Mama baru saja mulai menjalin hubungan
baik dengan ibu-ibu kompleks, ketika putra sulungnya mengamuk di depan rumah
ibu-ibu paling berpengaruh. Di arisan RT, ibu itu seketika berwajah masam saat
bertatapan dengan Mama--sengaja atau tidak sengaja. Ibu-ibu lain hanya pada
termesem-mesem maklum.
Tak terhindarkan Risky menjadi bahan
pembicaraan di antara mereka. Mama menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang timbul
dengan sebaik-baiknya, diiringi senyum semanis-manisnya seakan-akan dapat
menawarkan kepahitan dalam jawaban-jawabannya itu. Di balik punggungnya,
ibu-ibu itu mengembangkan kesan mereka.
"Pantas aja berangasan, keluaran
SMA situ. Itu kan tempat anak-anak buangan SMA negeri."
"Enggak kuliah, enggak kerja,
nganggur aja berarti."
"Kayak gitu memang bisa lulus
UMPTN?"
"Sekali beli rokok, bisa sampai
berapa pak tuh. Bakar-bakar duit orang tuanya aja itu."
"Waktu sekolah mesti suka ikut
tawuran."
"Mungkin orang tuanya dibentak-bentak
juga kalau enggak kasih uang rokok."
"Pakaiannya kayak enggak pernah
ganti. Kayaknya sih enggak pernah mandi juga."
Tak ayal, selintas demi selintas
kasak-kusuk itu menyusup juga ke kuping Mama. Ia jadi gelisah saat beredar ke
tempat-tempat yang biasanya, terutama warung dan arisan RT. Sekadar main untuk
bersantai ke rumah ibu-ibu lainnya pun ia hentikan dahulu.
Lebih banyak berada di rumah, ditambah
penampakan dan pembawaan Risky yang seperti membenarkan perkataan para ibu itu,
serta kegiatannya yang lebih banyak melongo di depan televisi ketimbang
merengut di meja belajar, membuat Mama geregetan. Sekali waktu Mama mematikan
TV yang sedang ditonton Risky lalu mendorong bahu anak itu. Muntahlah segala
unek-uneknya.
"Contoh tuh sepupu kamu, si
Adin!" seru Mama keras-keras, seakan-akan biar terdengar sampai rumah yang
di belakang itu. "Usianya lebih muda daripada kamu, tapi bisa santun,
lebih menjaga sikap! Padahal ibunya udah enggak ada!"
"Lah, Mama masih hidup, ngapain
aja?"
Kali ini, remote TV
menghantam kepala Risky.
"Ngelawan lagi?! Kamu yang enggak
ada rasa syukur Mama Papa masih hidup! Masih bertahan demi kamu! Enggak bisa
banggain orang tua!"
Tangis Adek membuncah padahal bukan dia
yang dimarahi. Semakin panjang Mama mengatai Risky, semakin kencang tangisan
Adek, seperti mengira bahwa sedang terjadi perlombaan siapa yang dapat bersuara
paling keras. Menyadari bahwa bentakannya tertandingi oleh tangisan Adek, Mama
terhenti lalu membopong anak itu. Sembari duduk memangku si kecil di sofa, Mama
menenangkan Adek walaupun sebenarnya lebih seperti menenangkan dirinya sendiri.
"Besar nanti kamu jangan kayak Kakak, ya," dan beribu-ribu lagi
harapan Mama kepada Adek.
Bagaimanapun juga, sore itu Risky tetap
bertandang ke rumah Saladin seperti yang sudah dijadwalkan. Tapi, alih-alih
mendengarkan penjelasan Saladin, pikiran Risky malah menguliti sepupunya ini.
Memang di rumah itu Saladin tinggal
bersama dua kakak perempuannya saja, yang juga lebih tua daripada Risky. Kakak
yang pertama sudah bekerja, sedang kakak yang kedua masih kuliah. Keduanya
tidak kalah alimnya daripada Saladin, sama-sama berjilbab besar. Tanpa banyak
pengawasan orang tua, Saladin tumbuh menjadi remaja yang baik-baik saja.
Ia menandai sampul atau halaman depan
setiap bukunya dengan nama "Ad-Dien"-panggilan yang disenanginya
sekaligus menunjukkan kecintaannya pada agama. Ia dengan sopan menolak rokok
yang selalu terlebih dahulu ditawarkan Risky tiap kali ingin mengasap. Caranya
menerangkan satu bab pelajaran kepada Risky seperti yang benar-benar menguasai
seluruh konsep. Risky tidak ingat pernah sepaham itu sepanjang pengalamannya
sebagai pelajar. Ia membaca buku pelajaran sekadar supaya bisa mengerjakan
soal, tanpa ada dedikasi sebegitunya terhadap ilmu pengetahuan.
Semakin banyak yang Risky cermati dari
Saladin, semakin benar rasanya perkataan Mama, semakin bertumbuh kehinaan dalam
dirinya, dan semakin sulit berkonsentrasi pada pelajaran. Percuma!
Bahkan saat Risky menghentikan Saladin
untuk rehat rokok, anak itu bukannya ikut mengendurkan pikiran melainkan
beralih pada PR-nya dan dengan tekun mengerjakan.
"Sehari belajar berapa jam?"
tegur Risky.
Saladin menjawab, "Ah, banyak
enggak sempatnya. Soalnya, banyak kegiatan di luar, Kak. Biasanya pulang-pulang
tinggal istirahat. Justru karena Kak Iki, saya jadi ada waktu belajar."
Risky tersengat. Anjing, belagu.
Mendadak Risky kesulitan menempelkan kembali pangkal rokok ke lubang mulutnya.
Risky sendiri mengira jam belajarnya
sudah menyamai jam kerja pegawai negeri--mencakup rehat rokok dan kopi--sekitar
pukul sepuluh malam ketika orang-orang rumah mulai tidur sampai kira-kira pukul
enam pagi saat mereka baru bangun. Yang terlihat oleh Mama kebanyakan hanya
saat Risky menikmati istirahatnya.
Risky pun pernah memancing Saladin soal
Shelly, yang disangkanya kembang kompleks sehingga pastilah setiap pemuda di
perumahan itu mengenal gadis tersebut.
"Cherry?" Saladin bingung.
"Iya, Cherry atau Ceyi, apalah, si
Adek nyebutnya gitu," Risky menahan malu.
Saladin termenung, lalu, "Adanya
juga Shelly."
"Shelly?"
Saladin mengangguk. "Rumahnya yang
di ujung RT 4."
Oh! Informasi yang berharga!
"Manis, ya?"
Saladin termenung lagi, lalu, "Udah
lama enggak lihat."
"Banyak, ya, yang naksir?"
"Enggak tahu."
Sangsi, Risky melirik Saladin. "Gue
kira lu aktif di Karang Taruna."
"Iya, Kak."
"Ada yang lebih cakep, enggak, di
kompleks ini?"
"Mungkin ...."
Risky menatap Saladin curiga, lalu,
"Oooh, lu mau 'fokus sama studi' dulu, ya," berbaik sangka.
Saladin tersenyum, mengangguk dan
mengiyakan.
Tak menemukan petunjuk apa pun pada raut
wajah Saladin selain pancaran ketulusan, Risky berpaling sembari mengebulkan
asap rokoknya keras-keras. Beneran ada, ya, orang kayak gini.
Pertemuan demi pertemuan selanjutnya,
keenekan Risky semakin bertumpuk. Terlepas dari soal pelajaran yang memang
dibutuhkannya, Risky tidak bisa memercayai Saladin. Di balik senyum yang hampir
senantiasa terpasang itu, entah kebusukan apa yang disembunyikannya. Meski
Risky tidak ada bayangan sama sekali, pastinya ada. Anak ini hanya pandai
menutup-nutupinya. Contohnya saja, baru-baru ini Mama menyuruh Risky mandi dan
berganti pakaian. Tapi Risky tidak mengacuhkan. Daripada mandi, bila kegerahan,
ia lebih suka bertelanjang dada dan memutar kipas angin. Daripada ganti baju,
ia lebih suka mengoleskan Axe banyak-banyak. Ia tahu orang-orang menyisi saat
ia lewat, sambil mengangkat tangan ke depan hidung saat dikiranya ia tidak
melihat. Ia mendengar Teddy bangsat dan kawan-kawannya yang sama sialan itu
mengatainya dari jauh, "Pengangguran bau coro!" Tapi ia bergeming,
seakan-akan itulah senjatanya agar tidak diganggu orang. Cuma beberapa orang
yang tidak mengungkit keengganannya kena air, sabun, dan pakaian bersih yang
sudah diseterikakan Mama sambil misuh-misuh karena ia tidak kunjung
mengerjakannya sendiri: Adek, karena hidungnya yang sering kali tersumbat oleh
ingus; Papa, karena biasanya jarang berada di ruangan yang sama; Shelly, karena
memang belum berjumpa lagi; dan Saladin, yang padahal duduk berdekatan dengan
dia sedikitnya tiga kali seminggu selama minimal satu jam dan juga tidak
ingusan, namun tidak pernah menampakkan ekspresi kebauan sekali pun. Karena
itulah, Risky yakin, sesungguhnya anak itu tidak betul-betul lurus tapi bermuka
dua! Jagoan dalam bertopeng, namun Risky tidak akan teperdaya oleh kelancungannya.
Tapi, hanya Risky yang berpikiran
seperti itu. Bukan hanya Mama, melainkan ibu-ibu lainnya di kompleks itu juga
terbutakan oleh pesona Saladin. Malah, suatu kali tertangkap oleh pendengaran
Risky, "Padahal masih saudara, tapi kok bedanya jauh gitu, ya. Yang satu
baik, cakep, alim, yang satunya lagi ..." bisa ditebak sendiri. Memang
mentang-mentang ibunya sudah tiada, Saladin lantas memperlakukan ibu-ibu
lainnya di kompleks itu bagai ibunya sendiri. Ia mengucap salam malah kadang
mencium punggung tangan mereka saat berjumpa. Ia mengajak mereka membonceng
motornya, mengantar ke mana pun tujuan mereka, saat kebetulan berpapasan di
jalan. Semua ibu berandai-andai Saladin anak mereka, atau mungkin menantu,
kalau ia sudah lebih besar nanti sembari yakin bahwa pemuda seperti itu akan
memperoleh pekerjaan mapan. Saat mengetahui bahwa Saladin tidak punya pacar,
mereka terkagum-kagum dan menambahkan bahwa pemuda ini paham artinya prioritas
dan prestasi. Saat ada anak tetangga yang akan berangkat keluar negeri dalam
rangka pertukaran pelajar, mereka memaklumi bahwa Saladin tidak mengikuti
program tersebut karena kakak-kakaknya mungkin masih membutuhkan bantuannya
sebagai satu-satunya lelaki di rumah dan betapa sedari belia ia sudah menyadari
tanggung jawabnya dalam menjaga perempuan.
Oh, betapa memualkan!
Risky sendiri pastinya pernah terlihat
sedang bergandengan tangan dengan adiknya ke warung atau mengawal anak itu
bersepeda--dari jauh. Tapi tidak terdengar seorang pun memuja-muji dia sebagai
kakak--laki-laki pula--yang rela ngemong adiknya, meringankan
beban ibunya. Tidak ada. Malah mungkin yang mereka ketahui hanya Risky pernah
menyerang anak kecil lalu mengancam ibu anak itu, tanpa hirau bahwa itu
dilakukannya karena adiknya lah yang diganggu terlebih dahulu sampai
berkali-kali. Saladin bak Arjuna, sedang Risky yang Rahwana. Sudah cukup.
Mereka tidak tertarik untuk mengetahui lebih daripada itu.
Risky pun bertambah mangkel saja dalam
setiap perjalanannya ke rumah Saladin yang hanya beberapa menit, belum lagi pertemuan
yang bisa sampai beberapa jam. Entah karena semakin giat Risky belajar semakin
banyak kesulitan yang ia temukan, atau karena emosi buruk yang kerap
menguasainya, yang pasti, ia sendiri entah kenapa mulai berpikiran bahwa
persoalannya dalam memahami pelajaran ini bukan karena Saladin yang tidak becus
menerangkannya. Saladin pasti sudah berusaha dengan sebaik-baiknya, Saladin
tidak mungkin salah; kalaupun ada kesalahan, Saladin pasti akan segera
memperbaikinya; tak mungkin ada keburukan pada Saladin. Risky lah yang memang
sesungguhnya benar-benar bodoh, bebal.
Pikiran ini meresahkan Risky seakan-akan
pada akhirnya ia mengakui kemuliaan sepupunya ini. Huh, tidak, ya! Bahkan
setelah Risky semakin sering meminta rehat--kegusarannya kentara dari bibirnya
yang bergerak-gerak mengunyah pangkal rokok seakan-akan itu kepala Saladin yang
sedang digerusnya--sang misan dengan perhatiannya yang tulus itu mulai
menyertakan kata-kata mutiara yang niatnya untuk menggugah semangat,
"Sabar, Kak. Yang sabar pasti akan beruntung!" sehingga Risky enggan
datang ke pertemuan berikutnya, dan selanjutnya, dan seterusnya!
Saladin pun menyusul ke rumah Risky.
Awalnya Risky berpura-pura sedang pusing, meriang, masuk angin, tidak enak
badan, kena mata ikan, apalah, dan pada kesempatan yang lain ia malah sengaja
bepergian sampai larut malam, dan pada kesempatan yang penghabisan sungguh ia
muak akan dedikasi Saladin sebagai guru yang--bahkan entah dibayar orang tuanya
atau tidak--sampai mengejar-ngejar si murid ke rumah itu.
"Udah lah," kata Risky
akhirnya. "Gue enggak butuh lu lagi. Gue bisa belajar sendiri,"
ucapnya setegas dan setenang mungkin.
Saladin tertegun di teras rumah sepupunya itu. Namun memang ia pemuda berjiwa besar. Menanggapi keputusan Risky, ia tersenyum memaklumi. Malah ia terharu karena Risky telah dapat berdiri sendiri, tak perlu mengandalkan dia lagi. "Semoga sukses, Kak," ucap Saladin takzim sebelum undur diri.
Risky memandang pantat Saladin yang menjauh, membayangkan di lubangnya tertancap petasan menyala. Apalagi kalau petasannya sebesar roket, biar anak itu terlempar sekalian sampai angkasa. Kalau begitu skenarionya, termasuk gerak apakah itu? Terbayang olehnya suatu persamaan limit. Risky segera kembali ke kamar, tak sabar mencoret-coret kertas untuk menghitung seberapa cepat pemuda suci itu akan memelesat ke tempat asalnya di surga.