Selasa, 20 Oktober 2015

#6 Enam Belas Tahun yang Sangat Manis

Sewaktu Dean masih kecil dan tinggal di Boston, Bunda sering kali tidak ada di rumah sehingga mereka lebih banyak diasuh oleh Ayah. Dean sering kali bertanya pada Ayah, “Bunda ke mana, Yah?” atau sekadar mengoceh, “Kangen Bunda, kangen Bunda….”

Ayah bilang Bunda sedang sibuk belajar, dan ketika ia pulang nanti malam, mereka harus menyambutnya dengan rindu.

Tapi Dean cerewet sekali. Cerita Ayah tentang Bunda saja tidak cukup untuk membungkamnya. Maka Ayah coba memberinya foto Bunda. Foto itu diambil sewaktu Bunda baru masuk SMA. Warnanya sudah tidak tajam. Agak lecek karena sering dipegang-pegang. “Kalau kangen sama Bunda, lihat ini aja,” kata Ayah.

Ajaib! Foto itu seakan punya daya magis yang bisa membikin anak kecil banyak omong jadi anteng. Dean suka sekali memandangi foto itu, dan terus begitu sampai mereka sekeluarga pindah ke Bandung. Tapi saat itu Deraz tidak ikut bersama mereka karena sebelumnya ia diambil untuk diasuh oleh Oma-Opa buyut di Freiburg.

Dean lalu masuk SD. Dia sekelas dengan Rieka selama bertahun-tahun. Mereka tidak akrab, tapi ibu mereka berteman.

Pada akhir kelas empat barulah Deraz ikut bersekolah di SD mereka. Waktu itu belum lama setelah Oma buyut meninggal dunia, dan Opa buyut segera menyusulnya ke alam baka. Selain kerabat dan pembantu Opa-Oma Buyut, tidak ada lagi keluarga dekat yang mengurus Deraz di Freiburg. Maka Bunda dan Ayah menjemput Deraz supaya kembali tinggal bersama, kali ini di Bandung.

Ketika mereka duduk di kelas enam, muncul gosip bahwa Rieka menyukai Deraz. Pada waktu itulah Dean mulai tertarik pada Rieka. Cewek seperti apa yang menyukai kembarannya? Oh, yang itu. Bukannya dia udah punya pacar? Ya, pada waktu itu anak kelas enam SD pun sudah belajar pacaran.

Meski kembar beda telur, Dean dan Deraz terlihat hampir serupa. Kalau melihat sekilas saja, orang mungkin tidak akan langsung menyadari perbedaan di antara keduanya. Bedanya paling-paling Dean sedikit lebih jangkung daripada Deraz sementara Deraz agak lebih berisi ketimbang Dean. Bentuk wajah Dean lebih lonjong sementara Deraz agak persegi. Rambut Deraz tampak rancung sementara Dean mengikal.

Tapi kenapa Rieka bukannya menyukai Dean? Padahal Rieka mengenal Dean lebih dulu. Dean yang tukang bikin ribut, yang tetap bisa membuat seisi kelas tertawa biarpun sedang disetrap di depan kelas. Dean yang nilai-nilainya selalu bikin ibunya berkonsultasi lama dengan wali kelas tiap hari pembagian rapor. Dean yang periang dan cerewetnya tidak kalah dari anak-anak cewek, yang tidak sungkan bergaul dengan mereka sementara kebanyakan anak cowok begitu. Dean yang dengan adiknya kadang menebeng mobil Rieka sepulang sekolah ke rumah oma-opa mereka.

Selain itu, awal kehadiran Deraz di sekolah pun tidak berjalan dengan mulus.

Deraz nyaris tidak pernah bicara kecuali pada Dean. Itu juga tidak sepenuhnya dalam bahasa Indonesia, tapi campur dengan bahasa Inggris dan entah bahasa apa lagi. Jadi apa pun keperluan Deraz pada siapa pun, Dean yang menyampaikannya. Kalaupun Deraz bicara dalam bahasa Indonesia, kedengarannya aneh dan terpatah-patah. Anak-anak suka menirukan gaya bicaranya itu, maksudnya main-main saja, tapi rupanya Deraz tidak senang. Ketika marah, ia akan menyerang. Beberapa kali terjadi perkelahian. Dean sampai ikut luka ketika berusaha melerai. Sejak itu anak-anak segan pada Deraz. Sejak itu juga Ayah rutin membawa Deraz ke gelanggang supaya energinya tersalurkan ke olah raga. Deraz memilih tinju.

Deraz mulai bisa dekat dengan teman-teman barunya setelah ia diikutkan bermain dalam pertandingan sepak bola antar kelas. Meski irit bicara, tapi ternyata ia sangat jago di lapangan. Ia tidak gampang capek. Ia tahu ke mana dan kapan harus mengoper bola. Berkat dirinya, kelas lima menang melawan kelas enam.

Perlahan-lahan Deraz mulai menunjukkan prestasinya dalam hal lain. Nilai-nilainya di sekolah membaik. Kemampuannya berbahasa Inggris sangat menonjol. Ia bahkan menghafal kosakata bahasa Indonesia yang belum dipahami anak-anak seusianya. Ia pintar main catur dan menjadi juara saat ada lomba antar kelas. Saat kelas enam ia menjadi perwakilan sekolah dalam sebuah konferensi anak.

Anak-anak semakin tertarik padanya dan tidak mengejek cara bicaranya lagi. Toh bahasa Indonesia Deraz bertambah fasih saja, meski logatnya tetap unik. Tidak heran kalau cewek-cewek menyukainya. Tapi yang gosipnya paling kedengaran hanya Rieka. Ia dan gengnya amat disegani di kalangan cewek-cewek sebayanya.

Awalnya Deraz tidak terpengaruh oleh gosip itu. Malah, teman-temanya, yang juga teman-teman Dean, dan juga teman-teman Rieka, yang berisik. Dean termasuk yang ikut berisik, tapi diam-diam dia mulai penasaran pada Rieka. Setelah diperhatikan lama-lama, kok sepertinya Rieka mirip Bunda? Badannya sama-sama langsing. Rambutnya sama-sama panjang, halus, dan bergelombang. Kulitnya sama-sama bening tanpa noda. Bibirnya sama-sama merah dan indah. Suaranya sama-sama merdu dan lembut. Apalagi ketika Rieka cemberut padanya, Dean langsung ingat pada ekspresi Bunda ketika dia membandel. Makin sering mengamati Rieka, Dean makin suka. Maka dia pun mulai menunjukkan perasaannya pada Rieka secara terang-terangan.

Dean pernah memakai sweter rajutan berwarna merah,   bergambar sepasang anak laki-laki dan anak perempuan berseragam merah putih dengan hati merah jambu di tengah mereka. Dia mengatakan, “Yang cowok itu aku, yang cewek kamu, yang bikin sweter ini oma aku,” pada Rieka yang langsung beringsut menjauh.

Dean juga pernah menempelkan secarik puisi di mading. Setiap baris pada puisi itu diawali dengan huruf-huruf yang menyusun nama lengkap Rieka dan dicetak tebal. Ayah yang membuatkannya dan memberitahu Dean bahwa puisi itu namanya puisi akrostik. Tapi Dean tidak mengingatnya karena yang lebih penting buatnya adalah reaksi Rieka. Belum sampai sehari dipajang di mading, puisi itu sudah lenyap.

Waktu sekolah mengadakan kunjungan lapangan ke kebun raya, Dean mengoceh akan memperlihatkan bunga terbesar yang pernah ada pada Rieka. Rieka menanggapinya dengan acuh tak acuh. Karena bunga bangkai belum mekar, Dean mencabut sebatang bunga matahari lalu membawakannya pada Rieka. Rieka dan teman-teman di sekitarnya malah menjerit-jerit. Mungkin karena mereka melihat kawanan ulat yang tidak dilihat oleh Dean.

Perhatian teman-teman mulai teralihkan. Mereka tidak lagi meledeki Rieka dengan Deraz, tapi dengan Dean. Apalagi Dean sendiri suka mengompor-ngompori. Rieka jadi gerah. Ia makin sebal pada Dean. Teman-teman segengnya pun ikut-ikutan menjudesi Dean. Tapi dasar muka tebal, Dean tidak peduli. Deraz juga tidak peduli. Yang ia pedulikan cuma kemajuannya di sekolah, dan ketika ada yang menganggu dirinya atau Dean, ia akan bertindak. Dean tidak tahu bahwa Deraz pernah “menegur” Rieka dan gengnya karena sering mengolok-olok kembarannya itu.

Rasanya semua anak mendukung Dean dan Rieka untuk jadian. Tapi sampai kelulusan hal itu tidak pernah terjadi. Sejak Deraz terang-terangan menunjukkan sikapnya pada Rieka, dan tidak tertarik juga pada cewek yang mana saja, cewek itu berpacaran lagi dengan cowok lain.

Selepas SD, Dean dan Deraz melanjutkan ke sebuah SMP swasta di tengah kota.

Di SMP prestasi Deraz melaju pesat. Ia aktif dalam ekskul basket dan debat. Ia pandai menulis esai dan proposal. Ia rajin mengikuti perlombaan, dan berbagai ajang yang ia ikuti tersebut kadang membawanya ke luar kota bahkan ke luar negeri. Ia mulai ikut les gitar, bikin band, dan menjuarai festival band antar sekolah. Ia menjadi ketua OSIS saat kelas delapan. Prestasi akademisnya selalu berada di sepuluh besar paralel. Belum lagi ketika ada perlombaan antar kelas. Ia masih juara catur. Tim sepak bola kelasnya selalu menang. Jumlah trofi yang berhasil ia peroleh, sendiri ataupun dengan kelompoknya, terus bertambah.

Yang bikin Deraz angkat tangan paling-paling lomba azan dan MTQ. Bahkan ia pernah frustrasi karena tidak bisa membaca sehuruf hijaiyah pun ketika dites oleh guru PAI. Bunda langsung mencarikan guru privat untuk Deraz sampai ia lancar mengaji Alquran.

Sementara itu, Rieka yang total nilai UN-nya lebih baik melanjutkan ke sebuah SMP negeri di tengah kota juga.

Meski sekolah si kembar dan sekolah Rieka terletak di kawasan yang sama, jarak antar satu sama lain lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Kadang Dean sengaja mampir ke SMP Rieka baik dengan berjalan kaki atau dengan menaiki angkot sekali—sekalian pulang—cuma untuk mencari peluang melihat cewek itu. Meski kalau kebetulan bertemu, dia malah akan berbalik dan melanjutkan pengintaian sambil bersembunyi.

Sering kali Dean cuma bertemu Pak Sam yang memberinya pandangan iba. Pak Sam pun cuma bisa melaporkan bahwa, “Neng Rika lagi sama Aldi, Yan.” Atau Toni. Atau Sandy. Atau Syamsi. Siapa saja itu. Selalu berganti-ganti. Dean seakan tidak diberi kesempatan untuk menyatakan perasaan pada Rieka lagi.

Maka, bukan cuma ketika kangen dengan Bunda, ketika kangen dengan Rieka pun Dean akan memandangi foto lama ibunya. Dia bayangkan gadis dalam foto itu adalah Rieka, sedang tersenyum manis padanya.

Ketika teman-temannya ikut melihat foto itu, dan mengetahui artinya bagi Dean, mereka mengernyit keheranan. Apalagi kalau mereka sudah pernah bertemu langsung dengan Bunda dan Rieka. “Mirip apanya? Rika tuh mukanya nyunda banget. Nyokap lu kan indo.”

Memang Bunda berpostur lebih tinggi, rambutnya kecokelatan, dan mukanya kebule-bulean karena kakeknya orang Jerman, sementara Rieka mojang asli Priangan. Tapi bagi Dean bedanya cuma setipis kertas kalkir—peranti menyalin peta untuk PR Geografi.

.

Jam istirahat sudah hampir habis. Ketika Dean kembali ke kelas, temannya bilang tadi ada yang mampir mencarinya. Anak kelas entah berapa. “Cowok. Rambutnya keriting. Suaranya kayak anak kecil.” Bersamaan dengan itu, Ipong memasuki pintu kelas.

“Apaan, Pong?” tanya Dean begitu Ipong menghampirinya.

Ipong mengulurkan secarik kartu berwarna merah hati. Dean membukanya. Matanya tidak berkedip membaca isi kartu itu, yang diketik dalam font Informal Roman ukuran enam belas. Isinya pemberitahuan bahwa dengan menunjukkan kartu itu dia bisa makan gratis sepuasnya di Kafe Berry’s Latte pada 10 Mei mulai pukul tujuh malam…

…dalam rangka ulang tahun Rieka yang keenam belas.

“Dateng, ya,” kata Ipong. Melihat tampang Dean, ia berkata lagi, “Dateng aja. Enak kali diajak makan gratis sepuasnya.” Ia menyunggingkan senyum sambil matanya menyipit.

“Yang diundang siapa aja?” tanya Dean.

“Banyak. Anak-anak OSIS. VG. Lempers. Kombas juga ada. Temen-temen sekelas dia. Temen-temen deketnya. Elu.”

“Tapi gue bukan anak mana-mana. Temen sekelas, bukan.” Boro-boro temen deket….

“Elu kan temen sekelas dia dari SD.”

Dean manggut-manggut tapi masih merasa agak heran, bingung, kaget, tergedor… segalanya bercampur aduk seakan ada emang rujak bebek yang sedang menumbuk buah-buahan di dadanya.

“Dateng aja…” kata Ipong sambil mundur pelan-pelan sampai pintu. Begitu keluar dari X-7, ia langsung berbalik dan mengembuskan napas.

Sebetulnya masih ada beberapa tanya lagi yang timbul dari kepala Dean. Misalnya, kenapa bukan Rieka sendiri yang menyerahkan kartu undangan ini? Jawaban bahwa dia teman sekelas Rieka dari SD juga kurang memuaskan. Selain itu dia tidak yakin namanya yang ada di kartu itu ditulis dengan tangan Rieka. Huruf-hurufnya seperti cacing ajojing.

Kartu undangan itu pun jadi bahan renungannya selama pelajaran-pelajaran sehabis jam istirahat, bahkan sampai terbawa-bawa ke rumah. Dean memperlihatkan kartu itu pada Deraz, dan bertanya apakah ia bakal datang.

.

Awalnya, Rieka mengundang band Ipong untuk tampil di perayaan ulang tahunnya yang keenam belas. Acara itu akan diadakan di kafe baru milik mamanya Rieka. Rieka diberi kebebasan untuk menggunakan fasilitas apa pun di kafe itu, termasuk seperangkat alat nge-band. Teman-teman Rieka sangat mendukung gagasan itu. “Biar meriah, Ri!” kata mereka. Diam-diam Rieka setuju mengingat di band Ipong ada siapa. Siapa tahu cowok itu mau. Siapa tahu….

Rieka sudah bersahabat dengan Ipong sejak mereka satu sekolah di SMP. Maka Rieka tidak ragu mengajukan gagasan spesial itu pada Ipong. “Lo enggak usah ngasih kado ke gue juga enggak apa-apa, Pong. Asal dia dateng aja gue udah seneng.”

Ipong langsung menyanggupinya dengan girang. “Jangankan dateng, Ri,” kata Ipong, “Bakal gue todong sekalian dia buat nyanyi di pesta lo!”

Tapi ternyata itu tidak semudah yang dikatakan.

Sejak jauh hari Ipong mempersiapkan band­-nya untuk tampil di acara itu. Yang lainnya oke-oke saja. Mereka membayangkan acara itu akan dihadiri cewek-cewek selevel Rieka dan semuanya berdandan cantik. Sekalian mengeceng. Belum lagi kabarnya mereka akan diberi tip yang lumayan. Cuma ada satu yang sulit. Deraz kukuh tidak mau meninggalkan latihan tinjunya pada malam acara itu akan diadakan, bagaimanapun Ipong—dibantu Adip, Bram, dan Yoga—terus-menerus membujuknya. Menurut Deraz, keempat temannya itu bisa tetap tampil meski tanpa dirinya. Toh ada Ipong yang selain jago menyanyi juga bisa memainkan kibor dan gitar, dan memukul-mukul pantat galon.

Karena Rieka menanyakannya terus, Ipong menjawab saja, “Deraz mah gitu orangnya, Ri. Lu inget enggak pas anak-anak OSIS makan-makan di Pizza Hut kapan itu. Dia kan enggak ikut, Ri. Anak-anak mah seneng makan gratisan, tapi dia mah lebih mentingin urusannya sendiri. Apa, ya, waktu itu tuh… nyiapin lomba debat kalo enggak salah. Padahal makan-makan berapa lama sih. Bentarlah, enggak nyampe dua jam. Terus, udah berapa kali tuh, pas waktunya rapat, anak-anak kan suka pada telat. Tapi dia kan enggak peduli udah pada kumpul semua atau belum. Rapatnya langsung dia mulai aja, on time, biar seadanya juga. Terus, pernah juga pas kita lagi ngerjain tugas kelompok, Ri. Anak-anak mah pada mau nonton DVD dulu. Dia doang yang fokus ngerjain tugas. Pas udah beres kerjaannya, dia langsung pulang.”

“Jadi, maksud lo, acara gue kurang penting buat dia?” Suara Rieka seperti yang habis diinjak-injak.

“Bukan gitu, Ri….” Ipong jadi merasa bersalah. “Cuma kurang suka senang-senang aja orangnya. Dia mah… lebih doyan nonjok orang daripada makan-makan sambil ngeceng.”

Demi melihat wajah Rieka yang nelangsa, Ipong mendapat ide. “Gue yakin, kalo saudaranya lu ajak juga, dia bakal pikir-pikir lagi buat dateng,” ucapnya.

“Iya gitu?” Rieka tampak ragu.

“Iya!” tandas Ipong. “Lu tahu kan, Deraz tuh enggak pernah jajan. Tapi setiap ke kantin, kalau ada Dean, dia pasti nyamperin.” Sementara Rieka bingung memikirkan apa hubungannya, Ipong berkata lagi, “Apa salahnya sih ngundang satu orang lagi? Lagian lu kenal kan sama dia. Temen-temen SD lu yang udah enggak sesekolah tapi masih deket juga lu undang kan. Itung-itung sekalian bikin reuni buat anak-anak SD lu deh.”

“Gue enggak bisa ngundang sebanyak itu juga kali. Mama gue ngebatesin cuman seratus seat. Itu juga gue udah mohon-mohon. Anak-anak ekskul aja enggak keundang semua, enggak enak, gue.”

“Satu aja, Ri. Kita coba. Satu lagi aja. Mama lu kenal dia enggak?”

Rieka terdiam, bertanya-tanya dalam hati apa maksud pertanyaan Ipong. “Kenal,” akhirnya ia menjawab. Bahkan, dulu, sewaktu Rieka SD, mamanya sering menyuruh Pak Sam untuk mengantar pulang Dean dan adiknya sekalian kalau kebetulan bertemu dan mereka tidak ada yang menjemput.

“Apalagi mama lu kenal, Ri. Biarlah dia jadi orang yang ke-101.”

Seperti yang disangka Ipong, Mama Rieka setuju ketika Rieka minta tambah satu orang lagi untuk diundang ke pestanya. Ia tidak lupa menyebut bahwa orang itu adalah Dean, anaknya Bu Dara, teman Mama sewaktu Rieka SD. Dengan tulisan tangannya yang rapi dan lentik, Rieka menulis sendiri nama orang-orang yang diundang pada tiap-tiap kartu yang telah dicetak. Tapi untuk kartu yang ke-101, ia menyerahkannya pada Ipong. “Lo aja yang nulis namanya dia.”

Ipong agak geli. “Bukannya udah enggak ada affair lagi antara lo dan dia?” Rieka sudah menceritakan semua padanya, sejak Ipong bertanya, kalau kedua orang itu tampangnya mirip dan sama-sama jangkung, dan yang satu tidak membalas perasaannya tapi yang lain mengejarnya, kenapa tidak dengan yang lain itu saja?

“Enggak ngerti gue juga,” kata Rieka, kelihatannya benar-benar tidak mengerti. “Masih kebawa-bawa aja sampai sekarang.”

Tapi kemudian ia ingat.

“Dean? Apa sih dia?”

.

Deraz akhirnya mengiyakan undangan itu. Ipong yang pertama-tama menegurnya, untuk kesekian kalinya, tapi kali ini sambil menyebut bahwa Dean diundang juga dan, bilangnya sih, mau datang. Deraz pun menjawab, “Oke.”

Maka mereka berlima memulai latihan khusus untuk acara ulang tahun Rieka. Ipong merahasiakan lagu-lagu yang akan mereka bawakan, tapi ia membeberkan bahwa Deraz mau menyanyi di acara itu. Rieka masih tidak percaya.

“Deraz bisa nyanyi?”

“Lo mah enggak tahu sih. Kadang pas latihan dia nyanyi juga kok. Apalagi sama si Bram tuh. Mereka kan suka duet lagu-lagunya Kings of Convenience pakai gitar. Suaranya… lumayanlah… layak, layak…” bual Ipong. “Biasanya kalau mesti tampil di depan umum dia malu, tapi buat kali ini mah spesial lah.”

“Ih, Ipong. Emang dia mau nyanyi lagu apa gitu?” tanya Rieka. Wajahnya mulai bersemu merah, dan Ipong semakin senang melihatnya.

“Ya… lagu yang spesial buat lo lah…” sumbar Ipong. “Rahasia….”

Ipong juga tidak tahu. Bram dan Deraz tidak bilang-bilang. “Tahu beres ajalah,” ucap Bram selalu tiap kali ditanya.

“Yah, Ipong….”

Melihat wajah Rieka meredup lagi, Ipong cepat-cepat berkata, “Akhir-akhir ini sih Deraz lagi suka ngulik gitarnya Relish, Ri.” Kali ini Ipong sungguh-sungguh. Sudah beberapa kali, di sela-sela latihan, Ipong mendengar chord yang itu-itu saja keluar dari gitar Deraz.

“Relish? Lagunya yang kayak gimana sih, Pong?”

Ipong pernah mendengar lagu itu beberapa kali di radio. Sebetulnya ia tidak ingat persis. Tapi ia tidak ingin mengecewakan Rieka. “Kalau enggak salah sih gini, Ri, tapi gue cuma hafal reff-nya aja….”

Saat itu mereka sedang berada di kantin yang semakin sepi, sebab sudah jauh melewati jam pulang sekolah. Jadi Ipong merasa leluasa untuk memijakkan sebelah kakinya di atas bangku, dan mengambil napas perut. Apa yang akan ia nyanyikan memang pas dengan karakter suaranya yang dapat melengking sampai tinggi itu.

I just have to let you know…. Maybe there’s a place for you and me… yeah…. I just have to let you know…. That is you I’m thinking of….[1]

Terdengar tepuk tangan, sorak, dan suitan dari beberapa orang yang masih tersisa di kantin. Ipong menurunkan kakinya dari bangku dan membungkuk-bungkuk pada pemirsanya dengan takzim. Rieka tidak perlu tahu bahwa yang barusan Ipong nyanyikan itu adalah suara hatinya sendiri. Tapi ia tahu diri. Badannya kalah tinggi dari Rieka.

.

Mobil Bunda berhenti di seberang bangunan Berry’s Latte yang mentereng. Gemerlap lampu kecil-kecil menghiasi permukaan dinding dan kaca bagian depan bangunan itu. Di atas pintu masuk terpampang logo besar bergambar stroberi tercelup dalam secangkir kopi.

“Dean, mukanya kok rada pucat? Balik aja yah?”

Dean tersadar dan berpaling dari bangunan kafe ke wajah ibunya. “Ari Bunda. Udah nyampe,” katanya.

Bunda mengusap pipi Dean. “Ya udah, kalau ada apa-apa telepon aja, ya. Jangan terlalu malam pulangnya. Bilang ke Deraz juga.”

“Iya.”

“Kalau ada mamanya Rieka, Bunda titip salam, ya.”

“Iya, Bun.” Dean mengecup punggung tangan Bunda lalu keluar dari mobil.

Mobil Bunda kembali meluncur dan Dean berdiri kaku menghadap pintu masuk kafe. Angin menerpanya, menambah ganas mual di perutnya. Dia menggenggam kado mungil di saku blazernya. Bunda dan Zara yang memilihkan hadiah itu, sebab Dean tidak yakin apa persembahan terbaik yang bisa dia berikan untuk Rieka. Namanya bahkan tidak tercantum dalam kado itu. Entah ketakutan dari mana mampir di benaknya: Kalau Rieka sampai tahu kado ini dari siapa, ia bakal segera membuangnya ke samudera.

Ketika Dean menanyakan pada Deraz kado apa yang akan ia berikan untuk Rieka, saudaranya itu menjawab, “Band,” yang maksudnya, penampilannya dengan band-nya saja sudah cukup.

Saudaranya itu sudah pergi dari rumah sejak tadi sore sambil menyandang tas gitar, tapi ke rumah Bram dulu untuk berkumpul dengan teman-teman band-nya. Dari sana mereka bersama-sama ke lokasi dengan mobilnya Bram.

Keramaian di dalam kafe sayup-sayup sampai ke pelataran. Di sekitar Dean semakin banyak mobil yang diparkir. Anak-anak muda seusianya melewatinya menuju pintu masuk. Beberapa dari mereka menegurnya. Dean balik menyapa dengan rikuh. Baru ketika ada yang merangkulnya, dia terdorong (atau terseret) untuk memasuki pintu itu.

Seperti pintu masuk ke dunia lain….

Kebanyakan tamu undangan mengisi ruangan utama di kafe itu, tempat terdapat panggung rendah untuk live music yang sudah dikuasai oleh Ipong dan band-nya. Dengan menunjukkan kartu undangan, mereka bisa memesan menu apa saja sepuasnya. Karena dresscode-nya kasual, mereka terlihat seperti pengunjung biasa saja. Malah memang ada beberapa pengunjung bukan tamu yang mengisi meja-meja tertentu di ruangan itu. Tapi tentu saja mereka harus membayar menu yang dipesan karena tidak memiliki kartu.

Di kafe itu juga terdapat ruangan-ruangan yang lebih kecil serta area terbuka tempat pengunjung bisa makan-minum sambil memandang langit, menikmati taman, dan menghirup udara segar.

Ketika bertemu teman-teman yang cukup akrab dengannya, Dean sempat lupa bahwa kedatangannya di kafe itu untuk menghadiri acara ulang tahun Rieka. Sesaat yang dia pikirkan cuma bercanda dan tertawa dengan teman-temannya. Tapi ketika mereka mengajaknya untuk menyalami Rieka, dan Dean melihat sendiri cewek itu ada di sana, di antara orang-orang yang mengantre untuk mengucapkan selamat dan memberi kado, paling bersinar di antara semua cewek di ruangan itu, timbul lagi rasa mual, ditambah pusing. Padahal Rieka tidak berdandan “wah”, meski tanpa riasan pun ia memang sudah menarik. Terlebih di mata Dean.

Ipong benar-benar memenuhi janjinya untuk memeriahkan acara itu. Dia dan band-nya membawakan lagu-lagu yang pada liriknya terdapat ucapan selamat ulang tahun atau happy birthday, mulai dari The Beatles, The Cranberries, sampai Jamrud. Dia mengajak para tamu ikut bernyanyi, terutama di bagian yang ada kata-kata ucapannya itu. Rieka tersipu atau tertawa tiap kali para tamunya meneriakkan itu beramai-ramai untuknya. Tahulah para pengunjung lainnya bahwa hari itu adalah hari yang istimewa bagi cewek tercantik di ruangan itu.

Rieka terlihat begitu bahagia, dan Dean tersiksa dalam rasa terpesonanya. Tiap kali mau mendekat ke meja itu, mual dan pusingnya menjadi-jadi. Selain itu yang Dean dengar dalam kepalanya bukanlah lagu-lagu ceria yang Ipong dan band-nya bawakan, tapi lagu lain yang pernah dia dengar di radio. Liriknya kurang lebih begini: I’m a creep…. I’m a weirdo…. What the hell am I doing here? I don’t belong here….[2]     

“Hei!” Tahu-tahu ada yang menyikutnya. Rio. “Ada elu!” Dean meringis. Kata Rio lagi, “Gue baru dateng. Temenin gue nyalamin Rika, yuk.”

“Sendiri aja,” kata Dean.       

“Jiah, temeninlah! Daripada bengong gitu, kayak lagi nahan boker aja lu. Ayolah….” Rio menarik Dean.

Sebelum makin dekat dengan meja Rieka, Dean mencoba menghindar. Tapi dia malah menyenggol seorang waiter. Hampir saja isi nampan yang dibawa waiter itu tumpah. Sekali lagi mencoba mundur, dia malah menginjak kaki seseorang. Tahu-tahu Dean sudah terjebak di depan meja Rieka.

Dean merasa wajahnya menghangat ketika Rieka menatapnya. Tatapannya masih sama seperti sewaktu mereka bertemu di angkot kapan itu. Dean langsung ingat bahwa dia berutang sepuluh ribu pada Rieka.

Dean, yang dengan lancarnya berseru “Aku suka kamu, Rieka!” sewaktu dia masih SD, tepat di hadapan cewek itu, kini nyaris menggagap saat mengucapkan, “Met ultah, ya.” Lalu napasnya seakan terjepit di tenggorokan. Persembahan kecil untuk Rieka tersuruk semakin dalam di saku blazer Dean, bukannya berpindah ke tangan cewek itu lalu ke tumpukan kado di dekatnya.

Rieka mengangguk sambil tersenyum tipis. “Makasih.”

Giliran Rio yang mengucapkan selamat dan memberi kado. Sempat-sempatnya ia mengajak Rieka berbasa-basi sementara kepala Dean semakin berat saja, seberat bola boling, dan seperti akan copot menghantam lantai sewaktu-waktu. Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan Rieka akan sengeri apa. Dean berusaha menegakkan badan setegak-tegaknya sambil berharap Rio segera menyudahi omong kosongnya.

Begitu mereka berbalik dan Rio mau mencari meja yang kosong, Dean malah mengarah ke pintu keluar.

“Hei, Yan, mau ke mana lu?”

Suara Rio ditimpa pengumuman nyaring dari arah panggung. Ipong menyampaikan bahwa Bram dan Dean akan menampilkan sebuah persembahan khusus yang dibawakan secara akustik. Ada yang memekik saat nama Deraz disebut.

“Mau boker,” tukas Dean, entah Rio mendengar atau tidak.

.

Toilet di kafe itu letaknya terpencil di pojok taman, tapi bersih, kering, harum, dan terang-benderang. Dean masuk ke salah satu bilik dan duduk di atas tutup kloset. Dia mengeluarkan amunisinya dari saku celana jin, berupa inhaler dan sebotol kecil minyak kayu putih, serta ponsel yang tahu-tahu berbunyi. Dean menerima panggilan yang masuk dan sambil menahan ponsel itu di antara telinga dan bahunya, dia menumpahkan beberapa tetes minyak kayu putih ke atas telapak tangan, mengangkat ujung kaos, dan mengusapkannya ke perut sampai terasa hangat. Setelah memasukkan kembali botol itu ke saku, dia mengusapkan sisa minyak kayu putih di tangannya ke leher.

Terdengar suara Kakek di ujung sambungan. “Kamu katanya mau ke sini? Mau nyobain lagu yang baru itu lagi?”

Dean mengambil ponsel itu dari kepitan telinga dan bahunya. Tangannya yang satu lagi mendekatkan inhaler ke hidung. Dean menghirup inhaler itu dalam-dalam baru menjawab, “Kan Kamis, Kek.”

“Sekarang kan Kamis.”

“Rabu, Kek.”

Terdengar gumaman Kakek, lalu sebentar kemudian, “Iya, ya, Rabu…. Oh, kamu yang katanya mau ke ultah cewek kamu itu, ya.”

Telinga Dean terasa panas. Jangankan “cewek”, menyebut “teman” pun rasanya sungkan. Sedekat apa dia dan Rieka sampai sah disebut “teman”? “Temen sekelas, Kek. Temen sekelas pas SD.” Dean terbatuk-batuk, lalu mengisap inhalernya lagi. “Kemarin kan bilangnya gitu.”

“Di mana?”

“Itu, di kafe, namanya Berry’s Latte.”

“Oh, yang baru buka itu, ya?”

“Eh, Kakek tahu?”

“Kakek kan suka lewat jalan situ kalau habis ambil duit pensiun. Deket atuh itu mah.”

“Hehe, iya, Kek.”

“Ya udah, ya.”

“Iya, Kek.”

Dean memasukkan ponsel ke saku celana jin, lalu sambil sesekali mendekatkan inhaler ke hidungnya, dia melamun saja. Pertama-tama, yang dia pikirkan, Rika, Rika, kamu bener-bener bikin mabuk, meski sekarang, ajaib, mual dan pusingnya entah ke mana, barangkali terusir oleh aromatherapy toilet itu. Kedua, dia ingat bahwa tadi Kang Haqi tidak terlihat. Setelah beberapa lama tanpa pikiran apa-apa lagi, Dean tidak tahan untuk keluar dari bilik. Dia ingin bergabung lagi dengan teman-temannya, sambil berusaha tidak mengacuhkan keberadaan Rieka.

Dengan suntuk, Dean mendorong pintu bilik. Di cermin wastafel dia membuat muka sejelek mungkin, lalu tersenyum lebar-lebar. “It’s okay, lu tetep ganteng,” katanya pada pantulan dirinya di cermin.

Baru saja Dean mau memutar keran wastafel, dia mendengar ada yang bercakap-cakap di balik pintu toilet. Seorang cowok dan seorang cewek. Awalnya Dean berdiri saja di depan wastafel, tapi setelah menyadari bahwa itu suara siapa dan siapa, apalagi karena yang cewek mulai terisak, dia mengendap-endap ke pintu hingga kupingnya menempel di sana.

“Kenapa dia harus mainin lagu yang itu, Pong?” suara yang cewek.

“Dia enggak ada maksud apa-apa sama lagu itu, Ri. Itu cuma lagu kesukaan dia aja,” sahut yang cowok.

“Lo lihat mata dia ke gue. Masih mending kalau dia enggak lihat gue sama sekali.” Rieka tersengguk. Suaranya makin menyayat. “Ngarep apa gue, Pong…”

“Maaf, Ri….”

Terdengar suara langkah sepatu teplek yang menjauh. Setiap tapaknya membuat jantung Dean berdebar semakin kencang. Sesaat dia menunggu, menduga-duga apakah kedua orang itu masih ada. Dia tidak mungkin meringkuk terus di balik pintu toilet. Tapi bagaimana kalau suara langkah tadi bukannya menandakan kepergian mereka? Bagaimana kalau itu langkah kaki orang lain dan keduanya masih ada di situ? Dean membayangkan dirinya nekat keluar dan bertemu dengan wajah sembap Rieka serta rasa bersalah Ipong. Dia akan pura-pura tidak tahu apa-apa, tentu saja. Dia akan menyapa mereka dengan sok santai sambil melangkah pergi. Kalau kondusif, dan ada nyali, cegat Ipong untuk mengorek apa yang telah terjadi. Sip!

Dean membuka pintu toilet dan mendapati Ipong tinggal sendiri. Anak itu sedang bersandar pada dinding sambil menerawang langit.

“Eh! Ngapain lu, Pong? Kayak yang bengong. Entar kesambet lo!” sapa Dean seakan tidak mengetahui kehadiran Ipong sebelumnya.

Tapi Ipong tidak meresponsnya, malah memalingkan muka dengan risi.

“Kenapa?” tegur Dean lagi.

“Bukan apa-apa,” kata Ipong sambil melepas punggungnya dari dinding, ingin segera pergi dari situ.

Tapi Ipong batal berbalik ketika mendengar Dean bertanya, “Kenapa Rika sama lagunya Deraz?”

Ipong malah balik bertanya pada Dean, “Lu tahu enggak, apa yang salah dengan ‘Misread’-nya Kings of Convenience sama ‘Winning Days’-nya The Vines?”

Dean mengingat-ingat kedua lagu itu, tapi tidak yakin pada ingatannya. Dia mengangkat bahu.

Ipong mengembuskan napas dengan lesu, dan berbalik meninggalkan Dean.

.

Dean menyusul Ipong kembali ke ruang utama. Ipong menghampiri meja Rieka. Rieka tidak tampak seperti habis menangis, tapi tidak juga seceria sebelumnya. Ia sedang mengobrol dengan teman-teman yang ada di kanan-kirinya.

Penampilan Bram dan Deraz baru saja usai dan para penonton—khususnya yang anak Smanson—memberi standing applause dengan gaya berlebihan. Keduanya lalu menuju meja tempat Adip dan Yoga, yang sudah lebih dulu makan-makan.

Dean balik badan. Dia baru mau menunaikan niatnya untuk bergabung lagi dengan teman-temannya dan tidak mengacuhkan Rieka—sekalipun sedang berada di kafe milik orang tua cewek itu, di acara ulang tahun cewek itu, dan sangat terasa sekali hawa keberadaan cewek itu menggapai-gapainya.

Tapi ponselnya bunyi lagi. Dean mengangkatnya dan terdengar di ujung sana ada yang bertanya, “Di mana?” Dean mengecek nama penelepon pada layar ponsel dan merasa heran. Itu Kakek.

“Di kafe? Berry’s Latte?”

“Ke sini,” kata Kakek.

“Ke mana, Kek?” Dean memutar-mutar badan, celingukan.

“Di sebelah luar. Kalo dari parkiran, di sebelah kanan.”

Dean keluar dari ruangan itu sambil terus celingukan. Dia mendapati Kakek duduk di salah satu meja di serambi, melambai padanya. Dean pun duduk di kursi yang menghadap Kakek dan menyapa. “Kenapa ke sini, Kek?”

“Pengin tahu aja kafenya gimana.”

“Kakek udah pesen minum?”

“Baru mau. Tapi yang ngelayaninnya belum kelihatan.”

“Entar pake ini aja, Kek.” Dean mengeluarkan kartu undangan dari saku blazernya, dan menjelaskan fungsinya. “Bisa pesen apa aja. Gratis. Tapi cuma berlaku buat malam ini.”

Kakek tampak senang.

Seorang waitress muncul dan memperlihatkan buku menu. Kakek memesan kopi rempah sedangkan Dean milkshake stroberi.

“Kafenya bagus, ya,” kata Kakek, setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mengusap-usap rangka metal di sampingnya, dan mencoba mengintip ke balik kaca.

“Punya mamanya yang ulang tahun, Kek,” terang Dean.       “Oh. Kaya, ya.” Raut Kakek serius.

“Iya.” Dean menanggapi dengan tidak kalah serius.

Pesanan mereka datang. Kakek mengangkat cangkir berisi kopi rempah pesanannya, meniup-niup uap yang melenggak-lenggok pada permukaannya yang hitam, dan menghirupnya sambil bergumam nikmat. Ia menyeruput minuman itu dan meletakkannya kembali di meja. “Enak,” lalu sambungnya setelah beberapa icip lagi, “Enak atuh ya punya cewek kaya mah. Kalau lagi laper tinggal ke sini.”

“Cewek siapa?” Dean mengernyit.

“Cewek kamu.”

Dean tersengal. “Bukan cewek, Kek, eh, dianya mah cewek, tapi bukan pacar saya.”

“Pacar kamu yang mana atuh? Ada juga enggak di sini?”

“Enggak ada.”

“Enggak ada di sini, atau emang enggak ada?”

Dean meringis. “Enggak ada.”

“Oh… berarti kamu teh, apa itu namanya, jomlo atuh, ya?”

Dean menggaruk-garuk lubang telinganya, ingat bahwa Anne dan Ola pernah bilang padanya, “Kalau lu ngarepin dia mulu, bisa-bisa lu jomlo seumur hidup lu.” Perkataan itu terasa melecut, tapi sejak itu Dean sadar bahwa bukan cuma pelajaran-pelajaran di sekolah yang harus dia pelajari, tapi juga cara untuk berhenti mengharapkan seseorang. Dean mendesah. Kalau begitu, dia betul-betul benci belajar.

Kakek tampak sibuk mengintip lagi ruang utama lewat kaca, jadi Dean merasa tidak apa-apa tidak menanggapi ucapan tadi.

Dean terpikir untuk mengalihkan pembicaraan saja. “Toiletnya juga bagus lo, Kek, bersih, wangi, kering,” ujarnya, dan tiba-tiba saja terdengar di dalam dirinya, lebih kering dari hati saya. Saking keringnya sampai-sampai mudah terkelupas, dan akibatnya terasa perih, malah kadang sampai berdarah. Dean tidak meneruskan ucapannya. Dia menopang kepalanya dengan tangan, dan menunduk sambil memandangi gelas milkshake. Cairan kental merah muda di dalam gelas itu perlahan-lahan tertutup oleh buih-buih putih. Anjir, kenapa jadi mellow gini?

“Itu panggungnya kenapa kosong?” tanya Kakek.

“Pemain band-nya lagi pada istirahat dulu, Kek,” ujar Dean.

Kelihatannya Kakek merasa sayang instrumen-instrumen di panggung dibiarkan menganggur. Ia menengok lagi lewat kaca. “Kakek pengin ngasih kado buat yang ulang tahun.”

Dean jadi geli. “Kakek emang kenal?” Tadinya dia mau menyambung dengan, Saya aja yang kenal dari lama mau ngasih kado enggak jadi, tapi ditahan saja di mulutnya.

“Enggak. Tapi makasih aja gitu, udah ditraktir kopi.”

“Kenapa bukan ke saya? Kan pesen minumnya juga pakai kartu saya, Kek.”

“Kamu udah makasih belum sama yang ngasih kartu?”

“Gampang itu mah atuh, Kek!” Dean akan menyampaikannya nanti, di dalam hati.

“Yuk!” Tahu-tahu Kakek berdiri.

“Ke mana?”

“Mau izin sama yang punya panggung, kita mau ngisi mumpung lagi kosong. Pasti bolehlah. Toh kita enggak minta tip ini juga kan.”

Dean tercengang. “Kita?” ulangnya sambil menyusul Kakek menuju ruang utama. “Ngapain sih, Kek?” Kakeknya orang pula! Zahraaa… kakek kamu, atuh euy!

“Ya buat yang ulang tahun lah. Lagian kan kita udah latihan terus belakangan ini. Kita buktikan kalau latihan kita selama ini enggak sia-sia. Ini kesempatan, Yan. Kamu belum pede juga?”

“Bukan gitu, Kek!”

Tapi Dean tidak terpikir alasan apa pun untuk menahan Kakek. Kalaupun ada, dia segan mengatakannya. Sekali lagi, ini kakeknya orang, duh! Dean tidak bisa membayangkan kakeknya sendiri yang begitu. Langkah Kakek, yang diikuti langkahnya, semakin dekat saja ke panggung. Orang-orang tampaknya tidak begitu memerhatikan mereka.

Sesampainya di dekat panggung, Kakek jadi bingung. “Ke mana, ya, kita bilangnya?” Ia malah menghampiri amplifier dan perangkat suara lain, mengamat-amatinya, dan langsung saja menapaki panggung yang terbuat dari parket itu.

Langkah Dean terhenti tepat di pinggir panggung. Dia merasa seperti sedang berada di pinggir jurang, sementara di belakangnya berbondong-bondong orang biadab mendekat, dan semakin dekat. Dia sadar bahwa beberapa orang mulai menatap mereka.

Di panggung Kakek mengecek satu per satu instrumen yang ada, mulai dari gitar, bas, kibor, sampai drum. Semakin banyak saja orang yang curi-curi pandang ke arah mereka. Kakek menduduki salah satu bangku, mengambil gitar dan memangkunya, lalu mencoba-cobanya sekalian menyuruh Dean untuk mengutak-atik perangkat suara. Dengan perasaan dingin merinding yang menyelimuti sekujur badan, Dean mencoba-coba tuas dan tombol hingga suara petikan Kakek pada gitar terdengar nyaring dan Kakek berkata, “Cukup, cukup.” Kali ini Kakek benar-benar jadi pusat perhatian.

Dean merasa masih bisa sedikit bersyukur karena sosoknya terhalang oleh kotak-kotak pengeras suara. Dia sudah mau ambil langkah seribu ketika Kakek, dengan gerakan leher, menyuruhnya naik ke panggung. Jadilah cuma jantung Dean yang ambil langkah seribu, tapi tidak ke mana-mana karena terkurung di dalam badan. Dean menatap Kakek dengan pandangan memelas. Tapi gerakan leher Kakek, dan ekspresi wajahnya, semakin tegas.

Dean mengambil napas dalam-dalam. Dia ingin merogoh inhalernya dulu, dan bernapas lagi dengan bantuan alat itu, tapi mendadak merasa malu kalau dilihat orang. Dengan gamang dia melangkah ke panggung dan berdiri di balik kibor, sambil menjaga pandangannya supaya tetap pada Kakek. Kalau dia menoleh sedikit saja, akan terlihat olehnya tatapan orang-orang padanya dan bisa-bisa makin parah saja groginya. Apalagi kalau yang menatapnya itu Rieka… alamakjang! Padahal Dean tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, kapan pun dia disuruh maju ke muka kelas, entah itu karena disetrap atau diminta mempresentasikan materi yang sama sekali tidak dia kuasai.

Kakek menggeser bangku, gitar, sekalian mikrofon agak ke pinggir supaya dekat dengan Dean dan kibor. Ia menyalakan mikrofon dan berkata dengan suara dibikin berat dan kuat, “Kami akan membawakan beberapa…” beberapa! Dean terperenyak dalam hati, “…lagu. Semuanya kami persembahkan kepada yang berulang tahun hari ini di ruangan ini, dan, terutama, untuk kami sendiri, Johan and,” Kakek melirik Dean yang sudah seperti mayat, “The Shy Pianist.”

Kata-kata Kakek disambut keheningan meski hampir semua mata terpaku ke arahnya. Memang ada beberapa yang tampaknya tidak menganggap itu serius, dan lanjut saja makan, minum, mengobrol. Tapi bagi Dean semuanya kabur. Dia baru sadar ketika Kakek mendesis padanya supaya menoleh, dan mendekatkan kepala. Kakek membisiki Dean lagu apa saja yang akan mereka bawakan, yaitu lagu-lagu yang telah mereka ulik selama itu.

Dean terlalu tegang untuk mengangguk. Jari-jarinya bergerak tidak tentu arah di atas kibor. Ini kibor yang berbeda dari yang ada di paviliun Kakek, juga di SMP-nya dulu. Tombol-tombolnya lebih banyak, sepertinya. Ludahnya terasa semakin sulit ditelan, mungkin karena sudah mengering, atau ada ganjal di kerongkongannya. Dean membaca sekali lagi tulisan pada tombol-tombol itu dan meyakinkan diri bahwa fungsinya sama saja dengan yang ada pada kibor mana pun, dan dia bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Lagi pula, biasanya juga dia cuma main piano! Dia bisa saja tidak menggunakan tombol-tombol lainnya, kalau tidak mau. Cuma piano. Apa tadi kata Kakek? The Shy Pianist. Dean menyalakan kibor itu, menyetel tombol tertentu, mengecek suaranya, dan mendapat kekuatan untuk mengangguk pada Kakek.

Mereka mulai bermain. Sebagian orang yang tadinya heran dan takjub akan kehadiran mereka mulai mengalihkan perhatian dan kembali makan, minum, mengobrol. Dengan instrumen yang terbatas, duo di panggung itu memainkan lagu tanpa lirik yang bagi kebanyakan pendengar mungkin tidak menarik. Bukan lagu yang sering diputar di radio pula. Barangkali cuma pendengar musik sejati tanpa teman ngobrol yang mau meluangkan kupingnya untuk mengindahkan lagu itu betul-betul.

Dean berusaha keras tidak melihat penontonnya. Meski kalau ternyata memang tidak ada yang menonton, dia akan merasa sedih sedikit. Dean cuma melirik Kakek sesekali, melihat caranya bermain, dan menyesuaikan.

Gaya Kakek, seperti biasanya, sangat santai. Ia seakan sedang asyik merenung sendiri, sambil menggoyang-goyangkan badan seakan musik itu benar-benar masuk ke dalam dirinya, atau, lebih tepatnya, keluar dari dalam dirinya melalui gitar yang ia mainkan dan masuk lagi ke dalam dirinya, seperti sebuah siklus, terus-menerus berputar, dan dengan begitu menjadi hidup… sampai beberapa menit kemudian.

Dua lagu pertama yang mereka bawakan bertempo lambat. Lagu-lagu itu sebetulnya bisa saja lebih menarik, sekiranya yang mendengarkan adalah pasangan-pasangan paruh baya atau lansia, yang sedang duduk bersama-sama di ruang makan sebesar ruang utama kafe ini, misalnya, dan mereka akan berdiri sepasang-sepasang, maju ke depan panggung dan menari cha-cha-cha.

Lagu berikutnya bertempo agak cepat. Kakek menambahkan senandung atau gumaman. Dean jadi bersemangat dan mulai menikmati, tidak lagi memikirkan reaksi orang-orang yang menonton .Apalagi ketika tiba bagian Dean bermain solo dan petikan gitar Kakek menimpalinya. Kedengarannya seakan kedua instrumen itu sedang bersahut-sahutan. Sempat tertangkap oleh Dean ada yang tersenyum geli pada mereka. Dia mulai berani memandang yang lain-lain— meski belum sampai mengarah ke meja Rieka—dan merasa nyaman. Main kayak biasanya aja di rumah, pikirnya.

Usai lagu itu, dan masih belum ada reaksi dari para penonton selain memandang sesekali, dan selama itu juga mereka mesti sambil menandingi suara obrolan yang sewaktu-waktu meninggi, Kakek berkata pada Dean, “Ini terakhir. ‘Ritmica’.”

Dean mengangguk. Setelah suara obrolan merendah, dia memulai lagu itu. Kakek mengisi suara bas. Dentumannya terdengar santai sementara nada yang Dean mainkan naik-turun beraturan. Jari-jarinya berloncatan di atas tuts dengan cekatan. Pada bagian selanjutnya tempo melambat. Permainan Dean menjadi lebih santai. Dia tidak bisa berhenti tersenyum. Jari-jarinya terasa melangkah lebih ringan—bukan—dia merasa dirinyalah yang sedang berjalan dengan langkah-langkah besar yang ringan, seperti melompat. Dia merasa ingin menggandeng tangan seseorang, mengajaknya melompat bersama-sama. Di atasnya bukan lagi langit-langit dengan lampu yang menyorot dengan nuansa oranye, tapi langit luas yang seakan tanpa batas dan cerahnya bukan buatan, dan lagu itu melambungkannya ke sana setinggi yang dia bisa. Lalu dia kembali pada nada yang naik-turun beraturan, seperti langkah si boneka marionette yang selalu tersenyum dan menghibur setiap orang yang ia temui, diiringi Kakek dan dentuman ritmisnya. Lalu kembali dia melambung-lambung ke langit, perasaan yang timbul akibat langkah-langkah besar dan ringan. Lagu itu pun berakhir dengan jari-jari Dean mendarat di beberapa tuts sekaligus dan tidak beranjak lagi.

Terdengar tepuk tangan dari sisi kiri ruangan. Itu Deraz yang berdiri dengan senyum lebar dan berteriak, “Encore!”

Kakek menjulurkan leher dan menyipitkan mata. Baru pertama kali itu ia melihat kembaran Dean, yang badannya tegap, kulitnya agak gelap, dan rambutnya cepak kecokelatan. Di mata Kakek, dibandingkan dengan kembarannya itu, Dean jadi terlihat seperti pipa paralon pakai wig. Dean tidak pernah cerita bahwa dia punya kembaran. Kakek berpaling pada Dean sambil bermuka bingung. “Encok?”

Encore, Kek. Maksudnya, kita disuruh main lagi.”

Tepuk tangan lain mulai bermunculan satu demi satu. Ada juga yang bersuit. Tidak begitu ramai, tapi mereka tidak begitu peduli juga karena sedang sibuk diskusi.

“Ya udah, kalau gitu sekali lagi. Lagunya harus sama?”

“Lagu lain aja,” kata Dean.

“Tapi itu udah semua lagu yang kita latih.”

Dean ingat pada lagu yang dia bawakan sewaktu pertama kali main di depan Kakek. Tapi Kakek tidak ingat. Yang Kakek ingat cuma waktu itu Kang Lutung menepuk-nepukkan tangannya untuk mengiringi.

“Oke deh. Kamu main aja sesuka kamu. Selebihnya, serahkan sama Kakek.”

Dean mengangguk, kali ini dengan mantap.

Dean pun mulai memainkan irama pada kibor, dan, sebentar kemudian, menambahkan nada-nada panjang. Kakek menyusul dengan melodi yang timbul-tenggelam, bergantian dengan nada yang Dean mainkan, dan kadang saling menjalin. Petikan gitar Kakek terdengar lebih menonjol sedangkan Dean seakan cuma mengiringi. Tapi sebetulnya Kakek mengikuti Dean saja. Ketika ada “tanda-tanda” bahwa irama akan berubah, atau malah menghilang, dengan segera Kakek mengisinya. Itu butuh intuisi dan kewaspadaan yang tinggi, tapi ketika sudah melewatinya, permainannya kembali santai. Apalagi ketika Kakek menambahkan entakan kaki. Dean dan Kakek bergoyang kompak mengikuti irama, saling melirik, dan menahan tawa. Kakek sempat melihat kembaran Dean yang sudah duduk lagi mendengarkan permainan mereka sambil mengangguk-angguk.

Sekali lagi Dean mengakhiri lagu dengan mendaratkan jari-jarinya bersamaan pada papan tuts dan tidak ke mana-mana lagi.

Kali ini tepukan tangan yang muncul lebih padu. Dean dan Kakek berdiri, mengangguk pada pemirsa, dan menuruni panggung itu dengan jantung berdebar keras dan bibir tersenyum puas. Selagi melewati mata demi mata yang mengikuti kepergian mereka, Kakek mengangkat sebelah tangannya dan Dean yang melihat itu segera menyambutnya dengan tos.

.

Penampilan Dean dan Kakek di acara ulang tahun Rieka menuai banyak pertanyaan. Khususnya untuk Dean, ketika dia di sekolah keesokan harinya. Pertanyaan-pertanyaan itu biasanya berkisar antara Itu kamu main sama siapa—kakek kamu? dan Kalian mainin lagu apa sih? yang cuma dijawab Dean dengan, “Tanda tangannya nanti aja, ya,” atau “Hubungi manajer saya aja, ya.” Tapi itu memang ampuh untuk membungkam mulut-mulut itu supaya tidak terus tanya-tanya.

Meski begitu, Dean sama sekali tidak membayangkan bahwa pada jam istirahat hari itu, di kantin yang ramai, dia akan berpapasan dengan Rieka. Mereka saling bertatapan. Rieka tersenyum pada Dean, dan berlalu.

Sesaat Dean bengong saja, sambil terus berjalan ke bangku tempatnya duduk semula, dan terbang. Seperti ada dua pasang tangan malaikat yang mengangkatnya. Malaikat berwujud bayi, bersayap, dan cuma pakai popok. Kupu-kupu yang tidak terhingga banyaknya mengiringi mereka. Dean diturunkan tepat di bangku tujuannya. Begitu terduduk, dia sadar bahwa bunga-bunga semerbak yang dia lihat sepanjang jalan barusan adalah kepala orang-orang—para pengisi kantin—yang belum tentu sudah keramas pagi itu.

Di kelas, sepanjang sisa pelajaran, Dean bukannya mendengarkan guru yang sedang menerangkan apalah, tapi dentuman bas yang pelan dan lembut, diiringi tabuhan perkusi bagai gemericik hujan syahdu, dan muncullah melodi yang mengalun indah dari sebuah piano, lantas disusul siulan flute yang merdu. Dia tersenyum terus. Meski matanya terarah pada guru, dan yang dipandang pun menganggap tumben-tumbenan Dean anteng, dan malah membalas senyumnya, tapi yang dia lihat sebetulnya bayangan di dalam kepalanya. Bayangan yang bisa kamu isi dengan diri kamu, orang yang kamu suka, dan tempat yang paling kamu ingin kunjungi berdua saja bersama dirinya—lengkap dengan kupu-kupu, bayi terbang berpopok, dan bonus segelas air sabun beserta alat peniupnya untuk bikin gelembung kecil-kecil.

.

Sepulang sekolah Dean sudah tidak sabar untuk menyampaikan musik barunya itu kepada dunia, lewat apa lagi selain kibor di paviliun Kakek? Musik yang menggambarkan pertemuan singkatnya dengan Rieka pada jam istirahat hari itu, di kantin yang ramainya tidak terasa, sebab yang terperhatikan oleh Dean waktu itu cuma senyum cewek itu. Senyum yang tipis saja tapi efeknya seperti obat panu dosis tinggi, sekali oles musnahlah jamur-jamur yang menganggu.

Dean mengatakannya pada Kakek. “Pengin bikin lagu.”

“Lo, bukannya tiap hari kamu udah bikin lagu?”

“Iya gitu, Kek?”

Kakek mengernyit. “Lagu terakhir yang kamu mainin di acara kemarin itu bukannya kamu ngarang sendiri?”

Dean tersenyum semakin lebar, dan termenung. Jadi selama ini dia sudah suka bikin lagu. Tapi dia tidak pernah menghafal lagu-lagunya itu, apalagi mencatatnya dalam huruf taoge dan memberinya judul. Lagu-lagu itu timbul tenggelam begitu saja ketika dia bermain. Yang baru dan yang lama silih berganti, bercampur aduk.

Sementara itu tampaknya Kakek masih larut dalam euforia pertunjukan kemarin. “Dari dulu, pas masih seumuran Dean, Kakek pengin bisa tampil di panggung, main musik rok. Enggak tahunya, baru kesampaian berpuluh-puluh tahun kemudian. Penontonnya, ya, rata-rata seumuran Kakek waktu itu, tapi Kakeknya sendiri udah enggak keumuran. Musiknya juga, malah enggak ada rok-roknya sama sekali,” ucap Kakek sambil bersidekap dan menatap langit-langit. Lalu matanya beralih pada Dean. “Kamu juga, Dean. Kemarin kamu grogi banget. Emang baru sekali itu kami tampil di depan umum? Kakek kira kamu orangnya enggak gitu. Atau jangan-jangan, di antara yang nonton itu, ada cewek pujaan kamu?”

“Kakek mah ngajak ngomongin cewek mulu,” tukas Dean tapi sambil cengengesan.

Kakek menarik kepalanya dengan tatapan menyelidik. Tapi untunglah ia tidak mengorek lebih lanjut soal cewek. Ia malah bertanya. “Dean, kamu enggak tertarik bikin grup musik?”

“Sama Kakek?

“Yaa… enggak mesti sama Kakek. Sama temen-temen sebaya kamulah, misalnya. Atau sama kembaran kamu… bisa main musik juga?”

“Bisa. Sukanya gitar dia mah. Tapi enggak ah.”

“Kenapa?”

“Beda gaya.”

Kakek mengangguk-angguk sambil tersenyum geli, diam-diam menyetujui.

Tanya Dean lagi, “Apa kemarin teh, Kek, Johan and The Shy Pianist? Kenapa namanya gitu?”

Kakek mengerutkan dahi. “Kenapa, ya…. Kakek kalo baca koran, artikel-artikel tentang musik gitu, sering lihat aja, grup-grup anak muda jaman sekarang yang namanya mirip-mirip. White Shoes and The Couples Company. Zeke and The Popo. Macam-macamlah….“ Lalu, ujarnya lagi, “Tapi bener, baru sekali itu kamu tampil di depan umum? Kayaknya kamu pernah bilang deh kalau kamu enggak pernah ikut lomba-lomba.”

“Enggak.”

“Kenapa?” Kakek mencondongkan badannya pada Dean.

“Males, Kek. Kalau gitu mah belajar pianonya harus serius.”

Dean pernah membaca di majalah bahwa pianis profesional mesti berlatih 10-12 jam sehari. Dean mana tahan. Kapan mainnya?! Untung dulu dia tidak jadi meneruskan belajar piano. Keputusan itu memang paling tepat buat dirinya.

“Kamu enggak mau serius?”

“Hobi aja.”

Kakek menyandarkan kembali badannya pada sofa sambil terkekeh-kekeh. “Sayang atuh, Dean. Menurut Kakek mah, kamu bisa lebih dari sekadar hobi.” Kakek terdiam sejenak, lalu, “Atau, orang tua kamu enggak ngeijinin? Sering kan gitu. Anaknya semangat main musik, nge-band, tapi orang tua enggak ngedukung. Prospeknya kecil jadi musisi mah, dulu almarhum temen Kakek itu dibilangin gitu juga sama orang tuanya. Penghasilannya enggak jelas. Ada pasang surutnya. Kalau sukses, ya, syukur, banyak kepake, banyak rejekinya, banyak penggemarnya, sampai jadi legenda. Tapi kalau enggak, terkenalnya sebentar aja, setelahnya harus cari sumber penghasilan yang lain. Kakek juga pernah mikir gitu, selain karena emang enggak cukup modalnya. Makanya jadi pegawai kantoran aja, gajinya teratur tiap bulan, hehehe. Tapi, kalau kayak Dean, misalkan, ada bakat, ada modalnya, orang tua ngedukung, lingkungannya juga, ya siapa tahu kesempatan buat suksesnya teh lebih gede.”

Dean terdiam. Dia ingat bahwa dulu guru lesnya pernah menyampaikan hal yang sama pada Bunda, apakah dirinya mau diarahkan betul-betul supaya kelak bisa menjadi pianis profesional. Bunda menyinggungnya pada Ayah.

Ayah bilang, Dean maunya gimana?

Dean bilang, Enggak mau, Pak Al mah suka nempeleng.

Ayah dan Bunda langsung memandang Dean dengan serius.

Lanjut Dean, Kepala Dean suka dipegang-pegang. Jangan meleng, jangan meleng, gitu katanya.

Kata Ayah sambil terkekeh, Ah, itu mah kamunya aja, udah enggak sabar pengin cepet-cepet pulang. Pasti dikit-dikit Dean lihat jam, lihat jendela, iya kan?

Kata Dean lagi, Mau sama Bu Santi lagi aja. Bu Santi mah cantik, baik lagi. Pak Al mah udah tua, suka marah-marah aja.

Guru Dean sebelumnya bernama Bu Santi. Karena kemudian Bu Santi ikut suaminya yang kerja di Adelaide, Dean dialihkan pada ayahnya yang juga guru piano, yang disebut sebagai Pak Al itu. Pak Al teman Oma buyut dan dulu pernah mengajar piano pada Bunda. Pak Al bilang pada Bunda, Kamu emang enggak ada bakat sama kemauan, tapi anak kamu bisa kalau mau diseriusin.

Tapi Bunda malah khawatir. Di sekolah aja keteteran belajarnya. Apalagi kalau tambah piano. Kalau di sekolah enggak ada masalah mah, ya mending. Lalu Bunda bertanya pada Dean, Dean mau terus sama Pak Al?

Enggak ah, jawab Dean.

Mau diterusin pianonya?Cari guru lain?

Enggak ah. Maunya Tamiya.

Eh!

Maka, dengan alasan ingin fokus pada pelajaran di sekolah, Bunda bilang pada Pak Al bahwa Dean berhenti dari les piano. Meski setelahnya Dean masih saja susah fokus pada pelajaran di sekolah dan tetap main piano. Malah sepertinya Dean lebih suka main sendiri, tanpa harus melihat partitur dan tanpa ada yang mengatur.

Tapi sekarang, setelah menampilkan musiknya di depan Rieka pada acara ulang tahun cewek itu, Dean sadar bahwa hobinya itu bisa menjadi lebih dari sekadar kesenangan sendiri. Lagi pula, demi apa Rieka tersenyum padanya ketika jam istirahat tadi? Rieka tidak pernah seperti itu sebelumnya. Dean bisa menghitung dengan jari sebelah tangan momen-momen Rieka tersenyum padanya selama sekian tahun perkenalan mereka, dan tidak ada satu pun yang terasa benar-benar tulus, kecuali yang tadi itu!

“Emang kamu sebenernya cita-citanya apa sih?” tanya Kakek.

Dean terdiam lagi, lalu menggeleng. “Belum kepikiran, Kek.”

Kakek terkekeh-kekeh. “Enggak apa-apa. Si Imin juga pas Kakek tanya waktu dia masih kelas satu SMA, bingung, mau jadi apa. Lagi seneng-senengnya belajar di ekskulnya itu, apa ya waktu itu, dia tuh… mecahin batu kali, mecahin awan, mentalin orang… gayanya udah kayak pendekar aja. Tapi sekarang sih dia bilangnya mau ke Elektro ITB.”

“Iya, Kek, mungkin saya juga baru kepikirannya entar, pas udah mau SPMB, hehehe.”

“Hahaha…. Yah…. Atau enggak, hobi kamu itu bisa dijadiin sampingan. Lumayanlah. Kamu enggak mesti jadi musisi serius kalo enggak pengin mah. Tapi sayanglah, menurut Kakek mah, kalau kamu ada kemampuan teh enggak ditunjukkin ke orang-orang. Jangan asyik sendiri aja, gitu. Siapa tahu, itu juga bisa buka jalan kamu ke depannya. Kadang kemampuan sampingan bisa ngedukung pekerjaan kamu yang satunya.”

“Iya, Kek.” Dean mengangguk-angguk. Ya, dia bisa mengembangkan kemampuannya lebih dari yang kemarin. Dia akan membuat lagu lain untuk Rieka, lebih banyak lagu, dan membawakannya lagi di depan cewek itu… entah kapan. Tapi dia akan mempersiapkannya dari sekarang hingga datangnya kesempatan itu. Dia juga akan mempersembahkan kado mungil yang kemarin tidak jadi diberikan itu, dan memakaikannya sendiri di leher Rieka.



[1] Relish, “You I’m Thinking Of” (2001)

[2] Radiohead, “Creep” (1992)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain