Katanya Ali lagi pedekate sama aku. Aku senang-senang saja sama dia. Wajahnya
manis. Pakai kacamata. Rambutnya lurus lebat kayak cowok di iklan sampo. Yang
paling penting, kulitnya lebih gelap daripada aku, hihihi. Terus, dia suka
banget ngomongin buku. Aku sering
enggak mengerti sama obrolan dia, tapi aku mendengarkan saja. Kan keren cowok
suka buku. Tapi dia pemalu banget. Kalau dia bicara, pasti sambil menunduk-nunduk,
jarang melihat mataku. Teman-teman bilang aku mesti lebih aktif sama dia. Jadi
aku mengajaknya main ke rumahku.
Belum jam tujuh malam, Ali sudah datang. Ada Reza, teman sekelasku
juga. Enggak tahu kenapa, Ali tampak lebih grogi daripada biasanya. Reza sih
gayanya cuek. Setelah beberapa lama kami bertiga diam-diaman, akhirnya Reza
yang bicara. Ternyata dia asyik dan rada gila. Kalau mengobrol sama Ali,
enggak pernah aku tertawa sesering ini. Kadang Reza menegur Ali supaya ikut
bicara. Ali cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum. Kami lanjut lagi deh
mengobrolnya berdua. Tahu-tahu sudah jam sembilan malam. Mereka pun pamit
pulang.
Besok-besoknya di sekolah aku pengin banget ada kesempatan
buat mengobrol sama Reza lagi. Tapi dia berkumpul sama teman-teman cowoknya
melulu. Aku merasa enggak enak kalau tiba-tiba mendekati dia. Apalagi kalau
teman-teman cewekku melihat lalu bikin gosip yang enggak-enggak kayak sewaktu
aku dengan Ali. Jadi aku cuma bisa mencuri pandang ke Reza dari jauh. Aku
senang sekali kalau enggak sengaja bisa berdekatan dengan Reza, misalnya
sewaktu lagi kerja kelompok di kelas, dan dia tersenyum padaku. Ternyata dia
enak juga dilihat.
Sudah berminggu-minggu sejak Reza main ke rumahku, tapi belum
ada kesempatan buat mengobrol asyik sama dia. Paling-paling kami cuma saling
tegur kalau berpapasan. Apa aku mengajaknya ke rumahku saja, ya? Tapi aku
enggak mau dia bawa teman, kalau akhirnya cuma jadi obat nyamuk. Lagian di
rumahku kan enggak ada nyamuknya! Tapi masak sih aku melarang dia bawa teman?
Kesannya ngebet banget pengin berduaan. Gengsi!
Suatu malam, ketika lagi mengerjakan PR, aku mendengar suara di
depan pagar rumahku. Aku melongok ke jendela dan hampir enggak percaya
penglihatanku. Cowok itu sedang memasukkan sesuatu ke kotak surat. “Reza!” Dia
terkesiap dan mendongak. Aku buru-buru keluar dari kamar. “Kamu ngapain di
sini?” tegurku setelah membuka pagar.
“Ah, kebetulan lewat aja kok.” Dia mengusap-usap belakang
kepalanya dengan kikuk.
“Tadi kamu masukin apa?” tanyaku sambil membuka kotak surat.
“Ah, bukan apa-apa, cuma—“
Selembar surat! Aku membuka amplopnya dan membaca isinya. Pipiku
memanas. Aku membaca surat itu berkali-kali dengan cepat tapi cermat. “Ini …
beneran enggak sih?”
“Beneran sih.”
“Reza …!” Panas di pipiku sudah merembet ke mata.
“Seb—sebenarnya itu ….” Dia makin salah tingkah, tapi
menurutku itu cute banget.
“Aku mau!” kataku. “Aku mau jadi pacar kamu!”
Dia malah terperangah. Beberapa lama dia cuma diam.
“Kenapa?” tanyaku. Debaran di dadaku sudah mereda. Entah
kenapa ada yang aneh.
Dia menggaruk-garuk kepala, tampak kebingungan. “Suratnya
enggak dikasih nama, ya?”
Ganti aku yang terperangah. “Ini bukan surat dari kamu?”
kataku pelan.
Ketika dia menjawab, “Bukan,” aku ingin menangis. Kuharap dia
mengatakan sebetulnya dia juga suka padaku, mau berpacaran denganku, seperti
dalam cerita yang kubaca di majalah.
“Sebenarnya aku juga suka sama kamu ...” ujarnya, setelah
beberapa lama tampak kebingungan mencari kata. “Kamu asyik, cantik, keren …”
ya ampun, aku sudah hampir melonjak ke langit lagi, “tapi ….” Aku benar-benar
menangis setelah Reza mengungkapkan alasannya. Ketika Reza pamit, aku
memintanya untuk memberi tahu siapa yang menulis surat itu.
Setelah pertemuan itu, hubunganku dengan Reza jadi canggung. Dia
enggak main-main dengan perkataannya waktu itu. Pantas aku lihat dia memang
jarang berdekatan dengan cewek. Aku pun berusaha buat berhenti memikirkan
Reza, berharap tahun ajaran ini cepat selesai dan setelah itu enggak sekelas
lagi dengannya.
Hingga suatu hari Ali mendekatiku lagi. Aku malah lupa dia
pernah pedekate sama aku! Kepalaku benar-benar penuh oleh Reza belakangan ini.
Kayaknya kali ini Ali serius. Saat jam istirahat, dia mengajakku ke tempat
yang rada sepi di sekolah lalu menyatakan perasaannya.
Aku cuma bisa tersenyum seperti Reza waktu itu, dan
mengungkapkan alasan yang sama, “… tapi orang tuaku bilang sebaiknya aku fokus
dulu sama pelajaran. Maaf, ya ….”***