Sewaktu Dean masih
kecil dan tinggal di Boston, Bunda sering kali tidak ada di rumah sehingga
mereka lebih banyak diasuh oleh Ayah. Dean sering kali bertanya pada Ayah,
“Bunda ke mana, Yah?” atau sekadar mengoceh, “Kangen Bunda, kangen Bunda….”
Ayah bilang Bunda
sedang sibuk belajar, dan ketika ia pulang nanti malam, mereka harus
menyambutnya dengan rindu.
Tapi Dean cerewet
sekali. Cerita Ayah tentang Bunda saja tidak cukup untuk membungkamnya. Maka
Ayah coba memberinya foto Bunda. Foto itu diambil sewaktu Bunda baru masuk SMA.
Warnanya sudah tidak tajam. Agak lecek karena sering dipegang-pegang. “Kalau
kangen sama Bunda, lihat ini aja,” kata Ayah.
Ajaib! Foto itu seakan
punya daya magis yang bisa membikin anak kecil banyak omong jadi anteng. Dean
suka sekali memandangi foto itu, dan terus begitu sampai mereka sekeluarga
pindah ke Bandung. Tapi saat itu Deraz tidak ikut bersama mereka karena
sebelumnya ia diambil untuk diasuh oleh Oma-Opa buyut di Freiburg.
Dean lalu masuk SD. Dia
sekelas dengan Rieka selama bertahun-tahun. Mereka tidak akrab, tapi ibu mereka
berteman.
Pada akhir kelas empat
barulah Deraz ikut bersekolah di SD mereka. Waktu itu belum lama setelah Oma
buyut meninggal dunia, dan Opa buyut segera menyusulnya ke alam baka. Selain
kerabat dan pembantu Opa-Oma Buyut, tidak ada lagi keluarga dekat yang mengurus
Deraz di Freiburg. Maka Bunda dan Ayah menjemput Deraz supaya kembali tinggal
bersama, kali ini di Bandung.
Ketika mereka duduk di
kelas enam, muncul gosip bahwa Rieka menyukai Deraz. Pada waktu itulah Dean
mulai tertarik pada Rieka. Cewek seperti apa yang menyukai kembarannya? Oh, yang itu. Bukannya dia udah punya pacar?
Ya, pada waktu itu anak kelas enam SD pun sudah belajar pacaran.
Meski kembar beda
telur, Dean dan Deraz terlihat hampir serupa. Kalau melihat sekilas saja, orang
mungkin tidak akan langsung menyadari perbedaan di antara keduanya. Bedanya
paling-paling Dean sedikit lebih jangkung daripada Deraz sementara Deraz agak
lebih berisi ketimbang Dean. Bentuk wajah Dean lebih lonjong sementara Deraz
agak persegi. Rambut Deraz tampak rancung sementara Dean mengikal.
Tapi kenapa Rieka
bukannya menyukai Dean? Padahal Rieka mengenal Dean lebih dulu. Dean yang
tukang bikin ribut, yang tetap bisa membuat seisi kelas tertawa biarpun sedang
disetrap di depan kelas. Dean yang nilai-nilainya selalu bikin ibunya
berkonsultasi lama dengan wali kelas tiap hari pembagian rapor. Dean yang
periang dan cerewetnya tidak kalah dari anak-anak cewek, yang tidak sungkan
bergaul dengan mereka sementara kebanyakan anak cowok begitu. Dean yang dengan
adiknya kadang menebeng mobil Rieka sepulang sekolah ke rumah oma-opa mereka.
Selain itu, awal
kehadiran Deraz di sekolah pun tidak berjalan dengan mulus.
Deraz nyaris tidak
pernah bicara kecuali pada Dean. Itu juga tidak sepenuhnya dalam bahasa
Indonesia, tapi campur dengan bahasa Inggris dan entah bahasa apa lagi. Jadi
apa pun keperluan Deraz pada siapa pun, Dean yang menyampaikannya. Kalaupun
Deraz bicara dalam bahasa Indonesia, kedengarannya aneh dan terpatah-patah.
Anak-anak suka menirukan gaya bicaranya itu, maksudnya main-main saja, tapi
rupanya Deraz tidak senang. Ketika marah, ia akan menyerang. Beberapa kali terjadi
perkelahian. Dean sampai ikut luka ketika berusaha melerai. Sejak itu anak-anak
segan pada Deraz. Sejak itu juga Ayah rutin membawa Deraz ke gelanggang supaya
energinya tersalurkan ke olah raga. Deraz memilih tinju.
Deraz mulai bisa dekat
dengan teman-teman barunya setelah ia diikutkan bermain dalam pertandingan
sepak bola antar kelas. Meski irit bicara, tapi ternyata ia sangat jago di
lapangan. Ia tidak gampang capek. Ia tahu ke mana dan kapan harus mengoper
bola. Berkat dirinya, kelas lima menang melawan kelas enam.
Perlahan-lahan Deraz
mulai menunjukkan prestasinya dalam hal lain. Nilai-nilainya di sekolah
membaik. Kemampuannya berbahasa Inggris sangat menonjol. Ia bahkan menghafal
kosakata bahasa Indonesia yang belum dipahami anak-anak seusianya. Ia pintar
main catur dan menjadi juara saat ada lomba antar kelas. Saat kelas enam ia
menjadi perwakilan sekolah dalam sebuah konferensi anak.
Anak-anak semakin
tertarik padanya dan tidak mengejek cara bicaranya lagi. Toh bahasa Indonesia
Deraz bertambah fasih saja, meski logatnya tetap unik. Tidak heran kalau
cewek-cewek menyukainya. Tapi yang gosipnya paling kedengaran hanya Rieka. Ia
dan gengnya amat disegani di kalangan cewek-cewek sebayanya.
Awalnya Deraz tidak
terpengaruh oleh gosip itu. Malah, teman-temanya, yang juga teman-teman Dean,
dan juga teman-teman Rieka, yang berisik. Dean termasuk yang ikut berisik, tapi
diam-diam dia mulai penasaran pada Rieka. Setelah diperhatikan lama-lama, kok
sepertinya Rieka mirip Bunda? Badannya sama-sama langsing. Rambutnya sama-sama
panjang, halus, dan bergelombang. Kulitnya sama-sama bening tanpa noda.
Bibirnya sama-sama merah dan indah. Suaranya sama-sama merdu dan lembut.
Apalagi ketika Rieka cemberut padanya, Dean langsung ingat pada ekspresi Bunda
ketika dia membandel. Makin sering mengamati Rieka, Dean makin suka. Maka dia
pun mulai menunjukkan perasaannya pada Rieka secara terang-terangan.
Dean pernah memakai
sweter rajutan berwarna merah,
bergambar sepasang anak laki-laki dan anak perempuan berseragam merah
putih dengan hati merah jambu di tengah mereka. Dia mengatakan, “Yang cowok itu
aku, yang cewek kamu, yang bikin sweter ini oma aku,” pada Rieka yang langsung
beringsut menjauh.
Dean juga pernah
menempelkan secarik puisi di mading. Setiap baris pada puisi itu diawali dengan
huruf-huruf yang menyusun nama lengkap Rieka dan dicetak tebal. Ayah yang
membuatkannya dan memberitahu Dean bahwa puisi itu namanya puisi akrostik. Tapi
Dean tidak mengingatnya karena yang lebih penting buatnya adalah reaksi Rieka.
Belum sampai sehari dipajang di mading, puisi itu sudah lenyap.
Waktu sekolah
mengadakan kunjungan lapangan ke kebun raya, Dean mengoceh akan memperlihatkan
bunga terbesar yang pernah ada pada Rieka. Rieka menanggapinya dengan acuh tak
acuh. Karena bunga bangkai belum mekar, Dean mencabut sebatang bunga matahari
lalu membawakannya pada Rieka. Rieka dan teman-teman di sekitarnya malah
menjerit-jerit. Mungkin karena mereka melihat kawanan ulat yang tidak dilihat
oleh Dean.
Perhatian teman-teman
mulai teralihkan. Mereka tidak lagi meledeki Rieka dengan Deraz, tapi dengan
Dean. Apalagi Dean sendiri suka mengompor-ngompori. Rieka jadi gerah. Ia makin
sebal pada Dean. Teman-teman segengnya pun ikut-ikutan menjudesi Dean. Tapi
dasar muka tebal, Dean tidak peduli. Deraz juga tidak peduli. Yang ia pedulikan
cuma kemajuannya di sekolah, dan ketika ada yang menganggu dirinya atau Dean,
ia akan bertindak. Dean tidak tahu bahwa Deraz pernah “menegur” Rieka dan
gengnya karena sering mengolok-olok kembarannya itu.
Rasanya semua anak
mendukung Dean dan Rieka untuk jadian. Tapi sampai kelulusan hal itu tidak
pernah terjadi. Sejak Deraz terang-terangan menunjukkan sikapnya pada Rieka,
dan tidak tertarik juga pada cewek yang mana saja, cewek itu berpacaran lagi
dengan cowok lain.
Selepas SD, Dean dan
Deraz melanjutkan ke sebuah SMP swasta di tengah kota.
Di SMP prestasi Deraz
melaju pesat. Ia aktif dalam ekskul basket dan debat. Ia pandai menulis esai
dan proposal. Ia rajin mengikuti perlombaan, dan berbagai ajang yang ia ikuti
tersebut kadang membawanya ke luar kota bahkan ke luar negeri. Ia mulai ikut
les gitar, bikin band, dan menjuarai
festival band antar sekolah. Ia
menjadi ketua OSIS saat kelas delapan. Prestasi akademisnya selalu berada di
sepuluh besar paralel. Belum lagi ketika ada perlombaan antar kelas. Ia masih
juara catur. Tim sepak bola kelasnya selalu menang. Jumlah trofi yang berhasil
ia peroleh, sendiri ataupun dengan kelompoknya, terus bertambah.
Yang bikin Deraz angkat
tangan paling-paling lomba azan dan MTQ. Bahkan ia pernah frustrasi karena
tidak bisa membaca sehuruf hijaiyah pun ketika dites oleh guru PAI. Bunda
langsung mencarikan guru privat untuk Deraz sampai ia lancar mengaji Alquran.
Sementara itu, Rieka
yang total nilai UN-nya lebih baik melanjutkan ke sebuah SMP negeri di tengah
kota juga.
Meski sekolah si kembar
dan sekolah Rieka terletak di kawasan yang sama, jarak antar satu sama lain
lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Kadang Dean sengaja mampir ke
SMP Rieka baik dengan berjalan kaki atau dengan menaiki angkot sekali—sekalian
pulang—cuma untuk mencari peluang melihat cewek itu. Meski kalau kebetulan
bertemu, dia malah akan berbalik dan melanjutkan pengintaian sambil
bersembunyi.
Sering kali Dean cuma
bertemu Pak Sam yang memberinya pandangan iba. Pak Sam pun cuma bisa melaporkan
bahwa, “Neng Rika lagi sama Aldi, Yan.” Atau Toni. Atau Sandy. Atau Syamsi.
Siapa saja itu. Selalu berganti-ganti. Dean seakan tidak diberi kesempatan
untuk menyatakan perasaan pada Rieka lagi.
Maka, bukan cuma ketika
kangen dengan Bunda, ketika kangen dengan Rieka pun Dean akan memandangi foto
lama ibunya. Dia bayangkan gadis dalam foto itu adalah Rieka, sedang tersenyum
manis padanya.
Ketika teman-temannya
ikut melihat foto itu, dan mengetahui artinya bagi Dean, mereka mengernyit
keheranan. Apalagi kalau mereka sudah pernah bertemu langsung dengan Bunda dan
Rieka. “Mirip apanya? Rika tuh mukanya nyunda banget. Nyokap lu kan indo.”
Memang Bunda berpostur
lebih tinggi, rambutnya kecokelatan, dan mukanya kebule-bulean karena kakeknya
orang Jerman, sementara Rieka mojang asli Priangan. Tapi bagi Dean bedanya cuma
setipis kertas kalkir—peranti menyalin peta untuk PR Geografi.
.
Jam istirahat sudah
hampir habis. Ketika Dean kembali ke kelas, temannya bilang tadi ada yang
mampir mencarinya. Anak kelas entah berapa. “Cowok. Rambutnya keriting.
Suaranya kayak anak kecil.” Bersamaan dengan itu, Ipong memasuki pintu kelas.
“Apaan, Pong?” tanya Dean
begitu Ipong menghampirinya.
Ipong mengulurkan
secarik kartu berwarna merah hati. Dean membukanya. Matanya tidak berkedip
membaca isi kartu itu, yang diketik dalam font
Informal Roman ukuran enam belas. Isinya pemberitahuan bahwa dengan
menunjukkan kartu itu dia bisa makan gratis sepuasnya di Kafe Berry’s Latte
pada 10 Mei mulai pukul tujuh malam…
…dalam rangka ulang
tahun Rieka yang keenam belas.
“Dateng, ya,” kata
Ipong. Melihat tampang Dean, ia berkata lagi, “Dateng aja. Enak kali diajak
makan gratis sepuasnya.” Ia menyunggingkan senyum sambil matanya menyipit.
“Yang diundang siapa
aja?” tanya Dean.
“Banyak. Anak-anak
OSIS. VG. Lempers. Kombas juga ada. Temen-temen sekelas dia. Temen-temen
deketnya. Elu.”
“Tapi gue bukan anak
mana-mana. Temen sekelas, bukan.” Boro-boro
temen deket….
“Elu kan temen sekelas
dia dari SD.”
Dean manggut-manggut
tapi masih merasa agak heran, bingung, kaget, tergedor… segalanya bercampur
aduk seakan ada emang rujak bebek yang sedang menumbuk buah-buahan di dadanya.
“Dateng aja…” kata
Ipong sambil mundur pelan-pelan sampai pintu. Begitu keluar dari X-7, ia
langsung berbalik dan mengembuskan napas.
Sebetulnya masih ada
beberapa tanya lagi yang timbul dari kepala Dean. Misalnya, kenapa bukan Rieka
sendiri yang menyerahkan kartu undangan ini? Jawaban bahwa dia teman sekelas
Rieka dari SD juga kurang memuaskan. Selain itu dia tidak yakin namanya yang
ada di kartu itu ditulis dengan tangan Rieka. Huruf-hurufnya seperti cacing
ajojing.
Kartu undangan itu pun
jadi bahan renungannya selama pelajaran-pelajaran sehabis jam istirahat, bahkan
sampai terbawa-bawa ke rumah. Dean memperlihatkan kartu itu pada Deraz, dan
bertanya apakah ia bakal datang.
.
Awalnya, Rieka
mengundang band Ipong untuk tampil di
perayaan ulang tahunnya yang keenam belas. Acara itu akan diadakan di kafe baru
milik mamanya Rieka. Rieka diberi kebebasan untuk menggunakan fasilitas apa pun
di kafe itu, termasuk seperangkat alat nge-band.
Teman-teman Rieka sangat mendukung gagasan itu. “Biar meriah, Ri!” kata mereka.
Diam-diam Rieka setuju mengingat di band
Ipong ada siapa. Siapa tahu cowok itu mau. Siapa tahu….
Rieka sudah bersahabat
dengan Ipong sejak mereka satu sekolah di SMP. Maka Rieka tidak ragu mengajukan
gagasan spesial itu pada Ipong. “Lo enggak usah ngasih kado ke gue juga enggak
apa-apa, Pong. Asal dia dateng aja
gue udah seneng.”
Ipong langsung
menyanggupinya dengan girang. “Jangankan dateng, Ri,” kata Ipong, “Bakal gue
todong sekalian dia buat nyanyi di pesta lo!”
Tapi ternyata itu tidak
semudah yang dikatakan.
Sejak jauh hari Ipong
mempersiapkan band-nya untuk tampil
di acara itu. Yang lainnya oke-oke saja. Mereka membayangkan acara itu akan
dihadiri cewek-cewek selevel Rieka dan semuanya berdandan cantik. Sekalian
mengeceng. Belum lagi kabarnya mereka akan diberi tip yang lumayan. Cuma ada
satu yang sulit. Deraz kukuh tidak mau meninggalkan latihan tinjunya pada malam
acara itu akan diadakan, bagaimanapun Ipong—dibantu Adip, Bram, dan
Yoga—terus-menerus membujuknya. Menurut Deraz, keempat temannya itu bisa tetap
tampil meski tanpa dirinya. Toh ada Ipong yang selain jago menyanyi juga bisa
memainkan kibor dan gitar, dan memukul-mukul pantat galon.
Karena Rieka
menanyakannya terus, Ipong menjawab saja, “Deraz mah gitu orangnya, Ri. Lu
inget enggak pas anak-anak OSIS makan-makan di Pizza Hut kapan itu. Dia kan
enggak ikut, Ri. Anak-anak mah seneng makan gratisan, tapi dia mah lebih
mentingin urusannya sendiri. Apa, ya, waktu itu tuh… nyiapin lomba debat kalo
enggak salah. Padahal makan-makan berapa lama sih. Bentarlah, enggak nyampe dua
jam. Terus, udah berapa kali tuh, pas waktunya rapat, anak-anak kan suka pada
telat. Tapi dia kan enggak peduli udah pada kumpul semua atau belum. Rapatnya
langsung dia mulai aja, on time, biar
seadanya juga. Terus, pernah juga pas kita lagi ngerjain tugas kelompok, Ri.
Anak-anak mah pada mau nonton DVD dulu. Dia doang yang fokus ngerjain tugas.
Pas udah beres kerjaannya, dia langsung pulang.”
“Jadi, maksud lo, acara
gue kurang penting buat dia?” Suara Rieka seperti yang habis diinjak-injak.
“Bukan gitu, Ri….”
Ipong jadi merasa bersalah. “Cuma kurang suka senang-senang aja orangnya. Dia
mah… lebih doyan nonjok orang daripada makan-makan sambil ngeceng.”
Demi melihat wajah
Rieka yang nelangsa, Ipong mendapat ide. “Gue yakin, kalo saudaranya lu ajak
juga, dia bakal pikir-pikir lagi buat dateng,” ucapnya.
“Iya gitu?” Rieka tampak
ragu.
“Iya!” tandas Ipong.
“Lu tahu kan, Deraz tuh enggak pernah jajan. Tapi setiap ke kantin, kalau ada
Dean, dia pasti nyamperin.” Sementara Rieka bingung memikirkan apa hubungannya,
Ipong berkata lagi, “Apa salahnya sih ngundang satu orang lagi? Lagian lu kenal
kan sama dia. Temen-temen SD lu yang udah enggak sesekolah tapi masih deket
juga lu undang kan. Itung-itung sekalian bikin reuni buat anak-anak SD lu deh.”
“Gue enggak bisa
ngundang sebanyak itu juga kali. Mama gue ngebatesin cuman seratus seat. Itu juga gue udah mohon-mohon.
Anak-anak ekskul aja enggak keundang semua, enggak enak, gue.”
“Satu aja, Ri. Kita
coba. Satu lagi aja. Mama lu kenal dia enggak?”
Rieka terdiam,
bertanya-tanya dalam hati apa maksud pertanyaan Ipong. “Kenal,” akhirnya ia
menjawab. Bahkan, dulu, sewaktu Rieka SD, mamanya sering menyuruh Pak Sam untuk
mengantar pulang Dean dan adiknya sekalian kalau kebetulan bertemu dan mereka
tidak ada yang menjemput.
“Apalagi mama lu kenal,
Ri. Biarlah dia jadi orang yang ke-101.”
Seperti yang disangka
Ipong, Mama Rieka setuju ketika Rieka minta tambah satu orang lagi untuk
diundang ke pestanya. Ia tidak lupa menyebut bahwa orang itu adalah Dean,
anaknya Bu Dara, teman Mama sewaktu Rieka SD. Dengan tulisan tangannya yang
rapi dan lentik, Rieka menulis sendiri nama orang-orang yang diundang pada
tiap-tiap kartu yang telah dicetak. Tapi untuk kartu yang ke-101, ia
menyerahkannya pada Ipong. “Lo aja yang nulis namanya dia.”
Ipong agak geli.
“Bukannya udah enggak ada affair lagi
antara lo dan dia?” Rieka sudah menceritakan semua padanya, sejak Ipong
bertanya, kalau kedua orang itu tampangnya mirip dan sama-sama jangkung, dan
yang satu tidak membalas perasaannya tapi yang lain mengejarnya, kenapa tidak dengan
yang lain itu saja?
“Enggak ngerti gue
juga,” kata Rieka, kelihatannya benar-benar tidak mengerti. “Masih kebawa-bawa
aja sampai sekarang.”
Tapi kemudian ia ingat.
“Dean? Apa sih dia?”
.
Deraz akhirnya
mengiyakan undangan itu. Ipong yang pertama-tama menegurnya, untuk kesekian
kalinya, tapi kali ini sambil menyebut bahwa Dean diundang juga dan, bilangnya
sih, mau datang. Deraz pun menjawab, “Oke.”
Maka mereka berlima
memulai latihan khusus untuk acara ulang tahun Rieka. Ipong merahasiakan
lagu-lagu yang akan mereka bawakan, tapi ia membeberkan bahwa Deraz mau
menyanyi di acara itu. Rieka masih tidak percaya.
“Deraz bisa nyanyi?”
“Lo mah enggak tahu
sih. Kadang pas latihan dia nyanyi juga kok. Apalagi sama si Bram tuh. Mereka
kan suka duet lagu-lagunya Kings of Convenience pakai gitar. Suaranya…
lumayanlah… layak, layak…” bual Ipong. “Biasanya kalau mesti tampil di depan
umum dia malu, tapi buat kali ini mah spesial lah.”
“Ih, Ipong. Emang dia
mau nyanyi lagu apa gitu?” tanya Rieka. Wajahnya mulai bersemu merah, dan Ipong
semakin senang melihatnya.
“Ya… lagu yang spesial
buat lo lah…” sumbar Ipong. “Rahasia….”
Ipong juga tidak tahu.
Bram dan Deraz tidak bilang-bilang. “Tahu beres ajalah,” ucap Bram selalu tiap
kali ditanya.
“Yah, Ipong….”
Melihat wajah Rieka
meredup lagi, Ipong cepat-cepat berkata, “Akhir-akhir ini sih Deraz lagi suka
ngulik gitarnya Relish, Ri.” Kali ini Ipong sungguh-sungguh. Sudah beberapa
kali, di sela-sela latihan, Ipong mendengar chord
yang itu-itu saja keluar dari gitar Deraz.
“Relish? Lagunya yang
kayak gimana sih, Pong?”
Ipong pernah mendengar
lagu itu beberapa kali di radio. Sebetulnya ia tidak ingat persis. Tapi ia
tidak ingin mengecewakan Rieka. “Kalau enggak salah sih gini, Ri, tapi gue cuma
hafal reff-nya aja….”
Saat itu mereka sedang
berada di kantin yang semakin sepi, sebab sudah jauh melewati jam pulang
sekolah. Jadi Ipong merasa leluasa untuk memijakkan sebelah kakinya di atas
bangku, dan mengambil napas perut. Apa yang akan ia nyanyikan memang pas dengan
karakter suaranya yang dapat melengking sampai tinggi itu.
“I just have to let you know…. Maybe there’s a place for you and me…
yeah…. I just have to let you know…. That is you I’m thinking of….[1]”
Terdengar tepuk tangan,
sorak, dan suitan dari beberapa orang yang masih tersisa di kantin. Ipong
menurunkan kakinya dari bangku dan membungkuk-bungkuk pada pemirsanya dengan
takzim. Rieka tidak perlu tahu bahwa yang barusan Ipong nyanyikan itu adalah
suara hatinya sendiri. Tapi ia tahu diri. Badannya kalah tinggi dari Rieka.
.
Mobil Bunda berhenti di
seberang bangunan Berry’s Latte yang mentereng. Gemerlap lampu kecil-kecil
menghiasi permukaan dinding dan kaca bagian depan bangunan itu. Di atas pintu
masuk terpampang logo besar bergambar stroberi tercelup dalam secangkir kopi.
“Dean, mukanya kok rada
pucat? Balik aja yah?”
Dean tersadar dan
berpaling dari bangunan kafe ke wajah ibunya. “Ari Bunda. Udah nyampe,” katanya.
Bunda mengusap pipi
Dean. “Ya udah, kalau ada apa-apa telepon aja, ya. Jangan terlalu malam pulangnya.
Bilang ke Deraz juga.”
“Iya.”
“Kalau ada mamanya
Rieka, Bunda titip salam, ya.”
“Iya, Bun.” Dean
mengecup punggung tangan Bunda lalu keluar dari mobil.
Mobil Bunda kembali
meluncur dan Dean berdiri kaku menghadap pintu masuk kafe. Angin menerpanya,
menambah ganas mual di perutnya. Dia menggenggam kado mungil di saku blazernya.
Bunda dan Zara yang memilihkan hadiah itu, sebab Dean tidak yakin apa
persembahan terbaik yang bisa dia berikan untuk Rieka. Namanya bahkan tidak
tercantum dalam kado itu. Entah ketakutan dari mana mampir di benaknya: Kalau
Rieka sampai tahu kado ini dari siapa, ia bakal segera membuangnya ke samudera.
Ketika Dean menanyakan
pada Deraz kado apa yang akan ia berikan untuk Rieka, saudaranya itu menjawab,
“Band,” yang maksudnya, penampilannya
dengan band-nya saja sudah cukup.
Saudaranya itu sudah
pergi dari rumah sejak tadi sore sambil menyandang tas gitar, tapi ke rumah
Bram dulu untuk berkumpul dengan teman-teman
band-nya. Dari sana mereka bersama-sama ke lokasi dengan mobilnya Bram.
Keramaian di dalam kafe
sayup-sayup sampai ke pelataran. Di sekitar Dean semakin banyak mobil yang
diparkir. Anak-anak muda seusianya melewatinya menuju pintu masuk. Beberapa
dari mereka menegurnya. Dean balik menyapa dengan rikuh. Baru ketika ada yang
merangkulnya, dia terdorong (atau terseret) untuk memasuki pintu itu.
Seperti pintu masuk ke dunia lain….
Kebanyakan tamu
undangan mengisi ruangan utama di kafe itu, tempat terdapat panggung rendah
untuk live music yang sudah dikuasai
oleh Ipong dan band-nya. Dengan
menunjukkan kartu undangan, mereka bisa memesan menu apa saja sepuasnya. Karena
dresscode-nya kasual, mereka terlihat
seperti pengunjung biasa saja. Malah memang ada beberapa pengunjung bukan tamu
yang mengisi meja-meja tertentu di ruangan itu. Tapi tentu saja mereka harus
membayar menu yang dipesan karena tidak memiliki kartu.
Di kafe itu juga
terdapat ruangan-ruangan yang lebih kecil serta area terbuka tempat pengunjung
bisa makan-minum sambil memandang langit, menikmati taman, dan menghirup udara
segar.
Ketika bertemu
teman-teman yang cukup akrab dengannya, Dean sempat lupa bahwa kedatangannya di
kafe itu untuk menghadiri acara ulang tahun Rieka. Sesaat yang dia pikirkan
cuma bercanda dan tertawa dengan teman-temannya. Tapi ketika mereka mengajaknya
untuk menyalami Rieka, dan Dean melihat sendiri cewek itu ada di sana, di
antara orang-orang yang mengantre untuk mengucapkan selamat dan memberi kado,
paling bersinar di antara semua cewek di ruangan itu, timbul lagi rasa mual,
ditambah pusing. Padahal Rieka tidak berdandan “wah”, meski tanpa riasan pun ia
memang sudah menarik. Terlebih di mata Dean.
Ipong benar-benar
memenuhi janjinya untuk memeriahkan acara itu. Dia dan band-nya membawakan lagu-lagu yang pada liriknya terdapat ucapan
selamat ulang tahun atau happy birthday,
mulai dari The Beatles, The Cranberries, sampai Jamrud. Dia mengajak para tamu
ikut bernyanyi, terutama di bagian yang ada kata-kata ucapannya itu. Rieka
tersipu atau tertawa tiap kali para tamunya meneriakkan itu beramai-ramai
untuknya. Tahulah para pengunjung lainnya bahwa hari itu adalah hari yang
istimewa bagi cewek tercantik di ruangan itu.
Rieka terlihat begitu
bahagia, dan Dean tersiksa dalam rasa terpesonanya. Tiap kali mau mendekat ke
meja itu, mual dan pusingnya menjadi-jadi. Selain itu yang Dean dengar dalam
kepalanya bukanlah lagu-lagu ceria yang Ipong dan band-nya bawakan, tapi lagu lain yang pernah dia dengar di radio.
Liriknya kurang lebih begini: I’m a
creep…. I’m a weirdo…. What the hell am I doing here? I don’t belong here….[2]
“Hei!” Tahu-tahu ada
yang menyikutnya. Rio. “Ada elu!” Dean meringis. Kata Rio lagi, “Gue baru
dateng. Temenin gue nyalamin Rika, yuk.”
“Sendiri aja,” kata
Dean.
“Jiah, temeninlah!
Daripada bengong gitu, kayak lagi nahan boker aja lu. Ayolah….” Rio menarik
Dean.
Sebelum makin dekat
dengan meja Rieka, Dean mencoba menghindar. Tapi dia malah menyenggol seorang waiter. Hampir saja isi nampan yang
dibawa waiter itu tumpah. Sekali lagi
mencoba mundur, dia malah menginjak kaki seseorang. Tahu-tahu Dean sudah
terjebak di depan meja Rieka.
Dean merasa wajahnya
menghangat ketika Rieka menatapnya. Tatapannya masih sama seperti sewaktu
mereka bertemu di angkot kapan itu. Dean langsung ingat bahwa dia berutang
sepuluh ribu pada Rieka.
Dean, yang dengan
lancarnya berseru “Aku suka kamu, Rieka!” sewaktu dia masih SD, tepat di
hadapan cewek itu, kini nyaris menggagap saat mengucapkan, “Met ultah, ya.”
Lalu napasnya seakan terjepit di tenggorokan. Persembahan kecil untuk Rieka
tersuruk semakin dalam di saku blazer Dean, bukannya berpindah ke tangan cewek
itu lalu ke tumpukan kado di dekatnya.
Rieka mengangguk sambil
tersenyum tipis. “Makasih.”
Giliran Rio yang
mengucapkan selamat dan memberi kado. Sempat-sempatnya ia mengajak Rieka
berbasa-basi sementara kepala Dean semakin berat saja, seberat bola boling, dan
seperti akan copot menghantam lantai sewaktu-waktu. Kalau itu terjadi, bisa
dibayangkan Rieka akan sengeri apa. Dean berusaha menegakkan badan
setegak-tegaknya sambil berharap Rio segera menyudahi omong kosongnya.
Begitu mereka berbalik
dan Rio mau mencari meja yang kosong, Dean malah mengarah ke pintu keluar.
“Hei, Yan, mau ke mana
lu?”
Suara Rio ditimpa
pengumuman nyaring dari arah panggung. Ipong menyampaikan bahwa Bram dan Dean
akan menampilkan sebuah persembahan khusus yang dibawakan secara akustik. Ada
yang memekik saat nama Deraz disebut.
“Mau boker,” tukas
Dean, entah Rio mendengar atau tidak.
.
Toilet di kafe itu
letaknya terpencil di pojok taman, tapi bersih, kering, harum, dan
terang-benderang. Dean masuk ke salah satu bilik dan duduk di atas tutup
kloset. Dia mengeluarkan amunisinya dari saku celana jin, berupa inhaler dan
sebotol kecil minyak kayu putih, serta ponsel yang tahu-tahu berbunyi. Dean
menerima panggilan yang masuk dan sambil menahan ponsel itu di antara telinga
dan bahunya, dia menumpahkan beberapa tetes minyak kayu putih ke atas telapak
tangan, mengangkat ujung kaos, dan mengusapkannya ke perut sampai terasa
hangat. Setelah memasukkan kembali botol itu ke saku, dia mengusapkan sisa
minyak kayu putih di tangannya ke leher.
Terdengar suara Kakek
di ujung sambungan. “Kamu katanya mau ke sini? Mau nyobain lagu yang baru itu
lagi?”
Dean mengambil ponsel
itu dari kepitan telinga dan bahunya. Tangannya yang satu lagi mendekatkan
inhaler ke hidung. Dean menghirup inhaler itu dalam-dalam baru menjawab, “Kan
Kamis, Kek.”
“Sekarang kan Kamis.”
“Rabu, Kek.”
Terdengar gumaman
Kakek, lalu sebentar kemudian, “Iya, ya, Rabu…. Oh, kamu yang katanya mau ke
ultah cewek kamu itu, ya.”
Telinga Dean terasa
panas. Jangankan “cewek”, menyebut “teman” pun rasanya sungkan. Sedekat apa dia
dan Rieka sampai sah disebut “teman”? “Temen sekelas, Kek. Temen sekelas pas
SD.” Dean terbatuk-batuk, lalu mengisap inhalernya lagi. “Kemarin kan bilangnya
gitu.”
“Di mana?”
“Itu, di kafe, namanya
Berry’s Latte.”
“Oh, yang baru buka
itu, ya?”
“Eh, Kakek tahu?”
“Kakek kan suka lewat
jalan situ kalau habis ambil duit pensiun. Deket atuh itu mah.”
“Hehe, iya, Kek.”
“Ya udah, ya.”
“Iya, Kek.”
Dean memasukkan ponsel
ke saku celana jin, lalu sambil sesekali mendekatkan inhaler ke hidungnya, dia
melamun saja. Pertama-tama, yang dia pikirkan, Rika, Rika, kamu bener-bener bikin mabuk, meski sekarang, ajaib,
mual dan pusingnya entah ke mana, barangkali terusir oleh aromatherapy toilet itu. Kedua, dia ingat bahwa tadi Kang Haqi
tidak terlihat. Setelah beberapa lama tanpa pikiran apa-apa lagi, Dean tidak
tahan untuk keluar dari bilik. Dia ingin bergabung lagi dengan teman-temannya,
sambil berusaha tidak mengacuhkan keberadaan Rieka.
Dengan suntuk, Dean
mendorong pintu bilik. Di cermin wastafel dia membuat muka sejelek mungkin,
lalu tersenyum lebar-lebar. “It’s okay,
lu tetep ganteng,” katanya pada pantulan dirinya di cermin.
Baru saja Dean mau
memutar keran wastafel, dia mendengar ada yang bercakap-cakap di balik pintu
toilet. Seorang cowok dan seorang cewek. Awalnya Dean berdiri saja di depan
wastafel, tapi setelah menyadari bahwa itu suara siapa dan siapa, apalagi karena yang cewek mulai terisak, dia mengendap-endap
ke pintu hingga kupingnya menempel di sana.
“Kenapa dia harus
mainin lagu yang itu, Pong?” suara yang cewek.
“Dia enggak ada maksud
apa-apa sama lagu itu, Ri. Itu cuma lagu kesukaan dia aja,” sahut yang cowok.
“Lo lihat mata dia ke
gue. Masih mending kalau dia enggak lihat gue sama sekali.” Rieka tersengguk.
Suaranya makin menyayat. “Ngarep apa gue, Pong…”
“Maaf, Ri….”
Terdengar suara langkah
sepatu teplek yang menjauh. Setiap tapaknya membuat jantung Dean berdebar
semakin kencang. Sesaat dia menunggu, menduga-duga apakah kedua orang itu masih
ada. Dia tidak mungkin meringkuk terus di balik pintu toilet. Tapi bagaimana
kalau suara langkah tadi bukannya menandakan kepergian mereka? Bagaimana kalau
itu langkah kaki orang lain dan keduanya masih ada di situ? Dean membayangkan
dirinya nekat keluar dan bertemu dengan wajah sembap Rieka serta rasa bersalah
Ipong. Dia akan pura-pura tidak tahu apa-apa, tentu saja. Dia akan menyapa
mereka dengan sok santai sambil melangkah pergi. Kalau kondusif, dan ada nyali, cegat Ipong untuk mengorek apa
yang telah terjadi. Sip!
Dean membuka pintu
toilet dan mendapati Ipong tinggal sendiri. Anak itu sedang bersandar pada
dinding sambil menerawang langit.
“Eh! Ngapain lu, Pong?
Kayak yang bengong. Entar kesambet lo!” sapa Dean seakan tidak mengetahui
kehadiran Ipong sebelumnya.
Tapi Ipong tidak
meresponsnya, malah memalingkan muka dengan risi.
“Kenapa?” tegur Dean
lagi.
“Bukan apa-apa,” kata
Ipong sambil melepas punggungnya dari dinding, ingin segera pergi dari situ.
Tapi Ipong batal berbalik
ketika mendengar Dean bertanya, “Kenapa Rika sama lagunya Deraz?”
Ipong malah balik
bertanya pada Dean, “Lu tahu enggak, apa yang salah dengan ‘Misread’-nya Kings
of Convenience sama ‘Winning Days’-nya The Vines?”
Dean mengingat-ingat
kedua lagu itu, tapi tidak yakin pada ingatannya. Dia mengangkat bahu.
Ipong mengembuskan
napas dengan lesu, dan berbalik meninggalkan Dean.
.
Dean menyusul Ipong
kembali ke ruang utama. Ipong menghampiri meja Rieka. Rieka tidak tampak
seperti habis menangis, tapi tidak juga seceria sebelumnya. Ia sedang mengobrol
dengan teman-teman yang ada di kanan-kirinya.
Penampilan Bram dan
Deraz baru saja usai dan para penonton—khususnya yang anak Smanson—memberi standing applause dengan gaya
berlebihan. Keduanya lalu menuju meja tempat Adip dan Yoga, yang sudah lebih
dulu makan-makan.
Dean balik badan. Dia
baru mau menunaikan niatnya untuk bergabung lagi dengan teman-temannya dan
tidak mengacuhkan Rieka—sekalipun sedang berada di kafe milik orang tua cewek
itu, di acara ulang tahun cewek itu, dan sangat terasa sekali hawa keberadaan
cewek itu menggapai-gapainya.
Tapi ponselnya bunyi
lagi. Dean mengangkatnya dan terdengar di ujung sana ada yang bertanya, “Di
mana?” Dean mengecek nama penelepon pada layar ponsel dan merasa heran. Itu Kakek.
“Di kafe? Berry’s
Latte?”
“Ke sini,” kata Kakek.
“Ke mana, Kek?” Dean memutar-mutar
badan, celingukan.
“Di sebelah luar. Kalo
dari parkiran, di sebelah kanan.”
Dean keluar dari
ruangan itu sambil terus celingukan. Dia mendapati Kakek duduk di salah satu
meja di serambi, melambai padanya. Dean pun duduk di kursi yang menghadap Kakek
dan menyapa. “Kenapa ke sini, Kek?”
“Pengin tahu aja
kafenya gimana.”
“Kakek udah pesen
minum?”
“Baru mau. Tapi yang ngelayaninnya
belum kelihatan.”
“Entar pake ini aja,
Kek.” Dean mengeluarkan kartu undangan dari saku blazernya, dan menjelaskan
fungsinya. “Bisa pesen apa aja. Gratis. Tapi cuma berlaku buat malam ini.”
Kakek tampak senang.
Seorang waitress muncul dan memperlihatkan buku
menu. Kakek memesan kopi rempah sedangkan Dean milkshake stroberi.
“Kafenya bagus, ya,”
kata Kakek, setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mengusap-usap
rangka metal di sampingnya, dan mencoba mengintip ke balik kaca.
“Punya mamanya yang
ulang tahun, Kek,” terang Dean. “Oh.
Kaya, ya.” Raut Kakek serius.
“Iya.” Dean menanggapi
dengan tidak kalah serius.
Pesanan mereka datang.
Kakek mengangkat cangkir berisi kopi rempah pesanannya, meniup-niup uap yang
melenggak-lenggok pada permukaannya yang hitam, dan menghirupnya sambil
bergumam nikmat. Ia menyeruput minuman itu dan meletakkannya kembali di meja.
“Enak,” lalu sambungnya setelah beberapa icip lagi, “Enak atuh ya punya cewek kaya mah. Kalau lagi laper tinggal ke sini.”
“Cewek siapa?” Dean
mengernyit.
“Cewek kamu.”
Dean tersengal. “Bukan cewek, Kek, eh, dianya mah cewek, tapi
bukan pacar saya.”
“Pacar kamu yang mana atuh? Ada juga enggak di sini?”
“Enggak ada.”
“Enggak ada di sini,
atau emang enggak ada?”
Dean meringis. “Enggak ada.”
“Oh… berarti kamu teh, apa itu namanya, jomlo atuh, ya?”
Dean menggaruk-garuk
lubang telinganya, ingat bahwa Anne dan Ola pernah bilang padanya, “Kalau lu
ngarepin dia mulu, bisa-bisa lu jomlo
seumur hidup lu.” Perkataan itu terasa melecut, tapi sejak itu Dean sadar bahwa
bukan cuma pelajaran-pelajaran di sekolah yang harus dia pelajari, tapi juga
cara untuk berhenti mengharapkan seseorang.
Dean mendesah. Kalau begitu, dia betul-betul benci belajar.
Kakek tampak sibuk
mengintip lagi ruang utama lewat kaca, jadi Dean merasa tidak apa-apa tidak
menanggapi ucapan tadi.
Dean terpikir untuk
mengalihkan pembicaraan saja. “Toiletnya juga bagus lo, Kek, bersih, wangi,
kering,” ujarnya, dan tiba-tiba saja terdengar di dalam dirinya, lebih kering dari hati saya. Saking
keringnya sampai-sampai mudah terkelupas, dan akibatnya terasa perih, malah
kadang sampai berdarah. Dean tidak meneruskan ucapannya. Dia menopang kepalanya
dengan tangan, dan menunduk sambil memandangi gelas milkshake. Cairan kental merah muda di dalam gelas itu perlahan-lahan
tertutup oleh buih-buih putih. Anjir,
kenapa jadi mellow gini?
“Itu panggungnya kenapa
kosong?” tanya Kakek.
“Pemain band-nya lagi pada istirahat dulu, Kek,”
ujar Dean.
Kelihatannya Kakek
merasa sayang instrumen-instrumen di panggung dibiarkan menganggur. Ia menengok
lagi lewat kaca. “Kakek pengin ngasih kado buat yang ulang tahun.”
Dean jadi geli. “Kakek
emang kenal?” Tadinya dia mau menyambung dengan, Saya aja yang kenal dari lama mau ngasih kado enggak jadi, tapi
ditahan saja di mulutnya.
“Enggak. Tapi makasih
aja gitu, udah ditraktir kopi.”
“Kenapa bukan ke saya?
Kan pesen minumnya juga pakai kartu saya, Kek.”
“Kamu udah makasih
belum sama yang ngasih kartu?”
“Gampang itu mah atuh, Kek!” Dean akan menyampaikannya
nanti, di dalam hati.
“Yuk!” Tahu-tahu Kakek
berdiri.
“Ke mana?”
“Mau izin sama yang
punya panggung, kita mau ngisi mumpung lagi kosong. Pasti bolehlah. Toh kita
enggak minta tip ini juga kan.”
Dean tercengang. “Kita?” ulangnya sambil menyusul Kakek
menuju ruang utama. “Ngapain sih, Kek?” Kakeknya orang pula! Zahraaa… kakek kamu, atuh euy!
“Ya buat yang ulang
tahun lah. Lagian kan kita udah latihan terus belakangan ini. Kita buktikan
kalau latihan kita selama ini enggak sia-sia. Ini kesempatan, Yan. Kamu belum
pede juga?”
“Bukan gitu, Kek!”
Tapi Dean tidak
terpikir alasan apa pun untuk menahan Kakek. Kalaupun ada, dia segan
mengatakannya. Sekali lagi, ini kakeknya orang, duh! Dean tidak bisa
membayangkan kakeknya sendiri yang begitu. Langkah Kakek, yang diikuti
langkahnya, semakin dekat saja ke panggung. Orang-orang tampaknya tidak begitu
memerhatikan mereka.
Sesampainya di dekat
panggung, Kakek jadi bingung. “Ke mana, ya, kita bilangnya?” Ia malah
menghampiri amplifier dan perangkat
suara lain, mengamat-amatinya, dan langsung saja menapaki panggung yang terbuat
dari parket itu.
Langkah Dean terhenti
tepat di pinggir panggung. Dia merasa seperti sedang berada di pinggir jurang,
sementara di belakangnya berbondong-bondong orang biadab mendekat, dan semakin
dekat. Dia sadar bahwa beberapa orang mulai menatap mereka.
Di panggung Kakek
mengecek satu per satu instrumen yang ada, mulai dari gitar, bas, kibor, sampai
drum. Semakin banyak saja orang yang curi-curi pandang ke arah mereka. Kakek
menduduki salah satu bangku, mengambil gitar dan memangkunya, lalu
mencoba-cobanya sekalian menyuruh Dean untuk mengutak-atik perangkat suara.
Dengan perasaan dingin merinding yang menyelimuti sekujur badan, Dean
mencoba-coba tuas dan tombol hingga suara petikan Kakek pada gitar terdengar
nyaring dan Kakek berkata, “Cukup, cukup.” Kali ini Kakek benar-benar jadi
pusat perhatian.
Dean merasa masih bisa
sedikit bersyukur karena sosoknya terhalang oleh kotak-kotak pengeras suara.
Dia sudah mau ambil langkah seribu ketika Kakek, dengan gerakan leher,
menyuruhnya naik ke panggung. Jadilah cuma jantung Dean yang ambil langkah
seribu, tapi tidak ke mana-mana karena terkurung di dalam badan. Dean menatap
Kakek dengan pandangan memelas. Tapi gerakan leher Kakek, dan ekspresi
wajahnya, semakin tegas.
Dean mengambil napas
dalam-dalam. Dia ingin merogoh inhalernya dulu, dan bernapas lagi dengan
bantuan alat itu, tapi mendadak merasa malu kalau dilihat orang. Dengan gamang
dia melangkah ke panggung dan berdiri di balik kibor, sambil menjaga
pandangannya supaya tetap pada Kakek. Kalau dia menoleh sedikit saja, akan
terlihat olehnya tatapan orang-orang padanya dan bisa-bisa makin parah saja
groginya. Apalagi kalau yang menatapnya itu Rieka… alamakjang! Padahal Dean
tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, kapan pun dia disuruh maju ke muka
kelas, entah itu karena disetrap atau diminta mempresentasikan materi yang sama
sekali tidak dia kuasai.
Kakek menggeser bangku,
gitar, sekalian mikrofon agak ke pinggir supaya dekat dengan Dean dan kibor. Ia
menyalakan mikrofon dan berkata dengan suara dibikin berat dan kuat, “Kami akan
membawakan beberapa…” beberapa! Dean
terperenyak dalam hati, “…lagu. Semuanya kami persembahkan kepada yang berulang
tahun hari ini di ruangan ini, dan, terutama, untuk kami sendiri, Johan and,”
Kakek melirik Dean yang sudah seperti mayat, “The Shy Pianist.”
Kata-kata Kakek
disambut keheningan meski hampir semua mata terpaku ke arahnya. Memang ada
beberapa yang tampaknya tidak menganggap itu serius, dan lanjut saja makan,
minum, mengobrol. Tapi bagi Dean semuanya kabur. Dia baru sadar ketika Kakek
mendesis padanya supaya menoleh, dan mendekatkan kepala. Kakek membisiki Dean
lagu apa saja yang akan mereka bawakan, yaitu lagu-lagu yang telah mereka ulik
selama itu.
Dean terlalu tegang
untuk mengangguk. Jari-jarinya bergerak tidak tentu arah di atas kibor. Ini
kibor yang berbeda dari yang ada di paviliun Kakek, juga di SMP-nya dulu.
Tombol-tombolnya lebih banyak, sepertinya. Ludahnya terasa semakin sulit
ditelan, mungkin karena sudah mengering, atau ada ganjal di kerongkongannya.
Dean membaca sekali lagi tulisan pada tombol-tombol itu dan meyakinkan diri
bahwa fungsinya sama saja dengan yang ada pada kibor mana pun, dan dia bisa
menyesuaikan diri dengan cepat. Lagi pula, biasanya juga dia cuma main piano!
Dia bisa saja tidak menggunakan tombol-tombol lainnya, kalau tidak mau. Cuma
piano. Apa tadi kata Kakek? The Shy Pianist. Dean menyalakan kibor itu,
menyetel tombol tertentu, mengecek suaranya, dan mendapat kekuatan untuk
mengangguk pada Kakek.
Mereka mulai bermain.
Sebagian orang yang tadinya heran dan takjub akan kehadiran mereka mulai
mengalihkan perhatian dan kembali makan, minum, mengobrol. Dengan instrumen
yang terbatas, duo di panggung itu memainkan lagu tanpa lirik yang bagi
kebanyakan pendengar mungkin tidak menarik. Bukan lagu yang sering diputar di
radio pula. Barangkali cuma pendengar musik sejati tanpa teman ngobrol yang mau
meluangkan kupingnya untuk mengindahkan lagu itu betul-betul.
Dean berusaha keras
tidak melihat penontonnya. Meski kalau ternyata memang tidak ada yang menonton,
dia akan merasa sedih sedikit. Dean cuma melirik Kakek sesekali, melihat
caranya bermain, dan menyesuaikan.
Gaya Kakek, seperti
biasanya, sangat santai. Ia seakan sedang asyik merenung sendiri, sambil
menggoyang-goyangkan badan seakan musik itu benar-benar masuk ke dalam dirinya,
atau, lebih tepatnya, keluar dari dalam dirinya melalui gitar yang ia mainkan
dan masuk lagi ke dalam dirinya, seperti sebuah siklus, terus-menerus berputar,
dan dengan begitu menjadi hidup… sampai beberapa menit kemudian.
Dua lagu pertama yang
mereka bawakan bertempo lambat. Lagu-lagu itu sebetulnya bisa saja lebih
menarik, sekiranya yang mendengarkan adalah pasangan-pasangan paruh baya atau
lansia, yang sedang duduk bersama-sama di ruang makan sebesar ruang utama kafe
ini, misalnya, dan mereka akan berdiri sepasang-sepasang, maju ke depan
panggung dan menari cha-cha-cha.
Lagu berikutnya
bertempo agak cepat. Kakek menambahkan senandung atau gumaman. Dean jadi
bersemangat dan mulai menikmati, tidak lagi memikirkan reaksi orang-orang yang
menonton .Apalagi ketika tiba bagian Dean bermain solo dan petikan gitar Kakek
menimpalinya. Kedengarannya seakan kedua instrumen itu sedang bersahut-sahutan.
Sempat tertangkap oleh Dean ada yang tersenyum geli pada mereka. Dia mulai
berani memandang yang lain-lain— meski belum sampai mengarah ke meja Rieka—dan
merasa nyaman. Main kayak biasanya aja di
rumah, pikirnya.
Usai lagu itu, dan
masih belum ada reaksi dari para penonton selain memandang sesekali, dan selama
itu juga mereka mesti sambil menandingi suara obrolan yang sewaktu-waktu
meninggi, Kakek berkata pada Dean, “Ini terakhir. ‘Ritmica’.”
Dean mengangguk.
Setelah suara obrolan merendah, dia memulai lagu itu. Kakek mengisi suara bas.
Dentumannya terdengar santai sementara nada yang Dean mainkan naik-turun
beraturan. Jari-jarinya berloncatan di atas tuts dengan cekatan. Pada bagian
selanjutnya tempo melambat. Permainan Dean menjadi lebih santai. Dia tidak bisa
berhenti tersenyum. Jari-jarinya terasa melangkah lebih ringan—bukan—dia merasa
dirinyalah yang sedang berjalan dengan langkah-langkah besar yang ringan,
seperti melompat. Dia merasa ingin menggandeng tangan seseorang, mengajaknya
melompat bersama-sama. Di atasnya bukan lagi langit-langit dengan lampu yang
menyorot dengan nuansa oranye, tapi langit luas yang seakan tanpa batas dan
cerahnya bukan buatan, dan lagu itu melambungkannya ke sana setinggi yang dia
bisa. Lalu dia kembali pada nada yang naik-turun beraturan, seperti langkah si
boneka marionette yang selalu tersenyum
dan menghibur setiap orang yang ia temui, diiringi Kakek dan dentuman
ritmisnya. Lalu kembali dia melambung-lambung ke langit, perasaan yang timbul
akibat langkah-langkah besar dan ringan. Lagu itu pun berakhir dengan jari-jari
Dean mendarat di beberapa tuts sekaligus dan tidak beranjak lagi.
Terdengar tepuk tangan
dari sisi kiri ruangan. Itu Deraz yang berdiri dengan senyum lebar dan
berteriak, “Encore!”
Kakek menjulurkan leher
dan menyipitkan mata. Baru pertama kali itu ia melihat kembaran Dean, yang
badannya tegap, kulitnya agak gelap, dan rambutnya cepak kecokelatan. Di mata
Kakek, dibandingkan dengan kembarannya itu, Dean jadi terlihat seperti pipa
paralon pakai wig. Dean tidak pernah cerita bahwa dia punya kembaran. Kakek
berpaling pada Dean sambil bermuka bingung. “Encok?”
“Encore, Kek. Maksudnya, kita disuruh main lagi.”
Tepuk tangan lain mulai
bermunculan satu demi satu. Ada juga yang bersuit. Tidak begitu ramai, tapi
mereka tidak begitu peduli juga karena sedang sibuk diskusi.
“Ya udah, kalau gitu
sekali lagi. Lagunya harus sama?”
“Lagu lain aja,” kata
Dean.
“Tapi itu udah semua
lagu yang kita latih.”
Dean ingat pada lagu
yang dia bawakan sewaktu pertama kali main di depan Kakek. Tapi Kakek tidak
ingat. Yang Kakek ingat cuma waktu itu Kang Lutung menepuk-nepukkan tangannya
untuk mengiringi.
“Oke deh. Kamu main aja
sesuka kamu. Selebihnya, serahkan sama Kakek.”
Dean mengangguk, kali
ini dengan mantap.
Dean pun mulai
memainkan irama pada kibor, dan, sebentar kemudian, menambahkan nada-nada panjang.
Kakek menyusul dengan melodi yang timbul-tenggelam, bergantian dengan nada yang
Dean mainkan, dan kadang saling menjalin. Petikan gitar Kakek terdengar lebih
menonjol sedangkan Dean seakan cuma mengiringi. Tapi sebetulnya Kakek mengikuti
Dean saja. Ketika ada “tanda-tanda” bahwa irama akan berubah, atau malah
menghilang, dengan segera Kakek mengisinya. Itu butuh intuisi dan kewaspadaan
yang tinggi, tapi ketika sudah melewatinya, permainannya kembali santai.
Apalagi ketika Kakek menambahkan entakan kaki. Dean dan Kakek bergoyang kompak
mengikuti irama, saling melirik, dan menahan tawa. Kakek sempat melihat
kembaran Dean yang sudah duduk lagi mendengarkan permainan mereka sambil
mengangguk-angguk.
Sekali lagi Dean
mengakhiri lagu dengan mendaratkan jari-jarinya bersamaan pada papan tuts dan
tidak ke mana-mana lagi.
Kali ini tepukan tangan
yang muncul lebih padu. Dean dan Kakek berdiri, mengangguk pada pemirsa, dan
menuruni panggung itu dengan jantung berdebar keras dan bibir tersenyum puas.
Selagi melewati mata demi mata yang mengikuti kepergian mereka, Kakek
mengangkat sebelah tangannya dan Dean yang melihat itu segera menyambutnya
dengan tos.
.
Penampilan Dean dan
Kakek di acara ulang tahun Rieka menuai banyak pertanyaan. Khususnya untuk
Dean, ketika dia di sekolah keesokan harinya. Pertanyaan-pertanyaan itu
biasanya berkisar antara Itu kamu main
sama siapa—kakek kamu? dan Kalian
mainin lagu apa sih? yang cuma dijawab Dean dengan, “Tanda tangannya nanti
aja, ya,” atau “Hubungi manajer saya aja, ya.” Tapi itu memang ampuh untuk
membungkam mulut-mulut itu supaya tidak terus tanya-tanya.
Meski begitu, Dean sama
sekali tidak membayangkan bahwa pada jam istirahat hari itu, di kantin yang
ramai, dia akan berpapasan dengan Rieka. Mereka saling bertatapan. Rieka tersenyum
pada Dean, dan berlalu.
Sesaat Dean bengong
saja, sambil terus berjalan ke bangku tempatnya duduk semula, dan terbang.
Seperti ada dua pasang tangan malaikat yang mengangkatnya. Malaikat berwujud
bayi, bersayap, dan cuma pakai popok. Kupu-kupu yang tidak terhingga banyaknya
mengiringi mereka. Dean diturunkan tepat di bangku tujuannya. Begitu terduduk,
dia sadar bahwa bunga-bunga semerbak yang dia lihat sepanjang jalan barusan
adalah kepala orang-orang—para pengisi kantin—yang belum tentu sudah keramas
pagi itu.
Di kelas, sepanjang
sisa pelajaran, Dean bukannya mendengarkan guru yang sedang menerangkan apalah,
tapi dentuman bas yang pelan dan lembut, diiringi tabuhan perkusi bagai
gemericik hujan syahdu, dan muncullah melodi yang mengalun indah dari sebuah
piano, lantas disusul siulan flute
yang merdu. Dia tersenyum terus. Meski matanya terarah pada guru, dan yang
dipandang pun menganggap tumben-tumbenan Dean anteng, dan malah membalas
senyumnya, tapi yang dia lihat sebetulnya bayangan di dalam kepalanya. Bayangan
yang bisa kamu isi dengan diri kamu, orang yang kamu suka, dan tempat yang
paling kamu ingin kunjungi berdua saja bersama dirinya—lengkap dengan
kupu-kupu, bayi terbang berpopok, dan bonus segelas air sabun beserta alat
peniupnya untuk bikin gelembung kecil-kecil.
.
Sepulang sekolah Dean
sudah tidak sabar untuk menyampaikan musik barunya itu kepada dunia, lewat apa
lagi selain kibor di paviliun Kakek? Musik yang menggambarkan pertemuan
singkatnya dengan Rieka pada jam istirahat hari itu, di kantin yang ramainya
tidak terasa, sebab yang terperhatikan oleh Dean waktu itu cuma senyum cewek
itu. Senyum yang tipis saja tapi efeknya seperti obat panu dosis tinggi, sekali
oles musnahlah jamur-jamur yang menganggu.
Dean mengatakannya pada
Kakek. “Pengin bikin lagu.”
“Lo, bukannya tiap hari
kamu udah bikin lagu?”
“Iya gitu, Kek?”
Kakek mengernyit. “Lagu
terakhir yang kamu mainin di acara kemarin itu bukannya kamu ngarang sendiri?”
Dean tersenyum semakin
lebar, dan termenung. Jadi selama ini dia sudah suka bikin lagu. Tapi dia tidak
pernah menghafal lagu-lagunya itu, apalagi mencatatnya dalam huruf taoge dan
memberinya judul. Lagu-lagu itu timbul tenggelam begitu saja ketika dia
bermain. Yang baru dan yang lama silih berganti, bercampur aduk.
Sementara itu tampaknya
Kakek masih larut dalam euforia pertunjukan kemarin. “Dari dulu, pas masih
seumuran Dean, Kakek pengin bisa tampil di panggung, main musik rok. Enggak
tahunya, baru kesampaian berpuluh-puluh tahun kemudian. Penontonnya, ya,
rata-rata seumuran Kakek waktu itu, tapi Kakeknya sendiri udah enggak keumuran.
Musiknya juga, malah enggak ada rok-roknya sama sekali,” ucap Kakek sambil
bersidekap dan menatap langit-langit. Lalu matanya beralih pada Dean. “Kamu
juga, Dean. Kemarin kamu grogi banget. Emang baru sekali itu kami tampil di
depan umum? Kakek kira kamu orangnya enggak gitu. Atau jangan-jangan, di antara
yang nonton itu, ada cewek pujaan kamu?”
“Kakek mah ngajak
ngomongin cewek mulu,” tukas Dean tapi sambil cengengesan.
Kakek menarik kepalanya
dengan tatapan menyelidik. Tapi untunglah ia tidak mengorek lebih lanjut soal cewek. Ia malah bertanya. “Dean, kamu
enggak tertarik bikin grup musik?”
“Sama Kakek?
“Yaa… enggak mesti sama
Kakek. Sama temen-temen sebaya kamulah, misalnya. Atau sama kembaran kamu… bisa
main musik juga?”
“Bisa. Sukanya gitar
dia mah. Tapi enggak ah.”
“Kenapa?”
“Beda gaya.”
Kakek mengangguk-angguk
sambil tersenyum geli, diam-diam menyetujui.
Tanya Dean lagi, “Apa
kemarin teh, Kek, Johan and The Shy
Pianist? Kenapa namanya gitu?”
Kakek mengerutkan dahi.
“Kenapa, ya…. Kakek kalo baca koran, artikel-artikel tentang musik gitu, sering
lihat aja, grup-grup anak muda jaman sekarang yang namanya mirip-mirip. White
Shoes and The Couples Company. Zeke and The Popo. Macam-macamlah….“ Lalu,
ujarnya lagi, “Tapi bener, baru sekali itu kamu tampil di depan umum? Kayaknya
kamu pernah bilang deh kalau kamu enggak pernah ikut lomba-lomba.”
“Enggak.”
“Kenapa?” Kakek mencondongkan
badannya pada Dean.
“Males, Kek. Kalau gitu
mah belajar pianonya harus serius.”
Dean pernah membaca di
majalah bahwa pianis profesional mesti berlatih 10-12 jam sehari. Dean mana
tahan. Kapan mainnya?! Untung dulu dia tidak jadi meneruskan belajar piano.
Keputusan itu memang paling tepat buat dirinya.
“Kamu enggak mau
serius?”
“Hobi aja.”
Kakek menyandarkan
kembali badannya pada sofa sambil terkekeh-kekeh. “Sayang atuh, Dean. Menurut Kakek mah, kamu bisa lebih dari sekadar hobi.”
Kakek terdiam sejenak, lalu, “Atau, orang tua kamu enggak ngeijinin? Sering kan
gitu. Anaknya semangat main musik, nge-band,
tapi orang tua enggak ngedukung. Prospeknya kecil jadi musisi mah, dulu
almarhum temen Kakek itu dibilangin gitu juga sama orang tuanya. Penghasilannya
enggak jelas. Ada pasang surutnya. Kalau sukses, ya, syukur, banyak kepake,
banyak rejekinya, banyak penggemarnya, sampai jadi legenda. Tapi kalau enggak,
terkenalnya sebentar aja, setelahnya harus cari sumber penghasilan yang lain.
Kakek juga pernah mikir gitu, selain karena emang enggak cukup modalnya. Makanya
jadi pegawai kantoran aja, gajinya teratur tiap bulan, hehehe. Tapi, kalau
kayak Dean, misalkan, ada bakat, ada modalnya, orang tua ngedukung,
lingkungannya juga, ya siapa tahu kesempatan buat suksesnya teh lebih gede.”
Dean terdiam. Dia ingat
bahwa dulu guru lesnya pernah menyampaikan hal yang sama pada Bunda, apakah
dirinya mau diarahkan betul-betul supaya kelak bisa menjadi pianis profesional.
Bunda menyinggungnya pada Ayah.
Ayah bilang, Dean maunya gimana?
Dean bilang, Enggak mau, Pak Al mah suka nempeleng.
Ayah dan Bunda langsung
memandang Dean dengan serius.
Lanjut Dean, Kepala Dean suka dipegang-pegang. Jangan
meleng, jangan meleng, gitu katanya.
Kata Ayah sambil
terkekeh, Ah, itu mah kamunya aja, udah
enggak sabar pengin cepet-cepet pulang. Pasti dikit-dikit Dean lihat jam, lihat
jendela, iya kan?
Kata Dean lagi, Mau sama Bu Santi lagi aja. Bu Santi mah
cantik, baik lagi. Pak Al mah udah tua, suka marah-marah aja.
Guru Dean sebelumnya
bernama Bu Santi. Karena kemudian Bu Santi ikut suaminya yang kerja di
Adelaide, Dean dialihkan pada ayahnya yang juga guru piano, yang disebut
sebagai Pak Al itu. Pak Al teman Oma buyut dan dulu pernah mengajar piano pada
Bunda. Pak Al bilang pada Bunda, Kamu
emang enggak ada bakat sama kemauan, tapi anak kamu bisa kalau mau diseriusin.
Tapi Bunda malah
khawatir. Di sekolah aja keteteran
belajarnya. Apalagi kalau tambah piano. Kalau di sekolah enggak ada masalah
mah, ya mending. Lalu Bunda bertanya pada Dean, Dean mau terus sama Pak Al?
Enggak ah, jawab Dean.
Mau diterusin pianonya?Cari guru lain?
Enggak ah. Maunya Tamiya.
Eh!
Maka, dengan alasan
ingin fokus pada pelajaran di sekolah, Bunda bilang pada Pak Al bahwa Dean
berhenti dari les piano. Meski setelahnya Dean masih saja susah fokus pada
pelajaran di sekolah dan tetap main piano. Malah sepertinya Dean lebih suka
main sendiri, tanpa harus melihat partitur dan tanpa ada yang mengatur.
Tapi sekarang, setelah
menampilkan musiknya di depan Rieka pada acara ulang tahun cewek itu, Dean
sadar bahwa hobinya itu bisa menjadi
lebih dari sekadar kesenangan sendiri. Lagi pula, demi apa Rieka tersenyum
padanya ketika jam istirahat tadi? Rieka tidak pernah seperti itu sebelumnya.
Dean bisa menghitung dengan jari sebelah tangan momen-momen Rieka tersenyum
padanya selama sekian tahun perkenalan mereka, dan tidak ada satu pun yang
terasa benar-benar tulus, kecuali yang tadi itu!
“Emang kamu sebenernya
cita-citanya apa sih?” tanya Kakek.
Dean terdiam lagi, lalu
menggeleng. “Belum kepikiran, Kek.”
Kakek terkekeh-kekeh.
“Enggak apa-apa. Si Imin juga pas Kakek tanya waktu dia masih kelas satu SMA,
bingung, mau jadi apa. Lagi seneng-senengnya belajar di ekskulnya itu, apa ya
waktu itu, dia tuh… mecahin batu kali, mecahin awan, mentalin orang… gayanya
udah kayak pendekar aja. Tapi sekarang sih dia bilangnya mau ke Elektro ITB.”
“Iya, Kek, mungkin saya
juga baru kepikirannya entar, pas udah mau SPMB, hehehe.”
“Hahaha…. Yah…. Atau
enggak, hobi kamu itu bisa dijadiin sampingan. Lumayanlah. Kamu enggak mesti
jadi musisi serius kalo enggak pengin mah. Tapi sayanglah, menurut Kakek mah,
kalau kamu ada kemampuan teh enggak
ditunjukkin ke orang-orang. Jangan asyik sendiri aja, gitu. Siapa tahu, itu
juga bisa buka jalan kamu ke depannya. Kadang kemampuan sampingan bisa
ngedukung pekerjaan kamu yang satunya.”
“Iya, Kek.” Dean
mengangguk-angguk. Ya, dia bisa mengembangkan kemampuannya lebih dari yang
kemarin. Dia akan membuat lagu lain untuk Rieka, lebih banyak lagu, dan
membawakannya lagi di depan cewek itu… entah kapan. Tapi dia akan mempersiapkannya
dari sekarang hingga datangnya kesempatan itu. Dia juga akan mempersembahkan
kado mungil yang kemarin tidak jadi diberikan itu, dan memakaikannya sendiri di
leher Rieka.