Senin, 09 Maret 2015

Yulia Teriyaki

Yulia Teriyaki dan aku sering berbaring bareng siang-siang dan yang terjadi begitu saja melulu. Matahari memancarkan teriknya menerobos kaca jendela kamarku. Ia tiduran menghadapku. Kepalanya disangga tangannya. Matanya yang bulat memandangku, yang duduk di sampingnya bersandarkan tumpukan bantal sembari memainkan gitar, mengarang-ngarang lagu dengan mereka-reka kunci. Sesekali dari mulutku keluar senandung yang mestinya tidak bisa dicerna pendengarannya sebab lirik lagu itu memang tidak seketika terpikir olehku.

Yulia Teriyaki sebenarnya tidak persis bernama Yulia Teriyaki. Nama aslinya memang Yulia—pasti gara-gara ia lahir pada bulan Juli—sedang tambahan Teriyaki itu karena menurut beberapa anak di sekolah kami dulu—kami bersekolah di SD yang sama—wajahnya seperti orang Jepang—atau tepatnya orang Jepang yang bermata besar. Kulitnya pun pucat seperti zombi, terlalu putih dibandingkan kebanyakan dari kami. Bahkan diam-diam ada yang bilang kalau saja rambutnya dipanjangkan maka dirinya akan mirip sekali dengan hantu yang keluar dari TV itu. Memang kadang kami mendapatinya seperti yang melamun, tatapannya kosong. Lalu salah seorang dari anak-anak itu berkata, “Pasti dia suka makan teriyaki,” dan sejak itulah Teriyaki melengkapi nama panggilannya. Mungkin juga untuk membedakannya dari Yulia Nur Hasanah dan Yuliatun Nufus. Seandainya anak yang mula-mula mencetuskan nama Teriyaki itu tahu sejak dulu kalau makanan dari Jepang itu ada banyak jenisnya, bukan hanya teriyaki, tapi ada juga takoyaki, tepanyaki, sukiyaki, onigiri, dan bakmi, barangkali Yulia Teriyaki tidak akan menjadi Yulia Teriyaki. Selain itu, kami merasa harus memanggilnya secara lengkap seperti itu, jarang dengan Yulia saja, ataupun Teriyaki saja. Kami juga memanggil Yulia Nur Hasanah dan Yuliatun Nufus dengan selengkap-lengkapnya. Yulia Teriyaki tidak pernah kelihatan marah kalau dipanggil Yulia Teriyaki. Tidak seorangpun yang peduli pada nama lengkap Yulia Teriyaki yang sebenarnya, tidak sebagaimana pada Yulia Nur Hasanah dan Yuliatun Nufus yang mana keduanya memang nama lengkap mereka yang sebenar-benarnya. Dan sepertinya ia juga tidak peduli.

Tiba masanya aku lumayan mahir memainkan gitar. Aku membentuk band bersama beberapa temanku se-SMA. Kami suka berlatih di halaman belakang rumahku yang lapang. Saat itu kami menyenangi genre alternatif, dan ingin menciptakan lagu kami sendiri. Pada awalnya Yulia Teriyaki tetap tiduran di kamarku di lantai atas, sementara aku dan teman-temanku menyalakan amplifier dan berbising-bising di halaman belakang yang dipagari sesemakan setinggi kepala. Lalu entah sejak kapan ia sering tahu-tahu muncul di hadapan kami yang sedang berlatih. Sementara kami bermain seakan-akan sedang berada di panggung atau direkam untuk videoklip, ia mencangkung atau tiduran beberapa meter jauhnya di hadapan kami, mengamati dengan rautnya yang dingin, dan seakan-akan ada kaca tebal di antara kami. Ia bisa saja mengangkat tangannya seakan-akan sedang memegang remot dan memijit tombolnya, lalu kami lenyap seketika, digantikan penampilan yang lain, misal saja mendadak ia ingin menonton kartun. Tapi ia tidak pernah melakukannya. Ia tetap dalam sikapnya sampai kami merasa latihan sudah cukup atau langit mulai gelap sehingga kami pun bubar. Kadang-kadang aku yang, selagi berlatih, diam-diam memerhatikannya dan membayangkan dirinya perlahan-lahan merangkak. Jari-jarinya yang ceking dan panjang merenggang sementara memijak rerumputan. Begitu juga lututnya yang lancip seakan-akan hanya tulang berbalut kulit itu melangkah sejengkal demi sejengkal ke arah kami. Matanya menatap lekat-lekat ke depan. Lalu diterobosnya kaca tebal yang menyekat dirinya dan kami. Kaca itu buyar seakan-akan berupa dinding air, namun ia sama sekali tidak basah.

Suatu malam, setelah teman-temanku pulang, ia kembali tiduran di kamarku sementara aku di sampingnya melatih genjrengan sekalian lafal sebab aku juga vokalis di band-ku, lalu tahu-tahu tercetus oleh mulutku: “Aku mau bikin lagu buat kamu, tentang kamu.”

Ia lalu mulai jarang mampir ke rumahku. Namun tiap kali ia muncul, ia tidak lagi diam saja. Sedikitnya ada yang ia tanyakan: “Mana laguku?” Sementara aku cuma bisa menjawab: “Belum,” “Belum,”dan “Belum.” Pernah suatu kali kami memainkan lagu yang liriknya menceritakan tentang seorang perempuan. Tanyanya: “Itu laguku?” “Bukan, itu lagunya Kahitna,” jawabku. Lalu pada kali lain, ia lontarkan pertanyaan yang serupa. Aku menjawab: “Itu lagu ciptaannya dia,” (sambil menunjuk kibordis band-ku) “buat ceweknya.” Biarpun setiap jawabanku mestinya membikin kecewa, tapi ia tidak menampakkannya. Ia masih datang sesekali saat kami latihan.

Pernah suatu kali ia menonton kami sambil duduk di rerumputan, kedua lututnya dinaikkan, dan bagian dalam roknya sedikit kelihatan. Serta-merta aku terpikir untuk membuat lagu tentang itu, liriknya seketika terpampang dalam kepalaku seperti teks pada layar di tempat karaokean. Tapi aku merasa itu tidak sepantasnya jadi aku mengurungkannya. 

Sejak kejadian itu, untuk beberapa kali lagi ia belum juga bosan—atau mungkin belum menampakkan saja—menanyakan tentang lagunya, seiring dengan frekuensi kemunculannya yang semakin jarang. Aku sempat mengatakan padanya kalau gagasan untuk membuat lagu untuknya dan tentangnya itu muncul begitu saja namun tidak secara jelas. Aku butuh waktu untuk merumuskan gagasan itu menjadi serangkaian kunci gitar serta lirik yang enak didengar. Ia sepertinya mengerti, tapi lama-kelamaan ia tidak pernah datang lagi.

Sewaktu menyadari kalau ia sudah tidak pernah datang lagi, mula-mula aku menanyakan pada teman-teman band-ku apa mereka pernah melihat ada gadis yang suka menyertai latihan kami atau jangan-jangan selama ini ia cuma khayalanku, sebab memang antara mereka dan Yulia Teriyaki saling bersikap acuh-tak-acuh. Mereka mengiyakan. Salah seorang di antara mereka bahkan baru mau menanyakan padaku: Dia sebenarnya siapa sih? Setelah teman-temanku pulang, aku menanyakan pada pembantuku apa ia suka melihat teman-temanku itu datang, bermain musik bersamaku, lalu pulang, atau jangan-jangan selama ini mereka cuma khayalanku. Pembantuku mengiyakan. Ia bahkan hafal jam dan hari latihan kami. Terpikir untuk menanyakan pada orangtuaku apa pembantuku itu benar-benar ada… tapi mereka pulang masih lama dan aku keburu dirundungi pertanyaan, yang sama seperti yang diajukan temanku: Dia sebenarnya siapa sih?

Bukan berarti aku mengalami amnesia. Samar-samar aku ingat kebersamaan kami sewaktu SD, juga sepertinya aku pernah berhenti di depan rumahnya—yang letaknya masih satu RW dengan rumahku meskipun agak berjauhan—dan bertemu satu-dua anggota keluarganya. Kalau langit terang, aku bersepeda mencari-cari rumah itu sambil mengais-ngais ingatanku. Begitu sampai di RT-nya, aku sempat merasa tidak pasti: rumah yang ini atau rumah yang itu? Aku hanya bisa menduga-duga. Sampai beberapa kali lagi aku bersepeda di sekitar situ sambil berharap menemukan tanda-tanda keberadaannya.

Waktu terus berlalu. Saat teringat akan Yulia Teriyaki, aku berpikir ia benar-benar tidak akan pernah datang lagi. Aku juga hampir tidak pernah berkeluyuran di sekitar RT-nya lagi. Sementara itu, keping-keping ingatanku akan dirinya berdatangan sesekali: bahwa kami pernah bersepeda bersama di sekitar perumahan; bahwa kami hanya berdua di perumahan itu yang bersekolah di SD yang sama dan berlangganan mobil jemputan yang sama pula selama bertahun-tahun; bahwa sejak kami tidak lagi bersekolah di tempat yang sama ia tetap datang ke rumahku sekadar untuk menumpang membaca komik, memainkan game, atau tiduran; bahwa ketika aku menanyakan tentang dirinya pada teman-teman SD kami sewaktu reuni, tidak seorangpun yang tahu kabarnya sejak kelulusan.

Seakan-akan penjelmaan dari keping-keping ingatanku itu, satu demi satu terciptalah lagu-lagu untuknya dan tentangnya. Di antara lagu-lagu itu aku menyelipkan pertanyaan “Siapa kamu? Di mana kamu?” berulang-ulang yang, setelah aku mempelajari bahasa Jerman, berganti menjadi “Wer bist du? Wo bist du?” Dalam satu lagu ia menjadi orang yang benar-benar berbeda dari yang ada dalam ingatanku—ia mampu mengungkapkan segala sesuatunya dengan terang-terangan bahkan sentimental sehingga aku tidak kebingungan sewaktu dulu ia terus-terusan menanyakan: “Mana laguku?” karena segala petunjuk untuk menulis lagu tentang dirinya itu telah diberikannya padaku. Semua lagu itu kubawakan sendiri dengan gitar sembari kurekam dalam sebuah kaset. Karena ia tidak pernah muncul lagi, maka aku tidak tahu lagu mana yang mungkin ia sukai. Pada sampulnya aku menulis: YULIA TERIYAKI. Rencananya aku akan memberikan padanya kapan-kapan, kalau kami bertemu lagi.

Aku tidak bermain musik lagi setelah lulus kuliah, walaupun masih menikmatinya. Berkali-kali orangtuaku berusaha membukakan realitas bahwa hanya segelintir saja yang dapat bermusik purnawaktu. Kebanyakan mesti bekerja sampingan sebagai pegawai kantoran supaya dapat bertahan hidup. Aku mengerti. Aku menguat-nguatkan sugesti orangtuaku itu dengan menanamkan visi bahwa kalau aku bertahan sebagai pemain musik maka kemungkinan aku akan berakhir sebagai penjaga waserba yang menggendong bayi kakaknya sembari bekerja. Meskipun pada akhirnya bisa saja aku berkumpul kembali dengan teman-teman lamaku untuk melawan robot penghancur dunia, tapi itu bukan risiko yang ingin kujalani. Selain itu, aku juga berusaha menghentikan kecanduanku akan komik.

Maka perjalanan hidupku seterusnya secara keseluruhan bukanlah kisah yang menarik untuk diceritakan.

Pada akhirnya aku mewarisi rumah orangtuaku dan menempatinya sepanjang sisa hidupku.

Lalu pada suatu hari datanglah seorang tamu. Hampir aku tidak mengenalinya. Selain putih yang menyelimuti rambutnya serta keriput yang menggelayuti kulitnya, penampilannya persis seperti yang dulu. Lengkap dengan sorotnya yang kosong, biarpun mata itu sudah separuh tertutup oleh sayu. Suaranya juga sudah tidak seperti yang dulu, kini serak dan ringkih: “Mana laguku?” Aku pun mengajaknya masuk. Sejenak aku mondar-mandir mengingat-ingat tempat kusimpan kaset itu. Mestinya kaset itu ada di suatu tempat di rumah ini, tapi ingatanku gagal menjangkaunya. Dan meskipun ia bergeming saja menantiku, seperti ada yang berseru padaku dari kejauhan: “… cepat… cepat…!” seakan-akan ia hendak sebentar saja di sini. Yang kutemukan malah gitarku yang sudah uzur.

Maka pada siang itu, di kamarku yang dulu, setelah menghabiskan lebih dari setengah jam untuk menaiki tangga, ia merebahkan dirinya menghadapku sembari berbantalkan tangannya, sementara aku meraba-raba senar gitarku sembari meremas-remas otak agar memutarkan sebuah lagu dari sebuah kaset yang tersimpan entah di mana. Jam demi jam merangkak. Aku berharap ia puas dan menikmati upayaku. Dalam temaram senja yang mulai menyelubungi kamarku yang dulu, kulihat posisinya masih sama. Matanya tidak kelihatan, mungkin terpejam. Ia mungkin tertidur. Aku pun turun. Aku menyuruh pembantuku membawakan makan malam untuknya, sementara aku makan sendirian di kamarku dan tidur.

Keesokan paginya aku naik ke kamarku yang dulu dan mendapati posisinya belum berubah. Makanan semalam pun tidak tersentuh. Kupanggil pembantuku dan kusuruh untuk mencari nadinya.[]

 

 

 

credit to: “Julie Tearjerky” – Eraserheads

Minggu, 08 Maret 2015

Musik untuk Teman Tidur

Malam itu Bibe dan mamanya tidur bersebelahan di kasur Bibe. Kasur untuk satu orang sebenarnya. Sejak Bibe kecil, Mama suka mendampinginya seperti itu. Tapi sekarang badan Bibe sudah lebih besar daripada mamanya. Maka kalau Mama ingin tidur bersama, Bibe memilih tempat di sisi luar kasur—sementara Mama di dekat tembok—sebab rasanya lebih leluasa. Mama berbaring menyamping ke arah Bibe, sementara Bibe telentang namun kepalanya agak berpaling dari Mama. Benaknya melayang ke mana-mana, mencari jalan menuju lelap, yang sekaligus menjadi gerbang ke alam mimpi. Tapi kantuknya malah lari, begitu ia menyadari kalau jemari Mama sedang bermain-main dengan rambutnya. Jemari itu membelah rambutnya, dari atas ke bawah, seakan ingin merasai kehalusannya, terus dan terus, naik-turun-naik-turun dengan perlahan. Ia juga merasa Mama sedang memandanginya. Maka ia terus mempertahankan posisi kepalanya supaya tidak berpaling pada Mama, tapi jangan sampai terlihat jengah atau semacamnya. Rileks saja. Lalu seiring dengan gerakan jemari Mama, tahu-tahu Bibe mendengar alunan musik di dalam kepalanya. Musik yang belakangan ini memang sedang senang-senangnya bermain di dalam kepalanya. Musik yang didengarnya semata karena ingin merasa lebih dekat dengan pemilik jari-jari yang mendentingkannya. Tapi ternyata lama-lama musik semacam itu enak juga, terutama ketika didengarkan baik-baik. Selama ini, ia menyukai musik tertentu karena teman-temannya juga menyukainya: lagu-lagu yang asyik dinyanyikan beramai-ramai waktu menongkrong di karaokean. Ia juga diam-diam menyukai lagu-lagu zaman dulu dengan lirik yang mengharu-biru; hanya karena Mama doyan memutarnya berkali-kali sedari ia masih kecil. Lagu-lagu yang berlirik. Sering kali ia tidak peduli pada apapun yang disampaikan lirik-lirik itu. Tapi sejak mengenal musik Om Yan, lagu-lagu semacam itu terdengar seperti bebunyian belaka. Tang-ting-tung. Jrang-jreng-jrong. Waw-wew-wow. Perkataan apapun yang dinyanyikan sang vokalis malah terasa mengganggunya. Sementara saat mendengarkan musik Om Yan, ia bertanya-tanya: Beginikah musik yang sebenar-benarnya musik? Yang tidak ada liriknya. Musik itu sendiri yang berbicara, melalui instrumen yang dibawakan oleh orang-orang yang tersembunyi—tidak terlihat. Mata ingin terpejam saja saat telinga mencoba meresapinya. Bukan karena mengantuk, melainkan untuk memberi ruang lebih bagi meletupnya imajinasi. Sesekali, ketika ada instrumen baru yang menyusup dalam pendengarannya, ia menebak-nebak, apa itu masih suara flute?, tapi kedengarannya seperti biola, apa ini suara gitar?, atau jangan-jangan piano? Ah, betapa butanya ia soal musik! Coba kalau dulu ia becus saat dikursuskan oleh Mama—sampai sekarang ia hanya bisa memainkan lagu-lagu sederhana dengan gitar. Tapi instrumen apapun itu yang sedang bermain tidaklah penting amat. Sebab telinganya, imajinasinya, hatinya sudah telanjur diombang-ambingkan suasana yang ditimbulkan oleh musik; diayun-ayun sampai melambung, dibuai-belai angin semilir yang tahu-tahu berembus dari pendengarannya, dibawa masuk ke dalam rasa yang tidak terperikan… seperti saat jemari Mama mengelus rambutnya bagai sedang memetik harpa. Oh, ia tidak tahu apa memang ada harpa dalam musik yang sedang mengalun dalam kepalanya itu. Seakan-akan penggubahnya tahu bahwa pendengarnya, Bibe ini, akan mengalami momen tertentu dan membuatkan musik untuk mengiringinya. Ah, atau tepatnya, pemain pianonya! Sebab bagian pianonyalah yang mengiang-ngiang di dalam kepala Bibe seiring gerakan jemari Mama. Dentingannya lembut sekali. Seakan-akan berbagi perasaan yang sama dengan yang tengah dialami Bibe.

Alunan itu terputus ketika tahu-tahu kepala Papa menongol di ambang pintu yang memang tidak ditutup. Mukanya sepet, matanya mengejap-ngejap terkena sorot lampu yang benderang, pertanda baru terjaga.

“Kok sempit-sempitan?” Tangan Papa menempel pada kosen. “Pindah sana.” Kepala Papa mengarah ke kamar sebelah yang kasurnya memang cukup untuk mereka bertiga. Kalau Papa sedang tidak bertugas dan tinggal di rumah, mereka sering tidur bareng-bareng di situ, terutama sewaktu Bibe masih kecil. Tapi karena Papa sering bepergian, Bibe dan Mama malah terbiasa tidur di kasur yang lebih sempit. Sebetulnya Bibe ingin tidur sendirian saja, tapi Mama selalu ingin menempel dengannya dan “lupa” balik ke kamar satunya.

“Papa ikut sini aja,” kata Mama.

Papa cuma mengernyit, lalu terdengar badannya diempaskan ke sofa ruang tengah yang gelap, dan TV dinyalakan.

Barulah setelah itu Bibe bisa memejamkan mata karena benar-benar terlelap. Ia sempat terbangun dan telinganya menangkap suara TV, tapi elusan Mama di rambutnya tidak lagi terasa. Dilihatnya mata Mama pun sudah terpejam, wajahnya masih terarah pada Bibe, sementara jemarinya diam di ujung-ujung rambut panjang itu.

“Ma…” Bibe bersuara pelan. “Mau dielus lagi.”

“…mm?” Rupanya Mama masih bisa menanggapinya. Matanya tampak berat sewaktu membuka.

“Enggak jadi.” Bibe kembali pada posisinya, telentang dan berusaha tidak berpaling pada Mama.

Tapi rupanya Mama masih mendengarnya. Pelan-pelan jemari itu mengusap-usap rambutnya lagi, kena kulit kepalanya, sampai Bibe terlelap lagi. Dan ketika Bibe terbangun lagi, dilihatnya Mama sudah memunggunginya, mendempet tembok seperti ikan sapu-sapu. Suasana begitu gelap dan senyap. Tidak ada lagi suara TV. Lampu kamar Bibe pun sudah dimatikan, mestinya oleh Papa.

*

Beberapa waktu sesudah malam itu, siang-siang Bibe jalan-jalan bersama Om Yan. Sudah berkali-kali seperti itu: Om Yan menjemput Bibe sepulang sekolah, lalu mereka akan makan-makan di suatu tempat, entahkah di kafe atau restoran rekomendasi masing-masing, atau di kawasan pinggir kota yang udaranya sejuk. Lalu mereka akan mengobrolkan apa saja, sepuas-puasnya. Bagaimana seorang “om” yang usianya kira-kira empat puluh tahun (tapi kelihatannya kurang dari itu!) nyambung dengan remaja seusia Bibe yang ceriwis bukan main, hanya mereka yang tahu rahasianya. Kali ini Om Yan memarkir mobilnya di sisi hamparan perkebunan teh. Kaca jendela dibuka lebar-lebar. Begitu juga perbekalan mereka: sebaskom es krim rasa stroberi, cokelat, moka, dan teh hijau yang dikais berdua, ditempatkan di tengah-tengah mereka, di dekat rem tangan. Dingin di luar, dingin di dalam. Tapi mereka merasakannya di awal saja. Di tengah-tengah obrolan, mendadak Bibe teringat pada malam Mama mengelus rambutnya dan permainan piano Om Yan.

“Eh, Om, aku dengerin lagu-lagunya Om di Youtube, lo.”

“Iya?” Om Yan tersenyum di sela-sela meramu campuran stroberi-cokelat-moka-teh-hijau yang pas dalam sendok plastiknya. Dalam album yang dimaksud Bibe kemudian, ia sekadar pemain piano dalam arahan seorang komponis kawakan asal Cannes. Bibe sudah tahu itu.

“Waktu Mama lagi ngelus-ngelus rambut aku pas mau tidur…” Bibe terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “enggak tahu kenapa, kebayang lagu itu.”

Senyum Om Yan tidak terartikan oleh Bibe, sebab tidak mungkin mengatakan pada gadis itu kalau ia mengalami hal serupa dengan teman tidurnya selama tinggal di Boston. Pada suatu malam, ia memandangi punggung wanita yang tengah lelap itu, dan mulai mengelus rambutnya yang panjang pelan-pelan sekali, hingga dalam kepalanya sayup-sayup mengalun sebuah melodi, yang begitu saja keluar dari dirinya. Begitu pula yang terjadi saat sedang merekam aransemen gubahan komponis yang bekerja sama dengannya itu di studio; “kecelakaan” itu membuatnya malu—ia pemain paling junior dalam grup itu—tapi sang komponis menyukainya, dan gerakan tangan lelaki gaek itu mengisyaratkan: “Lanjutkan,” dan proses rekaman pun diulang dengan “sedikit” improvisasi yang bagi pendengar tertentu ternyata melenakan, namun tidak termasuk kekasihnya itu. Wanita itu hampir tidak pernah mendengarkan permainannya kecuali kalau sedang sangat suntuk dan membutuhkan hiburan, dan musik yang diminta pun yang riang-riang saja seperti “The Entertainer” dari Scott Joplin atau “Swanee” dari George Gershwin, bukan yang lembut cenderung pilu, sebagaimana yang didengarnya kala mengelus rambut wanita itu pada larut malam, yang setelah belasan tahun lamanya menjadi mitra yang klop di tempat tidur, akhirnya ia tinggalkan jua; wanita itu tidak pernah mau dipasangkan cincin olehnya.

Maka yang dikatakannya pada Bibe hanya, “Mungkin karena judulnya dari bahasa Latinnya ‘Urang-aring’?”[]

 

Credit to: Claude Bolling – “Tendre” (Picnic Suite: Track 06)

 

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain