Senja bertandang. Kaki Dani menjuntai
ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga sebuah bangunan rumah
yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci
D. Kedamaian menyelubungi jiwanya. Sesekali Dani melambai sambil tertawa pada
anak-anak berbaju muslim yang melintas di bawah dan berteriak-teriak
memanggilnya. “Dani... Ayo ke TPA...!”
Berkali-kali sudah mereka
melakukannya. Dani tetap malas beranjak. Ketenteraman jiwanya sedang tak ingin
dirusak. Ah, untung anak-anak itu tidak cukup punya kesabaran menunggu. Mereka
berlalu. Digantikan sayup-sayup suara motor yang digas kencang mendekat lantas
decit tiba-tiba rem. Dani hanya sempat melihat sekelebat sosok memasuki lantai
bawah rumahnya. Sebuah motor bebek merah ditinggalkan begitu saja.
Semakin jelas terdengar suara langkah
kaki menaiki tangga dengan terburu-buru diiringi desah nafas yang
tersengal-sengal. Dani menoleh. Perasaan tak nyaman mulai menyambangi kalbunya.
Tak lama muncullah orang itu, menyorongkan buntalan plastik, lalu, “Dani, cepet
ganti baju lo sama ini!”
“Heeh? Apaa?”
“Cepetan!” Cowok itu menarik lengannya.
Dani bangkit terjatuh-jatuh. Hingga cowok itu melepaskannya, Dani malah terdiam
sambil mengamat-amati buntalan yang diberikan kepadanya. Sepertinya berisi
pakaian.
“Tunggu apa lagi sih? Buruan dong!”
Cowok itu seperti sedang kebelet pipis. Dani menatap bingung. “Harus di sini?”
Cowok itu terpana. Ia memandang
sekelilingnya dan menyadari lantai tempat mereka berpijak tidak penuh
diselubungi dinding. Dani melewatinya, mencari-cari ruang tertutup, lalu
berbalik bingung. “Kita mau ngapain sih?”
Cowok itu mengacak-acak rambut sambil
berujar dengan wajah memelas. “Udah ganti aja baju lo, cepetaan...”
“Buat apaa?” Dani tak kalah pasang
wajah memelas juga
“Sore ini kita pacaran!”
“Apa?!”
Cowok itu lekas mendorongnya ke balik
sebuah kubikel triplek. “Gua nggak akan liat. Sana cepet ganti!”
.
Dani terperangah dengan baju terusan
putih berenda-renda yang kini menutupi tubuhnya. Dani menutup mulutnya.
Terakhir kali Dani memakai baju terusan berenda-renda adalah saat berumur 5
tahun. Sekarang baju tersebut sudah hilang entah ke mana setelah sebelumnya
dijadikan lap dapur. Dan baju terusan ini menyerapkan kekaguman bagi pemakainya
kini. Wangi pula. Sepasang kaki telanjangnya sedikit meloncat-loncat di atas
lantai semen, membawanya keluar dari kubikel.
“Pantas nggak?”
Cowok itu bahkan tidak menyempatkan
untuk berkata “...kamu cantik banget...” seperti yang biasa Dani saksikan di
film-film. Sepasang tangan cowok itu dengan cepat mencoba merapikan rambut
lurus pendek Dani namun tampak tidak puas dengan hasilnya. “Ah, udahlah entar
kena angin juga kacau lagi!”
Dani cemberut. Cowok itu tak
melihatnya karena sudah berbalik sambil menariknya menuruni tangga.
“Mana bokap lo?” tanya cowok itu masih
sambil menggiringnya cepat-cepat ke halaman tempat motornya tadi diparkir.
“Mmm... mancing...?”
Cowok itu tak menggubrisnya. Ia sudah
di atas motornya, memakai helmnya sendiri dan melemparkan satu helm lagi pada
Dani. Dani membiarkan helm itu jatuh begitu saja.
“Heh! Dipake!”
Dani berjingkat mundur dengan tampang
ngeri. “Aku nggak mau dibonceng kamu...!” Dani ingat suatu ketika dibonceng
cowok itu, ia jatuh terjengkang ke atas aspal. Ranselnya yang terisi penuh
menyelamatkannya dari gegar otak, untungnya. Supir angkot paling serampangan
saja masih bisa disebut budiman jika dibandingkan dengan cowok itu.
Bertambah lipatan di wajah cowok itu.
Seperti teringat sesuatu, mimiknya mendadak serius. “Gua akan tertib, Bu
Polwan.”
Beberapa menit kemudian motor bebek
merah itu sudah melaju kencang di jalan raya. Pengemudinya berusaha tetap penuh
kendali meski di belakangnya penumpangnya memukulinya tiada henti. “Boong! Kamu
boong! Turunin akuuu!”
.
Muka Dani masih pucat. Dani pusing,
ingin muntah. Sepasang bola matanya menyusuri sepasang tangan yang berusaha
merapikan lagi rambutnya. Terdengar gerutuan kesal, “ah, udahlah gini aja!” dan
lagi-lagi wajah kecewa. Lantas Dani ditarik naik undakan ke teras rumah itu.
Terus sampai ke pojok. Tempat yang mereka tuju tidak akan terlihat dari jalan
karena tertutup oleh tanaman-tanaman besar. Di sana ada sebuah meja persegi
panjang yang beralaskan kaca. Koran-koran menumpuk acak-acakan di bawahnya.
Beberapa kursi panjang yang terbuat dari besi ukir mengelilingi meja tersebut.
Cowok itu mendudukkannya di kursi yang menghadap ke jalan, disusul oleh dirinya
sendiri yang segera atur nafas untuk menenangkan diri. Dani menarik-narik ujung
baju terusannya agar menutupi kedua lututnya yang menempel rapat. Sedikit saja
terbuka, ketidaknyamanannya akan makin menjadi-jadi. Apalagi kalau ada orang
yang duduk di depannya. Setelah cukup tenang, cowok itu menarik sebuah tas
selempang ke pangkuan. Dani baru sadar cowok itu sedari tadi memakai tas, yang
dari dalamnya dikeluarkan beberapa buku pelajaran, buku tulis, lengkap dengan
alat tulisnya.
Cowok itu meliriknya. “Tadi kita ada
PR Bahasa kan?”
Dani balas melirik. Aneh. Apakah cowok
itu sengaja menculiknya dari rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama? Tidak
seperti biasanya. Biasanya kalau cowok itu mau mengerjakan PR bersama ya
langsung datang saja ke rumah, tidak pakai acara culik-culikan ke rumahnya
sendiri segala. Tapi tadi temannya itu bilang mereka mau apa?
Dani beringsut menjauhi cowok itu,
yang tertegun. Yang malah mendekatinya terus. Keganjilan yang bertubi-tubi ini
membangkitkan Dani untuk bergerak menyelamatkan diri ke kursi seberang. Cowok
itu menariknya hingga ia jatuh terduduk dengan kaki terangkat. Ia merasa ngeri.
Ada apa dengan teman laki-lakinya ini? Jantungnya mulai berpacu. Dani menarik
tangannya dari genggaman cowok itu dan mengusap-usapnya. “Kamu kenapa sih?”
Didapatinya wajah cowok itu juga tak kalah pucatnya.
“Udah nurut aja ama gua, Dani.
Plis...”
Getaran lain merambati rongga dadanya.
Dani ingin berkata-kata lagi tapi dibungkamnya. Cowok itu menggeser posisinya
sedikit menjauh sambil mulai membuka-buka bukunya. “Ayo kita kerjain PR-nya,
Dan. Halaman berapa?”
Dani mendengus, tapi terlalu takut
untuk tersenyum. “Nggak tau. Buku catatanku kan ada di rumah.”
“Ya udahlah. Kerjain apa kek...”
Dan belum pernah sebelumnya Dani bisa
mengamati dengan jelas wajah cowok itu hingga sedekat ini...
...bibirnya yang pink... sepasang mata
tanpa kelopak yang bundar dan mungil bagai kancing,... rambut lurus hitam lebat
yang begitu kontras dengan pipinya yang mulus...
...ternyata teman sepermainannya itu
begini indah.
Debaran itu sebelumnya tak pernah ada.
Kini demikian kerasnya.
Dani tak lama-lama terhanyut dalam
pemandangan memesonakan itu. Pandangnya menangkap sesosok pria bertubuh tinggi
besar tengah celingukan di ujung teras satunya. Tampaknya pria itu baru ke luar
dari dalam rumah. Rambut lurus kecoklatannya panjang sebahu, kulitnya putih
agak kemerahan, dan sepertinya bukan saudara dekat temannya ini. Jika temannya
berwajah oriental, maka pria itu tampak kebule-bulean. Usianya mungkin sekitar
30-an?
Temannya itu menoleh, mengikuti arah
pandangnya. Detik berikutnya Dani kaget cowok itu sudah sedemikian ketat
menempelnya. Semakin ia bergeser menjauh, semakin cowok itu mendekatinya.
Pegangan kursi sudah terasa menekan pinggangnya. Dani tak bisa ke mana-mana
lagi. Kulit mereka lekat bersentuhan.
Pria itu menyadari keberadaan mereka
di sana. Ia melangkah mendekat. Lututnya sejengkal sudah dari pegangan kursi
dan didapatinya sepasang anak SMA yang berangkulan. Dengan nyamannya dagu yang
cowok bertumpu pada pundak yang cewek. Keduanya tampak asik memelototi halaman
terbuka sebuah buku yang terhampar di meja.
Namun Dani sungguh melotot. Tak keruan
lagi debar jantungnya yang sudah ingin mencelat copot. Cowok itu merangkulnya
sangat kuat. Dani tak bisa bergerak. Rongga hidungnya penuh menghirup harum
rambut dan aroma tubuh yang bukan miliknya. Tubuhnya menegang dijalari perasaan
panas dingin. Ujung-ujung rambutnya menyentuh bibir cowok itu. Terdengar
gelitik bisikan, “Rileks aja...”
Bukan hal mudah bagi Dani untuk dapat
melemaskan diri. Dani mencoba mengendalikan gejolak perasaannya. Tidak bisa.
Terlalu ganas. Hingga Dani merasa beban di pundaknya terangkat. Dani dan cowok
itu sama-sama mendongak ke arah si pria besar. Dani berusaha memasang tampang
sedatar mungkin saat menghadapi manusia yang tampak terpekur dan kesulitan
mengeluarkan suatu kata itu.
“Kalian ngapain?” ujar pria besar itu
akhirnya.
“Emang keliatannya gi ngapain?”
temannya itu menjawab dengan nada acuh tak acuh. Dani tak kuasa tak menggeliat
saat tangan cowok itu menyosor kikuk ke pinggangnya yang kurang berlekuk.
Sebelumnya adalah pipi cowok itu, lalu bibirnya, yang menempel di pipi Dani.
Dani benar-benar lemas sekarang, hanya bisa menunduk saja. Jiwanya terbang
entah ke mana.
Keheningan yang mengambang sejenak
terpecah oleh kedatangan seorang perempuan. Sepertinya ia juga baru dari dalam
rumah. Hitam rambutnya yang lurus panjang dikuncir ekor kuda itu begitu kontras
dengan warna kulitnya. Memang tidak begitu mirip (mata perempuan itu begitu
besar) namun Dani merasa perempuan itu adalah kakak temannya. Dengar saja
kalimat yang dilontarkan dari wajahnya yang terkejut, “Anjir lo, Dek, nggak
mungkin lo punya pacar!”
Cowok itu diam saja. Dagunya kembali
bertumpu manja pada pundak Dani lalu berkata lembut, “maaf ya, Yang, banyak
pengganggu...” Ia mengangkat dagunya lagi dan dengan lembut mengarahkan dagu
Dani agar menghadap ke arahnya. Kepala Dani berputar kaku. “Apa kita mau pindah tempat aja?”
Demi melihat isyarat yang dilancarkan
cowok itu sedemikian rupa padanya, yang mana pria besar dan perempuan itu
takkan dapat menyaksikannya, Dani mengangguk lemah dengan senyum yang
dipaksakan. Dilipatnya buku-buku jarinya yang bergetar.
Yang... Yang... Yang... Panggilan itu
mengiang-ngiang di kepalanya...
YANG?!
Cowok itu menggamit erat tangannya,
menariknya agar bangkit dan berlalu dari situ. Mereka melewati pria besar dan
perempuan itu menuju pagar di mana di baliknya si motor bebek merah masih aman
terparkir.
“Kita cari makan aja dulu yuk...”
Cowok itu berkata-kata lagi sesudahnya namun Dani terlalu bingung untuk
mendengarkan dengan jelas. Sampai di sebelah motor, cowok itu memakaikan helm
untuk kepala Dani sebelum memakai helm untuk kepalanya sendiri. Cowok itu tak
pernah bersikap sebaik ini kepadanya. Dani tercekat melihat kelembutan yang
tatap cowok itu pancarkan kepadanya. Tangannya masih digamit. Mereka terpaku di
balik pagar, saling berhadapan dan menatap. Satu, dua, tiga. Tatapan lembut itu
berganti isyarat agar Dani segera naik ke motor. Sebelumnya cowok itu berbisik
dekat wajahnya. Begitu dekat. “Taruh tangan lu di pinggang gua.”
Mata Dani menyorotkan kengerian. Dani
menggeleng-geleng cepat sambil balas berbisik keras, “Nggak mau! Nggak mau!”
Namun cowok itu ternyata punya kiat
lain agar Dani mengikuti kemauannya. Begitu motor sudah mereka tunggangi, ia segera tancap gas sehingga mau tak mau
Dani memeluk pinggangnya agar tak terjungkal. Dani masih bisa melihat sekilas
pria besar dan perempuan itu mendekati pagar untuk melepas kepergian mereka.
Ditangkapnya perasaan kecewa dan kehilangan dari sorot mata pria besar itu.
Nyatakah itu?
Sesampainya di jalan raya Dani ingat
untuk mencopot lengannya. Hati-hati Dani menggeser jarak duduknya sambil
berpegangan pada bagian belakang motor. Dalam deru angin senja yang menggelap,
ia mendengar sayup-sayup cowok itu berteriak, “Cowok yang tadi itu ngedeketin
gua trus gatau napa. Najis gua. Trus pas dia dateng untuk yang ke sekian
kalinya tadi, sebelum ketemu ama gua, langsung aja gua kepikiran buat nyulik
lu, pura-pura jadi cewek gua. Barangkali aja dia entar mundur pas tau kalo gua
ternyata normal. Untung aja gua pernah ngamatin kakak gua pacaran! Eh, tapi
yang tadi itu pura-pura aja ya...”
Dani tak mendengar rentetan kalimat
terakhir dengan jelas. Dani hanya menangkap kalau temannya itu sedang
dikejar-kejar pria besar tadi. Tapi gara-gara apa? “Hah? Nggak kedengeran!
Emang kamu ada utang berapa sama dia, sampai dia ngejar-ngejar kamu?”
Cowok itu tak menjawabnya. Mungkin
karena tak bisa mendengar suaranya dengan jelas atau mungkin karena sedang
konsentrasi mengemudi. Dani agak lega cowok itu kini tidak sengebut dan
seserampangan sebelumnya. Lebih-lebih lagi Dani bersyukur saat ia sampai di
halaman rumahnya dengan selamat. Dani meloncat turun dari dudukan motor sambil
mencopot helm. Cowok itu mengambil kembali helmnya namun tidak segera pergi. Ia
malah mematikan mesin motornya.
“Duh, langsung pulang nggak ya, gua?”
Dani memiringkan kepalanya, menangkap
pancaran kebingungan dari temannya itu. “Emang kenapa?”
“Takut masih ada di rumah.”
“Main aja dulu, ke mana... gitu?”
Cowok itu memutar kunci motornya lagi.
Gas menyala. “Iya ah. Gua main ke Genesis dulu aja deh.” Genesis adalah tempat
rental RPG di dekat sekolah mereka.
Tanpa mengucapkan “makasih”, cowok itu
minggat meninggalkan asap.
.
Menjelang larut malam. Kaki Dani
menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga bangunan rumah
yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci
C. Keresahan menyelubungi jiwanya.
“Dan... Ayo tidur...!”
Berkali-kali sudah bapaknya itu
berteriak. Dani tetap malas beranjak. Lantunan melodi La Vie en Rose yang
mengalir mesra dari harmonikanya tak ingin ia rusak. Ah, bapaknya itu tak
bosan-bosannya begitu. Tidak tahu bahwa
Dani sedang ingin bercerita pada bulan dan bintang-bintang yang bertaburan di
cerahnya angkasa, “Hai, bulan, bintang, malam ini hatiku berbunga-bunga dan aku
tak bisa meredamnya...”
.
Di kelas, cowok itu adalah tipe orang
yang bakal berjalan cepat ke bangkunya dengan cuek. Tanpa senyum, tanpa
merengut, tanpa menoleh kanan kiri. Kehadirannya jarang terasa oleh siapapun.
Teman perempuannya mungkin hanya Dani.
Dan mungkin hanya Dani pula yang
merasakan fenomena aneh ini. Jantungnya jadi berdebar tak keruan. Semakin Dani
mengingat cowok itu beserta segala pesona fisiknya yang baru disadarinya
kemarin, semakin kencang pula gemuruh di dadanya. Bertalu-talu dengan kekuatan
tinggi. Besar suaranya terdengar. Dug. Dug. Dug. Aih, Dani jadi makin resah.
Dani jadi ingin terus memainkan harmonikanya. Biarlah dentuman-dentuman di
hatinya ini menjadi pengatur ritme dari melodi-melodi romantis yang mendadak
jadi senang dilantunkannya.
Ketika bayang cowok itu menjauh,
debaran itu perlahan menghilang. Dani bisa menghembuskan nafas lega dan
menjauhkan lubang-lubang harmonika dari katup bibirnya. Tapi ketika ingatan
akan cowok itu kembali, aih, aih, debarannya jadi terasa kencang lagi!
Semalaman tadi hingga pagi ini batin
Dani hanya berisi kegundahan belaka. Padahal pagi ini adalah pagi yang
biasanya. Bangun subuh, pergi ke sekolah, bertemu teman-teman... Perasaannyalah
yang jadi luar biasa. Hingga tidak dapat ditahankannya lagi. Kegundahan ini
harus ada jawabnya. Setidaknya Dani harus tahu apa yang seharusnya ia lakukan
dalam keadaan yang tidak menentu seperti ini. Sesuatu yang indah telah mengoyak
ketenteraman hidupnya.
Maka, ketika cowok itu akhirnya
memasuki kelas pada beberapa saat setelah bel masuk berbunyi—seperti biasa—dan
hendak melewati bangkunya, dan debaran itu terasa kian kencang kian kencang...
oh, apakah cowok itu akan menoleh sejenak dan tersenyum hangat?—satu, dua,
tiga...
Cowok itu tidak tersenyum. Menoleh pun
tidak. Tetap cuek seperti biasanya.
“Raka!” Perut cowok itu tertahan di
lengannya.
Cowok itu memandangnya risih seraya
mundur sedikit. “Kenapa lo?”
Dani meneguk ludah. “Kenapa sih kita
harus pacaran?”
Cowok itu mengerjap-ngerjapkan mata
sipitnya.
(ah, desember yang resah...)
25
april 2009 * 19 desember 2009: 12.41 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar