Senin, 24 Januari 2011

Wajah-wajah

Om B... 



Zia
Dani
Raka
Arderaz
Ali
Bibe
Lupa, tapi kayak Ranma
Lupa juga. Dia datang saat saya masih SD.
Imin
Imran, teman sekelas di mata kuliah Pengukuran Sumber Daya Hutan
Manda
Majid
Zia lagi

Buku catatan kuliah saya pada semester 7 2010/2011 adalah buku ajar Dasar-dasar Manajemen Hutan dengan kertas buram, jadi halaman di baliknya masih kosong. Sampulnya warna hijau. Di dalamnya, selain catatan kuliah, kadang saya isi juga dengan penggalan curahan hati dan sketsa wajah-wajah yang mengisi kepala saya. Mereka adalah di antaranya.

Rabu, 19 Januari 2011

Survei KKN Berbuah Diare


Saya bergabung dengan tim KKN Dieng sejak akhir tahun 2010. Satu alasan mungkin karena beberapa teman dekat saya telah ikut KKN ini sebelumnya sehingga kiranya akan mudah juga bagi saya untuk minta bimbingan. KKN Dieng ini pada mulanya hanya berlokasi di Desa Dieng Kulon dan dirintis sejak tahun 2009. Untuk tahun 2011, hendak dirintis pula KKN dengan tema serupa di desa tetangga,  yaitu Desa Dieng Wetan.

Tema KKN Dieng Kulon sudah mengerucut jadi penonjolan makanan khas. Tahun ini mungkin akan jadi tahun terakhir adanya pelaksanaan KKN di sana—kecuali ada yang berminat bikin lagi. Untuk KKN Dieng Wetan sendiri, karena baru dirintis maka yang akan dilakukan mungkin baru identifikasi masalah. Namun diasumsikan bahwa permasalahan di Dieng Wetan tak jauh beda dengan di Dieng Kulon karena lokasi keduanya berdekatan. Saya memilih jadi bagian dari tim Dieng Wetan mungkin karena kepenasaranan akan wilayah yang belum tereksplorasi.

Setelah beberapa kali rapat, diputuskan bahwa survei pertama untuk KKN Dieng 2011 dilakukan pada tanggal 15 Januari 2011. Tim KKN Dieng Wetan janjian kumpul di GSP pukul 6 pagi, lalu pukul setengah 7 berangkat ke rumah salah satu anggota tim, Mimi (TE 08). Tidak semua anggota bisa ikut. Yang kumpul di samping GSP waktu itu selain saya dan sejawat dari KT 07, Trubus, adalah sang kormanit—Gilang (HI 08), Renita (HI 08), Jati (HI 08), Mbak Yeni (HI 06), Faldi (IE 08), Jerry (TE 08), dan Ditya (TE 08). Kami juga ditemani oleh Putro, KT 07 juga, dan Difa (FEB 07) yang merupakan tim KKN 2010. Kami semua bermotor sampai rumah Mimi.

Setelah dari sana, semuanya naik Avanzanya Mimi kecuali Gilang, Renita, Jati, Trubus, dan Putro. Di dekat Jalan Magelang, tim KKN Dieng Kulon telah menunggu kami dengan Avanza sewaan mereka. Padahal mobil Mimi masih cukup lengang namun kesembilan orang itu memilih untuk mengompakkan diri dengan berdesak dalam satu mobil. Mereka adalah Reza (FEB 08)—sebagai supir dan kormanit, Fajar (KT 08), Vyta (KT 08), Marlina (KG 08), Khusnul (KG 08), Andre (TN 08), Dibya (kuliah di mana sih kamu?), Indung (TP 08), dan Atik (Komunikasi 08).

Kendati cewek, kemampuan mengendara Mimi amat menakjubkan sehingga tercipta kelakar bahwa ia bekerja sambilan sebagai supir bis. Difa sampai ngeri dibuatnya, apalagi ia duduk pas di tengah. Beberapa kali ada sms dari anggota tim Dieng Kulon yang mobilnya ada di belakang kami agar laju mobil kami diperpelan. Namun yang bermotor juga memacu laju mereka dengan cepat.

Wisata bencana...
Jogja berlalu. Laju mobil kami akhirnya mandek juga karena macet. Memang sebelum berangkat ada kekhawatiran. Jalur Jogja-Magelang konon ditutup akibat banjir lahar dingin. Ternyata kami bisa melewatinya, dengan pemandangan fantastis di kanan-kiri, meski tersendat-sendat. Materi vulkanik kiriman dari Mbah Merapi memang telah disingkirkan ke tepi, namun jalan yang terbuka masih cukup sempit bagi semua kendaraan yang mau lewat. Di balik jendela tampak bebatuan sebesar mobil di sela-sela limpahan pasir hitam yang mengundang decak. Ada rasa tak percaya bahwa semuanya diluncurkan dari atas. Beberapa bangunan terendam pasir sampai lebih dari setengahnya. Banyak terlihat tajuk bagian bawah tumbuhan kelapa melayu.

Setelah berkutat dengan kemacetan yang cukup panjang, mobil kami akhirnya bisa meluncur lagi di jalanan yang lebih lega. Motor-motor telah menunggu kami. Dan kami harus menunggu juga karena rupanya mobil tim Dieng Kulon masih terjebak.

Perjalanan dilanjutkan. Pimpinan rombongan, Putro, menuntun kami melewati jalan alternatif menuju Wonosobo yang berkelak-kelok dan naik turun. Di Wonosobo, kami sempat berhenti beberapa kali untuk berunding apakah hendak sarapan dulu atau tidak. Sebagian dari kami belum sarapan. Akhirnya tim Dieng Wetan berpisah dengan tim Dieng Kulon di kota karena tim Dieng Wetan mengejar jam buka kantor kecamatan.

Kami juga sempat putar-putar kota sebentar. Saya coba memerhatikan permukaan jalan dan mungkin sedikit panorama kota. Memang di Wonosono banyak andong, Terlihat beberapa tambalan pada aspal. “Mal” paling terkenal di kota ini adalah RITA. Jika ukuran suatu kota ditentukan dari kuantitas dan kualitas malnya, juga adanya Gramedia atau tidak, kiranya pantaslah Wonosobo disebut kota kecil.

Hujan mulai merintik ketika kami memasuki kawasan Kejajar. Di kantor kecamatan, kami dipertemukan dengan sekretaris kecamatan, Pak Supriyono. Ruang tamunya menyediakan cukup kursi bagi kami semua untuk duduk. Gilang menyerahkan proposal kasar hasil modifikasi dari proposal tahun sebelumnya pada pak sekcam. Sebagian dari kami bergantian menjelaskan dan menambahkan hal maksud kedatangan.

