Selasa, 02 April 2019

Senja di Rumah Sakit Hasan Sadikin

Sore itu teman mengajak saya untuk menjenguk seseorang yang tidak saya kenal. Awalnya saya ragu, tentu saja. Tetapi, karena memang waktu luang dan pada dasarnya saya senang-senang saja bila hanya menemani, mendatangi tempat yang jarang atau tidak pernah dikunjungi, apalagi jika ada unsur dibayari, (halah, panjang banget,) maka saya ikut.

Sore itu, ketika kami berangkat dari Salman ITB, sudah mulai hujan tetapi kecil saja.

Namun langit tetap sendu.

Begitu tiba di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), kami memasuki gedung terdekat. Teman saya menanyakan ruangan yang kami tuju kepada petugas sekuriti, yang mengarahkan kami untuk ke gedung sebelah.

Rintik hujan turun lagi ketika kami keluar dari gedung.

Di gedung sebelah, teman saya bertanya lagi kepada petugas sekuriti.

Mulailah kami menyusuri lorong panjang yang berkelok-kelok.

Pada sore Jumat itu, di kanan-kiri lorong yang kami lalui tampak tidak cukup banyak orang untuk dapat dikatakan sesak. Bisa dibilang suasana cukup lengang.

Dalam kelengangan itu saya membayangkan sekiranya terjadi suatu bencana yang mengakibatkan jatuhnya korban besar-besaran, sepertinya lorong yang kami tapaki ini akan cukup untuk menampung mereka.

Agak tergetar memang ketika kami melewati tanda bertulisan "RUANG MAYAT". Saya menoleh ke kiri, pada pintu dengan tanda bertulisan sama di atasnya.

Ada pula lorong yang di sisinya terdapat banyak lemari listrik, yah, setidaknya begitulah saya menyebutnya, sebab terdapat petunjuk untuk tidak menyentuh benda-benda kotak besar itu sebab dapat mengakibatkan kesetrum.

Kami juga melewati taman indah yang terlihat begitu syahdu dinaungi suram rintik-rintik. Terpisahkan oleh taman itu terdapat bangunan serupa rumah yang membikin kami merasa berada di permukiman alih-alih rumah sakit.

Namun yang paling berkesan bagi saya yaitu ketika kami hendak berbelok memasuki pintu teralis. Di depan pintu itu ada meja sekuriti, namun isinya kosong dengan petunjuk bahwa penunggunya sedang salat. Di sampingnya terdapat ruang tunggu yang sedang diduduki beberapa orang.

Di balik pintu teralis itu, mengarah kepada kami, berjalan beberapa orang perawat mendorong ranjang. Pikiran saya yang sebelumnya timbul tenggelam berkelana ke alam lain serta-merta terpusat pada rombongan kecil itu. Saya penasaran.

Mereka melewati pintu dan benar saja: Selimut kelabu menutupi seluruh ranjang dari ujung ke ujung membentuk gundukan yang pastinya manusia. Di salah satu ujung terdapat sebungkus lumayan besar popok dewasa dan di seberangnya sebuah tas kotak yang berukuran lebih besar. Selain dua-tiga perawat yang mendorong ranjang itu mengekor seorang ibu-ibu tua berjilbab dengan bawaan.

Pikiran saya yang semula riuh, dan juga orang-orang di ruang tunggu yang sepertinya sebelumnya tengah pada mengobrol, mendadak senyap. Atau kesenyapan itu kemungkinan menguar dari jasad itu sendiri dan meliputi kami semua di sekitarnya.

Sembari memandangi jasad yang melewati saya itu, serta-merta melintas di kepala saya, "Perjalanan." Saya membayangkan, di luar tubuh yang senyap itu seseorang baru memulai perjalanannya ke alam lain.

Kenapa kamu tidak siapkan perjalanan itu dari sekarang?

Saya membayangkan, beberapa saat sesudah itu, masjid di suatu tempat akan berkoar mengumumkan kematian salah seorang warganya, seperti yang kerap kali terdengar di lingkungan tempat tinggal saya.

Melalui kesenyapan itu, kami melanjutkan penyusuran lorong.

Tibalah kami di bangsal Alamanda. Kami tidak tahu benar lokasi tempat tidur orang yang hendak kami jenguk. Teman saya bahkan belum pernah bertemu dengan orang tersebut. Saya tidak yakin ketika ia memasuki salah satu ruangan. Saya menyarankan dia untuk bertanya kepada penjaga saja. Tetapi ia malah bertanya kepada para penunggu pasien di ruangan itu. Subhanallah, mereka menyambut dengan baik, "Cari siapa?" Rupanya kami memasuki ruang yang benar. Orang yang kami cari berada di tempat tidur paling ujung, sebelum kamar mandi.

Saya bahkan tidak tahu sebetulnya orang hendak kami jenguk ini berada di rumah sakit karena apa. Hanya sempat terlintas dugaan bahwa beliau kena kecelakaan.

Kami pun berkenalan.

Rupanya beliau baru pulih dari bius. Sebelumnya, dari sekitar pukul dua belas hingga beberapa jam setelahnya, beliau menjalani operasi untuk menyingkirkan sel-sel kanker yang telah menggerogoti saluran reproduksinya.

Beliau telah menderita leukemia selama sepuluh tahun.

Referensi saya mengenai leukemia terbatas pada novel dan film, yang biasanya si penderita meninggal dalam hitungan beberapa tahun. Maka, berjuang menghadapi leukemia sampai sepuluh tahun itu membuat saya takjub.

Memang beliau mengatakan bahwa dirinya pernah divonis (?) oleh dokter pada 2012. Beliau pernah tidak bisa berjalan dan tidak dapat melihat. Namun alih-alih jatuh, beliau malah semakin bersemangat untuk sembuh.

Dalam kesakitannya itu beliau malah membuat taman bacaan di rumahnya di Ciamis, yang katanya halaman belakangannya langsung berhadapan dengan Situ Panjalu. Koleksi buku di taman bacaannya sampai lima ribu, namun seribu tujuh-atau-delapan ratus di antaranya tak kembali. Padahal di antara koleksi yang hilang itu ada buku-buku favorit bertanda tangan penulis yang dikejarnya sampai ke Jakarta. Koleksi buku juga diperolehnya dengan membeli di Palasari, sembari berobat ke RSHS Bandung.

Tidak sekadar membuka taman bacaan, beliau juga gemar mendongeng kepada pengunjung anak-anak. Beliau merendah sebagai bukan pendongeng ahli yang bisa menirukan suara burung dan sebagainya, melainkan ala kadarnya saja dengan boneka tangan yang sudah sepaket dengan buku. Selain itu, kepada mereka beliau ingin menerapkan kebiasaan sehari-hari seperti membaca lima menit serta menulis satu kalimat.

Ah, sampai di sini saya terenyuh. Saya yang sehari-hari menghabiskan berjam-jam untuk membaca, menulis, dan berbagai aktivitas literer lainnya sejak SD, sampai kini bukan apa-apa. Sementara beliau menceritakan tujuannya seolah-olah itu aktivitas yang sangat terpuji.

Damn, malu aku malu pada semut merah.

Saya tidak bermaksud hendak mengecilkan upaya beliau. Pada orang lain dengan kebisaan dan kesenangan yang lebih daripada sekadar membaca dan menulis, sedikit membaca dan menulis setiap hari mungkin dapat menjadi nilai lebih yang benar-benar bermanfaat secara praktis bagi mereka. Tetapi, bagi saya, yang kebisaan dan kesenangannya terbatas pada membaca dan menulis saja belaka hanya sekadar, dengan selera yang bukannya sok-sokan antipopuler namun memang begitulah adanya, dengan upaya menyentuh yang mainstream malah berakibat pada baret-baret mental, kurang dapat berkembang ke yang lain-lain, saya malah merasa seperti yang terpenjara oleh hasrat. Kok malah curhat.

Sembari mendengarkan percakapan teman saya dengan beliau, saya mengintip layar ponsel teman saya yang menampakkan halaman Youtube dengan judul yang memuat nama taman bacaan milik beliau: Cahaya Ilmu Panjalu.

Sekarang, ketika mengetikkan pengalaman ini, saya sembari menelusurinya sendiri di Youtube. Ini baru satu dari beberapa video tentang beliau yang saya temukan:


Catatan: yang di thumbnail itu bukan beliau.

Tak kusangka akan diajak bertemu dengan orang hebat.

Berpapasan dengan orang mati kemudian berbincang dengan orang yang menderita penyakit berat namun berbuat hebat, terdengar seperti ada yang "klik" enggak sih?

Ya Allah, apakah gerangan sesungguhnya ini?!?!?!

Suami beliau kemudian datang. Bajunya basah di beberapa bagian. Tampaknya di luar hujan lebat. Kami mengobrol sedikit.

Waktu magrib semakin dekat. Saya menendang pelan sepatu teman saya.

Keluar dari bangsal Alamanda, kembali kami berhadapan dengan lorong yang berkelok-kelok. Ketika melihat bahwa ujung lorong begitu sepi tanpa ada seorang pun, tersadar bahwa kami salah ambil jalan. Semakin gelap suasana rumah sakit kian mengkhawatirkan.

Sempat saya mengintip sebuah ruangan dengan banyak tempat tidur berbaris. Pada ujung tiap tempat tidur tampak ada peralatan dipasang. Terlihat seorang pasien dan seorang dokter sedang membicarakan entah apa.

Melihat sosok-sosok berjas putih yang sesekali lewat memang menerbitkan perasaan iri. Bukan iri yang seperti, "Wah, kayaknya enak jadi dokter, bisa lihat orang menderita dan mati tiap hari." Bukan. Entah kenapa. Mungkin karena untuk dapat menjadi dokter itu diperlukan perjuangan yang berat sehingga lalu dipandang hebat. Tetapi, sepertinya menjadi dokter bukan jaminan dapat memadamkan rasa insecure di hati. Kalau melakukan kesalahan, yang sesungguhnya manusiawi, bisa dituduh malapraktik. Tadi pun teteh yang kami jenguk bercerita tentang suami pasien yang meledak karena operasi tidak kunjung jadi, padahal istrinya sudah tiga kali disuruh berpuasa (yang artinya tiga hari kurang atau tidak makan).

Kami berakhir di lorong yang berbeda dengan lorong yang kami masuki di awal, kali ini berujung pada tempat parkir motor. Terdengar suara hewan berkoak-koak di angkasa. Kelelawar? Burung? Saya ingat katanya ada burung yang kalau berbunyi menandakan ada orang yang mati. Jangan-jangan bunyinya yang begitu? Sosok-sosok hitam beterbangan berputar-putar di atas sana. Banyak burung. Ada berapa orang yang mati hari ini di rumah sakit ini?

Berapa lamakah waktu yang tersisa hingga saya yang berada di balik selimut--ditutupi dari ujung ke ujung--dan disebut oleh pelantang masjid? Akankah suatu saat saya dicoba dengan penyakit berat menahun yang memayahkan lahir-batin dan apakah yang dapat saya perbuat agar bersemangat menjalaninya seperti beliau?

Seusai salat magrib di basement RSHS, saya berdoa semoga saya tetap sehat sampai waktunya tiba. Pokoknya saya enggak mau sakit dan menderita. Ya, Tuhan, ya? Ya? Ya? Ya?

Saya juga tidak mau kematian yang menyakitkan, tentu saja.

Banyak maunya, lupa bahwa dunia ini bukan surga.

Kunjungan ke rumah sakit kok jadi wisata religi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...