Sambil berjalan kembali menuju bangkunya, Dillo membuka gulungan kecil
kertas di tangannya. Tepat ketika ia mendaratkan pantatnya, terbaca kata
‘PALESTINE’.
“Kamu dapet apa, Rin?” tanya Dillo pada teman sebangkunya.
“Indonesia.”
“Wah, gampang... Curang...”
“Tenang, tenang, aku pasti akan selalu mendukungmu, kok!” Rino
menepuk-nepuk pundak Dillo.
“Kalau begitu, tukeran sama punyaku.”
“Wahaha, ogah ah.”
“Ah, kamu nggak mau merasakan penderitaanku.”
“Yah, kalau tukeran entar deritanya pindah ke aku dong...”
“Okay, guys...” Dillo dan Rino
sontak menghadap ke depan, memerhatikan ibu guru yang sudah menguasai kembali
kelas mata pelajaran Bahasa Inggrisnya. “Now,
you’ve got the country that you have to write an
essay about it. What time is it...? Oh! Well, sorry, time is up! So, see you
next week and don’t forget to bring your assignment. Good bye!”
“Bye...” balas anak-anak kompak.
Beberapa memandangi native speaker
berambut pirang itu hingga menghilang ke balik pintu kelas.
Kembali Dillo berkeluh kesah pada Rino. “Aduh, aku nulis apa dong, Rin?”
“Emang kamu dapet
apa sih, Dil?”
“Palestina.”
“Waa…” Dua cewek
yang duduk di belakang Dillo dan Rino terkesiap mendengar nama itu disebut.
“Wah, punyanya
Dillo, isunya kan masih hangat,” komentar Azizah.
“Emang Palestina
kenapa sih?”
Sani mencibir. “Ini anak nggak pernah baca koran atau denger berita
ya?”
Muka Dillo berkerut. “Nggak rame ah. Ramean baca Doraemon. Koran tuh
kebanyakan tulisannya, kecil-kecil pula, bingung mesti dibaca yang mana dulu.”
“Ya jangan dibaca semuanya! Baca yang penting-penting atau menarik aja!” seru Sani.
“Dil, kalau kamu emang males baca koran, entar pulang sekolah, langsung
masuk kamar ya, bilang ama Doraemon, minta roti penghapal gitu. Jadi kalau
pagi-pagi koran kamu dateng, langsung taplokin tuh roti ke koran trus rotinya
kamu makan. Dijamin, nggak usah itu koran kamu baca, berita-berita udah
otomatis nempel di kepala,” ucap Azizah. Rino dan Sani tertawa.
.
Dillo menutup tab berisi berita
tentang video Luna Maya yang sedang menghebohkan seluruh negeri
itu. Di tab yang lain, laman hasil pencarian mesin Google Indonesia, menunjukkan entri yang
amat banyak dari kata ‘Palestina’. Dillo malas membacanya satu per satu. Nanti sajalah di rumah, biar nggak makan
biaya warnet, pikirnya. Ia membuka semua entri dalam tab baru, terus begitu sampai beberapa halaman selanjutnya, lalu ia
save page as semuanya dalam satu folder di flashdisk-nya. Setelah menuntaskan kegiatan yang melelahkan
tersebut, ia membuka www.onemanga.com
dan larut ke dalamnya selama beberapa puluh menit ke depan.
.
Merupakan kebiasaan Dillo dari kecil untuk mengerjakan PR di kamar kakak perempuannya, Alina. Dengan begitu ia
bisa langsung tanya-tanya kalau ada
yang tidak
dimengertinya. Malam ini, Dillo hendak bertanya bagaimana caranya membuat esai, sekaligus minta diterjemahkan dalam bahasa Inggris
nantinya.
Dillo sama sekali belum ada gambaran hendak menulis apa, kendati sudah membaca semua artikel tentang Palestina yang
diunduhnya tadi. Palestina masih menjadi sesuatu yang asing dan jauh baginya.
Ia tidak bisa serta merta menunjukkan sikap sok peduli. Alina lalu
menyarankannya untuk menulis bebas terlebih dulu. “Tulis semua yang
kamu pikirin tentang tema yang ingin kamu tulis. Jangan dulu mikirin tulisan
itu nantinya bakal dibaca siapa. Pokoknya gali terus pikiran kamu mengenai tema
itu.”
“Hoo…”
“Tentang apa emang temanya, Dik?”
“Tentang Palestina.”
Alina mengangguk-angguk. Ia beranjak
dari kasur lalu memilah-milah sesuatu dari rak bukunya. Apa-apa yang dipilahnya
itu ditumpuknya jadi satu lalu ditaruh di depan muka Dillo. Komposisi dalam
tumpukan tersebut antara lain antologi cerpen Palestina, buku-buku
tentang Yahudi, dan semacamnya. Satu per satu bacaan tersebut Dillo buka-buka sambil lalu.
“Tulis aja dulu semua apa yang Dillo tau tentang Palestina. Kayak nulis diari aja,” kata Alina lagi.
Dillo ingat sekalinya
ia menulis diari, ia memang
menuliskan segala yang ada dalam kepalanya, tanpa kecuali.
Kalaupun tidak ada, ia gali-gali. Dengan bahasanya yang dangkal, Dillo pun
menggali-gali ingatannya mengenai apa yang telah ia baca tentang Palestina dan menuliskannya.
Tapi rasanya kok seperti hanya sekedar men-copy
paste tulisan orang dengan komputer lelet yang kelebihan memori?
Dikemukakannyalah pikiran itu pada kakaknya, yang menjawab, “Kalau esai itu boleh kok ditambahin pendapat Dillo sendiri.”
Di sela-sela usaha Dillo menggali ide,
Alina menyodorkan kamera digitalnya. “Coba nih Adek liat-liat…”
Dillo pun melihat foto-foto di kamera digital kakaknya itu. Ada sosok kakaknya terselip dalam sebuah
aksi solidaritas untuk Palestina.
Dillo bertanya, “Ngapain kakak ikutan acara ini,
Kak? Panas-panas, capek... Buat apa sih?”
Alina tersenyum. “Itu sebagai bukti solidaritas kita buat saudara kita di sana. Sekaligus syiar
supaya orang-orang makin tergugah dengan Palestina.”
“Saudara? Emang
kita pernah ngunjungin mereka pas Lebaran?
“Ya saudara seimanlah…”
“Iya, Kak, aku becanda kok. Aku nggak sepolos itu.”
“Sesama muslim
harus saling menolong, ibaratnya satu tubuh...”
Lalu apa yang dapat aku lakukan untuk
Palestina? Pikir Dillo sembari
menuliskannya di kertas. Ia biarkan pula khayalannya mengembara. Khayalan yang
serealistis-realistisnya.
.
Hal-hal apa saja yang mungkin aku lakukan
untuk membantu Palestina
Pergi ke Palestina dan ikut berperang di
sana
Mengikuti apa yang orang-orang Palestina lakukan jika
melihat tentara Israel, melempari dengan batu, dan sebagainya, lalu lari
apabila mereka mendekat. Lalu kesandung brangkal. Susah bangun lagi karena badan gendut L Kegiles
truk deh.
Tentara Israel 1: “Eh, kayaknya tank kita ngelindes sesuatu deh...”
Tentara Israel 2: “Ah, paling
orang Palestina ini... Udahlah, biarin aja.”
Aduh,
aku jadi geram mikirin ini. Lagian
aku kan orang Indonesia, bukan orang
Palestina, meskipun saat itu aku mungkin lebih mirip sama daging giling. Dan udah nggak bisa
ngapa-ngapain lagi.
Ngumpulin donasi
Di pinggir jalan, pake sorban, pake kafiyeh, pokoknya
merah putih ijo item, gayanya udah kayak pejuang Palestina beneran deh.
Sesampainya di rumah aku hitung uang hasil donasi tersebut. Besok akan aku
serahkan pada yang lebih mempunyai akses untuk menyampaikan uang umat ini ke
sana... Eh taunya aku sendiri belum nyumbang :p Karena Mama lagi ngebatasin
uang jajanku, akhirnya aku buka simpenan duit. Tung itung itung... wah, duitnya
hampir bisa buat beli action figure-nya Gundam!!! (sejak kecil
aku
impi-impikan! XD) Tinggal
kurang beberapa ribu lagi… Lalu aku melirik duit hasil pengumpulan donasi...
Ikutan aksi
Melewati jalanan berdebu, panas-panas, teriak-teriak, jadi
tontonan orang, berdesak-desakan, kayak Kak Lina… Tapi kalau asmaku mendadak kambuh... X(
Membuat tulisan yang menggugah orang
lain untuk menolong Palestina
Esainya aja lum jadi... Ah, kata Kak Lina
kan yang penting tulis dulu apa yang ada dalam pikiran…
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung Palestina! Ayo Dukung
Palestina!
Aduh…
Capek ah, nulisnya…
Memboikot produk yang mendukung
pendanaan serangan Israel ke Palestina
Wah, apa aja ya? (ternyata Kak Lina punya daftarnya!
Liat dulu yaa…) Hmm...
Nokia. Wah, hapeku dua-duanya
Nokia. Ini aja yang satu tadinya mau ditukar sama Nokia lagi seri terbaru.
Dillo udah pake merk ini dari jaman pertama kali punya hape. Susah nih, untuk pindah ke lain hati. Disney... Tapi
spreiku gambar Kwak Kwik Kwek, boneka gede
Mickey dan Minnie-ku juga sayang
kalau harus disingkirkan... Trus gimana dengan foto-foto pas
dulu liburan ke Disneyland?
Itu kan foto keluarga penuh kenangan?? Bundelan majalah Donald Bebek juga...
Dan aku hobi nonton
kartun dan sitkom di Disney Channel terutama serial Lilo & Stitch, juga
Hannah Montana... Bagaimana mengenyahkan channel tersebut dari TV berlangganan?
Trus Kitkat... Wah... Dillo nggak bisa tidur kalau belum ngemil itu setiap
malamnya (makanya gendut… :P). Johnson & Johnson? Itu sabun mandiku dari bayi... Maklum kulitku agak sensitif. Danone... Masih bisa sih
itu diganti dengan merk lain. Kalau Nestle, wah... Dillo muntah kalau minum
susu yang merknya bukan Dancow. Mc Donald pun selalu jadi santapan langgananku kalau aku lagi sendirian di rumah dan nggak ada
yang masakin. Tinggal call 14045! Nggak ada nomor telpon penyaji fast food lain
yang bisa dengan mudah diingat Dillo selain itu. Demikian juga Pizza Hut. Eh, tapi kalau Pizza
Hut itu karena aku sudah
terlalu sering pesan sampai-sampai hapal. Hm.. Trus apa lagi ya? *Tidak bisa membayangkan hidup tanpa semua
merk itu...*
Belajar yang rajin dan mengembangkan
senjata pemusnah massal di atap rumah yang targenya langsung mengarah ke Israel
(jangan bilang sama siapa-siapa kalau itu senjata pemusnah massal! Bilang aja
itu alat pembuat daging panggang instan!). Atau lebih baik senjata kimia atau
senjata biologi aja? Nilai
Fisika, Kimia, dan Biologiku tidak pernah lebih dari 6… Aku unggul hanya dalam pelajaran... nggak
ada?
Belajar yang rajin untuk jadi diplomat
dan menyelesaikan masalah ini secara diplomasi
*Udah males mikir*
.
Dillo meletakkan pulpen. Ditinggalkannya lembaran kertas penuh coret-coretannya
dan Alina yang bertanya, “Mau ke mana, Dik?”
“Nelpon Rino,” sahut Dillo setelah gagang telpon menempel di sebelah
telinganya. Rino, sobatnya itu, sudah seperti saudaranya
sendiri. Kalau ada masalah apa-apa, biasanya Dillo akan mengajak Rino
berdiskusi untuk sama-sama menemukan pemecahan dari masalah tersebut.
Setelah melalui serangkaian prosedur umum percakapan pengantar di telepon,
sampailah Dillo pada apa yang ingin dibicarakannya dengan Rino, “Jika suatu
saat bangku kamu direbut seorang anak yang sangat berkuasa di kelas, si Sultan
misalnya, apakah kamu bakal berjuang supaya Sultan pindah sehingga aku bisa
kembali sebangku sama kamu?”
“Tergantung keadaan,” bilang Rino. “Kalau si Sultan ternyata rame, ya kenapa
nggak? Si Sultan anaknya kan baik, suka ngasih pinjeman duit. Lagian kan kamu juga
yang suka tau-tau sebangku sama Toni. Akhirnya aku duduk sama Sultan deh.”
Dillo memble. Padahal maksudnya
itu adalah memosisikan Rino sebagai Palestina dan Sultan sebagai Israel.
Ternyata ia telah mengambil perumpamaan yang salah. Persahabatan selama bertahun-tahun
ternyata tidak serta merta membuat mereka dapat membaca pikiran satu sama lain.
“Kalau menurut kamu,
sikap Israel ke Palestina itu gimana Rin?”
“Israel jahat.”
Dan Rino tidak tahu
apa lagi yang harus dikatakannya.
Setelah menyepakati
janji bahwa mereka akan sebangku lagi pada esok hari, Dillo turun ke lantai
bawah. Ikut menonton TV bersama Papa. Akhirnya disaksikanlah berita tentang
Palestina yang selama ini ia buta terhadapnya. Rasanya sedikit-sedikit ia bisa
mengerti kenapa Alina sampai tergugah untuk ikut-ikutan aksi. Dillo jadi
teringat akan kemungkinan asmanya yang bakal kambuh seandainya saja ia menjadi
satu dari mereka dalam TV itu. Mereka yang sedang menenteng-nenteng spanduk di
pusat kota. Menyerukan ultimatum agar Palestina segera diselamatkan.
Dillo menghela
nafas. Boro-boro melempar batu bersama para pejuang Palestina, untuk ikut
diklatsar Pramuka saja mentalnya masih suka ciut.
Tapi setidaknya ia
sudah membuat “hal-hal yang mungkin aku lakukan untuk membantu Palestina”
dengan serealistis-realistisnya, yang menyadarkannya bahwa realita tentang
dirinya ternyata sebegitu tidak memuaskannya. Jadi ia pikir yang perlu ia
lakukan setelah ini adalah berusaha untuk mengubah realita tentang dirinya. Ia
harap dengan begitu, realita di sekelilingnya akan turut berubah juga. Tinggal
bagaimana caranya agar perubahan itu bisa dirasakan sampai Palestina. Tidak
hanya Rino yang akan diajaknya untuk mulai memikirkan hal ini, tapi juga
teman-temannya yang lain, janjinya dalam hati. Insya Allah.
Tapi yang paling
penting, PR menulis esainya harus ia selesaikan dulu.
Uhh…
6 Juni 2010