu menyerap timbal. Jadi nanti mungkin kalau saya terus minum tablet ini, darah saya jadi nggak mempan Sama timbal lagi deh! Nanti boleh deh saya kasih sedikit darah saya sama Pak Vampir. Tapi dikit aja ya, Pak. Oh ya, si Vido kayaknya sirik deh saya dikasih tablet ini tapi dia nggak. Dia nggak termasuk anak-anak yang dikasih tablet ini, hihihi... Tapi, Pak, katanya setelah tiga bulan lagi itu, bakal dilakuin tes darah lagi. Padahal kan sebetulnya saya takut, Pak. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Pak.... Tau gitu kan kenapa bukan Vido aja ya yang dikasih tablet ini. Dia kan nggak takut disuntik. Tapi ya gimana lagi, disuruh bu gurunya gitu... Kata Vido sih sebenernya ini untuk penelitian lagi. Tapi nggak tau penelitian apaan…[9]” Kepala Ghira naik turun sok merenung.

Pak Vampir terbaring lemah dalam petinya. Beberapa tumpuk bantal menyangga punggung dan kepalanya agar ia bisa duduk tegak dan melihat-lihat pemandangan di luar peti dengan ranah pandang yang lebih luas. Meski yang dapat ia lihat hanyalah tumpukan barang-barang bekas dan kuno tak terpakai di seluruh penjuru kamar. Pemandangan ini tak berubah-ubah dari hari ke hari. Hari-hari di mana ia menghitung mundur waktu sampai ke ajalnya. Yang mendatangi kamar ini hanya dua anak ini saja, Ghira dan Vido namanya. Mereka memasang tripleks pada rongga pintu yang bolong supaya Pak Vampir tidak masuk angin dan lagi Pak Vampir tidak begitu menyukai cahaya matahari.

Pak Vampir kini sudah tidak punya tenaga, bahkan untuk mengubah dirinya menjadi kelelewar. Sisa-sisa tenaganya telah menyusut padahal aktivitas yang dilakukannya hanyalah mendongeng kepada dua anak itu mengenai kehidupannya dulu. Masa lalunya. Hari-hari indahnya di kastil megah di suatu dataran tinggi nun jauh di sana. Kampung halaman yang takkan pernah mampu ia raih lagi. Ia akan menjadi tiada di tanah orang.

Kini Pak Vampir hampir-hampir tidak bisa bergerak kalau tidak dibantu. Ketika dua anak itu datang, ia hanya bisa menjadi pendengar. Mereka akan berceloteh dengan ramai dan sok serius dan tenaga yang ia punya hanya cukup untuk menyeret bola matanya menatap ke arah lawan bicaranya. Oh, tentu saja ia sendiri bukan lawan yang baik kini. Ia hanya bisa mendengar mereka tanpa mampu banyak menimpal balik.

Beberapa hari yang lalu, anak-anak ini bercerita padanya kalau darah mereka tidak enak rasanya mungkin karena mengandung suatu logam yang bernama timbal. Mereka banyak bercerita tentang benda itu. Ia hanya bisa mengerutkan kening (dan itu juga menyita sedikit tenaganya) karena tidak bisa membayangkan bagaimana suatu logam bisa masuk ke dalam tubuh anak-anak kecil itu dan mengontaminasi darah mereka. Terhirup melalui hidung? Hm, yang ia ingat tentang logam hanyalah baju zirah yang suka dipakai para ksatria yang sesekali menginap di kastilnya kalau cuaca sedang buruk. Hm, ia masih ingat rasa darah mereka. Korban yang benar-benar empuk. Darah para pemberani. Benar-benar membangkitkan gejolaknya. Begitupun kuda-kuda mereka yang gagah-gagah. Ah ya, alas kaki kuda mereka juga menggunakan logam. Pikiran Pak Vampir mengembara lagi, menelusuri masa lalunya, mengenangnya sebelum tidak dapat ia kenang lagi untuk selama-selamanya.

Ghira tiba-tiba berhenti bicara, bersamaan dengan bergesernya tripleks di belakangnya karena Vido hendak masuk ke dalam. Dua sahabat itu saling memandang.

Sambil menggeser kembali tripleks ke tempatnya, sehingga ruangan itu hanya diterangi beberapa garis cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang ditutupi kain seadanya, Vido berujar pada Ghira,”Kamu udah bilang rencana kita kemarin?”

Mata Pak Vampir mengikuti gerak Vido yang kini sedang mendekatinya.

Ghira menggeleng. Vido mendengus, tentu saja, mana kawannya ini akan bertindak kalau tidak diingatkan...

“Jadi begini, Pak Vampir, kita kemarin kan udah diskusi gimana caranya supaya Bapak bisa sehat lagi. Trus kami kepikiran buat ngebawa Bapak ke suatu tempat.”

“Yang udaranya masih bersih!” sela Ghira yang semangatnya timbul begitu ingat dengan ide yang dianggapnya brilian ini.

“Yang orang-orangnya belum pada kena timbal,” tambah Vido.

“Kita bakal ke desa!” sorak Ghira.

“Minggu besok. Jadi maaf, Pak Vampir, Bapak masih harus nunggu beberapa hari lagi soalnya kalo nggak di hari Minggu kita kan harus sekolah.”

“Iya, maaf, ya, Pak. Bertahan, Pak!”

“Tapi, ada syaratnya, Pak.”

Mata Pak Vampir bergerak-gerak, berganti-ganti menatap dua bocah yang berbicara sambung menyambung tak ada putusnya itu.

“Yang pertama, Bapak harus berubah jadi kelelawar dulu supaya muat masuk tas. Soalnya, kalau Bapak nggak berubah nanti gimana kami bisa bawa Bapak tanpa ketahuan sama keluarga kami?” sambung Vido lagi. “Terus, yang kedua, Bapak harus janji, setelah tenaga Bapak pulih, Bapak bener-bener langsung balik ke tempat Bapak seperti yang kemarin Bapak bilang itu.”

“Kata Vido, Bapak nggak boleh terus tinggal di sini, soalnya, drakula itu kan tinggalnya di Eropa. Kalo entar Bapak menetap di Indonesia....”

“Ghira, itu nggak penting tau!” Vido mencubit pipi Ghira keras. Ghira memegangi pipinya yang memerah dan meringis sementara Vido menyadari bahwa Pak Vampir kini sudah begitu lemahnya. Perasaan kemarin belum begitu parah...

Pandangan Pak Vampir meredup.

Matanya membuka lagi saat Ghira menggoncang-goncangkan lengan Pak Vampir. “Pak Vampir! Pak Vampir!” jeritnya.

Vido terpaku di tempat. Bingung harus bagaimana.

“Jangan mati, Pak!” Ghira jelas sama bingungnya.

Mulut Pak Vampir membuka, terlihat kedua taringnya yang tajam menyempil. Dengan susah payah ia berkata terpatah-patah,” B—Bagaimana kk—kalian, para manusia, bisa tahan hidup dengan racun mengalir di tt—tubuh kaliann??”

Pak Vampir masih sempat menggores lengan Ghira dengan kukunya yang tajam. Ujung kuku yang berlumur setitik darah itu dijilatnya. Ia melepeh.

“Rasanya tetap tidak enak meski di saat-saat terakhirku...” gumamnya tapi tak terdengar oleh kedua bocah yang sedang panik itu.

Kepalanya terkulai. Tubuhnya kaku seketika. Kini hanya tinggal seekor kelelawar mungil di atas telapak tangan Ghira.

“Mukanya kelihatan menderita,” Vido berkomentar.

Ghira mengusap matanya dengan lengan baju.

 

 

Di balik tajuk pohon beringin, di tengah taman kompleks perumahan Vido, puncak mentari jingga menyembul dengan damai. Cahayanya menaungi kepiluan dua bocah yang sedang berdiri berhadapan di bawah tajuk pohon beringin. Di tengah-tengah mereka sudah digali sebuah liang kecil yang akan digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir si Vampir.

Ghira berlutut, hendak membenamkan kelelawar di lengannya ke dalam liang tersebut. Kelelawar itu sudah dibalutnya dengan kain putih yang ditemukannya di kamar tadi. Entah kain bekas apa. Tangan Ghira tertahan di atas liang.

“Bener, kita nggak usah solatin dulu?”

Vido memutar bola matanya.

Tangan Ghira sudah menyentuh dasar liang kini. Ditariknya dengan lembut. Gundukan tanah yang ada di sekitar liang ia siramkan ke dalam liang. Pelan-pelan, bagai sedang menabur makanan ayam. Vido mengikuti perbuatan sobatnya itu. Ia ambil sebongkah tanah dan dalam sekejap liang itu sudah tertutup lagi. Ia ratakan gundukan kuburan si kelelawar dengan sekop yang dibawanya dari rumah.

“Selesai,” ujarnya sambil pura-pura mengusap peluh di balik poninya.

Ghira cemberut karena upacara penguburan Pak Vampir jadi hilang kehikmatannya.

“Kenapa ya darah kita harus nggak enak gitu rasanya. Jadinya kan kita nggak bisa menolong Pak Vampir,” ucap Ghira murung, lebih kepada dirinya sendiri, seusai bangkit dari mendoakan jenazah dalam liang kubur.

Vido tersenyum simpul, coba menghibur sobatnya itu dengan suatu pikiran yang spontan melintas di otaknya, “Mungkin yang harus kita lakuin sekarang adalah menanam banyak pohon di kota supaya bisa memperbaiki kualitas darah kita. Jadi kalau suatu saat ada vampir kelaparan datang lagi, kualitas darah kita udah cukup baik untuk disumbangkan.”

Ghira tampak ragu. “Inget nggak, pas tahun lalu kita ada acara nanem pohon di belakang sekolah? Sampai sekarang nggak ada yang tumbuh tuh.”

“Ada tau, nggak semua tapi. Mungkin gara-gara nggak ada yang ngerawat kali? Mami saya nanem pohon mangga di halaman pas saya masih kecil. Tiap hari disiramin terus kadang dikasih pupuk juga. Sekarang pohonnya udah gede tuh.”

“Oh, yang suka kita panjatin itu?”

Vido mengangguk. “Iya, yang itu.”

“Jadi percuma nanam banyak pohon kalau nggak dirawat, Ghir...”

Sepasang sahabat itu pulang sambil merangkul bahu satu sama lain, kembali meninggalkan Pak Vampir yang terbenam dalam kelamnya tanah.

 

 

 050709.13.22WIB



[1] Seperti penggambaran Mr. Drakula dalam Mr. Drakula Ikut Pesta oleh Silvia Iskandar, Situs Web Kimia Indonesia, diunduh 16 Februari 2009, 2.38 PM.

[2] Disesuaikan dari informasi dalam thread Dracula, fakta yang dikaburkan, forum Kapanlagi.com, 29 Desember 2008, diunduh 16 Februari 2009, 2.38 PM.

[3] Ceritanya kurang lebih tentang seorang anak laki-laki yang bertemu vampir di suatu sirkus kemudian ia divampirkan oleh vampir tersebut. Namun masih ada serangkaian ujian yang harus ia lewati untuk menjadi vampir sejati.

[4] Sebetulnya flu Spanyol adalah epidemik tahun 1917 yang membunuh lebih banyak orang daripada Perang Dunia I (sumber: A Reader for Developing Writers oleh Santi V. Buscemi, McGraw-Hill, 2002), yang mengubah Edward Cullen dalam Twilight jadi vampir.

[5] Sebanyak 66 % siswa di Kota Bandung memiliki kadar timbal dalam darah melewati nilai ambang batas dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 ug/dL. Data tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Departemen Teknik Lingkungan ITB, Indonesian Lead Information Center (LIC-Jakarta), Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dan Fakultas Psikologi Unpad, sejak Mei hingga Desember 2005. Penelitian dilakukan terhadap 400 anak dari 40 sekolah dasar (SD) yang tersebar di 25 kecamatan di Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan, ada korelasi negatif antara kadar timbal dalam darah dan intelligence quotient (IQ) anak-anak. (66% Siswa di Bandung Tercemar Timbal, Website Udara Kota, 1 Januari 2007, diunduh 16 Februari 2009, 2.21 PM)

[6]Anak-anak Berisiko Tinggi Tercemar Timbal dalam Darah, oleh Gsianturi, 27 April 2004 (www.gizi.net), diunduh 16 Februari 2009, 2.22 PM

[7] Makanan khas Sunda. Biasa disuguhkan di atas daun pisang dengan komposisi: nasi, lalapan, sambal, ikan asin, tahu-tempe-ayam goreng—bisa pula ditambah lauk lainnya.

[8] Timbal si Pencuri IQ, laman CBN (www.cbn.net.id), 18 September 2002, diunduh 16 Februari 2009, 2.22 PM

[9] Penelitian terhadap 400 murid pada 40 sekolah dasar di Kota Bandung membuktikan bahwa intervensi kalsium secara rutin pada anak menurunkan kadar timbal dalam darah. Penelitian ini dilakukan pertengahan tahun 2005 hingga akhir 2006 serta melibatkan pihak sekolah dan orangtua murid. Selama 90 hari, 270 murid kelas III dan IV diwajibkan mengonsumsi tablet kunyah mengandung mineral kalsium, masing-masing dosis 500 miligram per hari (sebanyak 140 anak) dan 250 mg per hari (130 anak). Sebanyak 130 anak lainnya tak diwajibkan mengonsumsi tablet kunyah sebagai pembanding sebelum kesimpulan penelitian. Hasilnya, kadar timbal dalam darah yang mengonsumsi tablet kunyah kalsium turun hingga setengahnya. (Terapi Kalsium Tekan Kadar Timbal dalam Darah dalam laman KOMPAS,  28 Desember 2007, diunduh 16 Februari 2009, 2.31 PM)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain