Senin, 30 Juni 2014

Beruang yang Apa Adanya (James Thurber, 1940)

Di sebuah hutan di Barat Jauh hiduplah seekor beruang cokelat yang apa adanya. Ia suka pergi ke bar yang menjual mead, minuman fermentasi dari madu, dan hanya minum dua gelas. Lalu ia akan menaruh uangnya di meja dan berkata, "Beri minuman untuk beruang-beruang di belakang sana," dan pulang.

Namun kemudian ia menjadi sering membeli minuman untuk dirinya sendiri. Ia akan terhuyung-huyung pulang pada malam hari, menyepak cantelan payung, menjatuhkan lampu, dan membenturkan sikunya ke jendela. Lalu ia akan roboh di lantai dan tergeletak di sana sampai tertidur. Istrinya sangat sedih sedang anak-anaknya ketakutan.

Akhirnya si beruang menyadari kesalahan dalam tindak-tanduknya itu dan mulai memperbaiki diri. Alhasil ia menjadi seorang antialkohol yang terkenal dan penceramah yang gigih dalam hal berpantang minum minuman keras. Kepada siapapun yang berkunjung ke rumahnya, ia akan menyampaikan efek buruk dari minum-minum. Ia akan membanggakan betapa kuat dan sehat dirinya sejak berhenti menyentuh barang itu. Untuk membuktikannya, ia akan berdiri di atas kepala dan tangannya, bersalto di dalam rumah, menyepak cantelan payung, menjatuhkan lampu, dan membenturkan sikunya ke jendela. Lalu ia akan rebah di lantai, lelah karena gerak badannya yang menyehatkan itu dan tertidur. Istrinya menjadi sangat sedih sedang anak-anaknya ketakutan.

Moral: Apapun yang Anda perbuat, boleh jadi Anda akan tetap jatuh tersungkur.



Alih bahasa dari fabel James Thurber, "The Bear Who Let It Alone" (1940). James Thurber (1894-1961) adalah seorang penulis humor dan kartunis dari Amerika Serikat. Karya-karya James Thurber lainnya yang saya pernah coba terjemahkan bisa dilihat di sini.

Minggu, 29 Juni 2014

Makan-makan Akhir Pekan

Sewaktu aku masih SD, kalau Papa sedang tidak bertugas, kedua orangtuaku akan membawaku berjalan-jalan ke keramaian kota, pada gemerlapnya akhir pekan. Tapi ini biasanya tidak begitu menyenangkan. Bukannya memenuhi keinginanku untuk melihat-lihat lebih dekat, memasuki salah satu restoran mewah itu, atau membelikanku pakaian yang bisa kupamerkan pada teman-teman, mereka malah menggiringku ke warung tenda langganan mereka dan memesankanku makanan dan minuman yang rasanya begitu-begitu saja.

Sampai pada suatu malam, aku memberontak. Aku cemberut sejadi-jadinya, menolak untuk diseret ke tempat yang itu lagi, itu lagi. “Aku pingin makan sushi! Pingin sushi!” seruku. Kusebutkan nama sebuah restoran yang pernah dikunjungi oleh seorang temanku. Orangtuanya sering membawanya makan di tempat-tempat keren setiap akhir pekan. Kupikir orangtuaku sebetulnya juga mampu. Lagipula Papa sering pergi ke luar negeri biarpun Mama bilang itu bukan pakai uang sendiri. Karena sikapku yang bersikukuh itu, tidak mau bergerak biarpun ditarik dengan sekuat apapun juga, kedua orangtuaku saling bertatapan, lalu Papa memutuskan, “Sekali-sekali enggak apa-apa kali, ya.”

Mama mengangkat bahu. “Ayo.”

Kami pun menuju restoran yang kumaksud. Letaknya di dalam mal. Suasananya agak temaram karena interiornya berwarna gelap. Ada beberapa tumbuhan semacam bambu di beberapa tempat tapi waktu itu aku tidak yakin apakah itu betulan atau bohongan. Kadang aku melongo saja memandangi gambar-gambar yang dipajang di dinding dan disorot oleh lampu-lampu kecil itu, sambil bertanya-tanya dalam hati kapan aku bisa mencoba kimono seperti yang dikenakan oleh perempuan dalam lukisan-lukisan itu.

Aku diperbolehkan untuk memesan apapun yang tampaknya menarik bagiku, sementara kedua orangtuaku agak lama menimbang-nimbang pesanan mereka. Waktu itu deretan angka di dalam menu sama sekali belum menarik bagiku. Aku memilih berdasarkan gambar yang dipajang saja.

Acara makan pun dimulai. Papa mengajariku cara menggunakan sumpit. Sebetulnya lebih enak makan pakai tangan. Tapi kupikir keren juga kalau aku bisa menggunakan sepasang tongkat kecil itu. Lalu Papa dan Mama mengobrolkan pengalaman Papa sewaktu ditugaskan meliput ke Jepang. Papa mencoba sushi di kedai yang mana para pengunjungnya duduk mengelilingi konter tempat pembuatan makanannya. Di kedai lain, dia berlesehan di atas tikar bambu. Aku sempat mendengar Mama bilang, “Jauh-jauh ke Jepang, tetap aja carinya yang murahan.” Lalu Papa membalas, “Entar enggak ada sisa buat yang minta oleh-oleh dong.”

Pesanan diantarkan. Aku berusaha makan dengan lahap. Rasanya sebetulnya agak aneh. Hampir-hampir tidak berasa malah. Kadang aku merasa agak mual dengan amis yang memasuki kerongkonganku. Waktu Papa bilang yang kumakan itu daging ikan mentah, aku hampir-hampir mengeluarkannya lagi. Tapi kerongkonganku keburu menelannya dalam-dalam. Setelahnya aku kelepasan menjulurkan lidahku. Aku berharap orang-orang berpeci (aku tidak tahu apa tepatnya nama topi yang mereka kenakan) di balik konter itu tidak melihatku. Aku takut mereka marah. Aku takut terutama pada orang yang bermata sipit karena pandangannya yang tajam itu. Jangan-jangan dia orang Jepang betulan. Sewaktu pelajaran Basa Sunda aku dan teman-temanku pernah memainkan drama tentang para serdadu Jepang dan orang-orang desa. Dalam dialog di buku pelajaran itu orang Jepang sering sekali menyerukan “Bagero! Bagero!” pada orang Indonesia. (Bahkan walaupun sekarang aku mendapatkan pelajaran Bahasa Jepang di sekolah, aku tetap tidak tahu apa itu artinya.) Jadinya aku takut diteriaki begitu sekeluarnya kami dari restoran itu.

Sepotong lagi yang tersisa di hadapanku, tapi namanya onigiri, bukan sushi. Aku tahu dari komik Jepang yang kupinjam dari temanku. Kali ini aku memulainya dari bagian yang paling aneh dulu. Aku melepaskan selaput hijau dari segitiga nasi yang padat itu, lalu melahapnya sekaligus. Aku merasakan lembaran itu menjadi lembek dalam mulutku. Amisnya… huek. Aku menelannya dengan susah payah. Mataku terpejam rapat-rapat. Ketika mataku terbuka, kulihat Mama dan Papa memandangku dengan geli. Untungnya mereka tidak terus mengolok-olokku. Mereka melanjutkan obrolan mereka sementara aku menyeruput es tehku dengan rakus. Setelah mulutku terasa netral, aku mengambil kudapan terakhirku yang agak mirip lemper itu. Sayang, tidak ada isinya…. Oh, isinya kan yang tadi, yang berwarna hijau dan ditempel di luar itu! Aku memakan nasi yang agak lengket itu pelan-pelan. Agak amis juga, mungkin bekas kertas hijau yang tadi. Tapi selebihnya terasa biasa-biasa saja. Mama dan Uwak Tata pernah membuat yang semacam ini—lemper ding. Buatan Mama gagal, tapi begitu masuk ke dalam mulut terasa sama enaknya dengan buatan Uwak Tata yang utuh-utuh saja.

Dari restoran itu, kami lalu pulang berjalan kaki. Sebetulnya kami punya motor, tapi seringkali gagasan untuk berjalan kaki melintas begitu saja di kepala kedua orangtuaku seperti anak-anak muda yang lagi kepingin seru-seruan. Jadi inilah kami, berusaha untuk tidak menatap dengan jemawa pada ratusan kendaraan yang terjebak dalam kemacetan di malam hura-hura, sementara kami bebas bergerak di atas kaki kami sendiri. Kalau aku capek, kadang mereka bergantian memanggulku. Tapi seringnya Papa yang melakukannya. Mama sih, baru menggendong beberapa meter saja sudah encok. Sewaktu aku sudah lebih besar, aku baru tahu kalau jarak yang kami tempuh dari sekitaran balaikota itu sampai ke rumah sebenarnya jauh juga. Tapi karena sambil mendengarkan suara kedua orangtuaku mengobrol, juga orang-orang yang kami lewati, menikmati bermacam-macam pemandangan malam, dan kadang larut dalam imajinasiku sendiri, aku tidak merasakan jarak tersebut. Tahu-tahu kami sudah sampai di rumah, ganti baju, gosok gigi, cuci kaki, dan tidur. Tapi malam itu agak lain.

Seperti biasanya, aku berjalan di tengah. Tangan kiri Papa menggandeng tangan kananku, sementara tangan kanan Mama menggenggam tangan kiriku. Sesekali dengan bertumpu pada pegangan mereka aku mengayunkan diriku sendiri. Kedua orangtuaku dengan sigap menahan bebanku biarpun mulut mereka tetap asyik mencerocos pada satu sama lain.

Kali ini mereka membicarakan tentang kesan yang mereka dapatkan dari restoran tadi. Dari nadanya saja aku tahu kalau mereka tidak puas. Mama mengeluhkan betapa besarnya harga yang harus dibayarkan tadi untuk seporsi kecil dan sedikit pula makanan yang disuguhkan, lalu bertanya pada Papa apa di negara asalnya memang begitu adanya. Papa bergumam, mengingat-ingat. “Apa karena dagingnya impor?” imbuh Mama.

“Iya sih. Mestinya enggak semahal itu juga. Waaah…” Papa menanggapi, lalu menambahkan dengan perbandingan rasa dan harga antara kedua negara, lengkap dengan hitung-hitungan dari yen ke rupiah.

“Jadi harusnya lebih enak dari yang tadi ya?” kata Mama.

“Kalau makannya cuman di tempatnya Pak Mi’un sih bisa buat empat kali jajan itu,” suara Papa.

Sepanjang jalan mereka seakan tak henti-hentinya mencela restoran tadi. Bahkan harga segelas air mineral pun tidak luput dari pengamatan mereka. Apalagi sewaktu kami memasuki jalan yang tidak dilewati banyak kendaraan, penyesalan mereka terdengar jelas di kupingku. Aku mulai disusupi rasa bersalah, tak enak, dan malu. Di sisi lain aku berprasangka mereka sengaja mengulang-ulang keluhan itu hanya untuk meledekku, menyalahkanku. Apalagi mereka tadi kan sempat melihat aku sendiri sebenarnya tidak begitu menikmati sajian itu.

“Lain kali makan di tempat yang biasa aja, ah,” kata Papa. “Di tempat kayak gitu mah, mahal kan cuman bayar suasana sama servisnya aja. Enggak jamin rasa.”

“Makan mah enggak usah yang mahal-mahal lah, yang penting kenyang, enak,” Mama menyetujui.

“Mahal tapi enggak kenyang,” ulang Papa dengan nada geli yang bagiku terdengar bagai cemooh.

Aku lalu mencampakkan kedua tangan yang menggandengku itu, dan berjalan cepat-cepat, berusaha mendahului mereka, walau tidak berani terlalu jauh. Di depan sana gelap sih.

Mereka terdiam. Tapi tak satupun yang menegurku. Aku melipat kedua lenganku di depan dada rapat-rapat. Pipi segembung jambu biji. Mereka seakan tidak menyadari sama sekali kedongkolanku waktu itu.

Entah berapa lama kami berjalan dalam bisu. Hanya derik serangga malam yang mendekam dalam pepohonan yang menaungi kami, juga deru kendaraan yang melintas sesekali. Perjalanan itu menjadi terasa jauhnya bagiku. Namun dengan kekesalanku aku tidak peduli. Aku menjaga lajuku agar selalu berada di depan mereka. Langkah-langkah mereka yang jauh lebih besar daripadaku hampir tidak terdengar di belakang sana. Maka sesekali aku terpaksa menajamkan pendengaran untuk memastikan mereka tidak tahu-tahu menghilang. Setelah merasakan keberadaan mereka lagi, aku kembali pada kekesalanku. Kalau saja aku punya banyak uang, aku bisa membeli makanan apapun yang kuinginkan, lalu menyelundupkannya di kamar dan tidak membaginya pada siapapun, apalagi pada Mama dan Papa! Tapi Mama selalu menolak untuk menambah uang jajanku. Papa juga, kalau aku bilang ingin mencoba sesuatu yang baru, pasti bilang, “Itu kan, bikin sendiri juga bisa!”

“Kayaknya bikin di rumah juga bisa deh.” Tuh kan. Baru saja aku memikirkannya, terdengar suara Papa . “Sekarang kan udah banyak yang jual produk-produk Jepang gitu di supermarket.”

“Mmm… Iya, iya. Pernah sih lihat yang rumput laut itu…” kata Mama. “Terus ikannya?”

“Beli yang fillet aja. Di-steam! Bumbunya, ya…” Papa lalu mendiktekan beberapa nama yang Mama tidak kunjung hafal. “Nasinya jangan nasi biasa.”

“Iyalah! Beras ketan yang buat lemper gitu bisa kali ya?”

“Gimana, Be, suruh Mama besok belanja tuh,” Papa sadar juga untuk menegurku.

Aku melengos dan terus mempertahankan cemberutku. “Ah, Mama mah…. Bikin lemper aja enggak jadi-jadi!”

Tiba-tiba pecah tawa Papa. “Kapan bikin lemper?” Aku tidak tahan untuk menoleh ke belakang dan melihat reaksi Mama yang tampaknya tidak merasa bersalah.

“Minggu lalu…?” sahut Mama tidak yakin.

Tawa Papa muncul lagi. Kalau suara Papa seperti perempuan, mungkin dia bakal disangka kunti! Papa melipat kedua lengannya, tapi tangan kanannya terangkat ke depan mulut seakan dapat menghentikan tawanya. “Bikin lemper?” Papa melirik Mama lagi lalu berpaling ke depan lagi dan geli lagi.

Mama memandang Papa dengan heran. Sepertinya rasa kesalku telah menjalar padanya. Ganti aku yang termangu-mangu sementara Mama menonjok lengan kiri Papa. “Udah, ah, jangan diulang-ulang!”

Sambil berjalan mundur aku memerhatikan tawa Papa yang timbul lagi dan lagi tiap kali Mama mencoba untuk menghentikannya dengan berbagai cara lainnya: mencubit pinggang, pipi, mengguncang-guncang lengan, berseru, “Heeei…! Enggak ada yang lucu!”

Terbayang lagi kejadian di rumah Uwak Tata sewaktu Mama memerhatikan petunjuk pembuatan lemper  dengan serius. Tangan Uwak Tata yang terampil berkali-kali memberi contoh, dan berkali-kali pula Mama menggagalkan karyanya. Nasinya terlalu lembek lah. Salah melipat daun lah. Isinya kebanyakan lah. Apa lah. Dan kapan lagi aku menyaksikan Papa mengolok-olok Mama sepuas itu, sementara Mama berusaha menyiksanya agar diam? Sepertinya rasa geli Papa telah menjalar padaku. Aku mulai cekikikan. Pelan-pelan aku kembali menempati posisiku di tengah mereka, lalu menggaet tangan keduanya dan mengayun-ayunkannya. Papa pulih dari gelinya. Mama mendesah keras-keras—aku sempat melihat senyumnya sebelum dia berpaling ke lain arah.

Pada kesempatan jalan-jalan berikutnya, dan berikutnya lagi, lagi, dan lagi, aku menjadi semakin berani memaksa kedua orangtuaku untuk makan di tempat-tempat gaul lainnya (tentu saja aku tidak pernah memikirkan nasib kocek Papa—malah pernah suatu ketika dia meminta tambahan dari Mama). Biasanya mereka menolak, tapi aku terus gigih sehingga adakalanya mereka mengiyakan. Dan pulangnya, malam yang diisi dengan keluhan, ledekan, kekikiran, dan cekikikan itu pun terulang lagi, dan lagi, sampai-sampai aku menjadi kebal, dan akhirnya menemukan orang lain yang bisa diajak bersenang-senang….

Begitulah. Terima kasih, ya, Om, sudah menraktirku malam ini. Tempatnya romantis banget…. Orangtuaku sih, mana mau diajak ke sini. Besok kita mau jalan ke mana lagi, Om?[]

 

sehabis jalan di bip—270614, tapi malam minggunya malah sepi karena malam pertama tarawih kali ya.

 


Kamis, 26 Juni 2014

Pemikiran

Akhirnya Dian mengaku kalau ia menyukai Binar. Tapi lelaki itu telah memutuskan untuk tidak menikah.

Di hadapan Dian yang menangisi penolakan itu, aku mendecak kesal. “Lelaki sialan! Dengan banyaknya wanita kesepian di dunia ini dia malah memutuskan untuk tidak menikah. Pemikiran macam apa itu?”

“Tapi bukannya kamu juga memutuskan untuk tidak menikah?” sela Dian.

“Tapi itu masuk akal. Jumlah lelaki lebih sedikit daripada perempuan. Sebagian homo, sebagian lagi monogami. Memang harus ada perempuan yang mengalah.”

Lagipula gagasan itu kedengarannya mulia ketimbang terjebak dalam pemikiran bahwa dirimu adalah perempuan tidak laku.

“Tapi sebetulnya… Binar cintanya sama kamu. Dia memutuskan begitu karenamu.”[]

Rabu, 25 Juni 2014

Alih Bahasa Cerpen Fernando Sorrentino, "Mere Suggestion"

Jadi, semua ini dimulai ketika saya mencoba untuk menerjemahkan cerpen Jorge Luis Borges, "The Lottery in Babylon" (1941). Upaya yang lagi-lagi berbuah frustasi. Maka saya mengambil buku kumpulan cerpen Inggris dan Amerika dari Longman yang telah disederhanakan. Buku itu dulunya milik Nenek, dan kini penampakannya sudah menghitam akibat debu menahun. Saya pun mulai meninjau, lalu mengecek beberapa cerpen di internet. Biasanya saya tidak akan menerjemahkan cerpen yang sudah pernah diterjemahkan (dan dipublikasikan, tentunya, sehingga saya mengetahuinya) oleh orang lain. Dalam pencarian tersebut, saya sampai ke situs east of the web. Situs ini menyimpan banyak cerpen (berbahasa Inggris, tentunya). Di antaranya berkategori "humour", kesukaan saya. Saya menyadari, lagi-lagi, bahwa belajar menerjemahkan itu sebaiknya dimulai dari teks-teks yang ringan dan pendek dulu, dan lucu. Borges? Mungkin saya perlu 10.000 jam menerjemahkan dulu baru bisa kembali ke sana. (Mudah-mudahan tidak selama itu juga.... Huf!). 

Banyak cerpen dalam daftar "humour" tersebut adalah karangan Fernando Sorrentino (l. 1942). Sama-sama penulis Argentina, setidaknya. Biarpun tidak setermasyhur yang satunya, karya penulis ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Di antara beberapa cerpen pendek yang ditulisnya dan telah diterjemahkan serta dipublikasikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu "There's a Man in the Habit of Hitting Me on the Head with an Umbrella" (judul yang menggugah, bukan?) dan "An Enlightening Book" yang bisa ditemukan dalam buku kumpulan 47 cerpen pendek dari 5 benua, Pagi di Amerika yang diterbitkan oleh Serambi, 2004) (ed. Hikmat Darmawan). (Sial, godaan untuk menghabiskan duit di Palasari lagi, nih!). 

Cerpen pertama beliau yang saya coba terjemahkan adalah cerpen yang paling pendek, hanya satu halaman, yang diterjemahkan oleh Clark M. Zlotchew ke dalam bahasa Inggris dengan judul: "Mere Suggestion". Sebetulnya ada yang sudah menerjemahkan cerpen ini ke dalam bahasa Indonesia, namun karena saya kadung dibikin tertarik sama versi film cerpen ini (tenang, tenang, saya sematkan di bawah sono kok) dan tidak puas dengan terjemahan yang sudah ada, maka saya menerjemahkannya ulang. Mudah-mudahan hasilnya cukup enak dibaca. Silakan apabila ada masukan dikarenakan bagian yang dirasa kurang luwes atau tepat.



Cuma Sugesti 
(Cerpen Fernando Sorrentino)

Teman-temanku bilang aku ini orangnya sangat mudah terpengaruh oleh sugesti. Kurasa mereka benar. Sebagai buktinya, mereka mengungkit-ungkit kejadian kecil yang menimpaku pada Kamis lalu.

Pagi itu aku sedang membaca novel horor. Walaupun pada waktu itu cuaca terang, aku merasa menjadi korban dari kekuatan sugesti dalam cerita itu. Sugesti itu membuatku membayangkan adanya seorang pembunuh haus darah di dapur. Pembunuh haus darah itu mengacungkan belatinya yang besar, menantiku memasuki dapur sehingga dia dapat menyergapku dan menancapkan pisaunya ke punggungku. Walaupun aku duduk tepat di seberang pintu dapur, walaupun senyatanya tak ada seorangpun yang dapat memasuki dapur itu tanpa sepenglihatanku, dan tidak ada akses lain ke dapur kecuali melewati pintu itu; tapi aku sepenuhnya teryakinkan bahwa memang ada pembunuh yang bersembunyi di balik pintu yang tertutup itu.

Jadi karena menjadi korban sugesti itu aku tidak berani untuk memasuki dapur. Aku menjadi cemas. Sebentar lagi waktunya makan siang dan aku perlu ke dapur. Tahu-tahu terdengar dering bel dari pintu depan.

“Silakan masuk!” aku berseru tanpa bangkit. “Pintunya tidak dikunci kok.”

Petugas apartemen masuk. Dia membawakan beberapa surat.

“Kakiku tidak bisa digerakkan,” kataku. “Bisakah tolong ke dapur dan ambilkan segelas air?”

“Tentu,” sahutnya. Dia membuka pintu dapur dan masuk. Lalu aku mendengar jerit kesakitan disusul suara tubuh yang dalam robohnya menjatuhkan pula perabotan. Akupun lompat dari kursiku dan lari ke dapur. Petugas itu, separuh tubuhnya tersangga oleh meja sementara belati yang besar menancap di punggungnya, terbaring tewas. Sekarang, tenanglah. Aku bisa memastikan bahwa tentu saja tak ada pembunuhan di dapur.

Karena logikanya, kejadian itu sebenarnya cuma sugesti.[]




Selasa, 24 Juni 2014

Vampir yang Kelaparan

Cerita ini saya sertakan dalam Program Tantangan Kemudian 2014. Saya mendapat tantangan dari Rea_sekar untuk membuat cerita fantasi untuk anak SD dengan ketentuan antara lain panjangnya maksimal 1000 kata serta tidak menggunakan nama-nama yang sulit diucapkan oleh lidah Indonesia, adegan kekerasan atau perang, maupun sihir/mantra (saya memang tidak mengerti tradisi fikfan macam begituan, untunglah). Cerpen ini saya pajang ulang di sini karena mendapat poin di atas 100, wahahaha... (berasa prestasi, gitu ya, padahal mah...). Cerpen ini awalnya ditulis hingga lebih dari 10.000 kata namun demi kepentingan tantangan saya meringkasnya menjadi sebagai berikut. Jelaslah cerpen ini tidak akan layak dimuat di Bobo atau media beken manapun, tapi sedikitnya mudah-mudahan dapat menghibur pembaca.



Tantangan Fantasi (khusus untuk pembaca anak SD)

sumber: http://bintaf.files.wordpress.com/2013/01/drakula11.jpg
sumber gambar 

Sebuah truk pikap berhenti di depan rumah Vido. Dari dalam truk itu, sebuah peti mati digotong keluar dan dibawa masuk ke gudang rumah Vido. Vido bertanya kepada papinya darimana asal peti mati itu. “Itu punya teman Papi di luar negeri. Teman Papi mengoleksi barang antik.”

“Apa isinya?” Vido bertanya lagi. Papi Vido tidak tahu. Temannya hanya menitipkan barang itu untuk sementara.

Vido segera memberi tahu temannya, Ghira, lewat telepon. “Kita harus memeriksanya nanti malam. Biar seru! Kamu menginap saja.”

Ghira penasaran sekaligus takut. Tapi dia lebih takut kalau Vido mengatainya penakut dan memberitahukannya kepada teman-teman sekelas. Ghira pun meminta izin kepada mamanya.

Malam itu mereka menunggu sampai rumah Vido gelap dan sepi. Ini adalah penyelidikan rahasia! Mereka memasuki gudang dengan berbekal senter, handycam, dan hafalan ayat suci.

Tutup peti itu sangat berat ketika mereka mencoba mengangkatnya. Mereka pun mencoba menggesernya dengan sekuat tenaga. Perlahan, isi peti itu terlihat. Sebuah tangan yang pucat membantu mereka mengangkat tutup itu dari dalam peti. Tutup itu lalu terjungkal ke lantai.

Sesosok laki-laki yang sangat kurus dan tua bangkit dari dalam peti, dan menyeringai. Jubahnya berwarna hitam dan lebar. Gigi-giginya panjang, tajam, dan berkilat-kilat. Begitu juga dengan kuku-kukunya. Vido dan Ghira menjerit. Mereka hendak melarikan diri. Tapi tangan laki-laki itu dengan cepatnya menangkap kaki mereka. Laki-laki itu lalu membenamkan taringnya ke betis Vido dan Ghira secara bergantian. Rasanya seperti dicubit!

Tiba-tiba laki-laki itu melepaskan mereka, lalu melepeh-lepeh. “Harrrh… Darah kalian tidak enak!”

Laki-laki itu lalu menarik kain di bagian belakang jubahnya sampai menutupi separuh mukanya, lalu berubah wujud menjadi kelelawar. Kelelawar ceking itu terbang terhuyung-huyung ke luar gudang, dan menghilang.

“Dia vampir!” seru Ghira dengan amat ketakutan.

“Kita juga akan menjadi vampir!” seru Vido tidak kalah takutnya.

Luka di kaki mereka mengucurkan darah. Mereka segera membersihkannya di kamar mandi. Bekas taring vampir itu sekarang terlihat seperti dua titik kecil bekas gigitan serangga.

Mereka cemas sekali semalaman itu karena mereka akan menjadi vampir. Tapi sampai subuh tiba, tidak ada perubahan apa-apa pada mereka. Mereka menunggu lagi sepanjang hari sambil bertanya-tanya ke mana perginya vampir itu, tapi mereka tetap tidak merasakan perubahan apa-apa. Ghira pun pulang ke rumahnya.

Besoknya di sekolah Vido bercerita kepada Ghira. Pagi itu, Papi, Mami, dan kakak-kakak Vido bangun dengan luka yang menyerupai bekas gigitan vampir itu! Mereka mengira itu hanya bekas gigitan serangga.

“Gawat! Bisa-bisa dia mengubah seluruh kota menjadi vampir!” kata Ghira khawatir.

“Kita harus cepat-cepat menemukannya!” desak Vido.

Setiap hari sepulang sekolah, mereka melakukan pencarian di sekitar rumah Vido dengan berbekal jaring. Kata Mang Adin, penjaga sekolah mereka, pada siang hari kelelawar suka tidur di pucuk-pucuk pohon. Tapi mereka tidak berani mengambilnya apalagi menyuruh orang lain yang melakukan. Jadi mereka hanya memandangi gundukan-gundukan hitam yang mereka sangka kelelawar itu dengan curiga. Kalau Ghira diperbolehkan menginap, mereka melakukan pencarian di seluruh penjuru rumah Vido saja sebab mereka tidak diizinkan ke luar pada malam hari.

Hari menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Vampir itu tidak kunjung ditemukan. Vido dan Ghira pun sudah lupa. Mereka juga tidak berubah menjadi vampir.

Sampai suatu hari, Vido dan Ghira menemukan vampir itu secara tidak sengaja. Waktu itu mereka sedang mencari bahan untuk tugas prakarya di gudang rumah Vido. Vampir itu sedang meringkuk di sudut peti mati. Dia tampak jauh lebih kurus dan tua daripada yang terakhir kali mereka lihat.

Vampir itu menangis. Darah mengalir menuruni pipinya yang cekung.

Vido dan Ghira merasa kasihan. Mereka mendengarkan vampir itu bercerita.

“Suatu hari seseorang menangkapku dan mengurungku di dalam peti ini. Aku tidak bisa keluar lagi untuk mencari makan. Berapa lamanya aku tidak tahu. Sampai kalian melepaskanku. Tapi segalanya telah berubah. Tempat ini asing bagiku. Ada lebih banyak orang dan binatang tapi tidak satupun yang darahnya enak. Semuanya terasa kotor seperti tapal kuda yang karatan. Peh!”

“Jadi kau telah menggigit banyak orang dan binatang! Tapi kenapa tidak ada yang berubah menjadi vampir juga?” tanya Vido.

“Tidak semua yang kami isap darahnya akan berubah menjadi vampir juga. Ada zat khusus untuk itu, tapi aku terlalu lemah untuk mengeluarkannya. Lagipula kami hanya mengisap darah seperlunya.”

Vido dan Gira merasa bingung hendak menolong atau membiarkan vampir itu mati kelaparan. Mereka tidak tahu apa yang mereka dapat lakukan. Ketika mereka menengok vampir itu lagi pada hari berikutnya, makhluk itu telah menjadi kelelawar dan mati.

Amanat: Kalau kita sering menghirup asap kendaraan, darah kita akan mengandung racun yang bernama timbal. Timbal, selain tidak disukai oleh vampir, juga dapat menyebabkan kebodohan, kanker, dan berbagai penyakit lainnya pada manusia.[] 



Jumat, 20 Juni 2014

Bohong

Akhirnya hujan mereda. Lelaki itu lekas-lekas melintasi pelataran stasiun. Di luar gerbang, ia menaiki angkot yang warnanya sehijau daging alpukat. Ia duduk di hadapan pintu. Tas selempangnya yang gemuk ia letakkan di depannya.

Petang masing terang walau agak muram. Hujan kembali rintik namun tidak sederas sebelumnya. Arus lalu lintas dan manusia di area Pasar Baru seolah tak terganggu; kembali ramai sehabis diguyur hujan besar. Sesekali lelaki itu menoleh ke sana kemari, terus mengawasi pemandangan yang telah lewat.

Ademnya hawa kembali ia nikmati setelah berbulan-bulan meninggalkan kota ini. Hatinya menjadi sejuk sekaligus berat kala teringat anak dan istrinya. Sudahkah istrinya memberitahu anak mereka kalau ia akan pulang hari ini? Percakapan terakhir mereka di telepon tidak berlangsung dengan baik.

Happy anniversary,” ucap lelaki itu waktu itu. Sama gugupnya dengan pemuda pemalu yang ingin mengungkapkan “aku suka kamu” pada gadis pujaannya. Terlontar dalam satu tarikan napas setelah bermenit-menit ketegangan dan pergumulan di dalam batin.

Anniversary apa ya?” sahut istrinya setelah diam agak lama.

“Ayolah. Udah sewindu,” dan akibatnya ia sibuk mencari benda apapun yang terbuat dari perunggu, atau berwarna merah tua seperti perunggu di pasar setempat. Itulah hadiah yang tepat untuk diberikan berdasarkan lama usia pernikahan mereka—menurut Webster’s New World Quick Reference Dictionary yang entah bagaimana terbawa di dalam kopernya selama perjalanan dinas.

Tapi satu-satunya yang berwarna perunggu adalah kulitnya, akibat terpapar oleh sinar matahari selama berbulan-bulan meliput gugusan pulau terluar Indonesia. Ekspedisi itu sebetulnya sudah berakhir minggu lalu.

“Sebentar. Aku lihat kalender dulu…. Oh. Bukannya udah minggu lalu, ya.”

Tapi ajakan rekan-rekannya untuk memperpanjang perjalanan ke tempat-tempat lainnya sungguh sukar untuk ditolak. Kapan lagi ia punya kesempatan lebih untuk melampiaskan minat fotografinya dengan tangkapan berupa objek-objek eksotis? Memang akibatnya ia harus merelakan berkurangnya jatah cuti, dan bonus, dan…

“Kau tahulah, susah cari sinyal di sana.”

Ia baru teringat akan tanggal sakral itu lima menit yang lalu, dan langsung menelepon.

“Kita emang enggak pernah ngerayain, kan.” Tidak pernah sempat, dengan waktu kerja yang dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu—entah mengapa tanggal itu tidak pernah bertepatan dengan waktu cuti. Nada istrinya selagi mengungkapkan itu seakan menyayangkan pulsa yang lelaki itu habiskan untuk perkataan yang tak perlu.

“Aku sampai di rumah besok,” kata lelaki itu setelah membisu beberapa lama.

“Oke.”

Suasana berangsur-angsur mencair begitu pembicaraan beralih pada anak mereka. Anak perempuan yang aktif dan lucu, yang begitu montok saat diasuh sang nenek, dulu, dan setelah wanita itu meninggal, tubuhnya perlahan menjadi kurus sementara kulitnya selegam sang papa. Anak itu senang berteman dengan orang-orang baru dan bermain sampai ke mana-mana, lapor sang mama, sampai jauh sekali.

Lampu merah menghentikan angkot di perempatan Jalan Malabar dan Jalan Gatot Subroto. Gerimis masih menggelitik bumi. Lelaki itu sedang termenung-menung kala sepasang bocah mendekati pintu angkot yang dinaikinya itu.

“Permisi…. Mau numpang nyanyi….” Salah seorang di antara mereka menyapa dengan kenesnya, lalu duduk di pijakan pintu sambil bernyanyi diiringi tepukan tangannya sendiri. Wajahnya menyiratkan kepercayaan diri dan semangat yang tinggi. Yang satu lagi bersandar di ambang pintu dan ikut bernyanyi sambil menabuh kecrekan, agak malu-malu.

Gemuruh merambati punggung lelaki itu sementara matanya terpancang kuat-kuat pada salah satu gadis kecil itu—yang tengah larut dalam penampilannya sendiri walau hanya di muka pintu angkot. Anak itu lalu mengedarkan kantong sejauh yang lengannya sanggup julurkan dari ambang pintu. Sewaktu tiba giliran lelaki berkacamata yang duduk di belakang sopir, anak itu terperanjat.

“Bibe!” seru lelaki itu bersamaan dengan menyalanya lampu hijau. Yang dipanggil buru-buru meloncat dari pintu, disusul oleh temannya. Beberapa mobil berhenti mendadak seraya berdecit panjang, ada yang mengklakson, kala sepasang bocah itu berlarian. Mereka menjauh dalam rinai. Sesekali salah satunya menengok ke belakang dengan ngeri. Hampir saja lelaki itu ikut meloncat ke luar dan mengejarnya, namun angkot keburu melaju.

Lelaki itu terduduk kembali dengan geram, sembari menghindari tatapan para penumpang lain. Apa-apaan yang tadi itu, pikirnya. Setelah dua kali belokan, ia menyadari kalau selama itu ia menaiki angkot yang salah. Angkot yang benar, sebetulnya, apabila yang ditujunya adalah rumah ibunya. Tapi ibunya meninggal lima tahun yang lalu, sementara rumah itu telah beralih kepemilikan kini. Di Jalan Terusan Martanegara ia turun lalu menyetop angkot 01—yang untungnya menuju ke sisi kota tempatnya tinggal meskipun perjalanan akan memakan waktu yang lama lagi. Dalam batin ia betanya-tanya apa kepikunan sudah menderanya kendati usianya belum mencapai kepala empat. Setidaknya itu akan mengurangi rasa bersalahnya karena tidak pernah mengingat tanggal pernikahannya sendiri.

Ia turun dari angkot 01 di depan Taman Makam Pahlawan, lalu menyeret langkah memasuki gang berliku di samping area tersebut. Pandangannya sesekali mengikuti anak-anak yang berlarian. Anak-anak yang berlarian acapkali mengingatkannya pada putrinya, berharap bocah itu terselip di antara mereka, meskipun pemandangan itu tengah dilihatnya di tempat yang ribuan kilometer jauhnya dari rumah. Kali ini ia merasa agak dongkol. Padahal ia sudah mencukur berewoknya kemarin, tapi bisa-bisanya anak itu tidak langsung mengenalinya tadi. Atau jangan-jangan anak yang mengamen tadi itu bukan putrinya? Tapi ia merasa yakin sekali mengenali putrinya. Toh wajahnya yang tercetak di wajah anak itu, adapun kelakuan diwarisi dari sang mama. Ia mengingat-ingat lagi penampakan anak itu. Rambutnya yang lurus terkuncir di belakang kepala. Betisnya yang cokelat dan kenyal. Sorot matanya yang berbinar nakal. Bajunya yang terusan putih itu sangat sering dikenakannya.

Tahu-tahu rumah mungil itu sudah tampak di hadapannya.

Ia membuka pintu sambil mengucap salam. Istrinya sedang membaca buku di depan TV yang disetel dalam volume pelan.

Ia merasa letih sehabis bertugas dalam waktu lama di tempat-tempat jauh, anak mereka berkeliaran di jalanan, sementara perempuan itu bersantai-santai di rumah dengan nyamannya.

“Sampai juga. Minum?” sambut istrinya.

“Ya, makasih.” Lelaki itu menyingkirkan tumpukan cucian kering di sofa, lalu mengempaskan tubuh di samping istrinya. Namun perempuan itu malahan beranjak ke dapur untuk menyeduh minuman yang disangkanya kopi. Ternyata teh. “Kopinya habis?”

“Enggak.”

Bagaimanapun ia tetap menyesap minuman itu. Benaknya membayangkan sebuah percakapan.

“Kau tahu, anakmu ngamen di Malabar? Tadi nyaris keserempet mobil!”

“Naik angkot apa sih kamu, dari stasiun kok sampai ke Malabar segala? Terus kenapa enggak kamu suruh dia pulang sekalian?!”

Pintu terbuka. Sekilas lelaki itu beradu pandang dengan anaknya. Seluruh rambut dan pakaian anak itu lengket dengan badan akibat dibasahi hujan. Sorot matanya sama resah dengan yang tampak sewaktu di jalanan tadi, namun segera ditutupi oleh kegirangan yang dibuat-buat.

“Papa! Papa udah pulang!” Anak itu merenggut tangan kanannya, dan menciumnya.

“Iya.” Lelaki itu terheran-heran karena seketika lenyap kemangkelan yang sempat dirasakannya begitu tangan mereka bersentuhan.

“Habis hujan-hujanan lagi?” sambut istrinya.

“Kata Mama enggak apa-apa hujan-hujanan, biar enggak gampang sakit….” Bibe merengut.

“Ya udah. Cepat mandi, sana, ganti baju.”

Anak itu segera menuruti perkataan mamanya. Terdengar pintu kamar mandi ditutup dengan terlalu bersemangat, lalu gebyar-gebyur yang hendak menandingi deru hujan. Lelaki itu beranjak ke dapur yang terletak di samping kamar mandi, tertutup oleh dinding ruang tengah. Diseduhnya kopi sembari menanti. Ketika anaknya keluar dengan handuk besar menyelubungi ujung kepala sampai lutut, lelaki itu menegur. “Tadi ngapain di Malabar?”

Anak itu tersentak. Bibirnya terkatup rapat-rapat.

Lelaki itu tidak bermaksud memarahi anaknya. Lagipula mereka sudah lama tidak berjumpa. Pelan ditepuknya puncak kepala anak itu. “Jangan diulangi, ya.”

Bibe menatapnya beberapa lama tanpa kata-kata, sebelum mengangguk kuat-kuat dan berlalu menuju kamarnya. Lelaki itu pun duduk di tempatnya semula dengan cangkir besar berisi kopi yang mengepul. Tak lama anaknya muncul dengan mengenakan pakaian kering, siap menyambut sang papa dengan sikap seolah kejadian tadi tidak pernah ada.

Baru saja anak itu bergabung dengan di sofa, mamanya tahu-tahu bertanya, “Tadi ngamen lagi?”

“Enggak!” Bibe menyalak, yang justru malah membuat tatapan mamanya tertahan lebih lama pada anak itu.

“Tadi ada sopir angkot nelepon Mama. Katanya lihat Bibe lagi ngamen.”

Ujung bibir istrinya tertarik sedikit ke atas, tanda bahwa perempuan itu geli dengan candaannya sendiri, yang tanpa disadarinya justru terasa mengerikan bagi anak mereka.

“Bohong! Bohong!”

Tatapan Bibe mengarah pada papanya. Amarah mulai menyala di manik matanya. Lalu ia memandang mamanya lagi dengan penuh penyangkalan. Perempuan itu balas menatap dengan penuh selidik.

Berharap perhatian anak-beranak itu akan teralihkan, lelaki itu membungkuk untuk menyeret tasnya mendekat,  lalu menarik ritsleting. “Papa bawa oleh-oleh nih….”

“Aku enggak ngamen…” dumel Bibe seraya mengambili barang dari dalam tas.

“Tapi Bibe masih ingat kan, kenapa enggak boleh main di jalan?”

“Ya….”

“Kenapa?”

“Entar celaka….”

“Ingat juga kan, kenapa enggak boleh bohong?”

“Enggak bohong! Enggaaak!”

Tapi kedua orangtuanya terus menatapnya. Mama yang curiga. Papa yang terpana. Anak itu mencampakkan barang-barang yang tadi diambilinya, lalu berlari ke kamarnya. Membenamkan diri di kasur sambil menangis tersedu-sedu.

Lelaki itu mengangkat alis, mengembuskan napas. Tak sengaja ia menoleh pada istrinya, yang kini ganti menyorotnya. Sejenak mereka saling bertatapan.

“Aku memang lupa,” ucap lelaki itu akhirnya.

“Apa?”

Anniversary kita.”

Istrinya memberengut. “Dasar. Anak sama bapak sama aja.” Perempuan itu beranjak ke kamar dan menutup pintu.[]

Senin, 09 Juni 2014

Dari Toko Buku

Ini ketiga kalinya aku melihat cowok itu di toko buku. Selalu ketika kedua belah lengannya tengah membopong tumpukan buku. Tapi dia bukan pegawai toko karena tidak pernah mengenakan seragam.

Sesekali mataku melompat dari buku yang dipegang tanganku ke arah sosoknya yang berjaket kulit hitam. Tingginya mungkin beberapa belas sentimeter di atas kepalaku. Kulitnya agak terang. Rambutnya agak berombak.

Aku pernah membaca beberapa cerita tentang dua orang—cowok dan cewek—yang memulai hubungan dari perbincangan di toko buku. Yang satu mendekati yang lain, mungkin dengan teguran, “Suka (isi dengan judul atau pengarang) juga ya?” dan mengalirlah obrolan yang mula-mula berbau filosofis lalu lama-lama bernuansa romantis.

Kalau saja aku bisa mengintip judul-judul yang dibawanya. Tapi dia mondar-mandir melulu. Begitu pula aku. Aku mau saja membaca seluruh buku di toko ini—eh, mungkin tidak seluruh, tapi banyak di antaranya—tapi sebagai pembeli dengan anggaran terbatas aku mesti menentukan pilihan. Sebijak mungkin. Terutama untuk kategori fiksi, makin kemari aku makin selektif saja. Beda dengan buku nonfiksi yang suatu saat mungkin bisa dijadikan referensi yang autentik.

Tapi ke rak mana pun aku menuju, memindai judul demi judul yang sekiranya menarik, cowok itu seperti mendekatiku. Dia tidak memintaku menyisihkan jalan—jarak antar rak di toko buku ini relatif sempit sekali sehingga apabila dua orang berpapasan salah satunya harus menempel ke sisi salah satu rak. Dia hanya berhenti beberapa jauhnya, lalu berbalik dan mencari jalan lain. Aku tahu dia tidak benar-benar mendekatiku. Dia seperti mencari sesuatu. Dan kebetulan aku berada dalam rutenya. Tapi kejadian yang hingga beberapa kali itu mengetuk-ngetuk pikiranku. Mungkinkah… Mungkinkah terjadi keberlanjutan hubungan seperti di dalam cerita-cerita itu? Apalagi ini ketiga kalinya kami bertemu. Dia mungkin pernah melihatku membopong banyak buku juga ke luar dari toko. Dia mungkin cowok yang ditakdirkan bersamaku membangun kerajaan buku.

Atau mungkin tidak sejauh itu. Mungkin dia bisa menjadi sekadar temanku dalam menghadiri berbagai acara yang berhubungan dengan literasi di kota ini. Seperti kemarin petang, ada acara yang menghadirkan seorang penerjemah novel-novel Jepang sekaligus dosen ilmu budaya di perguruan tinggi negeri. Setiap orang yang kuajak menemaniku ke sana menolak dengan alasan capek-baru-pulang-kerja atau sibuk-banyak-tugas-kuliah.

Mungkin dia bakal tertarik juga kalau kuajak menghadiri pertemuan Book Anonymous. Kelompok ini diadakan bagi orang-orang yang merasa kecanduan mereka terhadap buku telah mencapai taraf bermasalah. Aku mengikuti kelompok tersebut karena merasa bersalah dengan kebiasaanku berbelanja buku sampai ratusan ribu tiap bulannya, padahal orangtuaku berharap uang saku yang mereka berikan itu kumanfaatkan untuk keperluan lainnya. Konselor di sana memahamkanku bahwa aku memang perlu mengeluarkan sejumlah uang tiap bulannya untuk mempertahankan status quo—membuat diriku merasa masih menjadi bagian dari kalangan menengah yang berdaya-beli. Tak ubahnya dengan pencandu lain terhadap barang apapun. Setidaknya buku membuat kita dipandang intelek; jadi berbelanjalah dengan tenang selama tidak mengutang!—aku diminta mencamkan ini untuk mengurangi rasa bersalahku. Sudah lama aku tidak mendatangi perkumpulan itu lagi, karena bukannya membuatku berhenti dari kecanduan malahan meneruskannya.

Bagaimanapun, ternyata ada orang yang kecanduannya lebih parah. Dia tidak punya kasur dan meja lagi di kamarnya. Dia tidur di atas ratusan buku yang ditumpuk sehingga membentuk balok yang cukup tinggi dan lebar untuk mengalasi tubuhnya; menulis pun di atas buku. Jangan tanya bagaimana kondisi toiletnya.

Ada pula orang yang koleksi bukunya sudah menyerupai isi toko buku ini. Buku-buku ditumpuk begitu saja. Sebagian besar disampuli plastik, sebagian dibiarkan telanjang. Debu-debu dibiarkan melapisi. Ada buku yang tidak sengaja terlipat karena dimasukkan ke dalam rak secara serampangan. Ada buku yang tampak keriting karena pernah basah oleh entah apa. Sebagian menjadi persemayaman bangkai cicak, kecoak, lipan, dan entah apa lagi. Jarak antar rak begitu berdempet sehingga orang harus bergantian memasukinya. Lama dan baru tercampur-baur. Kadang ada buku yang dobel.

Selain itu, Book Anonymous seharusnya membedakan antara pencandu buku dan hikikomori yang ingin tobat. Tapi ya begitulah. Tidak apa-apa juga sih, biar agak ramai.

Cowok itu kembali berada di dekatku sementara aku tengah berjongkok dengan punggung bersandar pada rak di belakangku. Kedua tanganku berusaha mengeluarkan buku dari tumpukan yang demikian rapat di rak di depanku. Setelah aku berhasil menarik buku itu, cowok itu rupanya sedang menanyakan sesuatu kepada kasir. Gajah Mada, kudengar.

Hei. Mungkin aku bisa membantu cowok itu mencari. Aku sering ke toko buku ini, aku cukup berpengalaman dalam mengubek-ngubek isi raknya yang tidak beraturan ini. Kuingat-ingat di mana kira-kira aku pernah melihat buku yang bertuliskan Gajah Mada di sini. Di mana, naruhnya di mana…. Aku bahkan bukan lulusan perguruan tinggi yang diembel-embeli dengan nama orang itu! Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa dia mencari buku tentang Gajah Mada. Jangan-jangan dia penulis yang sedang mengumpulkan bahan untuk karya terbarunya.

Aku meneruskan pencarianku, baik terhadap buku yang kira-kira menarik untuk kumiliki maupun terhadap Gajah Mada, sembari mengamati cowok itu. Terdengar senandungnya mengikuti lagu yang tengah diputar di dalam toko buku itu. Seleranya ternyata Yovie and the Nuno—sepertinya aku masih bisa menoleransinya. Dia kembali mendekati kasir, namun tidak terdengar apa yang dikatakannya. Lalu dia menjauh, dan berputar-putar di antara dua rak sambil mengeluarkan dengungan lebah melalui mulutnya. Sepertinya aku juga tidak akan keberatan kalau zzzzzzzz itu kelak terdengar di ruang tengah rumahku. Teringat akan hal lain yang kupelajari dari Book Anonymous: pencandu buku akut seringkali juga memiliki imajinasi yang tinggi; mereka tidak banyak berinteraksi dengan dunia luar secara langsung sehingga acapkali menciptakan dunia mereka sendiri. Barangkali termasuk menciptakan lebah sendiri.

Kalau aku tidak berhasil menemukan Gajah Mada, semisal cowok itu kembali menanyakan sesuatu di kasir aku akan nimbrung dan pura-pura menanyakan sesuatu pula. Sesuatu yang kedengarannya keren seperti… seperti… seperti… apa ya? Aku melihat novel yang secara tidak sengaja kupegang, yang ternyata pemenang sayembara novel DKJ 2006. Judulnya Lanang. Ya. Aku menanyakan novel ini saja biarpun sudah tahu letaknya. Atau mungkin sesuatu yang tetap terkesan “cerdas” dan lebih terkenal. Ayu Utami, misalnya. Atau Sabda Palon—apalah itu.

Sialnya aku terlupa akan cowok itu karena menemukan buku James Danandjaja yang diberi subjudul: Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Aku mengubek-ubek beberapa tumpukan di depanku dan hanya menemukan empat eksemplar buku tersebut. Tak satupun dalam keadaan amat baik. Salah satunya bahkan beraroma kencing kecoak. Setelah membaui bagian dalam keempat-empatnya, kupilih satu yang aromanya tidak berbahaya. Lalu aku melihat si jaket kulit hitam itu sudah berada di balik pintu kaca, menjauhi toko.

Mengingat musik macam apa yang menjadi seleranya, dan kesukaannya dalam meniru bebunyian alam, aku mencoba untuk melepas kepergiannya dengan legawa. Aku mesti ikhlas pula melepas dua ratus ribu dari dompetku di kasir untuk beberapa buku yang di antaranya adalah buku James Danandjaya tentang amnesia itu dan kumpulan cerpen Anton Kurnia berjudul Insomnia. Empat puluh tahun lagi aku mungkin akan membeli buku yang dalam judulnya terdapat kata “demensia”.

Aku menyerahkan tumpukan buku yang telah kubayar ke meja penyampulan. Karena tidak berminat melihat-lihat buku yang dipajang di pelataran toko, aku duduk saja sambil mengamati judul-judul yang tengah disampuli dengan plastik oleh petugas: The Introvert Advantage, Seratus Tahun Kesunyian, Misteri Soliter, dan beberapa novel Haruki Murakami. Si jaket kulit hitam muncul kembali entah dari mana dan menjemput buku-buku itu bersama ranselnya. Aku terlalu terpaku hingga bergeming saja. Barangkali adegan cowok-cewek yang tidak saling mengenal sebelumnya dan dapat mengobrol dengan lancarnya di toko buku tentang buku atau pengarang yang mereka sama-sama sukai itu memang hanya mungkin terjadi di dalam cerita, sedang aku tidak tahu apakah ceritaku ini bahkan patut disebut cerita

Aku berdiri untuk mengambil buku-bukuku, menolak kantong plastik, dan memasukkan semuanya begitu saja ke dalam ranselku yang lebih mirip buntalan kain perca, lalu berjalan ke luar pelataran. Seorang cowok yang entah sedari kapan membersamaiku menegur, “Ini kelima kalinya saya lihat kamu di sini—“

“Berapa kali?” Aku menoleh kepadanya dengan kaget. Sebenarnya aku bisa mendengar jumlah itu dengan jelas sekali. Sekonyong-konyong terlintas di kepalaku kalau cowok ini mungkin juga selalu melihatku dalam keadaan membopong tumpukan buku, dan membatin: Dia mungkin cewek yang ditakdirkan untuk membangun kerajaan buku bersamaku. Kutaksir usianya tidak seberapa jauh daripadaku. Rambutnya lurus, hampir menutupi mata. Kulitnya yang putih sepucat bibirnya yang kelabu. Jaketnya yang terbuat dari bahan parasut tidak kalah pucat dari warna kulit dan bibirnya. Puncak kepalanya tepat di depan mataku. Setelah dia menanggapi pertanyaan spontanku tadi, aku membalasnya dengan senyum kikuk lalu mempercepat langkah ke Alfamart di sebelah toko. Aku berharap dia sudah tidak ada begitu aku keluar dengan sebotol Nutriboost rasa jeruk.

Dia mengikutiku ke dalam Alfamart. Kulihat dia tampaknya juga hendak membeli sesuatu. Jadi aku tidak mengacuhkannya. Setelah ini aku berencana untuk berjalan kaki ke rumah sekalian melewati kompleks Dinas Tenaga Kerja. Sewaktu menaiki angkot dalam perjalanan menuju toko buku, aku melihat di tiang listrik di depan kompleks tersebut terpampang iklan lowongan kerja.

Setelah beberapa menit menjauhi Alfamart dan meneguk Nutriboost rasa jeruk yang rasanya ternyata mirip Combantrin sirup, aku mendapati cowok itu menjajari langkahku. Aku mempercepat lajuku, berharap dia akan terengah-engah karenanya. Dia mengajakku berkenalan dalam kegugupannya yang menular. Kalau saja aku segigih ini sewaktu cowok berjaket-kulit-hitam tadi masih ada!

Ranselnya sebesar ransel tentara yang akan menaiki gunung. Dia membenarkan ketika aku menerka ranselnya hanya berisi buku. Kami hampir sampai di tiang listrik tujuanku ketika ranselnya ambrol. Aku membantunya mengumpulkan buku-buku yang berceceran—sebetulnya lebih karena ingin mengetahui buku macam apa yang dibelinya. Textbook. Textbook. Dan textbook. Sebagian lagi berupa buku-buku nonakademis namun sampai kapanpun tidak akan masuk ke dalam daftarku. Dengan malu-malu dia mengaku bahwa dirinya mahasiswa pascasarjana di perguruan tinggi berlogo gajah duduk. Masih berjongkok, aku membuka buntalan-kain-percaku, berharap menemukan lipatan tas kain. Aku terbiasa membawa tas cadangan karena semasa kuliah aku sering pulang dari perpustakaan dengan setumpuk buku yang terlalu berat untuk dimuat di dalam ransel. Aku punya sekitar selusin tas seperti itu di rumah. Dengan rikuh ia menerima pemberianku.

Sementara ia mengatur buku-bukunya di dalam tas yang sebenarnya tidak besar itu, aku mencuri kesempatan untuk mengintip iklan lowongan kerja di tiang listrik. Embel-embel “penghasilan tidak terbatas” membuatku ragu.

“Kamu sendiri… kuliah? Kerja?”

“Autodidak,” jawabku.

“Oh….” Dia mestinya tidak memahami jawabanku dengan jelas, dan segan untuk memintaku memperjelasnya, tapi terus saja bertanya, “Bidang apa?”

“Mm…. Humaniora…?” atau apapun yang bisa menjawab keingintahuan kenapa sebagai orang kota aku senang berbicara dan berjalan cepat-cepat seperti angkot lagi kejar setoran.

Aku merogoh bon dari pembelian di Alfamart tadi, dan pulpen dari dalam ransel, lalu menulis di permukaan yang kosong:

 

BOOK ANONYMOUS

Jalan Soekarno-Hatta XXX

Bandung 40XXX

CP: (022) 73XXXXX/ 08XXXXXXXXXX

 

Aku menyerahkan kertas tersebut kepadanya.

“Apa ini?”

Untungnya sebuah angkot keburu berhenti di depan kami. Angkot yang sebetulnya berlawanan dengan arah menuju rumahku. Angkot yang justru akan membawaku kembali melewati toko buku tadi. Tapi aku tetap menaikinya demi menjauhi sosok yang terbengong-bengong itu.[]


Kamis, 05 Juni 2014

gulagu pengangguran

Rhoma Irama - "Pengangguran"

telah lama kualami/ hidup tiada pegangan/ pengangguran, ya Allah.../ tiap hari susah makan/ anak istri bertangisan/ jadi korban, ya Allah.../ tiada yang mau menolong/ pada diriku ini/ tiada yang mau perduli/ akan nasibku ini/ bahkan mereka mencemoohkan/ penuh kebencian/ akupun selalu disisihkan/ dari pergaulan/ Ya Tuhan Rabbul Izzati/ tanamkan dalam jiwaku kesabaran, ya Allah.../

Ini lagu-tentang-pengangguran paling mengenaskan yang sejauh ini saya kumpulkan. Kalau ingat lagu beliau yang lain, "Kegagalan Cinta", raja dangdut satu ini tampaknya memang super melankolis. "...kalah dah lagu emo," kata seorang blogger yang telah melakukan kontemplasi mendalam atas hidupnya sebagai pengangguran berdasarkan lagu ini. Memang tidak semua pengangguran bernasib nahas sebagaimana yang diceritakan dalam lagu ini, namun saya kira di suatu tempat memang ada kaum yang demikian. Biarpun secara umum lagu ini mengajak bersedih-sedih sekaligus menuai simpati kepada kaum yang kurang beruntung tersebut, pada akhirnya mengingatkan jua bahwa bagaimanapun pedihnya suratan takdir (jyah) berserah dirilah kepada Yang Maha Kuasa. Zaman sekarang, apa ada lagu dangdut yang mutunya menandingi buatan Rhoma Irama?



Iwan Fals - "Sarjana Muda"

berjalan seorang pria muda/ dengan jaket lusuh di pundaknya/ di sela bibir tampak mengering/ terselip sebatang rumput liar/ jelas menatap awan berarak/ wajah murung semakin terlihat/ dengan langkah gontai tak terarah/ keringat bercampur debu jalanan/ engkau sarjana muda/ resah mencari kerja/ mengandalkan ijazahmu/ empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ tuk jaminan masa depan/ langkah kakimu terhenti/ di depan halaman/ sebuah jawatan/ tercenung lesu engkau melangkah/ dari pintu kantor yang diharapkan/ terngiang kata tiada lowongan/ untuk kerja yang didambakan/ tak peduli berusaha lagi/ namun kata sama kau dapatkan/ engkau sarjana muda/ resah tak dapat kerja/ tak berguna ijazahmu/ empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ sia-sia semuanya/ setengah putus asa dia berucap/ maaf ibu/

Saya mengetahui lagu ini dari sebuah cerita di Kemudian. Liriknya dikutip dalam paragraf pembuka. Sebetulnya lagu ini tidak kalah lesu daripada lagu lainnya tentang pengangguran yang dibawakan oleh Rhoma Irama. Malah realitas tersebut diungkapkan secara lebih luas dalam bentuk balada. Lagu ini ada di nomor pertama dalam album profesional Iwan Fals yang pertama. Mengingat bahwa album bertajuk Sarjana Muda tersebut dirilis pada tahun 1981, fenomena sarjana-kesulitan-mencari-pekerjaan ini ternyata sudah berlangsung sedari lama sekali. Problem yang tidak kunjung tuntas sampai sekarang. Ijazah dan buku tidak cukup menjadi jaminan.

Seseorang membuat videoklip lagu ini untuk tugas akhir. Silakan dinikmati.





Kantata Takwa ft. Iwan Fals - "Balada Pengangguran"

o, apa jadinya/ e, ingin apa/ o, apa jadinya/ e, aku lesu/ dibolak-balik dinalar-nalar tanpa logika o ya/ diraba-raba diterka-terka tidak terduga/ misteri ijazah tidak ada gunanya/ ketekunan tidak ada artinya/ pembangunan o/ pengangguran ya/ penerangan o/ kegelapan ya/ putus asa o ya/ akan merampok takut penjara/ menyanyi tidak bisa/ bunuh diri ku takut neraka/ menangis tidak bisa/ kaki lima o/ kaki lima ya/ makan debu/ ya janji palsu/ mengutang lalu lagi mengutang/ tahu-tahu menipu/ penyuluhan o kegelapan ya/ 

Kali ini Iwan Fals bersama Kantata Takwa dalam album yang dirilis kurang lebih sepuluh tahun sejak lagunya yang bertema serupa. Sebagian liriknya kalau tidak salah diambil dari puisi WS Rendra. Pengangguran masih menjadi masalah, tentunya. Lagu ini setidaknya terasa energik ketimbang yang lain-lainnya. Tidak mengajak menye-menye; meratapi nasib dalam kelesuan. Lebih seperti... frustasi, mungkin. Melampiaskan kekecewaan pada diri yang tidak memiliki keberanian (akan merampok takut penjara; bunuh diri ku takut neraka) pun keterampilan (menyanyi tidak bisa; menangis tidak bisa). Dan ironi: Negara terus berkembang, kenapa saya tidak? (pembangunan o! pengangguran ya!) Bait-bait itu kadangkala terngiang-ngiang di dalam kepala, terasa menggelikan. Keputusasaan pun menyeret sang pengangguran pada laku negatif: utang, menipu. Seakan hendak menunjukkan salah satu penyebab maraknya kriminalitas. Di latar pun terdengar lagu "Padamu Negeri" dinyanyikan.





Iwan Ernawan - "Batan Nganggur"

Iwan yang satu ini agaknya hanya populer di kalangan penggemar lagu pop sunda. Beliau berasal dari kota tauco alias Cianjur. Saya baru mendengarkan lagunya yang berjudul "Cilaka" dan "Batan Nganggur". Keduanya mengandung pesan sosial, satir malahan, dan dibawakan dengan jenaka, kendati yang tidak memahami bahasa sunda mungkin bakal mengernyit saja.

"Batan Nganggur" berarti "Daripada Nganggur". Dari judul ini saja kita dapat menebak kalau lagu ini mengangkat isu pengangguran. Begini penggalan liriknya: ...kahayang ngalamar ka kantoran/ tapi sok tara aya lowongan/ nu aya ge kalah dikurudan/ komo nu keur ngamimitian/ .../ mending ge milih ngembangkeun bakat/ najan bakat, bakat ku butuh/ .../ matak jadi jalma kudu pinter/ ngarah heunteu gampang kabalinger/ neangan gawe pasti teu sulit/ komo lamun dibarengan duit.../ yang artinya kira-kira: ...keinginan melamar ke kantoran/ tapi selalu tidak ada lowongan/ yang ada malah dipalak/ apalagi yang baru pertama kali/ .../ mendingan milih mengembangkan bakat/ meskipun bakat, bakat karena butuh/ .../ makanya jadi orang harus pintar/ supaya tidak gampang tertipu/ mencari kerja pasti tidak sulit/ apalagi kalau dibarengi duit/.

Hihihi. Orang sunda katanya memang memiliki selera humor yang tinggi, termasuk dalam menertawakan kesulitan diri. Simak kekocakan (alm.) Iwan Ernawan dalam videoklip di bawah ini. Tentunya lagu ini lebih dinikmati apabila liriknya yang dalam bahasa sunda itu dapat dimengerti, untuk itu seseorang telah berbaik hati memajang lirik tersebut sekalian terjemahannya dalam bahasa Indonesia di sini.



Ada yang punya referensi lagi?

Rabu, 04 Juni 2014

Satu hal yang kau pelajari dari hubungan antara orangtua dan orangtuanya orangtua

Kalau kau tidak memberi cukup perhatian kepada anakmu, maka boleh jadi merekapun tidak akan cukup peduli kepadamu ketika kau sudah renta dan tidak berdaya. Bagaimanapun wajibnya berbakti kepada orangtua, akan sulit apabila tidak didahului dengan berbakti kepada anak.

Senin, 02 Juni 2014

Seorang suami meminta diajarkan cara menggunakan pembalut pada istrinya. Ia tidak mengatakan bahwa penisnya mengeluarkan darah. Hal itu berlangsung selama beberapa hari. Berangsur-angsur cairannya tinggal berupa bercak kecokelatan hingga tidak ada sama sekali. Sang istri pun tidak bertanya mengapa suaminya terus mengambili persediaan pembalutnya. Lagipula ia belum membutuhkannya lagi. Sudah beberapa minggu lewat dari tanggal perkiraan menstruasinya.

Minggu demi minggu berlalu. Tepat duapuluh delapan hari setelah penisnya berhenti mengeluarkan darah, sang suami kembali mengambili persediaan pembalut istrinya. Istrinya tidak pula bertanya-tanya. Ia disibukkan oleh pekerjaannya. Ia menjabat posisi penting di perusahaannya, membawahkan sederet anak buah berkompetensi tinggi. Ia sosok pemimpin yang dihormati dan disegani. Dengar-dengar ia dipromosikan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi lagi.

Sementara itu mengucurnya darah selama beberapa hari pada setiap bulan sama sekali tidak mengganggu rutinitas sang suami. Ia bisa mengganti pembalut kapanpun dirasakannya penuh tanpa risi pada siapapun, karena ia bekerja sendirian, di rumah. Kalaupun anak-anak sudah pulang dari sekolah, mereka tidak bertanya mengapa tiap beberapa jam sekali ayah mereka masuk ke dalam kamar mandi. Lelaki itu mencuci pembalutnya bersih-bersih dan membuangnya di tempat khusus karena ia tidak ingin seorangpun tahu apa yang terjadi padanya. Ia tidak ingin meninggalkan jejak, bahkan meskipun itu hanya setitik darah di sofa akibat lupa mengganti pembalut.

Bulan demi bulan berlalu dan ia menjadi terbiasa. Ia tidak menanyakannya pada dokter spesialis kelamin dan semacamnya, mungkin karena malu. Ia tidak berpikir bahwa dirinya mungkin mengidap penyakit. Ia hanya memahami fenomena itu sebagai menstruasi, titik. Pun ia tidak merasakan keanehan lain pada tubuhnya selain penisnya yang lamban laun memendek sementara sepasang zakarnya mengecil, dan munculnya ceruk di antara organ kelelakiannya yang mengerut itu dan anus. Hingga organ kelelakianya lenyap sama sekali, dan ceruk itu menjadi lorong yang dalam dan terus menggali dirinya sendiri membangun rongga lembut di bagian bawah perut. Bagaimanapun juga, anak-anak menyadari bahwa ayah mereka tidak perlu bercukur lagi. Dan sang suami pada satu kesempatan bersanggama yang jarang mendapati klitoris istrinya telah memanjang dan membesar. Tidak ada lagi lubang yang bisa disusupinya. Buntet bagai lubang di bantalan telinga yang lama tak ditembus anting. Pun tidak ada lagi yang tersisa di antara selangkangannya untuk dapat memasuki.

Terjawab keheranannya mengapa sang istri tidak pernah menambah persediaan pembalut lagi sehingga ia harus membelinya sendiri, dan mengapa istrinya diam-diam meminjam alat cukurnya setiap pagi.

Bagi anak-anak, perubahan yang terjadi pada ayah-ibu mereka bukanlah masalah. Mereka tidak risau selama kebutuhan mereka sehari-hari termasuk pendidikan tercukupi, dan salah satu dari kedua orangtua mereka ada di rumah untuk menyambut mereka saat pulang, menyiapkan makanan, dan meladeni segala keluh-kesah mereka termasuk PR dari sekolah.[]

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain