I
Papa selalu bersemangat soal menulis. Mungkin karena ia
jurnalis. Waktu aku SD, atas dorongan Papa aku rajin mengirim puisi dan cerita
pengalamanku ke sebuah majalah anak-anak. Papa senang sekali kalau tulisanku
dimuat. Papa akan mengarsipkannya, atau kadang meminta Mama menyimpankan dulu
kalau ia belum sempat. Waktu aku SMP, aku sudah malas mengirimkan apapun.
Lagipula aku merasa majalah tersebut bukan segmenku lagi.
Sesekali Papa masih mendorongku untuk mengikuti lomba
tertentu, dan dengan senang hati memberikan jasa pengeditan. Tapi Papa editor
yang perfeksionis. Kali kesekian ia mengedit tulisanku, ia bilang aku tidak
mendapat kemajuan berarti. Penggunaan EyD salah melulu. Tema terlalu biasa. Apa
deh! Aku bisa mengerti Papa ingin aku jadi penulis yang baik. Tapi aku tidak
bisa terima ketika aku lama tidak berkarya, ia malah memantau kepenulisanku
dengan membaca buku harianku! Suatu hari aku temukan tulisanku di buku kecil
itu ditimpa oleh tulisan yang bukan milikku. Miring ke kanan dengan derajat kecuraman
tinggi—tulisan sipit, kalau kubilang—tapi sedikit lebih lebar dari punyaku.
Tulisan Papa. Pakai tinta merah lagi! Sontak aku lempar buku itu dan berhenti
menulis di sana.
Akupun beralih ke blog. Tapi di rumah tidak ada komputer yang
dapat kugunakan secara bebas, sehingga aku seringnya menebeng komputer di rumah
Tante, laptop Mama, atau laptop Papa.
Tapi kalau pakai laptop Papa, ia suka curi-curi lihat apa
yang kubuka.
“Blog isinya gambar doang.” Ada tulisan “Bisa Berani” di
pojok kiri halaman sebagaimana aku sering katakan pada orang-orang mengenai
pengertian namaku (padahal akupun asal saja)—Bibe kan Bisa Berani! Papa tahu itu.
“Ini tumblr, Pa, emang buat ngeakomodasi gambar. Enggak perlu
tulisan panjang-panjang, yang penting ngena. Generasi sekarang tuh cuman butuh
sedikit disepet kayak gini!” repetku tanpa kasih ia kesempatan menyela.
Tidak semua orang bisa seperti papaku yang bisa menulis
panjang-panjang secara rutin lalu mendapat banyak tanggapan—bahkan dari
orang-orang yang sesungguhnya tidak dikenal. Blog papaku memuakkan.
“Cuma reblog-reblog
gitu, ngambil dari punya orang kan? Kreatiflah. Bikin gambar sama tulisan
sendiri. Nulis kok dikit-dikit. Minimal 2500 kata per hari, gitu.”
Lalu ia mengusirku karena hendak mengerjakan tugasnya.
“Gimana mau nulis banyak-banyak kalau laptop aja enggak
punya? Kapan aku punya laptop sendiri? HP aja masih butut gitu. Enggak pernah
naik mobil punya sendiri…”
“Ya entar. Bangun rumah yang ada garasinya dulu. Rumah di
gang, mau punya mobil gimana…” gerutunya pelan. Dan di akhir cerita aku akan
kena azab karena telah merongrong orangtua yang tidak memberiku kemudahan
duniawi. “Dibeliin laptop tahunya cuman buat hiburan.”
Jelas tidak. Maraton Running
Man itu jelas bukan sekadar hiburan, tapi juga membuka wawasan mengenai
perikehidupan masyarakat Korea.
“Ya udah. Selamanya aku enggak punya kesempatan nulis
banyak-banyak.”
“Maunya laptop kayak gimana?”
“Enggak mau yang second.”
Kusebut merek yang terkenal akan kemahalannya.
“Kamu ini,” Papa berdecak. “Yang dilihat tuh kualitas, bukan
harganya.”
Sepertinya Papa memang sudah berniat membelikanku. Ia hanya
ingin mengujiku. Aku dapatkan benda merah tipis itu di meja kamarku beberapa
hari kemudian. Charger-nya,
tasnya—semua perangkatnya terbitkan girangku. Yang paling kuharapkan adalah
kapasitasnya sanggup menampung koleksi hiburanku yang selama ini tersimpan di
laptop Mama. Mereknya memang tidak seperti yang kudambakan, tapi konon yang ini
juga lumayan. Merek sejuta umat. Tapi bukan Papa kalau memberi barang tidak
menyertai catatan.
Bibe,
putri Papa,
Papa
ambil lagi notebook ini kalau
nanti terbukti Bibe malah tidak rajin menulis.
Ttd.
Papa
Lalu ketika membaca isi beberapa carik kertas yang menempel
di pintu kulkas, aku jadi sebal dengan kesungguhan Papa dalam menggugah
kepenulisanku lagi. Semua tentang informasi lomba menulis. Sesaat aku
tercenung. Menulis fiksi dan nonfiksi sama saja buatku—menyusahkan! Aku akan
bikin memoar saja, sepertinya gampang, supaya Papa tahu kalau hidupku bukan
sekadar gambar dengan satu-dua kalimat menyentak.
II
Jadi kupikir menulis memoar itu gampang. Tinggal mengenang
masa lalu sembari menuliskannya. Tapi aku terlalu sibuk jalan sama Om Yan, dan
mengurusi kehamilan tanteku tentunya.
Aku bukannya melupakannya sama sekali sih. Aku ingat sewaktu
berburu buku-buku kehamilan untuk tanteku, di ruangan berisi koleksi buku Mama
dan Papa. Tidak sengaja aku menemukan buku harian Mama. Kertasnya sudah
menguning. Sekilas kupindai tanggalannya—mencakup tahun sebelum tahun
kelahiranku hingga beberapa tahun setelahnya. Ini bisa jadi bahan berharga
untuk memulai memoarku. Kubuka lagi secara acak hingga mataku terisap tepat
pada kalimat: Malam-malam menyusahkan itu
akhirnya menghasilkan sesuatu. Kulempar buku itu. Aku tidak tahu. Tiba-tiba
aku merinding saja.
Aku berhasil lupakan kalimat misterius itu sampai bertemu
Mama secara langsung. Iseng aku mengatakannya, “Ma, Bibe kan mau bikin memoar.
Pinjam diary Mama ya.”
Mama mengulurkan telapak tangannya. “Tukar sama punyanya
Bibe.”
Ha! Tidak usah ya. Aku tahu di mana menyimpannya.
Tapi karena aku masih takut kalau-kalau menemukan lebih
banyak kalimat horor, aku coba tanyakan pertama-tama pada Tante yang adik
mamaku itu, jawabnya, “Enggak tahu ya. Waktu Bibe lahir Tante kan enggak di
sini (Tante waktu itu memang sedang studi di luar negeri hingga bertemu
suaminya kini—Bb.), lalu pada Om yang adik kelas mamaku waktu SMA itu, jawabnya
sungguh di luar dugaan karena bibirnya yang biasanya tersenyum lebar itu malah
mengatup horizontal sedang matanya yang besar menyorotku dalam-dalam. Oh ayolah
ayolah ayolah—pintaku dengan tatap memelas. Iapun takluk dan menjawab penuh
pengertian, “Tanya sama Mama aja ya.” Tidak mungkin…! Aku terus mendesaknya
tapi ia membungkamku dengan sebaskom Baskin Robbins.
Malah Tante kemudian bilang kalau aku tidak seharusnya
dekat-dekat Om Yan lagi. Kukatakan kalau omku yang menawan itu bukan sejenis
penyamun anak perawan seperti yang tanteku baca di novel-novel picisan. Ia
pulang ke Indonesia untuk mendekati mantan pacarnya yang sudah janda. Ia jarang
menyentuhku, hanya sekali mengecup pipiku sebelum aku keluar dari mobilnya dan
menuju rumah. Dengan entengnya Tante bilang, “Kita enggak tahu seberapa besar
orang punya hasrat seksual, Bibe,” dan terus mengulanginya. “Has-rat sek-su-al.
Seks! Kalau enggak ada itu, adikmu enggak jadi,” sambil menunjuk perutnya yang
gembung.
Papa lebih tidak senang lagi tahu aku sering jalan bareng Om
Yan. Menyindir-nyindir terus. “Habis main sama papamu itu ya,” atau, “Kok
enggak pergi sama papamu itu?”, dan sebagainya.
Kupikir Mama akan membelaku—atau minimal temannya yang entah
kenapa masih melajang itu. Memang begitu. Tapi yang Mama lakukan sebenarnya
hanya menyinggung Papa yang dulu pernah tertarik juga sama pacarnya Om Yan.
Aduh. Tahu deh.
Bagaimanapun persoalan tentang Om Yan reda dengan sendirinya,
apalagi ketika Tante melahirkan. Rumah kami seolah-olah pindah ke rumah Tante. Melihat
bagaimana kedua orangtuaku berebut menimang bayi Tante, aku jadi makin heran
kenapa mereka tidak membuat bayi mereka sendiri saja. Jadinya kan aku tidak
perlu menanti-nantikan adik selama ini. Kami semua semringah menyambut
kedatangan anggota baru dalam keluarga. Kecuali Tante. Ada yang bilang kalau
Tante mungkin mengalami baby blues.
Apalagi ini kelahirannya yang pertama, yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya—sebetulnya.
Kubuka
pintu kamar Tante. Ia duduk di kasur. AC menyembur-nyembur hawa dingin ke seantero ruangan
temaram itu. Cahaya hanya berasal
dari lampu berdiri di sudut. Kurangkul Tante, namun ia menepisnya. Kedua belah tangannya menutup wajah. Punggungnya
naik-turun. Akupun mengambil sedikit jarak darinya
namun terus memandanginya. Isaknya mengencang, mereda. Sisa-sisa air mata diusapnya, namun bibirnya masih
bergetar. “Tante… Tante mau
cerita?” tanyaku lembut.
Suaminya
mungkin akan lebih bisa mengendalikannya. Tapi Om Pir di
Azerbaijan—cutinya sudah habis dan pada waktu ia mesti kembali ke sana Tante menyampaikan
keyakinannya bisa mengatasi semuanya sendiri. Ia menghela napas berkali-kali
sebelum menanyakan bayinya. Aku
bilang Kiran sedang bersama Kakek.Ia tidak
segera merespons. Matanya lara, tapi sorotnya kosong. Ia tarik napas dalam-dalam ketika sengguknya menyergap. “Anak
itu bakal mirip sama mamanya, Bibe.”
“Iya, Tante.”
“…dia… bakal jadi… manusia individualis,
egois…”
Bukan itu maksudku!
“…beban…” Suara Tante As tenggelam, lalu
muncul lagi dengan intonasi lebih rendah. “Gimana kalau mamanya enggak bisa ngebesarin dia dengan baik?”
“Bisa, Tante.”
“…dia bakal tumbuh jadi anak yang benci
sama mamanya, benci sama dirinya sendiri…”
Tante As mengusap lagi matanya, mencebik
berkali-kali.
“Tante… Jangan ngeramalin yang
enggak-enggak… Itu cuman pikiran Tante aja…” Tubuhku condong lagi padanya.
Pelan-pelan ia mengendalikan napas.
Tidak lagi kelepasan isak, ujarnya, “Itu bukan cuman pikiran… Kenyataannya seperti itu Bibe, aku sama
kakakku… seperti itu.”
III
Aku mengatakannya pada kesempatan berdua dengan Papa di
restoran—di sela-sela jam kerjanya. “Buat ultah Papa entar, aku pingin ngasih
Papa sesuatu, tapi Papa harus ngembaliin lagi yang udah aku kasih itu pas ulang
tahunku… Maksud aku, editannya.” Ulang tahunku sepuluh hari setelah ulang
tahunnya. Jika ia biasa mengedit sekian tulisan dalam semalam, mestinya ia bisa
mengedit memoarku dalam sepuluh hari.
“Memoar ya?”
“Dikasih tahu Mama ya?” Padahal waktu itu aku mengatakannya
pada Mama dengan nada bercanda. “Bibe kan anak hebat. Orang hebat harus punya
memoar.” Papa berdecak lalu menyendokkan banyak-banyak sambal ke piringnya. “Aku
mau coba nulis pakai bahasa Inggris,” imbuhku.
“Bahasa Indonesiamu dibenerin dulu…”
“Bahasa buat memoarku entar bakal beda sama bahasa di buku
harianku, Paa…” Dan jangan suruh aku mengingat isi Sumpah Pemuda. “Kalau aku
bikin memoar, Papa enggak perlu baca-baca buku harianku lagi.”
Papa menghela napas. “Udah sampai mana nulisnya?”
“Riset, seratus-duapuluhan kata,” dan itu adalah prakata.
Membaca pandangan Papa, aku menyengir.
Dari sekian banyak tulisan yang telah Papa hasilkan, aku
yakin tidak satupun berupa memoar. Papa pasti tidak pernah mengoyak-ngoyak
batinnya sendiri, apalagi membaca buku harian Mama (habisnya tidak ada
coret-coretannya di sana sebagaimana pada buku harianku). Sebetulnya berat juga
bagiku membaca buku itu walau bukannya aku tidak mencobanya lagi. Aku sempat
baca catatan obrolan Mama dan Om Yan, hampir duapuluh tahun lalu. Aku jadi
mengerti betapa tengilnya om itu dulu. Mengorek-ngorek rahasia ranjang lalu
tercengang dengan jawaban Mama yang, “Enggak ada.” Selain karena kesibukan
suaminya bertualang ke daerah-daerah konflik dan bencana, huf… perasaanku kalau
ada “sesuatu” dalam hubungan mereka seakan terkuatkan. Sekarang kukira aku bisa
membaca arti tatapan Om Yan padaku waktu itu. Prihatin. Bagaimanapun pembacaan
itu tidak kulanjutkan. Begitu sampai pada catatan berisi saran-saran dari Om
Yan, aku menutupnya karena risi.
Kalau kuingat momen-momen yang kulalui bersama orangtuaku di
masa kecil, kini aku sadar apa yang tidak utuh. Hujan-hujanan sama Mama. Tidak
ada Papa. Mengerjakan PR sama Mama. Tidak ada Papa. Bergandengan tangan saat
pulang dari sekolah dan macam-macam les sama Mama. Tidak ada Papa. Lalu Papa
pulang dari penugasannya di luar kota, kadang luar negeri. Menjelajah kota
pakai motor sama Papa. Tidak ada Mama. Main ke rumah saudara dan kenalan Papa.
Tidak ada Mama. Balapan renang sama Papa. Tidak ada Mama. Memang Mama jarang
mau diajak. Tapi bukannya kami tidak pernah bertiga sama sekali. Tapi aku hanya
ingat momen di kebun binatang dan Dago Pakar—yang terputus karena Papa
tahu-tahu mendapat panggilan. Lalu ketika malam tiba, aku tidur di antara Papa
dan Mama. Kadang Papa tidur sendiri di kamar sebelah, sementara Mama bersamaku
di kamarku. Atau Mama di kamar sebelah, Papa di sofa. Atau Papa di kamar
sebelah, Mama di sofa. Ada apa sih dengan mereka!? Sekarang agak berkurang
keherananku kenapa aku tidak punya adik dari mereka, berganti keheranan kenapa
aku bisa sampai ada.
Hei!
Fokus! Kamu harusnya menulis memoar! Tapi belum menulis saja
mukaku sudah berkerut-kerut dan panas. Kalau aku menuliskannya betulan, mungkin
aku bakal menangis. Menulis membuatmu berpikir melalui perenungan hingga sampai
ke hatimu. Menulis memerihkan hatimu.
Kalau saja aku tidak berpikir untuk menulis memoar. Aku
mungkin tidak akan sampai pada pikiran untuk… untuk… aku teringat oleh-oleh dari
temanku yang baru berlibur di Dieng. Apa ya itu namanya—yang katanya viagra
dari Jawa?
IV
Malam pergantian umur kulalui dalam sepi di rumah. Papa
ditugaskan keluar kota sedang Mama sepertinya belum selesai meliput. Hanya Om
Yan yang menemaniku, itupun lewat Skype. Kuhentikan obrolan dengannya ketika
Papa menelepon. “Belum tidur, Bibe?”
“Belum. Masih nunggu dibeliin motor.”
Papa terkekeh. Lalu katanya, “Masih dicorat-coret ini. Yang
utuh prakatanya doang, Be?” Ganti aku yang terkekeh-kekeh. Satu dari enampuluh
tujuh halaman. Kuakui, memoarku itu memang belum utuh. Mungkin butuh puluhan tahun
lagi untuk menyelesaikannya. Papa bacakan prakata buatanku untuknya.
Aku
ingin tahu apa Papa pernah baca Dunia Sophie. Seandainya novel itu adalah hadiah buatan
Papa untukku, dan bukannya hadiah buatan siapa itu untuk anaknya, aku ingin
membuat karya balasan yang tidak kalah menakjubkan. Tapi kemudian aku pikir
lagi kalau yang Papa butuhkan bukan lagi pelajaran filsafat atau ucapan selamat
ulang tahun yang bertebaran di mana-mana dan sesuai selera Papa, dibawakan para
tokoh politik dunia—bukannya para tokoh Disney. Maka aku hanya akan membuat
sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku ingin bagi. Sayang sekali, sebagaimana Papa
selalu menulis untuk kebutuhan orang banyak, maka aku menulis ini bukan hanya
untuk Papa. Aku juga ingin belajar menulis bagi orang banyak. Semoga aku bisa
menulis sebaik Papa. Aku mohon Papa sudi mengoreksi.
Papa bilang ia sudah menyiapkan hadiah lain sebagai
pengganti. Aku disuruh mencarinya sendiri di kamar, di sekitar lemari. Aku nyalakan lampu kamar
ruangan itu, menuju lemari, dan mengobrak-abrik isinya. Di laci, aku temukan plastik putih. Ada kotak di dalamnya. Bon yang
menyertai kotak tersebut
menunjukkan pembelian dilakukan tiga hari lalu. Isinya testpack. Dua garis merah tertera di sana.
Aku tidak tahu apakah ini memang berkat percobaanku kapan
itu, membuatkan mereka purwaceng—kopi Dieng yang katanya berkhasiat khusus
itu—lalu meninggalkan mereka dan menginap di rumah teman, ataukah…
“Masih di sana Be?” tegur Papa.
“Ma—masih Pa. Udah ketemu hadiahnya…”
“Gimana?”
“Positif, Pa.”
“Apanya yang positif? Coba dipakai
dulu!”
Yang benar saja—pasti
bukan ini yang dimaksud Papa!
Buntalan berisi hadiah itu kemudian menjatuhiku begitu aku
menutup lemari. Aku tersipu-sipu begitu mengetahui isinya. Kuucapkan terima
kasih sekali lagi pada Papa. Kukenakan pemberian Papa itu sambil mematut-matut
penampilanku di cermin. Tapi terhibur oleh penampilanku sendiri bukan berarti
kegundahanku pudar.
Aku bukannya tidak ingin adik
lagi—apalagi dari orangtuaku sendiri. Aku tidak ingin meragukan kekuatan Mama,
tapi tahun ini usianya empatpuluh tiga tahun.
Sudah rawan untuk melahirkan. Aku ingin mamaku hidup sampai renta dan merasakan
nikmatnya merawat anak-anakku—cucu-cucunya—kelak.
Suara-suara yang muncul di depan rumah
menandakan kepulangan Mama. Salamnya mengalun. Doa pertama untukku hari ini. Pintu tidak aku kunci,
namun aku tetap ingin menyongsong
Mama.
“Selamat ulang tahun Bibe!” kata Mama
begitu wajah kami bertemu. Ah… Perut sudah berisi, masih pulang selarut ini.
Bandel. Tapi aku sudah
berpengalaman menangani yang semacam mamaku sebelumnya. Kali ini aku akan memperlakukannya dengan
lebih baik.
Akupun memeluknya. Dan kukatakan, “Enggak, Ma. Seharusnya aku yang ngasih
selamat ke Mama, atas perjuangan Mama sembilanbelas tahun lalu supaya aku bisa
lahir ke dunia ini.” Pelukanku makin
erat. Aku merasa nyaman
sekali saat perut kami bersentuhan. Perutnya yang mulai buncit.[]