Kamis, 20 Mei 2021

10. KEDENGKIAN

Mama baru saja mulai menjalin hubungan baik dengan ibu-ibu kompleks, ketika putra sulungnya mengamuk di depan rumah ibu-ibu paling berpengaruh. Di arisan RT, ibu itu seketika berwajah masam saat bertatapan dengan Mama--sengaja atau tidak sengaja. Ibu-ibu lain hanya pada termesem-mesem maklum.

Tak terhindarkan Risky menjadi bahan pembicaraan di antara mereka. Mama menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang timbul dengan sebaik-baiknya, diiringi senyum semanis-manisnya seakan-akan dapat menawarkan kepahitan dalam jawaban-jawabannya itu. Di balik punggungnya, ibu-ibu itu mengembangkan kesan mereka.

"Pantas aja berangasan, keluaran SMA situ. Itu kan tempat anak-anak buangan SMA negeri."

"Enggak kuliah, enggak kerja, nganggur aja berarti."

"Kayak gitu memang bisa lulus UMPTN?"

"Sekali beli rokok, bisa sampai berapa pak tuh. Bakar-bakar duit orang tuanya aja itu."

"Waktu sekolah mesti suka ikut tawuran."

"Mungkin orang tuanya dibentak-bentak juga kalau enggak kasih uang rokok."

"Pakaiannya kayak enggak pernah ganti. Kayaknya sih enggak pernah mandi juga."

Tak ayal, selintas demi selintas kasak-kusuk itu menyusup juga ke kuping Mama. Ia jadi gelisah saat beredar ke tempat-tempat yang biasanya, terutama warung dan arisan RT. Sekadar main untuk bersantai ke rumah ibu-ibu lainnya pun ia hentikan dahulu.

Lebih banyak berada di rumah, ditambah penampakan dan pembawaan Risky yang seperti membenarkan perkataan para ibu itu, serta kegiatannya yang lebih banyak melongo di depan televisi ketimbang merengut di meja belajar, membuat Mama geregetan. Sekali waktu Mama mematikan TV yang sedang ditonton Risky lalu mendorong bahu anak itu. Muntahlah segala unek-uneknya.

"Contoh tuh sepupu kamu, si Adin!" seru Mama keras-keras, seakan-akan biar terdengar sampai rumah yang di belakang itu. "Usianya lebih muda daripada kamu, tapi bisa santun, lebih menjaga sikap! Padahal ibunya udah enggak ada!"

"Lah, Mama masih hidup, ngapain aja?"

Kali ini, remote TV menghantam kepala Risky.

"Ngelawan lagi?! Kamu yang enggak ada rasa syukur Mama Papa masih hidup! Masih bertahan demi kamu! Enggak bisa banggain orang tua!"

Tangis Adek membuncah padahal bukan dia yang dimarahi. Semakin panjang Mama mengatai Risky, semakin kencang tangisan Adek, seperti mengira bahwa sedang terjadi perlombaan siapa yang dapat bersuara paling keras. Menyadari bahwa bentakannya tertandingi oleh tangisan Adek, Mama terhenti lalu membopong anak itu. Sembari duduk memangku si kecil di sofa, Mama menenangkan Adek walaupun sebenarnya lebih seperti menenangkan dirinya sendiri. "Besar nanti kamu jangan kayak Kakak, ya," dan beribu-ribu lagi harapan Mama kepada Adek.

Bagaimanapun juga, sore itu Risky tetap bertandang ke rumah Saladin seperti yang sudah dijadwalkan. Tapi, alih-alih mendengarkan penjelasan Saladin, pikiran Risky malah menguliti sepupunya ini.

Memang di rumah itu Saladin tinggal bersama dua kakak perempuannya saja, yang juga lebih tua daripada Risky. Kakak yang pertama sudah bekerja, sedang kakak yang kedua masih kuliah. Keduanya tidak kalah alimnya daripada Saladin, sama-sama berjilbab besar. Tanpa banyak pengawasan orang tua, Saladin tumbuh menjadi remaja yang baik-baik saja.

Ia menandai sampul atau halaman depan setiap bukunya dengan nama "Ad-Dien"-panggilan yang disenanginya sekaligus menunjukkan kecintaannya pada agama. Ia dengan sopan menolak rokok yang selalu terlebih dahulu ditawarkan Risky tiap kali ingin mengasap. Caranya menerangkan satu bab pelajaran kepada Risky seperti yang benar-benar menguasai seluruh konsep. Risky tidak ingat pernah sepaham itu sepanjang pengalamannya sebagai pelajar. Ia membaca buku pelajaran sekadar supaya bisa mengerjakan soal, tanpa ada dedikasi sebegitunya terhadap ilmu pengetahuan.

Semakin banyak yang Risky cermati dari Saladin, semakin benar rasanya perkataan Mama, semakin bertumbuh kehinaan dalam dirinya, dan semakin sulit berkonsentrasi pada pelajaran. Percuma!

Bahkan saat Risky menghentikan Saladin untuk rehat rokok, anak itu bukannya ikut mengendurkan pikiran melainkan beralih pada PR-nya dan dengan tekun mengerjakan.

"Sehari belajar berapa jam?" tegur Risky.

Saladin menjawab, "Ah, banyak enggak sempatnya. Soalnya, banyak kegiatan di luar, Kak. Biasanya pulang-pulang tinggal istirahat. Justru karena Kak Iki, saya jadi ada waktu belajar."

Risky tersengat. Anjing, belagu. Mendadak Risky kesulitan menempelkan kembali pangkal rokok ke lubang mulutnya.

Risky sendiri mengira jam belajarnya sudah menyamai jam kerja pegawai negeri--mencakup rehat rokok dan kopi--sekitar pukul sepuluh malam ketika orang-orang rumah mulai tidur sampai kira-kira pukul enam pagi saat mereka baru bangun. Yang terlihat oleh Mama kebanyakan hanya saat Risky menikmati istirahatnya.

Risky pun pernah memancing Saladin soal Shelly, yang disangkanya kembang kompleks sehingga pastilah setiap pemuda di perumahan itu mengenal gadis tersebut.

"Cherry?" Saladin bingung.

"Iya, Cherry atau Ceyi, apalah, si Adek nyebutnya gitu," Risky menahan malu.

Saladin termenung, lalu, "Adanya juga Shelly."

"Shelly?"

Saladin mengangguk. "Rumahnya yang di ujung RT 4."

Oh! Informasi yang berharga!

"Manis, ya?"

Saladin termenung lagi, lalu, "Udah lama enggak lihat."

"Banyak, ya, yang naksir?"

"Enggak tahu."

Sangsi, Risky melirik Saladin. "Gue kira lu aktif di Karang Taruna."

"Iya, Kak."

"Ada yang lebih cakep, enggak, di kompleks ini?"

"Mungkin ...."

Risky menatap Saladin curiga, lalu, "Oooh, lu mau 'fokus sama studi' dulu, ya," berbaik sangka.

Saladin tersenyum, mengangguk dan mengiyakan.

Tak menemukan petunjuk apa pun pada raut wajah Saladin selain pancaran ketulusan, Risky berpaling sembari mengebulkan asap rokoknya keras-keras. Beneran ada, ya, orang kayak gini.

Pertemuan demi pertemuan selanjutnya, keenekan Risky semakin bertumpuk. Terlepas dari soal pelajaran yang memang dibutuhkannya, Risky tidak bisa memercayai Saladin. Di balik senyum yang hampir senantiasa terpasang itu, entah kebusukan apa yang disembunyikannya. Meski Risky tidak ada bayangan sama sekali, pastinya ada. Anak ini hanya pandai menutup-nutupinya. Contohnya saja, baru-baru ini Mama menyuruh Risky mandi dan berganti pakaian. Tapi Risky tidak mengacuhkan. Daripada mandi, bila kegerahan, ia lebih suka bertelanjang dada dan memutar kipas angin. Daripada ganti baju, ia lebih suka mengoleskan Axe banyak-banyak. Ia tahu orang-orang menyisi saat ia lewat, sambil mengangkat tangan ke depan hidung saat dikiranya ia tidak melihat. Ia mendengar Teddy bangsat dan kawan-kawannya yang sama sialan itu mengatainya dari jauh, "Pengangguran bau coro!" Tapi ia bergeming, seakan-akan itulah senjatanya agar tidak diganggu orang. Cuma beberapa orang yang tidak mengungkit keengganannya kena air, sabun, dan pakaian bersih yang sudah diseterikakan Mama sambil misuh-misuh karena ia tidak kunjung mengerjakannya sendiri: Adek, karena hidungnya yang sering kali tersumbat oleh ingus; Papa, karena biasanya jarang berada di ruangan yang sama; Shelly, karena memang belum berjumpa lagi; dan Saladin, yang padahal duduk berdekatan dengan dia sedikitnya tiga kali seminggu selama minimal satu jam dan juga tidak ingusan, namun tidak pernah menampakkan ekspresi kebauan sekali pun. Karena itulah, Risky yakin, sesungguhnya anak itu tidak betul-betul lurus tapi bermuka dua! Jagoan dalam bertopeng, namun Risky tidak akan teperdaya oleh kelancungannya.

Tapi, hanya Risky yang berpikiran seperti itu. Bukan hanya Mama, melainkan ibu-ibu lainnya di kompleks itu juga terbutakan oleh pesona Saladin. Malah, suatu kali tertangkap oleh pendengaran Risky, "Padahal masih saudara, tapi kok bedanya jauh gitu, ya. Yang satu baik, cakep, alim, yang satunya lagi ..." bisa ditebak sendiri. Memang mentang-mentang ibunya sudah tiada, Saladin lantas memperlakukan ibu-ibu lainnya di kompleks itu bagai ibunya sendiri. Ia mengucap salam malah kadang mencium punggung tangan mereka saat berjumpa. Ia mengajak mereka membonceng motornya, mengantar ke mana pun tujuan mereka, saat kebetulan berpapasan di jalan. Semua ibu berandai-andai Saladin anak mereka, atau mungkin menantu, kalau ia sudah lebih besar nanti sembari yakin bahwa pemuda seperti itu akan memperoleh pekerjaan mapan. Saat mengetahui bahwa Saladin tidak punya pacar, mereka terkagum-kagum dan menambahkan bahwa pemuda ini paham artinya prioritas dan prestasi. Saat ada anak tetangga yang akan berangkat keluar negeri dalam rangka pertukaran pelajar, mereka memaklumi bahwa Saladin tidak mengikuti program tersebut karena kakak-kakaknya mungkin masih membutuhkan bantuannya sebagai satu-satunya lelaki di rumah dan betapa sedari belia ia sudah menyadari tanggung jawabnya dalam menjaga perempuan.

Oh, betapa memualkan!

Risky sendiri pastinya pernah terlihat sedang bergandengan tangan dengan adiknya ke warung atau mengawal anak itu bersepeda--dari jauh. Tapi tidak terdengar seorang pun memuja-muji dia sebagai kakak--laki-laki pula--yang rela ngemong adiknya, meringankan beban ibunya. Tidak ada. Malah mungkin yang mereka ketahui hanya Risky pernah menyerang anak kecil lalu mengancam ibu anak itu, tanpa hirau bahwa itu dilakukannya karena adiknya lah yang diganggu terlebih dahulu sampai berkali-kali. Saladin bak Arjuna, sedang Risky yang Rahwana. Sudah cukup. Mereka tidak tertarik untuk mengetahui lebih daripada itu.

Risky pun bertambah mangkel saja dalam setiap perjalanannya ke rumah Saladin yang hanya beberapa menit, belum lagi pertemuan yang bisa sampai beberapa jam. Entah karena semakin giat Risky belajar semakin banyak kesulitan yang ia temukan, atau karena emosi buruk yang kerap menguasainya, yang pasti, ia sendiri entah kenapa mulai berpikiran bahwa persoalannya dalam memahami pelajaran ini bukan karena Saladin yang tidak becus menerangkannya. Saladin pasti sudah berusaha dengan sebaik-baiknya, Saladin tidak mungkin salah; kalaupun ada kesalahan, Saladin pasti akan segera memperbaikinya; tak mungkin ada keburukan pada Saladin. Risky lah yang memang sesungguhnya benar-benar bodoh, bebal.

Pikiran ini meresahkan Risky seakan-akan pada akhirnya ia mengakui kemuliaan sepupunya ini. Huh, tidak, ya! Bahkan setelah Risky semakin sering meminta rehat--kegusarannya kentara dari bibirnya yang bergerak-gerak mengunyah pangkal rokok seakan-akan itu kepala Saladin yang sedang digerusnya--sang misan dengan perhatiannya yang tulus itu mulai menyertakan kata-kata mutiara yang niatnya untuk menggugah semangat, "Sabar, Kak. Yang sabar pasti akan beruntung!" sehingga Risky enggan datang ke pertemuan berikutnya, dan selanjutnya, dan seterusnya!

Saladin pun menyusul ke rumah Risky. Awalnya Risky berpura-pura sedang pusing, meriang, masuk angin, tidak enak badan, kena mata ikan, apalah, dan pada kesempatan yang lain ia malah sengaja bepergian sampai larut malam, dan pada kesempatan yang penghabisan sungguh ia muak akan dedikasi Saladin sebagai guru yang--bahkan entah dibayar orang tuanya atau tidak--sampai mengejar-ngejar si murid ke rumah itu.

"Udah lah," kata Risky akhirnya. "Gue enggak butuh lu lagi. Gue bisa belajar sendiri," ucapnya setegas dan setenang mungkin.

Saladin tertegun di teras rumah sepupunya itu. Namun memang ia pemuda berjiwa besar. Menanggapi keputusan Risky, ia tersenyum memaklumi. Malah ia terharu karena Risky telah dapat berdiri sendiri, tak perlu mengandalkan dia lagi. "Semoga sukses, Kak," ucap Saladin takzim sebelum undur diri.

Risky memandang pantat Saladin yang menjauh, membayangkan di lubangnya tertancap petasan menyala. Apalagi kalau petasannya sebesar roket, biar anak itu terlempar sekalian sampai angkasa. Kalau begitu skenarionya, termasuk gerak apakah itu? Terbayang olehnya suatu persamaan limit. Risky segera kembali ke kamar, tak sabar mencoret-coret kertas untuk menghitung seberapa cepat pemuda suci itu akan memelesat ke tempat asalnya di surga.

Kamis, 06 Mei 2021

9. SI KEPITING DAN SHIGEO

Di mana-mana di dunia ini ada saja anak-anak yang gemar menindas anak lain yang terlihat lemah. Risky pun pernah mengalaminya. Sepulang sekolah, saat SMP, ia berkali-kali ditahan sekelompok anak SMA. Upayanya menghindari mereka sia-sia saja karena mereka selalu bisa menemukannya, tahu-tahu mengadang di tengah jalan, betapapun ia telah mencari jalan pulang alternatif, mengulur-ulur waktu, dan sebagainya. Lalu anak-anak itu akan menyeretnya ke bawah viaduk tongkrongan mereka. Ranselnya dirampas, dibuka, dibalikkan, sehingga isinya tumpah semua. Barang-barangnya ditendangi sampai tercecer jauh.

Mereka paling senang bila menemukan uang. Kalau tidak ada uang, saku pakaiannya dirogoh-rogoh. Setelah mendapat yang dicari, mereka masih saja menonjoknya atau menyepaknya sekadar iseng. Kalau tidak menemukan uang sama sekali, padahal lagi ingin-inginnya jajan, mereka akan menahan barang-barangnya. Mereka tidak peduli bagaimana caranya ia mendapatkan uang. Pokoknya, barang-barangnya baru bisa kembali setelah ia menebusnya dengan uang. Kalau ia tidak buru-buru pergi mencari, mereka akan menetapkan jumlah uang yang mesti dibawanya. Kalau ia mencoba menawar, mereka akan menaikkan jumlahnya.

Risky tidak sendirian. Ketika sedang dirundung anak-anak SMA itu, ada anak lain yang menghampiri mereka. Ia mengenali anak itu sebagai teman sekelasnya. Kalau Risky dihindari anak-anak sekelas karena statusnya sebagai gai-jin tingkat rendah, anak itu tidak disukai entah karena apa. Mungkin karena ia pendiam dan suka memencilkan diri. Mungkin karena saat ditanya guru tentang cita-citanya di depan anak-anak lain, ia menjawab lantang ingin jadi kepiting. Julukan "Si Kepiting" pun menggantikan nama aslinya, yang hampir-hampir tidak pernah disebut lagi oleh siapa pun di kelas. Bahkan guru-guru pun mulai menyebutnya demikian.

Risky melihat Si Kepiting menyerahkan uang kepada anak-anak SMA yang sedang merundungnya itu. Si Kepiting mendapatkan kembali tasnya, berikut isinya yang harus ia masukkan sendiri. Sebelum Si Kepiting pergi, keduanya sempat bertukar tatap. Itu awal dari pertemanan mereka, kalau bisa disebut begitu.

Keesokan harinya, di kelas, mereka curi-curi pandang pada satu sama lain. Keduanya sama-sama segan untuk mendekati terlebih dahulu. Beberapa lama mereka seperti itu, sampai akhirnya Si Kepiting yang mengalah. Itu karena ia mendapati Risky juga curi-curi pandang pada orang lain, si cewek yang nantinya diberikan surat cinta. "Jangan suka sama dia," kata Si Kepiting.

Risky curiga. "Kenapa? Kamu suka sama dia?" dengan nada penuh penyangkalan. Ia tidak ingin kelihatan suka pada cewek itu. Tapi kalau Si Kepiting hendak mengajaknya bersaing, apa boleh buat.

"Ternyata benar. Kamu ini tolol, ya," ucap Si Kepiting dengan nada merendahkan seperti yang biasa digunakan anak-anak lainnya pada Risky. "Lihat aja dia gaulnya sama siapa."

Saat itu jam istirahat dan mereka bisa melihat cewek itu sedang berkumpul bersama kawan-kawannya di tengah kelas. Risky memerhatikan cewek-cewek lainnya dalam kawanan itu. Sekilas mereka seperti tak banyak bedanya. Memang ada yang lebih cantik. Tapi cuma cewek itu yang pernah tersenyum padanya.

"Kamu suka sama dia," tuduh Risky. Ia merasa pasti Si Kepiting cuma hendak menyingkirkan pesaing.

"Aku enggak bakal suka sama cewek goblok enggak punya pendirian kayak dia."

Risky terkejut. Nantinya, setelah agak jauh bercakap dengan Si Kepiting, ia maklum sebabnya anak itu dijauhi. Si Kepiting bersikap merendahkan bukan hanya kepada gai-jin seperti dia, melainkan kepada setiap orang. Ia tidak membeda-bedakan. Yang berbeda, menurut Si Kepiting, hanya dia seorang. Sementara makhluk-makhluk lain pada berjalan ke depan, ia ke samping. Entah apa maksudnya, Risky pun tidak begitu mengerti. Shigeo juga pernah berkata pada Risky bahwa dirinya berbeda dari kebanyakan orang Jepang. Risky menyimpulkan bahwa setiap orang sepertinya merasa dirinya berbeda.

Nantinya, si Kepiting yang membantu Risky membersihkan meja sepulang sekolah saat surat cintanya kepada si cewek dijadikan bahan olokan. Risky berusaha tidak memandang Si Kepiting selama itu. Ia tahu, anak itu pasti menampakkan tampang Dibilangin juga apa.

Seakan-akan tahu bahwa Risky menghindari tatapannya, Si Kepiting pun mengatakan, "Dibilangin juga apa."

Risky memaksakan senyum tabah. Enggak apa-apa, pikirnya. "Sebentar lagi aku pulang," kata Risky. Maksudnya hendak menguatkan diri sekaligus mengabarkan kepada Si Kepiting.

"Apa?" Si Kepiting tak mengerti.

"Beberapa bulan lagi papaku selesai kuliah. Jadi sebentar lagi aku pulang ke Indonesia. Aku bakal ngelupain semuanya. Aku enggak akan pernah ke sini lagi," camkan Risky. Lalu tebersit bahwa sekali saja Risky ingin membalas senyum Si Kepiting yang penuh cemooh itu. Ia menambahkan seraya menatap nyalang pada Si Kepiting, "Kamu sendirian." Ia tersenyum penuh kemenangan.

"Aku memang selalu sendirian," tandas Si Kepiting.

Senyum Risky memudar. Tatapannya kembali pada jarinya yang mengerik sisa potongan kertas di meja. Terserah kamu lah.

.

Topik paling berarti yang pernah Risky obrolkan bersama Si Kepiting adalah cara mendapatkan uang untuk diserahkan kepada si anak-anak SMA penindas. Risky biasanya mengutil dari dompet Mama. Sungguh menghinakan, ia sangat benci melakukannya. Apalagi sewaktu Mama memergokinya. Mama tidak pernah memukuli Risky sebelumnya, namun kali ini tidak ada ampun. Risky pun tidak bisa membeberkan kepada Mama sebabnya ia melakukan itu. Maka ia kembali pada anak-anak SMA itu dengan tangan hampa dan membiarkan dirinya kena hajar, lagi, demi memperoleh kembali tas berikut isinya yang dirampas. Pulang-pulang, kemarahan Mama kembali berkobar melihat mukanya yang lebam dan pakaiannya yang kotor. "Kamu ini sekarang hobi berantem, ya! Ini susah lagi ngebersihinnya!" omelan Mama tidak berhenti-henti sampai waktunya tidur. Untungnya sekarang ini tangan Papa tidak seringan dahulu. Ia cuma menjentik kuping Risky lalu memberikan wejangan pelan seperti sekadar biar Mama puas sedikit. Tetap saja Risky memendam gondok.

Mendengar pengakuan Risky, Si Kepiting tersenyum mencemooh. Katanya, "Kamu beruntung masih bisa ngutil dari orang tua, dan cuma dipukul. Pukulan mama kamu juga paling-paling gitu doang kan." Risky tentu saja tidak terima. Gitu doang, katanya. Pukulan Mama sakitnya bukan cuma di badan!

Namun Si Kepiting kemudian memberitahukan caranya mendapatkan uang tanpa mengandalkan orang tua, yaitu dengan mencuri manga dari anak-anak di kelas lalu menjualnya ke toko buku bekas.

Risky takjub. Selama ini ia biasa mendekam saja di kelas saat jam istirahat. Jarang-jarang ada yang mengajaknya entah ke mana. Begitu pula nasib Si Kepiting. Namun tidak sekali pun Risky pernah mendapati Si Kepiting tengah beraksi. Bukannya selama ini ia kerap memerhatikan Si Kepiting sih. Namun Si Kepiting tidak hendak membeberkan tentang caranya lebih lanjut. Ia sekadar menunjukkan letak toko buku bekas tersebut.

Segera saja Risky terilhami. Tapi ia tidak hendak menjual manga miliknya sendiri, yang terlalu sedikit untuk disebut sebagai koleksi. Nanti berkurang kenang-kenangannya untuk dibawa pulang ke Indonesia. Pikirannya justru melayang pada koleksi bacaan Shigeo yang berlimpah, sampai memenuhi dua lemari serta bertumpuk-tumpuk dan tersebar di lantai. Belum lagi koleksi pornografi yang tertata rapi di bawah kasurnya. Apalagi, sejak masuk klub sastra di SMA, minat Shigeo telah beralih pada buku-buku yang isinya cuma teks tanpa ada gambar sama sekali. Kadang juga ia membentangkan koran, mencermati persoalan yang tengah terjadi di berbagai belahan dunia. Tiap kali Risky main ke rumahnya, Shigeo suka membicarakan tentang berbagai bacaannya itu--tanpa acuh pendengarnya paham atau tidak--dan selalu saja ada yang baru. Kemungkinan Shigeo tidak akan sadar bila manganya berkurang barang beberapa. Risky akan coba menjualnya ke toko buku bekas itu dan menyimpan uangnya untuk berjaga-jaga sekiranya ketemu para pemalak itu lagi.

Maka, pada kesempatan berikutnya main ke rumah Shigeo sepulang sekolah, Risky mencari-cari dan menunggu-nunggu kesempatan. Mustahil sepertinya selama Shigeo berada di kamar, karena posisinya yang hampir selalu menghadap Risky walaupun matanya terpaku pada halaman buku. Sekalipun Shigeo sempat memunggunginya beberapa lama, Risky tidak hendak mengambil risiko. Shigeo bisa kembali berbalik menghadap dia kapan saja.

Barulah saat Shigeo keluar kamarnya, kesempatan yang baik itu tiba. Risky telah mengincar beberapa buku yang posisinya tak mencolok. Misalkan yang berada di sela-sela tumpukan, tertutup oleh majalah, juga yang di bawah kolong. Selain itu, ia tidak pilih-pilih. Dikiranya toko buku bekas itu akan membeli buku apa pun yang ia tawarkan. Ia menyusupkan buku itu satu per satu ke dalam ranselnya sembari matanya mengawasi pintu dan telinganya terpasang kalau-kalau langkah Shigeo mendekat.

Setelah beberapa buku yang dianggapnya sudah cukup, sejenak Risky terdiam waspada dan diliputi perasaan yang lebih buruk daripada saat mengutil dari dompet Mama. Dahulu kerap kali ada bacaan dan mainan miliknya yang hilang begitu saja. Bahkan kalau ada sebutir kelereng pun yang raib, padahal jumlahnya sampai memenuhi sebagian besar kaleng, Risky akan mengetahuinya. Ia curiga kepada anak-anak di sekitar rumah yang kerap main ke rumahnya. Ia mengawasi lekat-lekat kali berikutnya mereka main ke rumahnya. Benar saja. Ia menangkap basah seorang anak menyelipkan satu buku cerita tipis ke balik bajunya. Kontan ia menuding anak itu. Anak itu mengelak. Risky mengangkat bajunya dan jatuhlah buku itu, lalu ia mendorong anak itu sampai membentur tembok. Anehnya, anak-anak lain justru pada membela anak itu.

"Kamu punya banyak. Masak bagi satu aja enggak boleh?"

"Pelit!"

"Sombong!"

Risky berseru pada mereka, "Jangan ke sini lagi! Pulang aja lu semua!"

Satu per satu minggat ke arah pintu. Salah seorang di antaranya mengeluarkan mobil-mobilan dari saku celana lalu mencampakkan benda itu ke dekat kaki Risky. Rodanya lepas. Hampir saja Risky menubruk anak itu kalau tidak keburu dilerai Simbok.

"Jangan kasar sama temannya," kata Simbok begitu mereka semua telah pergi.

Namun Risky tidak peduli. Kebencian menggelegak dalam dadanya. Koleksinya ini kebanyakan dibelikan oleh Mama, selebihnya oleh Papa. Mama dan Papa yang telah bekerja keras seharian sepanjang minggu agar dapat menyenangkan dirinya, melipur kesepiannya. Setiap barang adalah bukti perhatian Mama dan Papa. Lalu anak-anak itu boleh mengambilnya begitu saja? Mengotorinya juga merusaknya? Enak saja! Mana mungkin ia membiarkannya!

Kini, ia sendiri justru melakukan perbuatan yang dibencinya itu.

Risky tak sempat termenung lama-lama. Shigeo memasuki kamarnya dan memandangi Risky yang termangu-mangu. Risky balas memandang Shigeo yang telah mengedarkan tatapannya ke seantero kamar, seolah-olah entah bagaimana mengetahui ada yang telah terjadi dan kini melakukan inspeksi. Tapi mungkin itu hanya perasaan Risky. Selanjutnya Shigeo bersikap biasa-biasa saja. Ia duduk di dekat Risky dan lanjut membicarakan berbagai hal. Perlahan-lahan ketegangan Risky mengendur. Tidak mungkin Shigeo mengetahuinya, kan? Pintu kamarnya tertutup sementara ia pergi tadi. Lagi pula, tidak mungkin pula Risky mengeluarkan kembali buku-buku yang sudah telanjur masuk ke ranselnya itu kecuali kalau Shigeo keluar lagi.

Tiba saatnya Risky pulang. Ia menggendong ranselnya yang bertambah berat. Mengira sudah aman, ia melangkah ke pintu kamar Shigeo. Namun tahu-tahu saja Shigeo mencegat dia.

"Keluarin isi tas kamu."

Risky berdeguk. Darah seperti surut dari kepalanya sehingga ia merasa oleng. Namun ia tak kuasa melawan. Dengan lunglai seakan-akan seluruh darah sudah terkuras habis dari tubuhnya, ia menurunkan ranselnya di atas tempat tidur Shigeo. Ia berusaha agar tangannya tak gemetar saat mengeluarkan beberapa buku, kemudian beberapa buku lagi. Tampak kover manga milik Shigeo.

Bagaimana dia bisa tahu? Jangan-jangan ada kamera pengintai di salah satu sudut ruangan ini!

Shigeo mengambil buku itu lalu menggunakannya untuk menempeleng kepala Risky. Tidak keras. Suaranya pun pelan saat mengatakan, "Bodoh! Kalau mau nyolong, jangan manga kesayanganku dong!" seakan-akan supaya jangan sampai terdengar oleh ibunya di lantai bawah.

Risky tidak berani mengangkat kepala. Shigeo memandang Risky yang menunduk saja diiringi rasa kecut. Memang sudah beberapa kali Shigeo mengajak Risky menemaninya mengutil majalah porno di toko. Ia tidak menyangka Risky akan menjadikan pengalaman itu sebagai pelajaran dan, parahnya lagi, mempraktikkan itu kepada dirinya sendiri. Inikah karma?

Tapi ini bisa jadi ide cerpen untuk tugas klub sastra, pikir Shigeo lagi.

"Kamu mau kasih kesan sama aku kalau orang Indonesia itu pencuri?"

Risky terhunjam.

"Maaf! Maaf!" Risky membungkuk dalam-dalam. "Mulai saat ini, aku enggak bakal ke rumah kamu lagi, Shigeo-kun!"

Namun, sebagaimana waktu Risky kesengsem pada cewek di kelasnya, Shigeo dapat membaca ada yang tak biasa.

"Kenapa?" nada Shigeo menginterogasi.

Takut meninggalkan kesan buruk seperti yang dituduhkan Shigeo, Risky pun terbata-bata menceritakan pertemuannya dengan para pemalak SMA, tongkrongan mereka di bawah viaduk, sampai ide Si Kepiting untuk mencuri manga dan menjualnya ke toko buku bekas. Sejujur-jujurnya, seterang-terangnya. Shigeo tak menampakkan ekspresi apa pun selama mendengarkan. "Kamu boleh pulang," begitu saja tanggapannya setuntas Risky bercerita.

"Maaf!" sekali lagi Risky membungkuk dalam-dalam, mengerahkan segenap ketulusannya. Shigeo masih dingin.

Begitu pintu rumah Shigeo tertutup, Risky berjalan gontai ke arah rumahnya sendiri. Ia merutuki diri, menyesali perbuatannya sembari mengenang segala jasa Shigeo padanya bertahun-tahun ini, mulai dari membantunya melancarkan bahasa Jepang sampai mengenalkannya pada berbagai kenakalan kecil yang menggairahkan termasuk petunjuk menyenangkan diri secara sembunyi-sembunyi tanpa kehadiran cewek. Berkat Shigeo pula, Risky bisa kerap menumpang makan dan mengetahui masakan Jepang rumahan yang lezat itu bagaimana--ibu Shigeo jauh lebih pandai memasak daripada Mama. Tanpa Shigeo, hari-hari Risky di Jepang akan kian temaram. Shigeo lebih daripada sekadar orang Jepang paling bersahabat yang Risky kenal. Shigeo sudah seperti abang yang tak pernah Risky miliki sebelumnya.

Tapi, kini apakah balasan Risky?

Ah, bagaimanapun juga, tinggal beberapa bulan lagi Risky tinggal di Jepang. Ia mesti bisa menahankannya. Terserah lah para pemalak itu mau berbuat apa lagi saat bertemu dia. Toh tinggal beberapa bulan lagi.

Beberapa bulan lagi ....

Ia akan melupakan semua ini dan tidak akan pernah kembali ke negara ini, camkannya berkali-kali.

Ini musim dingin paling dingin yang pernah ia lalui.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain