Senin, 20 September 2021

18. GURU PRIVAT TANPA TEDENG ALING-ALING

Risky membuka koran, kembali pada rencana mencari pekerjaan agar bisa membayar sendiri guru privat. Namun pada suatu malam Papa pulang membawa guru privat baru.

Sebelumnya, Papa menelepon Mama memberitahukan bahwa ia akan pulang membawa tamu. Mama yang menduga tamu itu rekan kerja Papa pun mengakhiri perang dingin dengan Risky, meminta untuk diantar.

"Ke mana?" tanya Risky malas. Mama kan bisa bermotor sendiri.

"Anter aja!"

Mereka bertiga pun menunggangi motor: Adek duduk di depan, Risky di tengah memegang kemudi, sedang Mama di belakang. Mama mengarahkan Risky berhenti di sebuah restoran. Risky malas ikut Mama masuk, dan Adek memilih untuk menemaninya di tempat parkir. Mama keluar dari restoran dengan membawa beberapa dus masakan jadi, untuk disuguhkan kepada tamu Papa dan diakunya sebagai buatan sendiri.

"Kalau bawa sendiri, repot," terang Mama sembari memangku dus-dus itu di motor dengan posisi mendatar agar isinya tidak berantakan.

Di luar dugaan, tamu Papa seorang lelaki yang dari aroma dan penampilannya saja sudah menunjukkan kemahasiswaannya, atau tepatnya, mahasiswa yang mungkin terlalu sibuk dengan kegiatan kemahasiswaannya itu sehingga lupa keramas, lupa mandi, dan lupa mencuci jaket himpunan yang seakan-akan merupakan kesatuan dengan jiwa dan raganya.

"Edo ini lagi magang di kantor Papa," jelas Papa.

"Oh, kuliahnya sudah tingkat berapa?" tanya Mama di sela-sela kernyitan.

"Semester ini jalan yang ke-13," sahut Edo bangga.

"Hmmm." Senyum tak pudar dari bibir Mama, kendati keningnya berkerut seperti yang sedang menghitung, Jadi tingkat berapa?

Sedang Risky memendam tanya, Kuliah di ITB rata-rata berapa tahun sih?

Acara makan diisi pertanyaan-pertanyaan ringan yang dilontarkan bergantian oleh Papa dan Mama, yang dijawab secara panjang lebar oleh Edo bak artikel sains dan teknologi di majalah berita, yang disimak oleh Risky seraya membatin, Ini orang ngomong apa sih?

Sampailah mereka pada pokok pembicaraan.

"Risky ini mau UMPTN yang ketiga kali," kata Papa kepada Edo. "Jurusannya mau pilih Elektro dan Mesin."

"Oh, bagus itu!"

"Tolong kamu bimbing dia sampai lolos, ya, Do. Ini mungkin kesempatan yang terakhir."

... sampai lolos ...

... kesempatan terakhir ....

"Baik, Pak!"

"Edo ini kan pagi sampai sorenya magang, sambil mengerjakan tugas akhir. Jadi biasanya baru malam. Gimana, Ki, kalau sewaktu-waktu Edo sekalian nginep di kamar kamu?"

"Intensif, ya," komentar Mama.

Risky terkesiap, dan mengiyakan saja perkataan Papa.

Tampaknya Papa dan Edo sudah cukup akrab. Les tidak bisa segera dimulai malam itu karena Edo ada keperluan. Setelah orang itu pulang, Papa bilang, "Edo itu udah dua tahun ngerjain tugas akhir, belum selesai."

"Mestinya berapa lama?" tanya Risky.

"Kalau cepat sih, beberapa bulan juga selesai," timpal Mama sambil beres-beres meja makan.

"Di tengah jalan, dosen pembimbingnya ada tugas ke luar negeri. Terus dia kekurangan dana juga," lanjut Papa. "Yah, hitung-hitung bantu. Ayahnya rekan sekantor Papa, tapi baru almarhum. Sekarang dia tulang punggung keluarga."

"Innalillahi ..." sahut Mama selazimnya saat mendengar ada orang yang telah berpulang ke alam baka.

Keesokan malamnya, "les privat intensif" pun dimulai. Begitu datang, setelah memarkir sepeda motor Honda butut miliknya di samping mobil Papa, Edo dipersilakan langsung naik ke kamar Risky.

Begitu Edo memasuki kamar Risky, komputer di pojok kamar dilihatnya bagai cewek berbaju renang dalam film Warkop saja; disapanya dengan suitan. Memang itu komputer tipe keluaran terbaru. Risky sendiri masih jarang menggunakan barang tersebut. Tiap kali sadar sudah agak lama mengutak-atik isinya atau memainkan gimnya, ia segera teringat pada kesempatan terakhir UMPTN berikut. Adek yang cukup sering mencoba-coba komputer itu, terutama segala permainannya, dan tak peduli bila selalu kalah; atau kadang ia cuma bengong sambil memandangi pergerakan Mandelbrot di layar, dan Risky pun ikut-ikutan melongo di belakangnya bila sudah puyeng belajar.

Edo langsung saja meluncur ke arah komputer, menarik kursinya dan duduk. Ransel belel ia ambrukkan dekat kaki, membunyikan beban berat di dalamnya. Meja komputer itu posisinya membelakangi meja belajar, jaraknya cukup leluasa untuk Edo memutar badannya ke arah Risky yang sedang duduk di kursi belajar. Edo mengeluarkan setumpuk diktat yang tak kalah kumal daripada ranselnya, mengempaskannya di hadapan Risky. "Nih, bahan TPB gue. Kalau lu bisa nguasain semuanya, lewat tuh UMPTN!"

Membaca tatapan Risky, Edo melanjutkan, "Nanti lu kalau lolos ITB, ada namanya Tahap Persiapan Bersama. Kuliahnya kayak ngulang pelajaran SMA, tapi rada-rada advance dikit lah. Dah, lu pelajarin aja itu dulu! Gue pinjem komputer lu, yah!"

Edo membalikkan badan, menyalakan komputer Risky. Sembari menunggu komputernya siap, ia mengamat-amati benda itu seraya berkomentar sendiri. Lalu ia memasukkan disket dan keluarlah tampilan yang bikin Risky mengernyit sekaligus mengundang rasa ingin tahunya. Namun Edo memperingati, "Belajar, belajar!" Risky pun mengalihkan perhatian kepada tumpukan diktat itu, mengambilnya satu, membukanya lembar demi lembar, membaca satu halaman, mengerenyot, mencari halaman lain yang isinya bisa dimengerti, menyibakkan lembarannya makin cepat sampai yang terakhir, menepikannya, mengambil satu lagi, dan terus begitu, sampai setelah beberapa diktat dan ternyata ada juga bundel-bundel fotokopian catatan, ia memerhatikan bahwa rata-rata di halaman depannya ada nama cewek yang berbeda-beda.

Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah pelajaran SMA dan soal-soal yang selama ini ditekuninya jadi tampak tidak sesulit isi diktat dan bundel itu.

Tapi, ini juga tidak membuatnya jadi mudah.

Apanya yang ngulang pelajaran SMA?!?!

Risky mengusap-usap dahi, melirik Edo yang duduk membelakangi dia, dan mengamati yang sedang dikerjakan orang itu. Ah, tampaknya itu masih jauh lebih rumit lagi.

"Kak," tegur Risky.

"Entar yah, gue selesein ini dulu. Besok dosen gue balik."

Risky menurut, mengulang baca-kilat bundelan diktat tersebut, mencari bagian yang dirasanya mudah, dan mencoba memahaminya sendiri. Jarum jam beker di hadapannya terus berdetak. Risky tertidur menelungkup di atas bentangan salah satu diktat, menggeragap, melihat punggung Edo yang masih saja berkutat di depan komputer, menatap jam--sudah lewat tengah malam. Risky beranjak ke kasur dan melanjutkan tidur sampai Edo membangunkannya lama kemudian.

"Gue pamit dulu, ya. Makasih komputernya. Entar malam gue balik. Gue tes pemahaman TPB lu!"

"Heh?" Risky mengantar kepergian Edo dengan pandangannya saja lalu rebah lagi.

Setelah memuaskan tidur, Risky kembali membolak-balik kumpulan bahan TPB Edo. Sudah berkali-kali, sampai ia hafal bagian mana saja yang dapat sedikit-sedikit ia pahami, dan selebihnya--sebagian besarnya--membutuhkan penjelasan.

Edo menepati perkataannya. Ia datang setelah isya. Mereka duduk di karpet kamar, dan Risky cuma melongo saat Edo menanyakan satu soal Kalkulus.

"Lu belajar enggak sih?!" Edo tampak kecewa.

"Iya, gue baca."

"Gue tanya konsep sederhana aja .... Saingan lu tuh anak-anak pinter se-Indonesia!"

"Iya, gue tahu," Risky tersinggung. "Makanya tugas lu ngajarin gue, kan?"

"Iya, gue emang lagi ngajari lu! Yang tadi itu pre test, nilai lu E!"

"Tapi kan itu pelajaran kuliah. Emang keluar di UMPTN?" Tidak pernah Risky melihat yang semacam itu di buku pelajaran ataupun kumpulan soalnya. Ia berusaha tidak terdengar memelas.

"Lu bener mau kuliah di ITB, enggak sih? Lu harus membiasakan diri sama standar tinggi dan berpikir jauh ke depan--visioner! Seperti yang gue bilang, kalau lu bisa nguasain materi TPB, UMPTN lewat! Paham enggak sih, lu?!" Edo mengacung-acungkan diktat Kalkulus miliknya, atau mungkin milik cewek bekas teman sekelas yang ia colong. "Gini, lu bayangin aja, ya, ada berapa banyak angkatan yang lulus tahun ini milih ITB di UMPTN? Belum lagi angkatan di atasnya yang mau ngulang. Belum angkatan di atasnya lagi."

Ya, itu gue, batin Risky.

"Bayangin semuanya belajar dari buku-buku SMA dan kumpulan soal yang sama kayak lu!"

Risky bahkan belum menguasai semua yang ada di situ.

"Naikin standar lu! Jangan jadi rata-rata! Di atas rata-rata aja enggak cukup. Yang bisa masuk ke ITB itu JAUH di atas rata-rata! Dan bahkan setelah berhasil lolos ke ITB ...."

Edo terdiam sejenak, malah mengamat-amati wajah Risky seperti yang sedang menilai apakah tampang seperti itu layak lolos ke ITB.

"Setelah berhasil lolos ke ITB?" Risky mendesak, ingin mengakhiri tatapan menyidik Edo yang membuatnya tak nyaman. "Terus gimana?"

"Itu bukan jaminan tahun berikutnya lu masih kuliah di sana."

Risky tercengang. Kemungkinan itu tidak pernah terlintas di benaknya sampai saat ini. Selalu dikiranya, setelah berhasil menjadi mahasiswa ITB ia akan hidup bahagia selama-lamanya.

"Enggak sedikit teman gua yang akhirnya berguguran."

"Berguguran?" Apa sih kayak di film perang aja.

"DO."

"DO?"

"Drop out! Lu ngerti bahasa Inggris, enggak sih?!"

"Iya, gue ngerti!"

"Nah, percuma kan lu susah payah masuk ITB, tahun berikutnya DO!"

"GUE ENGGAK AKAN DO!" Tatapan Risky nyalang.

"BAGUS ITU!" Edo sama sekali tak gentar.

Dimulailah masa persiapan bersama Edo. Tiap hari dimulai dengan pre test dan diakhiri dengan kuis. Selama itu, Risky mesti menahankan kata-kata yang Edo lontarkan seenak udelnya saja, yang pastinya berbau busuk.

"Goblok! Gitu aja enggak ngerti!"

"Bukan gitu caranya, tolol!"

"Yakin lu mau kuliah di ITB!"

"Masuk swasta ajalah!"

Malah, sering kali Edo tak perlu berkata-kata. Raut mukanya saja sudah mengipas-ngipasi bara api yang bertumpuk-tumpuk dari dada ke kepala Risky.

Pada awalnya, Risky tentu saja tidak menerima perlakuan Edo begitu saja. "Jelasin aja sampai gue ngerti. Enggak usah pake ngata-ngatain gue segala, anjing! Belagu amat lu, anak ITB doang!"

"Anak ITB doang," ulang Edo, dan dengan berani-beraninya telunjuknya naik mendorong-dorong pelipis Risky, seakan-akan hendak menguji adakah segumpal otak di baliknya. "Ini kata orang yang terancam gagal buat ketiga kalinya di UMPTN." Ia tertawa. "Selama lu belum berhasil nandingin gue masuk ITB, gue berhak belagu!"

Ia pun tidak segan-segan menyambar dengan gulungan diktat saat Risky jatuh terlelap. "Alah, lemah. Baru segini udah pingsan. Udah pernah enggak tidur berhari-hari, enggak lu?" Tapi, ia sendiri kapan pun merasa sudah cukup langsung saja loncat ke tempat tidur Risky, rebah dan mendengkur. Lagaknya seperti yang ia tuan rumah saja. Semakin hina dina Risky merasa tatkala dirinya yang mesti tidur beralaskan karpet.

Edo datang semaunya. Tiga malam berturut-turut, lalu dua malam berikutnya tidak datang, kemudian beberapa malam ia muncul lagi tiap selang sehari, dan seminggu setelahnya menghilang, tapi satu setengah minggu berikutnya, ia tidak meninggalkan kamar Risky seakan-akan mau ikut jadi penghuni tetap di situ.

Risky mesti memastikan stok rokok dan kopi di kamarnya selalu tersedia, lengkap dengan termosnya. Walaupun Risky sudah menyediakan asbak-asbakan kertas yang dibuatnya sendiri secara cermat dengan sudut-sudut 90˚ yang presisi tanpa ada satu pun yang mencong, Edo lebih suka membuang abu rokoknya di salah satu mug Looney Tunes hadiah Indocafe kesayangan Risky yang padahal masih berisi air kopi. Kemudian Edo mulai menyukai mug itu juga, dan meminta agar kopinya disajikan di situ. Tentu saja Risky jijik membayangkan bibir itu menempel di situ, biarpun nantinya bisa dicuci berkali dengan sabun sebanyak-banyaknya.

Mama juga tampaknya kurang berkenan dengan Edo. Setelah yang pertama, karena kerap namun rambangnya kedatangan Edo, Mama tidak lagi merepotkan diri beli masakan jadi di restoran. Mama masak sendiri mencoba-coba resep dengan hasil ala kadarnya seperti biasa. Edo makan dengan lahap seperti yang mumpung, dan mungkin dikiranya itu sudah sebentuk pujian.

Adek jadi tidak biasanya segan berlama-lama di kamar Risky. Tidak ada yang mengacuhkannya; om itu tampak galak sedang kakaknya takluk saja dicerca. Setidaknya Mama agak senang karena tidak lagi mesti sering-sering meneriaki Adek supaya turun dari kamar Risky. Sekarang anak itu betah saja di lantai bawah atau main bersama teman-temannya di luar rumah. Adek masuk ke kamar Risky hanya ketika pasti bahwa Edo tidak ada, atau sekadar untuk mengantarkan penganan saat orang itu ada.

Edo sendiri tampak tak tertarik kepada anak kecil. Hanya sekali ia melirik Adek, yang saat itu belum menyadari hawa mengintimidasi menguar dari padanya; anak itu sedang bermain di kamar Risky, berceloteh sendiri sambil membagi-bagikan isi dompet Risky kepada para robot mainan Risky yang sudah urun peran dalam sandiwara kolosal karangannya.

"Adek lu pinter. Sekali UMPTN, dia bisa langsung lolos ke ITB," ramal Edo. Namun Risky menyangka orang itu sedang meledek keberhasilannya yang tidak sekali tertunda.

Walau mendongkolkan, tidak ada yang hendak memprotes kehadiran Edo kepada Papa--satu-satunya yang tampak nyaman-nyaman saja dengan orang itu. Di meja makan, mereka membicarakan pekerjaan-pekerjaan kantor, perkembangan teknologi, dan beragam terminologi lain yang disimak Risky dan Mama dalam bisu.

Seiring dengan bertambahnya kebersamaan mereka, timbul momen-momen mengobrol santai. Asbak kertas, bundel, diktat, mug, dan lembaran kertas yang terserak diabaikan, berganti cerita tentang pengalaman Edo semasa kuliah. Risky mendengarkan dan memahami bahwa kesempatan yang telah dilaluinya bersama Edo sekadar simulasi dari kehidupan mahasiswa. Dan, itu belum cukup mewakili keadaan yang sesungguhnya.

Edo pun mulai memahami Risky. Suatu ketika, ia melihat-lihat koleksi robot rakitan Risky dan berkata, "Kata Pak Slamet, lu cita-citanya bikin robot, ya?" Risky tercengang malu. Apa-apaan Papa mengumbar fantasi masa kecilnya kepada orang ini?! "Ah, enggak," sanggah Risky, "gue cuma suka ngerakitnya doang," jujur. Lalu mereka membicarakan tentang robot dan kecerdasan buatan. "Tapi sayang," pungkas Edo, "lu lemah di elektronika."

Memang gayanya saja yang melunak, namun pandangan Edo terhadap Risky tetap. "Menurut gue, lu ada prospek di ITB. Tapi palingan IPK lu yang satu dua koma, dan enggak ada prestasi apa-apa. Kalau mau IPK bagusan dikit, saran gue ke swasta aja," ramalnya dengan nada sesimpatik mungkin.

Bahkan ia coba-coba menasihati dengan lagak bijaksana, "Setiap menghadapi hambatan yang terasa berat, ingat, Ki, di balik puncak gunung yang tinggi itu, masih ada gunung yang lebih tinggi, dan enggak pernah ada gunung yang cukup tinggi buat kita."[1]

Dan, tahu-tahu saja, pada suatu malam ketika mereka sedang makan bersama, Edo mengumumkan kabar gembira bagi dirinya sendiri: 1) Ia telah lolos sidang tugas akhir, dan; 2) Ia mendapat tawaran kerja dari suatu perusahaan luar kota yang akan diambilnya.

Sekali lagi, Risky kehilangan guru privat.


[1] Modifikasi dari kutipan di halaman v, Jurus Kilat Jago Membuat Robot (Tim Pusat Teknologi Tepat Guna Salman ITB, cetakan I, 2011, penerbit Dunia Komputer, Bekasi)

Senin, 06 September 2021

17. PARADE GURU PRIVAT

Guru privat Risky yang pertama adalah mahasiswa Teknik Industri ITB tingkat tiga. Ia menguasai setiap bidang yang diujikan di UMPTN, malah berpengalaman memberikan les privat khusus persiapan UMPTN sejak ia sendiri lulus UMPTN.

Ia memperkenalkan diri sebagai Amru. Sebagai guru privat spesialisasi UMPTN yang berpengalaman, ia telah mengembangkan trik-trik tersendiri semacam yang pernah Risky dapatkan dari bimbel lalu lupakan. Caranya mengajar mudah dimengerti, dan wajahnya yang dipenuhi jerawat besar-besar itu bagaikan fitur yang dengan sendirinya mengarahkan Risky agar berkonsentrasi sepenuhnya pada suaranya atau coret-coretannya pada kertas yang menerangkan pemecahan soal-soal sulit. Pertemuan demi pertemuan, minggu demi minggu, Risky mendapat kemajuan berarti dalam memahami materi demi materi. Ketika Mama menanyakan, Risky bilang ia merasa enak dengan Amru.

Tapi, suatu sore yang datang bukan lagi Amru. Saat itu, seperti biasa, Risky membukakan pintu begitu bel berbunyi. Kagetnya ia mendapati yang datang malah seorang perempuan muda berjilbab panjang dan berkacamata. Tidak lama Risky kebingungan, sebab Mama segera menyusul menyambut tamu itu dan memperkenalkan keduanya kepada satu sama lain. Gadis itu rupanya mahasiswi Teknik Elektro ITB yang akan menjadi guru privat baru Risky. Memang jurusannya sesuai dengan jurusan tujuan Risky. Ia bisa tanya-tanya. Tapi, selama les berlangsung, Risky hampir tidak sanggup bersuara. Untunglah guru tersebut anteng saja, seakan-akan tidak terpengaruh oleh kekikukan yang dialami Risky.

Setelah gadis itu pulang, Risky menyosor Mama.

"Mana si Amru?"

"Udah berhenti," sahut Mama acuh tak acuh.

"Kenapa?"

"Seenaknya aja naikin bayaran. Dua kali lipat!

"Terus kenapa? Kali aja dia butuh buat ngobatin jerawatnya!"

"Kemahalan! Udah, guru yang mana pun sama aja asal bayarannya terjangkau. Yang penting kan ada tempat buat nanya-nanya!"

Risky mencoba satu pertemuan lagi. Tapi kerikuhannya menjadi-jadi. Ia menjawab terbata-bata tiap kali ditanya, sontak menarik diri jauh-jauh saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan, menyenggol sampai tumpah segelas teh yang disediakan bagi guru itu. Padahal tidak ada yang istimewa pada gadis tersebut. Wajahnya biasa. Pakaiannya sederhana. Risky putus asa memikirkan bahwa pantas saja ia tidak pernah berhasil punya pacar; baru duduk bersama sedekat ini saja--dengan cewek yang bahkan tidak sedikit pun menimbulkan perasaan romantis, yang kebaikan sikapnya sebatas formalitas--ia sudah mempermalukan diri sendiri di luar kendali.

Seusai pertemuan itu, Risky bilang pada Mama, "Gurunya jangan perempuan. Enggak nyaman."

Walaupun kurang terima, Mama menurut. Ia menelepon mahasiswi itu lalu meniti lagi iklan baris di koran.

Tibalah waktu yang dijanjikan dengan si calon guru baru. Bel berbunyi, Risky membukakan pintu, dan mendongak sedikit pada pria rupawan di hadapannya. Seketika saja Risky disergap gelagat buruk. "Cari siapa, ya?" tegur Risky, walau sambil menyadari bahwa bisa saja ini guru privatnya yang baru. Namun Mama keburu menyusul dan menyambut orang itu dengan keramahan yang sekonyong-konyong naik di atas batas kewajaran.

Namanya Riko, mahasiswa Teknik Geodesi ITB. Risky berusaha tidak melihat wajah orang itu selama pertemuan berlangsung. Tapi rupanya wajah semacam itu amat mengundang untuk ditatap dan ditonjok. Tentu saja Risky menahan bogemnya supaya tidak naik. Beri orang ini kesempatan, ia tahu. Ketidaksenangannya tidak beralasan.

"Gimana gurunya?" tanya Mama, setelah pertemuan berakhir dan orang itu pergi. Sesaat Risky mengamat-amati wajah Mama, yang tampak berseri-seri ataukah cuma perasaannya saja.

"Okelah," sahut Risky acuh tak acuh.

"Enggak usah ganti-ganti lagi, ya!"

Risky menatap Mama curiga. Mama balas menatapnya dengan, Kenapa kamu lihat-lihat Mama kayak gitu?! Risky mengalihkan muka.

Perasaan ini persis dengan yang melandanya sekitar sepuluh tahun lalu atau lebih, beberapa lama sebelum mereka pindah ke Jepang, saat tiap malam penantiannya berujung dengan mengintip ke balik gorden kamar, mendapati sesosok lelaki tegap membukakan pintu mobil untuk Mama. Disorot lampu teras, tampak wajah itu menyerupai aktor film tapi pastinya bukan. Risky cepat-cepat berlari ke ruang depan dan membukakan pintu. Kalau tidak begitu, orang itu akan cium-cium Mama sebelum pergi dengan mobilnya.

"Ma, itu siapa?" tanya Risky akhirnya.

"Ah, cuma teman," kata Mama, lantas segera mengalihkan. "Kenapa kamu belum tidur, sayang? Kan Mama udah bilang, tidur duluan aja. Enggak usah tunggu Mama."

Suatu malam, Risky tidak lagi menanti sendirian. Tumben-tumbenan, hari itu Papa pulang lebih cepat daripada Mama. Risky pun berusaha untuk segera tidur, tapi tidak bisa.

Ketika sudah hampir waktunya, terdengarlah suara mobil yang sudah diakrabinya itu. Risky menyibak sedikit gorden jendela kamarnya: pemandangan yang sama dengan malam-malam sebelumnya, hanya saja kali ini Papa turut di dalamnya. Selagi terjadi pertengkaran, jendela rumah-rumah tetangga yang menjadi latarnya satu per satu menyala. Ada yang keluar, disusul yang lain, dan perkelahian pun terlerai. Namun sejak itu anak-anak tetangga meneror Risky dengan, "Orang tua kamu mau cerai."

Memang konyol membayangkan Mama sekarang ini dengan mahasiswa itu. Risky menepisnya jauh-jauh. Tapi, seiring dengan majunya pertemuan, bertambah pula hal-hal yang sulit ditoleransi Risky. Ketampanannya, kesabarannya, kepintarannya, keramahannya, kemurahan bayaran yang disepakatinya dengan Mama; apa ubahnya dia dengan si Sial-adin?! Belum lagi, tiap kali pertemuan selesai, Mama selalu menyempatkan diri untuk mengantar orang itu sampai ke pintu depan; padahal tidak begitu dengan guru-guru sebelumnya. Pada menit-menit menjelang berakhirnya pertemuan, Mama pasti sudah bersiaga di balik dinding ruang tamu. Risky bisa mengendus wangi parfumnya yang lebih sengit daripada biasa.

Risky tidak tahan lagi. Hari itu, diam-diam ia pergi beberapa jam sebelum jadwal les, dan baru pulang beberapa jam setelahnya--ketika sudah malam. Tentu saja Mama meledak. Risky beralasan ban motornya pecah dan lalu jalanan macet, yang sulit diterima Mama. Luapan kemarahan Mama ditanggapi janji hampa untuk tidak mengulangi, sebab pada jadwal les berikutnya, ia mengulangi. Kali ini ia tidak repot-repot mengarang alasan.

"Kamu jangan mempermainkan orang tua, ya!" bentak Mama.

"Aku enggak mau sama si Riko lagi!" tegas Risky.

"Sudah dicarikan masih pilih-pilih! Sama perempuan enggak mau, yang laki-laki enggak mau!"

"Aku udah enak sama si Amru. Mama main berhenti aja!"

"Mahal si Amru itu!"

"Si Amru juga modelnya enggak kayak Roy Marten, enggak bisa diajak pacaran," sindir Risky, yang membuat Mama terperangah.

"Apa?! Apa kamu bilang!?" serang Mama. Wajahnya memerah. "Kamu ini kurang ajarnya sudah keterlaluan! Tidak tahu menghormati orang tua!"

Risky bergeming saja, memalingkan pandangan sementara kerah bajunya direnggut Mama. Papa yang biasanya acuh tak acuh pun terpaksa menghampiri dan berusaha melepaskan Mama dari Risky.

"Kamu cari guru sendiri saja," kata Papa di sela-sela sumpah serapah Mama.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain