Selasa, 28 Januari 2020

Sehari bagi Bumi: (Sesi 3) Sekelumit Antroposofi dan (Sesi Tambahan) Lebih Lanjut Soal Eco Enzyme

SESI 3

Pada sesi ini, Dr. Joean kembali menjadi pembicara. Beliau memulai ceritanya dari tahun 2010. Pada waktu itu, Dr. Joean sedang berada di titik balik lainnya: sebagai seorang dokter, beliau tidak bisa menyembuhkan pasiennya. Beliau dilatih hanya untuk memberi pasien obat, yang padahal hanya menghentikan gejala.

Dalam keadaan itu, seorang teman menyarankan beliau agar mengikuti acara Anthroposophy Medical Training di Taiwan. Beliau pun mendapatkan pencerahan, tapi merasa tidak puas.

Singkat cerita, beliau mendapatkan tawaran untuk mengadakan acara serupa bagi masyarakat umum di Malaysia bersama Ibu Callie. Tapi, syaratnya, mereka harus bisa mengumpulkan 1.000 orang peserta. Diceritakanlah bagaimana mereka pontang-panting mencari dana hingga mengumpulkan seluruh peserta. Hampir saja Dr. Joean hendak menjual rumah satu-satunya. Bak keajaiban, acara bertajuk Kolisko Conference itu pun terwujud sebagaimana dikehendaki. Malah, mereka mendapatkan surplus dana yang kemudian digunakan untuk mengongkosi peserta dari tempat jauh. 

Baru kali ini saya mendengar istilah "antroposofi" dan "Kolisko", yang rupanya berhubungan. Sesi ini tidak menjelaskan secara terperinci mengenai asal-usul ataupun hubungan keduanya, tapi hanya memberikan gambaran kasar seputar subjek tersebut.

Misalnya saja, tentang sakit. Orang yang sakit tidak hanya perlu mengubah pola hidup atau berdiet, tapi juga pikirannya. Sakit itu ada bukan untuk membuat kita menderita, melainkan supaya kita berubah karena ada yang tidak seimbang dalam hidup kita. "You are sick first then have cancer, not you have cancer then sick," begitu kata Dr. Joean.

Antroposofi juga mengajarkan cara-cara untuk merawat diri sendiri. Misalkan, ketika anak demam, biasanya akan diberi parasetamol. Dalam antroposofi, keadaan atau lingkungan di sekitarnyalah yang mesti diubah agar anak dapat menurunkan sendiri demamnya.

Cara alami juga digunakan. Misalnya, batuk dapat diatasi dengan kompres kentang. Caranya: kukus dua buah kentang, bungkus dalam kain, hancurkan, kemudian taruh di dada sekitar 15 menit.

Dr. Joean lalu menjelaskan bahwa hidup ini tidaklah berbentuk garis lurus, tapi sebuah kurva. Yang terjadi pada seseorang dalam usia 0-7 tahun akan memengaruhinya dalam usia 60-70 tahun; 7-14 tahun pada usia 50-60 tahun; 14-21 tahun pada usia 40-50 tahun.

Sebagai contoh, usia 0-7 tahun merupakan waktu berkembangnya saraf dan indra (penglihatan, pendengaran, pengecapan). Apabila tidak berkembang dengan baik, pada masa tua akan terjadi masalah-masalah yang berhubungan dengan fungsi tersebut. Misalkan, kalau masalahnya pada saraf, maka saat tua akan mengalami demensia, Parkinson, dan sebagainya. Pada usia 0-7 tahun ini pula anak mesti belajar untuk mengikuti instruksi.

Adapun usia 7-14 tahun merupakan masa berkembangnya sistem pernapasan, peredaran darah, dan sebagainya, sehingga diperlukan banyak aktivitas luaruang. Pada masa ini anak harus dapat memilih, meskipun keputusannya ditentukan oleh orang tua.

Pada usia 14-21 tahun giliran tungkai (tangan, kaki), metabolisme, pencernaan, dan reproduksi (pubertas) yang berkembang. Pada masa ini, anak harus dapat membuat keputusan sendiri.

Apabila pada tahun-tahun perkembangan tersebut seseorang mendapatkan pendidikan yang baik, usia 22-40 tahun akan menjadi masa puncak baginya ketika matahari sedang terang-terangnya. Ia akan dapat menghadapi tantangan apa pun dan pantang menyerah. Pada masa ini pula ia telah dewasa dan bertanggung jawab. Memang tugas utama orang tua adalah melatih anak agar bertanggung jawab atas pilihan sendiri. Anak mesti dibiarkan menjadi diri mereka sendiri.

Terus terang, bagian tentang kurva perkembangan ini cukup menohok, seperti mencetuskan agar merenungi proses perkembangan diri sendiri. Art therapy sepertinya solusi yang menarik untuk dipelajari dan dipraktikkan. Dalam foto-foto tentang Kolisko Conference yang telah diadakan di Malaysia ditunjukkan tentang cara ini, berupa praktik menggambar di tempat terbuka. Art therapy digunakan khususnya bagi pasien psikosomatik agar dapat mengenali dan menemukan dirinya yang sejati.

Ada beberapa pernyataan lain yang saya catat.
Kebebasan adalah tidak memiliki rasa takut, berani mencoba, tahu yang kita lakukan, dan dalam perjalanan itu, kita belajar untuk memerdekakan diri. 
Pendidikan mainstream membuat orang jadi spesialis.
Selebihnya, tidak banyak yang bisa saya catat. Bisa dibilang, sesi ini sekadar memberikan sugesti untuk menelusuri sendiri tentang antroposofi, Kolisko, dan seterusnya.

***

Demikianlah satu hari yang sangat membuka mata sekaligus cukup melelahkan, haha! Seperti biasanya, acara ditutup dengan pemberian kenang-kenangan. Bersama Dr. Joean dan Ibu Callie Tai, ada juga dua wanita lainnya yang telah berjuang bersama-sama mereka.

Kenang-kenangan untuk Dr. Joean (kiri) dan Ibu Callie Tai (kanan). 
Foto oleh @aktivasi_anis.

Selanjutnya ada acara bincang santai bersama para pembicara. Tapi saat itu sudah selewat magrib, sehingga tentu saja kami hendak langsung pulang, tidak mengikuti acara tersebut.

Suasana di sekitar lokasi sebelum pulang. 
Malam Minggu, banyak anak muda berkumpul.
Foto oleh @aktivasi_anis.

Seusai acara, atas permintaan para peserta, grup di WhatsApp tidak jadi dibubarkan. Grup ini lalu menjadi ajang berbagi soal teori dan praktik pembuatan eco enzyme. Malah, kadang-kadang pembicaraan melebar ke berbagai hal yang tapinya masih berhubungan dengan usaha menjaga bumi, misalnya saja cara membuat sabun sendiri.

Berikut beberapa pengetahuan tambahan yang saya dapatkan dari grup ini:


Di samping itu, semua anggota dijadikan admin supaya bisa mengundang siapa saja untuk bergabung dan menimba pengetahuan. Kalau begitu, bolehlah saya bagikan tautan untuk masuk ke grup kalau-kalau ada pembaca seri tulisan ini yang tertarik: https://chat.whatsapp.com/HTPTRPT4gjK315AzvxCghS. Hanya saja, sampai waktu saya menulis ini, grup ini masih sangat aktif. Jadi, siap-siap saja kebanjiran notifikasi dari grup ini yang bisa sampai ratusan pesan baru dalam sehari!

Senin, 27 Januari 2020

Sehari bagi Bumi: (Sesi 2) Lika-liku Bisnis Organik Justlife, Malaysia

Sebelumnya, lewat grup WhatsApp, panitia telah mengimbau agar peserta membawa alat makan dan minum sendiri, serta sebotol plastik bekas minimal ukuran 250 ml karena akan dibagikan eco enzyme. Peserta bisa ikut berbagi makanan yang berupa menu vegan/vegetarian agar selaras dengan tema acara, tapi tidak wajib. Peserta bisa pula membeli makanan dari restoran tempat acara. Air minum untuk isi ulang disediakan.  

Aneka nyamikan dijamin sehat.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Di sela Sesi 1, terdapat break. Para peserta dipersilakan untuk mengambil nyamikan yang telah ditempatkan pada meja-meja. Jenis-jenis nyamikan mengusung semangat organik dan vegetarian. Saya hanya mencoba sedikit, di antaranya sepotong brownies, sepotong tempe mendoan yang saya bumbui kimchi, serta sepotong tempe mentah-- Yep, tempe mentah organik! Bahkan, peserta yang beruntung dapat memperoleh sebungkus tempe mentah yang diproduksi oleh seseorang bernama Pak Agus, ukurannya kira-kira sebesar tablet yang biasa saya pakai untuk baca buku digital.

Tempe Pak Agus
boleh dibawa pulang
untuk oleh-oleh.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Seusai Sesi 1, di meja yang sama telah terhidang aneka masakan untuk makan siang. Tentu saja semangatnya masih sama! Kalau-kalau ada peserta yang tidak membawa wadah makan sendiri, panitia menyediakan piring--yang tahu-tahu saja sudah habis. Tampaknya mereka menyediakan gelas juga. 

Adakalanya di rumah saya cuma makan yang semacam sop, tahu, dan tempe--maksudnya, tanpa daging--yang secara tidak semena-mena mungkin bisa dianggap sebagai menu vegetarian. Tapi menu makan siang kali ini terasa beda, entah kenapa. Mungkin, karena ada "label" dari acaranya itu. Menyegarkan, mengenyangkan, dan perkedel jagungnya ENAK BANGET. Kami makan sambil menikmati panorama Dago Atas yang sesekali beraroma tahi kuda. 

Segala yang tampak menarik dicampur!
Tahu-tahu, terdengar ada nyanyian pelan dari ruangan acara, oleh beberapa perempuan. Entah kenapa, saya berpikir bahwa itu semacam "bel", panggilan agar peserta kembali ke dalam sebab sesi selanjutnya hendak dimulai. 

Begitu masuk ke ruangan, barulah kami mengetahui bahwa selagi kami menyantap makan siang sembari mengobrol ke sana kemari tadi, rupanya tengah dibagikan eco enzyme dari Rumah Alam Bahagia. Kami tidak kebagian deh, huhuhu. Melihat punya orang, cairannya berwarna cokelat gelap seperti jamu. 

Sebelum Sesi 2 dimulai, tampil Ibu Manda dari SD Arunika Waldorf. Beliau menjelaskan tentang asal mula berdirinya sekolah Waldorf di Bandung. Lokasinya tidak jauh dari tempat acara ini. Diawali dengan training yang diperolehnya di luar negeri, beliau berinisiatif untuk merintis sekolah tersebut karena belum ada di Bandung. Sementara ini, bangunannya baru ada satu, yang terbuat dari bambu. Bahannya pun diperoleh dari kebun ibunya, dan dibuat oleh pamannya. Kelasnya pun baru ada kelas 1. 

Meski kompromi atau jalan tengah tidak terhindarkan, Waldorf merupakan sekolah bebas tekanan, entahkah dari pemerintah, ekonomi, ataupun orang tua. Sekolah ini merupakan sumbangan semua orang, tidak ada yayasan. Peserta dapat berkontribusi dengan menyumbangkan donasi. 

Memang di pojok belakang ruangan terdapat meja informasi tentang sekolah ini. Tiap kali saya melewatinya, meja itu tampak penuh. Sayang sekali saya tidak sempat bertanya-tanya.

SESI 2

Sesi kali ini diberikan oleh Callie Tai. Beliau seorang pelaku bisnis organik di Malaysia, khususnya berupa toko yang menjual produk-produk organik: Justlife. Sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bisnis organik itu tantangannya lebih berat. Tapi, beliau menyambung dengan materi pada sesi sebelumnya, pelaku gaya hidup organik itu seperti eco enzyme: cuma diperlukan satu tutup botol saja untuk memengaruhi banyak air.

Sesi dibuka dengan menerima pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan pertama tentang keadaan bisnis organik di Malaysia, yang dijawab dengan informasi bahwa ada sedikitnya 300-an toko organik di seluruh Malaysia. Selain itu, di banyak supermarket sudah ada bagian yang khusus menyediakan produk-produk organik. Pertanyaan kedua soal target pasar, yang akan dijawab nanti.

Beliau lalu menceritakan tentang riwayat bisnisnya, jatuh bangunnya selama 21 tahun. Sebenarnya beliau sudah merintis bisnis organik sejak 1999. Pada awalnya, ia menggunakan nama Organic Life Shop dengan toko seluas 600 meter persegi. Tapi, karena kata "organic" memiliki konotasi tertentu yang tampaknya kurang menarik orang (karena yang "organik" itu cenderung mahal?), maka pada 2001 namanya berganti menjadi Justlife. 

Nama "Justlife" dipilih karena maksudnya berarti, "Just as life should be," atau, "Beginilah hidup seharusnya," "Just" juga dapat berarti "justice", yang mungkin maksudnya adalah keadilan bagi semua makhluk. (Mohon maaf, catatan saya kurang lengkap, hahaha.) 

Gambar dari Facebook Justlife Shop.
Logo Justlife berupa sehelai daun dengan sedikit bekas gigitan serta latar berwarna oranye. Daun menunjukkan bahwa produk-produk yang dijual berbahan nabati. Sedikit bekas gigitan menunjukkan sikap berbagi terhadap makhluk lain. Adapun warna oranye memiliki dampak psikologis untuk membangkitkan semangat, yang bisa berupa keberanian, nafsu makan, dan sebagainya. 

Bisnis ini dijalankan oleh Ibu Callie bersama keluarganya. Mereka berasal dari jurusan kuliah yang berbeda-beda, punya profesi yang berlainan, tapi lalu bersatu dengan peran masing-masing: IT, accountant, marketing, graphic designer, lawyer, HR, bahkan kedua orang tua mereka pun mendukung dan terlibat sebagai advisor dan financier

Ibu Callie menceritakan tentang almarhum ayahnya, yang merupakan sosok tipikal ayah Asia: jarang bicara, tapi sekalinya bicara mengandung kebijaksanaan. Ayahnya mengatakan bahwa apabila bisnis tidak memberikan untung, yang salah bukan pekerjanya melainkan bosnya. Atas masukan ayahnya pula, Ibu Callie sudah memberikan bonus kepada karyawannya sejak awal padahal baru sepuluh tahun kemudian bisnisnya dapat menghasilkan keuntungan.

Pada 2005, mereka membuka franchise serta cabang di mal agar lebih terlihat. Namun rupanya, seperti sekolah Waldorf, semangat organik itu tidak bisa dijadikan franchise sehingga usaha ini tidak dilanjutkan. 

Mereka sempat membuat kafe pada 2016, tapi tutup pada 2019. Alasannya, tampaknya mereka tidak begitu pandai menyajikan masakan.

Mereka juga mengembangkan pertanian biodinamis. Pada 2016 mereka mulai memiliki kebun sendiri, dan pada 2018 membeli sawah. 

Pada 2020 ini mereka baru membuka enam toko kecil yang lebih menyesuaikan dengan semangat organik.

Tantangan dan pembelajaran yang dihadapi selama perjalanan bisnis organik ini mencakup beberapa hal berikut:
  1. Uang. Mereka pernah mengalami kebakaran gudang. Untunglah banyak pemasok yang berbaik hati, meringankan pembayaran. Tapi, dari situ, Ibu Callie belajar bahwa bisnisnya harus benar-benar menghasilkan uang. 
  2. Aturan pemerintah, sepertinya karena belum mencakup perkembangan produk organik.
  3. Orang, yang meliputi pekerja (team), pemasok (suppliers), dan pelanggan (costumers). Pekerja mestilah orang yang tepat, dan pemilik bisnis juga mesti terus membangkitkan semangat mereka dengan program-program bekerlanjutan. Dalam berhubungan dengan pemasok pun, perlu ada niat dan kepribadian yang baik. Terhadap pelanggan, tentu saja kita mesti dapat menyediakan kebutuan mereka. 
  4. Produk. Kembangkanlah produk lokal. Ini sulit di Malaysia, tapi banyak potensi di Indonesia.
Dari tantangan dan pembelajaran di atas, Ibu Callie menarik tiga hal paling penting dalam bisnis organik, yaitu:
  1. Planet. Sudah jelas bisnis mesti ramah lingkungan, dan dapat menciptakan masyarakat yang baik bagi bumi.
  2. People, sebagaimana sudah diterangkan di atas.
  3. Profit. Bisnis harus menghasilkan uang, dan memberikan keuntungan!
Ketiga hal ini tidak bisa dicapai semuanya sekaligus, sehingga perlu ditentukan prioritas menurut keadaan.

Selanjutnya, Ibu Callie menunjukkan bagaimana mereka mendekorasi toko menggunakan barang-barang bekas. Beliau memberi tahu adiknya, yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!"

Beliau juga menyampaikan secara lebih terperinci bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang berhubungan dengan mereka, mulai dari pekerja, pemasok, hingga pelanggan.

Mereka melakukan berbagai cara agar pekerja betah, di antaranya:
  1. Menyediakan masakan rumahan organik di kantor dan toko agar pekerja terbiasa dengan masakan sehat tersebut.
  2. Memberikan potongan apabila pekerja membeli produk dari toko.
  3. Memberikan pelatihan, misalnya dengan membawa pekerja mengunjungi langsung para petani yang menghasilkan bahan baku produk mereka.
  4. Memberikan subsidi apabila pekerja memasukkan anaknya ke sekolah Waldorf.
  5. Dan sebagainya yang tidak sempat saya catat semua, haha. 
Terhadap pemasok, mereka memerhatikan setiap tahap produksi secara selektif, mulai dari jenis tanaman yang digunakan, pembibitannya, sampai cara menanam, memanen, dan seterusnya. Mereka hendak menerapkan pertanian biodinamis, yang kurang lebih berarti kembali pada ilmu pengetahuan tradisional dalam bercocok tanam. Ibu Manda dari SD Arunika Waldorf, yang notabene menjadi juru bahasa dalam sesi ini, menambahkan bahwa di Indonesia khususnya kebudayaan Jawa dan Sunda, metode tersebut menggunakan kalender pranata mangsa.

Di samping itu, mereka memiliki prinsip, "Pay farmers first." Ibu Callie menyatakan kutipan (yang mohon maaf saya khilfaf menyertakan sumbernya dalam catatan saya), "Our farmers, whom we trust beyond certification."

Terhadap pelanggan, mereka melakukan berbagai cara untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan, misalnya dengan mempublikasikan majalah (yang sekarang tidak lagi karena sudah serbainternet), kampanye, workshop, karnaval, dan sebagainya. "Every dollar you spend is a vote for how you want the world to be," kata Ibu Callie. Beliau mengatakan bahwa banyak di antara pembeli mereka justru berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sampai di sini, pertanyaan yang saya pendam-pendam sejak beberapa saat sebelumnya seperti terbungkam.

Sebelumnya, saya memikirkan perkataan Ibu Callie, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!" Soalnya, banyak produk yang berlabel organik atau hijau itu harganya di atas rata-rata. Setidaknya begitulah hasil pengamatan saya ketika suatu kali melihat-lihat di sebuah toko yang menjual produk-produk tersebut. Dengan begitu saya berpikir bahwa gaya hidup ini hanya terjangkau oleh kelas menengah atas. Kalangan berduit pas-pasan sepertinya masih akan lebih memilih untuk membeli produk-produk berlabel kuning di ****mart atau apalah yang ada di warung terdekat, biarpun nonorganik dan kemungkinan mengandung zat kimia berisiko. Nah, kalau bisnis organik bagaimanapun juga harus menghasilkan profit, bagaimanakah supaya harga produknya dapat ditekan seekonomis mungkin sehingga terjangkau oleh lebih banyak orang? Saya geregetan sekali ingin mengajukan pertanyaan ini. Sementara itu, saya juga memikirkan: seandainya ada semakin banyak pembeli produk-produk ini dari kalangan yang mampu, kemungkinan harganya bisa turun sehingga terjangkau oleh kalangan di bawahnya. Contohnya seperti ponsel yang sampai belasan tahun lalu hanya mampu dimiliki segelintir orang berkecukupan, tapi kini siapa pun dapat mengantonginya bahkan sampai lebih dari satu!

Ibu Callie menutup sesinya dengan menyebutkan beberapa faktor kunci keberhasilan:
  1. Passion. Meyakini kepercayaan diri, selama itu baik bagi bumi dan masyarakat.
  2. Menolong orang lain agar sukses, entahkah itu petani, produsen, sampai pengecer. Menurut Ibu Callie, membantu diri sendiri lebih bikin stres daripada membantu orang lain. Or, can I say, like, help yourself by help others or help others to help yourself, maybe?
  3. Grow organically. Tumbuhlah secara organik, tapi harus senang dalam melakukannya. Sebab, "Having fun is a serious business."
Satu lagi, kemungkinan untuk mengembangkan bisnis organik tidaklah berbatas. Segalanya bisa dibikin organik. Dan, tidak ada kompetisi di antara pebisnis organik. Sesama pebisnis organik dipandang sebagai mitra. Kalaupun hendak menjadi konsumen saja, kita tetap bisa melakukan usaha. Misalnya, Ibu Callie mengusulkan, ketika hendak makan di suatu restoran, tanyakanlah apakah ada menu organik. Walaupun kita tahu mereka tidak menyediakannya, tapi apabila kita datang ke situ berkali-kali dan menanyakannya terus, kemungkinan pramusaji akan menyampaikannya kepada si bos yang kemungkinan akan melihatnya sebagai peluang sehingga mengadakan bisnis tersebut.

Pak Agus, pengusaha tempe organik.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Ibu Callie lalu memanggil Pak Agus, sang pengusaha tempe organik. Pak Agus memulai bisnis organiknya pada usia di atas usia Ibu Callie ketika baru memulai, seolah-olah hendak menunjukkan bahwa tidak ada kata terlambat. Pak Agus membenarkan perkataan Ibu Callie bahwa tidak ada persaingan dalam bisnis organik. Pak Agus memberikan ilmunya secara cuma-cuma, dan dengan begitu rezekinya malah bertambah-tambah. Pak Agus sempat menanyakan kepada hadirin soal kebalikan dari "organik". Ada yang menjawab, "Nonorganik." Bisa begitu. Tapi, jawaban Pak Agus, kebalikan dari "organik" adalah "ego" yang mewujud dalam sifat "tamak": ingin memproduksi sebanyak-banyaknya, sehingga semakin besar keuntungan yang didapat. Dari situ, kita bisa kembangkan sendiri maksudnya.



(Karena tulisan ini sudah sangat panjang, Sesi 3 saya lanjutkan pada entri berikutnya.)

Minggu, 26 Januari 2020

Sehari bagi Bumi: (Sesi 1) Serba-serbi Eco Enzyme Bersama Dr. Joean Oon

Pada 18 Januari 2020, saya berkesempatan mengikuti acara bertajuk "For Earthsake: Achieving Individual Health and Social Well-Being" di Ruang Limasan Wisma Joglo Hotel, Bandung.

Acara ini terdiri dari tiga sesi:
Sesi 1. For Earthshake: Eco Enzyme for household cleaning, environment, and farming (with Eco Enzyme Making Demo)
Sesi 2. Developing Organic Business
Sesi 3. Achieve individual health & social well-being: IPMT, Kolisko, & Anthroposophy Initiatives in Malaysia

Sesi 1 dan 3 dibawakan oleh Dr. Joean Oon, seorang dokter naturopati dan aktivis eco enzyme, sedangkan Sesi 2 oleh Callie Tai, pendiri toko organik Justlife di Malaysia.

Ketika hendak mendaftar, rupanya kuota untuk Sesi 1 dan Sesi 2 sudah penuh sehingga kami hanya bisa mengikuti Sesi 3. Sehari sebelum acara, para pendaftar dimasukkan ke grup WhatsApp. Kemudian muncul pemberitahuan bahwa yang tidak kebagian tempat di sesi lain bisa saja datang hanya saja kemungkinan kursi sudah penuh sehingga mesti berdiri. Di samping itu, satu per satu, beberapa peserta mengundurkan diri karena mendadak berhalangan hadir. Saya pun optimistis menyambut tawaran teman saya--yang sepertinya begitu bersemangat--untuk datang sedari Sesi 1. Benar saja: tidak hanya pada Sesi 3, kami juga kebagian kursi pada kedua sesi sebelumnya.

Suasana ketika kami baru tiba.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Sabtu pagi itu, kami tiba agak telat. Di depan sudah ada seorang ibu berjilbab yang sedang memberikan pengantar tentang penyembuhan holistik atau semacam itu. Katakanlah, untuk menyembuhkan kanker secara alami tidak hanya dengan menggunakan green juice, tapi penderita juga perlu meminta maaf dan memaafkan. Disebutkan pula kata-kata kunci yang akan kerap muncul dalam sesi-sesi ke depan, yaitu pendidikan Waldorf dan antroposofi.

Nantinya, kedua pembicara menyampaikan materi dalam bahasa Inggris didampingi juru bahasa. Caranya, mereka mengucapkan satu sampai beberapa kalimat dalam bahasa Inggris, lalu menunggu juru bahasa menyampaikannya ulang dalam bahasa Indonesia, sebelum melanjutkan. Bahasa Inggris yang digunakan cukup sederhana. Meski begitu, peran juru bahasa sangat berguna. Pengulangan dalam bahasa ibu membuat informasi jadi lebih menempel.

Saya menduga kedua pembicara sudah berusia paruh baya, tapi kelihatan segar dan awet muda. Selain itu, mereka mengenakan baju terusan berpotongan sederhana yang berwarna polos tanpa corak. Hm, mungkinkah ini ada hubungannya dengan semangat organik? 

SESI 1

Dr. Joean membuka dengan cerita tentang asal mula beliau menemukan eco enzyme. Dimulai pada 2001, ketika suaminya menderita kanker hati stadium akhir dan mereka sudah kehabisan uang untuk merawatnya. Dr. Joean memutuskan untuk merawat sendiri suaminya. Beliau pun mencari berbagai cara yang terjangkau. Setelah tiga bulan, ada kemajuan. Suaminya bisa kembali beraktivitas. Caranya: 1) Menjadi vegetarian; 2) Berbahagia, bahkan untuk menyambut kematian. Suaminya pun dapat terus hidup. Dari situ, timbul pemikiran Dr. Joean untuk mencari cara yang mudah dan murah dalam menyembuhkan orang miskin yang sakit. Dalam pencariannya itu, beliau bertemu dengan Dr. Rosukon dari Thailand.

Di tempat Dr. Rosukon, Dr Joean melihat ada peta dunia yang diberi pin-pin berwarna merah. Salah satunya menandai negara Dr Joean, Malaysia. Dr. Rosukon menerangkan bahwa pin merah itu menandakan negara-negara yang akan tenggelam akibat pemanasan global. Dr. Joean pun menyadari bahwa tidak hanya kesehatan diri sendiri yang perlu dijaga, tapi juga bumi.

Dr. Joean pun menjelaskan tentang pemanasan global dan efek rumah kaca, disertai dengan foto dan animasi yang bikin bergidik ngeri. Beberapa foto menampakkan para korban tsunami di Bangladesh yang sudah membusuk. Adapun salah satu animasi menunjukkan berkurangnya es di Kutub Utara dari waktu ke waktu. Menurut Dr. Joean, persoalan lingkungan tersebut dapat diatasi dengan membuat eco enzyme.

Kalau pernah googling tentang eco enzyme, nama Dr. Rosukon otomatis terkait, yaitu sebagai penemunya.

Bagaimana eco enzyme dapat mengatasi pemanasan global? Penjelasan yang sederhana kurang lebih begini: Salah satu cara mengatasi pemanasan global adalah dengan mengurangi sampah. Eco enzyme merupakan salah satu cara untuk mengurangi sampah tipe organik, khususnya buah, sayur, dan semacamnya yang tidak ikut dimakan/dimasak. Kalau dibiarkan, sampah tipe ini dapat mengeluarkan gas metana yang merupakan salah satu gas penyebab efek rumah kaca Dengan membuat eco enzyme, gas metana dapat dikurangi. Di samping itu, katanya 1 kilogram sampah itu sama dengan 2,06 kilogram emisi karbon!

Eco enzyme memiliki banyak kegunaan. Cairan ini dapat mengatasi pencemaran baik di air maupun udara. Sebagai contoh, Dr. Joean menampilkan foto-foto segerombolan orang yang sedang beramai-ramai menuangkan botol berisikan cairan ini ke danau, kolam, atau sungai. Dalam beberapa waktu, tampaklah perubahan. Air mulai jernih. Busa menghilang. Cairan ini juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Kalau dipakai untuk mencuci dan merendam buah dan sayuran, pestisida akan berkurang drastis di samping rasanya menjadi lebih enak. Kalau dipakai untuk merendam pakaian dalam waktu lama sampai berhari-hari, airnya tidak akan berbau seperti yang terjadi bila menggunakan deterjen biasa. Kalau dipakai untuk mengepel, hama seperti serangga dan tikus akan menyingkir. Air bekas pel dapat digunakan ulang untuk toilet, dan hasilnya pun lebih bersih serta tidak berbau. Belum lagi untuk mengatasi kaporit, membersihkan minyak, mandi, keramas, dan sebagainya. Cairan ini bahkan bisa digunakan untuk mengobati luka parah, seperti tergores kaca, bedsore, terbakar, dan tersetrum. Apalagi untuk penggunaan ringan seperti obat kumur-kumur, jerawat, infeksi kulit, serta perendam kaki.

Saking banyaknya, sampai-sampai timbul pendapat bahwa it's a magic, miracle!

Meski begitu, penting untuk diperhatikan: ECO ENZYME BUKAN UNTUK DIMINUM.

Memang pembuatan dan pemakaian eco enzyme cukup tricky. Untuk setiap keperluan, ada takaran yang harus ditaati supaya hasilnya efektif. Kalau tidak, bisa-bisa hasilnya bau atau lengket. Misalnya saja, untuk menghilangkan minyak serta mencuci piring/pakaian, rasio yang digunakan adalah eco enzyme : sabun : air = 1 : 1 : 5-10. Untuk batuk atau obat kumur-kumur, 1 tutup botol eco enzyme : 1 gelas. Untuk penyemprotan media tanaman 1 : 1000, sedangkan untuk penyiraman 1 : 500. Tidak usah dianggap ribet lah, ya!

Kalau berhasil membuat eco enzyme, tentu menyenangkan bila kita bisa membereskan berbagai macam urusan dengan satu jenis cairan saja. Apalagi untuk pemakaian apa pun, cairan yang diperlukan sedikit saja untuk diencerkan dengan air. Dalam bentuk konsentrat malah tidak efektif! Bahannya pun bisa kita peroleh secara cuma-cuma, entahkah dari sampah sendiri maupun yang ditinggalkan begitu saja di pasar: di samping baik untuk lingkungan, baik juga untuk "kocek"! Di samping itu, eco enzyme tidak mengenal kedaluwarsa. Justru, semakin lama disimpan, kualitasnya semakin baik.

Dr. Joean sangat meyakini kebaikan eco enzyme sampai-sampai beliau telah menyebarluaskannya ke berbagai negara tanpa meminta bayaran. Meski begitu, pada awalnya, beliau tidak bisa menunjukkan bukti-bukti ilmiah sehingga tidak bisa meyakinkan pihak yang berkepentingan, sebutlah pemerintah. Baru belakangan Dr. Joan dapat menampilkan bukti berupa hasil-hasil penelitian terhadap eco enzyme.

Yang menarik, katanya satu tong eco enzyme sama dengan sepuluh pohon dan dapat menghalangi sinyal wi fi. Rupanya wi fi memancarkan radiasi yang tidak baik. Misalnya saja, wi fi yang menyala dapat mengurangi kualitas tidur sehingga akibatnya bangun dalam keadaan capek alih-alih segar. So, wi fi is actually bad! Runtuhkan peradaban!

Untuk menunjukkan bahwa cairan ini perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, dilakukan demonstrasi fluoresen. Dituangkan bubuk deterjen dari merek yang bisa saya pakai (#ehem!) ke sebaskom air. Lalu disorotkan senter khusus fluoresen. Tampak air tersebut berpendar biru. Jejak tersebut juga ada pada pakaian kita yang dicuci menggunakan deterjen semacam itu. Padahal fluoresen dapat mengancam nyawa bila meresap ke kulit. Malah, sebaiknya pelembut, pemutih, yang semacam itu, tidak usah digunakan. Supaya harga lebih ekonomis, produsen barang kebutuhan sehari-hari menggunakan bahan kimia yang boleh jadi berbahaya. Waduh! Sebagai pemburu label kuning di ****mart yang notabene penadah produk-produk tidak-habis-pakai-sayang-kalau-dibuang, saya merasa terguncang.

Terakhir, Dr. Joean menunjukkan cara membuat eco enzyme. Pada dasarnya, kita hanya membutuhkan gula merah (black sugar), sampah organik mentah (fermentasi akan terhambat bila mengandung garam dan minyak), serta air dengan perbandingan 1:3:10. Semuanya dicampur dan didiamkan selama tiga bulan. Labeli wadah yang menandakan tanggal pembuatannya, supaya tidak lupa. Kemungkinan akan muncul ulat, yang sebetulnya tidak apa-apa karena dapat menjadi ekstra protein. Kalau tidak suka ulat, tambahkan satu rasio gula. Kalau tidak mau tambah gula, wadah mesti benar-benar tertutup rapat. Buka penutupnya sesekali untuk mengeluarkan gas.

Jamur yang membentuk lapisan atas merupakan pitera seperti yang terkandung dalam produk kecantikan yang terkenal itu, lo. Lapisan ini bisa dioleskan pada kulit supaya lembut. Tapi, yang berkulit tipis atau sensitif mesti berhati-hati supaya tidak terjadi iritasi: setelah pakai, langsung bilas. Bagi yang berkulit tebal, it's okay. Untuk percobaan, bisa terlebih dahulu diterapkan pada salah satu tangan, lalu bandingkan hasilnya dengan tangan yang tidak diberi.

Setelah eco enzyme berhasil dibuat, residunya dapat dikeringkan untuk dijadikan pupuk.



(Karena tulisan ini sudah cukup panjang, Sesi 2 dan Sesi 3 saya lanjutkan pada entri berikutnya.)

Kamis, 23 Januari 2020

Pembacaan Catatan Harian 2019 dan Beberapa Kutipan dari Dalamnya

Sepanjang 2019, saya menulis catatan harian setebal 232 halaman F4. Jumlah halaman tersebut sebenarnya tidak pasti, sebab adakalanya saya salah menulis nomor halaman. Misalkan, halaman 31 dan halaman 32 terdapat dalam satu halaman. Lo, bagaimana bisa?! Bisa, karena ketika hendak menulis, saya melipat kertas menjadi dua, lalu saya menandai nomor halaman masing-masing di pojok kiri bawah dan di pojok kanan bawah. Ada juga halaman yang dobel. Misalkan, halaman 43 ada lebih dari satu. Jadi, kalau ditotal, kurang lebih sepertinya hanya 230 halaman saja. Eh, entahlah. Saya malas menghitung halamannya satu per satu, hihihi. Yang jelas, nomor yang terakhir adalah 232.

Saya tidak menetapkan waktu khusus untuk menulis catatan harian. Saya menulis semaunya saja. Ada hari-hari tanpa entri. Ada juga hari-hari ketika saya bisa menulis sampai berlembar-lembar sekaligus. Kalau jumlah halaman dibagi dengan jumlah hari dalam setahun, rata-ratanya sepanjang 2019 saya menulis sekitar setengah halaman F4 lebih sedikit per hari.

Segepok kertas yang kutulisi selama setahun 2019.
Kertas F4 yang digunakan merupakan kertas bekas. Artinya, saya memanfaatkan sisi halaman yang kosong sedangkan sisi satunya merupakan hasil keluaran mesin printer atau fotokopi yang sudah tidak digunakan. Keuntungannya:
  1. Hemat. Saya tidak perlu sengaja membeli buku harian fancy yang harganya sampai puluhan ribu, sebab sudah tercukupi dengan begini saja. 
  2. Bebas. Karena kertas diperoleh secara cuma-cuma dan tersedia banyak, maka saya tidak merasa sayang untuk menghambur-hamburkannya, yakni dengan menulis sebanyak-banyaknya. Selain itu, karena kertasnya tidak bergaris, maka tidak ada perasaan dibatasi. Malah, adakalanya tulisan saya sampai menjalar ke sisi belakang, mencari ruang kosong di antara paragraf-paragraf yang tercetak. 
Saya memulai pembacaan catatan harian ini sejak awal tahun, pada kesempatan yang biasanya dialokasikan untuk pembacaan buku cetak. Yah, anggaplah catatan harian ini juga merupakan suatu buku cetak. Awalnya, satu jam pembacaan tidak terasa. Padahal, isinya begitu-begitu saja:
  1. Kegalauan dalam mengisi waktu sehari-hari, kebanyakan berupa ide atau rencana kegiatan yang tidak praktis-able.
  2. Pengembangan ide cerita. Ketika masukan sudah cukup banyak dan saya merasa layak untuk dikembangkan secara sungguh-sungguh, saya membuatkan jurnal tersendiri--tentu saja masih dengan memanfaatkan kertas F4 bekas. 
  3. Ide-ide tulisan lainnya, yang kurang begitu mengembang, sehingga saya kurang terdorong untuk meneruskannya. 
  4. Curhat tentang kepenulisan.
  5. Dan, pastinya, rekaman kegiatan, kejadian, perasaan, pikiran, dan sebagainya.
Lama-lama saya bosan juga membacanya, hahaha. Maka, saya kurangi waktunya menjadi 20 menit saja, sedangkan 40 menit selebihnya untuk membaca buku cetak betulan.

Ketika jumlah halaman tinggal sedikit, saya pun bersemangat untuk segera menyelesaikannya. Pembacaan kembali menjadi satu jam bahkan lebih, karena tanggung, sebentar lagi tamat. Akhirnya, setelah sekitar tiga minggu, selesai juga saya membaca kehidupan saya sendiri selama satu tahun ke belakang.

Secara keseluruhan, tahun 2019 relatif tenang walaupun membosankan, atau bisa juga dibilang, membosankan tapi tenang. Sebagian besar perhatian saya tersita oleh aktivitas literasi pribadi. Hari-hari terakhir terisi oleh harapan sebagai berikut.
  1. Menggarap proyek panjang, seperti novel-novel, dan juga serial.
  2. Menerjemahkan buku-buku tentang orang-orang yang hidup tanpa uang, dan bisa juga artikel-artikel terkait.
  3. Membaca daftar panjang buku (baik cetak maupun digital, dan sebenarnya meliputi majalah, bahkan komik pun mungkin saja kelak dimasukkan) yang telah saya kumpulkan.
Harapan-harapan itu tentu saja tidak dapat terpenuhi hanya dalam setahun 2020, tapi jangka panjang, bahkan mungkin sampai hitungan dekade. Bagaimanapun juga, manusia hanya dapat berharap dan berbuat, tapi Tuhan yang menentukan. Percuma apabila Ia tidak rida. Ia yang Menuntun makhluk-Nya ke jalan lurus atau sesat. Jadi, saya berserah dan memohon perlindungan saja kepada-Nya.

Sembari membaca, saya menemukan beberapa kalimat yang entah kenapa saya rasa menarik dan bolehlah dibaca orang. Jadi, seandainya ada yang penasaran dengan apa yang saya tulis dalam catatan yang sifatnya begitu personal (ih, GR, ih), ini saja yang boleh kamu intip, hehehe.

16-01-19

Kalau olahraga, aku capek. Kalau capek, aku tidur. Kalau tidur, aku kurang produktif. Kesimpulan: olahraga membuat kurang produktif.

Memperbaiki dosa dan kesalahan dengan membuat dosa dan kesalahan baru. #absurditashidup

17-01-19

Apa gara-gara belakangan ini aku minum teh hijau dari Jepang tiap hari makanya otakku jadi dilanda cerita bertemakan Jejepangan.

24-01-19

Tapi, biarpun membandingkan diri dengan orang lain membuatku tertekan, bukan berarti aku ingin seperti mereka. Itu seperti menafikan proses yang kualami selama ini. Itu seperti menghendaki kepribadian yang sama sekali lain, latar yang berbeda, yang menyesali hidup sepenuhnya, takdir Tuhan ...?

26-06-19

... "jodoh adalah cerminan". Dan sulit untuk becermin dengan jiwa yang penuh keburukan atau jika kita merasa buruk rupa.

29-06-19

... ngomen-ngomen ujung-ujungnya balik buat diri sendiri, semacam kesalahan orang lain aku perbaiki di penulisanku sendiri, atau hal-hal yang enggak aku sukai dari (karya) orang lain, ya, jangan sampai kumunculkan dalam karyaku sendiri.

30-06-19

Berhadapan dengan karya fiksi itu kayak berhubungan dengan orang. Kalo hati telanjur keambil, segala cacat dan kekurangan bisa diabaikan. Tapi kali udah telanjur jijay, keunggulan-keunggulannya lah yang terabaikan. Ada juga yang di antara itu, alias B aja, sehingga dalam kasus ini pandangan bisa agak objektif.

... berhadapan dengan hal yang enggak kita suka emang melelahkan.

... kalo kita maksain baca karya yang di luar minat kita, cabe akan bertebaran.

... tentang di Belanda dan negara maju lain di Eropah, orang dikasih tunjangan hamil atau punya anak atau semacam itu, bahkan diajari cara melahirkan sendiri, yang menunjukkan kemandirian orang sana. Lalu aku menangkap ironi: orang sana mandiri tapi pada enggak mau punya anak, sementara orang sini manja (terkait artikel Kompas Minggu lalu tentang kebergantungan pada ART) tapi banyak anak. ....

Idealnya mungkin mandiri dan kelangsungan populasi terjamin (tiap orang pengin punya dua-tiga-empat anak), tapi kenyataannya enggak gitu.

01-08-19

Gambar dari sini.
HAIKU
guling-guling,
nungging:
kucing aing

02-08-19

Kenapa aku begitu sombong? Padahal aku sudah sehina ini, tapi masih saja bisa sombong. Kadang terlalu merendah, kadang terlalu meninggi. Aku tetap begini, apakah merupakan cara Tuhan menundukkan kepalaku yang seperti bobble head?

11 - 09 - 19

Jadi, dari 1 halaman F4 itu bisa jadi 500 kata di Word. 

06-12-19

Perempuan harus pandai membaca situasi, cerdas mengelola emosi, dan fleksibel: tahu kapan harus bergantung dan tahu kapan harus mandiri; bisa cari uang sendiri tapi juga mengembangkan cara-cara alternatif atau tanpa uang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Seandainya kamu tertarik membaca selebihnya, segala tulisan yang ada di blog ini, blog satunya, dan Goodreads saya sebenarnya juga catatan harian yang sudah ditata (sedikit) supaya layak dibaca orang lain lo!

Minggu, 12 Januari 2020

#familygoal

Ada notifikasi pesan baru di grup keluarga. Alfian membukanya dan mendapati video baru kiriman kakaknya. Ia memutar video itu. Tampak Hima berlari ke pintu sambil menangis,  lalu kembali kepada mamanya yang memegang kamera. Hima terangkat ke dalam gendongan. Lalu di sebelah luar pintu, tampak papa dan kakaknya yang hendak berangkat. Papa mengenakan setelan hitam, Kakak seragam TK. Keduanya melambaikan tangan sembari menjauh. Suara Mama mengarahkan Hima-chan agar balas mendadahi mereka.

Alfian melirik pada angka di pojok kiri atas layar. Sudah hampir jam dua, Fazaha belum menongol juga. Heuh. Alfian mengetik di kolom grup keluarga, “Kerja woi gabut lw.” Pesannya dibalas Kak Iki dengan emoji kepala setan. Sebentar kemudian, ada kiriman baru lagi dari kakaknya itu: sebuah bento tampak atas disertai emoji love-love merah dan tulisan, "thx istrikuu."

Mama mengacungkan jempol, dan mengetik ….

Alfian menutup tampilan grup keluarga, ganti membuka salah satu media sosial. Ia menggulir gambar-gambar yang sepintas semuanya tampak serupa. Kenapa tiba-tiba semua orang dapat pasangan, punya anak, dan hidup bahagia selama-lamanya? #familygoal di mana-mana. Ia bagai hendak memuntahkan komentar ala YouTube itu: Apa cuma gue yang …. Satu-satunya gambar yang bikin Alfian menyengir menampilkan seorang lelaki berpeci hitam bersanding dengan dua manekin: satu berukuran besar, satu kecil—keduanya berjilbab. Ketiganya kompak berpakaian warna merah. Di bawahnya ada tulisan: SOLUSI FOTO KELUARGA PARA JOMBLO.

Alfian meletakkan ponsel di meja. Sebelah bogemnya menopang dagu. Matanya menuruni meja-meja—undakan-undakan—hingga tiba di jalan yang sepi kendaraan. Mulutnya terbuka sedikit. Otaknya terus mencari gambar-gambar, tapi kali ini dari dalam benak.

Timbul rekaman ketika ia mengunjungi rumah Kak Iki sekitar setahun lalu. Saat itu ia masih menjadi TKI di Jepang. Di satu ruangan, atas perintah kakaknya, ia sedang memperkenalkan huruf hijaiah pada Sakura-chan. Di ruangan lain, Teh Ocha sedang menyetrika. Sementara Sakura menirukan huruf demi huruf yang diajarkan, Alfian mengamati mulut anak itu sekali-sekali menerima suapan dari bapaknya. Melalui ambang pintu ke ruangan lain, dapat terlihat juga olehnya Kak Iki menyuapi Teh Ocha. Sembari berpindah dengan santai dari satu ruangan ke ruangan lain, Kak Iki memotong potongan buah dengan giginya: yang besar masuk ke mulutnya, yang mungil menancap di ujung garpu dia suapkan pada Himawari yang menempel di bagian depan tubuhnya dalam gendongan. Hampir habis potongan dalam piring itu ketika Alfian menegur, “Aku enggak dibagi?” Kak Iki pun menjejalkan semua yang tersisa ke mulut Alfian langsung dari piring.

Pada waktu malam, sekembalinya dari panggilan ke WC di sela tidur, Alfian mendapati pintu sebuah ruangan terbuka sedikit. Ia mengintip. Terlihat olehnya anak beranak itu tidur berjajar: ayah, anak pertama, anak kedua, dan ibu.

Ada pula suatu ketika mereka berlima jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Ayah di depan menggandeng anak pertama, ibu di tengah membopong anak kedua, dan, seandainya pada 2013 ia jadi menikah alih-alih bangkrut, tentu ia tidak akan menjadi paman yang tergopoh-gopoh di belakang membawakan belanjaan. Ia akan punya keluarganya sendiri, dan mereka akan menghargai privasinya. Ia akan sudah punya buntut, paling tidak satu yang sebesar Himawari. Ia akan memberikan Mama cucu yang bisa sering-sering berada di dekatnya, alih-alih yang dibawa tinggal jauh-jauh di negeri orang.

Katanya udah move on.

ARGH, IYA! Ini semua gara-gara Fazaha kelamaan telat! Alfian jadi melanjutkan lamunannya, mengenang mantan calon istrinya yang kini sudah punya satu anak sebesar Himawari.

"Deudeuh … abdi mah parantos teu tahan … sakujur dina awak … teu aya nu kaliwat … ulah dilamikeun deui … anjeun abdi ngahiji[1] … yihaaa!"

Alfian melongok pada bapak-bapak yang duduk di undakan paling bawah. Aduh, lagu dangdut jaipong kesukaannya itu benar-benar merusak suasana. Tapi, ikut juga kepala Alfian bergoyang-goyang, sambil di dalamnya memvisualisasikan lirik lagu itu.

“Sori,” tahu-tahu Fazaha menghantamkan tumbler sebesar pentungan di atas meja. Ia menurunkan ransel ke kursi di sebelahnya, lalu duduk di kursi di hadapan Alfian.

Alfian menegakkan badan dan memasang senyum. “Lama amat telatnya.”

“Biasa.”

“Apanya yang biasa?”

“Gitulah, masalah rumah tangga.”

Alfian mendengus. “Masalah rumah tangga,” ulangnya, “kayak yang udah punya aja.”

Fazaha menyalakan laptop. “Hah, udahlah, ayo mulai aja.”

“Kenapa, ih?”

“Aku ngurus ponakan dulu.”

“Oh, iya. Ponakannya umur berapa?”

“TK.”

“Oh …. Jadi kenapa kamu telat?”

“Iya, kan, tadi aku jemput dia dulu, terus mau langsung ke sini. Tapi mamanya—“

“Tapi mamanya …?”

“Ah, udahlah. Apa yang bisa aku kerjain nih?” Tangan Fazaha sudah menahan tetikus di meja. Matanya berfokus pada Alfian, yang malah cengar-cengir.

“Enggak ada sih. Aku cuma pengin ketemu kamu aja.”

Atuh lah.”

“Yah, Dispora[2] mau ngadain pameran. Aku mau ikutan, pakai produk yang dulu itu. Tapi kemasannya harus beda. Bikinin logonya lah.”

“Produk yang mana?”

“Eh …. Iya, ya. Yang mana, ya?”

Atuh lah …” geram Fazaha.

“Serius, masih galau.”

“Mak Karonah?” Fazaha mengingatkan pada salah satu produk Alfian dulu: makaroni aneka bumbu dengan berbagai level yang sempat jadi oleh-oleh ikonik.

“Tukang masaknya udah susah.” Mama sudah tidak sekuat dulu masak banyak-banyak. Yang bantu-bantu entah pada ke mana, malah ada yang sudah buka usaha sendiri.

Merchandise?” yang dibuatnya dari karakter-karakter imut ciptaan Fazaha.

“Yang gitu mah lakunya paling di Pakoban[3].”

“Kaus?” pengembangan dari usaha merchandise.

“Saingannya udah banyak.”

"Aplikasi group coupon tea?" untuk mempromosikan berbagai produk usaha miliknya itu berikut rekan-rekannya sesama wirausahawan muda.

Alfian mendesah panjang.

Fazaha memandangnya prihatin. Alfian sendiri bukannya tidak sadar bahwa mentalnya telah melempem. Dulu, ketika baru memulai, sewaktu usianya jauh lebih muda, rasanya tidak banyak pikiran. Begitu ada ide, langsung laksanakan. Rintangan tak pernah dianggap beban.

Inikah ujiannya orang yang sudah merasakan di atas? Mau memulai lagi dari bawah jadi segan. Untuk kembali buka lapak di Car Free Day saja, ia berpikir jutaan kali.

“Selesein kuliah,” usul Fazaha. “Cari lowongan. Jadi pegawai.”

Alfian menyeringai. “Jadi pegawai, nanti pensiun, ujung-ujungnya wirausaha juga. Kenapa enggak dari sekarang aja sekalian?”

“Daripada galau gitu. Kalau jadi pegawai kan, tinggal ikut perintah.”

Alfian mencibir. Kalau sekadar supaya ada yang kasih perintah, tidak perlu susah payah kuliah, mencari lowongan pekerjaan, menjadi pegawai, dan seterusnya dan sebagainya. Sebagai anak paling buntut di rumah, ia sudah kenyang jadi pesuruh. Bahkan kakaknya yang tinggal di negeri lain saja—gara-gara kemajuan teknologi—jadi termudahkan untuk terus menyuruh-nyuruh dia. Misalkan, entah bagaimana kakaknya tahu sedang ada sale barang tertentu di sini, lalu Alfian dimintanya untuk membelikan sehingga nanti tinggal ambil ketika pulang kampung. Kadang Alfian berpikir kakaknya berbuat itu cuma karena kebiasaan. Kayak enggak ada barang murah aja di Jepang.

“Kamu sendiri resign,” balas Alfian.

Fazaha mendesah. “Aku enggak suka kerja sama orang.”

“Ye,” heran Alfian, “da kerja mah pasti sama orang atuh.”

Fazaha memuntir bibir, menekuri tepi meja.

“Kamu mau freelance juga kan berhubungan sama orang,” ujar Alfian lagi.

“Iya, terus kalau kliennya resek tuh aku jadi males. Terus aku enggak nyari lagi berhari-hari.”

"Yah, kalau kamu judes gitu mah, bukan klien aja yang lari, tapi jodoh juga."

"Bodo ah."

“Karena bosnya bukan aku aja kali,” nada Alfian menggoda.

Cunihin[4].”

“Bukan cunihin. Buktinya, waktu aku masih moncer, kamu betah, kan? Cuma gara-gara si otong itu aja, heuh,” Alfian terseyum masam teringat pada orang yang telah menjebak dia bersama utang ratusan juta, sampai semua usahanya itu gulung tikar. Ia memerhatikan raut muka Fazaha yang tengah memandang ke sisi. Sepertinya cewek itu menyadari kebenarannya. Tapi, seperti biasa, harga dirinya dijunjung tinggi. Alfian melembutkan suaranya, “Kurang pengertian apa sih aku sama kamu?”

Fazaha mengerling padanya dan tersenyum. Alfian menyengir. Ah, wajah itu, yang biarpun banyak pedasnya, tapi sesekali menghangatkan jua, selalu menggaet kembali Alfian sehingga batal mengempaskannya ke ujung dunia. Malah, sekarang, betis Alfian digeseknya pula. Alfian membalas. Gesekan demi gesekan mulai menggetarkan, lalu tahu-tahu jemari kaki Alfian serasa digilas muntu. Alfian merunduk ke permukaan meja.

Lalu ia mengangkat wajah dengan raut ditabah-tabahkan. “Kamu pernah enggak sih ngerasain nginjek kaki kamu sendiri.”

Fazaha mengedikkan bahu seraya melayangkan tatapannya ke arah lain dengan malas.

“Terus, kalau enggak nyari, kamu ngapain dong?” kejar Alfian.

“Yah ….”

“Nerusin proyek seni kamu yang enggak kelar-kelar  itu? Bikin apa sih, kamu teh waktu itu? Komik, yah?”

“Novel grafis.”

“Iyah, komik.”

“Beda, tahu.”

“Iyah, komik, tapi artistik, gitu, kan? Nyeni-nyeni gitu?”

“Ish!”

Alfian terkekeh, lalu mendesah. “Pengusaha bangkrut dan seniman gagal, udah kayak judul FTV, belum?”

“Enggak enak ah dengernya.”

Alfian terdiam, mengamati cewek itu lekat-lekat: rambut yang seperti biasa digelung ke atas, kacamata yang sepertinya belum berganti sejak dia tiga tahun di Jepang, hoodie berwarna gelap, celana jin, wajah polos yang kemungkinan cuma dipupur, pipi yang menirus, serta bibir yang hampir-hampir sewarna kulit.

Teringat Alfian pada masa ketika sengaja membayar Fazaha lewat amplop berisi uang tunai ketimbang mentransfer ke rekening, sekadar supaya ia bisa bilang secara langsung, “Beliin lipstik yang merah cabe, ya!” Cewek itu berlagak tidak mendengar. Tapi, beberapa waktu kemudian, ketika Fazaha datang ke kantor—ah, kantor, sebetulnya itu rumah kontrakan yang dijadikan ruang kerja bersama, tapi enak saja menyebutnya kantor, aku bisa mendirikan kantor!—dengan lipstik merah cabai, Alfian merasa telah memenuhi tugas kelelakiannya.

Waktu itu pula, dengan job-job yang terus mengalir dari Alfian, Fazaha bisa mempercantik diri. Tiap kali datang ke kantor, model pakaiannya berganti-ganti. Ah, masa itu ….

“Kok enggak pakai lipstik sih?”

“Ah, cuma ketemu kamu doang.”

Cuma ketemu kamu doang,” ulang Alfian antara geli dan tersinggung. “Kalau aku suami kamu, wajib tahu.”

“Siapa juga mau jadi istri kamu?”

“Banyak kali. Lihat aja entar kalau aku kaya lagi. Pasti kamu juga mau.”

Fazaha tertawa dikulum, masih memandang ke samping.

“Apalagi cita-cita kamu kan jadi perawan tua. Nanti kalau aku udah kaya, kamu masih perawan, tapi tua. Pas, kan? ANJIR!” Alfian merunduk lagi, menahankan dampak serangan pada tulang keringnya.

“Jualan video porno lagi sana.”

“Jangan gitu ah.”

“Udah mau kepala tiga, masih kayak anak SMP.”

Tapi, cara Fazaha membalasnya pun masih seperti sewaktu mereka SMP.

“Ponakan kamu suka rewel, enggak?”

“Yah, namanya juga anak-anak.”

“Kalau rewel, kamu tendangin juga?”

“Ya, enggak lah.”

“Kamu apain?”

“Yah, aku ajak gambar. Gitu-gitulah. Kenapa?”

“Pengin lihat ponakan kamu. Ada fotonya, enggak?”

“Enggak.”

“Ah, bilang aja males ngelihatinnya.”

“Males ngelihatinnya.”

Alfian menyalakan ponselnya, mencari-cari. Lalu ia mendekatkan ponsel sekalian badannya kepada Fazaha. “Nih, lihat ponakan aku.”

“Udah lihat di FB,” tanggap Fazaha, tapi turut mencondongkan badan juga dan melihat.

Alfian menggulir grup keluarga yang didominasi oleh foto dan video kedua anak perempuan kecil itu. “Ari ponakan kamu teh umur berapa?”

“Segede anaknya Kak Iki yang pertama, kayaknya. Ih, kan tadi kamu udah nanya!”

“Oh, iya, ya? Kakak kamu teh yang setahun di atas kita, ya, kan? Yang satu SMA sama aku tapi kamu enggak bilang-bilang tea.”

“Iya,” tukas Fazaha.

Alfian menghitung-hitung. “Nikahnya cepet juga, ya. Eh, iya, aku inget, kan waktu itu aku lihat foto nikahannya tea geuningan. Kan suaminya friend aku di FB. Terus ada kamu juga. Makanya aku tahu dia kakak kamu.”

“Iya,” Fazaha menyabarkan diri.

“Kapan itu teh, ya?”

“Yah, pokoknya lulus kuliah dia langsung nikah.”

“Oh, tapi anaknya sepantaran anak Kak Iki yah. Eh, iya, sih, emang Kak Iki tuh telat nikah. Udah kepala empat, anaknya baru TK.”

Fazaha tidak menyahut.

“Makanya kamu enggak usah resah, Za. Semua indah pada waktunya.”

“Apa sih ….”

Fazaha menarik badan, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Alfian teralihkan untuk membalas pesan-pesan baru di ponselnya. Tahu-tahu Fazaha berkata, “Kakak aku sih yang kecepetan nikahnya.”

“Hm?” Mata Alfian terangkat pada Fazaha di sela-sela kedua belah jempolnya mengetikkan balasan.

Fazaha menegakkan badan dan berlagak menyibukkan diri dengan laptop.

“Eh, terusin dong ceritanya!” kejar Alfian.

“Berisik ah. Aku mau cari job.”

Alfian tidak menyahut. Sesaat mereka sibuk saja dengan perangkat masing-masing hingga terdengar azan. “Salat, enggak?” tanya Alfian pada Fazaha.

“Enggak.”

“Salat dong, biar rezekinya lancar!”

Fazaha cuma berdecak. Alfian pun menitipkan tasnya pada Fazaha lalu beranjak. Beberapa waktu kemudian, ia kembali dengan membawa dua cangkir espresso dari kafe di sebelah atas. Satu cangkir didekatkan pada Fazaha. Cewek itu meliriknya tanpa minat. Sebelah tangannya menepuk tumbler yang terisi penuh oleh air bening. “Lihat nih, aku udah bawa banyak-banyak dari rumah.”

“Dibayarin kok. Tenang aja sih.” Alfian menyeruput isi cangkirnya.

“Entar aku enggak bisa tidur.”

“Alah, biasa juga begadang nonton Korea.” Alfian menyeruput lagi dengan khidmat. “Kalau enggak mau juga enggak apa-apa sih, biar aku double espresso.”

“Kamu mah bayarin teh meni enggak ikhlas.”

“Ikhlas, ari kamu! Kamu yang bilang enggak mau.”

Fazaha pun mengambil cangkir satunya. “Emang boleh dibawa ke sini?”

“Boleh dong sama aku mah.” Sembari tersenyum, Alfian mengamati Fazaha meneguk isi cangkirnya. “Sedap, kan? Biar semangat cari kerja, enggak numpang sama kakak terus! Hahahaha!”

“Hah, kamu juga masih sama orang tua.” Fazaha meletakkan cangkir di meja.

“Beda dong situasinya. Orang tua aku kan udah sepuh, sakit-sakitan. Kalau ada apa-apa, biar gampang bantuinnya.”

“Sama aja.”

Alfian hendak menyanggah, tapi, melihat air muka Fazaha, ia bertanya, “Kenapa sih?”

“Aku juga biar gampang bantuin kakak aku.”

Alfian menunggu.

“Kenapa, ya, kalau lihat orang lain tuh, meni bisaan gitu ngurus anak sendirian. Kakak aku, cuma satu aja, kayaknya susah banget.”

“Yah, orang lain juga susah kali, cuma yang dilihatin yang baik-baiknya aja.”

“Jangan-jangan dia depresi. Tapi kadang dia biasa-biasa aja sih. Aku kan jadi kasihan sama anaknya, jadi bingung gitu, kadang mamanya beres, kadang ngaco.”

“Hm.”

“Tapi dia tuh enggak mau dibantuin. Tapi dia tuh butuh bantuan. Yah, makanya ipar aku ngajak buat nemenin dia. Soalnya kan ipar aku kerja di Jakarta. Kakak aku diajak tinggal di sana, enggak mau. Disuruh tinggal sama keluarga ipar di sini, enggak mau juga. Maunya ngurus anak sendiri. Tapi kayak gitu.”

Alfian manggut-manggut memaklumi. Di samping itu, tidak ada orang tua yang bisa dimintai tolong. Yang ia tahu, ibu Fazaha sudah meninggal sewaktu mereka SMP sedangkan ayahnya tinggal di Jawa.

“Kakak aku juga gitu sih,” Alfian menimpali.

Fazaha menunggu Alfian melanjutkan.

“Mama aku juga waswas Teh Ocha bisa sendiri. Tapi da Kak Iki udah betah jadi sarariman[5], enggak mau diurusin." Malah, pada tahun-tahun awal pernikahannya, Kak Iki doyan bikin kejutan menyebalkan untuk Mama. Setelah tahun pertama, ketika Mama menanyakan soal momongan, Kak Iki bilang mereka mau menunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Kontan Mama ketar-ketir karena usia pasangan itu sama-sama sudah lewat pertengahan kepala tiga. Setelah tahun kedua, tahu-tahu saja Kak Iki mohon doa pada Mama karena Teh Ocha akan melahirkan. Mama langsung heboh cari tiket ke Jepang. Setelah tahun ketiga, Kak Iki mengabarkan bahwa Teh Ocha sudah isi lagi. Padahal belum pulih rasa capek Mama sepulang dari Jepang. Sebagai satu-satunya anak yang tersisa di rumah, mau tidak mau Alfian kelimpahan. "So far, ya, fine-fine aja sih. Cuma, ya, soal depresi, mereka juga kayaknya pernah ngalamin. Tapi, waktu itu mereka belum nikah sama punya anak sih.”

“Iya, makanya aku bilang kakak aku kecepetan nikahnya. Orang tuh mestinya nyelesein masalah dirinya dulu, baru punya anak. Dia tuh emang suka cari masalah.”

“Yah, udah takdirnya gitu. Tiap orang ada ujiannya masing-masing.”

Fazaha tidak berkata-kata lagi, berfokus saja pada laptopnya.

“Serius ih, pengin lihat ponakan kamu,” Alfian memecah keheningan.

Fazaha mengalah. Ia membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto: seorang anak perempuan kecil sedang membentangkan kertas bergambar buatannya. Alfian mengamati matanya yang bulat besar, rambutnya yang panjang lurus berponi, dan kulitnya yang serona dengan tantenya. “Manis, yaaa, kayak tantenya.”

“Grrr ….”

“Pengin ketemu laaah.”

“Enggak, aaah.”

“Hayuk atuh piknik bareng ih, ke mal, biar kayak keluarga-keluarga muda gitu.”

“Males ….”

“Eh, aku pernah lihat, siah, di YouTube, di Jepang mah ada rental pacar, rental keluarga, gitu-gitu lah.”

“Iya, aku juga pernah lihat.”

“Nih, DP-nya udah aku bayar, pakai kopi.” Alfian mendorong cangkir Fazaha mendekat pada cewek itu.

“Tuh kan kamu mah enggak ikhlas.”

“Hayuk atuh ….”

 

Bagaimanapun Alfian membujuk, Fazaha bergeming. Cewek itu sepertinya mau diajak bertemu lagi hanya bila Alfian sudah punya gambaran tugas yang jelas. Untuk menemui cewek-cewek lainnya yang ia kenal dari Tinder pun, Alfian ragu-ragu. Apalagi bila cewek-cewek itu hendak mengetahui status pekerjaan dia yang sebenarnya. Padahal hari-harinya diisi di rumah saja, dengan memandangi layar putih pada laptop. Bila sudah berjam-jam tidak ada sedikit pun ide yang melintas, ia membongkar gudang. Kenalannya di dinas bilang sekarang ini pemerintah sedang menggalakkan isu persampahan. Kalau bisa, ia membuat contoh produk hasil daur ulang barang bekas. Kalau terjual, ia bisa membuat pelatihan dan dinas siap memfasilitasi asalkan proposal masuk dulu. Tapi, sementara ini, semua itu baru wacana. Boro-boro ikut pameran, tujuan jangka pendeknya sekarang masih sekadar menunjukkan kepada orang tua bahwa ada kegiatan berarti yang ia kerjakan.

Dalam lamunan-lamunannya, sesekali terputar rekaman momen yang masih segar bersama kakaknya. Bukan semata pemandangan pasangan suami istri dengan dua anak yang bagaikan idealisasi program keluarga berencana itu. Melainkan juga suatu malam ketika ia sedang duduk-duduk menyendiri di sisi luar rumah. Sembari mengisap sebatang Marlboro Ice Blast, ia sendiri tidak mengerti sebabnya kembali mencoba barang itu. Padahal sewaktu kelas tiga SMP, ia telah bersumpah untuk menjadi anak yang baik dan saleh, setelah mendapat hukuman skors akibat ketahuan berjualan video porno di sekolah—yang notabene termasuk kejayaan awalnya sebagai pengusaha—dan tak lama kemudian ia putus dengan Fazaha.

Kakaknya bergabung. Mereka bercakap-cakap, yang entah bagaimana menggelincir pada pertanyaan, “Dek, butuh berapa?”

“Kak, udah, Kak,” jawab Alfian pelan, lagi tak enak. Pikirnya, anak-anak dan istri kakaknya lebih berhak. Sudah cukup kakaknya itu bantu menebus utangnya agar tidak rimbun berbunga, lalu mencarikan koneksi agar ia bisa ikut magang di Jepang. Perolehannya dari program tersebut setidaknya bisa memulihkan dia ke posisi nol, dari yang sebelumnya minus.

Seolah-olah mendengar pikiran tersebut, kakaknya menyambung, “Kalau untuk kebutuhan sehari-hari mah, insya Allah udah cukup. Sisanya, buat investasi,” sambil menepuk bahunya.

Alfian termenung. Lalu kakaknya menceletuk, “Itu rokok dari celana gue, ya.”

“Hehe.”

Ponsel Alfian menyala, menandakan pesan yang baru masuk.

“Kosong?” tanya Fazaha.

“Apa, Za?”

Sebentar kemudian, ada kiriman foto. Alfian membukanya: seorang anak perempuan usia TK dengan rambut terkepang rapi dan gaun lucu dan di bawahnya ada tulisan, “Aku mau jalan-jalan.”

Kontan Alfian mengirimkan emoji bermata hati disertai, “IKUUUT!!!” Lalu ia menambahkan, “Pake yang merah cabe, yaaa~”

Dari emoji balasannya, sepertinya cewek itu tidak berkenan.

Alfian meninggalkan gabus yang sebelumnya tengah ia potong-potong. Ia lekas bercukur, mandi, mengenakan pakaian kasual yang terbaik, dan meminta izin Papa untuk menggunakan mobil. Titik temunya di Taman Balaikota, sebab Fazaha mau mengajak ponakannya naik Bandros[6].

Berhadapan langsung dengan anak yang baru dilihatnya di foto itu, Alfian berlagak seolah-olah dia anaknya sendiri yang selama ini tidak pernah bisa ditemuinya karena dibawa kabur oleh si ibu. Setelah berkenalan dengan anak yang malu-malu bersuara pelan itu, Alfian menggendongnya. Anak itu lantas celingukan, mencari-cari tantenya. Fazaha yang awalnya terperangah oleh kelakuan Alfian lalu mengikik, teringat pada masa SMP dulu ketika cowok itu suka curi-curi mencium pipinya lalu memelesat kabur.

“Akhirnya mau juga,” celetuk Alfian sementara mereka menunggu bis berangkat.

“Yah, mamanya lagi down.”

Alfian menundukkan sedikit kepalanya, untuk mengamati bibir itu secara saksama. “Bukan merah cabe, tapi bagus juga sih," senada dengan tas selempang cantiknya. Selain itu, rok kiwir-kiwir sebetis membuat cewek itu terlihat anggun.

Atuh lah.”

Alfian tersenyum sembari membelai kepang anak yang duduk di antara mereka. “Kamu yang ngepangin?”

“Iya dong.”

Sengirannya melebar.

Selama tur dalam kota, Alfian tidak melepaskan anak itu. Sesekali telunjuknya naik, mengarahkan pandangan si anak yang tertegun-tegun saja. Sesekali tatapan anak itu lari pada tantenya. Fazaha membalas dengan senyum seakan-akan meyakinkan bahwa om-om yang bersama mereka itu tidak berbahaya. Alangkah gembira Alfian ketika sedikit-sedikit anak itu tersenyum padanya, dan akhirnya ikut tertawa berseri-seri. Ingin sekali Alfian menciumi ubun-ubunnya, dan mencubiti kedua belah pipinya! Tapi takut digetok sama si tante.

Turun dari Bandros, anak itu melepaskan tangan Alfian dan meraih tantenya. Ia membisikkan sesuatu.

Kata Fazaha pada Alfian, “Mau cari toilet dulu, ya.”

“Kamu bisa cebokin?!” Alfian takjub.

Fazaha cuma menggerenyot.

Setelahnya, mereka menemukan tempat duduk yang nyaman di dekat penjaja cuanki. Anak itu sudah bisa makan sendiri, walau agak berlepotan. Alfian mengamati Fazaha mengeluarkan tisu dari tasnya lalu mengelap seputar bibir anak itu dengan telaten. Senyum Alfian tidak pudar-pudar.

Tinggal pakai jilbab, disuruh salat, ....

Alfian pun mengeluarkan ponsel, menyetel kamera.

“Ciiisss …!”

Malam itu juga, foto-foto mereka bertiga terpajang di media sosial Alfian. Tidak lupa ia menambahkan #familygoal2025. Tidak lama kemudian, muncul beberapa komentar yang intinya kurang lebih seragam:

“Anak siapa tuh lu culik?”[]



[1] Sunda: Aduh … ku sudah tak tahan … sekujur tubuh … tidak ada yang terlewat … jangan ditunda lagi … kamu dan aku bersatu …. (lirik “Peuting Munggaran”, dipopulerkan oleh Bungsu Bandung)

[2] Dinas Pemuda dan Olahraga

[3] Pasar Komik Bandung, diadakan satu tahun sekali

[4] Sunda: genit

[5] Pegawai kantoran di Jepang

[6] Bis wisata di Kota Bandung

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain