Ruang
Senin, 30 Juni 2014
Beruang yang Apa Adanya (James Thurber, 1940)
Namun kemudian ia menjadi sering membeli minuman untuk dirinya sendiri. Ia akan terhuyung-huyung pulang pada malam hari, menyepak cantelan payung, menjatuhkan lampu, dan membenturkan sikunya ke jendela. Lalu ia akan roboh di lantai dan tergeletak di sana sampai tertidur. Istrinya sangat sedih sedang anak-anaknya ketakutan.
Akhirnya si beruang menyadari kesalahan dalam tindak-tanduknya itu dan mulai memperbaiki diri. Alhasil ia menjadi seorang antialkohol yang terkenal dan penceramah yang gigih dalam hal berpantang minum minuman keras. Kepada siapapun yang berkunjung ke rumahnya, ia akan menyampaikan efek buruk dari minum-minum. Ia akan membanggakan betapa kuat dan sehat dirinya sejak berhenti menyentuh barang itu. Untuk membuktikannya, ia akan berdiri di atas kepala dan tangannya, bersalto di dalam rumah, menyepak cantelan payung, menjatuhkan lampu, dan membenturkan sikunya ke jendela. Lalu ia akan rebah di lantai, lelah karena gerak badannya yang menyehatkan itu dan tertidur. Istrinya menjadi sangat sedih sedang anak-anaknya ketakutan.
Moral: Apapun yang Anda perbuat, boleh jadi Anda akan tetap jatuh tersungkur.
Alih bahasa dari fabel James Thurber, "The Bear Who Let It Alone" (1940). James Thurber (1894-1961) adalah seorang penulis humor dan kartunis dari Amerika Serikat. Karya-karya James Thurber lainnya yang saya pernah coba terjemahkan bisa dilihat di sini.
Minggu, 29 Juni 2014
Makan-makan Akhir Pekan
Sewaktu aku masih SD, kalau Papa sedang tidak bertugas, kedua
orangtuaku akan membawaku berjalan-jalan ke keramaian kota, pada gemerlapnya
akhir pekan. Tapi ini biasanya tidak begitu menyenangkan. Bukannya memenuhi
keinginanku untuk melihat-lihat lebih dekat, memasuki salah satu restoran mewah
itu, atau membelikanku pakaian yang bisa kupamerkan pada teman-teman, mereka
malah menggiringku ke warung tenda langganan mereka dan memesankanku makanan
dan minuman yang rasanya begitu-begitu saja.
Sampai pada suatu malam, aku memberontak. Aku cemberut
sejadi-jadinya, menolak untuk diseret ke tempat yang itu lagi, itu lagi. “Aku
pingin makan sushi! Pingin sushi!” seruku. Kusebutkan nama sebuah restoran yang
pernah dikunjungi oleh seorang temanku. Orangtuanya sering membawanya makan di
tempat-tempat keren setiap akhir pekan. Kupikir orangtuaku sebetulnya juga
mampu. Lagipula Papa sering pergi ke luar negeri biarpun Mama bilang itu bukan
pakai uang sendiri. Karena sikapku yang bersikukuh itu, tidak mau bergerak
biarpun ditarik dengan sekuat apapun juga, kedua orangtuaku saling bertatapan,
lalu Papa memutuskan, “Sekali-sekali enggak apa-apa kali, ya.”
Mama mengangkat bahu. “Ayo.”
Kami pun menuju restoran yang kumaksud. Letaknya di dalam
mal. Suasananya agak temaram karena interiornya berwarna gelap. Ada beberapa
tumbuhan semacam bambu di beberapa tempat tapi waktu itu aku tidak yakin apakah
itu betulan atau bohongan. Kadang aku melongo saja memandangi gambar-gambar
yang dipajang di dinding dan disorot oleh lampu-lampu kecil itu, sambil
bertanya-tanya dalam hati kapan aku bisa mencoba kimono seperti yang dikenakan
oleh perempuan dalam lukisan-lukisan itu.
Aku diperbolehkan untuk memesan apapun yang tampaknya menarik
bagiku, sementara kedua orangtuaku agak lama menimbang-nimbang pesanan mereka.
Waktu itu deretan angka di dalam menu sama sekali belum menarik bagiku. Aku
memilih berdasarkan gambar yang dipajang saja.
Acara makan pun dimulai. Papa mengajariku cara menggunakan
sumpit. Sebetulnya lebih enak makan pakai tangan. Tapi kupikir keren juga kalau
aku bisa menggunakan sepasang tongkat kecil itu. Lalu Papa dan Mama
mengobrolkan pengalaman Papa sewaktu ditugaskan meliput ke Jepang. Papa mencoba
sushi di kedai yang mana para pengunjungnya duduk mengelilingi konter tempat
pembuatan makanannya. Di kedai lain, dia berlesehan di atas tikar bambu. Aku
sempat mendengar Mama bilang, “Jauh-jauh ke Jepang, tetap aja carinya yang
murahan.” Lalu Papa membalas, “Entar enggak ada sisa buat yang minta oleh-oleh
dong.”
Pesanan diantarkan. Aku berusaha makan dengan lahap. Rasanya
sebetulnya agak aneh. Hampir-hampir tidak berasa malah. Kadang aku merasa agak
mual dengan amis yang memasuki kerongkonganku. Waktu Papa bilang yang kumakan
itu daging ikan mentah, aku hampir-hampir mengeluarkannya lagi. Tapi
kerongkonganku keburu menelannya dalam-dalam. Setelahnya aku kelepasan
menjulurkan lidahku. Aku berharap orang-orang berpeci (aku tidak tahu apa
tepatnya nama topi yang mereka kenakan) di balik konter itu tidak melihatku.
Aku takut mereka marah. Aku takut terutama pada orang yang bermata sipit karena
pandangannya yang tajam itu. Jangan-jangan dia orang Jepang betulan. Sewaktu
pelajaran Basa Sunda aku dan teman-temanku pernah memainkan drama tentang para
serdadu Jepang dan orang-orang desa. Dalam dialog di buku pelajaran itu orang
Jepang sering sekali menyerukan “Bagero! Bagero!” pada orang Indonesia. (Bahkan
walaupun sekarang aku mendapatkan pelajaran Bahasa Jepang di sekolah, aku tetap
tidak tahu apa itu artinya.) Jadinya aku takut diteriaki begitu sekeluarnya
kami dari restoran itu.
Sepotong lagi yang tersisa di hadapanku, tapi namanya
onigiri, bukan sushi. Aku tahu dari komik Jepang yang kupinjam dari temanku.
Kali ini aku memulainya dari bagian yang paling aneh dulu. Aku melepaskan selaput hijau dari segitiga nasi yang
padat itu, lalu melahapnya sekaligus. Aku merasakan lembaran itu menjadi lembek
dalam mulutku. Amisnya… huek. Aku menelannya dengan susah payah. Mataku
terpejam rapat-rapat. Ketika mataku terbuka, kulihat Mama dan Papa memandangku dengan
geli. Untungnya mereka tidak terus mengolok-olokku. Mereka melanjutkan obrolan
mereka sementara aku menyeruput es tehku dengan rakus. Setelah mulutku terasa
netral, aku mengambil kudapan terakhirku yang agak mirip lemper itu. Sayang,
tidak ada isinya…. Oh, isinya kan yang tadi, yang berwarna hijau dan ditempel
di luar itu! Aku memakan nasi yang agak lengket itu pelan-pelan. Agak amis
juga, mungkin bekas kertas hijau yang tadi. Tapi selebihnya terasa biasa-biasa
saja. Mama dan Uwak Tata pernah membuat yang semacam ini—lemper ding. Buatan Mama gagal, tapi begitu
masuk ke dalam mulut terasa sama enaknya dengan buatan Uwak Tata yang utuh-utuh
saja.
Dari restoran itu, kami lalu pulang berjalan kaki. Sebetulnya
kami punya motor, tapi seringkali gagasan untuk berjalan kaki melintas begitu
saja di kepala kedua orangtuaku seperti anak-anak muda yang lagi kepingin
seru-seruan. Jadi inilah kami, berusaha untuk tidak menatap dengan jemawa pada
ratusan kendaraan yang terjebak dalam kemacetan di malam hura-hura, sementara
kami bebas bergerak di atas kaki kami sendiri. Kalau aku capek, kadang mereka
bergantian memanggulku. Tapi seringnya Papa yang melakukannya. Mama sih, baru
menggendong beberapa meter saja sudah encok. Sewaktu aku sudah lebih besar, aku
baru tahu kalau jarak yang kami tempuh dari sekitaran balaikota itu sampai ke
rumah sebenarnya jauh juga. Tapi karena sambil mendengarkan suara kedua
orangtuaku mengobrol, juga orang-orang yang kami lewati, menikmati
bermacam-macam pemandangan malam, dan kadang larut dalam imajinasiku sendiri,
aku tidak merasakan jarak tersebut. Tahu-tahu kami sudah sampai di rumah, ganti
baju, gosok gigi, cuci kaki, dan tidur. Tapi malam itu agak lain.
Seperti biasanya, aku berjalan di tengah. Tangan kiri Papa
menggandeng tangan kananku, sementara tangan kanan Mama menggenggam tangan
kiriku. Sesekali dengan bertumpu pada pegangan mereka aku mengayunkan diriku
sendiri. Kedua orangtuaku dengan sigap menahan bebanku biarpun mulut mereka
tetap asyik mencerocos pada satu sama lain.
Kali ini mereka membicarakan tentang kesan yang mereka
dapatkan dari restoran tadi. Dari nadanya saja aku tahu kalau mereka tidak
puas. Mama mengeluhkan betapa besarnya harga yang harus dibayarkan tadi untuk
seporsi kecil dan sedikit pula makanan yang disuguhkan, lalu bertanya pada Papa
apa di negara asalnya memang begitu adanya. Papa bergumam, mengingat-ingat.
“Apa karena dagingnya impor?” imbuh Mama.
“Iya sih. Mestinya enggak semahal itu juga. Waaah…” Papa
menanggapi, lalu menambahkan dengan perbandingan rasa dan harga antara kedua
negara, lengkap dengan hitung-hitungan dari yen ke rupiah.
“Jadi harusnya lebih enak dari yang tadi ya?” kata Mama.
“Kalau makannya cuman di tempatnya Pak Mi’un sih bisa buat
empat kali jajan itu,” suara Papa.
Sepanjang jalan mereka seakan tak henti-hentinya mencela
restoran tadi. Bahkan harga segelas air mineral pun tidak luput dari pengamatan
mereka. Apalagi sewaktu kami memasuki jalan yang tidak dilewati banyak
kendaraan, penyesalan mereka terdengar jelas di kupingku. Aku mulai disusupi
rasa bersalah, tak enak, dan malu. Di sisi lain aku berprasangka mereka sengaja
mengulang-ulang keluhan itu hanya untuk meledekku, menyalahkanku. Apalagi
mereka tadi kan sempat melihat aku sendiri sebenarnya tidak begitu menikmati
sajian itu.
“Lain kali makan di tempat yang biasa aja, ah,” kata Papa.
“Di tempat kayak gitu mah, mahal kan cuman bayar suasana sama servisnya aja.
Enggak jamin rasa.”
“Makan mah enggak usah yang mahal-mahal lah, yang penting
kenyang, enak,” Mama menyetujui.
“Mahal tapi enggak kenyang,” ulang Papa dengan nada geli yang
bagiku terdengar bagai cemooh.
Aku lalu mencampakkan kedua tangan yang menggandengku itu,
dan berjalan cepat-cepat, berusaha mendahului mereka, walau tidak berani
terlalu jauh. Di depan sana gelap sih.
Mereka terdiam. Tapi tak satupun yang menegurku. Aku melipat
kedua lenganku di depan dada rapat-rapat. Pipi segembung jambu biji. Mereka
seakan tidak menyadari sama sekali kedongkolanku waktu itu.
Entah berapa lama kami berjalan dalam bisu. Hanya derik
serangga malam yang mendekam dalam pepohonan yang menaungi kami, juga deru
kendaraan yang melintas sesekali. Perjalanan itu menjadi terasa jauhnya bagiku.
Namun dengan kekesalanku aku tidak peduli. Aku menjaga lajuku agar selalu
berada di depan mereka. Langkah-langkah mereka yang jauh lebih besar daripadaku
hampir tidak terdengar di belakang sana. Maka sesekali aku terpaksa menajamkan
pendengaran untuk memastikan mereka tidak tahu-tahu menghilang. Setelah
merasakan keberadaan mereka lagi, aku kembali pada kekesalanku. Kalau saja aku
punya banyak uang, aku bisa membeli makanan apapun yang kuinginkan, lalu
menyelundupkannya di kamar dan tidak membaginya pada siapapun, apalagi pada
Mama dan Papa! Tapi Mama selalu menolak untuk menambah uang jajanku. Papa juga,
kalau aku bilang ingin mencoba sesuatu yang baru, pasti bilang, “Itu kan, bikin
sendiri juga bisa!”
“Kayaknya bikin di rumah juga bisa deh.” Tuh kan. Baru saja
aku memikirkannya, terdengar suara Papa . “Sekarang kan udah banyak yang jual
produk-produk Jepang gitu di supermarket.”
“Mmm… Iya, iya. Pernah sih lihat yang rumput laut itu…” kata
Mama. “Terus ikannya?”
“Beli yang fillet aja.
Di-steam! Bumbunya, ya…” Papa lalu
mendiktekan beberapa nama yang Mama tidak kunjung hafal. “Nasinya jangan nasi
biasa.”
“Iyalah! Beras ketan yang buat lemper gitu bisa kali ya?”
“Gimana, Be, suruh Mama besok belanja tuh,” Papa sadar juga
untuk menegurku.
Aku melengos dan terus mempertahankan cemberutku. “Ah, Mama
mah…. Bikin lemper aja enggak jadi-jadi!”
Tiba-tiba pecah tawa Papa. “Kapan bikin lemper?” Aku tidak
tahan untuk menoleh ke belakang dan melihat reaksi Mama yang tampaknya tidak
merasa bersalah.
“Minggu lalu…?” sahut Mama tidak yakin.
Tawa Papa muncul lagi. Kalau suara Papa seperti perempuan, mungkin
dia bakal disangka kunti! Papa melipat kedua lengannya, tapi tangan kanannya
terangkat ke depan mulut seakan dapat menghentikan tawanya. “Bikin lemper?”
Papa melirik Mama lagi lalu berpaling ke depan lagi dan geli lagi.
Mama memandang Papa dengan heran. Sepertinya rasa kesalku
telah menjalar padanya. Ganti aku yang termangu-mangu sementara Mama menonjok
lengan kiri Papa. “Udah, ah, jangan diulang-ulang!”
Sambil berjalan mundur aku memerhatikan tawa Papa yang timbul
lagi dan lagi tiap kali Mama mencoba untuk menghentikannya dengan berbagai cara
lainnya: mencubit pinggang, pipi, mengguncang-guncang lengan, berseru, “Heeei…!
Enggak ada yang lucu!”
Terbayang lagi kejadian di rumah Uwak Tata sewaktu Mama
memerhatikan petunjuk pembuatan lemper
dengan serius. Tangan Uwak Tata yang terampil berkali-kali memberi
contoh, dan berkali-kali pula Mama menggagalkan karyanya. Nasinya terlalu
lembek lah. Salah melipat daun lah. Isinya kebanyakan lah. Apa lah. Dan kapan
lagi aku menyaksikan Papa mengolok-olok Mama sepuas itu, sementara Mama
berusaha menyiksanya agar diam? Sepertinya rasa geli Papa telah menjalar
padaku. Aku mulai cekikikan. Pelan-pelan aku kembali menempati posisiku di
tengah mereka, lalu menggaet tangan keduanya dan mengayun-ayunkannya. Papa pulih
dari gelinya. Mama mendesah keras-keras—aku sempat melihat senyumnya sebelum
dia berpaling ke lain arah.
Pada kesempatan jalan-jalan berikutnya, dan berikutnya lagi,
lagi, dan lagi, aku menjadi semakin berani memaksa kedua orangtuaku untuk makan
di tempat-tempat gaul lainnya (tentu saja aku tidak pernah memikirkan nasib
kocek Papa—malah pernah suatu ketika dia meminta tambahan dari Mama). Biasanya
mereka menolak, tapi aku terus gigih sehingga adakalanya mereka mengiyakan. Dan
pulangnya, malam yang diisi dengan keluhan, ledekan, kekikiran, dan cekikikan
itu pun terulang lagi, dan lagi, sampai-sampai aku menjadi kebal, dan akhirnya
menemukan orang lain yang bisa diajak bersenang-senang….
Begitulah. Terima kasih, ya, Om, sudah menraktirku malam ini.
Tempatnya romantis banget…. Orangtuaku sih, mana mau diajak ke sini. Besok kita
mau jalan ke mana lagi, Om?[]
sehabis
jalan di bip—270614, tapi malam minggunya malah sepi karena malam pertama
tarawih kali ya.
Kamis, 26 Juni 2014
Pemikiran
Akhirnya Dian mengaku kalau ia menyukai
Binar. Tapi lelaki itu telah memutuskan untuk tidak menikah.
Di hadapan Dian yang menangisi penolakan
itu, aku mendecak kesal. “Lelaki sialan! Dengan banyaknya wanita kesepian di
dunia ini dia malah memutuskan untuk tidak menikah. Pemikiran macam apa itu?”
“Tapi bukannya kamu juga memutuskan untuk
tidak menikah?” sela Dian.
“Tapi itu masuk akal. Jumlah lelaki lebih
sedikit daripada perempuan. Sebagian homo, sebagian lagi monogami. Memang harus
ada perempuan yang mengalah.”
Lagipula gagasan itu kedengarannya mulia
ketimbang terjebak dalam pemikiran bahwa dirimu adalah perempuan tidak laku.
“Tapi sebetulnya… Binar cintanya sama kamu.
Dia memutuskan begitu karenamu.”[]
Rabu, 25 Juni 2014
Alih Bahasa Cerpen Fernando Sorrentino, "Mere Suggestion"
Banyak cerpen dalam daftar "humour" tersebut adalah karangan Fernando Sorrentino (l. 1942). Sama-sama penulis Argentina, setidaknya. Biarpun tidak setermasyhur yang satunya, karya penulis ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Di antara beberapa cerpen pendek yang ditulisnya dan telah diterjemahkan serta dipublikasikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu "There's a Man in the Habit of Hitting Me on the Head with an Umbrella" (judul yang menggugah, bukan?) dan "An Enlightening Book" yang bisa ditemukan dalam buku kumpulan 47 cerpen pendek dari 5 benua, Pagi di Amerika yang diterbitkan oleh Serambi, 2004) (ed. Hikmat Darmawan). (Sial, godaan untuk menghabiskan duit di Palasari lagi, nih!).
Cerpen pertama beliau yang saya coba terjemahkan adalah cerpen yang paling pendek, hanya satu halaman, yang diterjemahkan oleh Clark M. Zlotchew ke dalam bahasa Inggris dengan judul: "Mere Suggestion". Sebetulnya ada yang sudah menerjemahkan cerpen ini ke dalam bahasa Indonesia, namun karena saya kadung dibikin tertarik sama versi film cerpen ini (tenang, tenang, saya sematkan di bawah sono kok) dan tidak puas dengan terjemahan yang sudah ada, maka saya menerjemahkannya ulang. Mudah-mudahan hasilnya cukup enak dibaca. Silakan apabila ada masukan dikarenakan bagian yang dirasa kurang luwes atau tepat.
(Cerpen Fernando Sorrentino)
Selasa, 24 Juni 2014
Vampir yang Kelaparan
Tantangan Fantasi (khusus untuk pembaca anak SD)
sumber gambar |
“Apa isinya?” Vido bertanya lagi. Papi Vido tidak tahu. Temannya hanya menitipkan barang itu untuk sementara.
Vido segera memberi tahu temannya, Ghira, lewat telepon. “Kita harus memeriksanya nanti malam. Biar seru! Kamu menginap saja.”
Ghira penasaran sekaligus takut. Tapi dia lebih takut kalau Vido mengatainya penakut dan memberitahukannya kepada teman-teman sekelas. Ghira pun meminta izin kepada mamanya.
Malam itu mereka menunggu sampai rumah Vido gelap dan sepi. Ini adalah penyelidikan rahasia! Mereka memasuki gudang dengan berbekal senter, handycam, dan hafalan ayat suci.
Tutup peti itu sangat berat ketika mereka mencoba mengangkatnya. Mereka pun mencoba menggesernya dengan sekuat tenaga. Perlahan, isi peti itu terlihat. Sebuah tangan yang pucat membantu mereka mengangkat tutup itu dari dalam peti. Tutup itu lalu terjungkal ke lantai.
Sesosok laki-laki yang sangat kurus dan tua bangkit dari dalam peti, dan menyeringai. Jubahnya berwarna hitam dan lebar. Gigi-giginya panjang, tajam, dan berkilat-kilat. Begitu juga dengan kuku-kukunya. Vido dan Ghira menjerit. Mereka hendak melarikan diri. Tapi tangan laki-laki itu dengan cepatnya menangkap kaki mereka. Laki-laki itu lalu membenamkan taringnya ke betis Vido dan Ghira secara bergantian. Rasanya seperti dicubit!
Tiba-tiba laki-laki itu melepaskan mereka, lalu melepeh-lepeh. “Harrrh… Darah kalian tidak enak!”
Laki-laki itu lalu menarik kain di bagian belakang jubahnya sampai menutupi separuh mukanya, lalu berubah wujud menjadi kelelawar. Kelelawar ceking itu terbang terhuyung-huyung ke luar gudang, dan menghilang.
“Dia vampir!” seru Ghira dengan amat ketakutan.
“Kita juga akan menjadi vampir!” seru Vido tidak kalah takutnya.
Luka di kaki mereka mengucurkan darah. Mereka segera membersihkannya di kamar mandi. Bekas taring vampir itu sekarang terlihat seperti dua titik kecil bekas gigitan serangga.
Mereka cemas sekali semalaman itu karena mereka akan menjadi vampir. Tapi sampai subuh tiba, tidak ada perubahan apa-apa pada mereka. Mereka menunggu lagi sepanjang hari sambil bertanya-tanya ke mana perginya vampir itu, tapi mereka tetap tidak merasakan perubahan apa-apa. Ghira pun pulang ke rumahnya.
Besoknya di sekolah Vido bercerita kepada Ghira. Pagi itu, Papi, Mami, dan kakak-kakak Vido bangun dengan luka yang menyerupai bekas gigitan vampir itu! Mereka mengira itu hanya bekas gigitan serangga.
“Gawat! Bisa-bisa dia mengubah seluruh kota menjadi vampir!” kata Ghira khawatir.
“Kita harus cepat-cepat menemukannya!” desak Vido.
Setiap hari sepulang sekolah, mereka melakukan pencarian di sekitar rumah Vido dengan berbekal jaring. Kata Mang Adin, penjaga sekolah mereka, pada siang hari kelelawar suka tidur di pucuk-pucuk pohon. Tapi mereka tidak berani mengambilnya apalagi menyuruh orang lain yang melakukan. Jadi mereka hanya memandangi gundukan-gundukan hitam yang mereka sangka kelelawar itu dengan curiga. Kalau Ghira diperbolehkan menginap, mereka melakukan pencarian di seluruh penjuru rumah Vido saja sebab mereka tidak diizinkan ke luar pada malam hari.
Hari menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Vampir itu tidak kunjung ditemukan. Vido dan Ghira pun sudah lupa. Mereka juga tidak berubah menjadi vampir.
Sampai suatu hari, Vido dan Ghira menemukan vampir itu secara tidak sengaja. Waktu itu mereka sedang mencari bahan untuk tugas prakarya di gudang rumah Vido. Vampir itu sedang meringkuk di sudut peti mati. Dia tampak jauh lebih kurus dan tua daripada yang terakhir kali mereka lihat.
Vampir itu menangis. Darah mengalir menuruni pipinya yang cekung.
Vido dan Ghira merasa kasihan. Mereka mendengarkan vampir itu bercerita.
“Suatu hari seseorang menangkapku dan mengurungku di dalam peti ini. Aku tidak bisa keluar lagi untuk mencari makan. Berapa lamanya aku tidak tahu. Sampai kalian melepaskanku. Tapi segalanya telah berubah. Tempat ini asing bagiku. Ada lebih banyak orang dan binatang tapi tidak satupun yang darahnya enak. Semuanya terasa kotor seperti tapal kuda yang karatan. Peh!”
“Jadi kau telah menggigit banyak orang dan binatang! Tapi kenapa tidak ada yang berubah menjadi vampir juga?” tanya Vido.
“Tidak semua yang kami isap darahnya akan berubah menjadi vampir juga. Ada zat khusus untuk itu, tapi aku terlalu lemah untuk mengeluarkannya. Lagipula kami hanya mengisap darah seperlunya.”
Vido dan Gira merasa bingung hendak menolong atau membiarkan vampir itu mati kelaparan. Mereka tidak tahu apa yang mereka dapat lakukan. Ketika mereka menengok vampir itu lagi pada hari berikutnya, makhluk itu telah menjadi kelelawar dan mati.
Amanat: Kalau kita sering menghirup asap kendaraan, darah kita akan mengandung racun yang bernama timbal. Timbal, selain tidak disukai oleh vampir, juga dapat menyebabkan kebodohan, kanker, dan berbagai penyakit lainnya pada manusia.[]
Jumat, 20 Juni 2014
Bohong
Akhirnya hujan mereda. Lelaki itu lekas-lekas melintasi pelataran stasiun.
Di luar gerbang, ia menaiki angkot yang warnanya sehijau daging alpukat. Ia
duduk di hadapan pintu. Tas selempangnya yang gemuk ia letakkan di depannya.
Petang masing terang walau agak muram. Hujan kembali rintik namun tidak
sederas sebelumnya. Arus lalu lintas dan manusia di area Pasar Baru seolah tak
terganggu; kembali ramai sehabis diguyur hujan besar. Sesekali lelaki itu
menoleh ke sana kemari, terus mengawasi pemandangan yang telah lewat.
Ademnya hawa kembali ia nikmati setelah berbulan-bulan meninggalkan kota
ini. Hatinya menjadi sejuk sekaligus berat kala teringat anak dan istrinya.
Sudahkah istrinya memberitahu anak mereka kalau ia akan pulang hari ini?
Percakapan terakhir mereka di telepon tidak berlangsung dengan baik.
“Happy anniversary,” ucap lelaki
itu waktu itu. Sama gugupnya dengan pemuda pemalu yang ingin mengungkapkan “aku
suka kamu” pada gadis pujaannya. Terlontar dalam satu tarikan napas setelah bermenit-menit
ketegangan dan pergumulan di dalam batin.
“Anniversary apa ya?” sahut
istrinya setelah diam agak lama.
“Ayolah. Udah sewindu,” dan akibatnya ia sibuk mencari benda apapun yang
terbuat dari perunggu, atau berwarna merah tua seperti perunggu di pasar
setempat. Itulah hadiah yang tepat untuk diberikan berdasarkan lama usia
pernikahan mereka—menurut Webster’s New
World Quick Reference Dictionary yang entah bagaimana terbawa di dalam
kopernya selama perjalanan dinas.
Tapi satu-satunya yang berwarna perunggu adalah kulitnya, akibat terpapar
oleh sinar matahari selama berbulan-bulan meliput gugusan pulau terluar
Indonesia. Ekspedisi itu sebetulnya sudah berakhir minggu lalu.
“Sebentar. Aku lihat kalender dulu…. Oh. Bukannya udah minggu lalu, ya.”
Tapi ajakan rekan-rekannya untuk memperpanjang perjalanan ke tempat-tempat
lainnya sungguh sukar untuk ditolak. Kapan lagi ia punya kesempatan lebih untuk
melampiaskan minat fotografinya dengan tangkapan berupa objek-objek eksotis?
Memang akibatnya ia harus merelakan berkurangnya jatah cuti, dan bonus, dan…
“Kau tahulah, susah cari sinyal di sana.”
Ia baru teringat akan tanggal sakral itu lima menit yang lalu, dan
langsung menelepon.
“Kita emang enggak pernah ngerayain, kan.” Tidak pernah sempat, dengan waktu kerja yang dua
puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu—entah mengapa tanggal itu tidak
pernah bertepatan dengan waktu cuti. Nada istrinya selagi mengungkapkan itu
seakan menyayangkan pulsa yang lelaki itu habiskan untuk perkataan yang tak
perlu.
“Aku sampai di rumah besok,” kata lelaki itu setelah membisu beberapa
lama.
“Oke.”
Suasana berangsur-angsur mencair begitu pembicaraan beralih pada anak
mereka. Anak perempuan yang aktif dan lucu, yang begitu montok saat diasuh sang
nenek, dulu, dan setelah wanita itu meninggal, tubuhnya perlahan menjadi kurus
sementara kulitnya selegam sang papa. Anak itu senang berteman dengan
orang-orang baru dan bermain sampai ke mana-mana, lapor sang mama, sampai jauh
sekali.
Lampu merah menghentikan angkot di perempatan Jalan Malabar dan Jalan
Gatot Subroto. Gerimis masih menggelitik bumi. Lelaki itu sedang
termenung-menung kala sepasang bocah mendekati pintu angkot yang dinaikinya
itu.
“Permisi…. Mau numpang nyanyi….” Salah seorang di antara mereka menyapa
dengan kenesnya, lalu duduk di pijakan pintu sambil bernyanyi diiringi tepukan
tangannya sendiri. Wajahnya menyiratkan kepercayaan diri dan semangat yang
tinggi. Yang satu lagi bersandar di ambang pintu dan ikut bernyanyi sambil
menabuh kecrekan, agak malu-malu.
Gemuruh merambati punggung lelaki itu sementara matanya terpancang
kuat-kuat pada salah satu gadis kecil itu—yang tengah larut dalam penampilannya
sendiri walau hanya di muka pintu angkot. Anak itu lalu mengedarkan kantong
sejauh yang lengannya sanggup julurkan dari ambang pintu. Sewaktu tiba giliran
lelaki berkacamata yang duduk di belakang sopir, anak itu terperanjat.
“Bibe!” seru lelaki itu bersamaan dengan menyalanya lampu hijau. Yang
dipanggil buru-buru meloncat dari pintu, disusul oleh temannya. Beberapa mobil
berhenti mendadak seraya berdecit panjang, ada yang mengklakson, kala sepasang
bocah itu berlarian. Mereka menjauh dalam rinai. Sesekali salah satunya menengok
ke belakang dengan ngeri. Hampir saja lelaki itu ikut meloncat ke luar dan
mengejarnya, namun angkot keburu melaju.
Lelaki itu terduduk kembali dengan geram, sembari menghindari tatapan para
penumpang lain. Apa-apaan yang tadi itu,
pikirnya. Setelah dua kali belokan, ia menyadari kalau selama itu ia menaiki
angkot yang salah. Angkot yang benar, sebetulnya, apabila yang ditujunya adalah
rumah ibunya. Tapi ibunya meninggal lima tahun yang lalu, sementara rumah itu
telah beralih kepemilikan kini. Di Jalan Terusan Martanegara ia turun lalu
menyetop angkot 01—yang untungnya menuju ke sisi kota tempatnya tinggal
meskipun perjalanan akan memakan waktu yang lama lagi. Dalam batin ia
betanya-tanya apa kepikunan sudah menderanya kendati usianya belum mencapai kepala
empat. Setidaknya itu akan mengurangi rasa bersalahnya karena tidak pernah
mengingat tanggal pernikahannya sendiri.
Ia turun dari angkot 01 di depan Taman Makam Pahlawan, lalu menyeret
langkah memasuki gang berliku di samping area tersebut. Pandangannya sesekali
mengikuti anak-anak yang berlarian. Anak-anak yang berlarian acapkali
mengingatkannya pada putrinya, berharap bocah itu terselip di antara mereka,
meskipun pemandangan itu tengah dilihatnya di tempat yang ribuan kilometer
jauhnya dari rumah. Kali ini ia merasa agak dongkol. Padahal ia sudah mencukur
berewoknya kemarin, tapi bisa-bisanya anak itu tidak langsung mengenalinya
tadi. Atau jangan-jangan anak yang mengamen tadi itu bukan putrinya? Tapi ia
merasa yakin sekali mengenali putrinya. Toh wajahnya yang tercetak di wajah
anak itu, adapun kelakuan diwarisi dari sang mama. Ia mengingat-ingat lagi
penampakan anak itu. Rambutnya yang lurus terkuncir di belakang kepala.
Betisnya yang cokelat dan kenyal. Sorot matanya yang berbinar nakal. Bajunya
yang terusan putih itu sangat sering dikenakannya.
Tahu-tahu rumah mungil itu sudah tampak di hadapannya.
Ia membuka pintu sambil mengucap salam. Istrinya sedang membaca buku di
depan TV yang disetel dalam volume pelan.
Ia merasa letih sehabis bertugas dalam waktu lama di tempat-tempat jauh,
anak mereka berkeliaran di jalanan, sementara perempuan itu bersantai-santai di rumah dengan nyamannya.
“Sampai juga. Minum?” sambut istrinya.
“Ya, makasih.” Lelaki itu menyingkirkan tumpukan cucian kering di sofa,
lalu mengempaskan tubuh di samping istrinya. Namun perempuan itu malahan
beranjak ke dapur untuk menyeduh minuman yang disangkanya kopi. Ternyata teh.
“Kopinya habis?”
“Enggak.”
Bagaimanapun ia tetap menyesap minuman itu. Benaknya membayangkan sebuah
percakapan.
“Kau tahu, anakmu
ngamen di Malabar? Tadi nyaris keserempet mobil!”
“Naik angkot apa sih
kamu, dari stasiun kok sampai ke Malabar segala? Terus kenapa enggak kamu suruh
dia pulang sekalian?!”
Pintu terbuka. Sekilas lelaki itu beradu pandang dengan anaknya. Seluruh
rambut dan pakaian anak itu lengket dengan badan akibat dibasahi hujan. Sorot
matanya sama resah dengan yang tampak sewaktu di jalanan tadi, namun segera
ditutupi oleh kegirangan yang dibuat-buat.
“Papa! Papa udah pulang!” Anak itu merenggut tangan kanannya, dan
menciumnya.
“Iya.” Lelaki itu terheran-heran karena seketika lenyap kemangkelan yang
sempat dirasakannya begitu tangan mereka bersentuhan.
“Habis hujan-hujanan lagi?” sambut istrinya.
“Kata Mama enggak apa-apa hujan-hujanan, biar enggak gampang sakit….” Bibe
merengut.
“Ya udah. Cepat mandi, sana, ganti baju.”
Anak itu segera menuruti perkataan mamanya. Terdengar pintu kamar mandi
ditutup dengan terlalu bersemangat, lalu gebyar-gebyur yang hendak menandingi
deru hujan. Lelaki itu beranjak ke dapur yang terletak di samping kamar mandi,
tertutup oleh dinding ruang tengah. Diseduhnya kopi sembari menanti. Ketika
anaknya keluar dengan handuk besar menyelubungi ujung kepala sampai lutut,
lelaki itu menegur. “Tadi ngapain di Malabar?”
Anak itu tersentak. Bibirnya terkatup rapat-rapat.
Lelaki itu tidak bermaksud memarahi anaknya. Lagipula mereka sudah lama
tidak berjumpa. Pelan ditepuknya puncak kepala anak itu. “Jangan diulangi, ya.”
Bibe menatapnya beberapa lama tanpa kata-kata, sebelum mengangguk
kuat-kuat dan berlalu menuju kamarnya. Lelaki itu pun duduk di tempatnya semula
dengan cangkir besar berisi kopi yang mengepul. Tak lama anaknya muncul dengan
mengenakan pakaian kering, siap menyambut sang papa dengan sikap seolah
kejadian tadi tidak pernah ada.
Baru saja anak itu bergabung dengan di sofa, mamanya tahu-tahu bertanya,
“Tadi ngamen lagi?”
“Enggak!” Bibe menyalak, yang justru malah membuat tatapan mamanya
tertahan lebih lama pada anak itu.
“Tadi ada sopir angkot nelepon Mama. Katanya lihat Bibe lagi ngamen.”
Ujung bibir istrinya tertarik sedikit ke atas, tanda bahwa perempuan itu
geli dengan candaannya sendiri, yang tanpa disadarinya justru terasa mengerikan
bagi anak mereka.
“Bohong! Bohong!”
Tatapan Bibe mengarah pada papanya. Amarah mulai menyala di manik matanya.
Lalu ia memandang mamanya lagi dengan penuh penyangkalan. Perempuan itu balas menatap
dengan penuh selidik.
Berharap perhatian anak-beranak itu akan teralihkan, lelaki itu membungkuk
untuk menyeret tasnya mendekat, lalu
menarik ritsleting. “Papa bawa oleh-oleh nih….”
“Aku enggak ngamen…” dumel Bibe seraya mengambili barang dari dalam tas.
“Tapi Bibe masih ingat kan, kenapa enggak boleh main di jalan?”
“Ya….”
“Kenapa?”
“Entar celaka….”
“Ingat juga kan, kenapa enggak boleh bohong?”
“Enggak bohong! Enggaaak!”
Tapi kedua orangtuanya terus menatapnya. Mama yang curiga. Papa yang
terpana. Anak itu mencampakkan barang-barang yang tadi diambilinya, lalu
berlari ke kamarnya. Membenamkan diri di kasur sambil menangis tersedu-sedu.
Lelaki itu mengangkat alis, mengembuskan napas. Tak sengaja ia menoleh
pada istrinya, yang kini ganti menyorotnya. Sejenak mereka saling bertatapan.
“Aku memang lupa,” ucap lelaki itu akhirnya.
“Apa?”
“Anniversary kita.”
Istrinya memberengut. “Dasar. Anak sama bapak sama aja.” Perempuan itu beranjak ke kamar dan menutup pintu.[]
Senin, 09 Juni 2014
Dari Toko Buku
Ini ketiga kalinya aku melihat cowok itu di toko buku. Selalu
ketika kedua belah lengannya tengah membopong tumpukan buku. Tapi dia bukan
pegawai toko karena tidak pernah mengenakan seragam.
Sesekali mataku melompat dari buku yang dipegang tanganku ke
arah sosoknya yang berjaket kulit hitam. Tingginya mungkin beberapa belas
sentimeter di atas kepalaku. Kulitnya agak terang. Rambutnya agak berombak.
Aku pernah membaca beberapa cerita tentang dua orang—cowok
dan cewek—yang memulai hubungan dari perbincangan di toko buku. Yang satu
mendekati yang lain, mungkin dengan teguran, “Suka (isi dengan judul atau
pengarang) juga ya?” dan mengalirlah obrolan yang mula-mula berbau filosofis
lalu lama-lama bernuansa romantis.
Kalau saja aku bisa mengintip judul-judul yang dibawanya.
Tapi dia mondar-mandir melulu. Begitu pula aku. Aku mau saja membaca seluruh
buku di toko ini—eh, mungkin tidak seluruh,
tapi banyak di antaranya—tapi sebagai pembeli dengan anggaran terbatas aku
mesti menentukan pilihan. Sebijak mungkin.
Terutama untuk kategori fiksi, makin kemari aku makin selektif saja. Beda
dengan buku nonfiksi yang suatu saat mungkin bisa dijadikan referensi yang
autentik.
Tapi ke rak mana pun aku menuju, memindai judul demi judul
yang sekiranya menarik, cowok itu seperti mendekatiku. Dia tidak memintaku
menyisihkan jalan—jarak antar rak di toko buku ini relatif sempit sekali sehingga
apabila dua orang berpapasan salah satunya harus menempel ke sisi salah satu
rak. Dia hanya berhenti beberapa jauhnya, lalu berbalik dan mencari jalan lain.
Aku tahu dia tidak benar-benar mendekatiku. Dia seperti mencari sesuatu. Dan
kebetulan aku berada dalam rutenya. Tapi kejadian yang hingga beberapa kali itu
mengetuk-ngetuk pikiranku. Mungkinkah… Mungkinkah terjadi keberlanjutan
hubungan seperti di dalam cerita-cerita itu? Apalagi ini ketiga kalinya kami
bertemu. Dia mungkin pernah melihatku membopong banyak buku juga ke luar dari
toko. Dia mungkin cowok yang ditakdirkan bersamaku membangun kerajaan buku.
Atau mungkin tidak sejauh itu. Mungkin dia bisa menjadi
sekadar temanku dalam menghadiri berbagai acara yang berhubungan dengan
literasi di kota ini. Seperti kemarin petang, ada acara yang menghadirkan
seorang penerjemah novel-novel Jepang sekaligus dosen ilmu budaya di perguruan
tinggi negeri. Setiap orang yang kuajak menemaniku ke sana menolak dengan
alasan capek-baru-pulang-kerja atau sibuk-banyak-tugas-kuliah.
Mungkin dia bakal tertarik juga kalau kuajak menghadiri
pertemuan Book Anonymous. Kelompok ini diadakan bagi orang-orang yang merasa
kecanduan mereka terhadap buku telah mencapai taraf bermasalah. Aku mengikuti
kelompok tersebut karena merasa bersalah dengan kebiasaanku berbelanja buku
sampai ratusan ribu tiap bulannya, padahal orangtuaku berharap uang saku yang
mereka berikan itu kumanfaatkan untuk keperluan lainnya. Konselor di sana
memahamkanku bahwa aku memang perlu
mengeluarkan sejumlah uang tiap bulannya untuk mempertahankan status quo—membuat diriku merasa masih
menjadi bagian dari kalangan menengah yang berdaya-beli. Tak ubahnya dengan
pencandu lain terhadap barang apapun. Setidaknya buku membuat kita dipandang intelek; jadi berbelanjalah dengan tenang
selama tidak mengutang!—aku diminta mencamkan ini untuk mengurangi rasa
bersalahku. Sudah lama aku tidak mendatangi perkumpulan itu lagi, karena
bukannya membuatku berhenti dari kecanduan malahan meneruskannya.
Bagaimanapun, ternyata ada orang yang kecanduannya lebih
parah. Dia tidak punya kasur dan meja lagi di kamarnya. Dia tidur di atas
ratusan buku yang ditumpuk sehingga membentuk balok yang cukup tinggi dan lebar
untuk mengalasi tubuhnya; menulis pun di atas buku. Jangan tanya bagaimana
kondisi toiletnya.
Ada pula orang yang koleksi bukunya sudah menyerupai isi toko
buku ini. Buku-buku ditumpuk begitu saja. Sebagian besar disampuli plastik,
sebagian dibiarkan telanjang. Debu-debu dibiarkan melapisi. Ada buku yang tidak
sengaja terlipat karena dimasukkan ke dalam rak secara serampangan. Ada buku
yang tampak keriting karena pernah basah oleh entah apa. Sebagian menjadi
persemayaman bangkai cicak, kecoak, lipan, dan entah apa lagi. Jarak antar rak
begitu berdempet sehingga orang harus bergantian memasukinya. Lama dan baru
tercampur-baur. Kadang ada buku yang dobel.
Selain itu, Book Anonymous seharusnya membedakan antara
pencandu buku dan hikikomori yang
ingin tobat. Tapi ya begitulah. Tidak apa-apa juga sih, biar agak ramai.
Cowok itu kembali berada di dekatku sementara aku tengah
berjongkok dengan punggung bersandar pada rak di belakangku. Kedua tanganku
berusaha mengeluarkan buku dari tumpukan yang demikian rapat di rak di depanku.
Setelah aku berhasil menarik buku itu, cowok itu rupanya sedang menanyakan
sesuatu kepada kasir. Gajah Mada,
kudengar.
Hei. Mungkin aku bisa membantu cowok itu mencari. Aku sering
ke toko buku ini, aku cukup berpengalaman dalam mengubek-ngubek isi raknya yang
tidak beraturan ini. Kuingat-ingat di mana kira-kira aku pernah melihat buku
yang bertuliskan Gajah Mada di sini. Di mana, naruhnya di mana…. Aku bahkan
bukan lulusan perguruan tinggi yang diembel-embeli dengan nama orang itu! Dalam
hati aku bertanya-tanya kenapa dia mencari buku tentang Gajah Mada.
Jangan-jangan dia penulis yang sedang mengumpulkan bahan untuk karya
terbarunya.
Aku meneruskan pencarianku, baik terhadap buku yang kira-kira
menarik untuk kumiliki maupun terhadap Gajah Mada, sembari mengamati cowok itu.
Terdengar senandungnya mengikuti lagu yang tengah diputar di dalam toko buku
itu. Seleranya ternyata Yovie and the Nuno—sepertinya aku masih bisa
menoleransinya. Dia kembali mendekati kasir, namun tidak terdengar apa yang
dikatakannya. Lalu dia menjauh, dan berputar-putar di antara dua rak sambil
mengeluarkan dengungan lebah melalui mulutnya. Sepertinya aku juga tidak akan
keberatan kalau zzzzzzzz itu kelak terdengar di ruang tengah rumahku. Teringat
akan hal lain yang kupelajari dari Book Anonymous: pencandu buku akut
seringkali juga memiliki imajinasi yang tinggi; mereka tidak banyak
berinteraksi dengan dunia luar secara langsung sehingga acapkali menciptakan
dunia mereka sendiri. Barangkali termasuk menciptakan lebah sendiri.
Kalau aku tidak berhasil menemukan Gajah Mada, semisal cowok
itu kembali menanyakan sesuatu di kasir aku akan nimbrung dan pura-pura
menanyakan sesuatu pula. Sesuatu yang kedengarannya keren seperti… seperti…
seperti… apa ya? Aku melihat novel yang secara tidak sengaja kupegang, yang
ternyata pemenang sayembara novel DKJ 2006. Judulnya Lanang. Ya. Aku menanyakan novel ini saja biarpun sudah tahu
letaknya. Atau mungkin sesuatu yang tetap terkesan “cerdas” dan lebih terkenal.
Ayu Utami, misalnya. Atau Sabda Palon—apalah
itu.
Sialnya aku terlupa akan cowok itu karena menemukan buku
James Danandjaja yang diberi subjudul: Sebagai
Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Aku
mengubek-ubek beberapa tumpukan di depanku dan hanya menemukan empat eksemplar
buku tersebut. Tak satupun dalam keadaan amat baik. Salah satunya bahkan
beraroma kencing kecoak. Setelah membaui bagian dalam keempat-empatnya, kupilih
satu yang aromanya tidak berbahaya. Lalu aku melihat si jaket kulit hitam itu
sudah berada di balik pintu kaca, menjauhi toko.
Mengingat musik macam apa yang menjadi seleranya, dan
kesukaannya dalam meniru bebunyian alam, aku mencoba untuk melepas kepergiannya
dengan legawa. Aku mesti ikhlas pula
melepas dua ratus ribu dari dompetku di kasir untuk beberapa buku yang di
antaranya adalah buku James Danandjaya tentang amnesia itu dan kumpulan cerpen
Anton Kurnia berjudul Insomnia. Empat
puluh tahun lagi aku mungkin akan membeli buku yang dalam judulnya terdapat
kata “demensia”.
Aku menyerahkan tumpukan buku yang telah kubayar ke meja
penyampulan. Karena tidak berminat melihat-lihat buku yang dipajang di
pelataran toko, aku duduk saja sambil mengamati judul-judul yang tengah
disampuli dengan plastik oleh petugas: The
Introvert Advantage, Seratus Tahun
Kesunyian, Misteri Soliter, dan
beberapa novel Haruki Murakami. Si jaket kulit hitam muncul kembali entah dari
mana dan menjemput buku-buku itu bersama ranselnya. Aku terlalu terpaku hingga
bergeming saja. Barangkali adegan cowok-cewek yang tidak saling mengenal
sebelumnya dan dapat mengobrol dengan lancarnya di toko buku tentang buku atau
pengarang yang mereka sama-sama sukai itu memang hanya mungkin terjadi di dalam
cerita, sedang aku tidak tahu apakah ceritaku ini bahkan patut disebut cerita
Aku berdiri untuk mengambil buku-bukuku, menolak kantong
plastik, dan memasukkan semuanya begitu saja ke dalam ranselku yang lebih mirip
buntalan kain perca, lalu berjalan ke luar pelataran. Seorang cowok yang entah
sedari kapan membersamaiku menegur, “Ini kelima kalinya saya lihat kamu di
sini—“
“Berapa kali?” Aku menoleh kepadanya dengan kaget. Sebenarnya
aku bisa mendengar jumlah itu dengan jelas sekali. Sekonyong-konyong terlintas
di kepalaku kalau cowok ini mungkin juga selalu melihatku dalam keadaan
membopong tumpukan buku, dan membatin: Dia
mungkin cewek yang ditakdirkan untuk membangun kerajaan buku bersamaku.
Kutaksir usianya tidak seberapa jauh daripadaku. Rambutnya lurus, hampir
menutupi mata. Kulitnya yang putih sepucat bibirnya yang kelabu. Jaketnya yang
terbuat dari bahan parasut tidak kalah pucat dari warna kulit dan bibirnya.
Puncak kepalanya tepat di depan mataku. Setelah dia menanggapi pertanyaan
spontanku tadi, aku membalasnya dengan senyum kikuk lalu mempercepat langkah ke
Alfamart di sebelah toko. Aku berharap dia sudah tidak ada begitu aku keluar
dengan sebotol Nutriboost rasa jeruk.
Dia mengikutiku ke dalam Alfamart. Kulihat dia tampaknya juga
hendak membeli sesuatu. Jadi aku tidak mengacuhkannya. Setelah ini aku
berencana untuk berjalan kaki ke rumah sekalian melewati kompleks Dinas Tenaga
Kerja. Sewaktu menaiki angkot dalam perjalanan menuju toko buku, aku melihat di
tiang listrik di depan kompleks tersebut terpampang iklan lowongan kerja.
Setelah beberapa menit menjauhi Alfamart dan meneguk
Nutriboost rasa jeruk yang rasanya ternyata mirip Combantrin sirup, aku
mendapati cowok itu menjajari langkahku. Aku mempercepat lajuku, berharap dia
akan terengah-engah karenanya. Dia mengajakku berkenalan dalam kegugupannya
yang menular. Kalau saja aku segigih ini sewaktu cowok berjaket-kulit-hitam
tadi masih ada!
Ranselnya sebesar ransel tentara yang akan menaiki gunung.
Dia membenarkan ketika aku menerka ranselnya hanya berisi buku. Kami hampir
sampai di tiang listrik tujuanku ketika ranselnya ambrol. Aku membantunya
mengumpulkan buku-buku yang berceceran—sebetulnya lebih karena ingin mengetahui
buku macam apa yang dibelinya. Textbook.
Textbook. Dan textbook. Sebagian lagi berupa buku-buku nonakademis namun sampai
kapanpun tidak akan masuk ke dalam daftarku. Dengan malu-malu dia mengaku bahwa
dirinya mahasiswa pascasarjana di perguruan tinggi berlogo gajah duduk. Masih
berjongkok, aku membuka buntalan-kain-percaku, berharap menemukan lipatan tas
kain. Aku terbiasa membawa tas cadangan karena semasa kuliah aku sering pulang
dari perpustakaan dengan setumpuk buku yang terlalu berat untuk dimuat di dalam
ransel. Aku punya sekitar selusin tas seperti itu di rumah. Dengan rikuh ia
menerima pemberianku.
Sementara ia mengatur buku-bukunya di dalam tas yang
sebenarnya tidak besar itu, aku mencuri kesempatan untuk mengintip iklan
lowongan kerja di tiang listrik. Embel-embel “penghasilan tidak terbatas”
membuatku ragu.
“Kamu sendiri… kuliah? Kerja?”
“Autodidak,” jawabku.
“Oh….” Dia mestinya tidak memahami jawabanku dengan jelas,
dan segan untuk memintaku memperjelasnya, tapi terus saja bertanya, “Bidang
apa?”
“Mm…. Humaniora…?” atau apapun yang bisa menjawab
keingintahuan kenapa sebagai orang kota aku senang berbicara dan berjalan
cepat-cepat seperti angkot lagi kejar setoran.
Aku merogoh bon dari pembelian di Alfamart tadi, dan pulpen
dari dalam ransel, lalu menulis di permukaan yang kosong:
BOOK ANONYMOUS
Jalan Soekarno-Hatta XXX
Bandung 40XXX
CP: (022) 73XXXXX/ 08XXXXXXXXXX
Aku menyerahkan kertas tersebut kepadanya.
“Apa ini?”
Untungnya sebuah angkot keburu berhenti di depan kami. Angkot
yang sebetulnya berlawanan dengan arah menuju rumahku. Angkot yang justru akan
membawaku kembali melewati toko buku tadi. Tapi aku tetap menaikinya demi
menjauhi sosok yang terbengong-bengong itu.[]
Kamis, 05 Juni 2014
gulagu pengangguran
telah lama kualami/ hidup tiada pegangan/ pengangguran, ya Allah.../ tiap hari susah makan/ anak istri bertangisan/ jadi korban, ya Allah.../ tiada yang mau menolong/ pada diriku ini/ tiada yang mau perduli/ akan nasibku ini/ bahkan mereka mencemoohkan/ penuh kebencian/ akupun selalu disisihkan/ dari pergaulan/ Ya Tuhan Rabbul Izzati/ tanamkan dalam jiwaku kesabaran, ya Allah.../
Ini lagu-tentang-pengangguran paling mengenaskan yang sejauh ini saya kumpulkan. Kalau ingat lagu beliau yang lain, "Kegagalan Cinta", raja dangdut satu ini tampaknya memang super melankolis. "...kalah dah lagu emo," kata seorang blogger yang telah melakukan kontemplasi mendalam atas hidupnya sebagai pengangguran berdasarkan lagu ini. Memang tidak semua pengangguran bernasib nahas sebagaimana yang diceritakan dalam lagu ini, namun saya kira di suatu tempat memang ada kaum yang demikian. Biarpun secara umum lagu ini mengajak bersedih-sedih sekaligus menuai simpati kepada kaum yang kurang beruntung tersebut, pada akhirnya mengingatkan jua bahwa bagaimanapun pedihnya suratan takdir (jyah) berserah dirilah kepada Yang Maha Kuasa. Zaman sekarang, apa ada lagu dangdut yang mutunya menandingi buatan Rhoma Irama?
Iwan Fals - "Sarjana Muda"
berjalan seorang pria muda/ dengan jaket lusuh di pundaknya/ di sela bibir tampak mengering/ terselip sebatang rumput liar/ jelas menatap awan berarak/ wajah murung semakin terlihat/ dengan langkah gontai tak terarah/ keringat bercampur debu jalanan/ engkau sarjana muda/ resah mencari kerja/ mengandalkan ijazahmu/ empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ tuk jaminan masa depan/ langkah kakimu terhenti/ di depan halaman/ sebuah jawatan/ tercenung lesu engkau melangkah/ dari pintu kantor yang diharapkan/ terngiang kata tiada lowongan/ untuk kerja yang didambakan/ tak peduli berusaha lagi/ namun kata sama kau dapatkan/ engkau sarjana muda/ resah tak dapat kerja/ tak berguna ijazahmu/ empat tahun lamanya/ bergelut dengan buku/ sia-sia semuanya/ setengah putus asa dia berucap/ maaf ibu/
Saya mengetahui lagu ini dari sebuah cerita di Kemudian. Liriknya dikutip dalam paragraf pembuka. Sebetulnya lagu ini tidak kalah lesu daripada lagu lainnya tentang pengangguran yang dibawakan oleh Rhoma Irama. Malah realitas tersebut diungkapkan secara lebih luas dalam bentuk balada. Lagu ini ada di nomor pertama dalam album profesional Iwan Fals yang pertama. Mengingat bahwa album bertajuk Sarjana Muda tersebut dirilis pada tahun 1981, fenomena sarjana-kesulitan-mencari-pekerjaan ini ternyata sudah berlangsung sedari lama sekali. Problem yang tidak kunjung tuntas sampai sekarang. Ijazah dan buku tidak cukup menjadi jaminan.
Seseorang membuat videoklip lagu ini untuk tugas akhir. Silakan dinikmati.
Kantata Takwa ft. Iwan Fals - "Balada Pengangguran"
o, apa jadinya/ e, ingin apa/ o, apa jadinya/ e, aku lesu/ dibolak-balik dinalar-nalar tanpa logika o ya/ diraba-raba diterka-terka tidak terduga/ misteri ijazah tidak ada gunanya/ ketekunan tidak ada artinya/ pembangunan o/ pengangguran ya/ penerangan o/ kegelapan ya/ putus asa o ya/ akan merampok takut penjara/ menyanyi tidak bisa/ bunuh diri ku takut neraka/ menangis tidak bisa/ kaki lima o/ kaki lima ya/ makan debu/ ya janji palsu/ mengutang lalu lagi mengutang/ tahu-tahu menipu/ penyuluhan o kegelapan ya/
Kali ini Iwan Fals bersama Kantata Takwa dalam album yang dirilis kurang lebih sepuluh tahun sejak lagunya yang bertema serupa. Sebagian liriknya kalau tidak salah diambil dari puisi WS Rendra. Pengangguran masih menjadi masalah, tentunya. Lagu ini setidaknya terasa energik ketimbang yang lain-lainnya. Tidak mengajak menye-menye; meratapi nasib dalam kelesuan. Lebih seperti... frustasi, mungkin. Melampiaskan kekecewaan pada diri yang tidak memiliki keberanian (akan merampok takut penjara; bunuh diri ku takut neraka) pun keterampilan (menyanyi tidak bisa; menangis tidak bisa). Dan ironi: Negara terus berkembang, kenapa saya tidak? (pembangunan o! pengangguran ya!) Bait-bait itu kadangkala terngiang-ngiang di dalam kepala, terasa menggelikan. Keputusasaan pun menyeret sang pengangguran pada laku negatif: utang, menipu. Seakan hendak menunjukkan salah satu penyebab maraknya kriminalitas. Di latar pun terdengar lagu "Padamu Negeri" dinyanyikan.
Iwan Ernawan - "Batan Nganggur"
Iwan yang satu ini agaknya hanya populer di kalangan penggemar lagu pop sunda. Beliau berasal dari kota tauco alias Cianjur. Saya baru mendengarkan lagunya yang berjudul "Cilaka" dan "Batan Nganggur". Keduanya mengandung pesan sosial, satir malahan, dan dibawakan dengan jenaka, kendati yang tidak memahami bahasa sunda mungkin bakal mengernyit saja.
"Batan Nganggur" berarti "Daripada Nganggur". Dari judul ini saja kita dapat menebak kalau lagu ini mengangkat isu pengangguran. Begini penggalan liriknya: ...kahayang ngalamar ka kantoran/ tapi sok tara aya lowongan/ nu aya ge kalah dikurudan/ komo nu keur ngamimitian/ .../ mending ge milih ngembangkeun bakat/ najan bakat, bakat ku butuh/ .../ matak jadi jalma kudu pinter/ ngarah heunteu gampang kabalinger/ neangan gawe pasti teu sulit/ komo lamun dibarengan duit.../ yang artinya kira-kira: ...keinginan melamar ke kantoran/ tapi selalu tidak ada lowongan/ yang ada malah dipalak/ apalagi yang baru pertama kali/ .../ mendingan milih mengembangkan bakat/ meskipun bakat, bakat karena butuh/ .../ makanya jadi orang harus pintar/ supaya tidak gampang tertipu/ mencari kerja pasti tidak sulit/ apalagi kalau dibarengi duit/.
Hihihi. Orang sunda katanya memang memiliki selera humor yang tinggi, termasuk dalam menertawakan kesulitan diri. Simak kekocakan (alm.) Iwan Ernawan dalam videoklip di bawah ini. Tentunya lagu ini lebih dinikmati apabila liriknya yang dalam bahasa sunda itu dapat dimengerti, untuk itu seseorang telah berbaik hati memajang lirik tersebut sekalian terjemahannya dalam bahasa Indonesia di sini.
Ada yang punya referensi lagi?
Rabu, 04 Juni 2014
Satu hal yang kau pelajari dari hubungan antara orangtua dan orangtuanya orangtua
Senin, 02 Juni 2014
Seorang
suami meminta diajarkan cara menggunakan pembalut pada istrinya. Ia
tidak mengatakan bahwa penisnya mengeluarkan darah. Hal itu berlangsung selama
beberapa hari. Berangsur-angsur cairannya tinggal berupa bercak kecokelatan hingga
tidak ada sama sekali. Sang istri pun tidak bertanya mengapa suaminya terus
mengambili persediaan pembalutnya. Lagipula ia belum membutuhkannya lagi. Sudah
beberapa minggu lewat dari tanggal perkiraan menstruasinya.
Minggu demi minggu berlalu. Tepat duapuluh delapan hari
setelah penisnya berhenti mengeluarkan darah, sang suami kembali mengambili
persediaan pembalut istrinya. Istrinya tidak pula bertanya-tanya. Ia disibukkan
oleh pekerjaannya. Ia menjabat posisi penting di perusahaannya, membawahkan sederet
anak buah berkompetensi tinggi. Ia sosok pemimpin yang dihormati dan disegani.
Dengar-dengar ia dipromosikan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi lagi.
Sementara itu mengucurnya darah selama beberapa hari pada
setiap bulan sama sekali tidak mengganggu rutinitas sang suami. Ia bisa
mengganti pembalut kapanpun dirasakannya penuh tanpa risi pada siapapun, karena
ia bekerja sendirian, di rumah. Kalaupun anak-anak sudah pulang dari sekolah,
mereka tidak bertanya mengapa tiap beberapa jam sekali ayah mereka masuk ke
dalam kamar mandi. Lelaki itu mencuci pembalutnya bersih-bersih dan membuangnya
di tempat khusus karena ia tidak ingin seorangpun tahu apa yang terjadi
padanya. Ia tidak ingin meninggalkan jejak, bahkan meskipun itu hanya setitik
darah di sofa akibat lupa mengganti pembalut.
Bulan demi bulan berlalu dan ia menjadi terbiasa. Ia tidak
menanyakannya pada dokter spesialis kelamin dan semacamnya, mungkin karena
malu. Ia tidak berpikir bahwa dirinya mungkin mengidap penyakit. Ia hanya
memahami fenomena itu sebagai menstruasi, titik. Pun ia tidak merasakan
keanehan lain pada tubuhnya selain penisnya yang lamban laun memendek sementara
sepasang zakarnya mengecil, dan munculnya ceruk di antara organ kelelakiannya
yang mengerut itu dan anus. Hingga organ kelelakianya lenyap sama sekali, dan
ceruk itu menjadi lorong yang dalam dan terus menggali dirinya sendiri
membangun rongga lembut di bagian bawah perut. Bagaimanapun juga, anak-anak
menyadari bahwa ayah mereka tidak perlu bercukur lagi. Dan sang suami pada satu
kesempatan bersanggama yang jarang mendapati klitoris istrinya telah memanjang
dan membesar. Tidak ada lagi lubang yang bisa disusupinya. Buntet bagai lubang
di bantalan telinga yang lama tak ditembus anting. Pun tidak ada lagi yang
tersisa di antara selangkangannya untuk dapat memasuki.
Terjawab keheranannya mengapa sang istri tidak pernah
menambah persediaan pembalut lagi sehingga ia harus membelinya sendiri, dan
mengapa istrinya diam-diam meminjam alat cukurnya setiap pagi.
Bagi anak-anak, perubahan yang terjadi pada ayah-ibu mereka bukanlah masalah. Mereka tidak risau selama kebutuhan mereka sehari-hari termasuk pendidikan tercukupi, dan salah satu dari kedua orangtua mereka ada di rumah untuk menyambut mereka saat pulang, menyiapkan makanan, dan meladeni segala keluh-kesah mereka termasuk PR dari sekolah.[]
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu