Jumat, 20 November 2015

#8 UTS Genap (Sesudah)

Seperti yang diperkirakan, diharapkan, dan diajarkan dalam buku pelajaran Kewarganegaraan, gotong royong itu membawa kemaslahatan bersama. UTS berlangsung dengan relatif gemilang, setidaknya bagi kelas X-7 dan partnernya—kelas XI IPA 7. Kakak dan adik kelas bahu-membahu membantu sama lain mendapatkan jawaban yang sebenar-benarnya dengan cara apa pun.

Tidak terkecuali Dean. Dia mendapat tugas khusus menyemumi pengawas untuk mengalihkan perhatian. Apalagi kalau pengawas itu memang sudah dia akrabi sebelumnya dan mudah diajak bercanda. Kalau perlu, dengan senyumnya itu dia menggiring pengawas ke dekat bangkunya yang terletak di pojok lalu menahan mereka dengan tegur-teguran singkat dan pastinya lirih—supaya tidak menganggu siswa lain. Tentu saja pengawas tidak mungkin berada di dekatnya sepanjang waktu UTS. Ketika pengawas tidak berada di dekatnya itulah Dean mendapatkan bagiannya.

Memang kadang distribusi jawaban tidak lancar. Misalnya, ketatnya pengawasan tidak memungkinkan jawaban itu untuk dioper dan tahu-tahu waktu mengerjakan soal sudah habis. Atau soal yang diberikan terlalu sulit untuk dipecahkan bahkan oleh kaisar semut sekalipun.

Meski akibatnya remedial membayang di depan mata, tapi semut-semut itu tidak khawatir sedikit pun. Sebabnya, ketika remedial, pengawasan biasanya lebih longgar karena cuma dilakukan oleh guru pelajaran yang bersangkutan. Kadang guru itu cuma membagikan soal lalu meninggalkan mereka begitu saja sampai waktu mengerjakan habis. Gotong-royong jadi lebih mudah dilakukan, bahkan secara terang-terangan.

Maka setelah rapor UTS dibagikan, Dean bisa melihat Bunda tersenyum padanya, dan bukannya cemberut seperti sebelum-sebelumnya.

“Lumayan,” kata Bunda. Meski masih ada beberapa nilai Dean yang besarnya di bawah rata-rata kelas, tapi semuanya memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Setidaknya ada sedikit peningkatan.

Kebahagiaan Bunda menular pada Dean, sampai dia lupa menanyakan Baby. Bunda sudah keburu dinas berhari-hari ke Korea Selatan, tidak lama setelah hari pembagian rapor UTS.

Lagian, kan sudah ada si kibor cantik dari paviliun Kakek!

Bunda pulang dari negeri ginseng dengan membawa banyak oleh-oleh. Bukan cuma untuk keluarga dan koleganya, tapi teman Dean juga kebagian. Oleh-oleh yang telah Bunda siapkan itu berupa tas dengan motif yang khas dan aksesori tambahan, pantas sekali untuk dibawa jalan-jalan ke mal. Dean saja kagum, dan berpikir kalau dia cewek dia mungkin bakal memohon pada Bunda supaya tas itu buat dirinya saja. Bunda mewadahi tas itu dengan tas karton yang cantik dan menitipkannya pada Dean untuk diberikan pada Zahra.

“Zahra?”

Padahal Dean sudah berharap tas itu akan diberikan pada Tante Ice—mamanya Rieka. Jadi dia punya alasan untuk mendekati Rieka, yaitu dengan menitipkan tas dari Bunda untuk mama cewek itu.

“Zahra kan namanya? Itu… yang kapan telepon-teleponan sama Bunda. Yang katanya Dean mau bimbel sama dia aja.”

“Oh….”

“Sama tolong bilangin terima kasih, ya, dari Bunda, udah bantuin Dean belajar.”

“Oke.” Dean manggut-manggut sambil menerima pemberian itu. “Tante Ice enggak, Bun?”

“Tante Ice?” Bunda mengerutkan dahi.

“Mamanya Rika… yang kemarin ulang tahun di kafe itu, yang Bunda nganterin, temen Dean dari SD.”

“Duh, ya, enggak kepikiran. Bunda kan udah lama enggak kontak sama mamanya Rika.”

“Oleh-olehnya enggak ada lagi, Bun?” Dean melongok ke arah belanjaan Bunda selama dinas yang sudah ditata rapi di dekat meja rias.

“Ini udah dipas-pasin buat yang lain. Buat Dean bukannya udah ada, tadi? Masih kurang?”

Dean menyengir.

.

Dean memutuskan untuk menyerahkan oleh-oleh dari Bunda itu di rumah Zahra, sekalian ke paviliun Kakek untuk nge-jam seperti biasanya. Maka sepulang sekolah hari itu Dean menyusul Zahra ke rumahnya.

Zahra terheran-heran ketika Dean menyodorkan benda itu.

“Ini ambil aja, Zahrooo…” Dean mengulangi perkataannya. “Ibu saya baru pulang dari Korsel. Ini oleh-oleh buat kamu.”

Dengan ragu Zahra menerima pemberian itu. “Makasih.”

“Sama kata ibu saya, makasih.”

“Kok ibu kamu yang makasih?”

“Iya, katanya, makasih udah bantuin Dean belajar,” lanjut Dean sambil memamerkan lesung pipinya. “Hihi, ibu saya seneng gitu rapor UTS saya jadi bagus.”

Zahra terdiam, lalu ujarnya sambil merengut, “Belajar apa?”

“Belajar macem-macemlah. Kan kamu suka bantuin saya ngerjain PR, belajar buat ulangan….”

“Enggak.”

“Iya, tahu. Kita bukannya suka belajar bareng di sini?”

“Awal-awalnya doang gitu. Terus kan kamu ngacir aja ke tempat Kakek.”

“Yaa….” Dean malas berdebat lebih lanjut. “Ya udah.”

“Kamu juga belajarnya enggak bener-bener. Tetep aja kamu mah ujung-ujungnya nyalin PR saya. Cuma enggak pas pagi-pagi di sekolah kayak biasanya, tapi pas hari sebelumnya di rumah saya.”

“Tapi kan saya sambil lihat cara ngerjainnya, jadi ngertilah dikit-dikit mah….”

“Boro-boro UTS. Saya kan enggak bantuin kamu sama sekali. Rapor kamu bisa bagus gitu mungkin gara-gara dibantuin sama temen-temen lain pas ulangan?”

Zahra bukannya tidak tahu bahwa sebagian teman sekelasnya suka bekerja sama, bukan cuma ketika UTS tapi juga pada ulangan-ulangan biasa. Ia tidak sekadar mendengar itu dari bisik-bisik beberapa orang teman sekelas, tapi juga menyaksikannya sendiri. Ketika UTS, Zahra kebagian tempat duduk di pojok belakang sehingga bisa melihat ulah teman-temannya dengan leluasa. Kadang Zahra merasa gemas karena ada pengawas yang sepertinya membiarkan mereka, tapi ia bingung mesti berbuat apa. Meski keduanya tidak sekelas sewaktu UTS, Zahra yakin bahwa Dean termasuk anak-anak yang seperti itu—mengingat kelakuannya selama ini.

Zahra menyodorkan kembali pemberian Dean. “Ibu kamu ngasih ini ke saya karena ibu kamu pikir saya bantuin kamu belajar, padahal enggak.”

“Ya udah, terima aja atuh,” kata Dean. “Anggap aja oleh-oleh biasa.”

Zahra menggeleng. Ia terus mengulurkan tangannnya, yang memegang tali pada tas karton cantik itu. Tapi Dean mendorongnya lagi. Setelah beberapa kali saling mendorong, Zahra meletakkan benda itu begitu saja di lantai, di antara kaki mereka.

“Eh, Zahra, jangan gitu atuh!” tegur Dean. “Kamu kan bukannya enggak pernah bantuin saya sama sekali.”

“Tapi kamu suka nyalin PR saya! Saya enggak mau bantuin orang caranya kayak gitu!” Zahra hampir berteriak, sampai-sampai Dean kehabisan kata-kata. “Kalau gitu, temen-temen kamu yang bantuin kamu pas ulangan yang lebih berhak dapet hadiah.”

Dean terperangah. Mana mungkin! Mereka ada banyak sedangkan oleh-oleh itu cuma satu—bagus pula! Kenapa Zahra tidak mau menerimanya cuma karena soal itu?

Tahu-tahu Zahra membalikkan badan dan turun ke lantai bawah. Dean langsung mengambil wadah tas itu dan menyusul Zahra. Hampir saja ia ikut masuk ke kamar Zahra, tapi cewek itu keburu membanting pintu dan menguncinya.

“Zahra, jangan ngambek atuh…” pinta Dean dari balik pintu. “Ibu saya aja enggak pernah banting-banting pintu pas lagi marah. Kasihan pintunya, entar rusak….”

Tidak ada jawaban.

“Zahra…” panggil Dean lagi, berkali-kali, dengan intonasi yang berbeda-beda.

Dean menyandar pasrah pada pintu kamar Zahra. Punggungnya melorot. Dia berjongkok sambil mendendangkan lagu yang sering dinyanyikan Ayah. “My body lies over the ocean… My body lies over the sea…. So bring back, my body to me….[1]” Dean lalu berdiri lagi dan mengetuk pintu kamar Zahra dengan hati-hati. “Zahra, jangan bobo kalau sore-sore. Entar bangun-bangun jadi bego, lo.”

Masih tidak ada jawaban.

Dean memanggil-manggil Zahra terus sampai tahu-tahu muncul mama cewek itu di belakangnya. Mama Zahra baru pulang kerja, masih berseragam safari dan berjilbab. Dean langsung menyalami Mama Zahra dengan salah tingkah. “Udah pulang, Tante….”

“Kenapa Zahra?” tanya Mama Zahra.

“Enggak tahu, Tante. Tahu-tahu masuk kamar, enggak mau keluar,” ujar Dean.

“Zahra, ada temennya nyariin, kok malah ngumpet di kamar sih? Zahra, buka pintunya….” Ganti Mama Zahra yang terus mengetuki pintu kamar anaknya.

Dean jadi merasa tidak enak. Dia lalu menyerahkan pemberian Bunda pada Mama Zahra. “Tante, kalau boleh, saya mau nitip oleh-oleh dari ibu saya buat Zahra. Kata ibu saya, terima kasih buat Zahra karena udah mau bantuin saya belajar.”

“Oh….” Mama Zahra menerima pemberian itu dan mengintip ke dalam wadah. “Makasih atuh, ya.” Mama Zahra jadi ikut-ikutan merasa tidak enak. “Nanti kalau udah keluar kamar, Tante kasihin.”

Dean mengangguk. “Iya, Tante, makasih. Itu aja, kayaknya. Saya sekalian mau pamit.”

“Oh…. Mau ke tempat Kakek?”

“Iya.” Dean menyengir.

.

Keesokan harinya, ketika kembali dari kantin pada jam istirahat, Dean mendapati oleh-oleh dari Bunda di sisi bagian dalam bangkunya, lengkap dengan tas karton cantik yang jadi wadahnya itu. Dean memandang Zahra yang sedang duduk memunggunginya, sendirian di bangku paling ujung kiri di deretan depan. Dia membawa oleh-oleh itu bersamanya menghampiri Zahra, dan meletakkannya di meja cewek itu. Zahra mengangkat muka dari buku pelajaran yang sedang ia baca.

“Kenapa dibalikin?” tanya Dean.

Zahra tidak menjawab. Ia menunduk lagi memandangi buku pelajarannya.

“Kalau ditanya teh, jawab atuh….” Dean berusaha bicara dengan sehalus mungkin, berharap Zahra akhirnya mau memerhatikannya. Tapi cewek itu tetap tidak acuh. Lanjut Dean, masih dengan nada bersabar, “Kalau barang udah dikasihin teh, enggak baik dibalikin lagi.”

“Saya kan udah bilang saya enggak mau,” kata Zahra tanpa mengangkat wajah.

“Kenapa? Kamu enggak suka modelnya, atau warnanya? Kalau kamu enggak mau, siapa tahu aja mama kamu suka.”

“Bukan itu…!” sergah Zahra.

“Kenapa atuh?”

Dari dengusan napasnya, Zahra tampaknya mulai tidak sabar. Ia bahkan memalingkan tatapannya ke samping, supaya bayangan Dean tidak tertangkap oleh matanya.

“Kasih aja buat temen kamu yang lain,” ujar Zahra.

“Ibu saya pengin ngasihnya ke kamu. Masih inget sama kamu juga, nama kamu.”

“Ibu kamu tahu kalau jadinya kamu enggak bener-bener belajar sama saya?”

Dean duduk di bangku sebelah Zahra yang kosong. Cewek itu masih tidak mau menengok ke arahnya. Dean mendekatkan mulutnya ke kuping Zahra. Suaranya memelan. “Enggak usah dipikirin atuh itu mah. Da ibu saya juga ikhlas ini buat kamu. Enggak nuntut apa-apa ke kamu. Kamu enggak usah ngerasa kebebanin gitu, harus bantuin saya dulu baru boleh dapet apalah. Anggap aja ini mah cuma antara kamu sama ibu saya, buat nyambungin silaturahmi, enggak ada hubungannya sama urusan saya, saya mah cuma perantara.” Zahra masih saja diam. Lanjut Dean, “Lagian, apa susahnya sih nerima? Kamu enggak ngehargain niat baik ibu saya?”

Zahra menoleh pada Dean. Matanya menatap dengan tajam. “Kamu yang enggak ngerhargain ibu kamu.”

Dean terdiam, lalu, “Kenapa kamu ngomong gitu?”

“Kamu mah enggak berusaha sendiri di kelas. Kalau kamu bisa dapet nilai bagus buat PR atau ulangan, itu karena kerja keras orang lain, kamunya tinggal nadah aja. Ibu kamu tahu enggak, kamu kayak gitu? Ibu kamu seneng kalau nilai kamu bagus dari hasil kayak gitu? Atau jangan-jangan ibu kamu ketipu?”

“Apa? Kamu dendam sama saya gara-gara saya suka nyalin PR kamu?” Dean merasa agak geli sekaligus mulai kesal.

Zahra membuang muka.

“Enggak usah terlalu alim lah. Kalau kamu enggak sepelit itu ngasih contekan ke anak-anak, kamu enggak bakal duduk sendirian terus di depan, enggak ada temennya. Kamu bakal punya lebih banyak temen… pacar, malahan,” ujar Dean sambil menatap papan tulis yang terasa terlalu dekat dengan matanya. Dia juga sebetulnya malas menatap Zahra terus-terusan. Mending kalau cewek itu secantik Rieka. Tapi ketika dia melihat Zahra lagi, mata cewek itu mulai meluapkan air mata. Bibirnya makin melesak ke dalam.

Zahra tahu-tahu mendorong Dean supaya diberi jalan keluar dari bangkunya. Cewek itu melesat ke pintu kelas, dan menghilang. Padahal tidak lama kemudian terdengar bel tanda jam istirahat berakhir.

Dean cuma bisa tertegun melihat kepergian cewek itu. Dia lalu menaruh oleh-oleh dari Bunda di kolong meja Zahra dan kembali ke bangkunya sendiri.

Rupanya beberapa temannya juga menyaksikan itu dan bertanya-tanya pada Dean.

“Habis ngapain lu sama si Zahra?”

“Nangis dia?”

Malah ada yang menegurnya dengan sadis, padahal tidak tahu apa persoalannya.

“Cowok macem apa lu, bikin cewek nangis di bangkunya sendiri?”

Dean berdecak. “Gandeng!” serunya dalam bahasa Sunda, yang artinya, “Berisik!”

.

Zahra benar-benar tidak mau menyentuh pemberian Bunda. Hari demi hari tas itu dibiarkan saja di kolong bangkunya, seakan-akan tidak ada. Zahra juga tidak memanfaatkan kolong bangkunya itu untuk menaruh benda lain. Ia mengeluarkan barang seperlunya saja di atas meja, sementara selebihnya di dalam ransel.

Dari bangku favoritnya di deretan belakang, Dean bisa mengamati Zahra. Dia sama sekali tidak mengerti akan sikap cewek itu. Dia juga bingung. Masak pemberian Bunda mau terus dibiarkan saja? Apa sebaiknya dia mengambilnya lagi dan memberikannya pada orang lain, atau mengembalikannya pada Bunda dan mengutarakan alasan Zahra menolaknya? Ah, mana mungkin!

Dean juga sudah tidak pernah menegur Zahra lagi. Apalagi Zahra padanya. Bukan tiga hari lagi, tapi sudah hampir berminggu-minggu.

Untuk PR, Dean memang sudah lama tidak minta pada Zahra. Dia beralih pada teman-teman lainnya yang tidak kalah pintar dan lebih bisa diajak kerja sama.

Ketika ada kerja kelompok yang mesti berbarengan dengan cewek itu, Dean kembali mangkir dengan beribu alasan sampai teman-teman sekelompoknya itu maklum. Dean udah balik ke habitat asalnya.

Selain itu, Dean mulai merasa tidak enak ketika main di paviliun Kakek. Apalagi ketika mendengar suara-suara dari luar, misalnya suara orang menyapu halaman atau menyiram tanaman. Dean tahu bahwa orang itu Zahra. Bagaimanapun dia berusaha untuk cuek saja, tapi masih ada perasaan tidak nyaman. Tidak leluasa.

Barangkali memang sudah saatnya Dean menagih Baby pada Bunda. Dia akan menggunakan hasil rapor UTS kemarin sebagai kuncinya.

Tapi rupanya Dean terlambat. Dia tidak perlu lagi melakukan itu. Ketika pada suatu siang Dean pulang cepat dari sekolah, dia mendapati Bunda—dibantu Bik Odah—sedang menggotong Baby ke ruang keluarga. Dean buru-buru membantu mereka mengembalikan piano itu ke tempatnya semula.

Bunda lalu merangkul Dean. “Tadinya, pianonya mau Bunda simpen sampai selesai UAS. Tapi, kayaknya Dean sekarang udah semangat, ya, belajarnya. Lagian Bunda belum sempat kasih hadiah juga buat yang rapor UTS kemarin. Jadi, ini dulu aja deh. Biar Dean tambah semangat. Biar hasilnya besok lebih baik lagi. Boleh main sebentar kalau udah belajarnya.”

Dean merasa tangan Bunda di bahunya itu bagaikan paku yang menghunjamnya ke lantai. Dia menatap Baby lekat-lekat. Piano putih yang telah menjadi temannya sejak kecil itu tidak pernah tampak sekusam itu.

“Kalau sama Zahra itu masih, kan, ya?” tanya Bunda.

“Iya, Bun,” kata Dean. “Masih.”



[1] Diplesetkan dari “My Bonnie Lies over the Ocean”, lagu rakyat Skotlandia yang populer di Barat

Jumat, 06 November 2015

#7 UTS Genap (Sebelum)

Dean bukannya tidak ingat pada Baby dan Marimar. Kadang, ketika pintu kamar kedua orangtuanya terbuka, dia melihat ke dalam, ke arah kedua alat musiknya itu. Muncul rasa bersalah dalam dirinya, terutama pada Baby, karena telah menduakan piano itu dengan alat lain yang serupa tapi tak sama: kibor. Kibor yang penampilannya lebih sophisticated, bisa menghasilkan lebih banyak bebunyian sampai-sampai Dean keranjingan bereksperimen. Kibor yang menjadi partner Dean ketika dia ingin menciptakan lagu untuk Rieka, padahal sebelumnya Babylah yang selalu menjadi tempat curhatnya soal cewek itu. Dean bahkan sudah tidak pernah bingung lagi soal pedal. Padahal sewaktu awal-awal bermain kibor, Dean kadang mengentak-entakkan kakinya untuk memainkan bunyi, lalu sadar bahwa alat itu tidak ada pedalnya—lain dengan piano.

Rasa bersalah itu menjadi-jadi ketika timbul keinginan yang sangat kuat dalam diri Dean untuk memberi nama pada kibor di paviliun Kakek. Dengan memberi nama berarti telah terjalin rasa keterikatan antara dirinya dan kibor itu, semakin mengukuhkan pengkhianatannya pada Baby….

Dean juga bukannya tidak ingat untuk memperbaiki nilai-nilainya. Bukan cuma demi Baby dan Marimar, tapi juga ketenteraman jiwa Bunda. Memang belakangan ini Bunda jadi jarang menegur Dean soal pelajarannya di sekolah. Pekerjaan Bunda sedang banyak-banyaknya, dan ia sangat sibuk. Tapi, suatu saat, ketika sudah tidak sibuk, Bunda pasti akan bertanya-tanya lagi pada Dean. Maka, ketika ulangan, mau tidak mau Dean mempraktikkan keterampilan yang tidak begitu sering dia gunakan—meski tampaknya dia cukup berbakat karena tidak pernah ketahuan. Keterampilan itu dalam dunia biologi disebut: Mata Rajawali dan Sarang Semut.

Sebetulnya mata Dean lebih mirip mata tarsius ketimbang mata rajawali. Teman-temannya sering meledek bahwa matanya itu terlalu besar untuk wajahnya yang tirus, hidungnya yang mungil, dan bibirnya yang tipis. Meski begitu, ketika ulangan, tampaknya mata itu sanggup menjangkau pandangan yang lebih luas ketimbang mata biasa. Setelah itu, barulah “mata rajawali”-nya bekerja, yaitu dengan memindai dan membidik jawaban yang dicari-cari.

Adapun sarang semut terdiri dari ruang-ruang tersembunyi yang saling berhubungan, membentuk jaringan yang rumit. Barangkali cuma semut-semut itu yang tahu caranya masuk ke ruang yang satu dan keluar lewat ruang yang lain tanpa kesasar ke sarang musuh. Ruang-ruang itu diibaratkan sebagai anak-anak yang sedang mengerjakan ulangan, sedangkan semut-semutnya berupa jawaban yang bergerak dari satu “ruang” ke “ruang” lainnya. Lagi pula bukankah semut itu teladan dalam bergotong-royong?

Dean mulai mengembangkan keterampilannya itu ketika SMP, belajar dari teman-teman sekelasnya. Apalagi untuk membangun “sarang semut” dibutuhkan kekompakan banyak anak—mana mungkin Dean ketinggalan? Cara-cara lama, yang pernah dia gunakan sewaktu SD pun terlupakan.

Sewaktu Dean SD, sempat ada tren mengunyah permen karet ketika sedang belajar di kelas. Katanya, kalau kita mengemut permen karet yang sama ketika mengerjakan ulangan, kita akan lebih gampang mengingat pelajaran. Kepercayaan lainnya yaitu kalau kita membuat bangau dari kertas hasil ulangan dan mengumpulkannya sampai seribu biji, maka permintaan kita akan terkabul. Apalagi kalau yang diminta adalah hasil ulangan yang lebih bagus lagi. Tapi tidak ada satu pun dari cara-cara itu yang berhasil. Mereka malah dimarahi guru. Guru yang satu bilang tidak boleh makan di kelas kecuali pada jam istirahat dan pulang sekolah. Guru yang lain bilang meminta itu hanya kepada Allah, sedangkan kepada yang lain-lainnya—apalagi burung-burungan kertas—itu dosa besar.

Bagaimanapun juga, di samping Mata Rajawali dan Sarang Semut, sebetulnya ada teknik-teknik lainnya. Misalnya saja: Otak Gajah, artinya menyalin sari-sari pelajaran di kertas kecil, menyelipkannya di tempat yang strategis, dan membukanya ketika dibutuhkan pada waktu ulangan; Tato Pohon, artinya juga menyalin sari-sari pelajaran tapi di meja dan risiko ketahuannya lebih kecil; dan masih banyak lagi.

Tapi, Dean sadar akan keterbatasannya dalam jurus-jurus lainnya itu. Pertama, mencatat PR saja dia malas, apalagi sengaja membaca buku pelajaran demi menulis ulang sari-sarinya di tempat lain. Mending baca Bobo daripada buka buku pelajaran, begitu pikir Dean, yang sering kali dia buktikan dengan mendatangi kios koran dan majalah terdekat pada Kamis sepulang sekolah. Kedua, pernah, ketika sedang menghadapi ulangan Matematika yang sangat sulit, dia menemukan coret-coretan di mejanya. Coret-coretan itu ternyata berupa rumus yang sesuai dengan materi ulangannya. Tapi, setelah dicoba, ternyata dia tidak tahu cara menggunakannya.

Kalau saja Dean mau menggunakan keterampilannya itu lebih dini dan lebih sering—dan kalau perlu, mempelajari cara-cara yang lain juga—maka hasil ulangannya yang kemarin-kemarin itu tidak akan sebegitu memprihatinkan. Tapi, tampaknya, keterampilannya itu memang baru keluar ketika keadaan sudah mendesak. Pada ujian kenaikan kelas atau ujian kelulusan, misalnya, khususnya pada waktu dia sadar untuk setop berleha-leha dan mulai membuat perubahan.

.

Menjelang UTS, kelas Dean melakukan rapat. Tapi rapat ini rapat khusus. Tidak semua anak mengikutnya. Ada yang tidak mau ikut sejak awal, seperti Zahra. Ada juga yang setelah tahu apa yang dibicarakan lantas mengundurkan diri. Bahkan, Salman sempat misuh. Meski ia sudah menjauh, disusul Acil, suaranya masih terdengar, “Kalau gitu sih mending aku pakai joki sekalian pas SPMB. Enggak keren dong masuk ITB enggak pakai usaha sendiri….” Tapi anak-anak di kelas tidak acuh dan terus saja melanjutkan rapat.

Dalam rapat itu, mereka membahas siapa saja yang akan menjadi kaisar semut, semut penjaga, dan selebihnya adalah semut pekerja. Kaisar semut adalah anak-anak yang dianggap menguasai pelajaran tertentu. Mereka bertugas menyediakan jawaban untuk soal pelajaran yang diujiankan. Semut penjaga adalah anak-anak yang duduk di sekitar kaisar semut. Mereka bertugas menerima jawaban dari kaisar semut dan menyalurkannya ke semut pekerja. Semut pekerja adalah anak-anak lain yang bergabung dengan jaringan tersebut dan membutuhkan jawaban. Mereka bertugas mengoper jawaban ke satu sama lain. Peta persebarannya cuma mereka yang tahu. Yang jelas, sebisa mungkin itu tidak melibatkan anak-anak di luar jaringan mereka.

Selain itu, yang lebih penting lagi adalah penguasaan diri. Sebab di mana pun lipatan atau gumpalan kertas berisi jawaban itu berada, anak yang sedang memegangnya harus menjaganya supaya tidak ketahuan. Ia harus bersikap sewajar mungkin seakan dirinya bukan satu dari sekian semut dalam jaringan.

Sebetulnya, banyak di antara anak-anak yang tidak mau ikut rapat itu yang potensial sekali sebagai kaisar. Tapi kepelitan mereka dalam memberi jawaban lebih-lebih lagi. Demi menjaga hubungan baik, tidak usahlah menyinggung mereka lama-lama.

“Tapi ada yang bilang tempat duduknya bakal dicampur lagi pas UTS besok,” kata Icang, salah satu peserta rapat.

Itu berarti selama UTS mereka bakal sebangku dengan anak kelas lain, yang biasanya kakak kelas. Karena kapasitas kelas yang terbatas, maka itu juga berarti kelas mereka akan dipecah. Anak dari nomor urut satu sampai dua puluh sekian akan ditempatkan di satu kelas, dan anak dari nomor urut selebihnya di kelas sebelahnya. Itu akan semakin menyulitkan persebaran jawaban. Tapi biasanya kakak kelas juga menerapkan sistem jaringan yang serupa. Untuk itu diperlukan kerja sama yang kompak antar kelas. Itulah yang mau Icang bicarakan.

“Entar sore anak-anak pada mau ngumpul. Kita bisa atur strategi sama mereka.”

Diputuskan bahwa kelas X-7 akan mengirim perwakilan ke pertemuan itu. Ada Icang selaku pengagas dan penghubung kelas, ada Rio yang penanggung jawab jaringan, dan Dean.

Dean ikut saja karena yang menginisasi pertemuan itu rata-rata anak Bastard. Dia sudah lama tidak bersilaturahmi ke tongkrongan mereka, akibat kesibukannya nge-jam sama Kakek, dan akhir-akhir ini, mengarang lagu untuk Rieka. Kesibukan yang entah kapan akan berakhir karena Dean tidak tahu Rieka sebenarnya suka lagu yang bagaimana. Memang Dean belum sempat mencari tahu. Melihat sosok Rieka dari jauh saja sudah bikin dia lupa segalanya.

.

Pertemuan itu diadakan di kelas paling terpencil di bangunan paling terpencil di komplek sekolah. Bahkan dulu ada rumor bahwa itu adalah kelas yang terkutuk. Banyak anak yang jatuh sakit setelah beberapa lama mendiami kelas itu. Tapi sejak rumput liar di lokasi itu rutin dibersihkan dan disemprot dengan asap pengusir nyamuk demam berdarah, rumor itu reda dengan sendirinya.

Ketika Dean dan anak-anak perwakilan kelasnya sampai, pintu kelas itu dijaga dua anak kelas XI bermuka Bastard. Keduanya membukakan pintu untuk mereka dan tampaklah bahwa ruangan itu sudah ramai. Saking ramainya, sampai-sampai ada yang berdiri dan ada yang duduk di meja atau lantai karena tidak kebagian kursi. Semuanya anak kelas XI dan X. Sebagian muka sudah diakrabi Dean di pelataran Tenis Net sebagai muka-muka Bastard. Sebagian lagi mungkin sekadar perwakilan dari kelas masing-masing. Banyak juga di antaranya yang cewek. Dean dan teman-teman sekelasnya pun mencari ruang yang agak leluasa untuk mereka tempati.

Ada yang mengetok-ngetok papan tulis dengan keras. Anak-anak yang tadinya asyik mengobrol dengan satu sama lain mengarahkan perhatian mereka pada sumber suara. Seorang kakak kelas cewek menulis nama-nama kelas berpasang-pasangan di papan tulis, sementara Kang Abuy—yang tadi mengetok-ngetok—membuka pertemuan.

“Kita udah dapet informasi dari Tata Usaha. Pembagian kelas buat UTS besok kira-kira gini,” katanya sambil mengarahkan tangan ke papan tulis. “Boleh dicek kalau besok absennya udah ditempel. Sementara kita pegang dulu yang ini. Selebihnya, tinggal konsolidasi antar anak-anak kelas aja.”

Sementara Kang Abuy menjawab pertanyaan yang mulai bermunculan dari para peserta pertemuan, perhatian Dean teralih pada Kang Haqi. Dean menangkap obrolan orang itu dengan temannya.

“Kamu udah lama enggak ke Tenis Net.”

“Iya nih. Si Rika enggak suka kalau saya nangkring-nangkring di situ. Enggak tahu kenapa.”

“Jangan bilang-bilang atuh.”

“Tetep aja keliatan mah. Sopirnya kan suka parkir deket-deket situ.”

Pertemuan itu lalu kembali berjalan sendiri-sendiri. Kang Abuy bergabung lagi dengan kelompoknya, tampak membicarakan sesuatu dengan tampang serius. Icang dan Rio pun mencari anak-anak kelas XI IPA 7 yang akan menjadi partner kelas mereka pada UTS. Sambil mengikuti keduanya, Dean mengamati tampang-tampang lainnya di kelas itu, baik yang dia kenal maupun tidak. Sesekali masuk ke telinganya sepotong-sepotong ucapan mereka.

“Aku mah asa lebih bangga kalau dapet nilai bagus dari nyontek daripada belajar. Nyontek mah asa lebih menantang.”

Da hidup mah awalnya juga dari nyontek ke orang tua kita. Cara makan. Cara ngomong. Cara boker….”

“Kemarin si pak anu, yang ngajar Ekonomi, bilang di kelas saya, nyontek teh salah satu bentuk usaha, jadi boleh-boleh aja kalau enggak ketahuan mah.”

“Enggak afdal kalau ulangan enggak pakai nyontek….”

“Nyontek itu seni!”

Mereka bertemu anak-anak kelas XI IPA 7 dan mengobrol-obrol sampai Kang Abuy maju lagi ke muka kelas. Dia menutup pertemuan itu dengan, “Demi orang tua dan nama baik sekolah!” Anak-anak menyambutnya dengan sorakan riuh.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain