Hidupku dulu tak begini.
Tapi semua berubah sejak air bersih berhenti mengalir. Pompanya rusak dan Ayah
belum ada kesempatan—entah waktu, entah uang—untuk memperbaiki. Kalaupun ada
air yang lain, yang diperoleh dengan jet
pump, tercium bau logam dan warnanya agak kekuningan. Maka untuk keperluan
masak, minum, sikat gigi, dan sebagainya, kami harus membeli, baik dari mobil
yang lewat maupun dalam kemasan plastik di toko.
Aliran air dari jet pump kadang mandek. Pada saat
seperti itu kami mandi hanya dengan segayung air—kadang kurang dari itu—dan
waslap. Kalau hendak buang kotoran, tidak cukup air untuk menggelontornya.
Akhirnya, ibuku memutuskan untuk menjatah setiap penggunaan air. Botol kemasan
berbagai ukuran itu diisinya dengan air penuh-penuh. Tutup botol dilubanginya
kecil-kecil. Kata Ibu, supaya irit, keluarkan airnya melalui lubang-lubang
kecil itu.
Ibu menyerahkan padaku botol
ukuran 2 L, “Ini untuk sekali mandi,” dan botol ukuran 600 ml, “Ini untuk
cebok.”
“Ngeguyurnya gimana, Bu?”
tanyaku sambil melirik kamar mandi yang kering kerontang sekaligus menguarkan
bau.
Ibuku malah menyodorkan
sekop dan menoleh ke tanah kosong di belakang rumah. “Cari semak-semak.”
*
Ibu menyuruh kami mandi
sambil memijak baskom besar supaya airnya tertampung. Air bekas mandi hendak
digunakan lagi untuk mencuci kendaraan.
Saat-saat pertama
menggunakan botol berlubang untuk mandi rasanya nelangsa. Sampai kapan harus
kujalani derita ini? Jika ada waktu
luang, Ayah berusaha memperbaiki sendiri pompa itu, yang selalu berujung dengan
suasana hatinya memburuk. Tidak tentu jawabnya. Bagaikan gerak serpihan hijau
atau hitam yang melayang-layang dalam air di botol. Sering kali airnya keburu
habis sebelum semua bagian tubuh yang bersabun terbasuh. Kadang aku keluar dari
kamar mandi dengan sebelah lengan masih licin, atau rambut berbusa. Kuambil
waslap lalu kucelupkan ke air bekas mandi di baskom untuk mengelap
bagian-bagian yang belum terbilas.
Setidaknya, mandi dengan
cara begitu terasa lebih menyegarkan ketimbang sepenuhnya dengan waslap. Untuk
melipur hati, kukhayalkan mandi di bawah shower
seperti orang bule. Hanya saja shower
yang ini mesti dipegang tangan sendiri dan beratnya lumayan. Lama-lama, aku pun
terbiasa. Malah, aku bisa menyisakan air dalam botol.
Adakalanya saat hujan,
khususnya jika bukan malam-malam, kami sekeluarga keluar, membawa sampo, sabun,
sikat gigi, dan odol.
“Puas-puasin, Nak!” kata
orang tuaku.
“Shower raksasa!” ujarku.
*
Di belakang rumah kami
terdapat tanah kosong. Tanah itu terapit oleh deretan rumah di keempat sisinya.
Dulunya tanah itu merupakan semacam jalur di antara dua deretan rumah yang
saling membelakangi. Orang dapat keluar-masuk dari ujung satu ke ujung lainnya.
Karena populasi makin padat, orang pun membangun rumah di kedua sisi yang
tadinya merupakan jalan keluar-masuk. Jalur itu pun tidak bisa dilalui lagi dan
terbengkalai. Semak liar bertumbuhan, makin lama makin rimbun. Para pemukim di
sekitar situ tidak tertarik memanfaatkannya untuk apa pun, jangankan
menginjaknya. Rata-rata pemukim membangun pagar tinggi yang membatasi halaman
rumah mereka dengan tanah itu, sehingga keduanya bagaikan dunia yang berlainan.
Rumah kami termasuk yang tidak berpagar. Kata Ayah, bikin pagar itu mahal.
Pernah, ketika bermain-main di seputar areal itu, aku mendapati rumah besar
dengan pagar tinggi dan pekarangan luas. Dari sela-sela pagar, kulihat di
pekarangan itu ada patung burung yang tampak menarik. Tapi itu cerita lain.
Di tanah kosong itulah aku
belajar menggali dan menimbun tanah. “Gali yang dalam, tutup yang rapat. Jangan
sampai baunya kecium,” pesan Ibu selalu. Tak jemu-jemunya pula Ibu mengisikan
air di botol-botol untuk kami: Ayah, aku, adikku, dan ia sendiri.
Segala perbekalan yang
diperlukan untuk buang hajat dimasukkan dalam keresek. Selain sekop dan botol
600 ml yang terisi penuh oleh air, kami membawa: segenggam sabun, untuk cebok
yang lebih bersih; sabit, jikalau semak terlalu tebal untuk ditembus; senter,
saat langit sudah gelap; jas hujan, kalau turun air dari langit; dan, sejak
Ayah bertemu ular, tabung garam. Kejadian bertemu ular juga pernah kualami.
Ular itu tahu-tahu menclok di hadapanku ketika aku sedang berkonsentrasi
mengejan. Kotoran yang sudah separuh keluar terpaksa kurelakan masuk kembali,
demi mencomot tabung garam di sisi dan menyemburkan isinya pada ular yang
lantas lari terbirit-birit.
Suatu kali Ibu menginjak
kotoran entah siapa di tanah kosong itu. Selain mewanti-wanti supaya
menggali-tutup lubang dengan benar, Ibu mencanangkan ketentuan baru. Kami harus
menandai titik tempat habis buang hajat. Ibu membuat bendera kecil-kecil dari
tusuk sate dan mika. Tiap kali hendak menembus semak, kami mesti menulis
tanggal pada mika dengan spidol lalu membawanya serta. Ibu akan mengomel jika
kami lupa.
*
Tidak terasa waktu berlalu.
Kami telah begitu terbiasa dengan minimnya air dan buang hajat di balik semak.
Persoalan pompa seakan tenggelam dalam-dalam ke alam bawah sadar; tak pernah
lagi muncul pada percakapan makan malam, namun sesekali timbul dalam lelapnya
angan. Mimpiku kadang berupa limpahan air jernih yang membanjur tubuhku dari
segala arah. Tanah kosong di belakang rumah seluruhnya berubah jadi kolam
renang. Para tetangga tetap tak tertarik menggunakannya. Hanya aku, adikku,
ayahku, dan ibuku yang menikmati bercebar-cebur dalam beningnya air yang
terhampar luas.
Entah sejak kapan tahu-tahu
muncul tumbuhan pepaya, mangga, pisang, jambu, alpukat, singkong, aren, cabai,
mentimun, tomat, dan sebagainya di tanah kosong itu, terutama di sekitar
belakang rumah kami. Selain itu, entah dari mana Ayah membawa pulang ayam-ayam
dan melepasnya di situ. Kadang, sehabis dari buang hajat, Ayah atau Ibu membawa
serta sebongkah pepaya, daun-daun singkong, berbutir-butir cabai …. Siang-siang
saat hari libur, aku dan adikku menggelar tikar di teras belakang, Ayah
memotong ayam, Ibu menyiapkan sambal, lalap, dan nasi dari padi-padian liar
yang ternyata tumbuh juga di tanah kosong itu.
“Nikmatnya makan dari hasil
jerih payah sendiri,” desah Ayah sambil mengunyah makanan dengan lahap.
Aku mengangguk-angguk dengan
mulut penuh, teringat saat-saat ketika sembelit.
Perjalanan untuk buang hajat
pun menjadi sangat kunikmati.