Sebelumnya pak sekcam tanya kami mau ditempatkan di mana. Desa Dieng Wetan terbagi menjadi dua lokasi, yang satu di atas—dekat Dieng Kulon—dan satunya lagi di Kali Lembu. Meski mengaku belum lama bertugas di kantor tersebut, pak sekcam dapat membeberkan garis besar permasalahan di Dieng Wetan. Permasalahan utamanya soal kentang tentu saja. Masyarakat Dieng bukannya tidak tahu bahwa tak baik menanami lahan mereka dengan kentang terus—toh mereka juga sadar kualitas kentang mereka mulai menurun—tapi mereka tidak mau tahu. Belum ada yang dapat memberi mereka hasil sebaik yang kentang berikan. Obyek wisata di Dieng Wetan lebih sedikit ketimbang yang ada di Dieng Kulon sehingga masyarakat Dieng Wetan mungkin tak begitu peduli pada pemanfaatan potensi wisata yang ada. Bagaimana mereka mau peduli jika pemerintah saja tidak? Ini berkaitan dengan soal anggaran, kata pak sekcam yang meski sudah diulang berkali-kali tetap saja saya belum paham. Pemerintah kurang memberikan penataan/pembinaan lingkungan, imbuhnya. Mungkin yang bisa kami bantu untuk masyarakat Dieng Wetan adalah memberitahu mereka bagaimana cara mengelola carica, mulai dari pengolahan hingga pemasaran. Selama ini masyarakat Dieng Wetan memasok banyak carica namun yang tahu cara mengolah dan seterusnya adalah orang bawah.

Sepeninggalan dari kantor kecamatan, kami melanjutkan perjalanan memasuki kawasan Dieng sembari mendiskusikan hasil pertemuan dengan pak sekcam tadi untuk kemudian merumuskannya jadi beberapa poin permasalahan. Jalanan berkelok. Jendela mobil diturunkan. Hawa sejuk menerobos masuk. Semakin lama semakin dingin terasa. Saya juga mulai merasa pusing, mungkin adaptasi terhadap menipisnya oksigen. Pemandangan di kanan-kiri mulai berupa hamparan perkebunan kentang. Terlihat juga tanaman carica yang sejak saya daftar KKN ini jadi terdengar familier di telinga. Tumbuhan carica rupanya seperti tumbuhan pepaya. Di bagian tengah batang tumbuhan carica, bergantungan buah carica yang kecil-kecil. Pemandangan ini mungkin indah bagi awam. Namun bagi saya yang sudah merasa dicekcoki idealisme konservasi kehutananan, adalah miris di dalam dada. Bayangkanlah, pohon yang terlihat hanya sejumput demi sejumput begitu. Beberapa tampak mematung sendirian di tengah hamparan luas karpet warna-warni alami, bagai seorang yang tunduk pada kesepian.

Kami berhenti di Dieng Kulon. Rombongan tim Dieng Kulon sudah sampai lebih dulu. Kami dibawa singgah ke rumah ketua pemuda Dieng Kulon. Mas Alif namanya. Seperti yang pernah angkatan sebelumnya ungkapkan pada saya, ruang tamu warga Dieng itu letaknya di dapur. Begitu masuk ke dalam rumah, kami langsung berhadapan dengan kompor gas. Setelah disambut dan menikmati suguhan seadanya, sebagian dari kami menunaikan solat zuhur di musola terdekat. Saya menjamaknya dengan solat ashar. Saya tak sempat foto bersama para anggota tim saya. Kami makan siang dengan sate ayam dan lontong di tepi jalan. Saya pesan setengah porsi (lontongnya satu setengah, satenya lima tusuk sepertinya) seharga 5000 rupiah. Setelahnya kami menuju rumah Bu Budi yang katanya memang sudah biasa jadi basecamp anak-anak KKN ini.

Mari berapi-api!
Rumah Bu Budi terdiri dari dua bangunan. Memasuki bangunan depan, lantainya dilapisi karpet meski masih terasa dingin di kaki yang berkaos. Ruang depannya cukup lega bagi kami semua. Ada dua ruang tidur dan sebuah kamar mandi di ruang berikutnya. Di bangunan belakang, kami dikenalkan pada tradisi Dieng yaitu berhangat di dekat api-api. Api-api adalah sebuah tungku dengan arang menyala di dalamnya. Arang yang digunakan tak mengeluarkan banyak asap—bahkan hampir tak kelihatan—hingga membuat Vyta yang dari jurusan Teknologi Hasil Hutan kagum. Bu Budi bilang bahwa arang tersebut ia beli dari pemasok yang tak berasal dari Dieng. Kendati mungkin bisa membuat arang, masyarakat Dieng tak punya cukup kayu untuk dijadikan bahan baku. Kami duduk mengelilingi api-api untuk mendapatkan kehangatan yang terpancar. Siapa yang baru memasuki ruangan dari luar, lekas disuruh menutup pintu dengan seloroh, “Pintu kulkasnya ditutup lagi”—saking dinginnya udara di luar. Ruang depan bangunan belakang jauh lebih kecil namun dapat memuat kami semua. Ruang di belakangnya adalah dapur—tanpa alas karpet—dan kamar mandi.

Di ruang berapi-api ini kami dikenalkan pada Bu Budi dan Pak Budi, juga pada satu sama lain. Juga hadir Mbak Uul (TN 05, ternyata kakaknya Uut, teman saya dari jurusan Budidaya Hutan…) dan Mas Fajar (belum tahu kuliahnya di mana…) dari KKN 2009 dan Asar (HI 07) dari KKN 2010. Setelah sesi bersama, tim Dieng Wetan dengan tim Dieng Kulon membentuk koloninya masing-masing untuk membahas apa yang akan dilakukan dalam kesempatan survei ini.

Tim Dieng Wetan diberi nomor ponsel Mas Ofif yang katanya bisa membantu kami mendapat koneksi ke orang-orang Dieng Wetan. Sebelumnya kami menghubungi nomor pak sekdes Dieng Wetan yang diberikan rekan pak sekcam namun kiranya nomor tersebut tak berfungsi. Kalau hujan tak turun mungkin kami akan menyambangi kantor desa dan menanyakan orang lewat hal di mana rumah Pak Haryono—nama sekdes tersebut. Maka yang bisa kami hubungi hanya Mas Ofif. Mas Ofif bilang ia akan mampir setelah urusannya selesai. Entah kapan, kami menunggunya sembari mengobrol sementara sebagian dari kami tidur dengan kepala bertumpu lutut.

Putro memberi saya cukup banyak keterangan mengenai permasalahan di Dieng. Saya tanya apa vegetasi pengisi kawasan Dieng ini sebelum ditanami kentang. Kata dia sih vegetasi pegunungan biasa. Daerah miskin menjadi sasaran ekspansi kentang yang kemudian mengkayarayakan penduduk. Mereka dalam euforia. Tak mau lepas dari itu, mereka enggan mengganti kentang dengan hal lain yang tak bernilai jual sama tinggi. Meski alam sudah beberapa kali memberitahu dengan longsor, mereka bergeming. Putro telah merasakan bagaimana tidak mendukungnya masyarakat untuk mengkonservasi lahan milik mereka sendiri. Oleh karena itu strategi yang pas adalah dengan investasi jangka panjang. Pendidikan lingkungan pada anak-anak Dieng. Semoga saja mereka kemudian cukup sadar untuk tidak menyandarkan masa depan mereka pada kentang semata.

Hujan tak juga berhenti. Mas Ofif bilang ia hendak mengeringkan celana dulu. Lewat sms berikutnya, sepertinya ia minta dijemput. Akhirnya kami sepakat untuk ramai-ramai menembus hujan demi bertemu Mas Ofif di rumah… saya lupa, pokoknya salah seorang penduduk.

Di rumah yang kami kunjungi kemudian itu, kami bertemu dengan seorang anak berambut gimbal—satu fenomena khas Dieng. Tak semua anak Dieng dikaruniai rambut gimbal alami. Anak berambut gimbal konon sakit-sakitan. Untuk memotong rambut gimbal yang katanya dihuni jin tersebut, diperlukan upacara khusus. Sebelum dipotong, anak berambut gimbal akan mengajukan permintaan yang harus dikabulkan. Permintaannya biasanya aneh-aneh namun masih bisa disanggupi, katakanlah tempe gembus 100 potong, bebek 7 ekor…

Mas Ofif mau menemani kami menemui seorang kepala dukuh di Dieng Wetan. Namun karena hujan dan hanya ada satu mobil (mobil tim Dieng Kulon tak bisa dipakai karena bensin habis katanya, kalau tak salah), berdesakanlah kami di dalamnya dengan formasi sebagai berikut: Putro sebagai supir (saya baru tahu kalau ia bisa mengemudikan mobil!); saya, Renita, dan Mimi di jok samping Putro; Mas Ofif, Jati, Gilang, dan Yeni di jok tengah; serta Trubus, Jerry, Ditya, dan Faldi di jok belakang.

Kami sempat berteduh di bagian depan rumah salah seorang warga. Sembari berteduh kami resapi benar hawa dingin yang menggerogoti di tengah hujan berangin. Mulut kami mengeluarkan uap putih tiap kali menghembuskan nafas. Kami sempat pindah berteduh ke tepi jalan raya. Angin bertiup amat kencang ditimpali hujan nan menderu-deru. Sesuatu yang berdiri megah di seberang kanan, dengan warna-warninya yang relatif mencolok, tampak bagai istana di balik kabut. Bagai fatamorgana. Ada lagi yang merasa melihat sesuatu. Mungkin itu fatamorgana juga. Jadi bukan padang gurun saja yang bisa menghasilkan fatamorgana, tapi juga dataran setinggi lebih dari 2000 mdpl di saat hujan badai. Terdengar suara Mas Ofif menyuruh kami memasuki rumah di seberang kiri, rumah kepala dukuh.

Kursi di ruang depan rumah kepala dukuh cukup untuk menampung kami semua (Jati duduk di pegangan kursi, haha). Kami sampaikan maksud kedatangan kami. Mulanya respon kepala dukuh agak kaku namun lama-lama terasa mulai cair. Mas Ofif berperan menjembatani percakapan kami. Yang diperbincangkan antara lain adalah gambaran masyarakat Dieng Wetan dan terutama kemungkinan kami tinggal di sana untuk kepentingan KKN. Kami minta dicarikan tempat menginap. Inginnya sih di rumah warga, namun kepala dukuh menawarkan losmen. Saya tak begitu aktif bicara kali ini. Kami terbagi jadi dua kubu. Di kubu kanan saya ada kepala dukuh, Jerry, Ditya, Faldi, Mimi, Renita, dan Mbak Yeni sementara di kubu kiri saya ada Jati, Mas Ofif, Putro, Trubus, dan Gilang. Perhatian saya terpecah ke kanan dan ke kiri. Saya kira saya harus sigap berkoordinasi dengan Mas Ofif  demi kepentingan KKN ini karena Mas Ofif akan banyak membantu.

Kami disuguhi teh dan berbagai cemilan. Saya mencicip sedikit cemilan untuk mengusir angin yang mulai bergelora dalam perut. Saat hendak minum, saya jadi urung karena ada sarang laba-laba di tepi bagian dalam cangkir saya. Di mejanya sendiri terlihat laba-laba dengan ukuran lumayan. Namun demi adab bertamu saya minum juga air dalam cangkir tersebut meski tak sampai habis.

Sudah hampir menjelang maghrib saat kami sampai kembali di rumah Bu Budi. Sebagian besar anggota tim Dieng Wetan memutuskan untuk pulang saat itu juga kendati kabut tebal sudah turun dan hari mulai gelap. Mereka masih dalam masa ujian sedang saya dan Trubus sudah tidak. Jadi saya dan Trubus tetap tinggal untuk menginap. Kami kira kami akan bisa mendapat lebih banyak informasi tentang Dieng Wetan selama malam dan esok hari sebelum kembali ke Jogja.

Selepas maghrib, tim Dieng Kulon kembali dari survei. Sebagian cowok menunaikan solat maghrib di masjid terdekat (sekaligus katanya termegah di Dieng Kulon). Saya menjamak solat maghrib dengan solat isya. Kendati sudah pakai tiga lapis (kaos lengan panjang, jaket parasut, dan baju lapangan), dingin tetap mencekam tubuh. Bagi saya bukan masalah pada dinginnya sebetulnya, meski sebagian teman kelihatan sampai (sok) menggigil. Saya merasa sudah terbiasa dengan dingin saat tinggal di Bandung—meski tentu Bandung tak sedingin Dieng. Yang jadi masalah kronis bagi saya adalah masuk angin.

Kami sempat bertandang lagi ke rumah Mas Alif. Di tengah serbuan hujan, kami terbagi jadi dua. Sebagian kecil hendak beli oleh-oleh sedang sisanya langsung menuju rumah Mas Alif dituntun Putro. Sebagian berpayung dan sebagian lain berponco. Mungkin niatan semula ke rumah Mas Alif adalah hendak membicarakan hasil survei. Waktu bagi warga Dieng untuk bersosialisasi memang saat malam hari, di dapur (ruang tamu), duduk di atas kursi kecil mengelilingi api-api, sambil mengudap yang hangat-hangat. Namun seperti yang sudah diterangkan Mas Alif sedari siang, sedang ada syuting “Belajar Indonesia” (acara di Trans itu lo…) di Dieng yang melibatkan Mas Alif dan para warga Dieng pegiat wisata lainnya. Mas Alif berulang kali bolak-balik antara rumahnya dengan entah di mana. Di rumahnya sedang ada acara kumpul keluarga pula. Jadi sempatlah kami melingkar di dapur rumah Mas Alif dalam kegejean. Biarpun rumah Mas Alif sederhana, namun Kawasaki Ninja merah di belakang kami menunjukkan bahwa warga Dieng memang sebetulnya kaya.

Sebagai cowok, Putro sih enak bisa kentut bunyi sembarangan. Saya sendiri bukannya tidak, tapi malulah kalau sampai bunyi. Angin terus menerus ke luar dari tubuh saya. Perut saya terasa sakit. Saya coba mengisi perut dengan berbagai makanan yang tersedia di sekeliling saya, namun angin tetap bercokol di dalam lambung. Berhembus di lorong-lorong usus dan mendesak-desak untuk ke luar dari lubang-lubang tertentu. Ah, sudah sampai di sini saja saya ungkapkan derita saya sebelum saya keblablasan membeberkan aib besar saya malam itu. Saya ikut tinggal bersama tim Dieng Kulon yang membahas hasil survei mereka di bangunan belakang hingga menjelang tengah malam. Pak Budi melarang kami untuk tidur di ruang tersebut—ruang yang ada api-apinya, karena api-api menyebar racun yang membahayakan jika terhirup selama tidur.

Tim Dieng Kulon berencana untuk menyatukan para pengusaha carica, terutama yang usahanya masih skala kecil. Ada satu pihak yang usahanya sudah besar—distribusinya sudah sampai ke berbagai kota di Indonesia—namun tak kooperatif. Memang kami sudah diberitahu sebelumnya kalau masyarakat Dieng cenderung egois. Mereka menghasilkan keuntungan hanya untuk mereka sendiri, tak mau membaginya ke orang lain. Sesuai usulan Reza, tim Dieng Kulon mungkin akan membuat usaha carica di Dieng Kulon menganut sistem duopoli. Mungkin ada beberapa masalah lagi yang mereka temukan, namun yang paling saya ingat hanya itu karena merupakan fokus mereka yang di-PR-kan dari angkatan sebelumnya.

Sebelum tidur saya diberi Tolak Angin oleh Vyta. Rasanya maknyes tenan. Berkat Vyta juga saya bisa mengoleskan minyak Konicare ke tubuh saya. Tak terlalu berasa sih, namun saya merasa mendingan setelah meneguk Tolak Angin meski rasanya ekstra tak enak. Kami tidur berlima dalam satu kasur. Saat tidur, saya merasa suhu di sekitar jadi normal. Hangat. Begitu sadar lagi keesokan hari menjelang subuh, dingin langsung menyergap.

Bingung hendak melakukan apa, saya cuci saja piring dan gelas bekas pakai semalam sementara yang lain berbagi oleh-oleh di bangunan depan. Jadinya saya tidak kebagian, hiks. Tim Dieng Kulon kembali ke Jogja sehabis sarapan. Mereka harus nombok lumayan besar sesampainya di Jogja karena telat mengembalikan. Selepas kepergian tim Dieng Kulon, kami semua yang tersisa berkumpul di sekitar api-api. Ada yang tidur, mengisi obrolan, maupun hanya diam mendengarkan. Yang dibicarakan mulai dari kenangan angkatan KKN sebelumnya, kenegaraan, sampai nuklir.

Di luar hujan masih saja turun. Besarnya angin diketahui dari gemuruh atap plastik keras di atap bangunan belakang. Sedari kemarin sebenarnya suara itu membikin perasaan jadi agak keder. Cuaca Dieng sedang tak baik yang jelas. Katanya angin beberapa hari lalu malah sampai menerbangkan… apa ya, saya lupa, seng?

Tak disadari, di luar mulai terang dan hujan tampak sudah reda. Mbak Uul dan Mas Fajar kemudian pergi ke luar untuk beli makanan. Saya sempat bingung lagi karena orang-orang di sekitar saya pada tidur. Bu Budi hanya diam dan saya tak tahu apa yang harus dibicarakan dengannya. Saya pernah tanya padanya apakah di Dieng ada kucing karena saya belum lihat padahal biasanya kucing ada di mana-mana. Katanya tidak ada, tapi kalau saya suka kucing dan ada kucing lewat, ia akan memanggilkannya untuk saya. Untung kemudian ada Asar dan Difa yang sudah bangun. Kami akhirnya pergi ke luar juga untuk jalan-jalan pagi sambil cari cemilan.

Sudah saya katakan bahwa dingin udara maupun dingin air wudu tak jadi persoalan bagi saya. Namun angin kembali menggelora dalam perut saya. Di toko yang kami sambangi, saya membeli tiga sachet Tolak Angin yang langsung saya minum salah satunya. Dua ribu rupiah melewati kerongkongan saya. Saya kira saya mulai terbiasa dengan rasa jamu nan aneh ini. Berniat jalan-jalan lebih jauh, kami kembali ke rumah Bu Budi untuk mengambil motor. Trubus rupanya sudah bangun. Putro tidur namun masih bisa merespon kami yang hendak pinjam motornya. Baru saja hendak berangkat, Mbak Uul dan Mas Fajar datang. Jadilah kami menunggu sarapan dulu.

Setelah sarapan, Mbak Uul dan Mas Fajar pamit pergi. Setelah mereka pergi, barulah saya, Trubus, Asar, dan Difa bermotor ria keliling Dieng. Asar dan Difa menunjukkan beberapa obyek wisata. Kami sempat diminta tiket saat hendak masuk ke kawasan candi namun berkat Asar dan Difa yang mengaku mahasiswa KKN, kami bisa lolos.

Gubuk tempat jualan telek.
Dieng Wetan ternyata kecil. Dalam beberapa menit saja jalan utamanya sudah terlewati. Obyek wisata yang paling menonjol mungkin hanya Telaga Warna dan gua-gua di sekitarnya. Kami tidak masuk karena harus bayar. Asar dan Difa tidak tahu jalan menuju Dieng Wetan yang berada di Kali Lembu. Jadi kami memasuki kompleks candi Arjuna yang di sampingnya ada bangunan Soeharto-Whitlam atau apa begitu. Kami berjalan-jalan di sekitar candi dan bertemu dodi alias domba Dieng. Sebelumnya telah diketahui juga adanya melodi alias melon Dieng. Asar memberitahu kami bahwa ada pula bendi alias bencong Dieng. Domba Dieng terlihat seperti boneka buntal berjalan. Namun kotoran yang melekat di bulunya membuatnya jadi unyu-unyu menjijikkan. Bulu domba sebetulnya bisa dimanfaatkan. Dipintal jadi benang, misal. Namun warga Dieng tidak menyadari potensi ini. Atau kentang memang sungguh membuat mereka jadi gelap mata.

Di kompleks candi Arjuna inilah biasanya diadakan upacara ruwatan rambut gimbal dan Dieng Culture Festival. Lepas dari kompleks candi, kami mengitari bangunan Soeharto-Whitlam yang bisa difungsikan sebagai ruang pertemuan. Di sampingnya terdapat rumah kaca. Turun dari sana, kami mendekati Difa yang duduk di depan sebuah warung. Ia telah membeli sewadah styrofoam kentang bumbu yang terus saya comoti.

Asar membeli purwaceng susu dengan madu seharga 8000 rupiah. Tergiur sejak kemarin hari dengan minuman satu ini karena katanya lebih pedas dari jahe, saya pesan juga minuman yang sama. Butiran hitam dan coklat mengapung di atas cairan putih keruh. Rasanya memang cukup nikmat. Terasa kekhasan rempahnya. Namun kata Indung, pengolahan purwaceng di sini masih kurang baik karena serbuk yang dihasilkan terlalu kering. Adapun purwaceng adalah tumbuhan khas yang konon hanya ada di Dieng. Katanya bentuknya seperti tumbuhan rambat dan bagi pria berfungsi sebagai obat kuat. Saat serombongan turis asing lewat, guide di depan mereka mengatakan, “Purwaceng is viagra from Java!” Para turis itu tertawa. Yang saya sesalkan adalah harga purwaceng begitu mahalnya—satu sachet kopi purwaceng harganya 5000 rupiah! Katanya purwaceng ini susah didapat atau bagaimana begitu.

Sementara saya bercengkerama dengan Difa dan ibu warung, Trubus dan Asar menonton anak-anak Dieng berseragam timnas bermain bola di lahan berumput dekat kami. Padahal di tengah mereka ada penggalan candi. Kalau Trubus sudah bersama cowok lainnya pasti yang mereka omongkan adalah sepak bola.

Dalam perjalanan kembali ke rumah Bu Budi, kami bertemu Putro yang hendak beli gorengan. Akhirnya ia cenglu dengan Trubus dan Asar sedang saya membonceng Difa. Kami lewat jalan dalam di mana saya melihat adanya pedagang mi ayam (pedagang bakso juga ada sih kemarinnya—mereka tidak mengurus kentang sebagaimana penduduk lainnya apa ya?). Di ruang belakang bangunan depan Bu Budi, kami berlima mengobrol sambil mengudap molen. Putro ternyata mengerti tentang masalah anak berkebutuhan khusus, jadi terharu deh, hehe. Tadinya ingin segera turun, namun azan zuhur terdengar. Kami menunaikan solat zuhur berjamaah dulu baru pamit.

Perjalanan menuruni perbukitan Dieng menyajikan pemandangan menakjubkan. Padahal sudah saya katakan bahwa saat berangkat saya merasa miris, namun kali ini entah mengapa saya merasa amat “subhanallah”. Sebuah bukit, saya kira, tampak menyerupai gunung, amat besar dan megah. Permukaannya memang telah dilapisi pekerjaan manusia. Namun keperkasaannya masih tampak lewat kaki-kakinya yang bagai akar pohon nan bercabang-cabang, menancap kokoh pada bumi. Awan berjalan di atasnya. Semakin turun, udara terasa semakin hangat namun belum membuat saya dalam tiga lapis pakaian berkeringat.

Mi ongklok idaman...
Di Wonosobo, akhirnya kesampaian juga hasrat saya makan mi ongklok. Putro membawa kami ke tempat makan yang katanya mi ongkloknya paling enak, mi onglok Longkrang. Putro memesankan masing-masing kami semangkuk mi ongklok dan lima tusuk sate. Jeruk hangat buat saya dan dia, es jeruk untuk Trubus, dan es teh buat Difa padahal hidungnya sedang merah. Buat saya, memang benar enak makanan khas Wonosobo ini. Kuahnya coklat kental. Porsi minya menurut saya sedikit. Sayurnya adalah sawi dan daun apa itu yang dipotong bulat-bulat. Kiranya ada potongan daging ayam juga. Saya suka rasa manisnya. Rasa manis satenya lebih menggigit lagi. Namun lama-lama saya jadi kurang menikmatinya karena rasa sakit di perut saya. Setelah makan, saya minum satu sachet Tolak Angin lagi.

Perjalanan dilanjutkan dan penderitaan sesungguhnya dimulai. Kawan boncengan saya tidak menaruh ranselnya di depan sehingga space yang tersisa bagi saya pas-pasan. Ransel saya terasa berat dan membuat punggung sakit, namun saya kira ini karena efek dari sakitnya perut saya saja. Angin semakin menggelegar dalam perut saya. Menggebu-gebu, mendesak ke luar, namun sepertinya cara duduk saya membuatnya melesak masuk lagi dan itu menyakitkan. Baiklah, saya tidak akan menceritakan detilnya lagi. Saya tersiksa sepanjang perjalanan. Belum lagi karena gerah yang ganti menyergap sementara pakaian saya masih lapis tiga. Baru setelah singgah di toilet pom bensin dekat lokasi banjir lahar dingin saya merasa lebih nyaman dengan perut saya. Meski kemudian kumat lagi. Saya sudah tak sabar ingin lekas mencapai kos. Wes ewes ewes, bablas angine. Tolak Angin kiranya yang telah membablaskan angin dalam perut saya dengan diare. Welcome Diapet!

Selasa, 18 Januari 2011

One Day Trip Alone (featuring Ayunina ding!)


Mulanya saya berencana mengisi 14 Januari 2011 dengan riset proyek pribadi di perpustakaan Malioboro. Apa nyana, takdir lain berkata. Tiga tahun lebih tinggal di Jogja, jarang-jarang saya sungguh menikmatinya sebagai kota bersemarakkan seni dan budaya!

Berkat subuh kesiangan, ekstra tidur pasca subuh, hingga keharusan untuk piket dapur, menyikat lantai kamar mandi, cuci baju, maupun cuci sepatu, saya baru meninggalkan kos sekitar jam setengah sepuluh pagi. Setelah sarapan goceng di Santai dan melihat nilai di kampus, saya teruskan perjalanan ke selatan. Kalau ke barat adalah arah menuju kitab suci, ke selatan adalah arah menuju Kotabaru. Saya sampai pada keputusan bahwa sebaiknya saya memiliki helm sendiri ketimbang pinjam untuk survei KKN esok hari.

Angin kencang berhembus sepanjang jalan sementara kelembaban udara terasa begitu tinggi akhir-akhir ini. Namun mentari mendukung niat saya berjalan kaki sampai jauh dengan bersembunyi di balik awan. Sempat saya kepikiran untuk lanjut naik bis saja. Tapi mengingat tubuh saya terasa begitu berat, bulat, dan lembam akhir-akhir ini, akhirnya saya sampai juga deh di pusatnya helm murah Jogja! Karena ingat Papa, saya akhirnya membeli helm dengan cetakan SNI yang seharga 40.000 rupiah saja. Warnanya cukup mencolok tapi tiadapalah agar mudah dikenali.

Tiba saatnya menuju acara utama. Mentari agak tak konsisten karena memberi teriknya bagi saya. Saya nikmati menyusuri jalur pedestrian pada jembatan yang membelah Kali Code. Saya jadi bisa melihat gundukan pasir kiriman Mbah Merapi di tepi kali dengan alat pengeruk di atasnya. Bagian tengah kali tampak sembulan sedimen.

Saya kira tempat tujuan saya akan rehat sebentar kala Jumatan. Mungkin saya akan tunggu sambil baca gratis di Gramedia Mal Malioboro, lanjut solat di masjid depan Inna Garuda, lalu menyeberang lagi untuk menunaikan tujuan. Namun kemudian saya ketahui bahwa Jogja Library Center of Malioboro memiliki jadwal buka sebagai berikut (dalam WIB)

Senin – Kamis : 8-14
Jumat : 8-11
Sabtu : 8-12

Kendaraan nggak ramah pedestrian nih!
Terombang-ambing sejenak di lantai 1 Mal Malioboro, akhirnya saya menapaktilasi jalur yang kiranya masih hangat kena pijakan kaki saya. Karena melihat baliho Jogja Broadway, saya jadi tertarik lagi ingin menyaksikannya. Saya timbang-timbang lagi apakah 35.000 rupiah akan saya ikhlaskan untuk itu. Sms Ayunina menguatkan saya. Saya akan bertemu dengannya di perpustakaan kota. Namun sebelum itu, saya tandang dulu ke Bentara Budaya. Di perjalanan, saya melihat orang gila yang pakai celana bolong di bagian pantatnya. Mungkin supaya tidak usah buka celana kalau mau boker.


When ‘doing nothing’ means do something

Dari luar terlihat ruangan yang lengang. Sempat ragu, masuk nggak nih? Jangan-jangan nggak ada isinya? Melongok ke kiri, ada poster-poster menempel di dinding. Ada yang menggantung juga di tengah ruangan. Melangkah masuklah kaki saya. Seorang mbak-mbak menunggui di balik meja saya mengisi buku tamu.

Beberapa saat terpana melihat poster, saya sadari bahwa pengunjungnya hanya saya waktu itu. Seakan-akan memang takdir telah dirancang sedemikian rupa agar saya menyesapi pameran poster World Silent Day dalam silent.

Mari tidur sambil senyum...
World Silent Day itu apa sih maksudnya? Mengapa kita harus silent? Ada apa di balik silent? Supaya orang lain bisa tidur nyenyak (habis ikonnya seperti ekspresi tidur tersenyum)?

Poster pertama yang saya lihat kalau tak salah dibuat oleh orang India. Ada tulisan “UNPLUG” besar. Berjalan dari poster satu ke poster lainnya, saya temukan kesamaan demi kesamaan yang membentuk persepsi. Penggalan informasi acak terserap dalam kepada. Bumi. Pohon. Energi. Kendaraan bermotor. Stop kontak. Carbon footprint. Doing nothing for 4 hours on March 21st, 2011. 10 AM to 2 PM.

Doing nothing? Saya bayangkan kegiatan mendekam di kosan tanpa pekerjaan berarti. Tidur-tiduran. Membosankan. Mengapa poster ini mengajak untuk tak melakukan apapun tapi ada hubungannya dengan bumi? Sebagai manusia dengan semangat jiwa muda, nurani saya mencekal karena frasa ‘doing nothing’ tak mengesankan produktivitas.

SILENCE IS THE ALLY OF MELODIOUS SOUND...
Meski demikian persepsi yang sudah terbentuk dalam kepala saya menjelaskan bahwa energi itu menghasilkan kebisingan. Naik kendaraan bermotor itu bising. Menonton TV itu bising. Mendengarkan musik keras-keras dari mini compo itu bising. Coba deh itu stekernya dicabut dari stop kontak. Yang lagi di kendaraan bermotor, menepilah dulu dan matikan mesin. Yak, semua, ayo, lakukan! Dan mari bersama kita pasang telinga. Terdengarkah itu desau angin? Gemerisik dedaunan? Kicau burung? Dan ucapan terima kasih dari bumi karena telah membiarkannya istirahat sejenak dari kerukan tangan-tangan industri yang hendak memanfaatkannya—untuk kepentingan kita, para konsumen nan rakus?!

Oh, jadi, ‘doing nothing’-nya tuh, doing nothing yang itu ya?

Can I?
Saya hampir menyempurnakan satu putaran yang membentuk perspektif lain. Empat jam saja, hanya sehari dalam setahun, yang biasa ke mana-mana naik motor cobalah jalan kaki. Yang betah menonton TV berjam-jam, coba TV-nya diganti dulu sama buku ya… Apakah kamu dapatkan manfaat yang lebih besar?

Kampanye ini mungkin bermakna lebih dalam dari sekedar menyuruh orang jadi pendiam selama 4 jam. Apalah artinya 4 jam dalam sehari? Yang kita semua—para penghuni bumi—butuhkan adalah kesadaran akan penghematan energi setiap hari! Dan itu dimulai dari 4 jam sehari. Tidak usah menunggu sampai 21 Maret 2011 untuk memulainya kan?


Jalan-jalan ke TN Tanjung Puting via perpustakaan kota

Terkesan dengan pameran World Silent Day, saya bermaksud langsung menuliskan pengalaman batin saya tersebut di perpustakaan kota. Tak hanya itu, saya kepikiran juga untuk mengupayakan riset saya bisa dilangsungkan pula. Saya pun mengambil beberapa buku yang saya anggap terkait. Ada satu yang tidak. Yang malah langsung memikat saya untuk menamatkannya dalam waktu kurang lebih sejam sementara buku-buku lain tersingkir. “Gara-gara Si Munyuk!, Petualangan Buana dan Ema di TN Tanjung Puting” adalah judul buku tersebut.

Fiksi berwawasan lingkungan hidup, bukankah itu sesuatu yang amat keren? Setidaknya bagi saya yang berminat untuk menggeluti. Salah satu tujuan di balik pemarakkan fiksi macam demikian adalah mengajak pembacanya agar lebih peka pada lingkungan hidup tentu saja. Sebagai orang yang merasa berkepentingan dalam bidang ini (lacaklah di mana saya kuliah dan apa minat terbesar saya), novel yang ditujukan bagi kaum preteen ini sudah jadi incaran saya sejak lama.

Kehidupan Buana, tokoh utama, sangat imajinatif bagi saya. Apakah ia tinggal di rumah lolipop? Um, tidak. Apakah pelayannya adalah seorang peri? Bukan juga. Tapi memiliki seorang ayah yang kontributor tetap National Geographic lantas mendapat fasilitas keliling taman nasional-taman nasional di Indonesia dengan yacht selama setahun bersama keluarga adalah hal yang amat fantastis bagi saya. Wow, pingiiiiiin…!

Berkat pekerjaan sang ayah, Buana dan adik gembilnya, Ema, dapat bertamasya ke TN Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Banyak juga peneliti yang tinggal di sana karena kawasan tersebut merupakan pusat rehabilitasi orangutan. Sementara sang ayah—yang juga seorang doktor dalam bidang antropologi—meriset kehidupan suku Dayak bersama para peneliti, Buana dan Ema berkenalan dengan Buang. Di balik nama yang sepertinya asal kasih itu, memang konon Buang dibuang ibunya saat masih bayi sebelum kemudian diangkat anak oleh pamannya. Berkat si Buang inilah sebuah petualangan seru (berhadiah kehidupan di atas yacht selama setahun) bisa terjadi. Entah karena dikira anak orangutan atau memang layak jadi komoditas trafficking, Ema diculik. Upaya penyelamatannya dan peringkusan para penculik diisi oleh aksi kocak Bunda Alisha yang pengamat mode dan mantan peragawati, kekuatan mistis Awang yang menerbangkan satwa-satwa, hingga jampi-jampi ampuh peluruh lintah Pak Honai.

Memang tak semua anak dapat bernasib seberuntung Buana (hiks). Namun esensi petualangannya adalah petuah yang pasti berguna bagi siapa pun. Bahwa keberanian tak bisa dibeli. Keberanian hanya bisa didapat dengan mengalahkan ketakutan.

Novel ini berhasil semakin membuka cakrawala saya akan dunia konservasi. Meski saya sudah pernah mendapat materi terkait dalam ranah akademis, namun apa yang saya dapat itu jadi terasa lebih melekat dalam jiwa setelah saya (seolah-olah) mengalaminya—lewat sajian yang lebih soft dari poin-poin teori dalam slide. Ya fiksi ini. Feature bisa jadi berguna pula. Sebagaimana itu ada yang bilang bahwa the best way learning is by doing it (redaksi kalimatnya saya reka sendiri, jadi maaf saja kalau kurang tepat grammar-nya…). Sebagai mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, saya akan amat bahagia apabila dosen menyampaikan materi kuliah dengan fiksi semacam ini (:p). Meski memang pemahaman lewat rasa ini mungkin hanya berperan dalam pengembangan minat. Mungkin akan jadi kesulitan dan makan lebih banyak waktu jika semua pernyataan ilmiah harus dikemas dalam bentuk soft, padahal mereka selalu dibutuhkan sebagai landasan untuk menghasilkan solusi. Tapi tanpa adanya minat yang besar, pikiran bisa jadi mampet.

Namun jika memosisikan diri sebagai kalangan awam, pra remaja yang sedang menentukan cita-cita misalnya, saya kira novel ini bakal berhasil meningkatkan kepedulian saya akan isu lingkungan hidup.

Saya curiga novel ini akan ada kelanjutannya. Mungkin selanjutnya akan ada judul “Gara-gara Erupsi!—Petualangan Buana dan Ema di TN Gunung Merapi” atau judul-judul lain yang mengambil latar tempat di TN Ujung Kulon, TN Alas Purwo, hingga TN Raja Ampat. Namun mengingat sekitar empat tahun berselang sejak novel ini diterbitkan (2006) sepertinya belum ada novel berjudul sebagaimana dugaan saya itu, saya jadinya ingin konfirmasi sama pengarangnya, Mbak Amarellia Permata Sari, atau mungkin juga ke penerbitnya, PT Gramedia Pustaka Utama.


Pertunjukan sudah dimulai sejak di pintu masuk

Pukul tiga menjelang petang, saya dan Ayunina bertolak dengan menaiki bis jalur dua. Kami langsung menuju Taman Budaya Yogyakarta (TBY) untuk memastikan tiket bisa dibeli sebelum pertunjukan. Ternyata bisa! Kejutan bagi kami karena gedung yang dijadikan tempat pergelaran begitu meriah. Tak seperti pada Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) akhir Desember 2010 kemarin yang tampak begitu suram, kali ini ranah visual kami disambut warna-warni. Pelataran dipenuhi banyak anak kecil. Di luar pintu masuk, sayap kanan adalah ticket box dan display barang-barang untuk dijual sedang di sayap kiri ada band, kafe berkedok angkringan, dan beberapa tempat duduk. Kaget juga kami, karena layaknya hendak menonton di XXI, tempat duduk untuk menonton teater nanti juga dinomori! Bagian tengah sudah penuh dengan tanda silang. Kami memilih sisi kiri. J 4 dan J5. Selain tiket, masing-masing kami mendapat sebuah leaflet berisi penjelasan mengenai Jogja Broadway, sebuah angket terkait untuk diisi setelah menonton pertunjukan, dan dua buah stiker sederhana.

Jogja Broadway sendiri adalah pertunjukan teater yang dibawakan oleh Garasi Enterprise. Rencananya, acara ini akan dihelat setiap musim liburan sebagai bagian dari promosi wisata Jogja. Untuk musim pertama, judul yang ditampilkan adalah “Pangeran Bintang dan Putri Embun”. Acara ini sudah dimulai dari tanggal 6 dan akan berakhir tanggal 16. Dan setelah mengetahui betapa “wah”-nya pertunjukan ini kemudian, saya bertanya-tanya apakah para pemainnya tidak bosan dan capek harus seperti itu terus selama sepuluh hari berturut-turut? Salutlah. Ini baru namanya totalitas.

Setelah mendapat tiket, kami bergegas ke Taman Pintar. Sementara saya solat ashar di musolanya, Ayunina duduk di teras sambil makan bapao dua biji. Saya juga dibelikannya. Saya pilih rasa kacang hijau meski warnanya di dalam bapao, tak di Bandung tak di Jogja, sama hitam. Saya menemani Ayunina ke Shopping sebentar sebab ia hendak cari buku Farmasi. Sebelum jam empat kami telah kembali ke TBY. Di gedung yang paling besar terdapat pameran juga rupanya. “Paper & Ugo” atau “Kertas & Ugo” ya? Ugoran Prasad? Ugo yang penulis cerita horor dengan Ugo yang ini ternyata beda. Ugo yang karya-karyanya dipamerankan di sini adalah Ugo Untoro. Kalau tak salah ia pernah tampil dalam rubrik SOSOK di KOMPAS. Kalau tak salah ia seniman yang suka membuat karya tentang kuda. Hm, ini akan saya singgung lagi nanti.

Sembari menunggu pintu masuk ke ruang gelap dibuka, saya dan Ayunina bergabung dalam keramaian. Kami melihat-lihat para benda lucu bersemangat D. I. Y.. Biar D. I. Y. tapi dihargai tinggi. “Siapa yang mau beli ya?” celetuk Ayunina. Saya tertarik pada buku-buku tebal yang ditaruh di dalam tubuh kuda nil biru mangap. Sampulnya boleh penuh kreasi, meski kualitas cetakannya pas-pasan, tapi harganya bikin tak berminat untuk memasukkannya dalam ransel. Kalau gratis sih mau, hahaha. Sempat satu buku saya ambil. Untung dilapis plastik yang bisa dibuka. Saya intip isinya. Oh, komik. Saya jadi dijalari pikiran untuk melakukan hal yang sama terhadap karya-karya saya, apapun itu. Layout sendiri. Kreasikan sendiri. Cetak sendiri. Sebar lewat event-event macam begini. Gratis atau murah. Yang penting apresiasi dan manfaatnya sampai! Idealisme, oh, idealisme…

Pertunjukan harusnya dimulai pukul empat. Sampai tujuh menit lewat dari itu, saya masih santai menyantap bapao di luar. Sebelumnya berfoto ria. Lalu entah apa yang mendorong kami masuk. Beruntung kami ada di barisan terdepan karena orang-orang aneh mulai berkeliaran! Ya, mereka seperti makhluk dari dunia lain—didukung backsound yang diatur seorang mas-mas di depan sana. Pakaian mereka begitu semarak dan aneh. Ada yang pakai ember di depan mulut, sapu di kepala dan di bokong, rok biru, lalu meringkik seperti kuda. Ada sepasang mas-mbak dengan dandanan kakek-nenek yang menggendong meja-kursi dan kejar-kejaran dengan anjing-anjingan. Ada bencong dengan jemari ditempeli sendok, pundak dikitari piring, dan bajunya dari taplak meja. Holala… Merekakah para bintang yang akan kami saksikan nanti? Luar biasa… Para calon penonton kompak membentuk panggung agar para lakon itu dapat menciptakan dunia mereka. Mereka datang silih berganti. Saya sendiri dibuat bingung karena setiap mereka menampilkan lagak atraktif dengan ciri khas masing-masing. Wajan, ember, sapu, dan berbagai perangkat rumah tangga yang digantung di langit-langit—yang kalau Ayunina tak ngeh duluan saya juga tak akan ngeh—bergerak naik turun.

Rangkaian kursi-meja berhiaskan sendok-sendok plastik kecil—yang sempat kami pertanyakan apa maksud dari pajangan tersebut sebelum kehebohan ini terjadi—berjalan ditarik si kuda-kudaan dengan seorang wanita berkostum putih duduk di salah satu kursi. Bulan sabit besar di dahi wanita yang menyanyi tersebut. Ya, di luar pintu masuk inilah cerita berawal. Pangeran Bintang bertemu dengan Putri Embun. Mereka saling tertarik. Putri Embun berteman dengan si bencong sendok—tapi ini perkara lain. Muncul dua makhluk tinggi dengan rangka cangkir dan—saya lupa apa satunya lagi—setelah para makhluk ajaib itu berlalu. Mereka mempersilahkan kami masuk ke ruang gelap. Hore! Saatnya menyaksikan pertunjukan yang sesungguhnya.

Makhluk-makhluk ajaib itu ternyata telah menanti kami di ruang gelap. Mereka berkeliaran di antara bangku-bangku, menyambut para calon penonton yang mencari nomor bangku. Ada tambahan satu makhluk lagi. Sekujur tubuhnya di tempeli wajan dengan pinggiran berkerlap-kerlip. Dan ia suka berteriak. Dan saya ngeceng si Kakek Meja. Oh ya, ada satu makhluk baru lagi yang stay di panggung (dan ternyata masih ada beberapa tokoh baru lainnya), kali ini serba panci. Ampun deh.

Alkisah, Putri Embun hidup dengan penuh keceriaan bersama si bencong sendok, panci manusia aluminium, Kakek Meja, Nenek Kursi, dan tiang-jemuran-hidup di bawah nyanyian rembulan (iya, rembulannya nyanyi!). Pangeran Bintang sendiri tinggal dalam teko, sama tinggi dengan rembulan. Pangeran Bintang melihat Putri Embun di bawah. Ia turun lalu ikut menari bersama koloni Putri Embun. Sementara Pangeran Bintang kemudian mengajak Putri Embun menikmati indahnya pemandangan dari dalam teko, para teman Putri Embun membangun Negeri Cinta. “Kerja! Kerja! Mari kerja!” begitu nyanyi mereka. Para karakter membuat saya bingung dengan tingkah mereka yang begitu jumpalitan. Ah, coba tengok rembulan lagi apa. Kan tak mungkin ia begituan di atas sana, bisa rusak propertinya nanti. Oh, rupanya ia sedang makan apel. Baca buku. Bikin jus. Enak benar yang jadi rembulan itu.

Pangeran Bintang dan Putri Bulan turun kembali ke lantai panggung yang sudah jadi Negeri Cinta. Mereka main air. Ekspresi-ekspresi lebay penuh rasa jatuh cinta. Buat orang yang tak mengenal romansa macam saya lama-lama ini terasa memuakkan. Apalagi pada Putri Embun dengan ekspresinya yang seolah dunia berpusat pada dirinya saja. Oh, semoga di akhir ia tewas diuapkan matahari, diminum kucing, atau apa begitu.

Kedatangan monster wajan membuat saya bersyukur. Syukur ia menganggu Putri Embun. Ayo, takuti ia terus, buat ia lari ke luar panggung! Jempol buat jeritannya Putri Embun. Pangeran Bintang kebingungan jadinya. Monster wajan rupanya juga suka pada Putri Embun. Ia menculik cewek tersebut dan mengurungnya di suatu tempat di mana Putri Embun bisa asik mendengarkan musik. Sementara itu, kawan-kawan Putri Embun berusaha menyelamatkan Putri Embun. Panci manusia aluminiumlah akhirnya yang berhasil mengeluarkan Putri Embun dari tawanan, setelah sebelumnya menaklukan anak buah monster wajan. Pangeran Bintang muncul lagi. Saat memerhatikannya, saya jadi sadar bahwa ia memang mirip Aming. Pertarungan antara geng monster wajan dan Putri Embun cs kemudian tak terhindarkan. Gontok-gontokan, ye!

Akhir dari perseteruan ini dimudahkan oleh kehadiran seorang malaikat kecil yang punya remot ajaib. Dengan remotnya itu, ia me-rewind-forward-kan seenaknya pergerakan para karakter lain—kecuali rembulan yang sedang sama-sama menyaksikan. Singkat cerita, akhir cerita tak berakhir mengecewakan bagi saya. Pangeran Bintang dan Putri Embun akhirnya menemukan cinta sejatinya masing-masing. Seharusnya pertunjukan ini diberi judul “Putri Embun Bikin Panci Berkarat”.

Selain itu kehadiran sepasang ibu-anak di mana ibu itu selalu memarahi anaknya, anaknya menangis, mereka berkejaran dengan heboh (tapi saya suka adegan ini), dan lainnya, agak membingungkan juga. Entah apa maksudnya. Baru saya merasa bisa mengerti setelah baca leaflet. Ibu-anak ini diperankan oleh mereka yang berperan juga sebagai Nenek Kursi (tentu saja tanpa menggendong kursinya) dan si malaikat kecil (ya, tanpa celemek dan saringan menggantung terbalik di atas kepala). Begitulah dunia imajinasi.

Usai pertunjukan, Ayunina ingin berfoto bersama para pemain. Saya ikut saja. Kakek Meja dan Nenek Kursi amat terbuka ketika diminta berfoto bersama. Saya menyukai mereka! Si bencong sendok nampak lelah namun ia harus tetap heboh kala difoto dong. Kami juga berfoto bersama si malaikat kecil dan Mas Panci. Karena suasana terasa makin crowded saja, saya mengajak Ayunina lekas ke luar. Kurang minat rasanya hendak berfoto bersama lain pemain seperti Pangeran Bintang, rembulan, Putri Embun, orang-orang tinggi, dan lain-lain. Ah ya, si tiang jemuran yang di akhir penampilannya jadi vampir dan si kuda centil juga tak nampak. Saking ingin lekas ke luar bangunan, kami sampai lupa mengisi dan mengumpulkan angket.


Segalanya bermula dari kertas

Bangunan sebelah jauh lebih hening. Apalagi begitu masuk ke dalamnya. Kami dipamerkan berbagai coretan di atas berbagai macam kertas. Ada kertas bekas ketikan yang di-tipe-X, kertas notes, kertas buku gambar, kertas buku tulis, sampai kertas map. Yang tergurat di atas mereka bisa jadi bagai guratan seorang anak yang baru belajar menggunakan pensil maupun hasil tarian kuas yang tak semua orang menguasai. Kebanyakan sekedar sketsa. Ada yang sudah jadi komik. Sebagian saru. Beberapa merupakan karikatur satir. Diari grafis juga ada.

Seperti tak ada habisnya sisi demi sisi dinding yang belum saya telusuri. Kertas-kertas ini dideretkan menurut tahun penciptaannya, mulai dari tahun 80-an—kalau tak salah—hingga 2000-an. Lewat mereka, kita bisa menerka bagaimana proses kreatif yang telah dijalani oleh seorang seniman, Ugo Untoro. Setiap hari ia mencoret sesuatu di atas kertas—kertas apapun itu. Hasilnya ada yang bisa dinikmati, ada yang tidak, pokoknya torehkan sesuatu di atas kertas setiap hari! Tidak peduli bagaimana pun hasilnya nanti! Bermula dari kertas-kertas inilah, eksis seorang Ugo Untoro.

Pembelajaran ini bukan sesuatu yang baru bagi saya, saya kira. Namun cukup dapat mengingatkan saya akan makna sebuah proses kreatif. Bagi saya konteksnya mungkin ke dunia kepengarangan. Seperti Ugo, siapapun yang merasa pengarang seharusnya mengarang setiap hari—di mana saja, bagaimanapun hasilnya. Dan segalanya bermula dari kertas. Bahkan mungkin batu atau daun lontar.

Pada zaman sekarang mungkin ada yang tak bisa mengeluarkan kata kalau jemarinya tak menyentuh tuts kibor. Sungguh sayang jika proses kreatif harus tersendat hanya karena keterbatasan teknologi—seakan kita dikuasai olehnya: tanpa mereka, kita tak bisa menjadi. Memang ada apa dengan kertas bekas alas bapao? Bukankah J. K. Rowling, penulis tersohor itu, pernah menggurat kisah Harry Potter nan termahsyur di atas tisu gratisan dari kafe?

Satu hal yang saya sadari kala membaca “Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang” (editor: Pamusuk Eneste, KPG, 2009), proses kreatif itu memakan waktu panjang. Diperlukan ketekunan dalam menitinya. Proses kreatif adalah latar belakang di balik kemunculan karya. Jika kita tak menghargainya, bagaimana bisa karya yang terhasil dari itu cukup berharga untuk dihargai? Proses kreatif harus terus dipacu. Tak ada jaminan jika terhenti akan mudah untuk meletupkannya lagi. Hargai, luapkan, dan keterbatasan media sesungguhnya bukan suatu yang pantas dianggap sebagai penghalang.


***
Solat magrib di masjid samping TBY. Terombang-ambing selama sekitar 2 jam dari depan Benteng Vrederburg hingga Kentungan dalam Trans Jogja. Makan malam dengan lumpia dan setengah potong mendoan—pemberian teman kos. Mengetik ini hingga waktu tersisa 3 jam saja untuk istirahat sebelum persiapan survei KKN.


sumber gambar buku
argh, mengapa sebagian foto setelah diunggah jadi pada gepeng?! 

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain