Seperti yang
diperkirakan, diharapkan, dan diajarkan dalam buku pelajaran Kewarganegaraan,
gotong royong itu membawa kemaslahatan bersama. UTS berlangsung dengan relatif
gemilang, setidaknya bagi kelas X-7 dan partnernya—kelas XI IPA 7. Kakak dan
adik kelas bahu-membahu membantu sama lain mendapatkan jawaban yang
sebenar-benarnya dengan cara apa pun.
Tidak terkecuali Dean.
Dia mendapat tugas khusus menyemumi pengawas untuk mengalihkan perhatian.
Apalagi kalau pengawas itu memang sudah dia akrabi sebelumnya dan mudah diajak
bercanda. Kalau perlu, dengan senyumnya itu dia menggiring pengawas ke dekat
bangkunya yang terletak di pojok lalu menahan mereka dengan tegur-teguran
singkat dan pastinya lirih—supaya tidak menganggu siswa lain. Tentu saja
pengawas tidak mungkin berada di dekatnya sepanjang waktu UTS. Ketika pengawas
tidak berada di dekatnya itulah Dean mendapatkan bagiannya.
Memang kadang
distribusi jawaban tidak lancar. Misalnya, ketatnya pengawasan tidak
memungkinkan jawaban itu untuk dioper dan tahu-tahu waktu mengerjakan soal
sudah habis. Atau soal yang diberikan terlalu sulit untuk dipecahkan bahkan
oleh kaisar semut sekalipun.
Meski akibatnya
remedial membayang di depan mata, tapi semut-semut itu tidak khawatir sedikit
pun. Sebabnya, ketika remedial, pengawasan biasanya lebih longgar karena cuma
dilakukan oleh guru pelajaran yang bersangkutan. Kadang guru itu cuma
membagikan soal lalu meninggalkan mereka begitu saja sampai waktu mengerjakan
habis. Gotong-royong jadi lebih mudah dilakukan, bahkan secara terang-terangan.
Maka setelah rapor UTS
dibagikan, Dean bisa melihat Bunda tersenyum padanya, dan bukannya cemberut
seperti sebelum-sebelumnya.
“Lumayan,” kata Bunda.
Meski masih ada beberapa nilai Dean yang besarnya di bawah rata-rata kelas,
tapi semuanya memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Setidaknya ada sedikit
peningkatan.
Kebahagiaan Bunda
menular pada Dean, sampai dia lupa menanyakan Baby. Bunda sudah keburu dinas
berhari-hari ke Korea Selatan, tidak lama setelah hari pembagian rapor UTS.
Lagian, kan sudah ada
si kibor cantik dari paviliun Kakek!
Bunda pulang dari
negeri ginseng dengan membawa banyak oleh-oleh. Bukan cuma untuk keluarga dan
koleganya, tapi teman Dean juga kebagian. Oleh-oleh yang telah Bunda siapkan
itu berupa tas dengan motif yang khas dan aksesori tambahan, pantas sekali
untuk dibawa jalan-jalan ke mal. Dean saja kagum, dan berpikir kalau dia cewek
dia mungkin bakal memohon pada Bunda supaya tas itu buat dirinya saja. Bunda
mewadahi tas itu dengan tas karton yang cantik dan menitipkannya pada Dean
untuk diberikan pada Zahra.
“Zahra?”
Padahal Dean sudah
berharap tas itu akan diberikan pada Tante Ice—mamanya Rieka. Jadi dia punya
alasan untuk mendekati Rieka, yaitu dengan menitipkan tas dari Bunda untuk mama
cewek itu.
“Zahra kan namanya?
Itu… yang kapan telepon-teleponan sama Bunda. Yang katanya Dean mau bimbel sama
dia aja.”
“Oh….”
“Sama tolong bilangin
terima kasih, ya, dari Bunda, udah bantuin Dean belajar.”
“Oke.” Dean
manggut-manggut sambil menerima pemberian itu. “Tante Ice enggak, Bun?”
“Tante Ice?” Bunda
mengerutkan dahi.
“Mamanya Rika… yang
kemarin ulang tahun di kafe itu, yang Bunda nganterin, temen Dean dari SD.”
“Duh, ya, enggak
kepikiran. Bunda kan udah lama enggak kontak sama mamanya Rika.”
“Oleh-olehnya enggak
ada lagi, Bun?” Dean melongok ke arah belanjaan Bunda selama dinas yang sudah
ditata rapi di dekat meja rias.
“Ini udah dipas-pasin
buat yang lain. Buat Dean bukannya udah ada, tadi? Masih kurang?”
Dean menyengir.
.
Dean memutuskan untuk
menyerahkan oleh-oleh dari Bunda itu di rumah Zahra, sekalian ke paviliun Kakek
untuk nge-jam seperti biasanya. Maka
sepulang sekolah hari itu Dean menyusul Zahra ke rumahnya.
Zahra terheran-heran
ketika Dean menyodorkan benda itu.
“Ini ambil aja, Zahrooo…”
Dean mengulangi perkataannya. “Ibu saya baru pulang dari Korsel. Ini oleh-oleh
buat kamu.”
Dengan ragu Zahra
menerima pemberian itu. “Makasih.”
“Sama kata ibu saya,
makasih.”
“Kok ibu kamu yang
makasih?”
“Iya, katanya, makasih
udah bantuin Dean belajar,” lanjut Dean sambil memamerkan lesung pipinya.
“Hihi, ibu saya seneng gitu rapor UTS saya jadi bagus.”
Zahra terdiam, lalu
ujarnya sambil merengut, “Belajar apa?”
“Belajar
macem-macemlah. Kan kamu suka bantuin saya ngerjain PR, belajar buat ulangan….”
“Enggak.”
“Iya, tahu. Kita
bukannya suka belajar bareng di sini?”
“Awal-awalnya doang
gitu. Terus kan kamu ngacir aja ke tempat Kakek.”
“Yaa….” Dean malas berdebat
lebih lanjut. “Ya udah.”
“Kamu juga belajarnya
enggak bener-bener. Tetep aja kamu mah ujung-ujungnya nyalin PR saya. Cuma
enggak pas pagi-pagi di sekolah kayak biasanya, tapi pas hari sebelumnya di
rumah saya.”
“Tapi kan saya sambil
lihat cara ngerjainnya, jadi ngertilah dikit-dikit mah….”
“Boro-boro UTS. Saya
kan enggak bantuin kamu sama sekali. Rapor kamu bisa bagus gitu mungkin
gara-gara dibantuin sama temen-temen lain pas ulangan?”
Zahra bukannya tidak
tahu bahwa sebagian teman sekelasnya suka bekerja sama, bukan cuma ketika UTS
tapi juga pada ulangan-ulangan biasa. Ia tidak sekadar mendengar itu dari
bisik-bisik beberapa orang teman sekelas, tapi juga menyaksikannya sendiri.
Ketika UTS, Zahra kebagian tempat duduk di pojok belakang sehingga bisa melihat
ulah teman-temannya dengan leluasa. Kadang Zahra merasa gemas karena ada
pengawas yang sepertinya membiarkan mereka, tapi ia bingung mesti berbuat apa.
Meski keduanya tidak sekelas sewaktu UTS, Zahra yakin bahwa Dean termasuk
anak-anak yang seperti itu—mengingat kelakuannya selama ini.
Zahra menyodorkan
kembali pemberian Dean. “Ibu kamu ngasih ini ke saya karena ibu kamu pikir saya
bantuin kamu belajar, padahal enggak.”
“Ya udah, terima aja atuh,” kata Dean. “Anggap aja oleh-oleh
biasa.”
Zahra menggeleng. Ia
terus mengulurkan tangannnya, yang memegang tali pada tas karton cantik itu. Tapi
Dean mendorongnya lagi. Setelah beberapa kali saling mendorong, Zahra
meletakkan benda itu begitu saja di lantai, di antara kaki mereka.
“Eh, Zahra, jangan gitu
atuh!” tegur Dean. “Kamu kan bukannya
enggak pernah bantuin saya sama sekali.”
“Tapi kamu suka nyalin
PR saya! Saya enggak mau bantuin orang caranya kayak gitu!” Zahra hampir
berteriak, sampai-sampai Dean kehabisan kata-kata. “Kalau gitu, temen-temen
kamu yang bantuin kamu pas ulangan yang lebih berhak dapet hadiah.”
Dean terperangah. Mana
mungkin! Mereka ada banyak sedangkan oleh-oleh itu cuma satu—bagus pula! Kenapa
Zahra tidak mau menerimanya cuma karena soal itu?
Tahu-tahu Zahra
membalikkan badan dan turun ke lantai bawah. Dean langsung mengambil wadah tas
itu dan menyusul Zahra. Hampir saja ia ikut masuk ke kamar Zahra, tapi cewek
itu keburu membanting pintu dan menguncinya.
“Zahra, jangan ngambek atuh…” pinta Dean dari balik pintu. “Ibu
saya aja enggak pernah banting-banting pintu pas lagi marah. Kasihan pintunya,
entar rusak….”
Tidak ada jawaban.
“Zahra…” panggil Dean
lagi, berkali-kali, dengan intonasi yang berbeda-beda.
Dean menyandar pasrah
pada pintu kamar Zahra. Punggungnya melorot. Dia berjongkok sambil
mendendangkan lagu yang sering dinyanyikan Ayah. “My body lies over the ocean… My body lies over the sea…. So bring back,
my body to me….[1]” Dean lalu
berdiri lagi dan mengetuk pintu kamar Zahra dengan hati-hati. “Zahra, jangan
bobo kalau sore-sore. Entar bangun-bangun jadi bego, lo.”
Masih tidak ada
jawaban.
Dean memanggil-manggil
Zahra terus sampai tahu-tahu muncul mama cewek itu di belakangnya. Mama Zahra
baru pulang kerja, masih berseragam safari dan berjilbab. Dean langsung
menyalami Mama Zahra dengan salah tingkah. “Udah pulang, Tante….”
“Kenapa Zahra?” tanya
Mama Zahra.
“Enggak tahu, Tante.
Tahu-tahu masuk kamar, enggak mau keluar,” ujar Dean.
“Zahra, ada temennya
nyariin, kok malah ngumpet di kamar sih? Zahra, buka pintunya….” Ganti Mama
Zahra yang terus mengetuki pintu kamar anaknya.
Dean jadi merasa tidak
enak. Dia lalu menyerahkan pemberian Bunda pada Mama Zahra. “Tante, kalau
boleh, saya mau nitip oleh-oleh dari ibu saya buat Zahra. Kata ibu saya, terima
kasih buat Zahra karena udah mau bantuin saya belajar.”
“Oh….” Mama Zahra
menerima pemberian itu dan mengintip ke dalam wadah. “Makasih atuh, ya.” Mama Zahra jadi ikut-ikutan
merasa tidak enak. “Nanti kalau udah keluar kamar, Tante kasihin.”
Dean mengangguk. “Iya,
Tante, makasih. Itu aja, kayaknya. Saya sekalian mau pamit.”
“Oh…. Mau ke tempat
Kakek?”
“Iya.” Dean menyengir.
.
Keesokan harinya,
ketika kembali dari kantin pada jam istirahat, Dean mendapati oleh-oleh dari
Bunda di sisi bagian dalam bangkunya, lengkap dengan tas karton cantik yang
jadi wadahnya itu. Dean memandang Zahra yang sedang duduk memunggunginya,
sendirian di bangku paling ujung kiri di deretan depan. Dia membawa oleh-oleh
itu bersamanya menghampiri Zahra, dan meletakkannya di meja cewek itu. Zahra
mengangkat muka dari buku pelajaran yang sedang ia baca.
“Kenapa dibalikin?”
tanya Dean.
Zahra tidak menjawab.
Ia menunduk lagi memandangi buku pelajarannya.
“Kalau ditanya teh, jawab atuh….” Dean berusaha bicara dengan sehalus mungkin, berharap Zahra
akhirnya mau memerhatikannya. Tapi cewek itu tetap tidak acuh. Lanjut Dean,
masih dengan nada bersabar, “Kalau barang udah dikasihin teh, enggak baik dibalikin lagi.”
“Saya kan udah bilang
saya enggak mau,” kata Zahra tanpa mengangkat wajah.
“Kenapa? Kamu enggak
suka modelnya, atau warnanya? Kalau kamu enggak mau, siapa tahu aja mama kamu
suka.”
“Bukan itu…!” sergah
Zahra.
“Kenapa atuh?”
Dari dengusan napasnya,
Zahra tampaknya mulai tidak sabar. Ia bahkan memalingkan tatapannya ke samping,
supaya bayangan Dean tidak tertangkap oleh matanya.
“Kasih aja buat temen
kamu yang lain,” ujar Zahra.
“Ibu saya pengin
ngasihnya ke kamu. Masih inget sama kamu juga, nama kamu.”
“Ibu kamu tahu kalau
jadinya kamu enggak bener-bener belajar sama saya?”
Dean duduk di bangku
sebelah Zahra yang kosong. Cewek itu masih tidak mau menengok ke arahnya. Dean
mendekatkan mulutnya ke kuping Zahra. Suaranya memelan. “Enggak usah dipikirin atuh itu mah. Da ibu saya juga ikhlas ini buat kamu. Enggak nuntut apa-apa ke
kamu. Kamu enggak usah ngerasa kebebanin gitu, harus bantuin saya dulu baru
boleh dapet apalah. Anggap aja ini mah cuma antara kamu sama ibu saya, buat
nyambungin silaturahmi, enggak ada hubungannya sama urusan saya, saya mah cuma
perantara.” Zahra masih saja diam. Lanjut Dean, “Lagian, apa susahnya sih
nerima? Kamu enggak ngehargain niat baik ibu saya?”
Zahra menoleh pada
Dean. Matanya menatap dengan tajam. “Kamu yang enggak ngerhargain ibu kamu.”
Dean terdiam, lalu,
“Kenapa kamu ngomong gitu?”
“Kamu mah enggak
berusaha sendiri di kelas. Kalau kamu bisa dapet nilai bagus buat PR atau
ulangan, itu karena kerja keras orang lain, kamunya tinggal nadah aja. Ibu kamu
tahu enggak, kamu kayak gitu? Ibu kamu seneng kalau nilai kamu bagus dari hasil
kayak gitu? Atau jangan-jangan ibu kamu ketipu?”
“Apa? Kamu dendam sama
saya gara-gara saya suka nyalin PR kamu?” Dean merasa agak geli sekaligus mulai
kesal.
Zahra membuang muka.
“Enggak usah terlalu
alim lah. Kalau kamu enggak sepelit itu ngasih contekan ke anak-anak, kamu
enggak bakal duduk sendirian terus di depan, enggak ada temennya. Kamu bakal
punya lebih banyak temen… pacar, malahan,” ujar Dean sambil menatap papan tulis
yang terasa terlalu dekat dengan matanya. Dia juga sebetulnya malas menatap
Zahra terus-terusan. Mending kalau cewek itu secantik Rieka. Tapi ketika dia
melihat Zahra lagi, mata cewek itu mulai meluapkan air mata. Bibirnya makin
melesak ke dalam.
Zahra tahu-tahu
mendorong Dean supaya diberi jalan keluar dari bangkunya. Cewek itu melesat ke
pintu kelas, dan menghilang. Padahal tidak lama kemudian terdengar bel tanda
jam istirahat berakhir.
Dean cuma bisa tertegun
melihat kepergian cewek itu. Dia lalu menaruh oleh-oleh dari Bunda di kolong
meja Zahra dan kembali ke bangkunya sendiri.
Rupanya beberapa
temannya juga menyaksikan itu dan bertanya-tanya pada Dean.
“Habis ngapain lu sama
si Zahra?”
“Nangis dia?”
Malah ada yang
menegurnya dengan sadis, padahal tidak tahu apa persoalannya.
“Cowok macem apa lu,
bikin cewek nangis di bangkunya sendiri?”
Dean berdecak. “Gandeng!” serunya dalam bahasa Sunda,
yang artinya, “Berisik!”
.
Zahra benar-benar tidak
mau menyentuh pemberian Bunda. Hari demi hari tas itu dibiarkan saja di kolong
bangkunya, seakan-akan tidak ada. Zahra juga tidak memanfaatkan kolong
bangkunya itu untuk menaruh benda lain. Ia mengeluarkan barang seperlunya saja
di atas meja, sementara selebihnya di dalam ransel.
Dari bangku favoritnya
di deretan belakang, Dean bisa mengamati Zahra. Dia sama sekali tidak mengerti
akan sikap cewek itu. Dia juga bingung. Masak pemberian Bunda mau terus
dibiarkan saja? Apa sebaiknya dia mengambilnya lagi dan memberikannya pada
orang lain, atau mengembalikannya pada Bunda dan mengutarakan alasan Zahra
menolaknya? Ah, mana mungkin!
Dean juga sudah tidak
pernah menegur Zahra lagi. Apalagi Zahra padanya. Bukan tiga hari lagi, tapi
sudah hampir berminggu-minggu.
Untuk PR, Dean memang
sudah lama tidak minta pada Zahra. Dia beralih pada teman-teman lainnya yang
tidak kalah pintar dan lebih bisa diajak kerja sama.
Ketika ada kerja
kelompok yang mesti berbarengan dengan cewek itu, Dean kembali mangkir dengan
beribu alasan sampai teman-teman sekelompoknya itu maklum. Dean udah balik ke habitat asalnya.
Selain itu, Dean mulai
merasa tidak enak ketika main di paviliun Kakek. Apalagi ketika mendengar
suara-suara dari luar, misalnya suara orang menyapu halaman atau menyiram tanaman.
Dean tahu bahwa orang itu Zahra. Bagaimanapun dia berusaha untuk cuek saja,
tapi masih ada perasaan tidak nyaman. Tidak leluasa.
Barangkali memang sudah
saatnya Dean menagih Baby pada Bunda. Dia akan menggunakan hasil rapor UTS
kemarin sebagai kuncinya.
Tapi rupanya Dean
terlambat. Dia tidak perlu lagi melakukan itu. Ketika pada suatu siang Dean
pulang cepat dari sekolah, dia mendapati Bunda—dibantu Bik Odah—sedang
menggotong Baby ke ruang keluarga. Dean buru-buru membantu mereka mengembalikan
piano itu ke tempatnya semula.
Bunda lalu merangkul
Dean. “Tadinya, pianonya mau Bunda simpen sampai selesai UAS. Tapi, kayaknya
Dean sekarang udah semangat, ya, belajarnya. Lagian Bunda belum sempat kasih
hadiah juga buat yang rapor UTS kemarin. Jadi, ini dulu aja deh. Biar Dean
tambah semangat. Biar hasilnya besok lebih baik lagi. Boleh main sebentar kalau
udah belajarnya.”
Dean merasa tangan
Bunda di bahunya itu bagaikan paku yang menghunjamnya ke lantai. Dia menatap
Baby lekat-lekat. Piano putih yang telah menjadi temannya sejak kecil itu tidak
pernah tampak sekusam itu.
“Kalau sama Zahra itu
masih, kan, ya?” tanya Bunda.
“Iya, Bun,” kata Dean.
“Masih.”