Selasa, 28 Januari 2014

Hadiah kecil yang ditulis seseorang untukku


Aku Hanya Tidak Ingin Menulis
으로






"Aku hanya tidak ingin menulis," kataku padamu ketika kamu bertanya kenapa aku berhenti merangkai kata-kata.

"Lalu kamu ingin apa?" ada sinar di matamu yang mengatakan aku akan mati jika tidak menulis, meski aku sudah punya satu rumah, satu mobil, dan uang di bank yang tak akan habis seumur hidupku yang aku dapat dari menulis.

"Aku ingin seperti teman-temanku yang lain, berpacaran, bekerja mencari uang, lalu menikah dan punya anak."

Dulu saat mereka pergi bersama pacarnya di hari minggu, aku malah mengurung diri di perpustakaan yang pengap dengan aroma harum buku, meniti setiap kata yang tercetak di kertas. Saat teman-temanku bekerja mencari uang, aku malah berusaha menghidupkan kata-kata dalam sebentuk paragraf dalam kamar tak tersentuh sosiawan. Sekarang teman-temanku telah menikah, sebagian sudah punya anak, aku malah terjebak di rumah mewah bersamamu, perempuan yang satu tahun lebih dewasa dariku dan selalu merawatku.

"Kapan kamu berhubungan lagi dengan mereka?"

Sejenak aku ingat, aku tidak pernah lagi kontak dengan teman-temanku setelah lulus SMA. Saat itu pun aku mengurung diri di sebuah kosan dan mulai melakukan eksperimen menghidupkan kata-kata. Lalu tanpa sengaja, tulisanku ditemukan olehmu, seorang mahasiswi baru semester empat yang pindah ke ruang sebelah sebulan sebelumnya. Kemudian kamu berinisiatif mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak dan penerbit, sehingga royalti yang aku dapat bisa kembali menyokong kehidupanku yang hampir disentuh tangan malaikat maut. Sekarang tangan tak kasat mata dan tak tahu datangnya itu, terasa sangat jauh dariku, begitu pun dengan Tuhan.

Aku masih ingat saat pertama kali aku keluar dari sarangku, setelah lama berkubang dalam ruang operasi kata. Saat itu aku pergi untuk mengucapkan selamat atas kelulusanmu, mengambil fotomu ketika rektor memindahkan tali yang terpasang di topi togamu. Lalu kamu membawaku ke sebuah rumah mewah yang hanya bertetangga dengan dedaunan, batang pohon, dan hewan kecil yang biasanya berbunyi saat malam mulai memekat.

"Ini hasil tulisan-tulisanmu selama ini," katamu dengan wajah ceria, lebih ceria dari pada saat kamu wisuda. Lalu kamu membawaku ke setiap sudut rumah, memilihkan kamar di lantai dua yang mewah, sementara kamu memilih kamar yang lebih kecil di bawah.


"Kamu tahu, banyak yang menunggu seri novelmu," nadamu yang mengandung kekesalan membuatku terdampar lagi ke masa kini, masa di mana aku hanya tidak ingin menulis. "Coba pikirkan betapa besarnya harapan mereka untuk kembali membaca tulisan-tulisanmu," tanganmu yang menyentuh seprai tempat tidur mengenggam erat.

"Aku tidak peduli," aku hanya menulis untuk kesenanganku sendiri, meski aku pernah hampir mati karenanya, dan saat itu kamu menolongku kan? Sekarang saat aku ingin berhenti menulis karena bosan, kamu menuduhku melakukan kejahatan. Memenggal harapan banyak orang?

"Kamu bilang tadi ingin pacaran," kamu angkat lagi hal ihwal yang menjerumus ke arah perilaku kebinatangan itu, selayaknya perempuan yang selalu membahas hal yang sama dan tidak pernah bosan melakukannya. Tetapi apakah kamu lupa, aku laki-laki, yang menganggap hal itu sudah selesai di awal pembicaraan. "Kita pacaran saja, itu mudah."

"Tetapi pacaran itu butuh cinta, seperti yang dikatakan teman-temanku."

"Cinta?" kamu menggunakan nada cemooh saat mengatakan kata itu, seakan kata itu sangat menjijikkan saat dikatakan oleh seorang laki-laki. "Kamu tahu, saat pria bilang cinta pada seorang wanita, itu bisa diartikan dia ingin bercinta dengan wanita itu. Sementara saat wanita bilang cinta pada pria, artinya wanita itu memang ingin dicintai oleh pria itu."

Kamu tidak menatapku saat mengatakan itu, membuatku berpikir kalimatmu itu hasil dari kehidupanmu yang tidak pernah aku tahu.

"Apakah kamu ingin bercinta denganku?" kamu katakan itu saat matamu kembali padaku, memberikan tantangan pada lawan jenismu.

"Tidak," bahkan berpikir pun tidak meski kita punyaku banyak waktu dan kesempatan untuk itu dari lima tahun lalu, saat dirimu sepenuhnya mendedikasikan tenaga dan pikiranmu untuk mengurusku.

Kamu perlahan berdiri, lalu melangkah ke depanku, membuatku harus memindahkan berat tubuh dari jendela kaca ke telapak kaki. Kamu menatapku beberapa saat sebelum akhirnya merentangkan tanganmu, lalu merengkuh tubuhku yang kurus ke dalam pelukanmu.

Aku hanya terdiam saat tanganmu semakin erat memelukku, embusan lembut nafasmu mendarat di bahuku, dan membiarkan tubuh hangatmu menggairahkan darahku yang hampir beku. Aku akan membiarkanmu melakukan apa pun padaku, asal kamu mengerti bahwa aku hanya tidak ingin menulis.


"Aku mencintaimu," katamu dengan suara lembut. Lalu perlahan kamu mengendurkan tanganmu, mengerakkan kepalamu ke belakang hingga aku bisa melihat matamu yang berkaca-kaca, pipi yang merah merona, serta bibir yang bergetar. "Aku mencintaimu."

Kemudian aku teringat dengan mata itu, mata yang selalu terlihat saat kamu menyiapkan makanan untukku, mata yang melihatku saat aku berpapasan denganmu, mata yang selalu berada di kursi duduk saat aku menulis, mata yang selalu perlihatkan saat menyuruhku tidur karena sudah larut malam, mata yang selalu terlihat olehku, mata yang selalu menatapku.

"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali aku membaca tulisanmu. Semakin banyak kamu menulis, semakin besar rasa cinta itu," mata berkaca-kaca itu melahirkan air bening yang meniti di pipi lembutmu. "Aku mohon, jangan berhenti menulis, agar aku punya alasan untuk terus mencintaimu."[]


" ... Di dalam masyarakat ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami aku?" (Watanabe pada Naoko dalam Norwegian Wood, halaman 209, pengarang Haruki Murakami penerjemah Jonjon Johana penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, cetakan keempat, Mei 2013)


Terima kasih, Elqi :)

Sabtu, 18 Januari 2014

Calon Potensial

“Kamu enggak perlu ngelakuin ini, Rey,” cetus Afi.

“Enggak apa-apa,” senyum Rey pada perempuan di sampingnya. “Kalau Afi bisa dapat calon suami potensial kan Om Yudi juga ikut senang.”

Bibir Afi balas melebar. Berkat papanya Afi, Rey mendapat pekerjaan di perusahaan yang ia idam-idamkan. Minggu depan tetangganya sejak kecil itu akan berangkat ke Jakarta untuk menjalani masa pelatihan.

Lagipula mereka sudah melaju dengan mobil yang Rey pinjam dari ayahnya. Sebentar kemudian kendaraan itu terantuk lagi. Satu dari sekian rayap yang merangkak di Jalan Suci pada Sabtu jelang siang.

Setelah tigaperempat jam meniti aspal sepanjang satu kilometer, mobil tersebut memasuki area parkir yang sudah padat kendaraan, di gedung yang dulunya dikelola PT Pos Indonesia namun kini telah berganti nama. Afi biarkan Rey saja yang mengisi buku tamu, lagipula ia tidak kenal sama sekali dengan kedua mempelai.

Rey bilang ini akan menjadi pernikahan sekaligus reuni SMA. SMA negeri yang cukup bonafide. Satu lulusannya kini menjabat walikota. Rey menekankan fakta tersebut seakan tiap lulusan dari bekas sekolahnya itu potensial untuk dijadikan partner mengarungi hidup hingga akhir masa.

Usai menyalami pengantin, Rey menggiring Afi ke sekumpulan lelaki yang tengah mengobrol. Sebetulnya sudah sedari mengantri ke pelaminan tadi, Rey dan teman-temannya itu bertukar tegur-sapa dari jauh. Segera Afi tenggelam dalam keriuhan khas lelaki, hingga Rey mendorong punggungnya.

“Kenalin nih. Afi.”

“Udah dapet pacar baru lagi lo.” Si teman menyambung dengan tawa.

Tawa Rey tidak kalah berderai. Belum lama ini Afi menemaninya ke NAV dalam rangka melantun tembang (kalau bukan meratap) “Someone Like You” dari Adele sebanyak 23 kali—jumlah bulan yang dijalani Rey bersama pacarnya sebelum si pacar memutuskan untuk menerima pinangan lelaki lain yang “lebih potensial” (kalau bukan “lebih mapan secara finansial dan emosional”). Afi sempat menyelipkan “Tenda Biru” dari Desi Ratnasari ke daftar lagu. Alih-alih menghargai selera humor Afi, Rey malah menghajarnya dengan bermililiter-mililiter cairan dari hidung dan mata di lengan baju. “Teman gue ini, bray.”

Rey mengenalkan Afi pada yang lain-lainnya di lingkaran itu. Sementara mereka berlima larut dalam obrolan, Afi mundur. Ia menyelinap di antara tamu-tamu lain hingga mencapai stan es krim. Ia ambil segelas, lalu beringsut ke pinggir. Ia pandang keramaian sementara segumpal demi segumpal es krim melumer di lidahnya, menebar sensasi dingin. Getarannya merembet ke sekujur tubuh. Afi tengah menghabiskan gelas kedua ketika tepukan berlabuh di bahunya.

“Hoi. Dicariin.” Rey merengut. Mendapati isi genggaman Afi, ia berlalu lagi. Sebentar kemudian ia kembali dengan penganan yang sama. Dengan sendok Afi menggaruk-garuk sisa es krim yang mencair di dasar gelas. Stroberi berbaur vanila. “Gimana temen-temen aku tadi. Oke kan?”

“Lumayan sih. Tapi…”

“Acung itu lulusan IPDN. Liat aja, ototnya gede. Calon pejabat negara tuh. Tenteram besok kamu jadi istri PNS. Cuman dulu pas SMA dia sempat ikut aliran fanatik apa gitu, jadinya dahinya item-item gitu. Tapi kayaknya sekarang udah biasa aja lagi.

“Kalau Gema dari Prasmul, Fi. Sebelum SMA di pesantren terus, dia. Sama babenya emang disiapin buat jadi entrepreneur alim gitu dari kecil. Jaminan dunia-akhiratlah. Motornya CBR, Fi. Bisa ngegayalah entar kamu sama dia mah, hahaha.

“Yang pakai behel si Bobi. Juragan sawit, Fi. Kerjanya jauh sih di Dumai. Tapi tiap berapa bulan sekali balik sini kok. Ya kudu kuat LDR sih. Tapi aku yakin kamu bisa, Fi. Baik lagi orangnya. Hobinya masak. Pokoknya empat sehat lima sempurnalah sama dia mah.

“Nah si Iman tuh yang ganteng itu loh. Tadi sempet lirik-lirik kan… hehehe… Ngaku! Ingat enggak dulu pas SMA ada majalah Grey? Dia pernah jadi modelnya. Finalis mojang-jajaka Bandung barat juga, dia. Tapi tadi katanya sih udah punya pacar.”

Rey tersentak ketika mendapati semangkuk pempek di tangan Afi. Kapan ambilnya?! Matanya menerobos kerumunan, melacak seberapa jauh stan pempek dari tempat mereka berpijak kini.

“Rey,” ujar Afi, “sebenarnya aku tuh enggak sreg sama cowok yang aku belum kenal dekat. Aku tuh sukanya sama yang udah akrab…”

“Iya kan. Kalau enggak kenal mana bisa akrab. Makanya tadi aku kenalin kalian. Kamunya malah kabur.”

“Aku malu.”

“Kamu mah malu terus. Kapan dapetnya?”

“Daripada kamu, malu-maluin.”

“Yang penting tuh kenal dulu. Kali aja ada yang nyantol sama kamu, Fi. Kalau udah tahu sama tahu kan gampang. Seterusnya aku bisa bantuin. Eh, itu si Riza. Ke sana yuk.”

Yang dimaksud Rey adalah lelaki berkulit gelap, bertubuh kekar, berambut cepak, dengan mata sebulat mata ikan dan senyum sedatar garis khatulistiwa. “Orangnya kayak gimana?” ucap Afi.

“Riza itu, Fi, dulunya atlet renang. Sekarang lagi ambil spesialis di kedokteran UNPAD apa ya? Aku enggak gitu dekat sih sama dia. Tapi enak diajak ngobrol kok orangnya. Yuk.” Namun tampaknya kapal selam dalam lautan cuka lebih menarik minat Afi ketimbang atlet renang yang dokter spesialis. Rey majukan sedikit bibir bawah, lalu kembali matanya berpendar. “Eh, itu si Sony. Atau kamu sukanya tipe si Sony? Dia juga pendiam orangnya, Fi. Menang terus olimpiade. Tapi aku enggak ngikutin lagi kabarnya di ITB. Dengar-dengar sih dia malah mangkir jadi wartawan majalah apa gitu. Kerenlah. Aku pernah baca tulisannya sekali, enggak ngerti.”

Kuping Afi tidak sungguh-sungguh terpasang. Perhatiannya tersita pada gerakan seorang perempuan beberapa meter di depan mereka. Timbul tenggelam di antara kepala orang-orang. Wajahnya semringah. Tangannya dadah-dadah. Ke arah Rey seakan-akan lelaki itu melihatnya juga. Perempuan itu makin dekat. Dekat. “Hei, Rey!”

“Rosi! Apa kabar?”

Kedua orang itu pun mengobrol. Satu orang lagi bergabung—lelaki berkacamata dengan senyum rikuh. Rosi melambai lagi entah pada siapa lalu minggat. Rey mengenalkan Afi pada Arul, Arul pada Afi. Sekilas Afi membaca tatapan Rey, lalu berpaling dan menyimak obrolan dua lelaki itu. Arul memang tampak simpatik. Tidak seperti teman-teman Rey lainnya yang asyik dalam nostalgia mereka saja, yang kali ini tidak meluputkan Afi walau hanya berupa lirikan. Hingga pembicaraan terseret ke arah pekerjaan. Rey merangkul bahu lelaki itu. “Antam nih. Juragan tambang.”

“Gede dong gajinya,” cetus Afi.

“Standar aja kok.” Arul tersenyum. Lalu pergi.

“Emang gede kan di Antam?” tanya kali ini ditujukan pada Rey.

“Mukanya jangan jutek dong.”

“Kalau mau reuni sama teman-teman kamu sok aja. Aku tungguin sambil cari makan lagi.”

“Jangan gitulah.”

“Kalau Rosi gimana?”

“Rosi… Jajannya banyak. Suka tekor gue. Enak sih dekat-dekat dia. Wangi. Tapi kalau dipeluk enggak enak, Fi. Lemaknya enggak ada. Lagian baru nikah juga kemarin.”

“Kalau yang batik biru itu kenal enggak?”

“Runi itu… Manis sih orangnya. Tapi otaku gitu. Kalau ngomong suka ada bahasa jepangnya, kan gue enggak ngerti. Sebetulnya enggak apa-apa sih belajar bahasa lain dikit-dikit. Cuman daripada dia mending si Ayu. Lesung pipinya itu, ih, gemes deh. Tuh yang bajunya merah. Dulu kita tuh hobi hunting DVD-nya Warkop di Kota Kembang. Tapi dia enggak bisa sama gue katanya, soalnya teman dia, si Nanu, senang juga sama gue. Cuman enggak bening ah. Enggak tahu mana Nanu, kayaknya enggak datang.”

Afi terus menunjuk-nunjuk sementara Rey celingukan mencari yang dimaksud.

“Itu Eka. Cantik ya. Kembangnya SMA gue tuh. Tapi pacarnya oon gitu. Cowok-cowok SMA gue pada berkabung ramai-ramai gitulah pas mereka jadian. Sekarang sih katanya mereka udah pisah. Si Eka udah tunangan sama orang Deplu atau gimana, stafnya menteri gitulah. Ica? Imut sih. Cuman kayaknya kurang suka perawatan gitu ah. Banyak bulunya, geli gue. Sasya? Enggak ah. Jerawatan. Fani… baik sih orangnya, suka bagi-bagi bekal pas istirahat. Tapi kasihan kalau sebelahan sama gue jadinya kayak angka sepuluh, hehe. Ani? Pacaran terus sama Arif dia mah. Lagian bukan tipe gue. Yang baju hijau? Enggak kenal gue. Tapi bening gitu ih hihihi, entar ah gue tanya sama si Bobi, kali aja kenal. Cariin lagi yang bening-bening, Fi.”

“Kalau Aoi Sora gimana?”

“Siapa?”

“Kapan itu pas aku pinjam laptop kamu…”

“Oh…! Hahahahahaha…”

“Nong Poy.”

Rey merenggut pelan lengan baju Afi. “Ayo kita fokus cari cowok buat kamu. Jangan di sini terus. Yang ngumpul di pinggir tuh cuman mbah-mbah sama anak kecil.”

“YOONAA?”

Afi bergeming. Ditatapnya Rey dalam-dalam. “Kalau aku? Menurut kamu gimana? Cocok enggak dijadiin pacar?”

Dengung dari arah panggung di samping pelaminan.

“Pacar—“

“PARA TAMU UNDANGAN DARI GRUP—“

Afi berdecak. Jelas-jelas Rey tidak akan dengar pacar siapa yang Afi maksud. Padahal hanya lelaki itu yang, tiap mendengar suaranya di luar rumah, selalu membuat Afi mengintip jendela—berharap dapat melihat sosok yang selalu akrab di hati sejak TK, SD, SMP, SMA… Tapi rupanya proksimitas saja tidak berarti.

“Tenang, Afi. Makanya hari ini kita cari cowok yang potensial buat kamu. Nanti malam masih ada satu undangan lagi kok.”

“Aku kurang cantik ya?”

Bagaimanapun ia menghindari mentari, memang sudah takdirnya berkulit sawo matang. Bagaimanapun ia mengoleskan krim perawatan wajah tiap malam, jerawat tetap tak tertaklukkan terutama saat datang tamu bulanan. Bagaimanapun ia mengatur asupan untuk perutnya, tubuhnya tetap tidak proporsional dengan lemak menggunduk di satu bagian dan tulang menonjol di bagian lain. Bagaimanapun ia mencukur rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya, malah akan tumbuh lagi dengan lebih gondrong. Dan sama sekali ia tidak punya lesung pipi! Kenapa para lelaki seakan tidak bisa menerima kenyataan kalau tubuh kebanyakan perempuan tidak seindah bintang-bintang video X1, X2, dan X3?!

“Kurang kenal cowok,” pungkas Rey dengan kalem. Diseretnya Afi ke tengah keramaian.[]

Rabu, 08 Januari 2014

Kerja

Tapi kerja belum usai!

Ia gurat sekutip puisi Chairil Anwar itu di sticky note, lalu menempelnya di layar komputer. Lalu mengembuskan napas.

Seraut wajah terbit di atas kepalanya. “Prim, buat lokakarya tanggal 23 itu tolong bikin daftar tamu undangannya ya. Sekalian urus juga tempat acara sama kateringnya. Seminggu!”

Kembali ia longok catatannya yang berisi daftar pekerjaan hingga tigabulanan ke depan. Sepagian itu ia sudah mengurutkannya berdasarkan besar-kecil, mendesak-tidak mendesak, berat-ringan… Tangannya yang menjepit pulpen berputar-putar di atas kertas sebelum menyempilkan beberapa kalimat di sebelah kiri.

Sekali lagi namanya dipanggil. Iapun menyeret langkah ke ruang rapat. Duduk di samping pak bos yang sedang presentasi; memastikan proyektor supaya baik jalannya.

Jam duabelas tiba. Habiskan duapuluh menit lebih lama di kafetaria. Kembali ke meja. Hingga dua jam ke depan berganti-ganti ditatapnya jam, jendela, dan kolega. Agenda tigabulanan terlupa. Lewat jam tiga satu per satu meja di ruangan ditinggal penghuninya. Ada juga yang sudah lowong sejak jam istirahat.

Paling enak jadi pegawai kantoran. Tiap bulan terima duit gajian[1]. Di komuter penggalan lirik tembang dangdut jaipongan itu terngiang-ngiang dalam kepala. Dua kali sehari. Sepuluh kali sepekan. Empatpuluh kali sebulan. Empat ratus delapanpuluh kali setahun. Serupa sembahyang. Mengingatkannya pada tujuan kenapa ia diciptakan. Orang bilang hidup itu untuk kerja.

Tapi mungkin juga karena ia kelewat polos untuk berwirausaha. Terlampau lembam untuk mempekerjakan diri sendiri. Dan terlalu miskin untuk menanam saham.

Salah. Kerja itu untuk hidup. Bukan hanya tiap bulan terima duit gajian, tapi kaupun anak berbakti dan kandidat mantu idaman.

Ia tiba di rumah bersamaan dengan ibunya yang baru membeli sebungkus pindang di warung. Demi Omeng. Kucing yang tahu-tahu melesat entah dari mana dan menggesek-gesekkan tubuh ke betis ibunya. “Belum makan ya? Kasihan…” Lalu ibunya menggoreng pindang itu, mencomot satu dan membaurkannya dengan nasi. Omeng makan dengan lahap. Lalu menjilat-jilat tubuhnya. Naik ke pangkuan ibunya. Bergelung dan mendengkur. Dielus-elus. “Kamu teh meuni lucu...” Ibunya rela bertahan lebih lama di depan TV hanya karena tidak tega membangunkan kucing itu. Malam, ia dengar nyanyian birahi kucing itu di atap. Ia menikmatinya seperti ia meresapi balada biduan yang patah hati. Erangan pilu berganti geraman satu ditimpa geraman lain. Sekiranya ia juga di sana, akan ia teriaki mereka. “Gelut! Gelut! Gelut!” Inginnya terkabul. Grudak gruduk grudak gruduk. Kunci pintu diputar. Ibunya keluar untuk melerai.

Subuh, ibunya menampar-nampar betisnya. Begitulah sejak ia SD.

Di komuter: Paling enak jadi pegawai kantoran. Tiap bulan terima duit gajian. Anak berbakti. Kandidat mantu idaman. Masih tigapuluhan tahun lagi menggapai tunjangan hari tua.

Agenda hari ini: Mengecek agenda pak bos; Memperbarui agendanya tigabulanan ke depan dan mengerjakan beberapa yang mendesak saja; Capcay dan es teh; Jam, jendela, dan kolega. Namun selalu ada tugas tidak ternyana. Sekali lagi namanya dipanggil. Iapun menyeret langkah, kali ini, ke ruang kepala bagian personalia.

Rikuh. Ia sapa pria yang menyambutnya dengan ramah itu. Ia duduki kursi busa berlapis kulit yang serta-merta memperdengarkan desis mengempis. Berpotensi timbulkan salah pengertian. Namun tampaknya bapak itu sudah terbiasa. Kalau memang sudah habis, ya habis sudah, pasrahnya. Ia siap mendengarkan laporan mengenai penurunan kinerjanya. “…mungkin Anda cuma perlu liburan…” Ia memang membutuhkan sedikit getaran dalam hidupnya “…jadi Anda terpilih untuk mengikuti program ini…” dan kini Tuhan menjawab pintanya. “…ini program baru…” Dengan perhatian berkalang kabut ia simak ceramah pak kepala mengenai perombakan dalam tubuh manajemen dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. “Kerjasama instansi kita dengan perusahaan penyedia layanan menjadi hewan. Anggap saja liburan. Ha ha ha!”

Ujung bibirnya berkedut. “Maaf. Bagaimana maksudnya, Pak? Menjadi hewan?”

“Betul! Ha ha ha. Zaman sekarang ini apa yang tidak mungkin? Orang bisa melakukan wisata bencana, wisata kemiskinan. Kenapa tidak dengan wisata menjadi hewan? Bukan! Bukan safari sama sekali! Ini buat orang-orang yang ingin merasakan hidup sebagai hewan.”

Bagaimanapun ia diminta mengurus segalanya sendiri. Maka siang itu, bersimpang arah dengan para ibu-ibu dari kantornya yang hendak ke mal, ia ikuti petunjuk dari kepala bagian personalia menuju kantor AnimalTransform Inc. Lokasinya di lantai empat sebuah gedung bertingkat tigabelas.

Keringat yang melengketi kulitnya tidak lagi terasa begitu ia masuki ruangan tersebut. Aroma kayu tusam rambati rongga hidungnya. Seorang petugas mempersilakannya duduk di kursi busa berlapis kain yang sama sekali tidak memperdengarkan desis mengempis, lalu menanyakan maksud kedatangannya. Saya pegawai… dari instansi… Petugas tersebut mengangguk-angguk.

Lalu sekali lagi ia dijelaskan mengenai layanan yang disediakan perusahaan tersebut namun dengan jauh lebih rinci. Teknologi mutakhir memungkinkan manusia untuk mengubah wujudnya menjadi hewan tertentu dan berkomunikasi ala mereka. Perusahaan itu telah bekerjasama dengan beberapa hewan sehingga manusia bisa menyelami kehidupan mereka selama jangka waktu tertentu. Semacam KKN kalau di perguruan tinggi. Sungguhpun demikian untuk mencegah penyalahgunaan, mereka tawarkan layanan ini tidak pada sembarang klien. Kehidupan selama menjadi hewan pun nantinya dibarengi dengan pengawasan tergantung kesepakatan. Petugas itu meyakinkan bahwa dasarnya layanan ini tidak berbahaya karena mereka telah melakukan seleksi ketat pada komunitas hewan yang akan menjadi induk semang. Keselamatan klien sedikit-banyak tergantung pada klien itu sendiri—apakah mau menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di komunitas yang akan ia masuki. Karena itu ada kontrak yang mesti dibicarakan.

Pikirnya, memang aturan dalam dunia hewan sekompleks apa sih. Mestinya tidak serumit birokrasi di kantor layanan publik kan ha ha ha. Sementara petugas itu menyiapkan berkas, matanya jelalatan. Terutama pada daftar hewan yang telah bekerjasama dengan perusahaan itu. Tinggal makan, tidur, birahi, dan tempur!

Petugas itu menyodorkan selembar formulir lalu menerangkan poin-poin di dalamnya, termasuk paket-paket apa saja yang bisa diambil. Jenis hewan yang dihendaki. Jumlah waktu yang diinginkan. Untuk jumlah waktu, kantornya telah menetapkan. Untuk jenis hewan, tentu saja ia ingin jadi… kucing!

Iapun mengisi formulir. Mulai menyadari sisi terang dari menjadi manusia zaman sekarang. Zaman yang telah berkembang begitu pesat hingga memungkinkan manusia menjadi makhluk yang tidak perlu lagi berpikir. Asyik, asyik, aku akan jadi hewan. Ganti petugas itu menekuni formulir yang telah diisi. Walau sebentar saja aku akan merasakan jadi kucing! Ia sudah tidak sabar merasakan belaian lembut pada rambutnya yang lebat, dan melantunkan erangan merdu berlanjut sensasi pertarungan tengah malam.

Petugas itu mengangkat pulpen dan mencoret pilihannya. “Instansi Anda sudah menetapkan paket khusus untuk pegawainya. Jadi maaf, yang bisa kami sediakan untuk Anda hanya…”

Seminggupun berlalu sejak ia tinggalkan kantor yang dapat mencemplungkan manusia ke dunia hewan itu. Sungutnya secara otomatis bergerak-gerak ketika disentuh sungut koleganya—ya, kata itu masih berlaku di sini, di dunia hewan ini. Ia sudah dua kali bolak-balik ke sarang untuk mengosongkan perut. Kini ia sudah kembali berada dalam barisan sepanjang duapuluh meter. Seseorang telah menumpahkan gula pasir di meja makan.

“Ada ulat sekarat di petak tigabelas,” ujar kolega yang barusan bersisih jalan dengannya. Perutnya gembung entah berisi sari madu atau sari bangkai. Diulanginya laporan itu setiap sungutnya bersua sungut lain. Terdengar sampai jauh, sampai sarang.

Tidak lama kemudian mendekatlah bola merah yang tampak lengket dengan iring-iringan hitam di bawahnya. “Panen raya nih,” teguran-teguran muncul. Mereka yang ditegur hanya menyahut dengan gumaman karena mulut mereka sibuk menjepit perolehan hari itu.

Sama sekali ia tidak menduga hidupnya sebagai hewan akan lebih teratur dan padat-karya. Jauh dari sekadar makan, tidur, birahi, dan tempur. Apalagi hidup sebagai hewan ini. Ini sih bukan liburan, ini penataran! Selama beberapa hari di sini ia telah belajar banyak soal organisasi ketimbang beberapa tahun di instansinya.

Terasa perutnya diketuk-ketuk oleh sungut di belakangnya. Wujud baru memungkinkan kepalanya untuk berputar ke segala arah. Tampak pendampingnya selama menjalani kehidupan baru ini mendengus. “Untuk ukuran semut kau ini kebanyakan bengong.”

“Kerja! Kerja! Kerja!” demikian barisan itu bertempik selama capit di mulut tak mencekal beban.[]



[1] Dialihbahasakan dari lagu “Oncom Garing” – Bungsu Bandung, aslinya dalam bahasa sunda: nu paling geunah jadi pagawe kantoran, mun saban bulan nerima duit gajian

Selasa, 07 Januari 2014

Ihsan dan Muhsin

Terusik Muhsin dari pekerjaannya karena ringkik kuda. Begitu lemah menggapai telinga. Ia letakkan pensilnya, mengencangkan lipatan sarungnya, lalu mengarah ke rumah sebelah.

Rumput di halaman itu telah menjelma semak, namun langkahnya terus menyibak. Sampailah jejaknya di satu istal kecil. Rusuk yang bertonjolan di sisi tubuh si kuda mengilukan hati. Ia sabit rumput beberapa bilah. Cukuplah untuk makanan Lumping sementara. Pandangnya lalu mengelilingi halaman nan lapang. Sarat dengan rumpun rambu. Sebuah rumah berdiri megah di tengah, tampak berhantu.

Ia hubungi Ihsan berkali-kali namun tak bersambung. Ia ketik saja pesan: Kudamu nyaris sekarat. Bambumu makin padat. Pagar rumahmu berkarat. Tidak juga berbalas.

Ia pun meminta tukang untuk membenahi sisa halaman sekaligus memberi Lumping makan. Ia sendiri tuntaskan dulu pekerjaannya menggambar kartun tentang dua bocah botak yang gemar mengoceh, “Benar! Benar! Benar!” Mengingatkannya akan kebersamaan dengan Ihsan.

Sekilas rupa mereka bak pinang dibelah dua. Banyak yang mengira mereka lahir dari satu rahim. Tapi orang tak pernah sungguh tahu bagaimana mereka bermula. Dalam asuhan panti mereka tumbuh bersahaja. Hidup rukun dalam naungan atap yang sama.

Baru kemudian ia kembali ke rumah orang yang dianggapnya saudara itu. Mencermati halaman yang sudah tampak rapi. Tepatnya pada bambu yang merimbun. Ia tepuk-tepuk tumbuhan itu dan merasakan kekokohannya. Berpaling ia karena dengusan Lumping.

***

Ihsan berbadan bongsor. Banyak tamu hendak mengambilnya. Mula-mula yang berebut Pak Pailul dan Bu Selena. Lalu kedatangan Tuan Badil singkirkan keduanya. Tuan nan gagah dan berkarisma. Disenang-senangkannya Ihsan hingga si bocah jatuh dalam pelukan. Ada pula Wak Irawan. Melihat Ihsan ia berpikir: Bocah ini berpotensi besar di masa depan! Tapi Tuan Badil kadung menggaet Ihsan. Wak Irawan pun beralih pada Muhsin dan berpikir: Hm… Anak ini pun tak apalah! Tak hanya Muhsin yang diangkat anak oleh Wak Irawan. Banyak lainnya. Semua disantuni Wak Irawan. Pikirnya: Semua anakku kelak harus makmur! Memang Wak Irawan dipandang berwibawa di lingkungannya.

Di rumah Tuan Badil keadaan berbeda. Mulut manis hanya di muka. Setelahnya Ihsan dipaksa kerjakan segala. Dari mulai memangkas rumput di halaman, menimba air di sumur belakang, membersihkan perabotan dan pajangan, sampai menyiapkan makanan bahkan ketika Tuan Badil menginginkannya pada tengah malam! Memang kemudian Tuan Badil, atas saran tetangga-tetangganya yang kasihan, menyadari kalau Ihsan perlu disekolahkan. Tapi ia tidak hendak begitu saja memberi bocah itu kebebasan! Baginya Ihsan hanya pemalas yang baru seabad lagi mampu menggapai kemandirian. Maka selama itu Tuan Badil akan selalu memberinya “bimbingan”.

Lalu datang Nyonya Jono yang mengklaim dirinya kerabat Ihsan. “Aku bibinya!” tegas Nyonya Jono begitu injakkan kaki di peristirahatan Tuan Badil. Tanpa sepada. Tanpa permisi. Tentu Tuan Badil tidak sudi serahkan Ihsan begitu saja. Hanya karena nyonya itu merasa miliki hubungan darah, bukan berarti ia paham Ihsan dengan sedalam-dalamnya. Namun masalah dengan kolega-kolega di kantor demikian menyibukkan Tuan Badil hingga sejenak perhatiannya berpaling dari rumah. Tahu-tahu Ihsan sudah dilarikan Nyonya Jono.

Malang Ihsan. Nyonya Jono sudah mengincarnya sejak lama. Selama ini nyonya itu iri mengetahui bagaimana Tuan Badil memperlakukan Ihsan. Ingin juga ia manfaatkan tenaga anak itu. Apalagi usia tua telah melemahkan badan Nyonya Jono hingga tak sanggup kerjakan ladangnya sendiri. Maka dipaksanya Ihsan mengangkat pacul dan membelah bumi. Menanam tetumbuhan yang si nyonya perlukan untuk atasi ragam penyakit menahun. Tiap terbit matahari Nyonya Jono mandori Ihsan tanpa ampun. Memacunya dengan pekikan sengau dan kasar. “Bergerak! Bergerak! Bergerak!”

Tuan Badil jelas tidak tinggal diam saat anak-angkatnya diculik orang. Ia kerahkan pengacara agar kasus ini diperkarakan di pengadilan. Sementara Nyonya Jono kepayahan melawan Tuan Badil dan kroninya, Ihsan memburu kebebasan. Ia merasa usianya telah cukup matang untuk memperjuangkan jalannya sendiri. Tidak patut lagi disuruh begitu-begini oleh orang lain. Ia cari dukungan dengan mengumpulkan kawan-kawan senasib sepenanggungan dalam sebuah konferensi. Tak ternyana acara bertajuk Konferensi Anak-Adopsi itu mempertemukan kembali sepasang saudara yang lama bercerai.

“Ihsan…!”

“Muhsin…!”

Keduanya berpelukan. Berjanji untuk senantiasa hidup berdampingan. Bersama mereka berjuang agar bisa lepas dari cengkeraman orangtua-angkat masing-masing. Menyadari betapa kuat tekad anak-anak muda tersebut, dengan berat Tuan Badil relakan kepergian Ihsan walau dalam hati ia ragukan kemandirian anak itu sampai sedikitnya seabad lagi. sementara Wak Irawan menyertai kepergian Muhsin dengan perbekalan dan pesan: “Kelak kau makmur itu karena perananku. Camkan itu!”

Masa lalu yang berat memacu Ihsan untuk maju. Bahkan lebih laju dari Muhsin. Tidak lupa dibimbingnya kawan senasib sepenanggungan yang masih tertatih-tatih memancang nasib. Darinya Muhsin belajar dan bercermin.

Lambat laun Ihsan beroleh kemapanan dan ditenggelamkan kesibukan. Sibuk apa sesungguhnya Ihsan—Muhsin tak pasti. Hanya ia tahu Ihsan doyan wara-wiri dan berpenampilan perlente. Kabarnya, bisnis Ihsan dengan orang bernama Om Sam sedang moncer.

***

Ihsan tak juga kembali. Mungkin sedang bercokol di rumah lain. Huniannya toh di mana-mana. Muhsin pun mulai menghitung-hitung. Lumping yang dulu loyo kini sudah bugar. Muhsin merekrut orang untuk membawa Lumping ke taman kota. Biar punggungnya diduduki bocah-bocah penasaran dengan tebusan sejumlah uang. Muhsin pula mengumpulkan beberapa tukang untuk menebas bambu-bambu. Batangnya diraut jadi bermacam mainan dan alat musik. Rebungnya diolah jadi lumpia. Bahkan ia berencana untuk mengeksplorasi penganan dari tunas bambu itu dan mendirikan restoran bertajuk Warung Rebung.

Muhsin lalu mencari-cari apa lagi yang bisa diberdayakan dari tanah Ihsan. Sebenarnya ia penasaran dengan isi rumahnya. Maka ia bawa tukang kunci untuk buatkan serep. Bangunan itu pun bisa ia masuki, jelajahi. Isinya berantakan sekali! Kakinya mesti dilangkahkan hati-hati agar tidak menginjak barang-barang yang mungkin berarti bagi yang memiliki.

Di satu ruangan ia temukan secarik kertas di sisi gitar. Sepertinya Ihsan coba menulis lagu. Kagumnya Muhsin. Saudaranya memang multitalenta. Ia pangku gitar lalu menerka melodi dari chord dan lirik yang tersedia. “Sayangku, sayangku. Lihat matamu dari jauh terbitkan sayangku, sayangku…” dendangnya. Jemari menggenjrang-genjreng senar. Beberapa lama ia berusaha sampai ia rasa pas. Lalu ia rekam permainannya dalam format video dan mengunggahnya di Youtube.

***

Muhsin sudah lupa kalau ia pernah mempopulerkan dirinya sendiri di internet ketika Ihsan tahu-tahu menyambangi rumahnya.

“Kau hapus video itu! Itu laguku!” Ihsan berseru.

“Hei, hei, ada apa?”

Bersama mereka akses video itu. Penontonnya ternyata sudah menembus angka ratusan ribu!

“Kini seluruh dunia menyangka kaulah pencipta lagu itu! Dasar penipu! Laguku ini jadi berasa kampungan kalau kau yang bawakan!” Ihsan mencak-mencak.

“Salahmu sendiri tak apik menyimpannya!” sergah Muhsin.

“Pokoknya kau hapus video itu, maling!”

Amarah Ihsan kian menggeru begitu ia sadari perubahan pada isi halamannya. “Mana kudaku? Mana bambuku?!”

Muhsin biarkan Ihsan ambil lagi semua. Biarpun katanya mereka bersaudara namun Ihsan tak sudi miliknya dianggap milik bersama. Tinggal Muhsin termangu. Disenandungkannya pelan-pelan, “Sayangku, sayangku,” bagaimanapun karangan Ihsan itu enak sekali, “lihat hartamubazir begitu, sayangku, sayangku…” Tapi begitu ada yang mau mengurusi, malah kena orang itu dimaki-maki.[]

Senin, 06 Januari 2014

Memoar

I

Papa selalu bersemangat soal menulis. Mungkin karena ia jurnalis. Waktu aku SD, atas dorongan Papa aku rajin mengirim puisi dan cerita pengalamanku ke sebuah majalah anak-anak. Papa senang sekali kalau tulisanku dimuat. Papa akan mengarsipkannya, atau kadang meminta Mama menyimpankan dulu kalau ia belum sempat. Waktu aku SMP, aku sudah malas mengirimkan apapun. Lagipula aku merasa majalah tersebut bukan segmenku lagi.

Sesekali Papa masih mendorongku untuk mengikuti lomba tertentu, dan dengan senang hati memberikan jasa pengeditan. Tapi Papa editor yang perfeksionis. Kali kesekian ia mengedit tulisanku, ia bilang aku tidak mendapat kemajuan berarti. Penggunaan EyD salah melulu. Tema terlalu biasa. Apa deh! Aku bisa mengerti Papa ingin aku jadi penulis yang baik. Tapi aku tidak bisa terima ketika aku lama tidak berkarya, ia malah memantau kepenulisanku dengan membaca buku harianku! Suatu hari aku temukan tulisanku di buku kecil itu ditimpa oleh tulisan yang bukan milikku. Miring ke kanan dengan derajat kecuraman tinggi—tulisan sipit, kalau kubilang—tapi sedikit lebih lebar dari punyaku. Tulisan Papa. Pakai tinta merah lagi! Sontak aku lempar buku itu dan berhenti menulis di sana.

Akupun beralih ke blog. Tapi di rumah tidak ada komputer yang dapat kugunakan secara bebas, sehingga aku seringnya menebeng komputer di rumah Tante, laptop Mama, atau laptop Papa.

Tapi kalau pakai laptop Papa, ia suka curi-curi lihat apa yang kubuka.

“Blog isinya gambar doang.” Ada tulisan “Bisa Berani” di pojok kiri halaman sebagaimana aku sering katakan pada orang-orang mengenai pengertian namaku (padahal akupun asal saja)—Bibe kan Bisa Berani! Papa tahu itu.

“Ini tumblr, Pa, emang buat ngeakomodasi gambar. Enggak perlu tulisan panjang-panjang, yang penting ngena. Generasi sekarang tuh cuman butuh sedikit disepet kayak gini!” repetku tanpa kasih ia kesempatan menyela.

Tidak semua orang bisa seperti papaku yang bisa menulis panjang-panjang secara rutin lalu mendapat banyak tanggapan—bahkan dari orang-orang yang sesungguhnya tidak dikenal. Blog papaku memuakkan.

“Cuma reblog-reblog gitu, ngambil dari punya orang kan? Kreatiflah. Bikin gambar sama tulisan sendiri. Nulis kok dikit-dikit. Minimal 2500 kata per hari, gitu.”

Lalu ia mengusirku karena hendak mengerjakan tugasnya.

“Gimana mau nulis banyak-banyak kalau laptop aja enggak punya? Kapan aku punya laptop sendiri? HP aja masih butut gitu. Enggak pernah naik mobil punya sendiri…”

“Ya entar. Bangun rumah yang ada garasinya dulu. Rumah di gang, mau punya mobil gimana…” gerutunya pelan. Dan di akhir cerita aku akan kena azab karena telah merongrong orangtua yang tidak memberiku kemudahan duniawi. “Dibeliin laptop tahunya cuman buat hiburan.”

Jelas tidak. Maraton Running Man itu jelas bukan sekadar hiburan, tapi juga membuka wawasan mengenai perikehidupan masyarakat Korea.

“Ya udah. Selamanya aku enggak punya kesempatan nulis banyak-banyak.”

“Maunya laptop kayak gimana?”

“Enggak mau yang second.” Kusebut merek yang terkenal akan kemahalannya.

“Kamu ini,” Papa berdecak. “Yang dilihat tuh kualitas, bukan harganya.”

Sepertinya Papa memang sudah berniat membelikanku. Ia hanya ingin mengujiku. Aku dapatkan benda merah tipis itu di meja kamarku beberapa hari kemudian. Charger-nya, tasnya—semua perangkatnya terbitkan girangku. Yang paling kuharapkan adalah kapasitasnya sanggup menampung koleksi hiburanku yang selama ini tersimpan di laptop Mama. Mereknya memang tidak seperti yang kudambakan, tapi konon yang ini juga lumayan. Merek sejuta umat. Tapi bukan Papa kalau memberi barang tidak menyertai catatan.

Bibe, putri Papa,

Papa ambil lagi notebook ini kalau nanti terbukti Bibe malah tidak rajin menulis.

Ttd.

Papa

Lalu ketika membaca isi beberapa carik kertas yang menempel di pintu kulkas, aku jadi sebal dengan kesungguhan Papa dalam menggugah kepenulisanku lagi. Semua tentang informasi lomba menulis. Sesaat aku tercenung. Menulis fiksi dan nonfiksi sama saja buatku—menyusahkan! Aku akan bikin memoar saja, sepertinya gampang, supaya Papa tahu kalau hidupku bukan sekadar gambar dengan satu-dua kalimat menyentak.

II

Jadi kupikir menulis memoar itu gampang. Tinggal mengenang masa lalu sembari menuliskannya. Tapi aku terlalu sibuk jalan sama Om Yan, dan mengurusi kehamilan tanteku tentunya.

Aku bukannya melupakannya sama sekali sih. Aku ingat sewaktu berburu buku-buku kehamilan untuk tanteku, di ruangan berisi koleksi buku Mama dan Papa. Tidak sengaja aku menemukan buku harian Mama. Kertasnya sudah menguning. Sekilas kupindai tanggalannya—mencakup tahun sebelum tahun kelahiranku hingga beberapa tahun setelahnya. Ini bisa jadi bahan berharga untuk memulai memoarku. Kubuka lagi secara acak hingga mataku terisap tepat pada kalimat: Malam-malam menyusahkan itu akhirnya menghasilkan sesuatu. Kulempar buku itu. Aku tidak tahu. Tiba-tiba aku merinding saja.

Aku berhasil lupakan kalimat misterius itu sampai bertemu Mama secara langsung. Iseng aku mengatakannya, “Ma, Bibe kan mau bikin memoar. Pinjam diary Mama ya.”

Mama mengulurkan telapak tangannya. “Tukar sama punyanya Bibe.”

Ha! Tidak usah ya. Aku tahu di mana menyimpannya.

Tapi karena aku masih takut kalau-kalau menemukan lebih banyak kalimat horor, aku coba tanyakan pertama-tama pada Tante yang adik mamaku itu, jawabnya, “Enggak tahu ya. Waktu Bibe lahir Tante kan enggak di sini (Tante waktu itu memang sedang studi di luar negeri hingga bertemu suaminya kini—Bb.), lalu pada Om yang adik kelas mamaku waktu SMA itu, jawabnya sungguh di luar dugaan karena bibirnya yang biasanya tersenyum lebar itu malah mengatup horizontal sedang matanya yang besar menyorotku dalam-dalam. Oh ayolah ayolah ayolah—pintaku dengan tatap memelas. Iapun takluk dan menjawab penuh pengertian, “Tanya sama Mama aja ya.” Tidak mungkin…! Aku terus mendesaknya tapi ia membungkamku dengan sebaskom Baskin Robbins.

Malah Tante kemudian bilang kalau aku tidak seharusnya dekat-dekat Om Yan lagi. Kukatakan kalau omku yang menawan itu bukan sejenis penyamun anak perawan seperti yang tanteku baca di novel-novel picisan. Ia pulang ke Indonesia untuk mendekati mantan pacarnya yang sudah janda. Ia jarang menyentuhku, hanya sekali mengecup pipiku sebelum aku keluar dari mobilnya dan menuju rumah. Dengan entengnya Tante bilang, “Kita enggak tahu seberapa besar orang punya hasrat seksual, Bibe,” dan terus mengulanginya. “Has-rat sek-su-al. Seks! Kalau enggak ada itu, adikmu enggak jadi,” sambil menunjuk perutnya yang gembung.

Papa lebih tidak senang lagi tahu aku sering jalan bareng Om Yan. Menyindir-nyindir terus. “Habis main sama papamu itu ya,” atau, “Kok enggak pergi sama papamu itu?”, dan sebagainya.

Kupikir Mama akan membelaku—atau minimal temannya yang entah kenapa masih melajang itu. Memang begitu. Tapi yang Mama lakukan sebenarnya hanya menyinggung Papa yang dulu pernah tertarik juga sama pacarnya Om Yan. Aduh. Tahu deh.

Bagaimanapun persoalan tentang Om Yan reda dengan sendirinya, apalagi ketika Tante melahirkan. Rumah kami seolah-olah pindah ke rumah Tante. Melihat bagaimana kedua orangtuaku berebut menimang bayi Tante, aku jadi makin heran kenapa mereka tidak membuat bayi mereka sendiri saja. Jadinya kan aku tidak perlu menanti-nantikan adik selama ini. Kami semua semringah menyambut kedatangan anggota baru dalam keluarga. Kecuali Tante. Ada yang bilang kalau Tante mungkin mengalami baby blues. Apalagi ini kelahirannya yang pertama, yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya—sebetulnya.

Kubuka pintu kamar Tante. Ia duduk di kasur. AC menyembur-nyembur hawa dingin ke seantero ruangan temaram itu. Cahaya hanya berasal dari lampu berdiri di sudut. Kurangkul Tante, namun ia menepisnya. Kedua belah tangannya menutup wajah. Punggungnya naik-turun. Akupun mengambil sedikit jarak darinya namun terus memandanginya. Isaknya mengencang, mereda. Sisa-sisa air mata diusapnya, namun bibirnya masih bergetar. “Tante… Tante mau cerita?” tanyaku lembut.

Suaminya mungkin akan lebih bisa mengendalikannya. Tapi Om Pir di Azerbaijan—cutinya sudah habis dan pada waktu ia mesti kembali ke sana Tante menyampaikan keyakinannya bisa mengatasi semuanya sendiri. Ia menghela napas berkali-kali sebelum menanyakan bayinya. Aku bilang Kiran sedang bersama Kakek.Ia tidak segera merespons. Matanya lara, tapi sorotnya kosong. Ia tarik napas dalam-dalam ketika sengguknya menyergap. “Anak itu bakal mirip sama mamanya, Bibe.”

“Iya, Tante.”

“…dia… bakal jadi… manusia individualis, egois…”

Bukan itu maksudku!

“…beban…” Suara Tante As tenggelam, lalu muncul lagi dengan intonasi lebih rendah. “Gimana kalau mamanya enggak bisa ngebesarin dia dengan baik?”

Bisa, Tante.

“…dia bakal tumbuh jadi anak yang benci sama mamanya, benci sama dirinya sendiri…”

Tante As mengusap lagi matanya, mencebik berkali-kali.

“Tante… Jangan ngeramalin yang enggak-enggak… Itu cuman pikiran Tante aja…” Tubuhku condong lagi padanya.

Pelan-pelan ia mengendalikan napas. Tidak lagi kelepasan isak, ujarnya, “Itu bukan cuman pikiran…  Kenyataannya seperti itu Bibe, aku sama kakakku… seperti itu.”

III

Aku mengatakannya pada kesempatan berdua dengan Papa di restoran—di sela-sela jam kerjanya. “Buat ultah Papa entar, aku pingin ngasih Papa sesuatu, tapi Papa harus ngembaliin lagi yang udah aku kasih itu pas ulang tahunku… Maksud aku, editannya.” Ulang tahunku sepuluh hari setelah ulang tahunnya. Jika ia biasa mengedit sekian tulisan dalam semalam, mestinya ia bisa mengedit memoarku dalam sepuluh hari.

“Memoar ya?”

“Dikasih tahu Mama ya?” Padahal waktu itu aku mengatakannya pada Mama dengan nada bercanda. “Bibe kan anak hebat. Orang hebat harus punya memoar.” Papa berdecak lalu menyendokkan banyak-banyak sambal ke piringnya. “Aku mau coba nulis pakai bahasa Inggris,” imbuhku.

“Bahasa Indonesiamu dibenerin dulu…”

“Bahasa buat memoarku entar bakal beda sama bahasa di buku harianku, Paa…” Dan jangan suruh aku mengingat isi Sumpah Pemuda. “Kalau aku bikin memoar, Papa enggak perlu baca-baca buku harianku lagi.”

Papa menghela napas. “Udah sampai mana nulisnya?”

“Riset, seratus-duapuluhan kata,” dan itu adalah prakata. Membaca pandangan Papa, aku menyengir.

Dari sekian banyak tulisan yang telah Papa hasilkan, aku yakin tidak satupun berupa memoar. Papa pasti tidak pernah mengoyak-ngoyak batinnya sendiri, apalagi membaca buku harian Mama (habisnya tidak ada coret-coretannya di sana sebagaimana pada buku harianku). Sebetulnya berat juga bagiku membaca buku itu walau bukannya aku tidak mencobanya lagi. Aku sempat baca catatan obrolan Mama dan Om Yan, hampir duapuluh tahun lalu. Aku jadi mengerti betapa tengilnya om itu dulu. Mengorek-ngorek rahasia ranjang lalu tercengang dengan jawaban Mama yang, “Enggak ada.” Selain karena kesibukan suaminya bertualang ke daerah-daerah konflik dan bencana, huf… perasaanku kalau ada “sesuatu” dalam hubungan mereka seakan terkuatkan. Sekarang kukira aku bisa membaca arti tatapan Om Yan padaku waktu itu. Prihatin. Bagaimanapun pembacaan itu tidak kulanjutkan. Begitu sampai pada catatan berisi saran-saran dari Om Yan, aku menutupnya karena risi.

Kalau kuingat momen-momen yang kulalui bersama orangtuaku di masa kecil, kini aku sadar apa yang tidak utuh. Hujan-hujanan sama Mama. Tidak ada Papa. Mengerjakan PR sama Mama. Tidak ada Papa. Bergandengan tangan saat pulang dari sekolah dan macam-macam les sama Mama. Tidak ada Papa. Lalu Papa pulang dari penugasannya di luar kota, kadang luar negeri. Menjelajah kota pakai motor sama Papa. Tidak ada Mama. Main ke rumah saudara dan kenalan Papa. Tidak ada Mama. Balapan renang sama Papa. Tidak ada Mama. Memang Mama jarang mau diajak. Tapi bukannya kami tidak pernah bertiga sama sekali. Tapi aku hanya ingat momen di kebun binatang dan Dago Pakar—yang terputus karena Papa tahu-tahu mendapat panggilan. Lalu ketika malam tiba, aku tidur di antara Papa dan Mama. Kadang Papa tidur sendiri di kamar sebelah, sementara Mama bersamaku di kamarku. Atau Mama di kamar sebelah, Papa di sofa. Atau Papa di kamar sebelah, Mama di sofa. Ada apa sih dengan mereka!? Sekarang agak berkurang keherananku kenapa aku tidak punya adik dari mereka, berganti keheranan kenapa aku bisa sampai ada.

Hei! Fokus! Kamu harusnya menulis memoar! Tapi belum menulis saja mukaku sudah berkerut-kerut dan panas. Kalau aku menuliskannya betulan, mungkin aku bakal menangis. Menulis membuatmu berpikir melalui perenungan hingga sampai ke hatimu. Menulis memerihkan hatimu.

Kalau saja aku tidak berpikir untuk menulis memoar. Aku mungkin tidak akan sampai pada pikiran untuk… untuk… aku teringat oleh-oleh dari temanku yang baru berlibur di Dieng. Apa ya itu namanya—yang katanya viagra dari Jawa?

IV

Malam pergantian umur kulalui dalam sepi di rumah. Papa ditugaskan keluar kota sedang Mama sepertinya belum selesai meliput. Hanya Om Yan yang menemaniku, itupun lewat Skype. Kuhentikan obrolan dengannya ketika Papa menelepon. “Belum tidur, Bibe?”

“Belum. Masih nunggu dibeliin motor.”

Papa terkekeh. Lalu katanya, “Masih dicorat-coret ini. Yang utuh prakatanya doang, Be?” Ganti aku yang terkekeh-kekeh. Satu dari enampuluh tujuh halaman. Kuakui, memoarku itu memang belum utuh. Mungkin butuh puluhan tahun lagi untuk menyelesaikannya. Papa bacakan prakata buatanku untuknya.

Aku ingin tahu apa Papa pernah baca Dunia Sophie. Seandainya novel itu adalah hadiah buatan Papa untukku, dan bukannya hadiah buatan siapa itu untuk anaknya, aku ingin membuat karya balasan yang tidak kalah menakjubkan. Tapi kemudian aku pikir lagi kalau yang Papa butuhkan bukan lagi pelajaran filsafat atau ucapan selamat ulang tahun yang bertebaran di mana-mana dan sesuai selera Papa, dibawakan para tokoh politik dunia—bukannya para tokoh Disney. Maka aku hanya akan membuat sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku ingin bagi. Sayang sekali, sebagaimana Papa selalu menulis untuk kebutuhan orang banyak, maka aku menulis ini bukan hanya untuk Papa. Aku juga ingin belajar menulis bagi orang banyak. Semoga aku bisa menulis sebaik Papa. Aku mohon Papa sudi mengoreksi.

Papa bilang ia sudah menyiapkan hadiah lain sebagai pengganti. Aku disuruh mencarinya sendiri di kamar, di sekitar lemari. Aku nyalakan lampu kamar ruangan itu, menuju lemari, dan mengobrak-abrik isinya. Di laci, aku temukan plastik putih. Ada kotak di dalamnya. Bon yang menyertai kotak tersebut menunjukkan pembelian dilakukan tiga hari lalu. Isinya testpack. Dua garis merah tertera di sana.

Aku tidak tahu apakah ini memang berkat percobaanku kapan itu, membuatkan mereka purwaceng—kopi Dieng yang katanya berkhasiat khusus itu—lalu meninggalkan mereka dan menginap di rumah teman, ataukah…

“Masih di sana Be?” tegur Papa.

“Ma—masih Pa. Udah ketemu hadiahnya…”

“Gimana?”

“Positif, Pa.”

“Apanya yang positif? Coba dipakai dulu!”

Yang benar saja—pasti bukan ini yang dimaksud Papa!

Buntalan berisi hadiah itu kemudian menjatuhiku begitu aku menutup lemari. Aku tersipu-sipu begitu mengetahui isinya. Kuucapkan terima kasih sekali lagi pada Papa. Kukenakan pemberian Papa itu sambil mematut-matut penampilanku di cermin. Tapi terhibur oleh penampilanku sendiri bukan berarti kegundahanku pudar.

Aku bukannya tidak ingin adik lagi—apalagi dari orangtuaku sendiri. Aku tidak ingin meragukan kekuatan Mama, tapi tahun ini usianya empatpuluh tiga tahun. Sudah rawan untuk melahirkan. Aku ingin mamaku hidup sampai renta dan merasakan nikmatnya merawat anak-anakku—cucu-cucunya—kelak.

Suara-suara yang muncul di depan rumah menandakan kepulangan Mama. Salamnya mengalun. Doa pertama untukku hari ini. Pintu tidak aku kunci, namun aku tetap ingin menyongsong Mama.

“Selamat ulang tahun Bibe!” kata Mama begitu wajah kami bertemu. Ah… Perut sudah berisi, masih pulang selarut ini. Bandel. Tapi aku sudah berpengalaman menangani yang semacam mamaku sebelumnya. Kali ini aku akan memperlakukannya dengan lebih baik.

Akupun memeluknya. Dan kukatakan, “Enggak, Ma. Seharusnya aku yang ngasih selamat ke Mama, atas perjuangan Mama sembilanbelas tahun lalu supaya aku bisa lahir ke dunia ini.” Pelukanku makin erat. Aku merasa nyaman sekali saat perut kami bersentuhan. Perutnya yang mulai buncit.[]

Jumat, 03 Januari 2014

Ciuman

Orang bilang ciuman itu manis, dan lembut.

Bukan ciuman seperti yang kau berikan pada ibu-bapakmu sebelum berangkat ke sekolah. Bukan. Itu di punggung tangan cuman.

Bukan pula ciuman seperti yang kau terima dari eyangmu kala Lebaran. Bukan. Itu di pipi cuman, dari bibir keriput beraroma dedaunan.

Pun, bukan ciuman seperti yang kau rasakan ketika motormu tersungkur di jalan. Bukan. Itu di bibir memang, tapi asin, dan merontokkan gigi.

Melainkan ciuman seperti yang kau lihat di komik, TV, dan bioskop, bahkan di benak ketika kau memvisualisasikan yang kau baca di novel, atau mereka ulang yang diserap matamu dari komik, TV, dan bioskop. (Lalu apakah ketika kau lihat orang bersebadan maka kau menginginkannya juga? Orang bilang bersebadan itu…)

Kau kibaskan khayalmu yang menjalar ke mana-mana. Ciuman saja kok. Ciuman cuman. Satu kecupan saja. Seperti judul film itu. Buruan cium gue. Aku ingin menciummu sekali saja. Itazurana kiss. Tersadar dirimu selama ini telah dipropaganda. Termasuk oleh adegan Rangga dan Cinta di bandara.

Kau raba bibirmu. Kasar. Kau jilat bibirmu. Tak berasa. Kau mainkan terus bibirmu. Bibir bawah ke depan bibir atas. Bibir atas ke depan bibir bawah. Sampai basah benar bibirmu. Begitulah caranya berciuman dengan bibir sendiri.

Tapi kau tak puas. Bagaimana rasanya berciuman dengan orang lain?

Kau amatilah bibir-bibir di sekitarmu.

Bibir adikmu mungil dan basah oleh ingus.

Bibir bapakmu ternaungi rambut lebat yang beberapa helainya telah memutih.

Bibir ibumu serupa corong yang mengumandangkan titah-titah.

Bibir pamanmu sehitam raja kegelapan berkat silinder sembilan senti yang tak henti diisapnya.

Bibir pecah-pecah. Bibir berserpih kulit mati. Bibir pelindung sariawan. Bibir sehabis meraup gorengan. Bibir julurkan lidah. Bibir Mick Jagger. Bibir bernoktah darah. Bibir yang tertukar. Bibir menggerenyot. Bibir memelas minta sedekah. Bibir mengerucutkan siulan. Bibir Julia Perez. Bibir berbusa. Bibir memutih, memucat, membiru. Bibir korban Nagin si ratu ular. Bibir korban KDRT. Bibir bibik yang kerja di jazirah Arab. Bibir korban keripik setan. Bibir yang diberati gincu. Bibir terlatih ‘tuk tersungging delapan jam sehari. Bibir toilet. Bibir Titi Teliti. Bibir dengan beberapa cuil nasi di sudutnya. Teruslah kau cari bibir yang tidak membuatmu mual.

Hingga kau paham kebenaran dari kata-kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulismu: Dare to dream, dare to achieve. A beginning is difficult. You’ll never know till you have tried.  No pain no gain. 

Kau temukan jua bibir yang terbitkan laparmu. Inginmu melahapnya, mengunyahnya, menelannya. Kau bayangkan merahnya, kenyalnya, manisnya, bak delima. Selembap zaitun. Bibir yang ketika merekah semerbaknya mekarkan bebungaan. Bibir yang dengan rapi menyimpan serangkai mutiara keputih-putihan.

Jodoh bagi bibirmu: yakinmu.

Kaupun pacaran dengan pemilik bibir itu.

Bulan-bulan awal masih satu setengah meter menuju bibir idaman. Bulan-bulan kemudian tinggal sejengkal saja bibir kalian. Bulan berikut bibirmu meradang menerjang[1].

“Kau tak sopan!” akhiri perjumpaan. Bungkamlah bibir menawan, Dengan bibir menyeringai kau ditinggalkan. Aturan, pacaran itu sepaket dengan ciuman, kan?

Bibir gagal menjamah, tak dinyana hati berdarah. Bukan bibirmu benar yang merindu sentuhan rupanya, tapi hatimu. Begitupun ratapmu padanya. Bukan bibirmu benar yang kudamba, sayang, tapi hatimu. Tapi di mana hatimu ku tak tahu. Kukira bibirmu yang kan beri tahu. Bahkan jikapun rupamu tak berbibir… tak berbibir… Tapi hanya karakter di anime yang tak berbibir—dan Voldemort. Bahkan jikapun bibirmu belah hingga hidungmu, hatiku kan terus memburu. Bibirmu hanya gerbang menuju hatimu!

Experience is the best teacher. Kau ingat satu lagi kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulismu. Maka janjimu kali lain tak kan kau biarkan bibirmu lebih maju dari hatimu. Tapi ke mana lagi kan kau temukan bibir yang jeratnya sampai ke hati? Yang manisnya, lembutnya, murninya lebihi madu? Bibirmu. Hatimu. Tak bisa lagi kau bedakan. Biarpun kata lagu lama, lain di bibir lain di hati, tapi bibirmu bibir terjujur di semesta. Bergantung kuyu di muka, tak tahankan kesepian kian lama!  

***

Akhirnya kau temukan jua bibir itu walau harus kau tebus dengan uang. Bibir yang rela kau lumat sepuasnya. Kau lumuri dengan liurmu sampai basah benar atasnya, bawahnya. Agar lancar bibirmu dan bibirnya bergesek. Bibirnya kan membalasmu dengan desah dan erang, pilu dan riang. Bergantung bagaimana kau mainkan. Isap dan embus sepenuh nafsu. Salurkan jeritan hatimu melaluinya. Hatimu yang senantiasa merindu.

Saking hausnya dirimu akan ciuman hingga kau rasa tak cukup satu bibir itu saja milikmu. Kau hamburkan lebih banyak uang demi kumpulkan lebih banyak bibir—maniak bibir! Kau namai mereka Bibir C, Bibir G, Bibir D, Bibir A, dan seterusnya. Bibir-bibir yang setia senantiasa bersamamu, kau bawa ke mana-mana dalam kantongmu.

No one is too old to learn. Practice makes perfect. Success is a journey, not a destination. Kata-kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulis masih jadi pedomanmu. Bertahun-tahun kemudian kau sudah begitu mahir mencium. Kau rekam pergumulanmu dengan bibir-bibir itu dan pamerkan pada siapapun lewat internet. Ramai orang mengunduhnya. Senang kau tulari gairah dan derita nan merdu. Sekelompok orang mengajakmu bergabung dalam grup. Kau sanggupi. Kini band tersebut memiliki pemain harmonika.[]



[1] Frase ini sepertinya ada di puisinya Chairil Anwar, tapi saya temukan juga di cerpennya Lie Charlie. Entah kenapa lucu saja membacanya 

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain