Petugas akademik
menyerahkan secarik Kartu Hasil Studi (KHS) kepadaya. Ia menahan nafas. IP-nya
semester ini turun 0,01. Tapi masih di atas 3,7. Membosankan. Dilipatkan kertas
tersebut dan dimasukkan ke dalam saku hemnya.
"Dapet IP
berapa lu?" sodok seorang teman yang juga baru mengambil KHS. Dibalasnya dengan cengiran. "Ada
deh."
"Alah, paling
cum laude lagi."
"Turun
kok." Mengembangkan senyum dapat meraibkan sejumput ketidakbahagiaannya.
"Alah, paling
cuma turun 0,01."
Ia tertawa. Kok
tepat benar sangka temannya ini.
"Punya lu
sendiri gimana?" balasnya berbasa-basi. Ia heran apa pentingnya saling
mengetahui siapa dapat IP berapa seperti yang biasa teman-temannya korek antar
satu sama lain. Bersainglah dengan diri sendiri. Berusahalah agar bisa
mendapatkan IP yang lebih tinggi dari sebelumnya, bukannya berusaha agar selalu
lebih tinggi dari IP teman. Bisa-bisa yang tersisa hanya perasaan dengki dan
makan hati. Begitu pikirnya. Cukup membantunya meningkatkan prestasi tanpa
harus berambisi mengalahkan orang lain.
"Ah, biasa.
Dapat kemelut dong. Tinggal nunggu diamuk ortu aja..."
Ia tercenung.
Beberapa hari
kemudian, amplop berisikan KHS yang akademik kirimkan pada orangtuanya mesti
sudah sampai. Ia berkali-kali mengecek layar hapenya. Melihat daftar panggilan
dan kotak masuk. Hanya ada ucapan selamat atas perolehan IP-nya. Hah... Tetap
tidak ada kabar sama sekali dari orang-orang yang diharapkannya. Kalaupun ada,
betapa jarang frekuensinya. Padahal sekian semester telah berlalu sejak ia
hijrah untuk berkuliah. Padahal ia ingin mendengar suara mereka, bukan sekedar
kata-kata yang tertangkap mata. Seperti ada yang hilang dari hidupnya. Masakkan
mereka baru bertukar suara saat bertemu langsung saja--saat ia menyempatkan
diri untuk pulang walau hanya untuk beberapa hari?
Apa ia saja yang
berinisiatif menghubungi mereka duluan ya? Tapi ia bosan mengatakan semuanya
baik-baik saja. IP-nya stabil. Makan teratur 3 kali sehari. Tidak pernah sakit.
Organisasi lancar. Pergaulan bukanlah persoalan. Mungkin mereka juga bosan
dengan segala jawabannya. Dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing,
sebagaimana ia. Ia tak bisa berbohong. Kehidupan memang sehampa itu. Sama
sekali tak ada hasrat bicara.
Kalau begitu ia
akan membuat sebuah realita baru.
Satu semester
berselang, kembali ia berhadapan dengan petugas akademik yang sama untuk
mengambil KHS. Dibacanya huruf-huruf dan angka-angka yang tertera. Ia tak sabar
menunggu hari-hari berikutnya menjelang. Mendatangkan sebuah panggilan di
pembuka malam.
"IP-mu kok
turun drastis?!"
Senyum terulas di
wajahnya. Akhirnya orangtuanya meneleponnya lagi.
27
Agustus 2009 * 20 Desember 2009, 9.09 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar