Ia adalah co ass
untuk praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumber Daya Hutan—atau biasa disebut
Invent saja. Ia sudah siap dibenci karena dirinya dan praktikum itu sendiri. Ia
tidak tahu apa yang salah dengan dirinya namun ia bisa merasakan hawa negatif
dipancarkan para praktikannya sejak selama ia menjadi co ass. Itu sudah
berlangsung beberapa semester. Ia tidak mengindahkan itu dan tetap happy-go-lucky seperti biasa. Praktikum
Invent memang tidak mudah dan juga tidak sederhana. Para praktikan sudah
terlalu suntuk dengan praktikum itu sendiri—alih-alih berusaha menyukai co ass
mereka—ia maklum.
Pragmatis saja
tujuannya menjadi co ass. Ia selalu mendapat A untuk setiap mata kuliah yang
melibatkan perhitungan. Sebut saja mulai dari Matematika, Pengantar Statistik,
Pengukuran Sumber Daya Hutan (PSDH), Invent, Ekonomi Sumber Daya Hutan (ESDH),
Perencanaan Sumber Daya Hutan (Perencanaan), dan Pemanenan Sumber Daya Hutan
(Pemanenan). Invent, ESDH, Perencanaan, dan Pemanenan—beberapa matkul
“dewa”—adalah spesialisasinya. Kecuali ESDH, mata kuliah-mata kuliah tersebut
berpraktikum dan meski tidak seberapa, ada fee
di setiap akhir semester bagi para co ass praktikum. Lumayan buat menambah
penghasilannya sebagai part-timer di
sebuah distro di tengah kota.
Ia memang senang
menghitung. Hal yang paling senang dihitungnya adalah pendapatannya setiap
akhir bulan, lebih-lebih saat akhir semester. Namun menjadi co ass bukanlah
untuk melampiaskan hobi menghitungnya. Jika sedang mood, ia akan memeriksa hasil perhitungan praktikannya. Ia hanya
perlu mencerna dan mencek hitungannya dengan Tabel WvW dan kalkulator—satu hal
yang amat mudah dan biasa dilakukannya dalam waktu singkat—lalu menemukan
kesalahan. Kesalahan mereka kadang bisa ditemukan hanya dengan logika saja.
“Masak sih umurnya udah masak tebang tapi Vst totalnya cuman segini?”, begitu
suatu kali ia menguakkan tanda tanya. Mereka akan menyadari bahwa co ass mereka
benar tapi mereka terlalu sombong untuk mengakui kesalahan mereka dan
mengucapkan terima kasih. Kadang pula mereka terlalu picik untuk menerima
kenyataan. Mereka susah menerima perhitungan yang telah mereka kerjakan semalam
suntuk ternyata mengandung kesalahan yang fatal. Mereka merasa sudah melakukan
prosedur perhitungan secara benar.
Memang ia bisa
membuat para praktikan jelas akan materi praktikum. Ucapannya lugas dan kadang
disisipinya sentuhan humor meskipun tidak ada tawa dari para pendengarnya.
(“Nanti setelah ketemu berapa faktor kerusakan hutannya, dibahas mengenai
kemungkinan-kemungkinan hutannya rusak gara-gara apa, mati gara-gara apa...
Kayak lampu kelas ini nih, tiba-tiba mati, pasti kalian belum pada bayar SPP
ya?”) Suaranya cukup keras sehingga mampu menarik perhatian. Ia suka tertawa.
Polah para praktikan yang kadang begitu polos membuatnya geli, misalnya ketika
ia memergoki ada praktikan yang menaruh buku petunjuk praktikum di lantai sebagai
sumber sontekan saat pre test. Jika
ia tidak jeli memerhatikan tentu ia tidak akan tahu kalau saat praktikannya
tunduk menulis itu ternyata sambil melihat ke arah jawaban juga. Koordinasi
dengan rekan satu shift-nya sendiri
selalu berjalan baik karena ia selalu menurut saja.
Namun para
praktikan tidak pernah bisa melupakan arogansi yang selalu ditampilkannya saat
praktikum.
“Aku mau laporan
selalu dikumpulkan tepat waktu. Nggak ada toleransi keterlambatan, atau nilai
dipotong. Keterlambatan satu hari dipotong 5 point.”
“Kalau mau
ngumpulin laporan telat, aku cuma ada di kampus hari Senin, Rabu, Jumat.”
“Aku mau semuanya
hasil perhitungan ini diketik rapi, pembulatan harus 4 angka di belakang koma,
ukuran font-nya jangan kekecilan tapi
jangan kegedean juga—12-lah, pilih karakter font-nya
yang enak dibaca ya, paragrafnya 1,5, nggak boleh di-copy, harus print-an
asli. Aku bisa ngebedain mana yang di-copy
dan mana yang asli.”
“Aku mau semua
laporan di-staples, nggak ada yang
pake klip-klipan kayak gini. Punya siapa ini...? Riandi Alamsyah... Atau aku
nggak jamin laporan kalian nggak bakal kececer ke mana-mana. Tuh kan, pada
copot-copot...”
“Aku mau...”
“Aku...”
Semua kemauannya
membuat para praktikan merasa beban mereka bertambah-tambah meskipun sebenarnya
itu bukan hal yang berat untuk dilakukan. Namun data perhitungan yang harus
mereka garap bisa sampai puluhan lembar. Baru diterangkan bagaimana cara
mengolahnya saja sudah bikin mereka pusing dan mual-mual. Segala kemauan co ass
yang terkesan bernada paksaan untuk dituruti menjadi tekanan tersendiri bagi
mereka.
Apalagi mereka
melihat ada hal-hal yang tak patut diteladani dari co ass mereka. Ia baru
memakai baju berkerah kalau masuk kelas—itu pun dapat minjam. Ia merokok. Ia
banyak protes kalau praktikan melakukan kesalahan. Ia jarang membalas sms dari
para praktikannya tapi selalu membalas sms dari praktikan co ass lain. Ia susah
dihubungi untuk diajak kumpul membahas pengerjaan laporan. Sekali ia
meninggalkan banyak coretan di bagian dalam laporan namun laporan-laporan
setelahnya yang dikembalikan seperti tidak pernah disentuh. Di halaman judul
hanya ada tulisan “Acc” dan tanda tangannya tertera. Ia tidak pernah
mencantumkan nilai. Dan yang membuat para praktikannya makin jengkel sekaligus
malu, coretan-coretan yang ditinggalkannya justru bukan untuk perbaikan isi
laporan, melainkan sesuatu yang menguak rahasia terdalam mereka.
.
Rintik hujan
jatuh terpental di atas aspal, menguar kesan romantik. Sang co ass duduk
meringkuk di balik salah satu pilar penyangga gedung tertua di kampusnya itu.
Beberapa bundel laporan berserak di sampingnya sementara tas selempang kumalnya
tergeletak tanpa daya di samping satunya lagi. Bibir tebal pinknya mengapit
sebatang silinder 7 cm. Mentol. Ia tak khawatir masuk angin. Sesekali jari
telunjuk dan tengah kirinya ganti mengapit benda berasap tersebut. Matanya yang
tak berkelopak mengerjap-ngerjap dan ia menyibakkan poni tebalnya kalau
menemukan sesuatu yang menarik dari apa yang sedang ditekuninya. Sebundel
laporan di pangkuan dan Standard AE 7 Fine hasil pungutan di tangan kanan.
“Tingkatkan kerja
sama dengan teman-temanmu,” tulisnya di bagian belakang laporan tersebut.
“Mungkin ada baiknya sering-sering puasa biar emosi stabil.”
Dilemparnya
laporan tersebut ke tumpukan laporan yang sudah selesai diperiksanya. Namun
diambilnya kembali seakan teringat sesuatu. “KBD-nya itung lagi,” dia
menambahkan di bagian belakang laporan itu lagi. Lalu di halaman judul, “Acc”,
dan tanda tangannya menyusul.
Ia mengambil
laporan yang baru dari tumpukan satunya. Dicermatinya bagian samping laporan
tersebut lalu dibolak-baliknya. Diangkatnya satu lembar pada bagian tepi
sementara lembar-lembar lainnya dibiarkan jatuh ke bawah namun
lembaran-lembaran itu tetap terekat pada satu sisi. Diamatinya sisi tersebut.
Ia mendengus. Matanya makin menyipit. “Huh, pake double tape. Ora nduwe
staples po piye ki?” ucapnya dalam Bahasa Jawa yang tidak medhok.
Lama ia menatapi
lembar demi lembar laporan tersebut. Ia cermati gaya tulisan yang tergores
baris demi baris. Bentuk tulisan kali ini bersambung tak karuan dan kadang
sukar membacanya. Orang yang menulis dengan gaya seperti ini biasanya adalah
orang yang kreatif namun susah menerima kritik kalau melakukan kesalahan.
Sepertinya juga tulisan ini ditorehkan dalam ketergesaan. Mungkin baru digarap
1 jam sebelum praktikum dimulai. Ia tersenyum lagi akan prasangkanya itu.
Laporan memang seharusnya dikumpulkan saat praktikum berikutnya. Itu namanya
tepat waktu. Namun ia menduga ada kemungkinan lain yang melatarbelakangi gaya
menulis seperti itu. Dilihatnya nama yang terletak di halaman judul: Prastya
Dipta. Ia ingat anak yang memiliki nama ini adalah anak yang tidak banyak tanya
di kelas dan tampaknya cepat menangkap penjelasan co ass. Kalaupun belum mengerti
benar, anak ini akan menggunakan caranya sendiri untuk mengerjakan. Tampaknya
suatu saat anak ini akan menjadi penemu metode-metode baru dalam dunia
inventarisasi kehutanan. Namun sepertinya juga anak ini yang paling tidak suka
kalau co ass mulai berkehendak macam-macam akan format penulisan laporan. Tanpa
pikir panjang-panjang ia menulis di halaman belakang laporan tersebut, “Kritik
itu perlu supaya kita bisa jadi orang yang lebih baik. Menolong orang lain juga
perlu, meskipun itu tidak sesuai dengan kehendak kita. Hasilmu hampir benar
tapi cara pengerjaannya kok beda sama yang lain??”
Dilemparnya
laporan itu ke tumpukan laporan satunya lalu diambilnya satu laporan dari
tumpukan laporan lainnya. Langsung ia mengernyit ketika membuka-buka laporan tersebut.
Dilihatnya nama pemilik laporan itu. Oh, ini anak yang ia tahu sengaja membuat
tulisannya jelek sedemikian rupa untuk menyusahkan co ass-nya. Ia pernah
mendengarnya langsung saat kebetulan melintas sekilas di depan anak itu—yang
sedang ramai-ramai menyelesaikan laporan di tepi koridor bersama
teman-temannya. Katanya, “Biar aja tulisannya jelek ah, biar co assnya nggak
bisa baca, hehe. Aku nggak ngerti nih mesti bahas apa.” Ia tersenyum saja
sehabis itu. Sinis. “Huhu, awas kamu nanti, toh nilaimu di tanganku juga...”
batinnya.
Dilemparkannya
laporan itu ke sembarang arah.
Ia
goyang-goyangkan rokoknya agar abunya jatuh. Lalu ia mengusap-usap mukanya
dengan sebelah tangan. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, pekerjaan
mengoreksi laporan bukanlah pekerjaan yang menyenangkan dan membutuhkan ekstra
kesabaran. Padahal tahun ini ia sudah mulai menggarap skripsi. Ia membutuhkan
konsentrasi yang cukup tinggi dan urusan-urusan yang memicu stres dan
kesuntukan harusnya ia hindari. Untunglah ia bukan tipe co ass teladan sehingga
ia masih bisa menikmati hidupnya.
Apalagi sejak ia
menekuni grafologi. Memahami ilmu membaca gaya tulisan tangan ini membuat
hidupnya sebagai co ass menjadi lebih hidup. Ia jadi bisa menduga-duga
kepribadian para praktikannya. Sambil memandangi wajah para praktikannya satu
per satu ketika ia sedang tampil di depan kelas, ia merasa seakan dapat membaca
isi pikiran mereka semua. Saat mereka menatapnya dan bertanya, saat ia mendekat
dan berinteraksi dengan mereka, ia ingin berkata,” Kamu sebaiknya lebih membuka
diri pada orang lain” atau “Kamu harus lebih PD dan dewasa ya, jangan cuma diam
saja,” atau “Eh, kita bisa cocok loh. Coba kamu nggak sok jaim gitu sama aku,”
dan masih banyak lagi sugesti-sugesti lain dalam kepalanya yang ia tahu biarlah
semua itu tak usah menjadi kata-kata yang terucapkan. Setidaknya jangan secara
lisan.
Memang grafologi
tidak 100% akurat. Ia juga tidak begitu saja percaya karena berdasarkan
eksperimennya pada beberapa teman, hasilnya cenderung subjektif pun belum ia
temukan bacaan yang menunjukkan keilmiahan grafologi. Meski demikian,
dugaan-dugaan akan kepribadian orang-orang yang mesti berurusan dengannya
menjadi hiburan tersendiri baginya. Hanya rekan 1 shift-nya saja yang menolak untuk dites karena tidak percaya. Namun
tak ayal, rekannya itu suatu kali minta tolong juga bantuannya menganalisis
kepribadian seseorang yang menyelipkan surat cinta di tumpukan laporan
miliknya.
Ia mengambil satu
laporan lagi dan berniat setelah menyelesaikan ini ia akan segera cabut.
Lagipula hujan sudah tidak sederas tadi. Ditengoknya nama pemilik laporan yang
kali ini dipegangnya: Nabila Faithia. Oh, ini anak yang pernah dipergokinya
sedang membuka Facebook di acara praktikum yang menggunakan laptop. Ia tidak
begitu memedulikan anak itu. Ia hanya menegurnya dengan nada menggoda sementara
anak itu cekikikan bersama teman di sebelahnya. Laptop itu sedang mereka pakai
bersama. Ia tidak tahu kalau kedua gadis itu baru saja membaca statusnya yang
ia post 4 jam yang lalu, di mana
tanpa maksud apa-apa ia memberitakan pengalamannya terjebak sejam di kamar
mandi pada pagi itu.
.
Tidak ada wajah
para praktikan yang tidak bersuka cita di petang yang dingin ini. Suasana ini
takkan terasa saat masa-masa praktikum kemarin namun sudah menjadi hal yang
biasa didapatkannya saat waktunya responsi tiba dan selesai dilalui. Para
praktikan menamakannya: Hari Kebebasan. Petang ini mereka tidak akan lagi
merasakan derita sekali seminggu bernama praktikum Invent yang sudah
berminggu-minggu kemarin menyiksa mereka. Lupa akan masa lalu. Tiada lagi tabel
dan peta besar hasil inventarisasi hutan alam Kalimantan dengan IS 100% yang
harus mereka olah. Tiada lagi begadang sampai pagi. Tiada lagi cekcok dengan
teman karena salah paham atau pembagian kerja kelompok yang tidak merata. Tiada
lagi memelototi Excel sampai mata jereng. Tiada lagi co ass biadab. Horeeeee!!
Mereka tahu,
semester berikutnya akan tiba dalam jangka waktu yang takkan terasa, dan mereka
akan menemui lagi praktikum-praktikum yang tak kalah mengerikan dari praktikum
Invent. Tapi biarlah. Kebebasan ini menjadi euforia sesaat yang harus
dirayakan.
Ia turut
bergembira dengan gelombang suka cita para praktikan. Segera setelah ia
menyetorkan nilai-nilai “bayangan” pada dosen pengampu (ia tidak pernah benar-benar
memeriksa laporan para praktikannya melainkan hanya membayangkan berapa nilai
yang layak diberikan untuk masing-masing praktikan—semacam mencari wangsit
untuk nomor togel), ia akan mendapatkan gajinya. Lumayan untuk beli rokok,
pulsa, dan burjo.
Di tengah tumpah
ruah sorak sorai para praktikan dari semua shift
di koridor gedung yang dipakai sebagai tempat menggelar responsi, ia mendengar
suara-suara memanggilnya,
“Jadi ikut kita
nggak, Mas?”
“Makan-makan...”
“Kita udah pesen
tumpeng nih buat syukuran selesainya praktikum Invent!”
“Loh, jadi toh?”
Ia sadar kemarin belum memberikan jawaban saat diajak para praktikannya ikut
merayakan Hari Kebebasan ini. Ia bingung sebaiknya ikut apa tidak secara belum
diakrabinya benar mereka. Untung rekan 1 shift-nya
lewat. Ransel sudah menempel di punggung dan di pelukannya terdapat setumpuk
lembar jawab responsi.
“Ikut nggak?”
Para praktikan
mereka, karena memang 1 shift dan 1
ruangan, sepakat hendak merayakan ini bersama-sama. Shift lain bahkan tidak kepikiran untuk mengadakan syukuran.
“Dateng aja
bentar,” kata rekannya itu kalem.
“Ikut
makan-makannya abis itu langsung cabut,” bisik rekannya setelah mereka sudah
berjalan cukup jauh dari rombongan praktikan mereka.
Setelah
mengumpulkan soal-soal dan lembar jawab responsi ke ruangan dosen dan
ngobrol-ngobrol dengan karyawan yang ada di sana, mereka berboncengan naik
motor ke warung makan yang telah ditentukan oleh para praktikan mereka. Dari
kampus mereka, warung makan itu letaknya beberapa ratus meter ke sebelah timur.
Tepat di seberang selokan besar, warung makanan yang menjual aneka masakan
jamur itu berdiri. Banyak motor sudah berderet di halamannya. Di salah satu
sisi pada bagian dalam warung sudah ramai para praktikan mereka berceloteh
mengenang praktikum Invent yang sudah lalu sambil duduk lesehan. Mereka tambah
ramai begitu melihat kedatangan kedua co ass mereka.
“Asik, asik, yang
bayarin udah dateng!”
“Ayok kita pergi
lagi,” ia menarik lengan rekannya tapi mereka segera mencegahnya. Mereka berhasil
mendudukkan 2 orang itu di antara mereka.
“Mana
tumpengnya?” Ia bertanya.
“Tumpeng jamur,
Mas,” seorang anak menjawab sambil menyusun serpihan jamur crispy di depannya menyerupai tumpeng.
“Ora mutu.” Ia mendengus. Ramai lagi
anak-anak menanggapinya.
Karena makanan
sudah lengkap, salah seorang dari mereka segera memulai proses syukuran. Hari
semakin gelap dan mereka semua tidak sabar ingin segera menunaikan ‘acara
puncak’. Sementara itu ia malah sudah tidak nyaman karena ingin segera
menyelesaikan urusan yang lain. Ia jadi berniat tidak ikut makan-makan karena
kalau sudah terlena ia pasti ditodong untuk ikut membayar padahal gajinya belum
turun. Tapi rekannya yang terancam bernasib sama tampak tenang-tenang saja. Ia
redam kegelisahannya itu.
Setelah doa
diucapkan, segala amin menyusul dihembuskan.
“Kita mungkin
masih akan bertemu dengan para co ass kita tercinta ini di praktikum
Perencanaan dan atau Pemanenan semester besok. Tapi tidak apa-apa. Yang penting
kita bersenang-senang dulu untuk yang ini. Nanti kita makan-makan lagi...!”
“Tapi tetep
kalian yang bayarin kan?” ia nyeletuk.
“Ho ho... Itu
lihat nanti saja... Mungkin dari mas-mas co ass ada yang mau disampaikan?”
“Kalian mungkin
masih ketemu aku di Perencanaan tapi aku nggak ambil co ass Pemanenan,”
rekannya menjawab takzim.
Gilirannya,
“Semester ini aku masih ngoassin tapi nggak tahu ya semester besok.”
“Skripsi ya,
Mas?” sahut seseorang.
“Ah, ada deh.”
Lantas mereka
bersorak sorai lagi sambil gantian menyalaminya.
“Kami doakan
cepat lulus ya, Mas!”
“Iya, semoga
lancar ngerjain skripsinya.”
Seraya menjawab
salam mereka, ia ditenggelamkan pada kebingungan apakah harus senang dengan doa
tulus mereka atau malah itu suatu pengusiran halus untuknya? Ia mencoba mafhum
kenapa selama ini ia begitu kurang disukai dan itu membuatnya kembali ringan.
“Nah, sekarang
acara puncak!”
“Ayo, Yat, kita
balik.” Ia menyenggol pinggang temannya.
Namun sebelum ia
sempat berbalik, anak-anak telah menyerbunya. Tangan-tangan mereka
menggerayanginya tubuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan mengusungnya ke
luar ruangan. Orang-orang dalam temaram warung memandangi peristiwa ini takjub.
Mata mereka membesar sebagaimana mulut mereka yang menggembung karena terisi
makanan. Seseorang menjatuhkan selembar potongan semur jamur lada hitam ke
lantai.
“Larung co
assnya, larung co assnya, larung co assnya sekarang juga! Sekarang juga...
Sekarang juga...” Mereka bernyanyi dengan penuh semangat, meredam kepanikannya
karena serangan tiba-tiba ini.
“Weh, apa-apaan
ini?? Turunin, woy!”
Mereka seolah tak
mendengar, malah makin memperkuat cengkeraman mereka. Bagian bawah kaosnya
tersibak, memperlihatkan perutnya yang putih.
Cahaya senja yang
masih cukup terang menyambutnya keluar dari keremangan. Matanya menyaksikan
kelamnya warna langit sehabis hujan. Biarpun sendu, langit itu seolah terhibur
lantas tersenyum mengejek akan situasi yang tengah menimpanya ini. Ia sudah tak
banyak meronta-ronta karena takut tiba-tiba dijatuhkan. Apa nyana, sedetik
kemudian ia mendapati dirinya terendam dalam air kecokelatan setinggi perut. Di
tengah kegelagapannya, sempat ia menyaksikan popok kotor meluncur melewatinya,
disusul bangkai seekor tikus pada sisi yang lain. Para praktikannya berdiri di
tepi selokan, bersorak, dan menertawainya. Dilihatnya juga rekannya berada di
antara mereka, tersenyum, dan melambai, “Selamat ulang tahun!”
“Ulang tahunku
masih 11 bulan lagi tau!”
Tangannya
menggapai-gapai lalu lenyap menyusul bagian tubuh lainnya.
18 Oktober 09/9.44 AM