Sabtu, 19 Desember 2009

Balada Monyet

Senja bertandang. Kaki Dani menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga sebuah bangunan rumah yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci D. Kedamaian menyelubungi jiwanya. Sesekali Dani melambai sambil tertawa pada anak-anak berbaju muslim yang melintas di bawah dan berteriak-teriak memanggilnya. “Dani... Ayo ke TPA...!”

Berkali-kali sudah mereka melakukannya. Dani tetap malas beranjak. Ketenteraman jiwanya sedang tak ingin dirusak. Ah, untung anak-anak itu tidak cukup punya kesabaran menunggu. Mereka berlalu. Digantikan sayup-sayup suara motor yang digas kencang mendekat lantas decit tiba-tiba rem. Dani hanya sempat melihat sekelebat sosok memasuki lantai bawah rumahnya. Sebuah motor bebek merah ditinggalkan begitu saja.

Semakin jelas terdengar suara langkah kaki menaiki tangga dengan terburu-buru diiringi desah nafas yang tersengal-sengal. Dani menoleh. Perasaan tak nyaman mulai menyambangi kalbunya. Tak lama muncullah orang itu, menyorongkan buntalan plastik, lalu, “Dani, cepet ganti baju lo sama ini!”

“Heeh? Apaa?”

“Cepetan!” Cowok itu menarik lengannya. Dani bangkit terjatuh-jatuh. Hingga cowok itu melepaskannya, Dani malah terdiam sambil mengamat-amati buntalan yang diberikan kepadanya. Sepertinya berisi pakaian.

“Tunggu apa lagi sih? Buruan dong!” Cowok itu seperti sedang kebelet pipis. Dani menatap bingung. “Harus di sini?”

Cowok itu terpana. Ia memandang sekelilingnya dan menyadari lantai tempat mereka berpijak tidak penuh diselubungi dinding. Dani melewatinya, mencari-cari ruang tertutup, lalu berbalik bingung. “Kita mau ngapain sih?”

Cowok itu mengacak-acak rambut sambil berujar dengan wajah memelas. “Udah ganti aja baju lo, cepetaan...”

“Buat apaa?” Dani tak kalah pasang wajah memelas juga   

“Sore ini kita pacaran!”

“Apa?!”

Cowok itu lekas mendorongnya ke balik sebuah kubikel triplek. “Gua nggak akan liat. Sana cepet ganti!”

.

Dani terperangah dengan baju terusan putih berenda-renda yang kini menutupi tubuhnya. Dani menutup mulutnya. Terakhir kali Dani memakai baju terusan berenda-renda adalah saat berumur 5 tahun. Sekarang baju tersebut sudah hilang entah ke mana setelah sebelumnya dijadikan lap dapur. Dan baju terusan ini menyerapkan kekaguman bagi pemakainya kini. Wangi pula. Sepasang kaki telanjangnya sedikit meloncat-loncat di atas lantai semen, membawanya keluar dari kubikel.

“Pantas nggak?”

Cowok itu bahkan tidak menyempatkan untuk berkata “...kamu cantik banget...” seperti yang biasa Dani saksikan di film-film. Sepasang tangan cowok itu dengan cepat mencoba merapikan rambut lurus pendek Dani namun tampak tidak puas dengan hasilnya. “Ah, udahlah entar kena angin juga kacau lagi!”

Dani cemberut. Cowok itu tak melihatnya karena sudah berbalik sambil menariknya menuruni tangga.

“Mana bokap lo?” tanya cowok itu masih sambil menggiringnya cepat-cepat ke halaman tempat motornya tadi diparkir.

“Mmm... mancing...?”

Cowok itu tak menggubrisnya. Ia sudah di atas motornya, memakai helmnya sendiri dan melemparkan satu helm lagi pada Dani. Dani membiarkan helm itu jatuh begitu saja.

“Heh! Dipake!”

Dani berjingkat mundur dengan tampang ngeri. “Aku nggak mau dibonceng kamu...!” Dani ingat suatu ketika dibonceng cowok itu, ia jatuh terjengkang ke atas aspal. Ranselnya yang terisi penuh menyelamatkannya dari gegar otak, untungnya. Supir angkot paling serampangan saja masih bisa disebut budiman jika dibandingkan dengan cowok itu.

Bertambah lipatan di wajah cowok itu. Seperti teringat sesuatu, mimiknya mendadak serius. “Gua akan tertib, Bu Polwan.”

Beberapa menit kemudian motor bebek merah itu sudah melaju kencang di jalan raya. Pengemudinya berusaha tetap penuh kendali meski di belakangnya penumpangnya memukulinya tiada henti. “Boong! Kamu boong! Turunin akuuu!”

.

Muka Dani masih pucat. Dani pusing, ingin muntah. Sepasang bola matanya menyusuri sepasang tangan yang berusaha merapikan lagi rambutnya. Terdengar gerutuan kesal, “ah, udahlah gini aja!” dan lagi-lagi wajah kecewa. Lantas Dani ditarik naik undakan ke teras rumah itu. Terus sampai ke pojok. Tempat yang mereka tuju tidak akan terlihat dari jalan karena tertutup oleh tanaman-tanaman besar. Di sana ada sebuah meja persegi panjang yang beralaskan kaca. Koran-koran menumpuk acak-acakan di bawahnya. Beberapa kursi panjang yang terbuat dari besi ukir mengelilingi meja tersebut. Cowok itu mendudukkannya di kursi yang menghadap ke jalan, disusul oleh dirinya sendiri yang segera atur nafas untuk menenangkan diri. Dani menarik-narik ujung baju terusannya agar menutupi kedua lututnya yang menempel rapat. Sedikit saja terbuka, ketidaknyamanannya akan makin menjadi-jadi. Apalagi kalau ada orang yang duduk di depannya. Setelah cukup tenang, cowok itu menarik sebuah tas selempang ke pangkuan. Dani baru sadar cowok itu sedari tadi memakai tas, yang dari dalamnya dikeluarkan beberapa buku pelajaran, buku tulis, lengkap dengan alat tulisnya.

Cowok itu meliriknya. “Tadi kita ada PR Bahasa kan?”

Dani balas melirik. Aneh. Apakah cowok itu sengaja menculiknya dari rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama? Tidak seperti biasanya. Biasanya kalau cowok itu mau mengerjakan PR bersama ya langsung datang saja ke rumah, tidak pakai acara culik-culikan ke rumahnya sendiri segala. Tapi tadi temannya itu bilang mereka mau apa?

Dani beringsut menjauhi cowok itu, yang tertegun. Yang malah mendekatinya terus. Keganjilan yang bertubi-tubi ini membangkitkan Dani untuk bergerak menyelamatkan diri ke kursi seberang. Cowok itu menariknya hingga ia jatuh terduduk dengan kaki terangkat. Ia merasa ngeri. Ada apa dengan teman laki-lakinya ini? Jantungnya mulai berpacu. Dani menarik tangannya dari genggaman cowok itu dan mengusap-usapnya. “Kamu kenapa sih?” Didapatinya wajah cowok itu juga tak kalah pucatnya.

“Udah nurut aja ama gua, Dani. Plis...”

Getaran lain merambati rongga dadanya. Dani ingin berkata-kata lagi tapi dibungkamnya. Cowok itu menggeser posisinya sedikit menjauh sambil mulai membuka-buka bukunya. “Ayo kita kerjain PR-nya, Dan. Halaman berapa?”

Dani mendengus, tapi terlalu takut untuk tersenyum. “Nggak tau. Buku catatanku kan ada di rumah.”

“Ya udahlah. Kerjain apa kek...”

Dan belum pernah sebelumnya Dani bisa mengamati dengan jelas wajah cowok itu hingga sedekat ini...

...bibirnya yang pink... sepasang mata tanpa kelopak yang bundar dan mungil bagai kancing,... rambut lurus hitam lebat yang begitu kontras dengan pipinya yang mulus...

...ternyata teman sepermainannya itu begini indah.

Debaran itu sebelumnya tak pernah ada. Kini demikian kerasnya.

Dani tak lama-lama terhanyut dalam pemandangan memesonakan itu. Pandangnya menangkap sesosok pria bertubuh tinggi besar tengah celingukan di ujung teras satunya. Tampaknya pria itu baru ke luar dari dalam rumah. Rambut lurus kecoklatannya panjang sebahu, kulitnya putih agak kemerahan, dan sepertinya bukan saudara dekat temannya ini. Jika temannya berwajah oriental, maka pria itu tampak kebule-bulean. Usianya mungkin sekitar 30-an?

Temannya itu menoleh, mengikuti arah pandangnya. Detik berikutnya Dani kaget cowok itu sudah sedemikian ketat menempelnya. Semakin ia bergeser menjauh, semakin cowok itu mendekatinya. Pegangan kursi sudah terasa menekan pinggangnya. Dani tak bisa ke mana-mana lagi. Kulit mereka lekat bersentuhan.

Pria itu menyadari keberadaan mereka di sana. Ia melangkah mendekat. Lututnya sejengkal sudah dari pegangan kursi dan didapatinya sepasang anak SMA yang berangkulan. Dengan nyamannya dagu yang cowok bertumpu pada pundak yang cewek. Keduanya tampak asik memelototi halaman terbuka sebuah buku yang terhampar di meja.

Namun Dani sungguh melotot. Tak keruan lagi debar jantungnya yang sudah ingin mencelat copot. Cowok itu merangkulnya sangat kuat. Dani tak bisa bergerak. Rongga hidungnya penuh menghirup harum rambut dan aroma tubuh yang bukan miliknya. Tubuhnya menegang dijalari perasaan panas dingin. Ujung-ujung rambutnya menyentuh bibir cowok itu. Terdengar gelitik bisikan, “Rileks aja...”

Bukan hal mudah bagi Dani untuk dapat melemaskan diri. Dani mencoba mengendalikan gejolak perasaannya. Tidak bisa. Terlalu ganas. Hingga Dani merasa beban di pundaknya terangkat. Dani dan cowok itu sama-sama mendongak ke arah si pria besar. Dani berusaha memasang tampang sedatar mungkin saat menghadapi manusia yang tampak terpekur dan kesulitan mengeluarkan suatu kata itu.

“Kalian ngapain?” ujar pria besar itu akhirnya.

“Emang keliatannya gi ngapain?” temannya itu menjawab dengan nada acuh tak acuh. Dani tak kuasa tak menggeliat saat tangan cowok itu menyosor kikuk ke pinggangnya yang kurang berlekuk. Sebelumnya adalah pipi cowok itu, lalu bibirnya, yang menempel di pipi Dani. Dani benar-benar lemas sekarang, hanya bisa menunduk saja. Jiwanya terbang entah ke mana.

Keheningan yang mengambang sejenak terpecah oleh kedatangan seorang perempuan. Sepertinya ia juga baru dari dalam rumah. Hitam rambutnya yang lurus panjang dikuncir ekor kuda itu begitu kontras dengan warna kulitnya. Memang tidak begitu mirip (mata perempuan itu begitu besar) namun Dani merasa perempuan itu adalah kakak temannya. Dengar saja kalimat yang dilontarkan dari wajahnya yang terkejut, “Anjir lo, Dek, nggak mungkin lo punya pacar!”

Cowok itu diam saja. Dagunya kembali bertumpu manja pada pundak Dani lalu berkata lembut, “maaf ya, Yang, banyak pengganggu...” Ia mengangkat dagunya lagi dan dengan lembut mengarahkan dagu Dani agar menghadap ke arahnya. Kepala Dani berputar kaku.  “Apa kita mau pindah tempat aja?”

Demi melihat isyarat yang dilancarkan cowok itu sedemikian rupa padanya, yang mana pria besar dan perempuan itu takkan dapat menyaksikannya, Dani mengangguk lemah dengan senyum yang dipaksakan. Dilipatnya buku-buku jarinya yang bergetar.

Yang... Yang... Yang... Panggilan itu mengiang-ngiang di kepalanya...

YANG?!

Cowok itu menggamit erat tangannya, menariknya agar bangkit dan berlalu dari situ. Mereka melewati pria besar dan perempuan itu menuju pagar di mana di baliknya si motor bebek merah masih aman terparkir.

“Kita cari makan aja dulu yuk...” Cowok itu berkata-kata lagi sesudahnya namun Dani terlalu bingung untuk mendengarkan dengan jelas. Sampai di sebelah motor, cowok itu memakaikan helm untuk kepala Dani sebelum memakai helm untuk kepalanya sendiri. Cowok itu tak pernah bersikap sebaik ini kepadanya. Dani tercekat melihat kelembutan yang tatap cowok itu pancarkan kepadanya. Tangannya masih digamit. Mereka terpaku di balik pagar, saling berhadapan dan menatap. Satu, dua, tiga. Tatapan lembut itu berganti isyarat agar Dani segera naik ke motor. Sebelumnya cowok itu berbisik dekat wajahnya. Begitu dekat. “Taruh tangan lu di pinggang gua.”

Mata Dani menyorotkan kengerian. Dani menggeleng-geleng cepat sambil balas berbisik keras, “Nggak mau! Nggak mau!”

Namun cowok itu ternyata punya kiat lain agar Dani mengikuti kemauannya. Begitu motor sudah mereka tunggangi,  ia segera tancap gas sehingga mau tak mau Dani memeluk pinggangnya agar tak terjungkal. Dani masih bisa melihat sekilas pria besar dan perempuan itu mendekati pagar untuk melepas kepergian mereka. Ditangkapnya perasaan kecewa dan kehilangan dari sorot mata pria besar itu. Nyatakah itu?

Sesampainya di jalan raya Dani ingat untuk mencopot lengannya. Hati-hati Dani menggeser jarak duduknya sambil berpegangan pada bagian belakang motor. Dalam deru angin senja yang menggelap, ia mendengar sayup-sayup cowok itu berteriak, “Cowok yang tadi itu ngedeketin gua trus gatau napa. Najis gua. Trus pas dia dateng untuk yang ke sekian kalinya tadi, sebelum ketemu ama gua, langsung aja gua kepikiran buat nyulik lu, pura-pura jadi cewek gua. Barangkali aja dia entar mundur pas tau kalo gua ternyata normal. Untung aja gua pernah ngamatin kakak gua pacaran! Eh, tapi yang tadi itu pura-pura aja ya...”

Dani tak mendengar rentetan kalimat terakhir dengan jelas. Dani hanya menangkap kalau temannya itu sedang dikejar-kejar pria besar tadi. Tapi gara-gara apa? “Hah? Nggak kedengeran! Emang kamu ada utang berapa sama dia, sampai dia ngejar-ngejar kamu?”

Cowok itu tak menjawabnya. Mungkin karena tak bisa mendengar suaranya dengan jelas atau mungkin karena sedang konsentrasi mengemudi. Dani agak lega cowok itu kini tidak sengebut dan seserampangan sebelumnya. Lebih-lebih lagi Dani bersyukur saat ia sampai di halaman rumahnya dengan selamat. Dani meloncat turun dari dudukan motor sambil mencopot helm. Cowok itu mengambil kembali helmnya namun tidak segera pergi. Ia malah mematikan mesin motornya.

“Duh, langsung pulang nggak ya, gua?”

Dani memiringkan kepalanya, menangkap pancaran kebingungan dari temannya itu. “Emang kenapa?”

“Takut masih ada di rumah.”

“Main aja dulu, ke mana... gitu?”

Cowok itu memutar kunci motornya lagi. Gas menyala. “Iya ah. Gua main ke Genesis dulu aja deh.” Genesis adalah tempat rental RPG di dekat sekolah mereka.

Tanpa mengucapkan “makasih”, cowok itu minggat meninggalkan asap.

.

Menjelang larut malam. Kaki Dani menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga bangunan rumah yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci C. Keresahan menyelubungi jiwanya.

“Dan... Ayo tidur...!”

Berkali-kali sudah bapaknya itu berteriak. Dani tetap malas beranjak. Lantunan melodi La Vie en Rose yang mengalir mesra dari harmonikanya tak ingin ia rusak. Ah, bapaknya itu tak bosan-bosannya begitu.         Tidak tahu bah­wa Dani sedang ingin bercerita pada bulan dan bintang-bintang yang bertaburan di cerahnya angkasa, “Hai, bulan, bintang, malam ini hatiku berbunga-bunga dan aku tak bisa meredamnya...”

.

Di kelas, cowok itu adalah tipe orang yang bakal berjalan cepat ke bangkunya dengan cuek. Tanpa senyum, tanpa merengut, tanpa menoleh kanan kiri. Kehadirannya jarang terasa oleh siapapun. Teman perempuannya mungkin hanya Dani.

Dan mungkin hanya Dani pula yang merasakan fenomena aneh ini. Jantungnya jadi berdebar tak keruan. Semakin Dani mengingat cowok itu beserta segala pesona fisiknya yang baru disadarinya kemarin, semakin kencang pula gemuruh di dadanya. Bertalu-talu dengan kekuatan tinggi. Besar suaranya terdengar. Dug. Dug. Dug. Aih, Dani jadi makin resah. Dani jadi ingin terus memainkan harmonikanya. Biarlah dentuman-dentuman di hatinya ini menjadi pengatur ritme dari melodi-melodi romantis yang mendadak jadi senang dilantunkannya.

Ketika bayang cowok itu menjauh, debaran itu perlahan menghilang. Dani bisa menghembuskan nafas lega dan menjauhkan lubang-lubang harmonika dari katup bibirnya. Tapi ketika ingatan akan cowok itu kembali, aih, aih, debarannya jadi terasa kencang lagi!

Semalaman tadi hingga pagi ini batin Dani hanya berisi kegundahan belaka. Padahal pagi ini adalah pagi yang biasanya. Bangun subuh, pergi ke sekolah, bertemu teman-teman... Perasaannyalah yang jadi luar biasa. Hingga tidak dapat ditahankannya lagi. Kegundahan ini harus ada jawabnya. Setidaknya Dani harus tahu apa yang seharusnya ia lakukan dalam keadaan yang tidak menentu seperti ini. Sesuatu yang indah telah mengoyak ketenteraman hidupnya.

Maka, ketika cowok itu akhirnya memasuki kelas pada beberapa saat setelah bel masuk berbunyi—seperti biasa—dan hendak melewati bangkunya, dan debaran itu terasa kian kencang kian kencang... oh, apakah cowok itu akan menoleh sejenak dan tersenyum hangat?—satu, dua, tiga...

Cowok itu tidak tersenyum. Menoleh pun tidak. Tetap cuek seperti biasanya.

“Raka!” Perut cowok itu tertahan di lengannya.

Cowok itu memandangnya risih seraya mundur sedikit. “Kenapa lo?”

Dani meneguk ludah. “Kenapa sih kita harus pacaran?”

Cowok itu mengerjap-ngerjapkan mata sipitnya.

 

 (ah, desember yang resah...)

25 april 2009 * 19 desember 2009: 12.41 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain