Kamis, 17 Desember 2009

Anak Ayam Buruk Rupa

Permadani sersah berhiaskan bercak-bercak nyala yang jatuh dari sela-sela tajuk di atasnya. Jika terlalu lama di sekitarnya, akan terasa panas menyengat. Namun justru itulah yang menguarkan hangat dalam keteduhan di bawah naungan kanopi hutan.

Garukan kaki Mama Ayam pada sersah menambah riuh nyanyi para serangga yang melekat di batang pepohonan. Di sekitarnya, para juniornya meniru-niru apa yang dilakukannya. Penuh rasa ingin tahu mereka mengikuti ke mana induk mereka pergi. Ciapan mereka ikut menyemarakkan orkestra hutan. Mereka semakin ribut ketika Mama Ayam mencabut seutas cacing dari lubang yang baru digalinya.

“Mama! Mama! Aku dulu! Aku dulu!” begitu mereka terpekik-pekik girang. Tembolok mereka sudah minta diisi lagi. Belum cukup segala yang sudah tersimpan di dalamnya.

“Ayo, siapa tadi yang belum dapat?” tanya Mama Ayam masih dengan menjepit cacing di paruhnya.

“Aku! Aku!” semua berteriak.

Sebetulnya ia tahu giliran siapa sekarang. Ia hanya ingin menggoda anak-anaknya. Ia tak perlu menyuruh anak yang akan mendapatkan gilirannya untuk membuka mulutnya. Paruh semua anak sudah terkuak menganga. Cacing malang itu pun jatuh ke dalam lubang mulut Elena, salah satu anaknya. Ditelannya benda kenyal panjang itu bulat-bulat.

“Mama! Mama! Kapan giliranku lagi?” tanya Alicia, anak sulungnya, tak sabaran.

“Sabar, Nak...” Mama Ayam tersenyum akan polah anaknya itu sambil meneruskan kembali langkahnya.

Barbara, Colin, dan Delilah juga tampaknya sudah tak sabar pula ingin mendapatkan giliran mereka lagi. Loh, tunggu... tunggu... sepertinya masih ada yang kurang... batin Mama Ayam. Hm, mungkin ia masih di belakang, sibuk mencari makanan sendiri seperti biasa...

Cakar Mama Ayam kembali menyeruak tumpukan sersah di hadapannya. Anak-anaknya segera mengejar. Berkeliaran di sekitar induknya. Tak mau ketinggalan mendapati apapun yang tengah dilakukan induknya.

Cakar Mama Ayam berhenti tepat di atas seonggok bangkai ikan. Bagian perutnya sedikit terkoyak. Wah, kebetulan sekali kali ini giliran si bungsu yang dapat makan... batinnya. Lantas kepalanya celingak celinguk mencari sesuatu meski pandangnya hanya menangkap hamparan tegakan pohon dan lenggokan kebingungan kepala anak-anaknya yang ikut-ikutan berhenti.

“Ada apa, Mama?”

“Iya, ada apa? Ada apa?”

Ciapan yang saling menimpali itu dijawab Mama Ayam, “di mana ya Fiona?”

Raut wajah anak-anak ayam itu berubah jadi tidak senang. Pandangan mereka alihkan ke satu sama lain. Terdengar gumam-gumam pelan yang menyiratkan kedengkian.

Kepala Mama Ayam masih melenggok-lenggok. “Fiona, di mana kamu? Ada i—“

“NGAAAKKK!”

Ketentraman hamparan tumbuhan bawah Piper sp. terusik ketika sepasang cakar besar itu menginjak-injak mereka tanpa ultimatum sama sekali. Sesosok unggas berparuh amat panjang dengan sejumput acak rambut kepala melesat dengan kecepatan tinggi seraya memekik-mekik. Gerombolan anak ayam terlonjak lalu lari kacau balau menyelamatkan diri. Mama Ayam hanya mampu terpaku ketika paruh kuning kemerahan nan panjang itu nyaris terantuk dengan paruhnya yang kuning mungil namun tajam terpercaya. Tubuh makhluk yang sudah sedikit lebih besar dari dirinya itu menimpa bayang-bayang tajuk pepohonan.

“Mana ikannya, Mama?” anak itu berkoak lagi. Suara serak dan nyaringnya membuat anak-anak ayam yang sudah pada menyingkir itu bergidik. Masih pandangnya terpaku pada makhluk tersebut, Mama Ayam bergeser sejengkal dan memperlihatkan penemuannya. Kedengkian para anak ayam menjadi-jadi demi melihat rakusnya makhluk jelek itu saat melahap si bangkai ikan. Seonggok bangkai ikan yang mungkin akan mengenyangkan mereka semua tapi tidak akan pernah cukup bagi si bocah nista itu. Mama Ayam hanya bisa memandangi dengan hampa.

“Terima kasih, Mama!” koak anak itu kali ini tidak membuat para anak ayam gentar. Tatapan keji mereka layangkan. Mama Ayam mengangguk-angguk. Katanya, “apakah banyak ikan yang sudah kamu temukan tadi, Nak?”, yang dibalas dengan anggukan semangat, “ya, Mama, tapi rasanya aku belum cukup kenyang.”            

“Oh, begitu, kalau begitu mari kita cari makan lagi. Saudara-saudaramu juga sepertinya belum cukup kenyang.” Mama Ayam berbalik hendak terus masuk ke tengah hutan. Tidak mendapati anak-anaknya bergegas mengikuti seperti biasa, Mama Ayam mencari-cari. “Ayo, Anak-anak! Masih ada banyak makanan di sana...”

Dengan enggan, para anak ayam beranjak dan menjaga jarak sejauh mungkin dari saudara mereka yang lain rupa lain bentuk itu. Kalau tak sengaja beradu pandang, mereka akan segera melayangkan sorot mata penuh kebencian.

Mama Ayam yang menyadari itu hanya bisa menegur, “yang rukun ya, Anak-anak... Fiona, kalau cari makan jangan jauh-jauh ya. Nanti kamu tersesat.”

“Huh, biar saja dia tersesat. Jadi kita tidak usah sama-sama dia lagi...” desis Delilah pada Colin.

“Kenapa sih, namanya harus mirip dengan namaku? Sama-sama ada ‘na’ di belakangnya!” keluh Elena untuk ke sekian kalinya selama beberapa minggu kehidupannya.

Alicia, si sulung, hanya bisa mengusap punggung adiknya. “Sabar... Sabar...”

Barbara tak kalah sebalnya. Tapi ia tidak menemukan kata-kata yang cukup kejam untuk dilontarkan. Jadi ia diam saja dengan muka merengut.

Mama Ayam sudah tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukannya agar mereka berhenti berbisik-bisik seperti itu. Ditegur berkali-kali sudah tidak mempan. Bukan hari ini saja mereka mendiskriminasi sesama saudara mereka itu, melainkan setiap kali mereka bersamanya. Dan itu hampir sepanjang hari. Ia hanya bisa berharap agar perasaan Fiona, anak angkatnya itu, tidak terluka demi mendengar semua perkataan yang menolak kehadirannya. Suatu kehadiran yang tiba-tiba. Ingatan Mama Ayam melayang...

Malam itu, dari balik kandangnya yang luas dan berpenerangan cukup, dengan anak-anaknya—yang belum berapa lama berhasil melepaskan diri dari belenggu cangkang—mencuri kehangatan dari balik kedua sayapnya, Mama Ayam dicemaskan oleh pemandangan yang terlihat dari balik jendela kawat. Tumpukan tebal jerami yang ditungganginya tidak cukup melarutkan kesadarannya ke alam mimpi. Terlihat olehnya garis zig zag keperakan melecut langit ungu. Butir-butir air meluncur dari sana, mulanya perlahan. Setetes demi setetes, hingga makin lama makin lesat menjadi peluru. Udara menggeliat pesat menjelma badai yang menghantam-hantam. Harmoni kanopi hutan di kejauhan goyah. Himpunan tajuk digoyang-goyangkan dalam irama yang tak beraturan. Kacaulah apa-apa yang berdiam di atas maupun di dalamnya. Peluru air kian bertubi ditembakkan langit, menambah porak poranda komposisi suara yang terdengar dari luar sana...

Keesokan paginya, sepasang tangan mungil menghantarkan makhluk itu ke dalam kandangnya. Dalam balutan kain handuk kumal, makhluk itu terlihat sama ringkihnya dengan anak-anaknya yang belum lama melihat dunia tersebut. O lihat ukuran badannya yang jauh lebih besar dari mereka, bulu-bulu cokelat-putih-hitamnya yang bercampur aduk dan nampak masih sedikit basah, sepasang mata yang menatap waspada serta curiga, dan paruh amat panjang yang begitu mengancam...     

Mama Ayam sedikit gentar. Ia tekan kepanikannya meski anak-anaknya gelagapan berebut tempat persembunyian yang aman di balik tubuh induknya. Setelah lama mengamati makhluk asing tersebut, Mama Ayam mendapat keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan darinya. Makhluk itu sama membutuhkan perlindungan sebagaimana anak-anaknya sendiri. Maka makhluk itu direngkuhnya, membikin anak-anaknya tambah gelagapan karena tempat persembunyian mereka mendadak bergerak menjauh. Makhluk itu sempat menghindar hingga tersudut. Namun tak memberinya perlawanan apa-apa. Makhluk itu tidak berbahaya.

“NGAAAKKK!”

Ya, mungkin koakannya agak sedikit mengagetkan.

Koakan yang mengingatkannya akan para makhluk yang bersinggasana di atas hutan. Jumlah mereka amat banyak, mendominasi langit. Tidak pernah mereka sudi menjejakkan kaki di atas tanah, kecuali anak mereka, yang sebesar tubuhnya, yang terjatuh dari sarangnya. Bahkan untuk menjemput anak mereka yang sudah menyentuh tanah pun mereka tak sudi! Semakin bertambah rasa ibanya pada makhluk di hadapannya itu. 

Begitulah awal mulanya makhluk itu menjadi bagian dari keluarga kecilnya. Diperlakukannya makhluk itu hampir sama seperti anak-anaknya, apalagi setelah ia sadari bahwa makhluk itu juga tumbuh berkembang. Tentu makhluk itu membutuhkan asupan nutrisi juga, dengan porsi lebih, sebagaimana ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Ia perhatikan juga, manusia yang biasa memberi ia dan anak-anaknya makan, memberikan jenis makanan yang berbeda pula pada makhluk itu. Sesuatu yang tak pernah ia lihat diberikan sebagai pakan khusus bagi bangsanya: ikan. Dalam jumlah yang cukup besar pula. Namun Mama Ayam tak komplain. Cukuplah semua dedak dan pakan buatan pabrik lainnya itu. Ditambah hasil mencari-cari sendiri di hutan seberang kandang.

Makhluk itu juga sungguh menarik perhatian. Tidak hanya manusia-manusia dengan rupa itu-itu saja yang biasa memberi makan yang kini suka mendekatinya—mendekati makhluk itu. Ada lebih banyak rupa manusia, memandang, mendekati, mencoba meraih makhluk itu. Kadang mereka berhasil dan kadang tidak. Makhluk itu mereka pangku, belai, dan sentuh dengan macam-macam benda. Sementara itu Mama Ayam dan anak-anaknya lebih suka menghindar tidak dekat-dekat dengan manusia. Jika Mama Ayam dan anak-anaknya sudah begitu jauh menghindar, makhluk itu akan melompat dari pangkuan manusia yang sedang menjamahinya dan bergegas menyusul.

Hari demi hari terus berganti. Anak-anaknya sudah lebih besar, termasuk makhluk itu. Dengan ukurannya yang sekarang, ia sudah hampir tidak muat lagi masuk kandang. Kalaupun berhasil masuk, maka ia akan membuat ayam-ayam yang di dalamnya kesempitan. Maka oleh para manusia itu, dibuatkanlah ia sebuah kandang sendiri di samping kandang Mama Ayam dan anak-anaknya. Meski demikian, seringkali makhluk itu memaksa masuk ke kandangnya yang sebelumnya, bersama para ayam.

Kebutuhan makan makhluk itu pun jauh lebih besar lagi. Sering Mama Ayam menangkap percakapan samar-samar para manusia,

“Dibuang aja ya cangaknya. Makannya banyak banget e... Ikan pula!” kata sebuah suara berat yang segera ditanggapi oleh sebuah suara nyaring dan cempreng, “jangaaaan! Tunggu sampai dia besar dan bisa makan sendiri, Pak e.”

“Lah, mau sampai kapan?” suara berat itu menanggapi. “Mau nggak para mahasiswa itu beli makan buat dia?” Lalu suara-suara manusia itu semakin menjauh hingga tak terdengar lagi.

Sehingga Mama Ayam dan anak-anaknya pun makin hari jadi makin lama menghabiskan waktu di hutan. Bukan karena belum kenyang mencari cemilan, wah tak terkira betapa melimpahnya apa yang mereka cari itu di hutan, melainkan karena menunggui makhluk itu puas mencari bangkai ikan yang berceceran di lantai hutan agar mereka semua bisa pulang bersama-sama. Ya, sementara Mama Ayam dan anak-anaknya memagut cacing, serangga, rayap, bekicot, dan hewan-hewan kecil lainnya, makhluk itu menyusuri lantai hutan hanya untuk mendapatkan bangkai ikan. Kadang ada pula yang jatuh menggelepar dari langit, menghantam tanah, lalu menggelepar lagi sebentar hingga tak bergerak sama sekali. Sering pula jumlah bangkai ikan yang ditemukan tidak memuaskan nafsu makan makhluk itu. Kalau sudah begitu, mau tak mau ia coba juga melahap yang induk dan para saudara angkatnya pagut. Maka para saudara angkatnya itu akan makin gencar saja memancarkan hawa permusuhan.

Jika makhluk itu sedang berada cukup jauh dari mereka, anak-anak ayam akan mencurahkan segala protes, keluh kesah, dan uneg-uneg pada induk mereka, atau lebih seringnya pada sesama mereka sendiri.

“Ma, kenapa sih makhluk jelek itu harus selalu bersama-sama kita?”

“Iya, udah jelek, gede, badannya nggak proporsional lagi. Liat aja, paruhnya panjang banget!”

“Makanannya juga beda sendiri. Ikan! Ikan gitu loh! Kita aja nggak dapet yang seperti itu!”

“Mama selalu menegur kita kalau kita ikut mencicipi ikan. Kata Mama, sisihkan itu buat dia, kita sudah cukup dapat makan yang lain. Padahal kan kita penasaran ingin tahu seperti apa rasanya yang dia makan!”

“Makannya banyak banget lagi. Perhatiin nggak sih, dia udah segede apa sekarang? Lama-lama, mama kita juga yang dia lahap!”

“Dia juga suka bikin manusia datang mendekat, kan kita jadi takut!”

“Aku benci dia!”

“Aku juga!”

“Kita semua benci dia!”

Mendengar semua cercaan anak-anaknya, Mama Ayam mencoba menjelaskan, “jangan begitu, Anak-anak.... Meskipun kita dan dia berbeda rupa, tapi sesungguhnya kita semua satu, sama-sama unggas!”  

Anak-anak ayam tak mau mengerti. Mereka tetap gencar melontarkan caci-maki. Dan menularkan tabiat itu dari generasi ke generasi.

.

Makhluk itu hanya bisa tabah menerima segala bentuk diskriminasi. Luka hatinya sudah sedemikian koyak hingga kebal dibubuhi ucapan-ucapan menyakitkan.

Kini ia sendiri. Induk yang dulu begitu memerhatikan dan menyayanginya sudah jadi pupuk di septic tank. Ya, sekian tahun telah berjalan. Para saudara angkatnya sudah tumbuh besar juga, tapi tak sebesar dirinya tentu. Sebagian entah sudah bertelur untuk yang ke berapa kali sedangkan sebagian yang lain entah bagaimana nasibnya sekarang— dibawa oleh para manusia itu entah ke mana. Kandang yang dulu sudah tidak ada melainkan diganti oleh kandang yang lebih besar. Jumlah anak ayam bertambah cukup banyak. Semakin banyak pula perkataan tak menyenangkan itu. Padahal ia merasa tak pernah mengganggu mereka. Malah sering ketika ada kucing yang coba-coba mendekati mereka, ia akan segera lari menghalau predator tersebut hingga terbirit-birit pergi. Namun apa yang ia dapat? Tak sejumput pun apresiasi melainkan gempuran caci maki. Siapa yang tidak sedih?

Manusia pun sudah tak hirau lagi akan dirinya. Semakin lama ia jadi lebih banyak di hutan, berusaha memenuhi sendiri kebutuhan makannya. Celah-celah banir Dipterocarpaceae menjadi tempat berlindungnya. Berharap setiap saat agar ada semakin banyak bangkai ikan yang jatuh dari langit. Tak jarang harapannya itu dijawab dengan sebercak kotoran yang mendarat di paruhnya. Sebercak kotoran yang kemudian disadarinya mirip dengan punyanya. Bukan sesuatu yang asing sebetulnya. Bercak kotoran ini ada di mana-mana, menimpa setiap jenis tumbuhan di hutan ini. Bahkan ada suatu tempat di mana hampir seluruh permukaan tumbuhan di sana berwarna putih karena kejatuhan kotoran macam ini.

Maka ia jadi suka memandangi langit. Menghapal sosok yang menelurkan kotoran sebagai yang punyanya itu. Ada banyak sosok serupa beterbangan di atas sana. Dengan kaki jenjang yang terkatup, membumbunglah para makhluk bersayap hitam lebar membentang itu. Saat mendarat di pucuk kanopi, terlihatlah jelas bagaimana sosok mereka. Paruh mereka amat panjang, sebagaimana paruhnya. Sebagian tubuh mereka, dari puncak kepala hingga leher, berwarna putih, sedangkan sebagian sisanya berwarna hitam, sebagaimana miliknya. Ia mematut bayangannya di genangan air bekas hujan semalam. Tidakkah ia dan mereka serupa? Namun kenapa aku tidak berada di atas sana? tanyanya. Ayam macam apa mereka? Ia coba mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat-loncat. Tidak bisa. Tubuhnya terasa berat. Sayapnya, yang padahal lebar, terasa begitu ringkih. Mungkin memang sudah nasibku untuk tinggal di bawah sini, pikirnya, mungkin aku mengidap kelainan. Ia kembali celingukan, mengacaukan tumpukan sersah, demi mencari bangkai ikan yang siapa tahu terselip di sela-sela.

.

Keempat orang mahasiswa itu kompak menghalau serangan nyamuk yang segera menyambut begitu mereka memasuki kawasan arboretum. Para nyamuk berukuran relatif besar dengan loreng-loreng putih itu begitu bandel mengitari apapun yang berwarna hitam dan melekat di tubuh. Lama-lama capek juga mereka meladeni para nyamuk itu. Masak calon rimbawan takut nyamuk, begitu pikir mereka. Meski tak ayal rencana untuk membawa lotion anti nyamuk pada kunjungan berikutnya muncul dalam kepala. Melengganglah terus mereka ke semakin ke dalam hutan.

“Jadi kita ngapain sih?” tanya Ucok, salah satu dari mereka, tiba-tiba. “Kok kalian dari pintu masuk nunduk-nunduk terus.”

“Piye tho, Ndul? Wah... ra beres ki...” timpal seorang yang lain, yang berkacamata dan berkulit agak terang.

“Nyari bangke ikanlah! Penciuman lo kan tajam tuh... kayak anjing polisi...” seorang yang lain ikut nyablak

“Ah, males ah!” seru Ucok. “Biar Teh Iis aja deh yang nyari.”

Ucok tersenyum pada gadis di sebelahnya, yang hanya pasang tampang merengut. “Ayo, Cok, nyari juga...” katanya serius, punggungnya membungkuk terus sambil sesekali memasukkan sesuatu ke dalam plastik bening yang dibawanya.

“Aduh... Nggak ada cara yang lain ya buat ngidentifikasi pakan burung cangak?” Ucok mengusap-usap perutnya. Iis memalingkan muka, mencari ke arah lain.

“Yo kata Pak Wawan kan kita harus ngumpulin bangkai ikannya, bar iku diidentifikasi apa aja jenisnya.”

“Iya, Cok, ngerti gak lu, Cok? Kasian tuh anak-anak Perikanan kolam mereka ikannya abis, gak ada objek penelitian lagi tuh mereka.”

“Ha ha, beli aja ikan yang baru...”

“Ya, lu mau beliin?! Cangak di kampus kita tuh overpopulated tau!”

“Ah, udah ah, jangan pada berantem atuh! Yang penting ayo kita sama-sama tuntaskan PKM ini!” sergah Iis yang malah ditanggapi nyanyian Ucok.

“Ooo.. seperti ular! Seperti ular! Suka memangsa... Eh, di arboretum kita nih ada ularnya nggak sih—“

“Sst—sst—diem!” mendadak Bagus, yang sedari tadi bicara dengan logat Jawa kental itu, menepuk-nepuk Ucok agar bocah itu bungkam.

“Ada apa sih?” Benny—si logat Betawi, setengah berbisik. Ketiga orang lainnya segera mencari-cari arah pandang Bagus dan mendapati sesosok cangak dewasa dengan kaki menapak lantai sersah. Burung tersebut tampak tenang mengais-ngais tanpa sedikit pun menyadari kehadiran mereka. Benny mendesis, “belum pernah gua liat cangak sedekat ini...”

“Ssstt...” kali ini Iis yang menyemburkan desis. Tanpa mengalihkan pandangan dari si cangak, ia mengeluarkan kamera dari sakunya dan mulai mencari-cari angle yang pas. “Jarang-jarang nemu cangak dewasa lagi jalan-jalan gini...”

“Aneh yo...” gumam Bagus.

“Mungkin dia lagi capek terbang kali. Atau lagi pingin cari pengalaman baru ajaa...”

“Ssst!” Bagus, Iis, dan Benny kompak berbalik untuk membungkam Ucok. Dibegitukan, malah memunculkan suatu ide dalam benak anak Batak itu. “Eh, napa nggak kita tangkap aja si cangak itu? Terus kita observasi? Kita bedah perutnya trus liat apa aja yang dia makan?”

Teman-temannya tidak mau susah-susah memikirkan kemungkinan tersebut. Mereka kembali mengamati si cangak.

“Eh, gua jadi keinget sesuatu deh.”

“Apa Ben?”

“Inget gak, dulu Pak Sapto, penjaga kampus kita itu, kan pernah melihara burung cangak gitu. Tapi cangaknya masih kecil.”

“Oh iya, iya. Dulu sempet jadi bahan penelitiannya anak kelompok pengamat burung juga kan? Tapi gara-gara makannya banyak banget akhirnya dilepas ke sini kan?” Iis menambahi.

“Jadi maksud kalian, ini tuh cangaknya Pak Sapto yang dilepas itu?” ujar Bagus.

“Ya, secara tu cangak kan dipelihara ampe rada gede. Kapan dia belajar terbangnya coba? Jadi wajar aja kali dia ampe segede gini nggak bisa terbang...” Benny berkacak pinggang. Sikutnya menyenggol keras eboni di sampingnya. Sekonyong-konyong jeritan Benny menggoyangkan helai-helai tajuk. Si cangak pejalan kaki tersentak. Lekaslah ia berlari dari apapun itu yang sepertinya akan mengancamnya.

“Ih, Benny, lebay amat sih! Tuh kan, cangaknya jadi lari!” omel Iis.

“Ayo, serbu!” Ucok tancap gas. Ia mengayuh kakinya mengikuti arah si cangak berlari. Refleks teman-temannya mengikuti. Bagus segera menyusul di samping Ucok. Iis sedikit di belakang mereka. Benny paling belakang, masih mengaduh-aduh karena efek ‘kesetrum’ belum hilang dari sikutnya.

“Ayo kita bawa cangak ini saja ke Pak Wawan. Unik kan? Cangak yang nggak bisa terbang!”

“Terserah lu deh, Cok!” seru Benny dari kejauhan. Bagus menoleh lalu tak habis pikir mengapa dia tahu-tahu sudah ikut berlari bersama Ucok. Tapi nanggung kalau berhenti!

“Eh, eh, ayo kita jebak dia sampai ke pagar pembatas yang di depan sana itu! Bagus, kau ke kiri! Iis, kananku, yak! Benny, kau yang jadi pemandu soraknya, okay?!”

“Ah, apaan sih lu, Cok?!”

.

Tak terkira betapa takutnya makhluk itu. Sayapnya terus dikepak-kepakkan, berharap sepasang benda itu bisa berguna. Padahal ia sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari dan melewati celah-celah yang sepertinya tidak akan mampu dilewati manusia. Tapi para manusia yang ini gesit sekali! Mereka tinggal beberapa meter lagi di belakangnya, sementara beberapa meter lagi di depannya adalah pagar kawat.. Ya ampun, ia telah melampaui batas rawan! Dalam pengalaman kelananya mencari makan bersama Mama Ayam dan anak-anaknya, tak pernah mereka sampai sedekat ini dengan pagar kawat. Pagar kawat yang membatasi kehidupan syahdu hutan dengan hiruk pikuk dunia manusia beserta segala urusannya. Terang benderang di sana dengan sedikit permukaan yang tertutup hehijauan. Hanya ada kumpulan gedung yang teramat besar dengan banyak manusia berseliweran. Ah, manusia, sudah lama ia tidak pernah dijamah mereka dan ia pun tak suka mereka jamah. Kini makhluk itu terasa demikian menakutkan baginya.

Kepanikan terus memburunya, menyentak kalbu. Sebentar lagi ia akan menabrak pagar kawat itu—dan terkepung! Oh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah apa yang akan para manusia itu lakukan terhadapnya nanti. Ketakutan Mama Ayam dan anak-anaknya saat bertemu manusia merasuki dirinya. Apa yang akan Mama Ayam lakukan jika berada dalam keadaan genting seperti ini?!

Mama Ayam akan mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat. Terus mengepak hingga cakarnya menggapai tanah. “Ini bisa sedikit meringankan bebanmu saat terjun ke bawah,” terngiang nasihat Mama Ayam suatu kali saat mengajar anak-anaknya teknik meloncat yang baik dan benar. Lalu ia akan mendarat di seberang pagar dan kembali ke kandangnya, pasti ada jalan memutar untuk ke sana, meski harus menghadapi rintangan manusia demi manusia.

Kali ini kepakan sayap makhluk itu berhasil melontarkan tubuhnya ke atas tanah, lebih tinggi dari yang ia kira, hingga sepasang kakinya lurus menjejak melewati pagar kawat. Aku tak mau jatuh, aku tak mau jatuh...  ucapnya berkali-kali dalam hati. Terus ia kepakkan sayap hitam lebarnya. Terus... terus... berharap agar tidak terlalu sakit nanti saat mendarat... Hei, kenapa aku tidak mendarat?

Suara keributan para manusia itu terdengar makin sayup-sayup, makin jauh, makin jauh...

“Eh, cangaknya ternyata bisa terbang!”

“Buset! Sialan tu cangak pake kecepirit segala! Mana kena pipi gua! Mana bau lagi!”

“Makanya kau jangan terlalu bersemangat, Ben...”

“Sialan lu, Cok! Sialan!”

“Kayaknya ini gara-gara kita kebanyakan ngerjain tugas, laporan praktikum, makanya kita jadi berhalusinasi...”

“Macam mana itu, bah!?”

Makhluk itu terus mengepakkan sayapnya, membumbung ke angkasa, meninggalkan wajah para manusia yang terpana, hingga cukup tinggi untuk melihat ke bawah...

Terperangah ia akan kemampuannya sendiri.

Kembali ia merosot ditarik bumi. Rupanya ia belum bisa terbang terlalu jauh dan tinggi! Dikepakkan lagi sayapnya. Merosot. Naik. Coba lagi dan coba lagi. Jika aspal yang ditapaki, ia kencang berlari, seraya menghimpun tenaga untuk mencoba terbang lagi. Sekali-kali harus dihindarinya macam-macam benda saat sedang berlari. Namun pada akhirnya ia bisa terbang lagi. Dan jatuh lagi. Terbang lagi. Semoga kali ini cukup tinggi. Yeah! Ia mencoba berputar menukik ke arah hutan, masuk ke dalam rerimbunan kehijauan, tersangkut-sangkut pada ranting demi ranting sebelum akhirnya kembali menghunjam tanah. Tidak apa-apa. Ia jatuh di kawasan yang tidak ada manusianya. Ia berlari dan mencari tempat persembunyian yang takkan terlihat oleh siapapun.

Dan ia sadari hidupnya akan segera berubah setelah ini.

Makhluk itu terus berlatih terbang. Sekali waktu ia berhasil menyembul dari balik tajuk, menyapa sesosok yang mirip dirinya. Sosok itu menoleh namun ia keburu terperosok. Tekadnya untuk mengasah terus kemampuan terbangnya semakin kuat. Ia ingin segera bisa bergabung dengan makhluk-makhluk serupa dirinya di atas sana. Ikut mencari makan di kolam-kolam yang jauh. Mendaftar dalam Komunitas Cangak Arboretum (KOMCATAR). Sekali-kali meluncurkan tai kepada para saudara angkat kejam beserta anak-anaknya. Kadang pula ia menjatuhkan sisa ikan yang dimakannya ke arah mereka. Mereka akan langsung berpencaran, kaget akan bom ikan yang datang tiba-tiba, sebelum kemudian mengerumuni potongan ikan itu dan mencacahnya dengan rakus, sampai seekor kucing datang mengacaukan. Mereka segera lari lintang pukang tak tentu arah. Akhirnya kucing itulah yang menghabiskan sisa santapan mereka.

Dan jauh di hamparan kanopi di atas sana, seekor cangak telah menemukan jati dirinya. Kini ia menjadi bagian dari titik-titik putih di tengah gumpalan-gumpalan hijau tanpa banyak celah. Berbahagialah hidupnya selama-lamanya bersama ratusan sosok yang serupanya.

 

 

8 maret 2009

17 desember 2009: 12.31 AM

teruntuk para anak cangak arboretum yang terjatuh dari sarangnya.

   semoga kalian dapat bertahan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain