Risky sangat menikmati kamarnya yang
baru. Ruangannya lega. Setiap barangnya mendapat tempat. Ketika Mama
teriak-teriak memanggilnya dari lantai bawah, ia bisa pura-pura tidak dengar.
Dan, sekarang ia bisa mengembangkan hobi barunya yaitu menyanyi. Ia suka
belajar sambil menyalakan kaset atau radio, dan kadang-kadang terdorong untuk
ikut menyanyi. Tapi, ia tidak mau orang tuanya sampai dengar, dan itu sulit
sewaktu kamarnya masih di lantai bawah. Sering kali ia menyanyi tanpa suara,
dan itu pun hanya pada waktu-waktu ketika ia yakin semuanya sudah pada tidur
atau lagi pada keluar rumah.
Sekarang, di lantai dua, rasanya cukup
leluasa asal suaranya tidak keras-keras amat. Terlebih lagi, ia baru menyadari
bahwa menongkrong di atap itu menenteramkan. Sewaktu kamarnya masih di lantai
bawah, tidak pernah terpikir bila suntuk untuk sekali-kali naik dan menikmati
pemandangan dari genteng. Sekarang, ia tinggal jalan beberapa meter dari
kamarnya.
Ia paling suka merebahkan diri di
genteng, saat malam cerah, merangkai wajah penyanyi kecintaannya dari
kerlap-kerlap di langit sambil refleks menyanyikan lagu dengan nada memuja,
Malam-malam aku sendiri ...
Tanpa cintamu lagi ....
Howo ... wouwowo ....
Lalu ia termenung-menung mengingat-ingat
kelengkapan lirik lagu itu.
Jauh sudah langkahku
Menyusuri hidupku
Yang penuh tanda tanya ....
Bukannya sekali
Sering 'ku mencoba
Namun 'ku gagal lagi ....
Ia pun kembali ke kamar, duduk di depan
meja belajar, menarik laci, mengeluarkan selembar foto bonus dari tabloid, dan
mengusap wajah yang tercetak di sana dengan jempolnya, sembari tersenyum
lembut.
"Itu siapa, Kak?"
"HIH!"
Gangguan yang menetap paling-paling
Adek. Sementara Mama mulai kewalahan naik turun, Adek meloncati anak-anak
tangga bagai terbang. Maka Adek menjadi utusan Mama apabila ada perlu dengan
Risky. Yang lebih parah, Risky mesti rela menerima kasur lipat di kamarnya
kalau-kalau Adek mau menginap. Padahal kamarnya yang dulu kini sudah jadi milik
Adek seorang. Ragam coretan cabul dan bercak-bercak mencurigakan di dinding
telah ditutupi cat dan langsung ditimpa lagi oleh lukisan manusia gua kreasi
Adek. Ada spring bed tempat Adek bisa melonjak-lonjak
sepuasnya tanpa peduli peringatan bahwa kasurnya bisa jebol. Ada meja belajar
yang satu set dengan rak, lemari, dan laci, tempat menyimpan buku-buku
aktivitas milik Adek serta komik-komik yang dicolong dari Risky. Poster-poster
wanita seksi bonus tabloid dan majalah digantikan poster-poster Kesatria Baja
Hitam, Power Rangers, dan para jagoan Adek lainnya. Adek juga sekarang punya
lemari khusus untuk baju-bajunya sendiri—setelah sebelumnya bercampur di
mana-mana—walaupun isinya belum banyak. Yang terutama adalah Adek sekarang
sudah masuk TK 0 kecil serta TPQ di masjid dekat rumah. Temannya bertambah dan
ia mulai dibiasakan untuk tidur di kamar sendiri, meski sering kali ia masih
ingin dikeloni, terutama oleh Risky. Apalagi karena di kamar Risky sekarang ada
komputer keluaran terkini. Risky pun belajar untuk berdamai dengan keadaan.
"Kakak mau belajar. Adek jangan
ribut, ya," kata Risky berulang-ulang, walau tahu percuma saja. Adiknya
itu seperti keran bocor, yang mau dirapatkan berkali-kali pun tetap saja
memperdengarkan tetesan yang mengganggu dan adakalanya menyemburkan air tak
terkendali.
Katakanlah suasana lingkungan sudah agak
lebih mendukung. Tapi, itu belum cukup. Risky tahu ada yang perlu diubah juga
pada cara belajarnya. Ia berpikiran untuk membuat jadwal. Sebelumnya, ia
rambang dan semau-maunya saja. Bila ingin belajar Fisika, ia belajar Fisika.
Bila sedang malas dengan Kimia, ia tidak akan mempelajarinya sampai merasa
ingin, dan biasanya ia jarang ingin. Tidak heran bila ia sama sekali tidak
berkutik untuk bagian Kimia dan Biologi pada dua UMPTN lalu. Bagian IPA Terpadu
yang bisa dikerjakannya pun hanya beberapa soal.
Sekarang ia sudah menentukan akan
memilih Teknik Elektro dan Teknik Mesin. Sepertinya itu jurusan-jurusan yang
memerlukan keunggulan di bidang Fisika, yang memang paling Risky
suka—setidaknya dibandingkan dengan yang lain-lain. Tapi, dengan banyaknya
pesaing, ia harus dapat mencapai skor yang setinggi-tingginya secara
keseluruhan, tidak hanya mengandalkan Fisika. Jadi, ia mesti menyediakan lebih
banyak waktu untuk belajar yang lain-lainnya itu, terutama Kimia dan Biologi.
Hmmm ....
Minggu, Matematika. Kamis, Kimia. Rabu
dan Sabtu, Biologi, karena sama-sama ada huruf "b". Berarti Selasa
dan Jumat, Fisika, sedangkan Senin, karena tidak ada huruf "a", khusus
untuk mempelajari soal-soal IPA Terpadu. Risky menuliskannya di kertas dan
memutuskan untuk mencobanya. Untuk tiap-tiap hari, ia akan fokus pada pelajaran
yang telah ditentukan saja. Ah, kenapa ia tidak mencoba cara begini sewaktu
SMA?
Tujuh hari terpakai semua. Risky
mempertimbangkan bahwa semestinya ia meluangkan hari libur. Tapi, pertama, ia
harus belajar keras dengan memaksimalkan setahun lagi ini. Kedua, kalau sudah
suntuk, biasanya ia akan meliburkan diri dengan sendirinya, berhari-hari, malah
pernah sampai berminggu-minggu, berkali-kali—argh, itu tidak boleh terjadi
lagi! Kalau perlu beristirahat, cukup satu-dua hari saja, maksimal tiga hari,
dan tidak boleh beristirahat lagi sampai minimal seminggu setelahnya. Harus
disiplin! Ia menambahkan ketentuan tersebut di kertas.
Ketika hendak menempelkan kertas
tersebut pada dinding di atas meja belajar, terlintas bagaimana kalau
sewaktu-waktu orang tuanya masuk dan melihat ini? Maka Risky pun menempelkannya
di dasar laci, berdampingan dengan foto Nike Ardilla. Penempatan yang pas
karena kerap kali Risky ingin menengok wajah Sang Bintang Kehidupan. Sekarang,
Sang Bintang Kehidupan akan sekalian mengingatkannya agar bersungguh-sungguh
menggapai masa depan yang cerah.
Ada satu masalah lagi.
Risky memikirkan Saladin sambil menahan
enek, dan memutuskan untuk meniadakan opsi itu sama sekali. Ia lalu mengenang
pengalamannya di bimbel selama paruh terakhir masa SMA. Setelah dikeluarkan
dari SMA negeri, hanya dapat melanjutkan ke SMA swasta yang tidak begitu bonafide,
dan orang tuanya masih mengharapkan masa depan yang cerah untuk dia, Risky
dijebloskan ke bimbel dan kursus bahasa Inggris sepulang sekolah.
Selama seminggu, waktu siang atau petang
harusnya padat oleh pelajaran-pelajaran tambahan itu. Harusnya, karena nyatanya
ia lebih doyan keluyuran di jalan. Kursus bahasa Inggris sih lumayan, tapi
bimbel tetap saja menyesakkan bila mesti terkurung di kelas dengan latar suara
yang membosankan dan tidak leluasa mengakses hiburan. Kalaupun Risky memaksakan
hadir di bimbel, memang kadang-kadang ada materi yang masuk, tapi lebih banyak
yang tidak.
Ada banyak materi yang ingin ia tanyakan
sebetulnya. Tapi setelah beberapa kali mengacungkan jari, ia menyadari bahwa ia
hanya sedang mempertunjukkan kebodohannya di antara anak-anak lain. Walau
kelihatannya anak-anak itu acuh tak acuh, tapi kalau ia semakin sering
bertanya, lama-kelamaan mereka akan memerhatikannya juga dan diam-diam saling
berbisik geli.
"Ck, ck, ck, masak gitu aja enggak
ngerti?"
"Harus dijelasin sampai berapa kali?"
"Dari sekolah mana sih?"
Ada satu opsi yang belum pernah Risky
coba, yaitu memanggil guru privat ke rumah. Tapi, berapa biayanya? Bukankah di
awal Mama sudah memperingatkannya soal uang, dan Risky sendiri sesumbar akan
berhasil menembus UMPTN dengan usaha sendiri?
Mungkin ia memang harus sambil bekerja,
setidaknya untuk memperoleh sedikit uang untuk membayar guru privat, dan lesnya
sendiri biar dilakukan di tempat umum yang sepi—perpustakaan, taman,
manalah—jangan di rumah. Ah, seperti yang sedang bertransaksi obat terlarang
saja ....
Sabtu pagi, Risky bermotor mencari Pikiran
Rakyat. Setelah membeli satu eksemplar, ia duduk dekat-dekat situ lalu
meniti iklan baris satu per satu. Tapi, tiap kali menemukan lowongan kerja
untuk lulusan SMA, semangatnya malah mengendur. Mungkin belajar sendiri saja
cukup, toh masih ada satu tahun lagi. Ia cuma perlu memaksimalkan kesempatan
itu.
Tapi, memang ada materi yang benar-benar
sulit dimengerti, mau dibaca dan dipikirkan berapa kali juga, dari buku
pelajaran terbitan mana pun.
Ia membuka koran sekali lagi, tapi
pikirannya tidak dapat berkonsentrasi. Ia menghampiri gerobak bubur ayam dekat
situ, makan, berputar-putar, sampai udara mulai panas, baru kembali ke rumah.
Menuju tangga, Risky melewati meja
makan. Mama dan Papa sedang duduk. Mama menekuri koran dan, ketika melihat
Risky, menyuruhnya mendekat. Risky terkejut mendapati koran Mama sama dengan
yang baru ia beli, yang kini tersembunyi dalam tasnya.
"Kamu yang sulit pelajaran
apa?" tanya Mama.
Risky mengamati kolom-kolom yang telah
dilingkari Mama dengan Stabilo merah. Isinya menawarkan jasa les privat
pelajaran sekolah.
"Enggak usah. Aku bisa belajar
sendiri!" Risky menjauh.
"Iki!" panggil Papa.
"Cobalah dulu!"
Namun Risky telanjur menaiki tangga. Di
kamar ia membuka lagi korannya, mengambil Stabilo biru, dan mulai menandai
setiap lowongan untuk lulusan SMA. Kemudian ia menilik lagi setiap lowongan
yang telah ditandainya, mengambil Stabilo kuning, dan membubuhkan tanda baru
untuk pekerjaan yang kelihatannya lumayan. Sebenarnya tidak ada yang
betul-betul menarik buat dia. Tapi ia mengingat Lupus, yang masih SMA sudah
punya pekerjaan sambilan. Yah, papanya kan sudah meninggal. Selain itu, Lupus
juga tampaknya gampang-gampang saja memikat cewek. Sudah punya Poppy—yang
pastinya atraktif—masih juga ngelaba. Tapi Risky bukan Lupus! Ia
mengangkat tangan, hampir saja menutup lagi koran itu dan mencampakkannya.
Tapi, ia meneruskan.
Lalu ia menulis beberapa surat lamaran
kerja, mencontoh yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Ia
benar-benar mengirimkan semua surat itu, dan hari-hari selanjutnya pun menjadi
penantian yang menggelisahkan. Dari pagi sampai sore, ia bertahan di laantai
bawah. Kalau-kalau ada telepon untuk dia, menanggapi lamarannya, orang tuanya
tidak boleh tahu. Ia menghabiskan waktu di depan TV sambil mengerjakan buku
soal. Kadang ia bermain dengan Adek, menemani anak itu tidur siang di kamarnya
yang dulu, lalu terbangun gelagapan oleh dering telepon dan memelesat ke ruang
tengah.
Sekali ia mendapat panggilan wawancara.
Begitu tiba di kantor yang dimaksudkan, ia bertemu banyak penanggap lainnya
yang sama-sama menanti. Ia duduk di antara mereka, dan setelah beberapa lama
mendapati bahwa beberapa orang mencuri tatap ke arahnya, seakan-akan berpikiran
bahwa anak seperti dia lebih cocok duduk nyaman di balik meja kasir toko emas
milik orang tuanya di kawasan Cibadak. Padahal orang tua Risky tidak punya toko
emas, dan mereka pun tidak tinggal di kawasan Cibadak. Ia butuh pekerjaan ini
sekadar untuk membayar les privat, bukan karena orang tuanya tidak mampu
menafkahi atau malah beban tulang punggung keluarga telah terlimpahkan padanya,
sebagaimana sebagian penanggap yang lain. Biar begitu, ia tetap berhak mencari
pekerjaan dan tidak mengatakan motifnya kepada bapak-bapak pewawancara. Setelah
berpayah-payah mengarang jawaban untuk setiap pertanyaan, ganti ia menanyakan
apakah pekerjaannya bisa paruh waktu saja?
Pada kesempatan yang lain, ketika hendak
menyerahkan surat lamaran ke satpam, Risky langsung disuruh menghadap pemilik
usaha untuk diwawancarai. Tapi, setelah dipersilakan masuk ke dalam bangunan
dan melihat keadaan tempat kerjanya ... ia tidak berselera lagi dan berusaha
sesopan mungkin mengundurkan diri.
Sabtu kembali tiba. Risky kembali
berkendara pagi-pagi mencari koran. Ia menemukan beberapa lowongan pekerjaan
yang sama, yang sudah dilamarnya, masih diiklankan. Ia merasa kecut dan tak
pasti.
Tidak ada panggilan lagi.
Ah, lagi pula ia tidak ingin benar-benar
melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, di tempat-tempat seperti itu. Ia hanya ingin
duduk di meja belajarnya, membaca buku pelajaran atau mengerjakan soal sampai
menguasai semua materi, sehingga berjaya di UMPTN berikutnya, lalu menjalani
tahun-tahun yang bergengsi di ITB, dan begitu lulus langsung mendapatkan
tawaran kerja dari mana-mana, apalagi yang punya nama-nama besar.
Tapi, untuk bisa mencapai semua itu, ia
mandek di tahap "menguasai semua materi". Ia butuh bantuan, tapi tak
mau mengandalkan orang tuanya terus. Biarpun mereka mampu, entahlah, gengsi.
Untuk beberapa lama, Risky hanya dapat memikirkannya. Ia masih membolak-balik
halaman iklan lowongan kerja, tapi cuma melihat-lihat tanpa tergerak untuk
menulis surat lamaran lagi. Panggilan telepon yang datang tidak pernah untuk
dia lagi, dan berangsur-angsur ia pun malas menantikannya bahkan pura-pura
tidak mendengar saat Mama berteriak menyuruh ia mengangkat yang masuk.
Sabtu kembali tiba, dan Risky memilih
untuk tidur saja ketimbang menembus kabut di jalanan demi berburu satu
eksemplar koran. Hari-hari berlangsung seperti biasa, sebagaimana pada setahun
sebelumnya. Hanya kali ini sesekali Risky disuruh Mama mengantarkan Adek ke TK
yang jaraknya memang agak jauh sehingga perlu pakai motor.
Hingga suatu hari Mama menanyai Risky
yang lagi menonton TV sambil tiduran di sofa. "Kamu enggak ke mana-mana
kan hari ini?"
"Enggak," sahut Risky malas.
"Jangan ke mana-mana, ya, nanti
sore."
"Kenapa?" Risky malah jadi
ingin ke mana-mana nanti sore.
"Mama udah panggil guru."
"Enggak perlu, Ma!" Risky
mengerang.
"Eh, coba ketemu dulu! Awas lo, ya, jangan ke mana-mana!" pungkas Mama sambil berlalu, tak mau mendengar penolakan lebih lanjut.
Risky berdecak. Tapi, mau bagaimana lagi? Pucuk dicinta, ulam pun tiba.