Minggu, 06 Juni 2010

PALESTINA?

Sambil berjalan kembali menuju bangkunya, Dillo membuka gulungan kecil kertas di tangannya. Tepat ketika ia mendaratkan pantatnya, terbaca kata ‘PALESTINE’.

“Kamu dapet apa, Rin?” tanya Dillo pada teman sebangkunya.

“Indonesia.”

“Wah, gampang... Curang...”

“Tenang, tenang, aku pasti akan selalu mendukungmu, kok!” Rino menepuk-nepuk pundak Dillo.

“Kalau begitu, tukeran sama punyaku.”

“Wahaha, ogah ah.”

“Ah, kamu nggak mau merasakan penderitaanku.”

“Yah, kalau tukeran entar deritanya pindah ke aku dong...”

Okay, guys...” Dillo dan Rino sontak menghadap ke depan, memerhatikan ibu guru yang sudah menguasai kembali kelas mata pelajaran Bahasa Inggrisnya. “Now, youve got the country that you have to write an essay about it. What time is it...? Oh! Well, sorry, time is up! So, see you next week and don’t forget to bring your assignment. Good bye!”

Bye...” balas anak-anak kompak. Beberapa memandangi native speaker berambut pirang itu hingga menghilang ke balik pintu kelas.

Kembali Dillo berkeluh kesah pada Rino. “Aduh, aku nulis apa dong, Rin?”

“Emang kamu dapet apa sih, Dil?”

“Palestina.”

“Waa…” Dua cewek yang duduk di belakang Dillo dan Rino terkesiap mendengar nama itu disebut.

“Wah, punyanya Dillo, isunya kan masih hangat,” komentar Azizah.

“Emang Palestina kenapa sih?”

Sani mencibir. “Ini anak nggak pernah baca koran atau denger berita ya?” 

Muka Dillo berkerut. “Nggak rame ah. Ramean baca Doraemon. Koran tuh kebanyakan tulisannya, kecil-kecil pula, bingung mesti dibaca yang mana dulu.”

“Ya jangan dibaca semuanya! Baca yang penting-penting atau menarik aja!” seru Sani.

“Dil, kalau kamu emang males baca koran, entar pulang sekolah, langsung masuk kamar ya, bilang ama Doraemon, minta roti penghapal gitu. Jadi kalau pagi-pagi koran kamu dateng, langsung taplokin tuh roti ke koran trus rotinya kamu makan. Dijamin, nggak usah itu koran kamu baca, berita-berita udah otomatis nempel di kepala,” ucap Azizah. Rino dan Sani tertawa.

.

Dillo menutup tab berisi berita tentang video Luna Maya yang sedang menghebohkan seluruh negeri itu. Di tab yang lain, laman hasil pencarian mesin Google Indonesia, menunjukkan entri yang amat banyak dari kata ‘Palestina’. Dillo malas membacanya satu per satu. Nanti sajalah di rumah, biar nggak makan biaya warnet, pikirnya. Ia membuka semua entri dalam tab baru, terus begitu sampai beberapa halaman selanjutnya, lalu ia save page as semuanya dalam satu folder di flashdisk-nya. Setelah menuntaskan kegiatan yang melelahkan tersebut, ia membuka www.onemanga.com dan larut ke dalamnya selama beberapa puluh menit ke depan.

.

Merupakan kebiasaan Dillo dari kecil untuk mengerjakan PR di kamar kakak perempuannya, Alina. Dengan begitu ia bisa langsung tanya-tanya kalau ada yang tidak dimengertinya. Malam ini, Dillo hendak bertanya bagaimana caranya membuat esai, sekaligus minta diterjemahkan dalam bahasa Inggris nantinya.

Dillo sama sekali belum ada gambaran hendak menulis apa, kendati sudah membaca semua artikel tentang Palestina yang diunduhnya tadi. Palestina masih menjadi sesuatu yang asing dan jauh baginya. Ia tidak bisa serta merta menunjukkan sikap sok peduli. Alina lalu menyarankannya untuk menulis bebas terlebih dulu. “Tulis semua yang kamu pikirin tentang tema yang ingin kamu tulis. Jangan dulu mikirin tulisan itu nantinya bakal dibaca siapa. Pokoknya gali terus pikiran kamu mengenai tema itu.”

“Hoo…”

Tentang apa emang temanya, Dik?

Tentang Palestina.

Alina mengangguk-angguk. Ia beranjak dari kasur lalu memilah-milah sesuatu dari rak bukunya. Apa-apa yang dipilahnya itu ditumpuknya jadi satu lalu ditaruh di depan muka Dillo. Komposisi dalam tumpukan tersebut antara lain antologi cerpen Palestina, buku-buku tentang Yahudi, dan semacamnya. Satu per satu bacaan tersebut Dillo buka-buka sambil lalu.

“Tulis aja dulu semua apa yang Dillo tau tentang Palestina. Kayak nulis diari aja,” kata Alina lagi.

Dillo ingat sekalinya ia menulis diari, ia memang menuliskan segala yang ada dalam kepalanya, tanpa kecuali. Kalaupun tidak ada, ia gali-gali. Dengan bahasanya yang dangkal, Dillo pun menggali-gali ingatannya mengenai apa yang telah ia baca tentang Palestina dan menuliskannya. Tapi rasanya kok seperti hanya sekedar men-copy paste tulisan orang dengan komputer lelet yang kelebihan memori? Dikemukakannyalah pikiran itu pada kakaknya, yang menjawab, “Kalau esai itu boleh kok ditambahin pendapat Dillo sendiri.

Di sela-sela usaha Dillo menggali ide, Alina menyodorkan kamera digitalnya. “Coba nih Adek liat-liat…”

Dillo pun melihat foto-foto di kamera digital kakaknya itu. Ada sosok kakaknya terselip dalam sebuah aksi solidaritas untuk Palestina.

Dillo bertanya, “Ngapain kakak ikutan acara ini, Kak? Panas-panas, capek... Buat apa sih?

Alina tersenyum. “Itu sebagai bukti solidaritas kita buat saudara kita di sana. Sekaligus syiar supaya orang-orang makin tergugah dengan Palestina.”

Saudara? Emang kita pernah ngunjungin mereka pas Lebaran?

“Ya saudara seimanlah…”

Iya, Kak, aku becanda kok. Aku nggak sepolos itu.

Sesama muslim harus saling menolong, ibaratnya satu tubuh...

Lalu apa yang dapat aku lakukan untuk Palestina? Pikir Dillo sembari menuliskannya di kertas. Ia biarkan pula khayalannya mengembara. Khayalan yang serealistis-realistisnya.

.

Hal-hal apa saja yang mungkin aku lakukan untuk membantu Palestina

 

Pergi ke Palestina dan ikut berperang di sana

Mengikuti apa yang orang-orang Palestina lakukan jika melihat tentara Israel, melempari dengan batu, dan sebagainya, lalu lari apabila mereka mendekat. Lalu kesandung brangkal. Susah bangun lagi karena badan gendut L Kegiles truk deh.

Tentara Israel 1: Eh, kayaknya tank kita ngelindes sesuatu deh...

Tentara Israel 2: Ah, paling orang Palestina ini... Udahlah, biarin aja.

Aduh, aku jadi geram mikirin ini. Lagian aku kan orang Indonesia, bukan orang Palestina, meskipun saat itu aku mungkin lebih mirip sama daging giling. Dan udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi.

 

Ngumpulin donasi

Di pinggir jalan, pake sorban, pake kafiyeh, pokoknya merah putih ijo item, gayanya udah kayak pejuang Palestina beneran deh. Sesampainya di rumah aku hitung uang hasil donasi tersebut. Besok akan aku serahkan pada yang lebih mempunyai akses untuk menyampaikan uang umat ini ke sana... Eh taunya aku sendiri belum nyumbang :p Karena Mama lagi ngebatasin uang jajanku, akhirnya aku buka simpenan duit. Tung itung itung... wah, duitnya hampir bisa buat beli action figure-nya Gundam!!! (sejak kecil aku impi-impikan! XD) Tinggal kurang beberapa ribu lagi… Lalu aku melirik duit hasil pengumpulan donasi...

 

Ikutan aksi

Melewati jalanan berdebu, panas-panas, teriak-teriak, jadi tontonan orang, berdesak-desakan, kayak Kak Lina… Tapi kalau asmaku mendadak kambuh... X(

 

Membuat tulisan yang menggugah orang lain untuk menolong Palestina

Esainya aja lum jadi... Ah, kata Kak Lina kan yang penting tulis dulu apa yang ada dalam pikiran…

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! 

Aduh… Capek ah, nulisnya…

 

Memboikot produk yang mendukung pendanaan serangan Israel ke Palestina

Wah, apa aja ya? (ternyata Kak Lina punya daftarnya! Liat dulu yaa…) Hmm... Nokia. Wah, hapeku dua-duanya Nokia. Ini aja yang satu tadinya mau ditukar sama Nokia lagi seri terbaru. Dillo udah pake merk ini dari jaman pertama kali punya hape. Susah nih, untuk pindah ke lain hati. Disney... Tapi spreiku gambar Kwak Kwik Kwek, boneka gede Mickey dan Minnie-ku juga sayang kalau harus disingkirkan... Trus gimana dengan foto-foto pas dulu liburan ke Disneyland? Itu kan foto keluarga penuh kenangan?? Bundelan majalah Donald Bebek juga... Dan aku hobi nonton kartun dan sitkom di Disney Channel terutama serial Lilo & Stitch, juga Hannah Montana... Bagaimana mengenyahkan channel tersebut dari TV berlangganan? Trus Kitkat... Wah... Dillo nggak bisa tidur kalau belum ngemil itu setiap malamnya (makanya gendut… :P). Johnson & Johnson? Itu sabun mandiku dari bayi... Maklum kulitku agak sensitif. Danone... Masih bisa sih itu diganti dengan merk lain. Kalau Nestle, wah... Dillo muntah kalau minum susu yang merknya bukan Dancow. Mc Donald pun selalu jadi santapan langgananku kalau aku lagi sendirian di rumah dan nggak ada yang masakin. Tinggal call 14045! Nggak ada nomor telpon penyaji fast food lain yang bisa dengan mudah diingat Dillo selain itu. Demikian juga Pizza Hut. Eh, tapi kalau Pizza Hut itu karena aku sudah terlalu sering pesan sampai-sampai hapal. Hm.. Trus apa lagi ya? *Tidak bisa membayangkan hidup tanpa semua merk itu...*

 

Belajar yang rajin dan mengembangkan senjata pemusnah massal di atap rumah yang targenya langsung mengarah ke Israel (jangan bilang sama siapa-siapa kalau itu senjata pemusnah massal! Bilang aja itu alat pembuat daging panggang instan!). Atau lebih baik senjata kimia atau senjata biologi aja? Nilai Fisika, Kimia, dan Biologiku tidak pernah lebih dari 6… Aku unggul hanya dalam pelajaran... nggak ada?

 

Belajar yang rajin untuk jadi diplomat dan menyelesaikan masalah ini secara diplomasi

*Udah males mikir*

.

Dillo meletakkan pulpen. Ditinggalkannya lembaran kertas penuh coret-coretannya dan Alina yang bertanya, “Mau ke mana, Dik?”

“Nelpon Rino,” sahut Dillo setelah gagang telpon menempel di sebelah telinganya. Rino, sobatnya itu, sudah seperti saudaranya sendiri. Kalau ada masalah apa-apa, biasanya Dillo akan mengajak Rino berdiskusi untuk sama-sama menemukan pemecahan dari masalah tersebut.

Setelah melalui serangkaian prosedur umum percakapan pengantar di telepon, sampailah Dillo pada apa yang ingin dibicarakannya dengan Rino, “Jika suatu saat bangku kamu direbut seorang anak yang sangat berkuasa di kelas, si Sultan misalnya, apakah kamu bakal berjuang supaya Sultan pindah sehingga aku bisa kembali sebangku sama kamu?”

“Tergantung keadaan,” bilang Rino. Kalau si Sultan ternyata rame, ya kenapa nggak? Si Sultan anaknya kan baik, suka ngasih pinjeman duit. Lagian kan kamu juga yang suka tau-tau sebangku sama Toni. Akhirnya aku duduk sama Sultan deh.”

Dillo memble. Padahal maksudnya itu adalah memosisikan Rino sebagai Palestina dan Sultan sebagai Israel. Ternyata ia telah mengambil perumpamaan yang salah. Persahabatan selama bertahun-tahun ternyata tidak serta merta membuat mereka dapat membaca pikiran satu sama lain.

“Kalau menurut kamu, sikap Israel ke Palestina itu gimana Rin?”

“Israel jahat.”

Dan Rino tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya.

Setelah menyepakati janji bahwa mereka akan sebangku lagi pada esok hari, Dillo turun ke lantai bawah. Ikut menonton TV bersama Papa. Akhirnya disaksikanlah berita tentang Palestina yang selama ini ia buta terhadapnya. Rasanya sedikit-sedikit ia bisa mengerti kenapa Alina sampai tergugah untuk ikut-ikutan aksi. Dillo jadi teringat akan kemungkinan asmanya yang bakal kambuh seandainya saja ia menjadi satu dari mereka dalam TV itu. Mereka yang sedang menenteng-nenteng spanduk di pusat kota. Menyerukan ultimatum agar Palestina segera diselamatkan.

Dillo menghela nafas. Boro-boro melempar batu bersama para pejuang Palestina, untuk ikut diklatsar Pramuka saja mentalnya masih suka ciut.

Tapi setidaknya ia sudah membuat “hal-hal yang mungkin aku lakukan untuk membantu Palestina” dengan serealistis-realistisnya, yang menyadarkannya bahwa realita tentang dirinya ternyata sebegitu tidak memuaskannya. Jadi ia pikir yang perlu ia lakukan setelah ini adalah berusaha untuk mengubah realita tentang dirinya. Ia harap dengan begitu, realita di sekelilingnya akan turut berubah juga. Tinggal bagaimana caranya agar perubahan itu bisa dirasakan sampai Palestina. Tidak hanya Rino yang akan diajaknya untuk mulai memikirkan hal ini, tapi juga teman-temannya yang lain, janjinya dalam hati. Insya Allah.

Tapi yang paling penting, PR menulis esainya harus ia selesaikan dulu.

Uhh…

 

6 Juni 2010

Rabu, 02 Juni 2010

Pemuda Berpikiran Terbuka dan Kritis untuk Masyarakat Indonesia Madani

Dua puluh Mei merupakan tanggal lahir Boedi Oetomo. Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi pemuda pertama di nusantara yang tidak bersifat kedaerahan. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Setelah itu, organisasi-organisasi pemuda lainnya pun bermunculan. Dari sekian banyak organisasi yang ada, ada satu tujuan besar mereka: kemerdekaan bangsa. Kesamaan tujuan inilah yang kemudian menyadarkan mereka bahwa tujuan tersebut hanya bisa diraih jika mereka tidak terus berjalan sendiri-sendiri. Mereka membuktikannya. Meski membutuhkan waktu sekitar tujuh belas tahun, sejak kongres pertama yang menjadi titik tolak persatuan mereka, kemerdekaan Indonesia akhirnya berhasil dikumandangkan.

Dalam lagunya, “Pemuda”, Chaseiro (grup band Indonesia akhir tahun 70-an) mengenang kejayaan tersebut dan menyayangkan keadaan pemuda pada jamannya. Fenomena tersebut ternyata masih berlangsung sampai kini, bahkan mungkin bertambah parah. Tapi masa lalu telah kabur. Yang ada hanyalah masa kini sehingga hal tersebut tidak perlu lagi dipersoalkan melainkan diambil saja sebagai pelajaran. Cermatilah lirik menggugah yang pernah terkenal karena dinyanyikan ulang oleh para bintang AFI ini:

“Pemuda, ke mana langkahmu menuju? Apa yang membuat engkau ragu? Tujuan sejati menunggumu sudah. Tetaplah pada pendirian semula. Di mana artinya berjuang, tanpa sesuatu pengorbanan? Ke mana arti rasa satu itu?

“Bersatulah semua, seperti dahulu. Lihatlah ke muka. Keinginan luhur kan terjangkau semua.

“Pemuda, kenapa tersirat dengan pena yang bertinta belang? Cerminan tindakan akan perpecahan. Bersihkanlah noda itu semua. Masa depan yang akan tiba menuntut bukanya nuansa. Yang slalu menabirimu pemuda.”

Alih-alih tujuan bersama, tujuan sendiri pun (misalnya dalam memilih jurusan di universitas) pemuda kita masih kerap ragu. Alih-alih mencapai tujuan, mereka masih dengan mudahnya tergoda untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga bangsa.

Gencarnya arus globalisasi bisa dibilang sebagai faktor penyebab terpecahnya persatuan di antara pemuda. Kemajuan teknologi, serta beragam pemikiran dan budaya yang dapat diresap lewat berbagai media, telah membentuk para pemuda Indonesia sedemikian rupa. Bagi mereka yang arif tentunya itu mereka manfaatkan untuk suatu kebaikan. Sementara mereka yang tak mau berpikir, bisa jadi malah terlenakan dan berapatis ria.

Tidak sedikit “dosa besar” pemuda yang disiarkan media akibat kegandrungan mereka pada hal-hal tak berfaedah. Mulai dari narkoba, geng motor, seks bebas, sampai pada demonstrasi anarkis—hampir semua kasus tersebut dilakoni pemuda sebagai tokoh utamanya.

Pemuda yang berpikiran terbuka dan kritis, tentu akan memiliki banyak pertimbangan sebelum melakukan hal-hal yang sebetulnya tak ada gunanya atau malah merugikan. Lain dengan pemuda yang berpikiran sempit dan tumpul, mereka tidak akan sempat pikir panjang ketika tawaran atau kesempatan untuk melakukan hal-hal tersebut datang.

Banyaknya “dosa besar” yang dilakukan oleh pemuda ditengarai merupakan hasil dari pola pikir sempit dan tumpul yang mendekam dalam kepala mereka. Apa lagi yang bertanggung jawab membentuk pola pikir kalau bukan pendidikan? Maka kita tanyakan kepada para orangtua dan guru, apakah mereka sudah menerapkan pendidikan yang membebaskan “generasi penerus bangsa” ini dari kungkungan pikiran yang sempit dan tumpul?

Dengan pikiran yang terbuka dan kritis, pemuda diharapkan dapat membaca dan mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi pada dirinya masyarakat secara objektif. Kepekaan ini lantas mendorongnya untuk merumuskan cara yang benar dalam meraih satu tujuan besar: membentuk masyarakat Indonesia madani.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain