Jumat, 26 April 2019

Kesan Menonton Avengers: Endgame tanpa Pernah Menonton Film-film Sebelumnya

Ketika teman mengajak saya menonton Endgame, saya mengiyakan saja tanpa mengetahui film apakah itu. Satu-satunya Endgame yang saya tahu dan menurut saya seru adalah dua volume buku karya Derrick Jensen, dan isinya tentang environmentalisme radikal. Baru kemudian saya mengetahui bahwa Endgame merupakan judul dari film seri The Avengers--kumpulan pahlawan super yang hendak menyelamatkan dunia.

Baru kali itu saya melihat orang sebanyak itu di lobi XXI Transmart Buah Batu. Kebanyakan anak usia sekolahan, mungkin juga kuliahan. Apa sekarang sudah memasuki libur sekolah? Saya mencari sofa yang masih menyisakan ruang duduk untuk menunggu teman.

Sebetulnya saya bukan penggemar The Avengers. Tetapi saya tidak berkeberatan menonton film apa saja ketika ada teman yang mengajak. Sebelum ini, dengan teman yang sama saya menonton Captain Marvel. (Sayang, pada waktu itu saya sedang malas untuk langsung menulis kesan-kesan-sebagai-penonton di blog.) Sepertinya Captain Marvel satu-satunya film Marvel Cinematic Universe yang pernah saya tonton secara tuntas sebelum film yang terakhir ini.

Menilik dari judulnya, Endgame, seolah-olah ini akan jadi film yang terakhir. Meskipun tidak mengikuti dari awal, tetapi entah kenapa seketika itu juga saya berharap ini memang film yang terakhir. Katakanlah, misalkan, saya penggemar The Avengers. Sepertinya akan melelahkan untuk mengikuti semua film itu beserta cabang-cabangnya. Enggak tahu kalau orang lain. Kalau mereka bisa begitu kukuh mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya sampai mengakibatkan perpecahan di grup WA keluarga, kenapa enggak dengan mengikuti waralaba film superhero? Ini suatu sifat manusia yang menarik, atau sesungguhnya cermin bagi saya untuk menunjukkan keskeptisan atau malah keapatisan saya akan sosok ratu adil yang dapat menyelamatkan seluruh semesta--paling enggak selingkup Indonesia #halah #naonsih.

Teman saya telah memilihkan bangku A9 dan A10 pada pemutaran pukul 11.15 WIB di Studio 3. Tanpa aplikasi, sepertinya kami perlu mengantre panjang untuk mendapatkan tiket. Bangku favorit teman saya sebetulnya deretan B atau C bagian tengah atau dekat jalan, tetapi ia bilang keduanya sudah telanjur ada yang mengisi. Sesaat sebelum pemutaran, kami melihat di deretan bangku C bagian tengah itu (kalau enggak salah) ada anak lelaki berdebat dengan ayahnya. Si anak lelaki ingin menempati bangku tepat di samping jalan, tetapi si ayah bersikeras untuk duduk di situ. Si anak lelaki mengalah, sementara ibunya sendiri sudah anteng di nomor 8--urutan ketiga dari jalan. Seketika saya menduga si ayah penggemar berat The Avengers. Memang, tiga jam kemudian, ketika kredit film berjalan, ia sekeluarga termasuk orang-orang terakhir yang meninggalkan ruangan bioskop.

Ya, tiga jam, sama sekali enggak terasa. Ketika saya keluar dari ruangan bioskop, layar ponsel telah menunjukkan pukul 14.26. Memang, seperti yang dikatakan dalam ulasan ini, sepanjang waktu itu sesekali saya bertanya-tanya mengenai ini dan itu dalam film kepada teman di sisi kanan saya karena tidak tahu konteksnya. Teman saya sendiri bukannya penggemar berat yang telah mengikuti semua film terkait. Meskipun begitu, saya tidak merasa menyesal karena tidak menonton sekian banyak film sebelumnya. Tiga jam duduk di ruangan bioskop--yang jadi tidak terasa dingin karena hampir semua bangku terisi termasuk yang paling depan/bawah padahal posisi tersebut sama sekali enggak mengenakkan--dengan tebusan tiga puluh ribu itu somehow worth it menurut saya, bagaimanapun filmnya. Tujuan saya dalam menonton film di bioskop sepertinya lebih untuk kebersamaan dengan teman--kecuali untuk film Terlalu Tampan, tentu saja.

Di samping kehilangan banyak konteks yang enggak saya sesali (bagaimanapun, saya punya selera sendiri akan karya fiksi yang menarik), saya juga merasa kewalahan dengan banyaknya karakter, khususnya ketika gerbang dari segala universe pada terbuka menjelang akhir kemudian film mendadak jadi kolosal. Ini siapa? Itu siapa? Saya sibuk bertanya-tanya karena sebelumnya tidak menonton Black Panther, The Guardian of The Galaxy, dan seterusnya. Bagaimanapun juga,

Tidak apa-apa, tidak apa-apa ....
... enggak penting amat sih.

Paling tidak, sesekali terselip humor yang tanpa harus dilatari konteks tertentu dapat menggelikan. Itu sudah cukup. Karakter favorit saya yaitu si Dewa Petir berperut buncit, yang kerjanya cuma minum-minum bir, main game, dan terpuruk di rumah batu. Saya juga suka dengan penampilan singkat Chris Pratt yang terlihat seperti om-om agak tambun yang lucu.

Selain itu, entah kenapa, film ini memberikan gagasan untuk mengaitkan fisika kuantum dengan cerita-cerita keagamaan yang bersifat supernatural. Gagasan ini muncul ketika Ant Man mengatakan tentang lima tahun yang cuma lima jam bagi dia sehingga saya menjadi teringat akan perbedaan waktu antara dunia dan akhirat, yang katanya waktu di dunia terasa sekejap saja dibandingkan dengan di akhirat. Semacam itulah. Gagasannya ialah bahwa sesungguhnya hal-hal dalam cerita keagamaan yang terasa tidak masuk akal--seperti bagaimana rasul melihat surga dan neraka padahal dalam waktu kita sendiri belum menghadapi hari penghisaban--dapat dijelaskan dengan ilmu semacam fisika kuantum. Kenapa fisika kuantum? Yah, karena dalam film ini mereka membicarakan tentang fisika kuantum, perjalanan waktu, dan serta-merta gagasan itu timbul dalam kepala saya, seolah-olah ada koneksi. Dengan kata lain, misalkan kita sulit memercayai tentang surga dan neraka, atau riwayat-riwayat keagamaan yang tak terindrakan, mungkin karena kita belum mendalami fisika kuantum ilmu kita belum sampai ke sana. Kita belum beriman karena kita belum berilmu. Kurang lebih begitu. Saya juga enggak mengerti film liberal begini kok malah membawa saya pada gagasan keagamaan, mungkin karena mau Ramadan.

Selasa, 23 April 2019

My Humble Opinion on Solving Deforestation

I think we should learn to trace each product we consume. Had the product derived from unmindfully deforestation practice, we should stop consuming the product and find for its subtitute. If a lot of people do this altogether, that would lessen demands to the product and stop the production. The business owners would think of other ways to fulfill society's demand on environmentally-friendly products. That's just how business works in terms of flexibility. We as consumers are the ones who must decide for ourselves and rule the market. It is one's responsibility to educate oneself to being smart. I would say that we should not necessarily blame the government and the capitalists. We should just start from ourselves because it's much greater responsibility to change our own attitude than others' way of thinking. We should educate ourself to be a mindful consumer.

The least I can do to put this statement into practice is by living minimalist style. I am learning to be grateful for what I already have by thinking of what advantages I can take of them both for my own self and other people.

If I feel a need of something, I am training my mind to think first if I can find the substitute at home rather than buying new. If I need it new, I will look for the free way. If I can't get it free, then it's okay to spend some money. But if I don't have any money, I think again that maybe I just don't really need the stuff and find other things to occupy.

It actually doesn't always come easy and worries are always there.

Anyway, that's the challenge. I have read that some people manage to live without money due to their concerns of environmental, societal, etc-al problems. Thus they choose to live "poor" and they are happy with it because they know what they do will contribute to greater benefits. And by not making money doesn't mean that they are just being lazy around. Instead, they do things for the sake of giving without hoping for any profit nor reward, or, in other words, they just practice "the gift economy". That's what we lack of in this world where most people think that everything must be about money and such mentality lets evils happen, I guess.

Deforestation itself shoos indigenous people away from the forest which is their home, where they can gather food without paying a single dime. They just need to take care of the forest. Yet, when they get "civilized" by the government and the coal/palm/any industries, the forest is gone, food and other stuffs are no longer free to get, and that's just terrible. In ancient age, people would kill each other for food and that happens until now yet slowly. What growth that we as humans actually have reached?

Senin, 22 April 2019

Pengantar untuk Mempelajari Islam yang Ekologis

"Towards an Islamic Approach for Environmental Balance" oleh Muhammad Ramzan Akhtar dalam Islamic Economic Studies Volume 3 Nomor 2 Juni 1996, bisa dilihat di sini.

Dalam artikel ini dijelaskan bahwa ada dua pendekatan islami dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup, yaitu pendekatan individualistis dan pendekatan politis.

Pendekatan individualistis pada praktiknya terdiri dari tiga hal:
  • kesadaran lingkungan hidup (environmental consciousness)
  • kesederhanaan (simplicity atau istilah bekennya: gaya hidup minimalis)
  • persaudaraan antara sesama muslim (fellow-feeling)
Pendekatan politis yang dimaksudkan penulis artikel ini bisa dibilang dengan mendirikan negara Islam, sebab negara memiliki fungsi-fungsi strategis dalam penguasaan sumber daya alam sebagai berikut:
1.     Perencanaan (planning)
2.     Legislasi (legislation)
3.     Pengawasan (monitoring)
4.     Kepemilikan sumber daya alam (public ownership of resources)

Artikel ini pada dasarnya bersifat teoretis, menurut Alquran, sunah, fikih, dan sejarah Islam. Jadi artikel ini bukan untuk dipertentangkan dengan kenyataan di lapangan, yang mana agaknya masyarakat muslim--ambillah Indonesia dengan populasi terbesar sebagai sampel--masih jauh dari pendekatan-pendekatan sebagai tersebut di atas. Kalaupun ada di antara masyarakat muslim kita yang mementingkan ekologi, agaknya pemerintah kitalah yang masih kurang mengimplementasikan wawasan keakhiratan. Indonesia kan bukan negara Islam, lagian~

Cara hidup islami tidak mesti diterjemahkan dengan perilaku-perilaku kentara seperti rajin tahajud, tilawah Alquran, menjaga wudu, dan seterusnya, tetapi juga meliputi perilaku-perilaku subtil yang sepintas lalu cuma keduniaan atau tidak bernuansa keagamaan, seperti menghemat air, menanam pohon, dan seterusnya. Bukan berarti mengecilkan perilaku-perilaku saleh tersebut, tetapi, dalam Alquran toh ada juga perintah untuk berpikir dalam skala dunia-akhirat serta memerhatikan ayat-ayat Allah yang tersirat (: tidak tersurat dalam kitab suci).

Dengan kata lain: seorang muslim diperintahkan untuk memiliki pemikiran yang dalam, luas, dan jauh.

Contoh sederhana saja, pernahkah kita sampai memikirkan:

menggunakan kendaraan berbakar bahan fosil
> polusi timbal
> menurunkan IQ
> sulit menghafalkan Alquran jangankan menadaburkannya

pembangunan hotel, pabrik, dan sebagainya
> sumber air tersedot ke pemodal besar atau tercemar
> persediaan air bersih menipis
> tidak bisa sering-sering berwudu

boros dalam penggunaan listrik
< listrik berasal dari batu bara
< pertambangan batu bara dibuka dengan menebang jutaan hektar
< masyarakat adat dan banyak spesies lain terzalimi karena terusir dari habitatnya
< berbuat zalim terhadap makhluk lain merupakan dosa
< pihak yang terzalimi dapat meminta pertanggungjawaban di akhirat

Saya setuju bahwa setiap individu sebaiknya memiliki wawasan lingkungan hidup (dan dengan demikian memiliki kesadaran), gaya hidup sederhana, serta fellow-feeling yang kalau boleh saya artikan secara lebih luas menjadi empati atau rasa kemanusiaan.

Rasa kemanusiaan di sini maksudnya kalau kita merasa berhak mendapatkan air bersih, maka demikian pula dengan manusia lainnya. Maka jika ada manusia lainnya yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap air bersih, kita menyadari ketidakadilan dan ingin melakukan sesuatu untuk mengatasinya.

Seandainya saja kita bisa meluangkan sumber daya (: waktu, pikiran, tenaga, dan sebagainya) untuk melacak rantai produksi dan distribusi dari setiap barang yang kita konsumsi (: memperluas wawasan lingkungan hidup), dan berapa banyak makhluk hidup yang terimbas oleh dampak lingkungannya, diiringi oleh perasaan empati (: menempatkan diri pada posisi makhluk hidup lainnya itu), kemungkinan kita akan ingin hidup seminimalis mungkin.

Malah, dengan adanya aturan halal dan haram dalam Islam, jika semuanya diperhatikan secara sungguh-sungguh, dengan sendirinya seorang muslim akan hidup minimalis.


sumber gambar
"Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang." (HR. Bukhari nomor 6412, dari Ibnu 'Abbas) Demikian pesan dari Badan Wakaf Salman ITB yang masuk ke WA saya. Sesungguhnya itu ajakan untuk berwakaf kepada lembaga tersebut. Tetapi, mengaitkan dengan tulisan ini, sepertinya selagi sehat dan senggang, ada baiknya menggunakan nikmat tersebut untuk menafakurkan ayat-ayat Allah yang berupa wawasan lingkungan hidup tadi. Katakanlah, dengan menonton film Sexy Killers yang lagi tren belakangan ini. Setelah menonton film tersebut, kemungkinan orang bakal maklum bahwa di balik pemakaian listriknya ternyata ada orang-orang yang menderita, yang dengan demikian akan mengarahkan perilakunya agar mengurangi konsumsi.

Adapun dengan gagasan negara Islam, yah, lagi-lagi merujuk kepada Sexy Killers, bahkan pasangan calon yang didukung partai Islam terbesar di negeri ini pun tidak sepenuhnya bersih. Sepertinya perwujudan negara Islam masih jauh panggang dari api.

Katakanlah, untuk membentuk negara Islam dibutuhkan individu-individu yang islami: individu-individu yang tidak hanya terjebak di masjid dalam gamis atau jilbab panjang, tetapi juga  turun ke halaman dengan pakaian training untuk menanam sayuran; individu-individu yang alih-alih menonton cuplikan kajian di Youtube lebih suka datang langsung ke masjid dengan berjalan kaki atau naik unta sepeda atau kendaraan umum; individu-individu yang daripada belanja daring lebih memilih pasar tradisional dan menjalin silaturahmi dengan para pedagang; individu-individu yang lebih menikmati main sepak bola ketimbang PUBG (eh, lapangan bola sudah langka, ya); dan seterusnya.

Memang lebih mudah merutuki orang lain (: pemerintah, pengusaha besar) daripada diri sendiri. Tetapi, sepertinya, lebih memungkinkan untuk mengubah perilaku diri sendiri daripada orang lain, bukan?

Sulit? Memang. Malah sebenarnya yang di atas itu sindiran keras terhadap diri saya sendiri.

Dari artikel ini saya juga mendapat gagasan bahwa ekonomi Islam itu berorientasi kepada kesejahteraan orang lain atau, dalam skala besarnya, masyarakat. Ada hadis rasul yang mengatakan bahwa meninggalkan warisan yang banyak itu lebih baik daripada keturunannya menjadi peminta-minta. Saya mengira bahwa hadis itu tidak mesti diartikan secara harfiah. Warisan yang banyak supaya keturunan tidak menjadi peminta-minta itu boleh jadi berarti mewariskan kehidupan yang berkelanjutan untuk anak cucu. Kehidupan yang berkelanjutan tidak mesti dilihat sebagai banyaknya uang, emas, rumah, mobil, dan sebagainya, tetapi juga air dan udara bersih yang dihasilkan dari kerimbunan hutan serta cukup lahan untuk menjaga stok pangan. Keturunan tidak mesti diartikan sebagai anak cucu perorangan, tetapi bisa anak cucu siapa saja yang akan menempati dunia setelah habis giliran kita. Apalagi dengan rasa persaudaraan sesama muslim, anak cucu muslim lainnya seolah-olah anak cucu kita juga.

Jadi, ketika seseorang dianjurkan untuk menjadi kaya raya karena sesungguhnya kefakiran itu mendekati kepada kekafiran, kekayaan itu tidak mesti dilihat sebagai kekayaan pribadi berupa tabungan saham atau wakaf masjid dan pondok hafiz di mana-mana. Pernahkah memikirkan membangun hutan alam sebagai amal jariyah? Dari hutan itu akan dihasilkan air, oksigen, buah-buahan, dan hasil alam lainnya yang bermanfaat bagi aneka makhluk, bukan cuma anak-anak panti asuhan. Boleh jadi yang kita butuhkan bukan lebih banyak masjid, apalagi di daerah yang sudah padat penduduk, melainkan sebaran hutan dengan aneka pohon buah tempat penduduk sekitar dapat memenuhi kecukupan gizinya secara cuma-cuma?

Wawasan ekologis begini belum saya dengar dari kajian-kajian. Para ustad lebih suka mencandai ibu-ibu soal poligami daripada tentang manajemen air, listrik, dan plastik di rumah. Padahal cinta berahi cuma bertahan sampai si perempuan tidak seksi lagi, sementara plastik awetnya menandingi "Aku" Chairil Anwar--seribu tahun pun belum tentu terurai.

Rabu, 03 April 2019

Antara My Stupid Boss Kedua dan Kesatu dan Memahami Keanehan Mr. "RR" Bossman

Ada teman saya yang saking suka pada film My Stupid Boss sampai menontonnya lebih dari sekali di bioskop, dan mungkin juga di televisi. Katanya sih lucu banget. Ketika muncul sekuel film tersebut di bioskop baru-baru ini, My Stupid Boss 2, saya diajak untuk menemaninya menonton. Saya tertarik saja, meskipun belum menonton yang pertama jangankan membaca versi cetaknya. Maka pada Senin itu kami menonton penayangan pukul 14.25 di Studio 4 Festival Citylink dengan HTM Rp 30.000.

Secara keseluruhan, film ini sangat menghibur. Tidak terhitung berapa kali saya tertawa (kenapa juga harus dihitung sih?). Saya suka dengan setnya yang warna-warni. Nuansanya mengingatkan pada thumbnail musik lounge instrumental tahun '60-an di Youtube, meskipun film ini dilatari lagu-lagu Melayu-India-Cina. Saya suka dengan adegan kejar-kejaran dan joget-jogetan. Saya suka dengan pemandangan alam Vietnam yang bagaikan di surga. Saya suka dengan Mr. Kho, kakek-kakek Cina dengan kepayahan yang ekspresif. Saya suka Adrian, mas-mas flamboyan yang suka sisir-sisir kumis. Saya suka Bunga Citra Lestari, eh, Kerani, baru kemudian saya ketahui harusnya Diana, yang cantik dan imut. Saya suka Sikin yang ayu salihah. Saya suka Azhari dengan kalimat-kalimat tayibahnya yang menjadi sepercik siraman rohani sepanjang film ini. Saya suka Morgan Oey yang pura-puranya jadi orang Vietnam ambekan. Saya suka cara bicara orang Malaysia yang mengingatkan saya kepada penpal dari Perak yang surelnya tidak kunjung saya balas (hai, Fiq, kalau-kalau kamu baca blog ini!). Saya suke tembang-tembang Malaysie!, terutama yang zadul-zadul macam bulan madu di awan biru tiada yang mengganggu.

Meski begitu, penampilan Reza Rahadian masih mengganjal sih.

Sejak saya melihat poster My Stupid Boss yang pertama, BCL sudah terlihat lucu bahkan dengan hanya diam merengut begitu, tetapi ... Reza? Seperti yang ... agak ... maksa enggak sih?

Kenapa si bos enggak diperankan oleh aktor yang benar-benar mewakili umurnya saja?

Ketika saya mengungkapkan kesan saya ini terhadap teman saya penggemar film My Stupid Boss itu, ia menyarankan saya untuk melihat langsung aktingnya.

Baik, sekarang saya sudah melihat langsung aktingnya.

Teman saya bilang dengan kemampuan aktingnya itu, Reza yang asli menghilang.

Eh ... iya sih, sepertinya.

Tetapi ketampanannya masih kentara. Perutnya terlihat jelas ditempeli bantal atau apalah. Cara jalannya juga dibuat-buat.

Memangnya enggak ada aktor paruh baya di Indonesia yang mumpuni untuk berakting ala Reza Rahadian di film ini?

Aneh. Benar-benar janggal. Semua penampakan di film ini sudah bagus, kecuali yang satu itu.

Ataukah kejanggalan ini memang disengaja?

Saya menyadari bahwa memikirkan kejanggalan ini tidaklah penting dibandingkan dengan komedi yang dapat saya pelajari dari film ini. Lagi pula memang ketika menonton saya tidak begitu mempermasalahkan hal itu--mengganggu kenikmatan saja.

Saya mencamkan artikel-artikel di Mojok.co tentang Reza Rahadian, bahwa bagaimanapun kita sebagai penonton Indonesia harus menerima bahwa ia aktor yang kuasa memainkan peran apa saja. Jadi kaleng Khong Guan pun ia bisa. Sudah. Terima. Saja. Lagian, kamu tertawa-tawa juga, kan, melihat aktingnya?

Sudah, terima saja Reza Rahadian apa adanya. Memang cakap dia orangnya.
(sumber gambar)

Pada malam setelah hari menonton My Stupid Boss 2 itu, saya berkesempatan untuk menonton yang pertama dari suatu sumber yang ... cari sendiri, ya. Sebelumnya saya telah mendapatkan bocoran bahwa film pertama menceritakan penyesuaian diri Diana ketika baru bekerja untuk Bossman. Selain itu, di film pertama Adrian diperankan oleh aktor berbeda.

Di film pertama Bunga Citra Lestari terlihat lebih imut lagi, seperti Chibi Maruko Chan, sementara Reza Rahadian lebih tampan lagi. Aduh. Saya juga sudah kadung enak melihat Adrian yang dibawakan Iedil Putra, terlihat lebih genit gimana gitu, dibandingkan dengan yang oleh Bront Palarae, yang tampak seperti sewaktu-waktu siap membuka baju memperlihatkan badan kekar dan melempar penjahat bak di film-film laga. Mr. Kho dengan kacamata gantung dan tas kotak yang didekap ke mana-mana tetap menjadi favorit.

Lebih kasihan sama Mr. Kho daripada Bossman di adegan ini. (sumber gambar)

Selain itu, saya melihat sepertinya formula di kedua film agak sama: ada joget-joget, ada berseragam ekspedisi kemudian lari-lari, ada sisi baik Bossman di antara rentetan tingkahnya yang memalukan lagi menyebalkan, dan diakhiri dengan adegan PHP dari Bossman.

Setelah menyerahkan PHD--atau semacam itu pokoknya piza--
Bossman meninggalkan mereka dengan PHP. (sumber gambar)

Tetapi, film kedua terasa lebih semarak, mungkin berkat kunjungan ke Vietnam serta kehadiran Morgan Oey #eh, ditambah kedatangan gangster Cina versus gangster India, rombongan turis Cina (?), deretan wanita penghibur di seberang kamar hotel yang ditempati Bossman, Mr. Kho, dan Adrian, dan seterusnya.

Yang wajar saja begitu. Kalau yang kedua kurang seru daripada yang pertama, kemungkinan penonton yang menonton keduanya secara berurutan akan rada kecewa. Saya sendiri yang menonton dengan urutan terbalik jadinya merasa yang pertama itu kalah menarik dibandingkan dengan yang pertama, malah cenderung klise.

Akhir film pertama pun pun bisa dibilang tidak kalah janggal daripada penampilan Reza Rahadian. Kalau Bossman punya dana untuk merenovasi Rumah Kebajikan (alias Panti Asuhan), kenapa ia sampai dikejar oleh debt collector--bahkan tidak membayar gaji Diana sampai dua bulan? Aneh, begitu.

Memang dalam dunia nyata sifat orang yang aneh-aneh itu ada saja kita temui. Lagi pula, film ini toh diangkat dari buku yang asalnya blog yang bisa dibilang pengalaman nyata.

Seketika saya pun mendapatkan insight: Jangan-jangan kejanggalan penampilan Reza Rahadian itu memang untuk menguatkan inner character yang pada dasarnya aneh? Jadi biar luar dan dalam, wujud dan isi saling mendukung melengkapi menjadi kesatuan, gitu lo (ucapkan dengan nada Bossman)!

Selasa, 02 April 2019

Senja di Rumah Sakit Hasan Sadikin

Sore itu teman mengajak saya untuk menjenguk seseorang yang tidak saya kenal. Awalnya saya ragu, tentu saja. Tetapi, karena memang waktu luang dan pada dasarnya saya senang-senang saja bila hanya menemani, mendatangi tempat yang jarang atau tidak pernah dikunjungi, apalagi jika ada unsur dibayari, (halah, panjang banget,) maka saya ikut.

Sore itu, ketika kami berangkat dari Salman ITB, sudah mulai hujan tetapi kecil saja.

Namun langit tetap sendu.

Begitu tiba di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), kami memasuki gedung terdekat. Teman saya menanyakan ruangan yang kami tuju kepada petugas sekuriti, yang mengarahkan kami untuk ke gedung sebelah.

Rintik hujan turun lagi ketika kami keluar dari gedung.

Di gedung sebelah, teman saya bertanya lagi kepada petugas sekuriti.

Mulailah kami menyusuri lorong panjang yang berkelok-kelok.

Pada sore Jumat itu, di kanan-kiri lorong yang kami lalui tampak tidak cukup banyak orang untuk dapat dikatakan sesak. Bisa dibilang suasana cukup lengang.

Dalam kelengangan itu saya membayangkan sekiranya terjadi suatu bencana yang mengakibatkan jatuhnya korban besar-besaran, sepertinya lorong yang kami tapaki ini akan cukup untuk menampung mereka.

Agak tergetar memang ketika kami melewati tanda bertulisan "RUANG MAYAT". Saya menoleh ke kiri, pada pintu dengan tanda bertulisan sama di atasnya.

Ada pula lorong yang di sisinya terdapat banyak lemari listrik, yah, setidaknya begitulah saya menyebutnya, sebab terdapat petunjuk untuk tidak menyentuh benda-benda kotak besar itu sebab dapat mengakibatkan kesetrum.

Kami juga melewati taman indah yang terlihat begitu syahdu dinaungi suram rintik-rintik. Terpisahkan oleh taman itu terdapat bangunan serupa rumah yang membikin kami merasa berada di permukiman alih-alih rumah sakit.

Namun yang paling berkesan bagi saya yaitu ketika kami hendak berbelok memasuki pintu teralis. Di depan pintu itu ada meja sekuriti, namun isinya kosong dengan petunjuk bahwa penunggunya sedang salat. Di sampingnya terdapat ruang tunggu yang sedang diduduki beberapa orang.

Di balik pintu teralis itu, mengarah kepada kami, berjalan beberapa orang perawat mendorong ranjang. Pikiran saya yang sebelumnya timbul tenggelam berkelana ke alam lain serta-merta terpusat pada rombongan kecil itu. Saya penasaran.

Mereka melewati pintu dan benar saja: Selimut kelabu menutupi seluruh ranjang dari ujung ke ujung membentuk gundukan yang pastinya manusia. Di salah satu ujung terdapat sebungkus lumayan besar popok dewasa dan di seberangnya sebuah tas kotak yang berukuran lebih besar. Selain dua-tiga perawat yang mendorong ranjang itu mengekor seorang ibu-ibu tua berjilbab dengan bawaan.

Pikiran saya yang semula riuh, dan juga orang-orang di ruang tunggu yang sepertinya sebelumnya tengah pada mengobrol, mendadak senyap. Atau kesenyapan itu kemungkinan menguar dari jasad itu sendiri dan meliputi kami semua di sekitarnya.

Sembari memandangi jasad yang melewati saya itu, serta-merta melintas di kepala saya, "Perjalanan." Saya membayangkan, di luar tubuh yang senyap itu seseorang baru memulai perjalanannya ke alam lain.

Kenapa kamu tidak siapkan perjalanan itu dari sekarang?

Saya membayangkan, beberapa saat sesudah itu, masjid di suatu tempat akan berkoar mengumumkan kematian salah seorang warganya, seperti yang kerap kali terdengar di lingkungan tempat tinggal saya.

Melalui kesenyapan itu, kami melanjutkan penyusuran lorong.

Tibalah kami di bangsal Alamanda. Kami tidak tahu benar lokasi tempat tidur orang yang hendak kami jenguk. Teman saya bahkan belum pernah bertemu dengan orang tersebut. Saya tidak yakin ketika ia memasuki salah satu ruangan. Saya menyarankan dia untuk bertanya kepada penjaga saja. Tetapi ia malah bertanya kepada para penunggu pasien di ruangan itu. Subhanallah, mereka menyambut dengan baik, "Cari siapa?" Rupanya kami memasuki ruang yang benar. Orang yang kami cari berada di tempat tidur paling ujung, sebelum kamar mandi.

Saya bahkan tidak tahu sebetulnya orang hendak kami jenguk ini berada di rumah sakit karena apa. Hanya sempat terlintas dugaan bahwa beliau kena kecelakaan.

Kami pun berkenalan.

Rupanya beliau baru pulih dari bius. Sebelumnya, dari sekitar pukul dua belas hingga beberapa jam setelahnya, beliau menjalani operasi untuk menyingkirkan sel-sel kanker yang telah menggerogoti saluran reproduksinya.

Beliau telah menderita leukemia selama sepuluh tahun.

Referensi saya mengenai leukemia terbatas pada novel dan film, yang biasanya si penderita meninggal dalam hitungan beberapa tahun. Maka, berjuang menghadapi leukemia sampai sepuluh tahun itu membuat saya takjub.

Memang beliau mengatakan bahwa dirinya pernah divonis (?) oleh dokter pada 2012. Beliau pernah tidak bisa berjalan dan tidak dapat melihat. Namun alih-alih jatuh, beliau malah semakin bersemangat untuk sembuh.

Dalam kesakitannya itu beliau malah membuat taman bacaan di rumahnya di Ciamis, yang katanya halaman belakangannya langsung berhadapan dengan Situ Panjalu. Koleksi buku di taman bacaannya sampai lima ribu, namun seribu tujuh-atau-delapan ratus di antaranya tak kembali. Padahal di antara koleksi yang hilang itu ada buku-buku favorit bertanda tangan penulis yang dikejarnya sampai ke Jakarta. Koleksi buku juga diperolehnya dengan membeli di Palasari, sembari berobat ke RSHS Bandung.

Tidak sekadar membuka taman bacaan, beliau juga gemar mendongeng kepada pengunjung anak-anak. Beliau merendah sebagai bukan pendongeng ahli yang bisa menirukan suara burung dan sebagainya, melainkan ala kadarnya saja dengan boneka tangan yang sudah sepaket dengan buku. Selain itu, kepada mereka beliau ingin menerapkan kebiasaan sehari-hari seperti membaca lima menit serta menulis satu kalimat.

Ah, sampai di sini saya terenyuh. Saya yang sehari-hari menghabiskan berjam-jam untuk membaca, menulis, dan berbagai aktivitas literer lainnya sejak SD, sampai kini bukan apa-apa. Sementara beliau menceritakan tujuannya seolah-olah itu aktivitas yang sangat terpuji.

Damn, malu aku malu pada semut merah.

Saya tidak bermaksud hendak mengecilkan upaya beliau. Pada orang lain dengan kebisaan dan kesenangan yang lebih daripada sekadar membaca dan menulis, sedikit membaca dan menulis setiap hari mungkin dapat menjadi nilai lebih yang benar-benar bermanfaat secara praktis bagi mereka. Tetapi, bagi saya, yang kebisaan dan kesenangannya terbatas pada membaca dan menulis saja belaka hanya sekadar, dengan selera yang bukannya sok-sokan antipopuler namun memang begitulah adanya, dengan upaya menyentuh yang mainstream malah berakibat pada baret-baret mental, kurang dapat berkembang ke yang lain-lain, saya malah merasa seperti yang terpenjara oleh hasrat. Kok malah curhat.

Sembari mendengarkan percakapan teman saya dengan beliau, saya mengintip layar ponsel teman saya yang menampakkan halaman Youtube dengan judul yang memuat nama taman bacaan milik beliau: Cahaya Ilmu Panjalu.

Sekarang, ketika mengetikkan pengalaman ini, saya sembari menelusurinya sendiri di Youtube. Ini baru satu dari beberapa video tentang beliau yang saya temukan:


Catatan: yang di thumbnail itu bukan beliau.

Tak kusangka akan diajak bertemu dengan orang hebat.

Berpapasan dengan orang mati kemudian berbincang dengan orang yang menderita penyakit berat namun berbuat hebat, terdengar seperti ada yang "klik" enggak sih?

Ya Allah, apakah gerangan sesungguhnya ini?!?!?!

Suami beliau kemudian datang. Bajunya basah di beberapa bagian. Tampaknya di luar hujan lebat. Kami mengobrol sedikit.

Waktu magrib semakin dekat. Saya menendang pelan sepatu teman saya.

Keluar dari bangsal Alamanda, kembali kami berhadapan dengan lorong yang berkelok-kelok. Ketika melihat bahwa ujung lorong begitu sepi tanpa ada seorang pun, tersadar bahwa kami salah ambil jalan. Semakin gelap suasana rumah sakit kian mengkhawatirkan.

Sempat saya mengintip sebuah ruangan dengan banyak tempat tidur berbaris. Pada ujung tiap tempat tidur tampak ada peralatan dipasang. Terlihat seorang pasien dan seorang dokter sedang membicarakan entah apa.

Melihat sosok-sosok berjas putih yang sesekali lewat memang menerbitkan perasaan iri. Bukan iri yang seperti, "Wah, kayaknya enak jadi dokter, bisa lihat orang menderita dan mati tiap hari." Bukan. Entah kenapa. Mungkin karena untuk dapat menjadi dokter itu diperlukan perjuangan yang berat sehingga lalu dipandang hebat. Tetapi, sepertinya menjadi dokter bukan jaminan dapat memadamkan rasa insecure di hati. Kalau melakukan kesalahan, yang sesungguhnya manusiawi, bisa dituduh malapraktik. Tadi pun teteh yang kami jenguk bercerita tentang suami pasien yang meledak karena operasi tidak kunjung jadi, padahal istrinya sudah tiga kali disuruh berpuasa (yang artinya tiga hari kurang atau tidak makan).

Kami berakhir di lorong yang berbeda dengan lorong yang kami masuki di awal, kali ini berujung pada tempat parkir motor. Terdengar suara hewan berkoak-koak di angkasa. Kelelawar? Burung? Saya ingat katanya ada burung yang kalau berbunyi menandakan ada orang yang mati. Jangan-jangan bunyinya yang begitu? Sosok-sosok hitam beterbangan berputar-putar di atas sana. Banyak burung. Ada berapa orang yang mati hari ini di rumah sakit ini?

Berapa lamakah waktu yang tersisa hingga saya yang berada di balik selimut--ditutupi dari ujung ke ujung--dan disebut oleh pelantang masjid? Akankah suatu saat saya dicoba dengan penyakit berat menahun yang memayahkan lahir-batin dan apakah yang dapat saya perbuat agar bersemangat menjalaninya seperti beliau?

Seusai salat magrib di basement RSHS, saya berdoa semoga saya tetap sehat sampai waktunya tiba. Pokoknya saya enggak mau sakit dan menderita. Ya, Tuhan, ya? Ya? Ya? Ya?

Saya juga tidak mau kematian yang menyakitkan, tentu saja.

Banyak maunya, lupa bahwa dunia ini bukan surga.

Kunjungan ke rumah sakit kok jadi wisata religi.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain