Kamis, 20 Mei 2021

10. KEDENGKIAN

Mama baru saja mulai menjalin hubungan baik dengan ibu-ibu kompleks, ketika putra sulungnya mengamuk di depan rumah ibu-ibu paling berpengaruh. Di arisan RT, ibu itu seketika berwajah masam saat bertatapan dengan Mama--sengaja atau tidak sengaja. Ibu-ibu lain hanya pada termesem-mesem maklum.

Tak terhindarkan Risky menjadi bahan pembicaraan di antara mereka. Mama menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang timbul dengan sebaik-baiknya, diiringi senyum semanis-manisnya seakan-akan dapat menawarkan kepahitan dalam jawaban-jawabannya itu. Di balik punggungnya, ibu-ibu itu mengembangkan kesan mereka.

"Pantas aja berangasan, keluaran SMA situ. Itu kan tempat anak-anak buangan SMA negeri."

"Enggak kuliah, enggak kerja, nganggur aja berarti."

"Kayak gitu memang bisa lulus UMPTN?"

"Sekali beli rokok, bisa sampai berapa pak tuh. Bakar-bakar duit orang tuanya aja itu."

"Waktu sekolah mesti suka ikut tawuran."

"Mungkin orang tuanya dibentak-bentak juga kalau enggak kasih uang rokok."

"Pakaiannya kayak enggak pernah ganti. Kayaknya sih enggak pernah mandi juga."

Tak ayal, selintas demi selintas kasak-kusuk itu menyusup juga ke kuping Mama. Ia jadi gelisah saat beredar ke tempat-tempat yang biasanya, terutama warung dan arisan RT. Sekadar main untuk bersantai ke rumah ibu-ibu lainnya pun ia hentikan dahulu.

Lebih banyak berada di rumah, ditambah penampakan dan pembawaan Risky yang seperti membenarkan perkataan para ibu itu, serta kegiatannya yang lebih banyak melongo di depan televisi ketimbang merengut di meja belajar, membuat Mama geregetan. Sekali waktu Mama mematikan TV yang sedang ditonton Risky lalu mendorong bahu anak itu. Muntahlah segala unek-uneknya.

"Contoh tuh sepupu kamu, si Adin!" seru Mama keras-keras, seakan-akan biar terdengar sampai rumah yang di belakang itu. "Usianya lebih muda daripada kamu, tapi bisa santun, lebih menjaga sikap! Padahal ibunya udah enggak ada!"

"Lah, Mama masih hidup, ngapain aja?"

Kali ini, remote TV menghantam kepala Risky.

"Ngelawan lagi?! Kamu yang enggak ada rasa syukur Mama Papa masih hidup! Masih bertahan demi kamu! Enggak bisa banggain orang tua!"

Tangis Adek membuncah padahal bukan dia yang dimarahi. Semakin panjang Mama mengatai Risky, semakin kencang tangisan Adek, seperti mengira bahwa sedang terjadi perlombaan siapa yang dapat bersuara paling keras. Menyadari bahwa bentakannya tertandingi oleh tangisan Adek, Mama terhenti lalu membopong anak itu. Sembari duduk memangku si kecil di sofa, Mama menenangkan Adek walaupun sebenarnya lebih seperti menenangkan dirinya sendiri. "Besar nanti kamu jangan kayak Kakak, ya," dan beribu-ribu lagi harapan Mama kepada Adek.

Bagaimanapun juga, sore itu Risky tetap bertandang ke rumah Saladin seperti yang sudah dijadwalkan. Tapi, alih-alih mendengarkan penjelasan Saladin, pikiran Risky malah menguliti sepupunya ini.

Memang di rumah itu Saladin tinggal bersama dua kakak perempuannya saja, yang juga lebih tua daripada Risky. Kakak yang pertama sudah bekerja, sedang kakak yang kedua masih kuliah. Keduanya tidak kalah alimnya daripada Saladin, sama-sama berjilbab besar. Tanpa banyak pengawasan orang tua, Saladin tumbuh menjadi remaja yang baik-baik saja.

Ia menandai sampul atau halaman depan setiap bukunya dengan nama "Ad-Dien"-panggilan yang disenanginya sekaligus menunjukkan kecintaannya pada agama. Ia dengan sopan menolak rokok yang selalu terlebih dahulu ditawarkan Risky tiap kali ingin mengasap. Caranya menerangkan satu bab pelajaran kepada Risky seperti yang benar-benar menguasai seluruh konsep. Risky tidak ingat pernah sepaham itu sepanjang pengalamannya sebagai pelajar. Ia membaca buku pelajaran sekadar supaya bisa mengerjakan soal, tanpa ada dedikasi sebegitunya terhadap ilmu pengetahuan.

Semakin banyak yang Risky cermati dari Saladin, semakin benar rasanya perkataan Mama, semakin bertumbuh kehinaan dalam dirinya, dan semakin sulit berkonsentrasi pada pelajaran. Percuma!

Bahkan saat Risky menghentikan Saladin untuk rehat rokok, anak itu bukannya ikut mengendurkan pikiran melainkan beralih pada PR-nya dan dengan tekun mengerjakan.

"Sehari belajar berapa jam?" tegur Risky.

Saladin menjawab, "Ah, banyak enggak sempatnya. Soalnya, banyak kegiatan di luar, Kak. Biasanya pulang-pulang tinggal istirahat. Justru karena Kak Iki, saya jadi ada waktu belajar."

Risky tersengat. Anjing, belagu. Mendadak Risky kesulitan menempelkan kembali pangkal rokok ke lubang mulutnya.

Risky sendiri mengira jam belajarnya sudah menyamai jam kerja pegawai negeri--mencakup rehat rokok dan kopi--sekitar pukul sepuluh malam ketika orang-orang rumah mulai tidur sampai kira-kira pukul enam pagi saat mereka baru bangun. Yang terlihat oleh Mama kebanyakan hanya saat Risky menikmati istirahatnya.

Risky pun pernah memancing Saladin soal Shelly, yang disangkanya kembang kompleks sehingga pastilah setiap pemuda di perumahan itu mengenal gadis tersebut.

"Cherry?" Saladin bingung.

"Iya, Cherry atau Ceyi, apalah, si Adek nyebutnya gitu," Risky menahan malu.

Saladin termenung, lalu, "Adanya juga Shelly."

"Shelly?"

Saladin mengangguk. "Rumahnya yang di ujung RT 4."

Oh! Informasi yang berharga!

"Manis, ya?"

Saladin termenung lagi, lalu, "Udah lama enggak lihat."

"Banyak, ya, yang naksir?"

"Enggak tahu."

Sangsi, Risky melirik Saladin. "Gue kira lu aktif di Karang Taruna."

"Iya, Kak."

"Ada yang lebih cakep, enggak, di kompleks ini?"

"Mungkin ...."

Risky menatap Saladin curiga, lalu, "Oooh, lu mau 'fokus sama studi' dulu, ya," berbaik sangka.

Saladin tersenyum, mengangguk dan mengiyakan.

Tak menemukan petunjuk apa pun pada raut wajah Saladin selain pancaran ketulusan, Risky berpaling sembari mengebulkan asap rokoknya keras-keras. Beneran ada, ya, orang kayak gini.

Pertemuan demi pertemuan selanjutnya, keenekan Risky semakin bertumpuk. Terlepas dari soal pelajaran yang memang dibutuhkannya, Risky tidak bisa memercayai Saladin. Di balik senyum yang hampir senantiasa terpasang itu, entah kebusukan apa yang disembunyikannya. Meski Risky tidak ada bayangan sama sekali, pastinya ada. Anak ini hanya pandai menutup-nutupinya. Contohnya saja, baru-baru ini Mama menyuruh Risky mandi dan berganti pakaian. Tapi Risky tidak mengacuhkan. Daripada mandi, bila kegerahan, ia lebih suka bertelanjang dada dan memutar kipas angin. Daripada ganti baju, ia lebih suka mengoleskan Axe banyak-banyak. Ia tahu orang-orang menyisi saat ia lewat, sambil mengangkat tangan ke depan hidung saat dikiranya ia tidak melihat. Ia mendengar Teddy bangsat dan kawan-kawannya yang sama sialan itu mengatainya dari jauh, "Pengangguran bau coro!" Tapi ia bergeming, seakan-akan itulah senjatanya agar tidak diganggu orang. Cuma beberapa orang yang tidak mengungkit keengganannya kena air, sabun, dan pakaian bersih yang sudah diseterikakan Mama sambil misuh-misuh karena ia tidak kunjung mengerjakannya sendiri: Adek, karena hidungnya yang sering kali tersumbat oleh ingus; Papa, karena biasanya jarang berada di ruangan yang sama; Shelly, karena memang belum berjumpa lagi; dan Saladin, yang padahal duduk berdekatan dengan dia sedikitnya tiga kali seminggu selama minimal satu jam dan juga tidak ingusan, namun tidak pernah menampakkan ekspresi kebauan sekali pun. Karena itulah, Risky yakin, sesungguhnya anak itu tidak betul-betul lurus tapi bermuka dua! Jagoan dalam bertopeng, namun Risky tidak akan teperdaya oleh kelancungannya.

Tapi, hanya Risky yang berpikiran seperti itu. Bukan hanya Mama, melainkan ibu-ibu lainnya di kompleks itu juga terbutakan oleh pesona Saladin. Malah, suatu kali tertangkap oleh pendengaran Risky, "Padahal masih saudara, tapi kok bedanya jauh gitu, ya. Yang satu baik, cakep, alim, yang satunya lagi ..." bisa ditebak sendiri. Memang mentang-mentang ibunya sudah tiada, Saladin lantas memperlakukan ibu-ibu lainnya di kompleks itu bagai ibunya sendiri. Ia mengucap salam malah kadang mencium punggung tangan mereka saat berjumpa. Ia mengajak mereka membonceng motornya, mengantar ke mana pun tujuan mereka, saat kebetulan berpapasan di jalan. Semua ibu berandai-andai Saladin anak mereka, atau mungkin menantu, kalau ia sudah lebih besar nanti sembari yakin bahwa pemuda seperti itu akan memperoleh pekerjaan mapan. Saat mengetahui bahwa Saladin tidak punya pacar, mereka terkagum-kagum dan menambahkan bahwa pemuda ini paham artinya prioritas dan prestasi. Saat ada anak tetangga yang akan berangkat keluar negeri dalam rangka pertukaran pelajar, mereka memaklumi bahwa Saladin tidak mengikuti program tersebut karena kakak-kakaknya mungkin masih membutuhkan bantuannya sebagai satu-satunya lelaki di rumah dan betapa sedari belia ia sudah menyadari tanggung jawabnya dalam menjaga perempuan.

Oh, betapa memualkan!

Risky sendiri pastinya pernah terlihat sedang bergandengan tangan dengan adiknya ke warung atau mengawal anak itu bersepeda--dari jauh. Tapi tidak terdengar seorang pun memuja-muji dia sebagai kakak--laki-laki pula--yang rela ngemong adiknya, meringankan beban ibunya. Tidak ada. Malah mungkin yang mereka ketahui hanya Risky pernah menyerang anak kecil lalu mengancam ibu anak itu, tanpa hirau bahwa itu dilakukannya karena adiknya lah yang diganggu terlebih dahulu sampai berkali-kali. Saladin bak Arjuna, sedang Risky yang Rahwana. Sudah cukup. Mereka tidak tertarik untuk mengetahui lebih daripada itu.

Risky pun bertambah mangkel saja dalam setiap perjalanannya ke rumah Saladin yang hanya beberapa menit, belum lagi pertemuan yang bisa sampai beberapa jam. Entah karena semakin giat Risky belajar semakin banyak kesulitan yang ia temukan, atau karena emosi buruk yang kerap menguasainya, yang pasti, ia sendiri entah kenapa mulai berpikiran bahwa persoalannya dalam memahami pelajaran ini bukan karena Saladin yang tidak becus menerangkannya. Saladin pasti sudah berusaha dengan sebaik-baiknya, Saladin tidak mungkin salah; kalaupun ada kesalahan, Saladin pasti akan segera memperbaikinya; tak mungkin ada keburukan pada Saladin. Risky lah yang memang sesungguhnya benar-benar bodoh, bebal.

Pikiran ini meresahkan Risky seakan-akan pada akhirnya ia mengakui kemuliaan sepupunya ini. Huh, tidak, ya! Bahkan setelah Risky semakin sering meminta rehat--kegusarannya kentara dari bibirnya yang bergerak-gerak mengunyah pangkal rokok seakan-akan itu kepala Saladin yang sedang digerusnya--sang misan dengan perhatiannya yang tulus itu mulai menyertakan kata-kata mutiara yang niatnya untuk menggugah semangat, "Sabar, Kak. Yang sabar pasti akan beruntung!" sehingga Risky enggan datang ke pertemuan berikutnya, dan selanjutnya, dan seterusnya!

Saladin pun menyusul ke rumah Risky. Awalnya Risky berpura-pura sedang pusing, meriang, masuk angin, tidak enak badan, kena mata ikan, apalah, dan pada kesempatan yang lain ia malah sengaja bepergian sampai larut malam, dan pada kesempatan yang penghabisan sungguh ia muak akan dedikasi Saladin sebagai guru yang--bahkan entah dibayar orang tuanya atau tidak--sampai mengejar-ngejar si murid ke rumah itu.

"Udah lah," kata Risky akhirnya. "Gue enggak butuh lu lagi. Gue bisa belajar sendiri," ucapnya setegas dan setenang mungkin.

Saladin tertegun di teras rumah sepupunya itu. Namun memang ia pemuda berjiwa besar. Menanggapi keputusan Risky, ia tersenyum memaklumi. Malah ia terharu karena Risky telah dapat berdiri sendiri, tak perlu mengandalkan dia lagi. "Semoga sukses, Kak," ucap Saladin takzim sebelum undur diri.

Risky memandang pantat Saladin yang menjauh, membayangkan di lubangnya tertancap petasan menyala. Apalagi kalau petasannya sebesar roket, biar anak itu terlempar sekalian sampai angkasa. Kalau begitu skenarionya, termasuk gerak apakah itu? Terbayang olehnya suatu persamaan limit. Risky segera kembali ke kamar, tak sabar mencoret-coret kertas untuk menghitung seberapa cepat pemuda suci itu akan memelesat ke tempat asalnya di surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain