Permadani sersah berhiaskan
bercak-bercak nyala yang jatuh dari sela-sela tajuk di atasnya. Jika terlalu
lama di sekitarnya, akan terasa panas menyengat. Namun justru itulah yang
menguarkan hangat dalam keteduhan di bawah naungan kanopi hutan.
Garukan kaki Mama Ayam pada sersah
menambah riuh nyanyi para serangga yang melekat di batang pepohonan. Di
sekitarnya, para juniornya meniru-niru apa yang dilakukannya. Penuh rasa ingin
tahu mereka mengikuti ke mana induk mereka pergi. Ciapan mereka ikut
menyemarakkan orkestra hutan. Mereka semakin ribut ketika Mama Ayam mencabut
seutas cacing dari lubang yang baru digalinya.
“Mama! Mama! Aku dulu! Aku dulu!”
begitu mereka terpekik-pekik girang. Tembolok mereka sudah minta diisi lagi.
Belum cukup segala yang sudah tersimpan di dalamnya.
“Ayo, siapa tadi yang belum dapat?”
tanya Mama Ayam masih dengan menjepit cacing di paruhnya.
“Aku! Aku!” semua berteriak.
Sebetulnya ia tahu giliran siapa
sekarang. Ia hanya ingin menggoda anak-anaknya. Ia tak perlu menyuruh anak yang
akan mendapatkan gilirannya untuk membuka mulutnya. Paruh semua anak sudah
terkuak menganga. Cacing malang itu pun jatuh ke dalam lubang mulut Elena,
salah satu anaknya. Ditelannya benda kenyal panjang itu bulat-bulat.
“Mama! Mama! Kapan giliranku lagi?”
tanya Alicia, anak sulungnya, tak sabaran.
“Sabar, Nak...” Mama Ayam tersenyum
akan polah anaknya itu sambil meneruskan kembali langkahnya.
Barbara, Colin, dan Delilah juga
tampaknya sudah tak sabar pula ingin mendapatkan giliran mereka lagi. Loh,
tunggu... tunggu... sepertinya masih ada yang kurang... batin Mama Ayam. Hm,
mungkin ia masih di belakang, sibuk mencari makanan sendiri seperti biasa...
Cakar Mama Ayam kembali menyeruak
tumpukan sersah di hadapannya. Anak-anaknya segera mengejar. Berkeliaran di
sekitar induknya. Tak mau ketinggalan mendapati apapun yang tengah dilakukan
induknya.
Cakar Mama Ayam berhenti tepat di atas
seonggok bangkai ikan. Bagian perutnya sedikit terkoyak. Wah, kebetulan sekali
kali ini giliran si bungsu yang dapat makan... batinnya. Lantas kepalanya
celingak celinguk mencari sesuatu meski pandangnya hanya menangkap hamparan
tegakan pohon dan lenggokan kebingungan kepala anak-anaknya yang ikut-ikutan
berhenti.
“Ada apa, Mama?”
“Iya, ada apa? Ada apa?”
Ciapan yang saling menimpali itu
dijawab Mama Ayam, “di mana ya Fiona?”
Raut wajah anak-anak ayam itu berubah
jadi tidak senang. Pandangan mereka alihkan ke satu sama lain. Terdengar
gumam-gumam pelan yang menyiratkan kedengkian.
Kepala Mama Ayam masih
melenggok-lenggok. “Fiona, di mana kamu? Ada i—“
“NGAAAKKK!”
Ketentraman hamparan tumbuhan bawah Piper sp. terusik ketika sepasang cakar
besar itu menginjak-injak mereka tanpa ultimatum sama sekali. Sesosok unggas
berparuh amat panjang dengan sejumput acak rambut kepala melesat dengan
kecepatan tinggi seraya memekik-mekik. Gerombolan anak ayam terlonjak lalu lari
kacau balau menyelamatkan diri. Mama Ayam hanya mampu terpaku ketika paruh
kuning kemerahan nan panjang itu nyaris terantuk dengan paruhnya yang kuning
mungil namun tajam terpercaya. Tubuh makhluk yang sudah sedikit lebih besar
dari dirinya itu menimpa bayang-bayang tajuk pepohonan.
“Mana ikannya, Mama?” anak itu berkoak
lagi. Suara serak dan nyaringnya membuat anak-anak ayam yang sudah pada
menyingkir itu bergidik. Masih pandangnya terpaku pada makhluk tersebut, Mama
Ayam bergeser sejengkal dan memperlihatkan penemuannya. Kedengkian para anak
ayam menjadi-jadi demi melihat rakusnya makhluk jelek itu saat melahap si
bangkai ikan. Seonggok bangkai ikan yang mungkin akan mengenyangkan mereka
semua tapi tidak akan pernah cukup bagi si bocah nista itu. Mama Ayam hanya
bisa memandangi dengan hampa.
“Terima kasih, Mama!” koak anak itu
kali ini tidak membuat para anak ayam gentar. Tatapan keji mereka layangkan.
Mama Ayam mengangguk-angguk. Katanya, “apakah banyak ikan yang sudah kamu
temukan tadi, Nak?”, yang dibalas dengan anggukan semangat, “ya, Mama, tapi
rasanya aku belum cukup kenyang.”
“Oh, begitu, kalau begitu mari kita
cari makan lagi. Saudara-saudaramu juga sepertinya belum cukup kenyang.” Mama
Ayam berbalik hendak terus masuk ke tengah hutan. Tidak mendapati anak-anaknya
bergegas mengikuti seperti biasa, Mama Ayam mencari-cari. “Ayo, Anak-anak!
Masih ada banyak makanan di sana...”
Dengan enggan, para anak ayam beranjak
dan menjaga jarak sejauh mungkin dari saudara mereka yang lain rupa lain bentuk
itu. Kalau tak sengaja beradu pandang, mereka akan segera melayangkan sorot
mata penuh kebencian.
Mama Ayam yang menyadari itu hanya
bisa menegur, “yang rukun ya, Anak-anak... Fiona, kalau cari makan jangan
jauh-jauh ya. Nanti kamu tersesat.”
“Huh, biar saja dia tersesat. Jadi
kita tidak usah sama-sama dia lagi...” desis Delilah pada Colin.
“Kenapa sih, namanya harus mirip
dengan namaku? Sama-sama ada ‘na’ di belakangnya!” keluh Elena untuk ke sekian
kalinya selama beberapa minggu kehidupannya.
Alicia, si sulung, hanya bisa mengusap
punggung adiknya. “Sabar... Sabar...”
Barbara tak kalah sebalnya. Tapi ia
tidak menemukan kata-kata yang cukup kejam untuk dilontarkan. Jadi ia diam saja
dengan muka merengut.
Mama Ayam sudah tidak tahu lagi apa
yang bisa dilakukannya agar mereka berhenti berbisik-bisik seperti itu. Ditegur
berkali-kali sudah tidak mempan. Bukan hari ini saja mereka mendiskriminasi
sesama saudara mereka itu, melainkan setiap kali mereka bersamanya. Dan itu
hampir sepanjang hari. Ia hanya bisa berharap agar perasaan Fiona, anak
angkatnya itu, tidak terluka demi mendengar semua perkataan yang menolak
kehadirannya. Suatu kehadiran yang tiba-tiba. Ingatan Mama Ayam melayang...
Malam itu, dari balik kandangnya yang
luas dan berpenerangan cukup, dengan anak-anaknya—yang belum berapa lama
berhasil melepaskan diri dari belenggu cangkang—mencuri kehangatan dari balik
kedua sayapnya, Mama Ayam dicemaskan oleh pemandangan yang terlihat dari balik
jendela kawat. Tumpukan tebal jerami yang ditungganginya tidak cukup melarutkan
kesadarannya ke alam mimpi. Terlihat olehnya garis zig zag keperakan melecut
langit ungu. Butir-butir air meluncur dari sana, mulanya perlahan. Setetes demi
setetes, hingga makin lama makin lesat menjadi peluru. Udara menggeliat pesat
menjelma badai yang menghantam-hantam. Harmoni kanopi hutan di kejauhan goyah.
Himpunan tajuk digoyang-goyangkan dalam irama yang tak beraturan. Kacaulah
apa-apa yang berdiam di atas maupun di dalamnya. Peluru air kian bertubi
ditembakkan langit, menambah porak poranda komposisi suara yang terdengar dari
luar sana...
Keesokan paginya, sepasang tangan
mungil menghantarkan makhluk itu ke dalam kandangnya. Dalam balutan kain handuk
kumal, makhluk itu terlihat sama ringkihnya dengan anak-anaknya yang belum lama
melihat dunia tersebut. O lihat ukuran badannya yang jauh lebih besar dari
mereka, bulu-bulu cokelat-putih-hitamnya yang bercampur aduk dan nampak masih
sedikit basah, sepasang mata yang menatap waspada serta curiga, dan paruh amat
panjang yang begitu mengancam...
Mama Ayam sedikit gentar. Ia tekan
kepanikannya meski anak-anaknya gelagapan berebut tempat persembunyian yang
aman di balik tubuh induknya. Setelah lama mengamati makhluk asing tersebut,
Mama Ayam mendapat keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan darinya.
Makhluk itu sama membutuhkan perlindungan sebagaimana anak-anaknya sendiri.
Maka makhluk itu direngkuhnya, membikin anak-anaknya tambah gelagapan karena
tempat persembunyian mereka mendadak bergerak menjauh. Makhluk itu sempat
menghindar hingga tersudut. Namun tak memberinya perlawanan apa-apa. Makhluk
itu tidak berbahaya.
“NGAAAKKK!”
Ya, mungkin koakannya agak sedikit mengagetkan.
Koakan yang mengingatkannya akan para
makhluk yang bersinggasana di atas hutan. Jumlah mereka amat banyak,
mendominasi langit. Tidak pernah mereka sudi menjejakkan kaki di atas tanah,
kecuali anak mereka, yang sebesar tubuhnya, yang terjatuh dari sarangnya.
Bahkan untuk menjemput anak mereka yang sudah menyentuh tanah pun mereka tak
sudi! Semakin bertambah rasa ibanya pada makhluk di hadapannya itu.
Begitulah awal mulanya makhluk itu
menjadi bagian dari keluarga kecilnya. Diperlakukannya makhluk itu hampir sama
seperti anak-anaknya, apalagi setelah ia sadari bahwa makhluk itu juga tumbuh
berkembang. Tentu makhluk itu membutuhkan asupan nutrisi juga, dengan porsi
lebih, sebagaimana ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Ia perhatikan
juga, manusia yang biasa memberi ia dan anak-anaknya makan, memberikan jenis
makanan yang berbeda pula pada makhluk itu. Sesuatu yang tak pernah ia lihat
diberikan sebagai pakan khusus bagi bangsanya: ikan. Dalam jumlah yang cukup
besar pula. Namun Mama Ayam tak komplain. Cukuplah semua dedak dan pakan buatan
pabrik lainnya itu. Ditambah hasil mencari-cari sendiri di hutan seberang
kandang.
Makhluk itu juga sungguh menarik
perhatian. Tidak hanya manusia-manusia dengan rupa itu-itu saja yang biasa memberi
makan yang kini suka mendekatinya—mendekati makhluk itu. Ada lebih banyak rupa
manusia, memandang, mendekati, mencoba meraih makhluk itu. Kadang mereka
berhasil dan kadang tidak. Makhluk itu mereka pangku, belai, dan sentuh dengan
macam-macam benda. Sementara itu Mama Ayam dan anak-anaknya lebih suka
menghindar tidak dekat-dekat dengan manusia. Jika Mama Ayam dan anak-anaknya
sudah begitu jauh menghindar, makhluk itu akan melompat dari pangkuan manusia
yang sedang menjamahinya dan bergegas menyusul.
Hari demi hari terus berganti.
Anak-anaknya sudah lebih besar, termasuk makhluk itu. Dengan ukurannya yang
sekarang, ia sudah hampir tidak muat lagi masuk kandang. Kalaupun berhasil
masuk, maka ia akan membuat ayam-ayam yang di dalamnya kesempitan. Maka oleh
para manusia itu, dibuatkanlah ia sebuah kandang sendiri di samping kandang
Mama Ayam dan anak-anaknya. Meski demikian, seringkali makhluk itu memaksa
masuk ke kandangnya yang sebelumnya, bersama para ayam.
Kebutuhan makan makhluk itu pun jauh
lebih besar lagi. Sering Mama Ayam menangkap percakapan samar-samar para
manusia,
“Dibuang aja ya cangaknya. Makannya
banyak banget e... Ikan pula!” kata sebuah suara berat yang segera ditanggapi
oleh sebuah suara nyaring dan cempreng, “jangaaaan! Tunggu sampai dia besar dan
bisa makan sendiri, Pak e.”
“Lah, mau sampai kapan?” suara berat
itu menanggapi. “Mau nggak para mahasiswa itu beli makan buat dia?” Lalu
suara-suara manusia itu semakin menjauh hingga tak terdengar lagi.
Sehingga Mama Ayam dan anak-anaknya
pun makin hari jadi makin lama menghabiskan waktu di hutan. Bukan karena belum
kenyang mencari cemilan, wah tak terkira betapa melimpahnya apa yang mereka
cari itu di hutan, melainkan karena menunggui makhluk itu puas mencari bangkai
ikan yang berceceran di lantai hutan agar mereka semua bisa pulang
bersama-sama. Ya, sementara Mama Ayam dan anak-anaknya memagut cacing,
serangga, rayap, bekicot, dan hewan-hewan kecil lainnya, makhluk itu menyusuri
lantai hutan hanya untuk mendapatkan bangkai ikan. Kadang ada pula yang jatuh
menggelepar dari langit, menghantam tanah, lalu menggelepar lagi sebentar
hingga tak bergerak sama sekali. Sering pula jumlah bangkai ikan yang ditemukan
tidak memuaskan nafsu makan makhluk itu. Kalau sudah begitu, mau tak mau ia
coba juga melahap yang induk dan para saudara angkatnya pagut. Maka para
saudara angkatnya itu akan makin gencar saja memancarkan hawa permusuhan.
Jika makhluk itu sedang berada cukup
jauh dari mereka, anak-anak ayam akan mencurahkan segala protes, keluh kesah,
dan uneg-uneg pada induk mereka, atau lebih seringnya pada sesama mereka
sendiri.
“Ma, kenapa sih makhluk jelek itu
harus selalu bersama-sama kita?”
“Iya, udah jelek, gede, badannya nggak
proporsional lagi. Liat aja, paruhnya panjang banget!”
“Makanannya juga beda sendiri. Ikan!
Ikan gitu loh! Kita aja nggak dapet yang seperti itu!”
“Mama selalu menegur kita kalau kita ikut mencicipi ikan. Kata Mama, sisihkan itu buat dia, kita sudah cukup dapat makan yang lain. Padahal kan kita penasaran ingin tahu seperti apa rasanya yang dia makan!”
“Makannya banyak banget lagi.
Perhatiin nggak sih, dia udah segede apa sekarang? Lama-lama, mama kita juga
yang dia lahap!”
“Dia juga suka bikin manusia datang
mendekat, kan kita jadi takut!”
“Aku benci dia!”
“Aku juga!”
“Kita semua benci dia!”
Mendengar semua cercaan anak-anaknya,
Mama Ayam mencoba menjelaskan, “jangan begitu, Anak-anak.... Meskipun kita dan
dia berbeda rupa, tapi sesungguhnya kita semua satu, sama-sama unggas!”
Anak-anak ayam tak mau mengerti.
Mereka tetap gencar melontarkan caci-maki. Dan menularkan tabiat itu dari
generasi ke generasi.
.
Makhluk itu hanya bisa tabah menerima
segala bentuk diskriminasi. Luka hatinya sudah sedemikian koyak hingga kebal
dibubuhi ucapan-ucapan menyakitkan.
Kini ia sendiri. Induk yang dulu
begitu memerhatikan dan menyayanginya sudah jadi pupuk di septic tank. Ya, sekian tahun telah berjalan. Para saudara
angkatnya sudah tumbuh besar juga, tapi tak sebesar dirinya tentu. Sebagian
entah sudah bertelur untuk yang ke berapa kali sedangkan sebagian yang lain
entah bagaimana nasibnya sekarang— dibawa oleh para manusia itu entah ke mana.
Kandang yang dulu sudah tidak ada melainkan diganti oleh kandang yang lebih
besar. Jumlah anak ayam bertambah cukup banyak. Semakin banyak pula perkataan
tak menyenangkan itu. Padahal ia merasa tak pernah mengganggu mereka. Malah
sering ketika ada kucing yang coba-coba mendekati mereka, ia akan segera lari
menghalau predator tersebut hingga terbirit-birit pergi. Namun apa yang ia
dapat? Tak sejumput pun apresiasi melainkan gempuran caci maki. Siapa yang
tidak sedih?
Manusia pun sudah tak hirau lagi akan
dirinya. Semakin lama ia jadi lebih banyak di hutan, berusaha memenuhi sendiri
kebutuhan makannya. Celah-celah banir Dipterocarpaceae menjadi tempat
berlindungnya. Berharap setiap saat agar ada semakin banyak bangkai ikan yang
jatuh dari langit. Tak jarang harapannya itu dijawab dengan sebercak kotoran
yang mendarat di paruhnya. Sebercak kotoran yang kemudian disadarinya mirip dengan
punyanya. Bukan sesuatu yang asing sebetulnya. Bercak kotoran ini ada di
mana-mana, menimpa setiap jenis tumbuhan di hutan ini. Bahkan ada suatu tempat
di mana hampir seluruh permukaan tumbuhan di sana berwarna putih karena
kejatuhan kotoran macam ini.
Maka ia jadi suka memandangi langit.
Menghapal sosok yang menelurkan kotoran sebagai yang punyanya itu. Ada banyak
sosok serupa beterbangan di atas sana. Dengan kaki jenjang yang terkatup,
membumbunglah para makhluk bersayap hitam lebar membentang itu. Saat mendarat
di pucuk kanopi, terlihatlah jelas bagaimana sosok mereka. Paruh mereka amat
panjang, sebagaimana paruhnya. Sebagian tubuh mereka, dari puncak kepala hingga
leher, berwarna putih, sedangkan sebagian sisanya berwarna hitam, sebagaimana
miliknya. Ia mematut bayangannya di genangan air bekas hujan semalam. Tidakkah
ia dan mereka serupa? Namun kenapa aku tidak berada di atas sana? tanyanya.
Ayam macam apa mereka? Ia coba mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat-loncat.
Tidak bisa. Tubuhnya terasa berat. Sayapnya, yang padahal lebar, terasa begitu
ringkih. Mungkin memang sudah nasibku untuk tinggal di bawah sini, pikirnya,
mungkin aku mengidap kelainan. Ia kembali celingukan, mengacaukan tumpukan
sersah, demi mencari bangkai ikan yang siapa tahu terselip di sela-sela.
.
Keempat orang mahasiswa itu kompak menghalau
serangan nyamuk yang segera menyambut begitu mereka memasuki kawasan arboretum.
Para nyamuk berukuran relatif besar dengan loreng-loreng putih itu begitu
bandel mengitari apapun yang berwarna hitam dan melekat di tubuh. Lama-lama
capek juga mereka meladeni para nyamuk itu. Masak calon rimbawan takut nyamuk,
begitu pikir mereka. Meski tak ayal rencana untuk membawa lotion anti nyamuk pada kunjungan berikutnya muncul dalam kepala.
Melengganglah terus mereka ke semakin ke dalam hutan.
“Jadi kita ngapain sih?” tanya Ucok,
salah satu dari mereka, tiba-tiba. “Kok kalian dari pintu masuk nunduk-nunduk
terus.”
“Piye tho, Ndul? Wah... ra beres
ki...” timpal seorang yang lain, yang berkacamata dan berkulit agak terang.
“Nyari bangke ikanlah! Penciuman lo
kan tajam tuh... kayak anjing polisi...” seorang yang lain ikut nyablak
“Ah, males ah!” seru Ucok. “Biar Teh
Iis aja deh yang nyari.”
Ucok tersenyum pada gadis di sebelahnya,
yang hanya pasang tampang merengut. “Ayo, Cok, nyari juga...” katanya serius,
punggungnya membungkuk terus sambil sesekali memasukkan sesuatu ke dalam
plastik bening yang dibawanya.
“Aduh... Nggak ada cara yang lain ya
buat ngidentifikasi pakan burung cangak?” Ucok mengusap-usap perutnya. Iis
memalingkan muka, mencari ke arah lain.
“Yo kata Pak Wawan kan kita harus
ngumpulin bangkai ikannya, bar iku diidentifikasi apa aja jenisnya.”
“Iya, Cok, ngerti gak lu, Cok? Kasian
tuh anak-anak Perikanan kolam mereka ikannya abis, gak ada objek penelitian
lagi tuh mereka.”
“Ha ha, beli aja ikan yang baru...”
“Ya, lu mau beliin?! Cangak di kampus
kita tuh overpopulated tau!”
“Ah, udah ah, jangan pada berantem
atuh! Yang penting ayo kita sama-sama tuntaskan PKM ini!” sergah Iis yang malah
ditanggapi nyanyian Ucok.
“Ooo.. seperti ular! Seperti ular!
Suka memangsa... Eh, di arboretum kita nih ada ularnya nggak sih—“
“Sst—sst—diem!” mendadak Bagus, yang
sedari tadi bicara dengan logat Jawa kental itu, menepuk-nepuk Ucok agar bocah
itu bungkam.
“Ada apa sih?” Benny—si logat Betawi,
setengah berbisik. Ketiga orang lainnya segera mencari-cari arah pandang Bagus
dan mendapati sesosok cangak dewasa dengan kaki menapak lantai sersah. Burung
tersebut tampak tenang mengais-ngais tanpa sedikit pun menyadari kehadiran
mereka. Benny mendesis, “belum pernah gua liat cangak sedekat ini...”
“Ssstt...” kali ini Iis yang
menyemburkan desis. Tanpa mengalihkan pandangan dari si cangak, ia mengeluarkan
kamera dari sakunya dan mulai mencari-cari angle
yang pas. “Jarang-jarang nemu cangak dewasa lagi jalan-jalan gini...”
“Aneh yo...” gumam Bagus.
“Mungkin dia lagi capek terbang kali.
Atau lagi pingin cari pengalaman baru ajaa...”
“Ssst!” Bagus, Iis, dan Benny kompak
berbalik untuk membungkam Ucok. Dibegitukan, malah memunculkan suatu ide dalam
benak anak Batak itu. “Eh, napa nggak kita tangkap aja si cangak itu? Terus
kita observasi? Kita bedah perutnya trus liat apa aja yang dia makan?”
Teman-temannya tidak mau susah-susah
memikirkan kemungkinan tersebut. Mereka kembali mengamati si cangak.
“Eh, gua jadi keinget sesuatu deh.”
“Apa Ben?”
“Inget gak, dulu Pak Sapto, penjaga
kampus kita itu, kan pernah melihara burung cangak gitu. Tapi cangaknya masih
kecil.”
“Oh iya, iya. Dulu sempet jadi bahan
penelitiannya anak kelompok pengamat burung juga kan? Tapi gara-gara makannya
banyak banget akhirnya dilepas ke sini kan?” Iis menambahi.
“Jadi maksud kalian, ini tuh cangaknya
Pak Sapto yang dilepas itu?” ujar Bagus.
“Ya, secara tu cangak kan dipelihara
ampe rada gede. Kapan dia belajar terbangnya coba? Jadi wajar aja kali dia ampe
segede gini nggak bisa terbang...” Benny berkacak pinggang. Sikutnya menyenggol
keras eboni di sampingnya. Sekonyong-konyong jeritan Benny menggoyangkan helai-helai
tajuk. Si cangak pejalan kaki tersentak. Lekaslah ia berlari dari apapun itu
yang sepertinya akan mengancamnya.
“Ih, Benny, lebay amat sih! Tuh kan,
cangaknya jadi lari!” omel Iis.
“Ayo, serbu!” Ucok tancap gas. Ia
mengayuh kakinya mengikuti arah si cangak berlari. Refleks teman-temannya
mengikuti. Bagus segera menyusul di samping Ucok. Iis sedikit di belakang
mereka. Benny paling belakang, masih mengaduh-aduh karena efek ‘kesetrum’ belum
hilang dari sikutnya.
“Ayo kita bawa cangak ini saja ke Pak
Wawan. Unik kan? Cangak yang nggak bisa terbang!”
“Terserah lu deh, Cok!” seru Benny
dari kejauhan. Bagus menoleh lalu tak habis pikir mengapa dia tahu-tahu sudah
ikut berlari bersama Ucok. Tapi nanggung kalau berhenti!
“Eh, eh, ayo kita jebak dia sampai ke
pagar pembatas yang di depan sana itu! Bagus, kau ke kiri! Iis, kananku, yak!
Benny, kau yang jadi pemandu soraknya, okay?!”
“Ah, apaan sih lu, Cok?!”
.
Tak terkira betapa takutnya makhluk
itu. Sayapnya terus dikepak-kepakkan, berharap sepasang benda itu bisa berguna.
Padahal ia sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari dan melewati
celah-celah yang sepertinya tidak akan mampu dilewati manusia. Tapi para
manusia yang ini gesit sekali! Mereka tinggal beberapa meter lagi di belakangnya,
sementara beberapa meter lagi di depannya adalah pagar kawat.. Ya ampun, ia
telah melampaui batas rawan! Dalam pengalaman kelananya mencari makan bersama
Mama Ayam dan anak-anaknya, tak pernah mereka sampai sedekat ini dengan pagar
kawat. Pagar kawat yang membatasi kehidupan syahdu hutan dengan hiruk pikuk
dunia manusia beserta segala urusannya. Terang benderang di sana dengan sedikit
permukaan yang tertutup hehijauan. Hanya ada kumpulan gedung yang teramat besar
dengan banyak manusia berseliweran. Ah, manusia, sudah lama ia tidak pernah
dijamah mereka dan ia pun tak suka mereka jamah. Kini makhluk itu terasa
demikian menakutkan baginya.
Kepanikan terus memburunya, menyentak
kalbu. Sebentar lagi ia akan menabrak pagar kawat itu—dan terkepung! Oh, entah
apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah apa yang akan para manusia itu lakukan
terhadapnya nanti. Ketakutan Mama Ayam dan anak-anaknya saat bertemu manusia
merasuki dirinya. Apa yang akan Mama Ayam lakukan jika berada dalam keadaan
genting seperti ini?!
Mama Ayam akan mengepak-ngepakkan
sayapnya dan meloncat. Terus mengepak hingga cakarnya menggapai tanah. “Ini
bisa sedikit meringankan bebanmu saat terjun ke bawah,” terngiang nasihat Mama
Ayam suatu kali saat mengajar anak-anaknya teknik meloncat yang baik dan benar.
Lalu ia akan mendarat di seberang pagar dan kembali ke kandangnya, pasti ada
jalan memutar untuk ke sana, meski harus menghadapi rintangan manusia demi
manusia.
Kali ini kepakan sayap makhluk itu
berhasil melontarkan tubuhnya ke atas tanah, lebih tinggi dari yang ia kira,
hingga sepasang kakinya lurus menjejak melewati pagar kawat. Aku tak mau jatuh,
aku tak mau jatuh... ucapnya
berkali-kali dalam hati. Terus ia kepakkan sayap hitam lebarnya. Terus...
terus... berharap agar tidak terlalu sakit nanti saat mendarat... Hei, kenapa
aku tidak mendarat?
Suara keributan para manusia itu
terdengar makin sayup-sayup, makin jauh, makin jauh...
“Eh, cangaknya ternyata bisa terbang!”
“Buset! Sialan tu cangak pake
kecepirit segala! Mana kena pipi gua! Mana bau lagi!”
“Makanya kau jangan terlalu
bersemangat, Ben...”
“Sialan lu, Cok! Sialan!”
“Kayaknya ini gara-gara kita
kebanyakan ngerjain tugas, laporan praktikum, makanya kita jadi
berhalusinasi...”
“Macam mana itu, bah!?”
Makhluk itu terus mengepakkan
sayapnya, membumbung ke angkasa, meninggalkan wajah para manusia yang terpana,
hingga cukup tinggi untuk melihat ke bawah...
Terperangah ia akan kemampuannya
sendiri.
Kembali ia merosot ditarik bumi.
Rupanya ia belum bisa terbang terlalu jauh dan tinggi! Dikepakkan lagi
sayapnya. Merosot. Naik. Coba lagi dan coba lagi. Jika aspal yang ditapaki, ia
kencang berlari, seraya menghimpun tenaga untuk mencoba terbang lagi.
Sekali-kali harus dihindarinya macam-macam benda saat sedang berlari. Namun
pada akhirnya ia bisa terbang lagi. Dan jatuh lagi. Terbang lagi. Semoga kali
ini cukup tinggi. Yeah! Ia mencoba berputar menukik ke arah hutan, masuk ke
dalam rerimbunan kehijauan, tersangkut-sangkut pada ranting demi ranting
sebelum akhirnya kembali menghunjam tanah. Tidak apa-apa. Ia jatuh di kawasan
yang tidak ada manusianya. Ia berlari dan mencari tempat persembunyian yang
takkan terlihat oleh siapapun.
Dan ia sadari hidupnya akan segera
berubah setelah ini.
Makhluk itu terus berlatih terbang.
Sekali waktu ia berhasil menyembul dari balik tajuk, menyapa sesosok yang mirip
dirinya. Sosok itu menoleh namun ia keburu terperosok. Tekadnya untuk mengasah
terus kemampuan terbangnya semakin kuat. Ia ingin segera bisa bergabung dengan
makhluk-makhluk serupa dirinya di atas sana. Ikut mencari makan di kolam-kolam
yang jauh. Mendaftar dalam Komunitas Cangak Arboretum (KOMCATAR). Sekali-kali
meluncurkan tai kepada para saudara angkat kejam beserta anak-anaknya. Kadang
pula ia menjatuhkan sisa ikan yang dimakannya ke arah mereka. Mereka akan
langsung berpencaran, kaget akan bom ikan yang datang tiba-tiba, sebelum
kemudian mengerumuni potongan ikan itu dan mencacahnya dengan rakus, sampai
seekor kucing datang mengacaukan. Mereka segera lari lintang pukang tak tentu
arah. Akhirnya kucing itulah yang menghabiskan sisa santapan mereka.
Dan jauh di hamparan kanopi di atas
sana, seekor cangak telah menemukan jati dirinya. Kini ia menjadi bagian dari
titik-titik putih di tengah gumpalan-gumpalan hijau tanpa banyak celah. Berbahagialah
hidupnya selama-lamanya bersama ratusan sosok yang serupanya.
8 maret 2009
17 desember 2009: 12.31 AM
teruntuk para anak cangak arboretum yang terjatuh dari
sarangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar