Selasa, 14 Agustus 2018

Pengantar Eksplorasi Gaya Hidup tanpa Uang

sumber
Sebelum membaca The Moneyless Man oleh Mark Boyle, saya sudah bersikap irit, cuek, urakan, sederhana, serta tertarik pada gagasan seputar asketisme dan lingkungan hidup. Saya suka menabung. Saya menolak menggunakan kendaraan motor pribadi dan malah menikmati jalan kaki serta naik kendaraan umum. Saya bergabung dengan ekskul pencinta alam di SMA (walau hanya sesaat). Saya memilih kuliah di jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Saya juga lebih banyak menghabiskan uang untuk buku ketimbang pakaian dan kosmetik (walau sebagian mungkin karena saya menderita inferiority complex dan social inhibition).

Gagasan gaya hidup tanpa uang baru relevan setelah saya lulus kuliah dan bermasalah dalam menemukan sumber penghasilan. Saya tidak tertarik bekerja di bidang kehutanan. Saya tidak lagi ingin menulis, yang padahal dulu merupakan passion saya. Saya hanya ingin lenyap ditelan bumi. Saya baru melihat-lihat lowongan kerja ketika bosan, tapi saya dihadapkan pada banyak kebingungan. Apa saya memiliki skill yang diperlukan dalam pekerjaan ini? Apa saya benar-benar menginginkan pekerjaan ini? Terlunta-lunta begitu, saya mendapati gagasan tanpa uang sebagai arah baru. Yah, mungkin bukan mutlak gaya hidup tanpa uang, melainkan gaya hidup alternatif. 

Saya cocok dengan gagasan ini dalam beberapa hal. Pernah dengar istilah "kreatif"--kere tapi aktif? Juga peribahasa "tiada rotan akar pun jadi" dan komik Si Botak Hagemaru? Saya suka dengan gagasan betapa keadaan bokek menjadikan otak mencari cara untuk memanfaatkan apa pun yang sudah ada di sekitar. Tidakkah situasi tersebut menjadikan kita bersyukur bahwa ternyata ada yang masih bisa kita manfaatkan; ternyata kita tidak memerlukan lebih; ternyata Tuhan memang sudah mencukupi kita? Saya suka betapa keadaan bokek memaksa kita untuk berdamai dengan kesederhanaan, yang merupakan salah satu teladan Rasulullah SAW. Saya suka betapa rezeki tidak mesti diartikan  dalam bentuk "uang" dan datangnya bisa dari mana saja--arah yang tidak disangka-sangka--seperti yang dikatakan Alquran. Saya suka betapa gagasan ini memaksa saya untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain karena mereka bisa menjadi jaring pengaman saya. Saya suka betapa berhemat berarti mengurangi kerusakan yang kita perbuat di muka bumi. Saya suka betapa gaya hidup ini dalam beberapa hal sesuai dengan amanat Islam, agama yang saya anut.

Tapi, di sisi lain, Islam menghalalkan jual beli. Islam punya hukum sendiri dalam mengatur perekonomian. Selain itu, untuk melaksanakan ibadah tertentu secara wajar seperti zakat, kurban, dan haji, kita membutuhkan uang. Mark Boyle sendiri mempertimbangkan berbagai dampak yang dapat terjadi jika banyak orang berhenti menggunakan uang sama sekali. Lagi pula, jika kita ingin hidup lebih baik secara finansial, fisik, mental, sosial, dan sebagainya, toh ada banyak alternatif di samping hidup tanpa uang sama sekali yang terlalu ekstrem. Toh sekarang ini mulai tren yang namanya gaya hidup minimalis atau organik atau pindah ke pedalaman sekalian dan berburu rusa untuk makanan seperti dalam film Captain Fantastic. Mark Boyle juga mengajukan bahwa gagasan ini untuk diterapkan secara individual. Kita bisa memilih berhenti menggunakan uang dalam aspek tertentu saja, tidak harus semuanya. Misalnya saja, kita bisa berhenti membeli sabun serta sampo dan kembali pada cara lama untuk mandi: pakai batu kali atau menanam oyong di halaman sebagai ganti spons.

Bacaan, tontonan, percobaan, pengalaman serta pertemuan dengan berbagai orang membuat saya mau tidak mau terus menimbang ragam gaya hidup alternatif secara kritis. Lucu juga ya mendapati orang itu bermacam-macam. Banyak orang ingin gaji besar dan hidup nyaman, tapi ada saja orang yang padahal sudah punya gaji besar dan hidup nyaman melepaskan segalanya itu untuk hidup "miskin" lagi "susah" di pedalaman. Ujung-ujungnya, ekonomi itu mengenai pemenuhan kepentingan diri yang bermacam bentuknya. Saya sendiri masih perlu terus mencari mana yang baik bagi saya; apa yang bisa saya kerjakan dengan sarana yang sudah ada.

Alhamdulillah, saya memiliki orang tua yang masih dapat menyokong saya sementara saya terus mengeksplorasi. Ikhtiar untuk memiliki sumber penghasilan yang sreg, halal lagi tayib perlu terus dilakukan. Mempelajari gaya hidup tanpa uang lebih seperti antisipasi jika ikhtiar itu gagal, maka saya tidak akan sebegitu merana. Back up plan lah. Banyak yang masih perlu dikaji dan diuji mengenai gaya hidup ini. Saya berharap perjalanan tersebut dapat mengajari saya untuk menjadi kreatif, kanaah, istikamah, tabah ... insyaallah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu