Kamis, 28 Mei 2020

Kenapa Mendengarkan Lagu-lagu Nike Ardilla Itu Berbahaya

Kita tahu, she's a legend. Ia memiliki banyak fans setia, yang terus mendoakannya walaupun sudah seperempat abad meninggalkan dunia. Tapi apakah kita pernah benar-benar mendengarkan lagunya?

Saya tidak benar-benar tahu lagu-lagu Nike Ardilla sampai belakangan ini. Ada begitu banyak lagu yang dapat kita dengarkan di mana-mana, kenapa harus dia? Lagi pula, dengan begitu banyak fans yang masih mengelu-elukannya sampai sekarang, she sounds so mainstream, mr8?

Tapi sekarang ini saya lagi mengeksplorasi dunia '90-an. Mulai dari membaca majalah-majalah sampai menemukan lagu-lagu hip-hop yang hip pada masa itu. Pikiran untuk meninjau Nike Ardilla baru muncul belakangan. Pada awalnya saya agak malas, menunda-nunda.

Sampai tiba juga dorongan itu. Saya memutarnya di YouTube. Ada beberapa album kompilasi lagunya--ciptaan penggemarnya, sepertinya.

Lagu demi lagunya masuk ke telinga. Ada beberapa yang saya merasa familier. Saya teringat pada seorang mbak yang pernah bekerja di rumah saya, dari saya SD sampai SMA. Sepertinya mbak itu penggemar Nike Ardilla juga dan pernah menyanyikan lagu-lagunya ...?

Lagu-lagunya, kalau boleh saya nilai (padahal tahu apa saya soal musik!?), sebenarnya sederhana dan kemelayu-melayuan. Dari segi instrumen tidak istimewa, dibandingkan dengan musik Italia era '60-'70-an yang saya suka dengarkan (njir, berasa snob padahal enggak seorang pun tahu musik yang saya maksud). Dari segi lirik, begitu-begitu saja: semacam curhat cecintaan yang sama sekali tidak relatable buat saya, malah cenderung memelas dan cengeng.

Contohnya saja dalam lagu "Mama, Aku Ingin Pulang". Lagu ini tampaknya bercerita tentang seorang gadis belia lagi naif yang dijebak pacarnya agar mau kawin lari. Mamanya sudah memperingati dia, tapi apa daya bujuk rayu lelaki itu lebih membuai. Akhirnya, benarlah, disia-siakanlah dia. Simak saja liriknya:

Cincin emas melingkar, ia berikan dulu
Untuk apa, kalau ia tak cinta ....
("Mama, Aku Ingin Pulang")


Untuk apa? Ya, untuk mengisap madumu, Neng. Sudah begitu, habis manis sepah dibuang. Begitulah laki-laki, bak udang di balik batu, pasti ada maunya *eh kok kayak curcol.

Ketika saya tanyakan kepada teman yang lahir pada 1975 (alias sebaya dengan almarhumah), dia bukan penggemar NA tapi tahu bahwa lagu-lagunya kerap mengandung kata "sinar", "kehidupan", semacam itu. Saya tambahkan lagi, "iman".

Anyway.

Entah dalam sekali atau beberapa kali dengar saja (pokoknya enggak sampai banyak), beberapa lagunya sudah terngiang-ngiang di kepala saya sampai tahu-tahu saja saya menyanyikannya sepenggal-sepenggal--khususnya bagian-bagian yang catchy banget.

Malam-malam aku sendiri, 
tanpa cintamu lagi ... ooo ....
("Bintang Kehidupan")


Aku bagai nelayan ...
Yang kehilangan arah ....
("Tinggallah Ku Sendiri")


Tidak cukup, timbul hasrat untuk mengajak teman ke tempat karaoke sehingga saya bisa berteriak-teriak sepuasnya membawakan lagu-lagu itu. Tapi, entah suara saya akan sampai atau enggak dan pastinya mereka bakal takjub. Entahkah ada di antara mereka yang akrab dengan lagu-lagunya atau enggak.

Lagian, sementara ini masih dalam pandemi. Hasrat karaoke mau tidak mau dipenuhi dengan memutar lagu-lagu Teh Nike yang cantik jelita di Spotify atau YouTube saja, yang subhanallah dilengkapi dengan lirik berjalan! Hanya saja, sambil lirih-lirih karena malu kalau kedengaran sama orang rumah apalagi tetangga 

Meski telah lama tiada, bagi penggemarnya, ia terus hidup melalui lagu-lagunya. Bahkan sekarang ia hidup juga di dalam kepala saya, sampai kadang-kadang sulit sekali menyuruhnya berhenti menjerit-jerit. Memang tidak semua lagunya enak, dan sebenarnya belum semuanya pula saya dengarkan. Tapi, untuk beberapa lagu, betapa mudahnya menempel dan kuatnya melekat bak tumbuhan liar yang tak dikehendaki tapi muncul lagi muncul lagi.

Betapa sayang ia telah pergi dalam usia sebelia itu. Semoga hidupnya tenang di alam sana. Aamin.

Dan serta-merta, timbul ide cerita tentang seorang pemuda penggemar Nike Ardilla yang tanpa sadar lalu menjadi cowok seperti yang diceritakan dalam lagu-lagu Nike Ardilla bagi ceweknya, sehingga ceweknya itu membatin,

Ku tak akan bersuara,
walau dirimu kekurangan,
hanya setiamu itu kuharapkan ....
("Ku Tak Akan Bersuara") 



sampai,

Bosan, mungkin itu sifatmu!
Benci, bila ingat dirimu!
("Sandiwara Cinta")


Rabu, 20 Mei 2020

Jurnal Ngebun: Buletin Pak Tani Digital Edisi 10 - Bercocok Tanam dari Rumah di Tengah Pandemi (1)

Di Instagram, saya mengikuti akun @paktanidigital sehingga mengetahui adanya buletin ini. Edisi 10 ini yang pertama saya lihat, dan judulnya pun pas dengan situasi sekarang. Seketika saja saya langsung tertarik untuk mengunduhnya, bahkan membagikan informasi ini kepada teman-teman di Instagram.


Edisi 10 ini yang paling baru (pada saat saya baru mengetahui tentang adanya buletin ini). Dari 9 edisi sebelumnya, hanya 2 yang saya unduh juga. Soalnya, dari judulnya, yang lain-lainnya itu tampaknya mencakup skala yang sepertinya masih terlalu besar buat saya.

Dari 5 judul yang ditampilkan di kover edisi 10, 4 di antaranya menarik buat saya. Cuma satu yang saya tidak begitu tertarik, yaitu "Cara Menanam Basella di Pekarangan Rumah"--lebih karena saya belum mengetahui basella itu jenis tanaman yang bagaimana.

Dalam edisi setebal (tipis kok!) 66 halaman ini terdapat 12 artikel. Delapan di antaranya tampak menarik untuk langsung dipraktikkan. Sedangkan yang lain-lain, karena sebagian menyangkut tanaman buah yang berukuran cukup besar, sepertinya nanti dulu deh.

Kedua belas artikel tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Budidaya bawang merah dalam pot
  2. Menanam jeruk dalam pot
  3. Menanam kangkung di pot atau polybag
  4. Budidaya alpukat di dalam pot
  5. Menanam jahe di dalam pot
  6. Budidaya bawang putih di pekarangan rumah
  7. Budidaya buah naga di dalam pot
  8. Menanam basella di pekarangan
  9. Budidaya caisim di pekarangan rumah
  10. Budidaya jambu kristal di dalam pot
  11. Menanam sayur di rumah dengan urban gardening
  12. 10 tanaman cepat panen

Tiap artikel hanya 3-4 halaman. Isinya berupa deskripsi tanaman (misalnya berupa kandungan nutrisinya) serta petunjuk teknis penanaman, perawatan, dan seterusnya.

Petunjuk teknis yang terperinci sesungguhnya penting agar tanaman tumbuh optimal (yah, percaya saja deh this is based on science.) Hanya saja, bagi pekebun pemula yang notabene pemalas seperti saya, bisa-bisa instruksi yang demikian menjelimet itu bikin keder duluan  Rasanya ingin asal tanam saja, tanpa mesti begitu ribet soal komposisi media tanam dan sebagainya. Siapa tahu saja bisa tetap tumbuh--terlepas dari optimal atau enggaknya, ya.

Tapi beberapa informasi teknis saya dapati benar-benar berguna, apalagi menyangkut tanaman yang sudah saya miliki atau kebetulan saya baru beli bijinya.

Misalnya, caisim harus disemai dulu sampai muncul 3-4 daun baru kemudian dipindahkan ke wadah dengan ruang 10 x 15 cm. Memanennya pun harus dengan mencabutnya sampai akar.

Selada bisa ditumbuhkan kembali dari bonggolnya, yang bisa kita beli dari warung, pasar, supermarket, atau whichever you like lah. Ketinggian wadah tanamnya mesti 20 cm, dan pengetahuan ini pun seketika menyingkirkan sebagian wadah yang kemarin sudah saya kumpulkan dan maksudkan untuk jenis ini, hahahaha. Selada bisa tumbuh di tempat teduh, sehingga balkon bisa dimanfaatkan untuk itu.

Cabai butuh wadah berketinggian 45 cm.

Kaleng bekas bisa digunakan untuk menanam sayuran. Sebelumnya saya khawatir apakah wadah jenis kaleng aman digunakan untuk tanaman pangan, sebab nanti akan muncul karat. Memang tidak ada penjelasan soal pengaruh karat pada kandungan tanaman, tapi dengan sebaris pernyataan itu saja seolah-olah sudah mengonfirmasikan bahwa kaleng itu aman. Entah kenapa.

Khususnya untuk jeruk, ada beberapa petunjuk yang selama ini bisa dibilang hampir-hampir tidak pernah saya amalkan.

  • Bibit yang bagus adalah hasil okulasi, sedangkan saya sekadar coba-coba menumbuhkan dari biji sisa buah yang dimakan.
  • Ada waktu-waktu untuk memupuk, sedangkan saya kapan pun merasa kasihan pada tanaman itu.
  • Ada waktu-waktu penyiraman, sedangkan saya baru melakukannya kapan pun merasa perlu-- terutama ketika melihat permukaan tanah di pot tampak kering.
  • Tumbuhan liar perlu dicabuti, sedangkan saya cenderung membiarkannya sampai baru-baru ini.
  • Untuk mencegah hama, infus dengan Teramycin--yang setelah saya cari tahu di internet, rupanya ... obat mata yang selama ini saya pakai untuk kucing?!?! Sayangnya, dari hasil pemindaian sekilas, saya belum menemukan cara menginfuskannya.
  • Rajin memangkas daun dan ranting, yang baru saya lakukan kemarin-kemarin.

Pantas saja tanaman jeruk saya tidak kunjung berbuah padahal sudah bertahun-tahun, sedangkan artikel ini mengatakan bahwa semestinya dalam 8 bulan sudah bisa panen!

Artikel yang tidak kalah berguna tentu saja daftar tanaman untuk urban gardening lagi cepat panen. Berikut jenis-jenis tersebut.

  1. Buncis
  2. Tomat, terutama yang cherry
  3. Selada
  4. Mentimun
  5. Cabai
  6. Bayam
  7. Kecambah (dari kacang hijau)
  8. Kangkung
  9. Sawi hijau
  10. Daun bawang
  11. Kacang polong
  12. Bit
  13. Arugula
  14. Okra

Beberapa jenis di atas sudah ada di rumah saya (walaupun sebagian di antaranya masih berupa biji yang belum diapa-apakan dan sebagian lagi dalam bentuk bahan masakan di kulkas :v). Yang belum ada ingin saya coba, setelah semua biji yang ada sekarang sudah habis ditanam (dan uang sudah turun lagi dari langit).

Betapapun terperincinya petunjuk teknis dalam artikel-artikel ini, rupanya tidak mesti lengkap. Contohnya dalam petunjuk tentang alpukat. Saya pernah mencoba menumbuhkan alpukat dari biji dengan menggunakan tusuk gigi dan toples kaca kecil--mengikuti yang saya lihat di Pinterest. Tapi pada waktu itu saya tidak menambahkan gula pasir ke dalam air, tidak seperti petunjuk dalam artikel buletin ini. Biji itu memang menumbuhkan akar dan daun, dan saya girang. Saya lalu memindahkannya ke tanah dalam suatu wadah, dan menaruhnya di halaman. Beberapa waktu kemudian, tanaman itu saya tamatkan riwayatnya sejak memunculkan ulat-ulat bulu kecil yang meng-geuleuh-kan. Padahal alpukat terkenal karena ulat-ulatnya itu. Karena itulah, cara mengatasinya tentu penting untuk dikemukakan. Tapi kenapa artikel ini tidak mengungkitnya sama sekali?

Contoh lainnya yaitu petunjuk tentang jahe. Disebutkan bahwa media tanamnya menggunakan campuran abu gosok dengan sekam, tapi tidak diperinci sampai perbandingannya.

Betapapun dapat memuyengkan dan kurang lengkap, secara keseluruhan buletin ini layak dibaca dan dapat menambah pengetahuan. Misalnya untuk mengatasi hama ulat kubus yang juga kerap melanda caisim, ada sejenis tawon bernama Diadegma semicalusum. Untuk mencegah jamur pada media tanam, kita bisa menggunakan kapur dolomit.

Saya merasa pekebun atau petani--apalagi yang multijenis--itu menyerupai dokter. Mereka sama-sama harus dapat men-"diagnosis" penanganan yang tepat terhadap tiap-tiap individu. Kalau dokter menangani manusia, pekebun atau petani pada tanaman. Sebagaimana dokter yang mesti hafal gejala tiap-tiap penyakit dan cara mengobatinya, pekebun atau petani juga perlu "hafal" syarat tumbuh dan pemeliharaan yang tepat untuk tiap-tiap jenis tanaman.

Rabu, 06 Mei 2020

Hendra Gunawan: Profesor Macan Tutul Jawa

Ichwan Susanto

Hendra Gunawan tercatat menjadi satu-satunya ilmuwan di Indonesia yang menyandang gelar kehormatan profesor riset bidang konservasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Pada pundak peneliti ahli utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, terpanggul tanggung jawab menyelamatkan macan tutul jawa, predator satu-satunya tersisa di Pulau Jawa, dari kepunahan.

Prof Hendra, demikian ia kini mencoba membiasakan diri untuk disapa oleh kolega dan sesama peneliti. Capaian tertinggi bagi peneliti utama tersebut didapatnya pada 22 Juli 2019 setelah dikukuhkan Majelis Pengukuhan Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Hal ini tak didapatkannya dengan mudah. "Rumah saya ke SMP berjarak 14 kilometer, jalanan masih berlumpur. Kalau sudah dekat kota, sepeda saya cuci dulu biar tidak diejek anak kota," kenang Hendra Gunawan akan masa kecilnya. Ditemui Selasa (30/7/2019), ia ditemani peneliti Kebun Raya Bogor LIPI, Sugiarti, seusai mengikuti rapat di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta.

Hendra lahir dari keluarga petani penggarap miskin yang mengerjakan lahan di pinggir sungai dan permakaman. Di lahan tersebut, bapaknya menanam singkong dan ubi jalar di bagian-bagian lahan kuburan yang kosong.

Kemudian, bapaknya bersama warga di kampung ramai-ramai menggarap kawasan hutan yang dikelola Jawatan Perhutani atau Perhutani.

Dengan capaian sebagai profesor riset yang menempati "kasta" tertinggi dalam jenjang fungsional keilmuan, ia merasa bangga bisa membanggakan ayahnya. Meski berasal dari keluarga miskin-sederhana, Hendra mengatakan, bapaknya sangat total mendukungnya dalam bersekolah. Buku pelajaran yang saat itu sangat mahal dibeli oleh bapaknya.

Dia mengatakan sangat bangga bisa mewariskan sejumlah buku pengetahuan terkait konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan hutan. Satu buku, Fragmentasi Hutan (2015) yang ditulisnya bersama LB Prasetyo laris diunduh hingga puluhan ribu kali.

"Buku jangan hanya dibaca sesama peneliti, tetapi pengambil kebijakan dan masyarakat harus tahu," ucapnya.

Pendidikan

Hendra Gunawan sejak sekolah sangat tertarik dengan dunia alam belantara. Hal itu berkat sosialisasi mobil keliling WWF Indonesia dan Yayasan Indonesia Hijau yang memutarkan film terkait hutan dan faunanya di sekolah.

Bersekolah di SMA 1 Cirebon, Jawa Barat, ia mulai memupuk ketertarikannya pada dunia kehutanan tersebut. Ini didukung tradisi sekolah tersebut saat itu yang mempunyai kegiatan mendaki Gunung Ciremai setiap kenaikan kelas.

Motivasinya untuk terjun di dunia kehutanan tersebut kemudian disalurkannya dengan memilih kuliah di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tak seperti sekarang, jurusan konservasi ketika itu bukan favorit.

Dibandingkan dengan jurusan lain di Fakultas Kehutanan, yaitu Manajemen Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, jurusan konservasi yang dipilihnya sepi peminat. Hal itu dimaklumi karena di tahun 1980-an sedang pada masa kejayaan izin hak pengelolaan hutan (HPH) atau saat ini izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam. "Saya berpikir futuristik karena yang tersisa saat hutan habis nanti, ya, pasti konservasi. Saya merasa di jalan yang benar meski peminat sedikit," katanya.

Setelah lulus, Hendra sempat menjajal kerja di perusahaan HPH di Aceh Barat selama dua tahun. Namun, dia memutuskan berhenti karena hal yang dilihatnya sehari-hari tak sesuai hati nurani. "Karena saya dasarnya konservasi, lihat pohon ditebang, lihat gajah dan harimau terusir itu bagaimana begitu. Hati konservasi saya enggak happy, enggak nikmat," katanya.

Pada 1992, ia dinyatakan lolos diterima sebagai pegawai negeri sipil dengan penugasan pertama sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Makassar, Sulawesi Selatan. Di situ, ia meneliti kehidupan burung maleo beserta ekologinya yang mengantarkannya lulus mengambil S-2 di IPB pada 2000.

Pada 2003, ia ditarik ke markas Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (kini Badan Litbang dan Inovasi) di Bogor. Kembali ke Pulau Jawa ini, ia menekuni lagi soal macan tutul jawa yang di tahun 1989 mengantarkannya menjadi sarjana.

Hendra Gunawan tertarik memfokuskan diri pada penelitian macan tutul jawa (Panthera pardus melas) karena fauna ini satu-satunya spesies kucing besar di belantara Jawa, termasuk di Pulau Nusakambangan. Kerabat dekatnya, harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dinyatakan punah di awal tahun 1980-an.

"Macan tutul jawa sekarang menjadi satu-satunya top predator di hutan-hutan di Jawa. Karena itu, keberadaannya sangat penting bagi ekosistem," katanya.

Hal itu terbukti, seiring macan tutul jawa yang habitatnya terus tertekan oleh pembangunan infrastruktur, pembukaan lahan, dan fragmentasi, sejumlah konflik pun terjadi.

Hendra mempelajari karakteristik macan tutul di tipe hutan pegunungan (Gunung Slamet dan Merapi), hutan dataran rendah (Nusakambangan), hutan jati (Kendal), hutan pinus (Banjarnegara bagian utara di Sigaluh), dan vegetasi karst (Gunung Kidul). Untuk desertasinya, didapatkan dari penelitian di Gunung Ciremai yang juga menghasilkan lima jurnal ilmiah.

Saat ini, ia pun menjadi anggota kelompok peneliti kucing besar di Badan Konservasi Dunia (IUCN) sejak tahun 2013 dan Ketua Forum Macan Tutul Jawa sejak 2015. Forum tersebut menghasilkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada 2016. Sejak terangkatnya isu macan tutul, sejumlah organisasi tertarik mendedikasikan dana dan memberi perhatian pada satu-satunya kucing besar di Jawa yang tersisa. Ia pun berharap upaya penyelamatan macan tutul jawa dari kepunahan belum terlambat dilakukan. 

Di Jawa, 50 persen macan tutul tinggal di hutan produksi (areal Perhutani) dan di Jawa Tengah sekitar 80 persen macan tutul tinggal di luar kawasan hutan berfungsi lindung (hutan lindung dan hutan konservasi). Areal-areal di luar kawasan hutan ini diharapkannya bisa menjadi kawasan ekosistem esensial yang dilindungi pemerintah daerah.

Selain itu, Hendra pun bermimpi fragmentasi habitat akibat kantong-kantong populasi harimau yang terpisah oleh lahan pertanian, jalan, dan kebun bisa terbangun koridor. Ini untuk menambah ruang lalu lalang macan tutul jawa agar tak terjadi perkawinan sedarah yang bisa membawanya pada kecacatan lalu kepunahan.



Hendra Gunawan
Lahir: Banjarnegara, 3 April 1964
Istri: Retno Widianingsih
Anak:
- Priyahita Adhika Putera Rendra
- Pradnya Paramarta Raditya
- Sistha Anindita Pinastika Heningtyas
Pekerjaan: Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Bidang kepakaran: Konservasi Keanekaragaman Hayati
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Kaliwungu, Banjarnegara, Jawa Tengah (1976)
- SMP Negeri 1 Purwareja Klampok, Banjarnegara (1980)
- SMA Negeri 1 Cirebon, Jawa Barat (1983)
- S-1 IPB Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan (1988)
- S-2 IPB Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (2000)
- S-3 IPB Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (2010)



Sumber: Kompas, 9 Agustus 2019

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain