It was another regular
day at Twinsville High School. Eggs, an average freshman student, sat down and
began drawing in his textbook. The teacher, Mr. Trip, noticed Eggs and said,
“Eggs, who is Gregor Mendel?” Eggs looked up at Mr. Trip. “I guess I'll go to
the principal’s office now.” Eggs stood up and rushed out of the classroom.
He walked to the
principal office but suddenly he thought, Heck,
what am I doing? He turned his walk and went into the janitor room. He
found a pile of used papers at the corner of the room. Fortunately he brought
his pen with him, so he continued drawing. He drew a monster attacking a city,
and then came up an Ultraman. When the bell rang in the middle of the day, he
had done a comic book. “Gregor Mendel was here,” he wrote a mark on the wall
before leaving the janitor room.
That's when he decided
to make his boring life more interesting. He wanted to create a monster. But
most of all, what he really wanted to create was a hero. A hero that could
defeat that monster. Eggs rushed back home. He stayed up all night that night.
He flipped through pages. He mixed chemicals. He laughed maniacally. After ten
minutes into the night, Eggs’ eyes began to close. He fell down and knocked
over two of his beakers. The breaker spilled into Eggs while he slept.
When he got up in the
morning, he realized that the beaker spilled onto him. At first, he was worried
that it might do something to him. He wander around his room frantically. He
was afraid that the beaker would turn him into a monster, or even worse:
Ultramonsterman! He heard his mom yell, and she reminded him that he must go to
school. And so, he waited for the rest of the day. At school, he imagined that
he suddenly got bigger and bigger and his skin turned green, and he would
destroy the school that he hated so much since ever. But, at the end of the
day, nothing happened. He went home sad.
That night, Eggs
couldn't sleep. He kept turning and rolling around in his bed. He was tired of
his normal life. That's when he decided to make a costume. Powers or not, he
was going to become a hero. He stayed up all night thinking of a design. After
coming up with a design though, he realized he knew nothing about making
clothes. So that night, he also stayed up thinking of a way to ask his mom for
help.
He was scared of his
mom. His mom always snapped at him if he did not get good grades. He imagined
saying to his mom, “Mom, since I want to be a surgeon, I need to learn sewing
by now. So, once I get into the medical school, I am already an expert at
sewing. I am going to sew human skin very well but for now I want to start by
sewing superhero costume.” Would she tell him how? What if he made the costume
from real human skin?
His mom agreed to teach
him how to sew. Seconds, minutes, and hours. Days, weeks, and months. Time ran
by and Eggs got better. By the end of the months, Eggs finally surpassed his
mother. His mother said, “Remember Eggs, sewing is about connection”. His
mother's words echoed in Eggs mind. He realized that he was given a power that
no one else had. He could tie criminals up by sewing them to other things. He
quickly sewed up a mask.
The mask was green and
oval, like the form of his head. When he looked at the mirror wearing the
mask, he thought, Oh my God, my head
literally looked like a big, green egg, and my name is Eggs, so I will just
call myself The Green Eggs. And that was how The Green Eggs was born. Now
he had to find monsters to fight, but first of all he had to shower. He had
been too absorbed sewing his mask and he stank so bad. I hope the monster won’t come up when I am showering. I like showering
in the state of peace with lavender soap. I wish the lavender soap won’t turn
into a monster. Damn, how do I get so paranoid? I am way too excited!
While showering, he
realized his shower took longer than expected. As the water sprayed down his
body, he came up with an idea. He took his shampoo bottle and body wash bottle
and poured one into the other and shook it. He rinsed it through his hair. As
it dripped down his body, he scrubbed. He turned off the water and exclaimed,
“I have invented body poo!”
Nothing much happened
afterward. His disappointment grew. He wander around the neighborhood smelling
lavender and went through an existential crisis. What I am supposed to do? What I am supposed to be? He couldn’t be
a superhero nor find a monster. He could only fight the monster through his
imagination. He sat in a park bench and began to draw again. Leaves were
falling. He hoped that the leaves would fall like raining cats and dogs and
buried him.
Then an idea lit up in
his mind. Dark clouds covered the sky. Eggs was going to create a chimera. He
wanted to fuse a human with other creatures. This was his chance to take his
sewing skills to the next level. He only thought about succeeding and not once
worried about the consequences.
Strong wind swirled
around the park. Rain fell out of the blue. A lightning bolt strokes on Eggs
and everything became dark. He did not know whether he was still alive or not.
All he saw after the darkness was a stray of light.
He heard a voice. It
said, “You're going too far. And for that, I must take you away from this world
and send you to where you belong.”
“Noooooooooooo!!!!” Eggs
screamed and gasped and found his teacher standing in front of him.
“Eggs, who is Gregor
Mendel?” ***
Note:
I made this story with a guy I met on Bottled. He came up with the idea of collaboration since we both love creative writing just for the sake of fun. He also took the first turn and gave the title. And he corrected my English. Thanks, Dude. (And he had no idea what was Ultraman.) ((And he's really creative and funny. And he has nice abs.)) (((And you can stalk him on his IG. It's private, though.)))
(Karena entri terlalu panjang, maka saya bagi menjadi dua. Bagian pertama ada pada entri sebelumnya.) Bahasa Jerman
Alasan saya tertarik pada bahasa Jerman yaitu karena saya berpikiran untuk menulis cerita yang tokohnya pernah tinggal di Jerman, lalu entah kenapa saya merasa setidaknya mesti punya gambaran tentang bahasanya. Kenapa Jerman, yah, sebenarnya, karena saya melihat ada banyak (oke, mungkin cuma beberapa) selebriti yang Indo-Jerman dan kok pada rupawan, jadi, ya, begitulah. Saya sudah menuliskan pengalaman awal saya dalam belajar bahasa Jerman di blog ini, dan entah kenapa salah satunya menjadi tulisan terpopuler. Bahasa Jerman kemudian menjadi pilihan pertama ketika saya mengunduh Duolingo.
Lagu buat yang lagi galau.
Bahasa Italia Pilihan berikutnya ketika mencoba Duolingo yaitu bahasa Italia. Ketertarikan saya pada Italia pada awalnya dari musik instrumentalnya, khususnya karya komposer-komposer era '60-'70-an seperti Piero Umiliani dan Rino de Filippi. Saya terpukau karena musik mereka terdengar bagai surga di telinga saya. Kebudayaan macam apa yang bisa menghasilkan musik seindah itu?! (Oke, lebay.) Lalu saya berpikir bahasanya mungkin tidak kalah indah daripada bahasa Perancis? Saya juga berandai-andai membuat cerita yang tokohnya pernah tinggal di Italia, lalu berjodoh dengan orang sana dan seterusnya.
"This music makes driving a most pleasurable experience :-),"
kata orang di Youtube.
Bahasa Jepang Pilihan selanjutnya yaitu bahasa Jepang. Sebenarnya saya tidak meminati bahasa tersebut. Saya menambahkan itu di Duolingo sekadar supaya menjadi kesatuan Axis Power alias Blok Poros yang melawan Sekutu #apasih. Lalu entah bagaimana, saya menambahkan tiga bahasa lain: satu bahasa Eropa yang tidak saya ingat dan dua lagi yaitu bahasa Asia--Mandarin dan Korea--sekadar supaya ada keseimbangan antara Eropa dan Asia, tiga lawan tiga #seriusapaansih. Tetapi pembelajaran ketiga bahasa Asia tersebut di Duolingo sepertinya memerlukan pengetahuan dasar mengenai aksaranya. Setelah merasa mandek, saya menemukan aplikasi yang lebih memadai untuk mempelajari ketiga bahasa tersebut, yaitu Lingodeer. Lingodeer menyediakan pelajaran khusus untuk mempelajari aksara. Maka, saya pun menghapus bahasa Jepang, Mandarin, dan Korea dari Duolingo seraya menambahkan tiga bahasa Eropa lagi, kemudian mencoba ketiga bahasa Asia itu di Lingodeer. Tetapi, sementara saya betah memainkan enam bahasa Eropa sekaligus di Duolingo, saya merasa kewalahan dengan bahasa-bahasa lainnya di Lingodeer yang masing-masing punya aksara tersendiri itu. Saya bahkan bukan penggemar K-Pop, untuk apa saya belajar bahasa Korea? Huhuhu. Dengan otak yang sudah dijejali oleh bahasa-bahasa lain, bahasa Mandarin pun menjadi terlampau sulit. Mau berapa kali pun menuliskan huruf-hurufnya, tidak ada satu pun yang melekat di ingatan. Maka, saya hapus sekalian aplikasi tersebut.
Belakangan bahasa Jepang muncul lagi di pikiran. Alasannya sekadar untuk memanfaatkan buku pelajaran bahasa Jepang yang banyak tersedia di rumah. Selain itu, saya mengenal beberapa orang baik di dunia nyata maupun di dunia maya yang belajar bahasa Jepang sehingga mereka bisa menjadi teman praktik. Tetapi, terlepas dari itu, saya sama sekali tidak tertarik untuk mempelajari bahasa Jepang. Iya sih, saya suka Tatsuro Yamashita tetapi saya puas mendengarkan lagu-lagunya tanpa harus memahami liriknya. Iya sih, huruf Jepang lucu-lucu--ada yang bentuknya kayak ikan, orang lagi lunge, dan lain sebagainya tetapi so what gitu loh. Iya sih, sebagian tontonan dari sana menghibur lagi bermutu tetapi kan ada subtitle. Ah, hajimemashite moshi moshi mochiro daihatsu honda desu deh jadinya!
Siapa yang dulu suka menonton Good Luck di Indosiar?
Tatsuya Kimura~
Bahasa Perancis Sama seperti sebagian orang, saya beranggapan bahasa Perancis terdengar seksi. Selain itu, ada beberapa buku bantu belajar bahasa Perancis di rumah sehingga terpikir untuk memanfaatkannya.
Tadinya saya mau memasukkan lagu paling seksi di dunia,
tetapi Alain Delon lebih seksi. *fangirling si opa *literally opa-opa
Bahasa Belanda Saya memilih bahasa Belanda karena alasan historis. Maksudnya, ketika saya mencoba mengambil manfaat dari buku sejarah yang banyak tersedia di rumah, saya sering menemukan bahasa tersebut sehingga timbul keinginan untuk mengetahui cara membacanya. Kebetulan ada juga beberapa buku bantu belajar bahasa tersebut di rumah. Ternyata, setelah mencobanya di Duolingo, saya tidak suka bahasa Belanda, di samping kenyataan bahwa mereka telah merampas begitu banyak dari leluhur saya. Bahasanya tidak enak dibaca, ditulis, didengar, apalagi diucapkan. Saya membuat banyak kesalahan dalam bahasa ini ketimbang bahasa-bahasa lainnya yang saya ambil di Duolingo, eh, selain bahasa Perancis, tentunya. Tetapi, apa boleh buat saya bertahan. Siapa tahu kelak saya jadi menulis novel sejarah dan diberi hibah untuk melakukan riset di Leiden (putar "Khayalan Tingkat Tinggi" Peterpan).
Geef mij maar nasi goreng, oma!
Bahasa Portugis Saya menikmati lagu-lagu Brasil, khususnya bossa nova. Angan-angan saya bisa mengerti lirik lagu-lagu yang saya sukai itu, walau kata orang Brasil sendiri bahasa Portugis itu susah (selipkan lagi emoji tertawa sambil menangis). Terlepas dari itu, saya takjub ketika menemukan bahwa beberapa kata dalam bahasa Portugis ternyata mirip dengan bahasa Indonesia, contohnya bendera/bandeira, bola/bola, kemeja/camiseta, keju/queijo, jendela/janela, meja/mesa, mentega/manteiga, roda/roda, sepatu/sapatos, dan mungkin masih ada lagi. Diingat-ingat, Portugis juga pernah menjajah Indonesia jadi mungkin itu sebabnya kita memiliki banyak kata serapan dari bahasanya.
Lagu yang sempat membikin saya pengin jadi orang Brasil,
padahal belum pernah ke Brasil
dan orang Brasil sendiri bilang banyak garong di Brasil.
Bahasa Spanyol Kenapa tidak menggenapinya dengan bahasa Spanyol? Kan Spanyol juga sempat menjajah Indonesia? Awalnya saya sempat tertarik pada bahasa Spanyol, bahkan mengunduh dan mencetak buku pelajarannya dari internet (kebetulan tinta printer di rumah lagi murah, banyak, dan bakal kering kalau tidak sering digunakan), ialah ketika bertemu imigran ilegal pemakai narkoba dari Meksiko yang sedang bekerja di AS. Saya menduga dia ilegal karena dia bilang tidak banyak orang di situ yang mengetahui nama aslinya, dan ketika chat dengan saya di stranger app, entah sudah berapa lama dia tidak tidur akibat pengaruh obat. Saya jarang berhasil chat lama-lama dengan stranger di aplikasi semacam itu, tetapi dengan dia berlangsung sampai jam-jam bahkan mungkin yang terlama yang pernah saya dapatkan. Setelah pindah ke aplikasi chatting lainnya, sebagaimana biasa terjadi, obrolan tidak selancar kali pertama hingga akhirnya saya meninggalkan dia sama sekali. Selain itu, dia memasukkan saya ke grup yang isinya orang menghina satu sama lain. Saya enggak mengerti ....
Sekarang, alasan saya belajar bahasa Spanyol lebih untuk memanfaatkan buku-buku yang sudah telanjur saya cetak sih. Heuheuheu.
Ini lagu legendaris banget.
Saya memainkan enam bahasa sekaligus di Duolingo dengan membuat jadwal. Satu hari satu bahasa, sehingga giliran untuk tiap-tiap bahasa enam hari sekali. Walaupun saya menyetel target ke level Insane alias 50 XP sehari, tetapi saya menyebut diri casual learner. Artinya, saya menganggap ini sekadar permainan tanpa mau repot-repot mempelajari tata bahasa. Saya senang saja bila mendapati kemiripan di antara bahasa-bahasa itu, apalagi dengan bahasa Indonesia. Tetapi, lama-kelamaan, terpikir juga untuk mempelajari tata bahasa. Apalagi untuk sebagian bahasa saya punya buku-buku pelajarannya, baik cetak maupun digital. Kenapa itu tidak dimanfaatkan? Lima belas menit sehari cukup, kata Duo.
Selain itu, saya bukannya tidak menyadari bahwa saya eurosentris dengan keenam bahasa Eropa di Duolingo itu. Padahal pilihan tersebut impulsif saja, mungkin menunjukkan bahwa diam-diam mental saya masih terjajah. Lantas, ke mana semangat perjuangan Asia-Afrika? #eaaa Maka, sementara waktu saya mencoba bahasa Swahili. Hakuna matata. Ada juga kata-kata dalam bahasa Swahili yang mirip dengan bahasa Indonesia, dan keduanya dipengaruhi oleh bahasa Arab. Tetapi, rupanya saya tidak betah belajar bahasa Swahili di Duolingo karena tidak ada suaranya. Selain itu, saya belum membuat jadwal baru dengan memasukkan bahasa tersebut. Kalau selama ini saya belajar enam bahasa dengan satu hari satu bahasa sementara dalam satu bulan kurang lebih ada tiga puluh hari, maka tiap bahasa mendapat giliran lima kali. Kalau saya tambahkan satu bahasa lagi, maka tiga puluh dibagi tujuh ...?
Selain itu, kenapa melulu bahasa asing? Kenapa tidak saya perdalam juga bahasa daerah? Saya tinggal di tanah Sunda, sedang Jawa akar budaya saya. Kalau mau praktik bahasa Sunda, saya punya teman-teman di dunia nyata. Saya juga menemukan orang Jawa di Bottled dan bisa praktik dengan dia. Memang saya belum menemukan aplikasi belajar bahasa daerah yang bagus, tetapi di Youtube ada video-video yang lumayan dan di rumah masih tersimpan berjilid-jilid Piwulang Basa serta Atikan Sunda dari kelas satu sampai enam SD, juga Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa.
Ini lagu tentang orang kebelet kawin, katanya.
Oke, bagaimana jika belajar lima bahasa sekaligus dalam satu hari dengan jadwal menurut pembagian waktu salat? LOL. Sejauh ini saya tahan memainkan tiga aplikasi sekaligus dalam sehari: Duolingo, e-iqra, Quran IQ, ditambah praktik bahasa Inggris dengan orang-orang di Bottled, dan kalau mesti menambah bahasa-bahasa lain, kelengar deh. Menurut beberapa video yang saya tonton di Youtube mengenai belajar banyak bahasa sekaligus, mereka pada menyarankan untuk fokus pada bahasa tertentu terlebih dulu hingga menguasai dasarnya baru beranjak ke bahasa lain.
Batasan
-
Hari ini akan kuterima batas-batasku.
Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena
keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu
-
*Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir
dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan
penanda-penan...