Belakangan
ini sosok itu muncul lagi dalam kepalaku. Ada laki-laki yang jauh lebih besar
daripadaku berdiri di balik pagar TK, tersenyum memandangi kami, anak-anak yang
sedang memegang pundak satu sama lain beriring-iringan. Sosok itu nantinya
lebih daripada sekadar pengamat kami. Ia memainkan lagu dengan kibor mini di
kelas dan kami berjoget-joget asal mengikuti iramanya yang riang. Kami berebut
naik ayunan yang dengan senang hati ia ayun-ayunkan supaya kami merasakan
sensasi terbang tinggi. Ia menangkap kami, menggendong kami, mendekap dengan
gemas. Hingga ibu guru mendekatinya, mengatakan sesuatu, dan dengan sedih kami
melambaikan tangan padanya. Di belakang, ibu guru bilang, “Kakaknya mau sekolah
dulu.”
Kini,
setelah aku besar, mengenakan rok abu-abu, dan terkurung oleh tembok kelas
serta suara guru menerangkan pelajaran yang sampai kapan pun tidak akan pernah
bisa kumengerti, aku mulai mencerna keadaan yang sebenarnya waktu itu. Kakak
itu mengenakan celana panjang abu-abu, kemeja putih, dan ransel, persis benar
dengan cowok-cowok SMA mana pun di Indonesia. Selain itu, dulu aku masuk TK
dari Senin sampai Jumat, pukul delapan sampai sebelas, sedang sekarang, di SMA,
aku masuk dari Senin sampai Jumat, pukul tujuh sampai tiga. Baru kusadari,
kakak itu sedang membolos.
Kupikir-pikir
lagi, aneh juga, ada anak SMA suka mengamati anak-anak TK berkeliaran, dan pada
akhirnya berhasil mendekati kami pula. Jangan-jangan dia punya ketertarikan
khusus. Jangan-jangan dia sebangsa pedobear!
Aku senang, lagi, sama dia waktu itu dan rasa-rasanya dia pernah mengesun
pipiku. Hiii ...!
Tetapi,
entahkah dia memang mesum atau bukan, aku bisa mengerti sebabnya dia membolos,
jika ternyata sama seperti yang kurasakan kini. Lebih asyik kembali ke TK, atau
setidaknya bermain bersama anak TK, ketimbang membiarkan diri dirundung
soal-soal yang memusingkan. Sayang sekali ibu guru harus memisahkan dia dari
kami waktu itu.
Semakin
hari, semakin jauh pikiranku tentang kakak itu. Seperti apa dia sekarang? Di
mana dia sekarang? Bagaimanakah wajahnya sebetulnya, karena aku lupa, ganteng
atau tidak, yang kuingat cuma dia itu kurus dan putih, senyumnya selebar bibir
Joker, dan tawanya serenyah kerupuk puli. Kok berani, ya, dia membolos? Berani
membolos dan berbuat yang dia suka. Jika dia suka bermain bersama anak TK, apa
yang mau kuperbuat jika aku yang membolos? Aku belum tahu. Tetapi, suatu hari
kuputuskan untuk membolos sekolah.
Untung
sehari-hari aku tidak diantar orang tuaku ke sekolah. Pagi itu aku sengaja naik
angkot yang lain, berhenti di masjid pinggir jalan yang sepi, masuk ke kamar
mandinya, dan mengganti baju seragamku dengan baju lain yang kubawa dari rumah.
Masih belum tahu mau ke mana, begitu keluar dari pelataran masjid aku asal saja
mengambil jalan, yang penting tidak mendekati daerah sekolahku. Aku menyusuri
jalan raya, masuk ke gang-gang dengan perasaan waswas takut tersesat sekaligus
berdebar penasaran, tertantang memecahkan arah untuk kembali ke jalan raya.
Sesekali kuhirup udara yang masih sejuk dalam-dalam, hawa kebebasan. Kuamati
ibu-ibu di pinggir jalan sedang berbelanja, mengobrol, sambil mengawasi
anak-anak berkeliaran.
Setelah
beberapa jam berjalan tanpa henti, matahari mulai tinggi, udara semakin hangat,
dan aku berkeringat. Aku membeli minuman dingin di pinggir jalan, lalu duduk di
tembok yang menjorok dari bawah pagar sebuah perkantoran. Setelah beberapa
teguk, aku kembali memikirkan si kakak dari masa TK-ku. Apa dia juga awalnya
tidak tahu mau ke mana, berkeluyuran tanpa arah, hingga melewati TK-ku, dan
tertarik? Apa setelah ibu guru “mengusir”nya, dia benar-benar kembali ke
sekolahnya, atau malah mencari tempat tujuan yang lain? Apa yang dia lakukan
sekarang?
Lamunanku
pecah ketika ada yang duduk tidak jauh dari tempatku. Ia mas-mas berbaju
safari, beremblem pemerintah kota, dan merokok. Lelaki itu mungkin seusia
dengan si kakak sekarang. Tetapi sepertinya potongan tubuhnya lain. Ia tidak
kurus, tidak putih. Bukan, bukan dia orangnya.
Saat
itu masih bisa dibilang pagi, tetapi kukira sudah termasuk jam kantor. Mengapa
orang ini malah duduk-duduk santai merokok?
Karena
tidak nyaman dengan asap rokok, aku pun beranjak sambil memasukkan botol
minuman ke ransel. Tetapi, tiba-tiba aku terjerembap tepat di depan orang itu.
Isi ranselku berhamburan, termasuk baju seragam yang tadi kumasukkan asal saja.
Orang itu lekas membuang rokoknya, dan membantuku bangkit serta memasukkan isi
ranselku sekenanya.
Ketika
memegang rok abu-abuku, tahu-tahu ia tertawa. “Masih SMA udah suka bolos.
Belajar yang rajin, biar jadi PNS. Jadi PNS tuh susah masuknya, tahu! Hahaha
....”
Aku
tidak begitu mengerti yang ia maksudkan, tetapi sontak aku membalas, “Kakak
enggak kerja?”
Ia
menyahut, “Istirahat sebentar,” sambil mengarahkan kepala pada sekumpulan
lelaki berseragam persis dengan dirinya, namun mereka jauh lebih tua. Para
bapak-bapak itu juga sedang duduk-duduk santai merokok, tidak jauh dari kami.
Beberapa masih memandangi kami, dan sebagian lagi sudah kembali asyik
mengobrol.
Setelah
mengucapkan terima kasih, aku berlalu sambil terpincang-pincang. Lututku panas,
sedang ujung kakiku yang bertubrukan dengan batu terasa nyeri nyut-nyutan.
Begitu ada angkot lewat, aku segera menyetopnya. Untung penumpangnya cuma satu,
jadi aku bisa menyelonjorkan kaki dan memeriksanya. Celanaku robek di lutut,
dan ujung kakiku memerah.
Aku
memutuskan untuk berhenti di mal. Terlebih dulu aku mencari plester warna-warni
di toko pernak-pernik untuk menutup luka di lututku. Pada akhirnya, aku cuma
bermain ponsel dengan memanfaatkan wi fi
foodcourt sambil mengudap camilan.
Sedikit-sedikit kulihat jam, hingga hari sudah siang namun belum waktunya
pulang sekolah. Tampaknya kakiku sudah agak baikan. Jadi aku berjalan-jalan
mencuci mata, melihat-lihat barang bagus yang dipajang. Beberapa kali aku
berpapasan dengan ibu-ibu berseragam persis dengan mas-mas tadi, berdua-dua
atau lebih banyak, sedang memilah baju atau berjalan menggandeng tas belanja.
Begitu tiba jam pulang sekolah, aku mencari kamar kecil dan pulang dari mal
dengan berbaju seragam.
Setelah
hari itu, sementara waktu aku belum tertarik untuk membolos lagi. Memang
sekolah terasa menyiksa dengan banyaknya pelajaran yang sulit, jam yang
panjang, dan guru-guru yang tidak memahami pikiran serta perasaanku, tetapi
sedikitnya kini aku sudah punya tujuan. Apalagi setelah aku meng-googling ‘cara menjadi PNS’. (Mas-mas
waktu itu rupanya PNS. Perkataannya masih membekas di kepalaku.) Toh nanti
kalau aku sudah menjadi PNS, aku bisa membolos lagi sesekali.[]