Untuk mengikuti kelas tersebut, saya mengikuti tes penempatan yang diadakan sekitar sebulan sebelumnya (saat itu Ramadan). Tesnya berupa mengerjakan soal Bahasa Inggris pilihan ganda sebanyak beberapa puluh soal. Jawaban langsung diperiksa saat itu juga dan saya dinyatakan lolos kelas Intermediate. Jadi rupanya akan ada dua kelas yaitu Beginner dan Intermediate. Ada kuota untuk tiap-tiap tingkatan dan ketika saya mengerjakan tes tinggal kelas Intermediate yang masih lowong.
Setelah dinyatakan lolos, saya harus menyerahkan semacam uang jaminan sebesar Rp 100.000. Uang ini akan dikembalikan utuh apabila saya dapat memenuhi 75% kehadiran. Kalau enggak salah. Ingat-ingat lupa, jadi enggak yakin, hihihi. Yang jelas, nantinya saya dapat memenuhi 100% kehadiran sehingga uang itu kembali utuh pada saya. Hore!
Maka, tidak lama seusai Ramadan, pada Syawal tahun itu pun saya memulai kelas tersebut. Murid dalam tiap kelas berjumlah sekitar belasan, maksimal dua puluhan. Khusus di kelas saya, Intermediate, jarang-jarang murid hadir semua. Malah pernah sekali waktu yang hadir cuma empat orang sehingga rasanya seperti kursus privat. Lebih-lebih lagi, yang mengajar ada lima orang bergantian!
Jadi, baru setelah menjalani kelas tersebut--dengar dari kanan-kiri--saya baru mengetahui bahwa program ini gratis karena sesungguhnya kami sedang, istilahnya, membantu peserta pelatihan guru Bahasa Inggris dalam program CELTA atau Certificate in Teaching English to Speakers of Other Languages. Jumlah mereka--guru-guru kami--sepuluh orang. Mereka dibagi menjadi dua tim yang masing-masing terdiri dari lima orang. Kedua tim ini digilir di kedua kelas sehingga masing-masing mendapat jatah dua minggu di kelas Beginner dan dua minggu di kelas Intermediate. Dalam satu pertemuan (dua jam/hari) setidaknya tiga dari kelima guru itu mengajar secara bergantian. Adakalanya mereka juga bekerja bersama-sama, terutama ketika mengadakan permainan.
Cara mengajarnya cenderung menuntut partisipasi aktif murid daripada sekadar membeberkan grammar di papan tulis. Tiap hari ada tema tertentu dan biasanya ada lembar kerja fotokopian yang menyertai. Sering kali kami disuruh berdiskusi per dua atau tiga orang, yang tentu saja harus menggunakan bahasa Inggris. Selagi kami berdiskusi, guru yang sedang bertugas mendengarkan percakapan kami selintas-selintas. Setelah diskusi usai, biasanya ada pembahasan mengenai kalimat-kalimat yang barusan kami gunakan dalam percakapan dan di situlah pengetahuan tentang grammar masuk.
Ya, penggunaan bahasa Inggris secara aktif merupakan salah satu hal paling menantang dari kelas ini. Khususnya bagi saya yang sangat jarang bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Grogi, itu sudah pasti. Tetapi, ternyata saya enggak sendirian.
Malah, yang grogi sebenarnya bukan hanya murid, tetapi juga sebagian guru! Ada sesi-sesi ketika mereka meminta masukan dari kami agar bisa memperbaiki cara mengajar. Sebagian dari rekan saya sesama murid gadungan ternyata pengajar profesional sehingga mereka bisa memberikan masukan yang berarti. Sebenarnya para guru itu juga pengajar profesional, tetapi sertifikat CELTA ini sepertinya diperlukan agar mereka bisa meningkatkan level.
Foto bersama guru-guru sif dua minggu pertama. |
Manfaat bagi saya pribadi
Saya bisa masuk ke kelas ini awalnya sekadar untuk mengikuti ajakan teman. Ketika saya lolos tes, niat saya sekadar supaya saya ada kegiatan dan bersosialisasi lagi. Pada waktu itu, saya baru pulih dari mengonsumsi antidepresan dan selama berbulan-bulan bisa dibilang saya enggak berbuat apa-apa karena motivasi hidup saya lagi ambruk.
Setelah menjalani kelas itu, bertemu dengan orang-orang baru, terpaksa berbicara dalam bahasa yang biasanya cuma saya gunakan untuk membaca, dan mau enggak mau mengakui status saya yang bukan apa-apa (: problem yang pasti dijalani saat berkenalan dengan orang-orang baru), malah timbul motivasi saya untuk belajar bahasa Inggris lagi. Saat itu saya sadar, kalau ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, saya harus mulai menggunakannya secara aktif yaitu lewat berbicara dan menulis.
Ketika itulah, saya mengunduh aplikasi Bottled. Dengan aplikasi tersebut, saya bisa mengobrol via teks dengan banyak orang dari banyak negara yang tentunya menggunakan bahasa Inggris. Enggak lama kemudian, saya bisa bertelepon dengan Ziad dari Mesir serta menulis karangan bersama Sam dari Amerika Serikat.
Bentuk latihan lain yang terpikirkan oleh saya adalah kembali menulis di blog, tetapi kali ini dalam bahasa Inggris.
Tetapi, gagasan-gagasan lain kemudian bermunculan sehingga bukannya berfokus pada membuat post demi post berbahasa Inggris di satu blog, saya malah mengaktifkan blog-blog saya yang lain dan kembali menulis dalam bahasa Indonesia bahkan pada NaNoWriMo 2018 saya berhasil menyelesaikan proyek novel yang mandek sejak 2013 sampai sebanyak 80.000-an kata!!! Pada saat itu, rasanya seolah-olah, setelah vakum menulis selama bertahun-tahun, tiba-tiba terjadi ledakan kata-kata. Enggak usah tanya kualitasnya, ya ...
Setahun telah berlalu. Dari kursus itu, bertambah teman untuk jalan bareng dan saya kembali membaca, menulis, menerjemahkan, mengkliping, mengulas, dan berkomentar secara relatif rutin di beberapa media tulis-menulis.
Tetapi, gagasan untuk berlatih berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris secara rutin justru belum berhasil terlaksana, huhuhu. Bersama kenangan-kenangan ini saya mengingatkan diri saya akan tujuan itu.
Terima kasih sebesar-besarnya untuk NMS yang telah menggiring saya pada kesempatan berarti ini. Salam rindu teruntuk kawan-kawan sekelasku dulu. Mudah-mudahan grup chat kita bisa ramai lagi dan kapan nih kita temu kangen? Eaaak. (Bahasanya berasa angkatan '70-an.)
Untuk TBI Bandung, kapan lagi nih ada program ini? Saya mau ikut lagi!
Foto bersama setelah game, makan-makan, dan menulis kesan-pesan di punggung para guru pada hari terakhir. |