Jumat, 20 Agustus 2021

16. KEGALAUAN

Risky sangat menikmati kamarnya yang baru. Ruangannya lega. Setiap barangnya mendapat tempat. Ketika Mama teriak-teriak memanggilnya dari lantai bawah, ia bisa pura-pura tidak dengar. Dan, sekarang ia bisa mengembangkan hobi barunya yaitu menyanyi. Ia suka belajar sambil menyalakan kaset atau radio, dan kadang-kadang terdorong untuk ikut menyanyi. Tapi, ia tidak mau orang tuanya sampai dengar, dan itu sulit sewaktu kamarnya masih di lantai bawah. Sering kali ia menyanyi tanpa suara, dan itu pun hanya pada waktu-waktu ketika ia yakin semuanya sudah pada tidur atau lagi pada keluar rumah.

Sekarang, di lantai dua, rasanya cukup leluasa asal suaranya tidak keras-keras amat. Terlebih lagi, ia baru menyadari bahwa menongkrong di atap itu menenteramkan. Sewaktu kamarnya masih di lantai bawah, tidak pernah terpikir bila suntuk untuk sekali-kali naik dan menikmati pemandangan dari genteng. Sekarang, ia tinggal jalan beberapa meter dari kamarnya.

Ia paling suka merebahkan diri di genteng, saat malam cerah, merangkai wajah penyanyi kecintaannya dari kerlap-kerlap di langit sambil refleks menyanyikan lagu dengan nada memuja,

Malam-malam aku sendiri ...

Tanpa cintamu lagi ....

Howo ... wouwowo ....

Lalu ia termenung-menung mengingat-ingat kelengkapan lirik lagu itu.

Jauh sudah langkahku

Menyusuri hidupku

Yang penuh tanda tanya ....

Bukannya sekali

Sering 'ku mencoba

Namun 'ku gagal lagi ....

Ia pun kembali ke kamar, duduk di depan meja belajar, menarik laci, mengeluarkan selembar foto bonus dari tabloid, dan mengusap wajah yang tercetak di sana dengan jempolnya, sembari tersenyum lembut.

"Itu siapa, Kak?"

"HIH!"

Gangguan yang menetap paling-paling Adek. Sementara Mama mulai kewalahan naik turun, Adek meloncati anak-anak tangga bagai terbang. Maka Adek menjadi utusan Mama apabila ada perlu dengan Risky. Yang lebih parah, Risky mesti rela menerima kasur lipat di kamarnya kalau-kalau Adek mau menginap. Padahal kamarnya yang dulu kini sudah jadi milik Adek seorang. Ragam coretan cabul dan bercak-bercak mencurigakan di dinding telah ditutupi cat dan langsung ditimpa lagi oleh lukisan manusia gua kreasi Adek. Ada spring bed tempat Adek bisa melonjak-lonjak sepuasnya tanpa peduli peringatan bahwa kasurnya bisa jebol. Ada meja belajar yang satu set dengan rak, lemari, dan laci, tempat menyimpan buku-buku aktivitas milik Adek serta komik-komik yang dicolong dari Risky. Poster-poster wanita seksi bonus tabloid dan majalah digantikan poster-poster Kesatria Baja Hitam, Power Rangers, dan para jagoan Adek lainnya. Adek juga sekarang punya lemari khusus untuk baju-bajunya sendiri—setelah sebelumnya bercampur di mana-mana—walaupun isinya belum banyak. Yang terutama adalah Adek sekarang sudah masuk TK 0 kecil serta TPQ di masjid dekat rumah. Temannya bertambah dan ia mulai dibiasakan untuk tidur di kamar sendiri, meski sering kali ia masih ingin dikeloni, terutama oleh Risky. Apalagi karena di kamar Risky sekarang ada komputer keluaran terkini. Risky pun belajar untuk berdamai dengan keadaan.

"Kakak mau belajar. Adek jangan ribut, ya," kata Risky berulang-ulang, walau tahu percuma saja. Adiknya itu seperti keran bocor, yang mau dirapatkan berkali-kali pun tetap saja memperdengarkan tetesan yang mengganggu dan adakalanya menyemburkan air tak terkendali.

Katakanlah suasana lingkungan sudah agak lebih mendukung. Tapi, itu belum cukup. Risky tahu ada yang perlu diubah juga pada cara belajarnya. Ia berpikiran untuk membuat jadwal. Sebelumnya, ia rambang dan semau-maunya saja. Bila ingin belajar Fisika, ia belajar Fisika. Bila sedang malas dengan Kimia, ia tidak akan mempelajarinya sampai merasa ingin, dan biasanya ia jarang ingin. Tidak heran bila ia sama sekali tidak berkutik untuk bagian Kimia dan Biologi pada dua UMPTN lalu. Bagian IPA Terpadu yang bisa dikerjakannya pun hanya beberapa soal.

Sekarang ia sudah menentukan akan memilih Teknik Elektro dan Teknik Mesin. Sepertinya itu jurusan-jurusan yang memerlukan keunggulan di bidang Fisika, yang memang paling Risky suka—setidaknya dibandingkan dengan yang lain-lain. Tapi, dengan banyaknya pesaing, ia harus dapat mencapai skor yang setinggi-tingginya secara keseluruhan, tidak hanya mengandalkan Fisika. Jadi, ia mesti menyediakan lebih banyak waktu untuk belajar yang lain-lainnya itu, terutama Kimia dan Biologi.

Hmmm ....

Minggu, Matematika. Kamis, Kimia. Rabu dan Sabtu, Biologi, karena sama-sama ada huruf "b". Berarti Selasa dan Jumat, Fisika, sedangkan Senin, karena tidak ada huruf "a", khusus untuk mempelajari soal-soal IPA Terpadu. Risky menuliskannya di kertas dan memutuskan untuk mencobanya. Untuk tiap-tiap hari, ia akan fokus pada pelajaran yang telah ditentukan saja. Ah, kenapa ia tidak mencoba cara begini sewaktu SMA?

Tujuh hari terpakai semua. Risky mempertimbangkan bahwa semestinya ia meluangkan hari libur. Tapi, pertama, ia harus belajar keras dengan memaksimalkan setahun lagi ini. Kedua, kalau sudah suntuk, biasanya ia akan meliburkan diri dengan sendirinya, berhari-hari, malah pernah sampai berminggu-minggu, berkali-kali—argh, itu tidak boleh terjadi lagi! Kalau perlu beristirahat, cukup satu-dua hari saja, maksimal tiga hari, dan tidak boleh beristirahat lagi sampai minimal seminggu setelahnya. Harus disiplin! Ia menambahkan ketentuan tersebut di kertas.

Ketika hendak menempelkan kertas tersebut pada dinding di atas meja belajar, terlintas bagaimana kalau sewaktu-waktu orang tuanya masuk dan melihat ini? Maka Risky pun menempelkannya di dasar laci, berdampingan dengan foto Nike Ardilla. Penempatan yang pas karena kerap kali Risky ingin menengok wajah Sang Bintang Kehidupan. Sekarang, Sang Bintang Kehidupan akan sekalian mengingatkannya agar bersungguh-sungguh menggapai masa depan yang cerah.

Ada satu masalah lagi.

Risky memikirkan Saladin sambil menahan enek, dan memutuskan untuk meniadakan opsi itu sama sekali. Ia lalu mengenang pengalamannya di bimbel selama paruh terakhir masa SMA. Setelah dikeluarkan dari SMA negeri, hanya dapat melanjutkan ke SMA swasta yang tidak begitu bonafide, dan orang tuanya masih mengharapkan masa depan yang cerah untuk dia, Risky dijebloskan ke bimbel dan kursus bahasa Inggris sepulang sekolah.

Selama seminggu, waktu siang atau petang harusnya padat oleh pelajaran-pelajaran tambahan itu. Harusnya, karena nyatanya ia lebih doyan keluyuran di jalan. Kursus bahasa Inggris sih lumayan, tapi bimbel tetap saja menyesakkan bila mesti terkurung di kelas dengan latar suara yang membosankan dan tidak leluasa mengakses hiburan. Kalaupun Risky memaksakan hadir di bimbel, memang kadang-kadang ada materi yang masuk, tapi lebih banyak yang tidak.

Ada banyak materi yang ingin ia tanyakan sebetulnya. Tapi setelah beberapa kali mengacungkan jari, ia menyadari bahwa ia hanya sedang mempertunjukkan kebodohannya di antara anak-anak lain. Walau kelihatannya anak-anak itu acuh tak acuh, tapi kalau ia semakin sering bertanya, lama-kelamaan mereka akan memerhatikannya juga dan diam-diam saling berbisik geli.

"Ck, ck, ck, masak gitu aja enggak ngerti?"

"Harus dijelasin sampai berapa kali?"

"Dari sekolah mana sih?"

Ada satu opsi yang belum pernah Risky coba, yaitu memanggil guru privat ke rumah. Tapi, berapa biayanya? Bukankah di awal Mama sudah memperingatkannya soal uang, dan Risky sendiri sesumbar akan berhasil menembus UMPTN dengan usaha sendiri?

Mungkin ia memang harus sambil bekerja, setidaknya untuk memperoleh sedikit uang untuk membayar guru privat, dan lesnya sendiri biar dilakukan di tempat umum yang sepi—perpustakaan, taman, manalah—jangan di rumah. Ah, seperti yang sedang bertransaksi obat terlarang saja ....

Sabtu pagi, Risky bermotor mencari Pikiran Rakyat. Setelah membeli satu eksemplar, ia duduk dekat-dekat situ lalu meniti iklan baris satu per satu. Tapi, tiap kali menemukan lowongan kerja untuk lulusan SMA, semangatnya malah mengendur. Mungkin belajar sendiri saja cukup, toh masih ada satu tahun lagi. Ia cuma perlu memaksimalkan kesempatan itu.

Tapi, memang ada materi yang benar-benar sulit dimengerti, mau dibaca dan dipikirkan berapa kali juga, dari buku pelajaran terbitan mana pun.

Ia membuka koran sekali lagi, tapi pikirannya tidak dapat berkonsentrasi. Ia menghampiri gerobak bubur ayam dekat situ, makan, berputar-putar, sampai udara mulai panas, baru kembali ke rumah.

Menuju tangga, Risky melewati meja makan. Mama dan Papa sedang duduk. Mama menekuri koran dan, ketika melihat Risky, menyuruhnya mendekat. Risky terkejut mendapati koran Mama sama dengan yang baru ia beli, yang kini tersembunyi dalam tasnya.

"Kamu yang sulit pelajaran apa?" tanya Mama.

Risky mengamati kolom-kolom yang telah dilingkari Mama dengan Stabilo merah. Isinya menawarkan jasa les privat pelajaran sekolah.

"Enggak usah. Aku bisa belajar sendiri!" Risky menjauh.

"Iki!" panggil Papa. "Cobalah dulu!"

Namun Risky telanjur menaiki tangga. Di kamar ia membuka lagi korannya, mengambil Stabilo biru, dan mulai menandai setiap lowongan untuk lulusan SMA. Kemudian ia menilik lagi setiap lowongan yang telah ditandainya, mengambil Stabilo kuning, dan membubuhkan tanda baru untuk pekerjaan yang kelihatannya lumayan. Sebenarnya tidak ada yang betul-betul menarik buat dia. Tapi ia mengingat Lupus, yang masih SMA sudah punya pekerjaan sambilan. Yah, papanya kan sudah meninggal. Selain itu, Lupus juga tampaknya gampang-gampang saja memikat cewek. Sudah punya Poppy—yang pastinya atraktif—masih juga ngelaba. Tapi Risky bukan Lupus! Ia mengangkat tangan, hampir saja menutup lagi koran itu dan mencampakkannya. Tapi, ia meneruskan.

Lalu ia menulis beberapa surat lamaran kerja, mencontoh yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Ia benar-benar mengirimkan semua surat itu, dan hari-hari selanjutnya pun menjadi penantian yang menggelisahkan. Dari pagi sampai sore, ia bertahan di laantai bawah. Kalau-kalau ada telepon untuk dia, menanggapi lamarannya, orang tuanya tidak boleh tahu. Ia menghabiskan waktu di depan TV sambil mengerjakan buku soal. Kadang ia bermain dengan Adek, menemani anak itu tidur siang di kamarnya yang dulu, lalu terbangun gelagapan oleh dering telepon dan memelesat ke ruang tengah.

Sekali ia mendapat panggilan wawancara. Begitu tiba di kantor yang dimaksudkan, ia bertemu banyak penanggap lainnya yang sama-sama menanti. Ia duduk di antara mereka, dan setelah beberapa lama mendapati bahwa beberapa orang mencuri tatap ke arahnya, seakan-akan berpikiran bahwa anak seperti dia lebih cocok duduk nyaman di balik meja kasir toko emas milik orang tuanya di kawasan Cibadak. Padahal orang tua Risky tidak punya toko emas, dan mereka pun tidak tinggal di kawasan Cibadak. Ia butuh pekerjaan ini sekadar untuk membayar les privat, bukan karena orang tuanya tidak mampu menafkahi atau malah beban tulang punggung keluarga telah terlimpahkan padanya, sebagaimana sebagian penanggap yang lain. Biar begitu, ia tetap berhak mencari pekerjaan dan tidak mengatakan motifnya kepada bapak-bapak pewawancara. Setelah berpayah-payah mengarang jawaban untuk setiap pertanyaan, ganti ia menanyakan apakah pekerjaannya bisa paruh waktu saja?

Pada kesempatan yang lain, ketika hendak menyerahkan surat lamaran ke satpam, Risky langsung disuruh menghadap pemilik usaha untuk diwawancarai. Tapi, setelah dipersilakan masuk ke dalam bangunan dan melihat keadaan tempat kerjanya ... ia tidak berselera lagi dan berusaha sesopan mungkin mengundurkan diri.

Sabtu kembali tiba. Risky kembali berkendara pagi-pagi mencari koran. Ia menemukan beberapa lowongan pekerjaan yang sama, yang sudah dilamarnya, masih diiklankan. Ia merasa kecut dan tak pasti.

Tidak ada panggilan lagi.

Ah, lagi pula ia tidak ingin benar-benar melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, di tempat-tempat seperti itu. Ia hanya ingin duduk di meja belajarnya, membaca buku pelajaran atau mengerjakan soal sampai menguasai semua materi, sehingga berjaya di UMPTN berikutnya, lalu menjalani tahun-tahun yang bergengsi di ITB, dan begitu lulus langsung mendapatkan tawaran kerja dari mana-mana, apalagi yang punya nama-nama besar.

Tapi, untuk bisa mencapai semua itu, ia mandek di tahap "menguasai semua materi". Ia butuh bantuan, tapi tak mau mengandalkan orang tuanya terus. Biarpun mereka mampu, entahlah, gengsi. Untuk beberapa lama, Risky hanya dapat memikirkannya. Ia masih membolak-balik halaman iklan lowongan kerja, tapi cuma melihat-lihat tanpa tergerak untuk menulis surat lamaran lagi. Panggilan telepon yang datang tidak pernah untuk dia lagi, dan berangsur-angsur ia pun malas menantikannya bahkan pura-pura tidak mendengar saat Mama berteriak menyuruh ia mengangkat yang masuk.

Sabtu kembali tiba, dan Risky memilih untuk tidur saja ketimbang menembus kabut di jalanan demi berburu satu eksemplar koran. Hari-hari berlangsung seperti biasa, sebagaimana pada setahun sebelumnya. Hanya kali ini sesekali Risky disuruh Mama mengantarkan Adek ke TK yang jaraknya memang agak jauh sehingga perlu pakai motor.

Hingga suatu hari Mama menanyai Risky yang lagi menonton TV sambil tiduran di sofa. "Kamu enggak ke mana-mana kan hari ini?"

"Enggak," sahut Risky malas.

"Jangan ke mana-mana, ya, nanti sore."

"Kenapa?" Risky malah jadi ingin ke mana-mana nanti sore.

"Mama udah panggil guru."

"Enggak perlu, Ma!" Risky mengerang.

"Eh, coba ketemu dulu! Awas lo, ya, jangan ke mana-mana!" pungkas Mama sambil berlalu, tak mau mendengar penolakan lebih lanjut.

Risky berdecak. Tapi, mau bagaimana lagi? Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Sabtu, 07 Agustus 2021

15. REMBUKAN

Risky terjaga semalaman. Mendekati subuh, ia semakin gelisah. Keluarganya tidak berlangganan koran sehingga di puncak kegelisahannya itu, saat pagi masih buta, ia memacu motor keluar kompleks dan berkeliling jalanan. Pulang-pulang, ia membawa satu eksemplar Pikiran Rakyat dan segera saja mencari kartu ujiannya. Ia duduk di tempat tidur.

Mana mana mana mana ....

Matanya memelototi deretan angka dan nama, menyapu ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah. Sekujur tubuhnya menegang sebelum terempas lemas ke kasur.

Cat kamarnya masih tajam menusuk penciuman. Kasurnya pun kini busa, lebih empuk daripada kapuk. Ia menguatkan diri untuk kembali duduk. Tatapannya mengitari seantero ruangan, mulai dari perabot lama pindahan dari lantai bawah--tempat tidur, nakas, meja belajar, karpet, lemari pakaian, bufet, TV 14 inci, berikut alat-alat permainannya--sampai yang baru dibuat atau dibeli--lebih banyak lemari dengan rak-rak serta seperangkat komputer lengkap dengan mejanya. Mama menegur Papa waktu itu, di pusat perbelanjaan setelah Risky dipersilakan memilih tipe komputer yang diminatinya, "Sekarang belum perlu. Nanti saja kalau sudah masuk ITB!" Namun Papa diam saja, membiarkan nota ditulis untuk lalu dibawa ke kasir. Risky juga diam, tidak membela Papa ataupun membantah Mama, meski siapa sih yang tidak senang dibelikan komputer sendiri? Di samping itu, Papa juga membeli motor walaupun--sementara Risky belum mendapat kampus yang dituju--pemilikannya tidak jelas karena lebih sering digunakan Mama ke pasar yang pastinya lebih lengkap daripada warung langganan. Memang motornya bukan jenis laki seperti yang diidamkan Risky, hanya motor bebek kebanyakan. Tetap saja ....

Saat tatapannya tidak sengaja bertemu tatapan Papa, seketika itu juga Risky menyadari kepercayaan yang telah diberikan padanya. Malah, bukan lagi percaya, melainkan yakin!

Tapi, rupanya keyakinan itu masih terlalu besar untuk ia sandang.

Risky menepisnya.

"Kakaaak!" teriakan dari lantai bawah semain kencang. Tahu-tahu saja kepala Adek menongol di pintu. "Dipanggiiil ...!" Adek berteriak keras-keras di kuping Risky, yang hampir-hampir tidak bereaksi.

Lesu, Risky menyeret lembaran koran berikut secarik kartu ujiannya, menyusul Adek yang tidak mau didahului ke lantai bawah.

"Gimana?" tegur Mama begitu melihat Risky menuruni tangga yang langsung memasuki ruang makan. Sarapan telah tersaji di meja makan, dan Papa duduk di salah satu sisinya. Memang senang memiliki kamar baru berikut perabot-perabot baru, tapi Risky juga mesti mengikuti kebiasaan yang baru-baru ini dimulai yaitu makan bersama-sama keluarga di meja makan. Papa seperti tidak mau rugi sekarang punya meja makan besar yang kokoh, sehingga hendak memfungsikannya secara optimal--lebih daripada sekadar tempat menghidangkan masakan--minimal sehari sekali.

Risky mengambil posisi yang paling jauh dan tidak berhadapan langsung dengan Papa di meja makan. Ia meletakkan bawaannya di meja, dan mengumumkan keputusannya, "Aku mau coba lagi tahun depan."

Mama buru-buru mengambil kacamata baca, duduk di dekat Risky, dan mengambil koran serta mengangkat kartu ujian, mulai mencocok-cocokkan.

"Sambil mempersiapkan, apa lagi rencana kamu, Ki?" tanya Papa berhati-hati.

"Tahu gini kan mending dulu itu kamu nyambi kuliah di tempat lain, atau kerja kek!" Mama hampir membanting lembaran-lembaran kertas itu ke meja.

"Kalau nyambi, aku enggak akan punya waktu belajar," sahut Risky.

"Ya, itu pinter-pinternya kamu bagi waktu!" sergah Mama.

"Cari kuliah atau kerjaan yang nyambung sama jurusan pilihan kamu, Ki," tambah Papa.

Risky terdiam, memalingkan wajah dari kedua orang tuanya.

"Pertimbangkan aja dulu," lanjut Papa, sedang Mama kembali menyibak koran, menyoroti iklan-iklan kampus swasta. Mama membacakan iklan-iklan yang menurutnya boleh juga, namun malah menjadi jampi-jampi yang menolak Risky dan menguncinya dalam kamar.

Seharian itu, Risky termangu. Sebentar ia duduk di meja belajar, lalu berkeliling kamar, kemudian rebah di kasur. Sore ia tidak betah berpusar terus dalam kamar, sehingga menyalakan motor dan ganti berputar-putar kota, tepatnya melewati kampus-kampus swasta, mulai dari yang paling dekat sampai yang paling jauh. Kampus swasta jumlahnya berkali lipat kampus negeri, dan Risky hanya mendatangi beberapa yang ternama. Awalnya ia sekadar lewat, melaju tak tentu arah, sebelum memutuskan untuk mencari tempat parkir, lalu masuk berjalan kaki menyaru sebagai mahasiswa yang ketinggalan catatan kuliah, sambil berharap tidak ada yang bakal memerhatikannya sama sekali.

Dengan terbatasnya kursi di PTN, kuliah di PTS adalah alternatif yang masuk akal dan sama sekali tidak memalukan. Memang biayanya tidak semurah PTN, tapi untuk yang sekelas Risky--orang tuanya--masihlah terjangkau. Setelah kini ganti berputar-putar di kampus swasta--beberapa kampus swasta--Risky menerima sisi terang dari alternatif ini.

Papa menunggu beberapa hari sebelum kembali mengangkat topik ini di meja makan. "Gimana keputusanmu, Ki?"

Jawabnya, "Aku mau belajar satu tahun lagi."

Mama memelototi Risky. "Memangnya kamu enggak bisa bagi waktu, Ki? Nanti juga kalau sudah kuliah atau kerja, pasti dituntut untuk bisa bagi waktu--"

"Kalau setelah yang ketiga kali masih ..." Risky menimbang kata mana yang lebih tepat, "belum berhasil juga," amit-amit, "aku janji pasti masuk swasta sambil kerja. Kuliahnya aku bayar sendiri," tandas Risky, berusaha terlihat dan terdengar sepenuh tekad.

"Memangnya kamu di rumah mau ngapain aja? Masak belajar melulu? Kalau kamu enggak bisa bagi waktu antara belajar dengan nonton teve, main komputer, ya, sama saja! Mending waktunya untuk kegiatan yang benar-benar produktif!"

"Aku masih harus ngejar banyak," Risky membeberkan.

"Hah, alasan saja! Yang lain cuma perlu tiga tahun. Kamu harus berhenti membuang-buang waktu."

"Sudah, Ma," tukas Papa, membatalkan hasrat Risky untuk membalik meja saat itu juga.

"Papa enggak pernah lihat sendiri. Anak ini kalau di rumah sudah kebanyakan nonton teve. Sekarang dikasih fasilitas macam-macam, makin banyak mainnya nanti. Bukannya bantu-bantu orang tua--"

"Mama mau pembantu lagi?" sela Papa.

"Ah, sudahlah! Semua bisa aku kerjakan sendiri!" meski nadanya sarkastis.

Di seberang meja, Risky memalingkan tatapan dari kedua orang tuanya, sembari berusaha mengendalikan napasnya yang mulai menggebu. Sementara Adek sudah belajar untuk tidak menangis saat ada suara-suara bernada sengit, tapi kini memanfaatkan kesempatan untuk kabur dari meja makan dan lanjut menonton televisi baru 29 inci.

"Biar dia belajar mengambil keputusannya sendiri," tegas Papa, lalu berpaling pada Risky. "Papa pegang kata-katamu. Mama juga. Dan nanti kamu sendiri yang mempertanggungjawabkannya!"

Risky tak memandang dan tak menyahut, matanya tersaput oleh ketidakpastian sedang tenggorokannya tersumbat oleh kegentaran. Ia membeku.

"Ya sudahlah, memang kamu sudah besar!" ujar Mama, "Sudah waktunya mengurus diri sendiri!" meski nadanya menyiratkan bahwa antara "mandiri" dan "egois" boleh jadi beda tipis.

Risky keluar dari pertempuran itu, menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah tegap tapi hatinya lunglai. Ia menutup pintu kamar lalu duduk di tepi tempat tidur.

Kuliah di kampus swasta, oke saja. Membayarnya sendiri dengan biaya hasil kerja sambilan? Risky merebahkan diri berbantalkan kedua lengannya. Kenapa tidak? Ada orang-orang yang melakukannya. Banyak kenalannya dari SMA yang kedua seperti itu. Papa seperti itu, begitulah ceritanya dahulu.

Tapi ....

Tidak bisakah ia sekadar kuliah di ITB saja dan segala penderitaan akan berakhir???

Ketukan pelan mengagetkan Risky, padahal biasanya gedoran Mama atau teriakan Adek tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Risky membukakan pintu dan mendapati Papa.

Risky duduk lagi, tapi kali ini di kursi belajar, dengan kepala agak tertekuk mengawasi Papa yang mengedarkan pandang ke seantero kamarnya, bak pejabat lagi sidak sedang ia cuma pegawai rendahan yang berdebar-debar.

Dibandingkan dengan kamarnya yang dahulu, keadaan kamarnya yang sekarang tertata rapi. Setiap barang mendapat tempat di dalam lemari, bufet, atau meja. Papa menatap agak lama pada koleksi robot-robotan yang terpajang di rak paling atas salah satu lemari, terlindung oleh dinding kaca; yang kecil di belakang, yang lebih kecil di depan. Baru setelah itu, Papa duduk di tepi tempat tidur.

Papa bertanya, "Waktu UMPTN kamu pilih jurusan apa aja, Ki?"

Risky menjawab bahwa pertama-tama ia mengambil jurusan yang sama dengan Papa dahulu. Pikirnya (yang tentu saja tidak diutarakan kepada Papa), seperti kata peribahasa "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya", kemungkinan ia mewarisi bakat Papa yang diperlukan agar dapat masuk, bertahan, dan akhirnya sukses berkarier di bidang tersebut. Setidaknya Papa dapat bekerja di lembaga pemerintahan dan pernah memperoleh beasiswa di luar negeri. Itu sudah standar yang bagus bila Risky dapat turut menjangkaunya.

Untuk pilihan jurusan yang kedua pada UMPTN yang pertama, Risky pun hanya mengekor Mama meski untuk itu ia mesti ambil jalur IPC. Bukannya Risky ada minat pada ilmu sosial. Walau kini cuma sibuk mondar-mandir sambil mengomel di rumah, sebelumnya Mama sempat bekerja di tempat yang megah. Gajinya pun lumayan--setidaknya dapat melimpahi Risky dengan aneka permintaan kecilnya. Tapi, jangankan untuk pilihan yang kedua, untuk pilihan yang pertama saja ia hampir-hampir tidak mempersiapkan. Dikiranya alam semesta akan begitu saja menurunkan takdir yang sama dengan orang tuanya. Ternyata tidak.

Untuk UMPTN yang kedua, minat Risky mengerucut pada bidang IPA saja. Sebetulnya ia benci hafalan, yang kiranya mutlak dalam bidang IPS. Kalau harus menghafal, ia lebih suka menghafal rumus secukupnya dan selebihnya tinggal mengutak-atik. Mending lagi apabila ia perlu menggambar ilustrasi. Sesulit-sulitnya soal itu, menggambar bisa meredakan suasana hatinya sejenak. Tapi bukan berarti minat Risky menjangkau jurusan-jurusan yang kira-kira ada banyak pelajaran menggambar, misalnya Arsitektur.

Maka, ketika Papa menanyakan alasannya memilih jurusan-jurusan itu, Risky terkelu. Mengungkap bahwa ia memilih jurusan yang sama dengan orang tuanya dahulu saja sudah bikin malu entah kenapa, apalagi alasan di baliknya. Seakan-akan itu persoalan terlalu intim yang hanya layak dibicarakan pada teman sangat karib alih-alih orang tua sendiri, seperti membuka artis mana yang paling sering dijadikan bahan onani.

Risky terlalu lama diam untuk mengarang alasan. Belum lagi Risky bisa menjawab, Papa menambah beban pikirannya dengan menanyakan apakah dia sudah punya gambaran karier setelah lulus dari jurusan-jurusan yang dipilihnya. Risky terbungkam dan menekuri karpet. O kini papa tahu anaknya seorang idiot. Berani-beraninya si bodoh yang tidak visioner ini mengimpikan masuk ITB. Diam kau.

"Biar gampang dapat kerja," ah, itu kan yang utama, ke mana pemilihan jurusan bermuara. Apa pun jurusannya, asalkan itu di ITB, seakan-akan jaminan kemudahan memperoleh pekerjaan. Sesaat Risky puas akan jawaban itu, umum tapi logis.

Risky melirik papanya yang tidak segera menyahut. Tidak puaskah dengan jawaban itu? Yang dilirik malah berpaling ke arah deretan robot di rak paling atas.

"Kamu masih suka robot, Ki?" Papa menoleh lagi kepadanya.

Risky menggumam mengiyakan.

"Bukannya dulu kamu ingin jadi ... apa itu ..." Papa seperti mencari-cari istilah yang tepat, "... ah, yang Gun-Gundam-Gundam itu lo .... Ah, profesor robot, ya," Papa tersenyum, seakan-akan puas dengan jawabannya sendiri. Anakku punya cita-cita tinggi menjadi profesor robot, atau yang semacam itu.

Risky termangu. Ia memang suka merakit Gundam, tapi cita-cita menjadi profesor itu sepertinya terlalu jauh. Pikiran Risky menggali ke awalnya ia menyukai Gundam. Saat ia pindah ke Jepang dahulu, Mobile Suit Gundam ZZ sedang diputar di televisi. Ia terkagum-kagum. Kemudian ia mendapat Gundam kit pertamanya dari Shigeo. Sejak itu ia ketagihan merakitnya, sampai ada beberapa kejadian Mama memarahinya karena ia merengek terus minta dibelikan dan ketika akhirnya dikabulkan, yang kadang-kadang saja, senangnya bukan kepalang.

Saking senangnya, ketika mendapat PR menulis karangan tentang cita-cita, ia berkhayal di masa depannya nanti dunia Gundam menjelma nyata, benar-benar terintegrasi dengan kehidupan manusia biasa seperti dia, dan pekerjaannya sendiri adalah merakit Gundam dalam ukuran dan fungsi yang sebenarnya, untuk kemaslahatan umat manusia di bumi. Tidak hanya merakit, tugasnya mencakup sampai memperbaiki kerusakan tiap kali robotnya pulang dari perang jagat raya. Ia membayangkan kepuasan tiada tara saat robotnya dapat kembali terbang untuk bertempur. Walaupun dikendalikan oleh pilot manusia, robot itu seolah-olah memiliki hati dan dapat berbicara kepadanya, langsung ke hatinya.

"Terima kasih, Risuki-san."

"Berjuanglah yang keras, Gundam-san!" Risky melambai-lambai pada robotnya yang memelesat ke angkasa.

Tapi, khayalan itu sudah lama sekali terbenam, dan Risky yang sekarang telah mengetahui bahwa sampai kapan pun itu tidak akan menjadi kenyataan--paling tidak semasa hidupnya. Entahlah. Mungkinkah? Tapi, yang terpenting adalah, bagaimana Papa bisa tahu? Ia tidak ingat pernah memperlihatkan PR yang itu kepada Papa, bahkan kepada gurunya! Ia mencoret karangan itu, dan menulis ulang setelah berkonsultasi kepada Mama. "Sudah, kamu jadi insinyur saja, bikin pesawat, biar kayak Pak Habibie," idola Mama.

Mengabaikan wajah Risky yang memerah, Papa melanjutkan, "Kalau mau belajar dasar pembuatan robot, kamu bisa pilih Teknik Elektro. Teknik Mesin juga bisa."

"Jadi, Teknik Elektro sama Teknik Mesin?" terbata-bata Risky mengulangnya. Dua jurusan itu tidak pernah ia pertimbangkan sebelumnya--karena memang ia tidak repot-repot menelusuri setiap jurusan yang ada. Ia cuma suka merakit dan menonton anime, tapi tidak penah lagi memikirkan tentang cita-cita menjadi montir atau teknisi Gundam. Sudah begitu, ia tidak menaruh minat khusus pada perkembangan teknologi. Tiap kali membuka koran atau majalah, ia begitu saja melewatkan berita tentang topik tersebut dan alih-alih langsung berburu foto artis yang bisa masuk klipingnya.

"Iya .... Tapi mungkin itu dasarnya saja, yang paling mendekati. Selebihnya kamu mesti ikut riset."

Risky manggut-manggut. Teknik Elektro dan Teknik Mesin ....

Setelah itu, tampaknya Papa sendiri sudah bingung mau berkata apa lagi. Risky mengantar Papa ke pintu. Setelah menutup pintu, Kok Papa bisa tahu!!?! Risky tidak dapat mengingat setelah mencoret karangan itu, kertasnya dia simpan di mana. Yang jelas, saat menulisnya, Papa tidak ada di sekitar dia--lagi pula memang biasanya Papa menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah.

Dari dulu begitu, sejak masa yang dapat diingat Risky sampai sewaktu mereka tinggal ke Jepang. Biasanya Risky melihat Papa sebentar saja di pagi hari, dan jarang-jarang saat malamnya.

Pada akhir pekan pun, kadang ada saja yang dikerjakan Papa di kantornya, sehingga sering kali Risky berdua saja dengan Mama jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, menonton bioskop, makan di restoran, dan sebagainya.

Kalaupun ada waktu bersama Papa, biasanya itu bukan pengalaman mengenakkan. Seakan-akan Papa baru memberikan perhatian hanya ketika Risky membuat kesalahan, biasanya karena berantem dengan temannya.

Risky memang brutal bila sudah berkelahi, sehingga temannya bisa celaka dan orang tua si teman pun komplain. Kalau sudah begitu, Papa akan menanyai Risky apa saja yang sudah dilakukannya pada si teman, memintanya mereka ulang: berapa kali memukul, berapa kali menendang, dan seterusnya. Lalu Papa akan membalaskannya kepada Risky dengan perantaraan gespernya, seakan-akan biar tahu rasa tapi tidak mau secara langsung bersentuhan dengan dia. Setelah beberapa kali kejadian seperti itu terulang, Risky lebih suka tidak berteman saja karena sama dengan cari masalah.

Kalau bukan karena perselisihan dengan teman, Mama yang menyuruh Risky dan Papa mendekat kepada satu sama lain. Kadang Mama menegur Papa agar mengobrol dengan Risky. Kadang Mama mendorong Risky agar menanyai Papa terutama bila ada kesulitan dalam pelajaran sekolah. Kadang-kadang memang mereka duduk di sofa yang sama, membahas PR Risky. Tapi lalu Papa menguliahi bahwa semasa sekolah ia bisa belajar sendiri, tidak pernah dibantu sedikit pun oleh kedua orang tuanya yang sama-sama berpendidikan rendah: ibunya buta huruf sedang ayahnya hanya bisa membaca Arab gundul. Ia sendiri mesti rela disuruh-suruh temannya agar boleh meminjam buku pelajaran, dan lalu berusaha mencari uang dengan menyambi bekerja di sana-sini agar bisa membeli sendiri. Betapa Risky tidak bersyukur dengan hidupnya yang jauh lebih enak karena telah disediakan berbagai fasilitas oleh orang tua dan bla bla bla. Maka, bila kemudian Mama menanyakan tentang pelajaran sekolah, Risky selalu menjawab bahwa tidak ada masalah daripada disuruh mendekat ke Papa lagi. Untungnya, memang ia cukup pintar di sekolah--sampai sebelum pindah ke Jepang yang bahasa pengantarnya sama sekali baru sehingga ia mesti belajar dari nol.

Sewaktu di Jepang, kejadian-kejadian ringan tangan begitu sudah tidak terulang. Bahkan Papa dan Mama pun hampir-hampir tak pernah bertengkar lagi. Sebagian karena dinding apartemen mereka yang setipis tripleks, sebagian lagi karena Mama sudah putus hubungan dengan selingkuhannya dan Risky juga tidak punya teman. Untuk pelajaran sekolah pun, Risky tidak perlu sungkan-sungkan lagi mendekati Papa sebab ada guru yang membantunya--terlebih karena semua pelajaran sekolah disampaikan dalam bahasa Jepang yang Papa sendiri tidak begitu menguasai. Tapi, ketimbang adem dan tenteram, suasana di antara mereka lebih tepat disebut dingin dan bisu.

Baru tahun-tahun belakangan ini saja, sejak mereka pindah ke Bandung, Papa mulai sering pulang sore. Pertengkaran orang tua kembali terjadi, walau hanya sesekali. Pernah juga Papa kelepasan menghajar Risky lagi, tepatnya saat masa sulitnya di SMA. Tapi Risky sudah sebesar Papa, bahkan masih tumbuh lebih besar lagi, sehingga ia tidak segan menonjok balik dan keadaan rumah pun jadi kisruh. Meski sejak itu Papa tidak pernah main tangan lagi, paling-paling hanya menggertak. Berangsur-angsur, yang bikin berisik dan rusuh di rumah tinggal Adek, dengan segala polah tingkahnya yang menggemaskan dalam berbagai arti, mengalihkan, mencuri, menyita perhatian yang lain-lain.

Jadi, bagaimana Papa bisa mengetahui cita-cita ngawur Risky--kalau bukan dari karangan yang tidak pernah diperlihatkannya kepada siapa-siapa itu? Pasti Papa membacanya, tapi kapan? Di mana? Bagaimana bisa? Risky saja hilang ingatan di mana menaruhnya sesudah itu! Ugh!

Tapi, Papa tahu. Papa tahu, dan memendamnya selama ini. Panas yang tadi menyebar di wajah Risky kini seperti mengumpul di matanya, dan ia pun mengulum bibirnya berkali-kali.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain