Sabtu, 18 Agustus 2018

Mengurbankan Kemerdekaan

Kemarin pagi saya mengidam gorengan. Setelah membeli sebungkus gorengan seharga sepuluh ribuan di depan Alfamart dekat rumah, dalam perjalanan pulang tahu-tahu terbayang oleh saya masyarakat adat yang tersingkir dari kampung tempat mereka mencari penghidupan sehari-hari, anak orangutan yang kehilangan induknya, jutaan burung yang kelabakan mencari sarang baru, serta sekian spesies yang punah. Semua demi menghasilkan aneka produk kelapa sawit, yang di antaranya berupa minyak goreng, agar saya bisa menikmati sebungkus gorengan pada pagi nan cerah yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Bukan hanya perkebunan kelapa sawit, tetapi juga pertambangan batu bara dan sebagainya menggantikan hutan alam demi memenuhi konsumsi manusia modern. Batu bara merupakan sumber utama energi listrik (baca di sini). Berkat listrik, kita dapat memainkan gadget seharian. Sudah menjadi topik yang klise betapa hidup manusia sekarang ini sangat bergantung pada teknologi--gadget. Agaknya listrik sudah termasuk kebutuhan primer dalam hidup kita, mendampingi pangan, sandang, dan papan.

Merayakan kemerdekaan dengan berkurban.
(Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.)
sumber
Dalam rangka mensyukuri hari kemerdekaan, biasanya kita disuruh untuk mengenang jasa dan pengorbanan para pahlawan yang telah bertempur melawan kompeni bersenjatakan bambu runcing. Tetapi rupanya ada lebih banyak nyawa yang harus dikorbankan agar sebagian manusia dapat menikmati gorengan dan gadget dengan merdeka bangsa yang merdeka ini dapat melangsungkan pembangunan.

Sebetulnya saya cuma ingin berbagi rasa terusik saya setelah membaca dua artikel ini di Mongabay:

Community vs. company: A tiny town in Ecuador battles a palm oil giant
Bornean villagers who fought off a mine prepare to do battle again

Selain itu, saya pernah membaca hadis yang mengatakan bahwa sesuap yang kita makan pun akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat. Lalu bagaimanakah pertanggungjawaban kita jika segenggam gadget yang kita pakai sehari-hari ternyata mengakibatkan terzaliminya suatu suku di pedalaman Papua?

Sesampai saya di rumah, setelah makan beberapa bala-bala dan cireng lalu merasa mual, saya melempar topik ini ke suatu grup WA serta memikirkan langkah-langkah yang dapat saya lakukan untuk mengurangi rasa bersalah saya.


  • Berhenti makan gorengan sama sekali. Batasi makanan hanya berupa buah, sayuran, serta apa pun yang direbus dan dikukus, dan beli dari warung, pasar tradisional, atau pedagang kecil.
  • Berhenti minum minuman sachet sekalian. Toh kamu malas mendaur ulang sampahnya, ya kan? Minum air putih saja. Kalau ingin minum yang berasa, alternatifnya: air + madu, air + perasan jeruk nipis atau lemon + madu, kunyit asam, serta aneka minuman herbal lain yang dibuat sendiri dan bahan-bahannya dibeli di warung, pasar tradisional, atau pedagang kecil.
  • Batasi penggunaan gadget. Kalau malam, daripada menyalakan lampu kamar dan menyendiri sambil menyetel musik supaya ada "suara-suara", lebih baik menggunakan lampu ruang tengah bersama-sama anggota keluarga yang lain. Toh mereka juga bersuara.
  • Cari tahu tentang sumber energi alternatif.


Ow, really?!

Gagasan-gagasan di atas sama sekali tidak menyenangkan, dan banyak alasan untuk tidak melakukannya. Kan enggak tiap hari makan gorengan, sekali-sekali enggak apa-apa lah, dan lagi bala-bala itu enak banget. Memeras jeruk nipis atau lemon tiap pagi sangat merepotkan dan makan waktu, begitu pula dengan memasak herba-herbaan. Belajar bahasa asing lewat Duolingo, Youtube, dan berbagai sarana lain di internet lebih menyenangkan daripada lewat buku cetak yang hampir-hampir tidak ada gambarnya. Mencuci piring, menyetrika, menyapu dan mengepel lantai terasa membosankan tanpa mendengarkan jaz. Berkumpul bersama di ruang keluarga sangat canggung dan tidak semua orang ingin menonton siaran Asian Games di televisi. Bahkan bergaul pun hampir-hampir tidak mungkin dilakukan tanpa gadget. Zaman sekarang, ketika kita ingin menemui seseorang kita mesti menghubungi dia lebih dulu lewat WA atau apalah, alih-alih menelepon atau mendatangi langsung ke rumah dan memanggil-manggil namanya dari balik pagar seperti dahulu kala. Begitu pula dengan bekerja. Bahkan peternak pun menggunakan aplikasi untuk menyebarkan pelet dalam dosis yang tepat. Pekerjaan apa yang tidak menggunakan teknologi dewasa ini? Yah, ada saja sih dan mungkin bisa dihitung dengan jari, tetapi apa mau bekerja seperti itu? Selain itu, belajar tentang sumber energi alternatif pasti memusingkan! Ada alasannya saya enggak memilih ITB jurusan teknik menjelang lulus SMA.

Kebetulan tahun ini hari kemerdekaan berdekatan waktunya dengan Idul Adha, yang identik dengan kurban. Ternyata keduanya punya keterkaitan makna juga. Kita bisa merdeka berkat pengorbanan para pahlawan, masyarakat adat, orangutan, burung, dan aneka spesies lain. Pengorbanan berarti kita lepas, bebas, merdeka dari keterikatan dengan sesuatu yang kita dikasihi, disayangi demi sesuatu yang Tinggi, seperti pembangunan perkebunan dan pertambangan demi menunjang ekonomi bangsa seperti Nabi Ibrahim As yang hendak menyembelih putranya semata-mata karena perintah Allah Swt.

Mengurbankan kemerdekaan
(Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.)
sumber
Kalau sebagian nyawa rela atau terpaksa berkorban agar kita bisa memperoleh kemerdekaan dalam hal-hal tertentu, sudikah kita melakukan sebaliknya demi kebaikan yang lain? Maksudnya, kan bisnis muncul karena ada permintaan. Perkebunan dan pertambangan terus dibuka menggantikan hutan karena konsumsi masyarakat atas produk dari jenis usaha tersebut meningkat. Bisa saja perkebunan dan pertambangan itu setelah tidak digunakan lagi direhabilitasi agar kembali menjadi hutan, tetapi akankah dapat menghidupkan lagi spesies yang telanjur punah? Akankah itu memulihkan luka emosional serta perubahan mental dan gaya hidup suatu kaum yang telah mengalami marginalisasi selama bergenerasi-generasi? Sudikah kita mengorbankan gorengan? Sudikah kita mengorbankan minuman sachet? Sudikah kita mengorbankan waktu bermain gadget demi melakukan aktivitas lain yang lebih aktif, bersosialisasi secara nyata? Sudikah kita membersihkan rumah dan segala isinya tanpa sambil menyalakan radio? Sudikah kita mengorbankan waktu untuk melacak sumber listrik PLN, berkelanjutan atau tidak, dan kalau tidak lantas berhenti berlangganan serta mencari dan memasang alternatifnya? Sudikah kita mengorbankan segala kenyamanan hidup ini? Pasti sulit, ya, dan penderitaan yang kita rasakan ketika harus berpisah dari hal-hal itu apakah sebanding dengan yang dialami masyarakat adat yang tersingkir dari kampungnya, anak orangutan yang terpisah dari induknya, jutaan burung yang hancur sarangnya, serta sekian spesies yang tidak dapat lagi berkembang biak? Bagaimana pula dengan penderitaan kita di neraka akibat secara tidak sadar menzalimi makhluk hidup lain? Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, tetapi kita terus berbuat kerusakan di muka bumi dengan ketergantungan kita pada gorengan, gadget, listrik, bahkan baju baru yang limbahnya mencemari Sungai Citarum. Tapi, tapi, tapi, gimana nasib penjual gorengan, gadget, PLN, pedagang baju di Pasar Baru, serta karyawan batu baru dan kelapa sawit kalau kita berhenti membeli barang mereka??? Gimana dengan laju ekonomi bangsa??? Uuugh, stres akutu.

Sementara itu, teman-teman dari grup WA mengingatkan saya untuk tidak berpikir terlalu jauh. Tanggapan mereka juga mengingatkan saya pada orang-orang yang kemudian depresi, paranoid, dan sebagainya akibat memikirkan betapa kekuatan asing telah menguasai Indonesia atau dahsyatnya siksa neraka. Tidak lupa, ada cerpen Ursula Le Guin, "The Ones who Walk Away from Omelas" (versi bahasa Indonesia coba-coba di sini) yang seakan-akan menyiratkan bahwa begitulah kehidupan manusia: demi kebahagiaan suatu kaum, ada pihak lain yang harus menderita. Pada akhirnya, semakin berumur kita akan menjadi semakin pemilih: mana yang harus dipedulikan dan mana yang sebaiknya diabaikan. Agaknya orang memang perlu cuek supaya tetap waras. Hidup sungguh bagai makan buah simalakama. Tapi tapi tapi apa enggak buah lain yang enak dimakan?

Marilah berbagi kemerdekaan, sepertinya.
(Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.)
sumber
Jadi, apa sih kemerdekaan itu jika sampai harus mengorbankan hajat hidup makhluk lain? Memang sih, siapa juga yang sudi berkorban demi kepentingan penjajah? Tetapi, bagaimana jika setelah penjajah itu pergi, kitalah yang ganti menduduki posisinya dan menjajah bangsa sendiri, tanpa kita menyadarinya? Bisakah kita merdeka dari berbuat salah dan dosa? Bisakah kita hidup tanpa berbuat kerusakan di muka bumi? Mengapa begitu banyak kesenangan dunia yang mesti dikorbankan demi kebaikan akhirat?

Keep istigfar, tobat dan belajar zuhud, sepertinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu