Yulia Teriyaki dan aku sering berbaring bareng siang-siang dan
yang terjadi begitu saja melulu. Matahari memancarkan teriknya menerobos kaca
jendela kamarku. Ia tiduran menghadapku. Kepalanya disangga tangannya. Matanya
yang bulat memandangku, yang duduk di sampingnya bersandarkan tumpukan bantal
sembari memainkan gitar, mengarang-ngarang lagu dengan mereka-reka kunci.
Sesekali dari mulutku keluar senandung yang mestinya tidak bisa dicerna
pendengarannya sebab lirik lagu itu memang tidak seketika terpikir olehku.
Yulia Teriyaki sebenarnya tidak persis bernama Yulia
Teriyaki. Nama aslinya memang Yulia—pasti gara-gara ia lahir pada bulan
Juli—sedang tambahan Teriyaki itu karena menurut beberapa anak di sekolah kami
dulu—kami bersekolah di SD yang sama—wajahnya seperti orang Jepang—atau
tepatnya orang Jepang yang bermata besar. Kulitnya pun pucat seperti zombi,
terlalu putih dibandingkan kebanyakan dari kami. Bahkan diam-diam ada yang
bilang kalau saja rambutnya dipanjangkan maka dirinya akan mirip sekali dengan
hantu yang keluar dari TV itu. Memang kadang kami mendapatinya seperti yang
melamun, tatapannya kosong. Lalu salah seorang dari anak-anak itu berkata,
“Pasti dia suka makan teriyaki,” dan sejak itulah Teriyaki melengkapi nama
panggilannya. Mungkin juga untuk membedakannya dari Yulia Nur Hasanah dan
Yuliatun Nufus. Seandainya anak yang mula-mula mencetuskan nama Teriyaki itu
tahu sejak dulu kalau makanan dari Jepang itu ada banyak jenisnya, bukan hanya
teriyaki, tapi ada juga takoyaki, tepanyaki, sukiyaki, onigiri, dan bakmi,
barangkali Yulia Teriyaki tidak akan menjadi Yulia Teriyaki. Selain itu, kami
merasa harus memanggilnya secara lengkap seperti itu, jarang dengan Yulia saja,
ataupun Teriyaki saja. Kami juga memanggil Yulia Nur Hasanah dan Yuliatun Nufus
dengan selengkap-lengkapnya. Yulia Teriyaki tidak pernah kelihatan marah kalau
dipanggil Yulia Teriyaki. Tidak seorangpun yang peduli pada nama lengkap Yulia
Teriyaki yang sebenarnya, tidak sebagaimana pada Yulia Nur Hasanah dan Yuliatun
Nufus yang mana keduanya memang nama lengkap mereka yang sebenar-benarnya. Dan
sepertinya ia juga tidak peduli.
Tiba masanya aku lumayan mahir memainkan gitar. Aku membentuk
band bersama beberapa temanku se-SMA.
Kami suka berlatih di halaman belakang rumahku yang lapang. Saat itu kami
menyenangi genre alternatif, dan ingin menciptakan lagu kami sendiri. Pada
awalnya Yulia Teriyaki tetap tiduran di kamarku di lantai atas, sementara aku
dan teman-temanku menyalakan amplifier
dan berbising-bising di halaman belakang yang dipagari sesemakan setinggi
kepala. Lalu entah sejak kapan ia sering tahu-tahu muncul di hadapan kami yang
sedang berlatih. Sementara kami bermain seakan-akan sedang berada di panggung
atau direkam untuk videoklip, ia mencangkung atau tiduran beberapa meter
jauhnya di hadapan kami, mengamati dengan rautnya yang dingin, dan seakan-akan
ada kaca tebal di antara kami. Ia bisa saja mengangkat tangannya seakan-akan
sedang memegang remot dan memijit tombolnya, lalu kami lenyap seketika,
digantikan penampilan yang lain, misal saja mendadak ia ingin menonton kartun.
Tapi ia tidak pernah melakukannya. Ia tetap dalam sikapnya sampai kami merasa
latihan sudah cukup atau langit mulai gelap sehingga kami pun bubar.
Kadang-kadang aku yang, selagi berlatih, diam-diam memerhatikannya dan
membayangkan dirinya perlahan-lahan merangkak. Jari-jarinya yang ceking dan
panjang merenggang sementara memijak rerumputan. Begitu juga lututnya yang lancip
seakan-akan hanya tulang berbalut kulit itu melangkah sejengkal demi sejengkal
ke arah kami. Matanya menatap lekat-lekat ke depan. Lalu diterobosnya kaca
tebal yang menyekat dirinya dan kami. Kaca itu buyar seakan-akan berupa dinding
air, namun ia sama sekali tidak basah.
Suatu malam, setelah teman-temanku pulang, ia kembali tiduran
di kamarku sementara aku di sampingnya melatih genjrengan sekalian lafal sebab
aku juga vokalis di band-ku, lalu
tahu-tahu tercetus oleh mulutku: “Aku mau bikin lagu buat kamu, tentang kamu.”
Ia lalu mulai jarang mampir ke rumahku. Namun tiap kali ia
muncul, ia tidak lagi diam saja. Sedikitnya ada yang ia tanyakan: “Mana
laguku?” Sementara aku cuma bisa menjawab: “Belum,” “Belum,”dan “Belum.” Pernah
suatu kali kami memainkan lagu yang liriknya menceritakan tentang seorang
perempuan. Tanyanya: “Itu laguku?” “Bukan, itu lagunya Kahitna,” jawabku. Lalu
pada kali lain, ia lontarkan pertanyaan yang serupa. Aku menjawab: “Itu lagu
ciptaannya dia,” (sambil menunjuk kibordis band-ku)
“buat ceweknya.” Biarpun setiap jawabanku mestinya membikin kecewa, tapi ia
tidak menampakkannya. Ia masih datang sesekali saat kami latihan.
Pernah suatu kali ia menonton kami sambil duduk di
rerumputan, kedua lututnya dinaikkan, dan bagian dalam roknya sedikit
kelihatan. Serta-merta aku terpikir untuk membuat lagu tentang itu, liriknya
seketika terpampang dalam kepalaku seperti teks pada layar di tempat karaokean.
Tapi aku merasa itu tidak sepantasnya jadi aku mengurungkannya.
Sejak kejadian itu, untuk beberapa kali lagi ia belum juga
bosan—atau mungkin belum menampakkan saja—menanyakan tentang lagunya, seiring
dengan frekuensi kemunculannya yang semakin jarang. Aku sempat mengatakan
padanya kalau gagasan untuk membuat lagu untuknya dan tentangnya itu muncul
begitu saja namun tidak secara jelas. Aku butuh waktu untuk merumuskan gagasan
itu menjadi serangkaian kunci gitar serta lirik yang enak didengar. Ia
sepertinya mengerti, tapi lama-kelamaan ia tidak pernah datang lagi.
Sewaktu menyadari kalau ia sudah tidak pernah datang lagi,
mula-mula aku menanyakan pada teman-teman band-ku
apa mereka pernah melihat ada gadis yang suka menyertai latihan kami atau
jangan-jangan selama ini ia cuma khayalanku, sebab memang antara mereka dan
Yulia Teriyaki saling bersikap acuh-tak-acuh. Mereka mengiyakan. Salah seorang
di antara mereka bahkan baru mau menanyakan padaku: Dia sebenarnya siapa sih? Setelah teman-temanku pulang, aku
menanyakan pada pembantuku apa ia suka melihat teman-temanku itu datang,
bermain musik bersamaku, lalu pulang, atau jangan-jangan selama ini mereka cuma
khayalanku. Pembantuku mengiyakan. Ia bahkan hafal jam dan hari latihan kami.
Terpikir untuk menanyakan pada orangtuaku apa pembantuku itu benar-benar ada…
tapi mereka pulang masih lama dan aku keburu dirundungi pertanyaan, yang sama
seperti yang diajukan temanku: Dia
sebenarnya siapa sih?
Bukan berarti aku mengalami amnesia. Samar-samar aku ingat
kebersamaan kami sewaktu SD, juga sepertinya aku pernah berhenti di depan
rumahnya—yang letaknya masih satu RW dengan rumahku meskipun agak berjauhan—dan
bertemu satu-dua anggota keluarganya. Kalau langit terang, aku bersepeda
mencari-cari rumah itu sambil mengais-ngais ingatanku. Begitu sampai di RT-nya,
aku sempat merasa tidak pasti: rumah yang ini atau rumah yang itu? Aku hanya
bisa menduga-duga. Sampai beberapa kali lagi aku bersepeda di sekitar situ
sambil berharap menemukan tanda-tanda keberadaannya.
Waktu terus berlalu. Saat teringat akan Yulia Teriyaki, aku
berpikir ia benar-benar tidak akan pernah datang lagi. Aku juga hampir tidak
pernah berkeluyuran di sekitar RT-nya lagi. Sementara itu, keping-keping
ingatanku akan dirinya berdatangan sesekali: bahwa kami pernah bersepeda
bersama di sekitar perumahan; bahwa kami hanya berdua di perumahan itu yang
bersekolah di SD yang sama dan berlangganan mobil jemputan yang sama pula
selama bertahun-tahun; bahwa sejak kami tidak lagi bersekolah di tempat yang
sama ia tetap datang ke rumahku sekadar untuk menumpang membaca komik,
memainkan game, atau tiduran; bahwa
ketika aku menanyakan tentang dirinya pada teman-teman SD kami sewaktu reuni,
tidak seorangpun yang tahu kabarnya sejak kelulusan.
Seakan-akan penjelmaan dari keping-keping ingatanku itu, satu
demi satu terciptalah lagu-lagu untuknya dan tentangnya. Di antara lagu-lagu
itu aku menyelipkan pertanyaan “Siapa kamu? Di mana kamu?” berulang-ulang yang,
setelah aku mempelajari bahasa Jerman, berganti menjadi “Wer bist du? Wo bist du?” Dalam satu lagu ia menjadi orang yang
benar-benar berbeda dari yang ada dalam ingatanku—ia mampu mengungkapkan segala
sesuatunya dengan terang-terangan bahkan sentimental sehingga aku tidak
kebingungan sewaktu dulu ia terus-terusan menanyakan: “Mana laguku?” karena
segala petunjuk untuk menulis lagu tentang dirinya itu telah diberikannya
padaku. Semua lagu itu kubawakan sendiri dengan gitar sembari kurekam dalam
sebuah kaset. Karena ia tidak pernah muncul lagi, maka aku tidak tahu lagu mana
yang mungkin ia sukai. Pada sampulnya aku menulis: YULIA TERIYAKI.
Rencananya aku akan memberikan padanya kapan-kapan, kalau kami bertemu lagi.
Aku tidak bermain musik lagi setelah lulus kuliah, walaupun
masih menikmatinya. Berkali-kali orangtuaku berusaha membukakan realitas bahwa
hanya segelintir saja yang dapat bermusik purnawaktu. Kebanyakan mesti bekerja
sampingan sebagai pegawai kantoran supaya dapat bertahan hidup. Aku mengerti.
Aku menguat-nguatkan sugesti orangtuaku itu dengan menanamkan visi bahwa kalau
aku bertahan sebagai pemain musik maka kemungkinan aku akan berakhir sebagai
penjaga waserba yang menggendong bayi kakaknya sembari bekerja. Meskipun pada
akhirnya bisa saja aku berkumpul kembali dengan teman-teman lamaku untuk
melawan robot penghancur dunia, tapi itu bukan risiko yang ingin kujalani.
Selain itu, aku juga berusaha menghentikan kecanduanku akan komik.
Maka perjalanan hidupku seterusnya secara keseluruhan
bukanlah kisah yang menarik untuk diceritakan.
Pada akhirnya aku mewarisi rumah orangtuaku dan menempatinya
sepanjang sisa hidupku.
Lalu pada suatu hari datanglah seorang tamu. Hampir aku tidak
mengenalinya. Selain putih yang menyelimuti rambutnya serta keriput yang
menggelayuti kulitnya, penampilannya persis seperti yang dulu. Lengkap dengan
sorotnya yang kosong, biarpun mata itu sudah separuh tertutup oleh sayu.
Suaranya juga sudah tidak seperti yang dulu, kini serak dan ringkih: “Mana
laguku?” Aku pun mengajaknya masuk. Sejenak aku mondar-mandir mengingat-ingat
tempat kusimpan kaset itu. Mestinya kaset itu ada di suatu tempat di rumah ini,
tapi ingatanku gagal menjangkaunya. Dan meskipun ia bergeming saja menantiku,
seperti ada yang berseru padaku dari kejauhan: “… cepat… cepat…!” seakan-akan
ia hendak sebentar saja di sini. Yang kutemukan malah gitarku yang sudah uzur.
Maka pada siang itu, di kamarku yang dulu, setelah
menghabiskan lebih dari setengah jam untuk menaiki tangga, ia merebahkan
dirinya menghadapku sembari berbantalkan tangannya, sementara aku meraba-raba
senar gitarku sembari meremas-remas otak agar memutarkan sebuah lagu dari
sebuah kaset yang tersimpan entah di mana. Jam demi jam merangkak. Aku berharap
ia puas dan menikmati upayaku. Dalam temaram senja yang mulai menyelubungi
kamarku yang dulu, kulihat posisinya masih sama. Matanya tidak kelihatan,
mungkin terpejam. Ia mungkin tertidur. Aku pun turun. Aku menyuruh pembantuku
membawakan makan malam untuknya, sementara aku makan sendirian di kamarku dan
tidur.
Keesokan paginya aku naik ke kamarku yang dulu dan mendapati
posisinya belum berubah. Makanan semalam pun tidak tersentuh. Kupanggil
pembantuku dan kusuruh untuk mencari nadinya.[]
credit to: “Julie Tearjerky” – Eraserheads