Senin, 11 November 2019

[#90anBanget] Upaya Mendandani Cinderela di Udara

DAVID Ogilvy, seorang ahli periklanan internasional, pernah mengandaikan stasiun radio bak Putri Cinderela: anak tiri yang disia-siakan. Tapi, setelah anak tiri didandani, ia menjadi gadis cantik yang berhasil memikat Pangeran. Pengandaian ini diucapkan Gunadi Sugiharso, praktisi periklanan dari PT Citra Lintas, dalam seminar sehari "Dampak Industri Televisi pada Perkembangan Radio Siaran Swasta" di Pekan Raya Jakarta, Sabtu pekan lalu.

Nasib 627 radio swasta di Indonesia saat ini, konon, sudah jadi Cinderela si anak tiri, yang terbengong-bengong menyaksikan gemerlapnya iklan di empat televisi swasta. Begitulah yang terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) DKI Jakarta.

Menurut Gunadi Sugiharso, sejak munculnya Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) empat tahun lalu, rezeki radio swasta mulai terancam. Dalam dua tahun saja setelah itu porsi iklan untuk radio menurun tajam. "Tahun 1990 masih 16,4% dari total dana iklan, tapi tahun 1992 tinggal 9,7%," kata Gunadi. Atau dari Rp 105 miliar menjadi tinggal Rp 100 mliar. Dengan catatan total dana promosi pada 1990 sekitar Rp 850 miliar dan tahun 1992 sekitar Rp 1 triliun.

Secara nominal penurunan yang terjadi pada kurun 1990-1992 memang tak terlalu tajam karena dana iklan membengkak. Tapi, kalau dilihat persentasenya, tingkat anjloknya sangat besar, hampir mencapai 20%. Itu sebelum televisi mengudara secara nasional. "Setelah empat televisi swasta melakukan siaran nasional, penurunan pendapatan iklan radio lebih tajam, yakni 30-40%," kata Purnomo, Ketua Pelaksana PRSSNI Pusat.

Tahun ini, dana promosi yang disediakan oleh produsen diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun. Dalam catatan Adforce Inc., sebuah agen periklanan, dari jumlah itu 53,5% disedot televisi, 32,3% masuk ke media cetak, 4% ke iklan outdoor, dan 10,2% ke radio. Ini hitungan setelah empat televisi swasta baru saja mengudara secara nasional.

Namun, menurut Sumaryono, Penanggung Jawab Radio Pesona FM, penurunan iklan di radio masih lebih kencang lagi. Sebagai media audiovisual, televisi memang efektif untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. Saat ini, katanya, televisi swasta belum habis-habisan bersaing di antara mereka sendiri. "Bukan tidak mungkin mereka akan segera bersaing ketat, misalnya dengan saling menurunkan tarif iklan. Kalau itu yang terjadi, bisa dibayangkan apa akibatnya bagi radio. Bisa gulung tikar," kata Sumaryono.

Kegelisahan pengelola radio swasta tampaknya memang punya dasar. Dari hari ke hari pemasang iklan di media elektronik ini cenderung turun. Apalagi sejak televisi swasta mengudara secara nasional pada 24 Agustus lalu. Sebagai perbandingan, bulan Juli lalu Radio Pesona FM masih menangguk sekitar Rp 70 juta dari iklan, bulan Agustus masih stabil, tapi bulan September turun menjadi Rp 63 juta.

Radio Trijaya FM juga bernasib sama. Menurut Mursid Rustam, Direktur Trijaya, perolehan iklan radio ini turun sekitar 20% sejak televisi swasta bersiaran nasional. Rustam memang tidak menyebutkan nilai nominal penurunannya. Tapi bisa dikira-kira. Jam siaran iklan di radio ini adalah 12% dari total 19 jam siaran. Tarif iklan Rp 85.000 per spot (30-60 detik). Kalau seluruh jam siaran iklan terisi, berarti didapatkan Rp 225 juta per bulan. Karena turun 20%, tinggal Rp 180 juta per bulan.

Radio Debra, menurut direkturnya, Shidik Wahab, pendapatannya dari iklan malah turun 30%. Ia juga tak menyebut angka nominal. Namun bisa dihitung-hitung. Jam siarannya 10% dari total 19 jam siaran. Tarifnya Rp 15.000 per spot. Kalau jam siaran iklan terisi penuh, berarti diperoleh kira-kira Rp 50 juta per bulan. Sekarang paling banter tinggal Rp 35 juta.

Memang ada yang tak terlalu malang. Misalnya Radio Prambors. Menurut Malik Sjafei Saleh, Direktur Utama Prambors, sampai saat ini jam siaran iklannya masih terisi 85% atau sama dengan sebelum televisi swasta siaran nasional. Dulu, sebelum ada televisi swasta, Prambors sering menolak iklan. "Sekarang semua pesanan kami tampung," kata Malik. Artinya, tidak ada lagi zaman keemasan, manakala Prambors kebanjiran iklan. 

Namun, dalam seminar pekan lalu itu masih tersirat keyakinan bahwa iklan di radio memiliki kekuatan tersendiri. Berdasarkan penelitian, masih banyak orang yang mendengarkan radio, baik di desa maupun di kota--umumnya di dalam kendaraan pribadi. Pengelola radio swasta diharapkan punya jurus-jurus baru dalam menggaet iklan, minimal bisa mempertahankan 10% dari dana promosi.

Bagaimana caranya? Sumaryono dari Pesona FM punya usul. "Setiap radio harus memiliki segmen pendengar dan karakteristik acara tertentu," katanya. Misalnya, Pesona FM yang khusus menyiarkan acara-acara bagi wanita dan ibu rumah tangga. Dengan demikian produsen barang-barang keperluan rumah tangga dan kaum wanita menganggap lebih tepat mempromosikan produksinya di Pesona FM daripada di radio atau media lain. Kecenderungan ini memang terlihat sekarang, sehingga ada radio khusus untuk pendengar wanita, radio khusus humor, radio khusus musik Indonesia, radio khusus dangdut, dan sebagainya. Begitulah Cinderela berdandan. Tapi, apakah sang Pangeran (produsen) terpikat memasang iklannya? Entah.

Priyono B. Sumbogo



Sumber: Tempo, Nomor 32 Tahun XXIII - 9 Oktober 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain