"Towards an Islamic Approach for Environmental
Balance" oleh Muhammad Ramzan Akhtar dalam Islamic
Economic Studies Volume 3 Nomor 2 Juni 1996, bisa dilihat di sini.
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa ada dua pendekatan islami
dalam menjaga keseimbangan lingkungan hidup, yaitu pendekatan individualistis
dan pendekatan politis.
Pendekatan individualistis pada praktiknya terdiri dari tiga
hal:
- kesadaran lingkungan hidup (environmental
consciousness)
- kesederhanaan (simplicity atau
istilah bekennya: gaya hidup minimalis)
- persaudaraan antara sesama muslim
(fellow-feeling)
Pendekatan politis yang dimaksudkan penulis artikel ini bisa
dibilang dengan mendirikan negara Islam, sebab negara memiliki fungsi-fungsi
strategis dalam penguasaan sumber daya alam sebagai berikut:
1.
Perencanaan (planning)
2.
Legislasi (legislation)
3.
Pengawasan (monitoring)
4.
Kepemilikan sumber
daya alam (public ownership of resources)
Artikel ini pada dasarnya bersifat teoretis, menurut
Alquran, sunah, fikih, dan sejarah Islam. Jadi artikel ini bukan untuk
dipertentangkan dengan kenyataan di lapangan, yang mana agaknya masyarakat
muslim--ambillah Indonesia dengan populasi terbesar sebagai sampel--masih jauh
dari pendekatan-pendekatan sebagai tersebut di atas. Kalaupun ada di antara
masyarakat muslim kita yang mementingkan ekologi, agaknya pemerintah kitalah
yang masih kurang mengimplementasikan wawasan keakhiratan. Indonesia kan bukan
negara Islam, lagian~
Cara hidup islami tidak mesti diterjemahkan dengan
perilaku-perilaku kentara seperti rajin tahajud, tilawah Alquran, menjaga wudu,
dan seterusnya, tetapi juga meliputi perilaku-perilaku subtil yang sepintas
lalu cuma keduniaan atau tidak bernuansa keagamaan, seperti menghemat air,
menanam pohon, dan seterusnya. Bukan berarti mengecilkan perilaku-perilaku
saleh tersebut, tetapi, dalam Alquran toh ada juga perintah untuk berpikir
dalam skala dunia-akhirat serta memerhatikan ayat-ayat Allah yang tersirat (:
tidak tersurat dalam kitab suci).
Dengan kata lain: seorang muslim diperintahkan untuk
memiliki pemikiran yang dalam, luas, dan jauh.
Contoh sederhana saja, pernahkah kita sampai memikirkan:
menggunakan kendaraan berbakar bahan fosil
> polusi timbal
> menurunkan IQ
> sulit menghafalkan Alquran jangankan
menadaburkannya
pembangunan hotel, pabrik, dan sebagainya
> sumber air tersedot ke pemodal besar atau tercemar
> persediaan air bersih menipis
> tidak bisa sering-sering berwudu
boros dalam penggunaan listrik
< listrik berasal dari batu bara
< pertambangan batu bara dibuka dengan menebang
jutaan hektar
< masyarakat adat dan banyak spesies lain terzalimi
karena terusir dari habitatnya
< berbuat zalim terhadap makhluk lain merupakan dosa
< pihak yang terzalimi dapat meminta
pertanggungjawaban di akhirat
Saya setuju bahwa setiap individu sebaiknya memiliki wawasan
lingkungan hidup (dan dengan demikian memiliki kesadaran), gaya hidup
sederhana, serta fellow-feeling yang
kalau boleh saya artikan secara lebih luas menjadi empati atau rasa
kemanusiaan.
Rasa kemanusiaan di sini maksudnya kalau kita merasa berhak
mendapatkan air bersih, maka demikian pula dengan manusia lainnya. Maka jika
ada manusia lainnya yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap air bersih, kita
menyadari ketidakadilan dan ingin melakukan sesuatu untuk mengatasinya.
Seandainya saja kita bisa meluangkan sumber daya (: waktu,
pikiran, tenaga, dan sebagainya) untuk melacak rantai produksi dan distribusi
dari setiap barang yang kita konsumsi (: memperluas wawasan lingkungan hidup),
dan berapa banyak makhluk hidup yang terimbas oleh dampak lingkungannya,
diiringi oleh perasaan empati (: menempatkan diri pada posisi makhluk hidup
lainnya itu), kemungkinan kita akan ingin hidup seminimalis mungkin.
Malah, dengan adanya aturan halal dan haram dalam Islam, jika semuanya diperhatikan secara sungguh-sungguh, dengan sendirinya seorang muslim akan hidup minimalis.
"Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu,
yaitu nikmat sehat dan waktu senggang." (HR. Bukhari nomor
6412, dari Ibnu 'Abbas) Demikian pesan dari Badan Wakaf Salman ITB yang masuk
ke WA saya. Sesungguhnya itu ajakan untuk berwakaf kepada lembaga tersebut.
Tetapi, mengaitkan dengan tulisan ini, sepertinya selagi sehat dan senggang,
ada baiknya menggunakan nikmat tersebut untuk menafakurkan ayat-ayat Allah
yang berupa wawasan lingkungan hidup tadi. Katakanlah, dengan menonton film Sexy
Killers yang lagi tren belakangan ini.
Setelah menonton film tersebut, kemungkinan orang bakal maklum bahwa di balik
pemakaian listriknya ternyata ada orang-orang yang menderita, yang dengan
demikian akan mengarahkan perilakunya agar mengurangi konsumsi.
Malah, dengan adanya aturan halal dan haram dalam Islam, jika semuanya diperhatikan secara sungguh-sungguh, dengan sendirinya seorang muslim akan hidup minimalis.
sumber gambar |
Adapun dengan gagasan negara Islam, yah, lagi-lagi merujuk kepada Sexy Killers, bahkan pasangan calon yang didukung partai Islam terbesar di negeri ini pun tidak sepenuhnya bersih. Sepertinya perwujudan negara Islam masih jauh panggang dari api.
Katakanlah, untuk membentuk negara Islam dibutuhkan individu-individu yang islami: individu-individu yang tidak hanya terjebak di masjid dalam gamis atau jilbab panjang, tetapi juga turun ke halaman dengan pakaian training untuk menanam sayuran; individu-individu yang alih-alih menonton cuplikan kajian di Youtube lebih suka datang langsung ke masjid dengan berjalan kaki atau naik
Memang lebih mudah merutuki orang lain (: pemerintah, pengusaha besar) daripada diri sendiri. Tetapi, sepertinya, lebih memungkinkan untuk mengubah perilaku diri sendiri daripada orang lain, bukan?
Sulit? Memang. Malah sebenarnya yang di atas itu sindiran keras terhadap diri saya sendiri.
Dari artikel ini saya juga mendapat gagasan bahwa ekonomi Islam itu berorientasi kepada kesejahteraan orang lain atau, dalam skala besarnya, masyarakat. Ada hadis rasul yang mengatakan bahwa meninggalkan warisan yang banyak itu lebih baik daripada keturunannya menjadi peminta-minta. Saya mengira bahwa hadis itu tidak mesti diartikan secara harfiah. Warisan yang banyak supaya keturunan tidak menjadi peminta-minta itu boleh jadi berarti mewariskan kehidupan yang berkelanjutan untuk anak cucu. Kehidupan yang berkelanjutan tidak mesti dilihat sebagai banyaknya uang, emas, rumah, mobil, dan sebagainya, tetapi juga air dan udara bersih yang dihasilkan dari kerimbunan hutan serta cukup lahan untuk menjaga stok pangan. Keturunan tidak mesti diartikan sebagai anak cucu perorangan, tetapi bisa anak cucu siapa saja yang akan menempati dunia setelah habis giliran kita. Apalagi dengan rasa persaudaraan sesama muslim, anak cucu muslim lainnya seolah-olah anak cucu kita juga.
Jadi, ketika seseorang dianjurkan untuk menjadi kaya raya karena sesungguhnya kefakiran itu mendekati kepada kekafiran, kekayaan itu tidak mesti dilihat sebagai kekayaan pribadi berupa tabungan saham atau wakaf masjid dan pondok hafiz di mana-mana. Pernahkah memikirkan membangun hutan alam sebagai amal jariyah? Dari hutan itu akan dihasilkan air, oksigen, buah-buahan, dan hasil alam lainnya yang bermanfaat bagi aneka makhluk, bukan cuma anak-anak panti asuhan. Boleh jadi yang kita butuhkan bukan lebih banyak masjid, apalagi di daerah yang sudah padat penduduk, melainkan sebaran hutan dengan aneka pohon buah tempat penduduk sekitar dapat memenuhi kecukupan gizinya secara cuma-cuma?
Wawasan ekologis begini belum saya dengar dari kajian-kajian. Para ustad lebih suka mencandai ibu-ibu soal poligami daripada tentang manajemen air, listrik, dan plastik di rumah. Padahal cinta berahi cuma bertahan sampai si perempuan tidak seksi lagi, sementara plastik awetnya menandingi "Aku" Chairil Anwar--seribu tahun pun belum tentu terurai.
Teh, ke BAM yuk besok.., Ahad 28 April 2019 di Balaikota :))
BalasHapusTelat lihat pesannya, heuheuheu ....
Hapus