Rabu, 19 Desember 2012

VII. Anyer, I’m in Fire

Dean suka membelai bagian belakang te­li­nga­nya, mengusap tepian tengkuknya, atau me­reng­kuh separuh pinggangnya dari depan… yang ba­ru Rieka sadari sebagai bagian-bagian sen­si­tif­nya. Rasanya seperti dikemoceng dari dalam, dan se­jurus kemudian hangat menyebar timbulkan nya­man. Sensasi menggelikan yang membuat ingin lagi dan lagi, tapi masih bisa ia kendalikan. Sentuhan me­nakjubkan dari jari-jari yang panjang, tangan yang besar. Tidak tahu darimana Dean mengerti.

Kadang cowok itu tahu-tahu merangkulnya da­ri belakang, tidak peduli Rieka tengah bersama ka­wanan apalagi sorakan dari yang menyaksikan. Me­nyesap aroma rambut, curi-curi mengecup teng­kuk. Dengan kilat! Rieka bertanya-tanya apakah De­an pernah salah mengganduli cewek. Jangan di si­ni, di Kabita, di lorong, di manapun di sekolah yang sedang ramai-ramainya. Kenapa… maka Dean se­olah merajuk. Suka ada yang enggak senang. Ah itu mah sirik we meureun. Kan enggak baik bikin orang sirik. Justru sirik teh baik, biar jadi motivasi. Eeh… Kasihan sama yang enggak mampu. Kan su­dah diurus sama negara. Memangnya fakir miskin dan anak telantar?—lagian itu mah cuman tulisan, be­lum tentu kelihatan di lapangan!

Ketika sekolah telah sunyi, sore mulai me­ram­bat, dan sesekali saja orang yang wira-wiri, me­re­ka masih di undakan keramik depan per­pus­ta­ka­an. Dean yang memainkan jari-jarinya seakan se­ti­ap titik pada tubuh Rieka yang disentuhnya se­ko­nyong-konyong berubah jadi tuts, yang me­lan­tun­kan nada. Rieka menangkapnya. Rambut panjang Ri­eka beruntai di atas wajah Dean, membelai. Dean men­dapat mainan baru, yang dibalas Rieka.

“Rambut kamu, Ayan…” Jemari Rieka meng­e­lus sejumput rambut di atas dahi Dean. Tapi da­lam matanya juga ada pipi Dean, dagu Dean. “Ma­sih suka di-smoothing?”

Dean terkekeh. “Rambut itu enaknya yang lu­rus, hitam, lembut…” Tangannya mengurai ram­but Rieka yang terjulur menjadi beberapa bagian. Le­ngannya yang kukuh.

“Hm, korban iklan,” seolah ia bukan. “Pa­da­hal rambut kita sama loh, Ayan…” Mengikal, me­ngem­bang, dan sebetulnya agak kasar. Tentu saja Ri­eka tahu. Perhatiannya tidak meluputkan rambut De­raz, dan secuil ingatan akan rambut Dean se­ma­sa SD.

“Punya kamu lebih item…”

“Rambut kamu dibiarin apa adanya aja, Ayan…” Dean diam. “…pingin deh liat rambut kamu ka­lau cepak.” Dean diam. Rieka diam.

Dean mengangkat kepala dari pangkuan Ri­eka, lalu menyandarkan punggung pada dinding. De­ngan Rieka bersanding. “Neng, kenapa yah orang-orang mah bilang pacaran teh enggak bo­leh?”

“Kamu sendiri, pacaran.”

“…sama siapa?”

“Jadi, selama ini… kamu anggep aku… apa?”

Senyum Dean. Rieka belum mau meng­ar­ti­kan, ia memilih untuk terus saja menanyakan toh De­an pun mengelak dari jawaban.

.

Minggu telah lewat. Kejutan di balik pintu ke­las Rieka saat tiba jam istirahat. “Ayaan…” Rieka meng­gapai kedua belah pipi yang telah tumbuh. De­an menurunkan tangan Rieka dengan malu-ma­lu. “Rambut kamu kenapaa?”

“Kan kamu yang minta…”

“Potong di mana?”

“Langganan Ayah di Supratman…”

Dean…! Kenapa bukan di Kosambi sekalian be­lanja seragam loreng-loreng… biar dikira TNI! Ri­eka tergelak. Mata cowok itu yang bulat lagi besar ja­di begitu kentara. Rieka akan terbiasa. “Pendek ba­nget…”

“…iya… dikit lagi botak nih.”

Rieka tergelak. Padahal Deraz saja masih mem­biarkan rambutnya beberapa senti lebih pan­jang.

“Raz, proposal yang OH tea kamu yang bawa bu­kan?” Alf dari kelas di samping kelas Rieka ke­be­tul­an lewat sekalian menuju sekre OSIS. Dean me­no­dongkan emblem nama yang melekat di seragam. Alf terperanjat.

“Jadi mirip ya sama Deraz?” tanya Dean se­pe­ninggalan Alf. Ia kelihatan tidak begitu senang.

“Kalian kan kembar… masak enggak mirip?”

Walau tampak tidak senang terlihat mirip De­raz, ekspresi cowok itu kontras saat bertemu si kem­baran. Mereka bertemu saat Dean mengantar Ri­eka ke sekre OSIS, bertukar keakraban seperti bi­a­sa. Dan seperti biasa pula Dean susah melepaskan geng­gamannya pada tangan Rieka. Padahal seluruh te­man sejawat Rieka sudah membentuk lingkaran di dalam ruangan.

“Ih udah lepasin dong, Yang.”

“Enggak mau. Tangan kamu lembut banget sih.”

“Iyalah. Pagi tadi aku luluran…”

“Pakai yang kemarin beli di Bodyshop itu? Aku juga udah udah nyobain da  yang buat adik aku tea.”

“Kamu pakai juga? Ih pantes tangan kamu lem­but juga…”

“Iya, Sayang.”

“Udah, Ayang, terlambat rapat nih!”

Kaki Rieka pun menapak lantai sekre. Son­tak semua mata tertuju pada Alf kembali. Dengan la­gak sok santai Alf pun melanjutkan kalimat yang ia lupa apa kelanjutannya.

Tidak ada agenda lagi setelah rapat OSIS kali itu. Deraz mengajak Dean pulang bareng. Tepat ke­ti­ka Rieka mengajak Dean belanja bareng. Ba­gai­ma­napun keduanya sedang berdiri bersisian ketika De­an menghampiri.

“Abis belanja kita ngapain, Neng?”

“…pulang…?”

“Gimana kalau sekalian ngajak Deraz? De­raz, kamu ikutan sekalian enggak?”

Rieka tidak menyangka Deraz akan men­ja­wab, ”Gimana Rika aja.”

“Boleh.”

Belanja bareng Deraz… demi apa?!

Semasa SD Rieka lah yang duduk di samping Pak Sam, sementara si kembar dan adik mereka me­nempati jok tengah. Rieka merengut, Dean meng­oceh dengan Pak Sam, penumpang lain ter­di­am. Semasa SMA Deraz yang menemani Pak Sam, se­mentara yang sejoli beradu jempol di jok tengah. De­raz yang anteng memendarkan aura yang bikin Pak Sam kikuk. Sepasang insan di belakang hanyut da­lam lain dunia.

Riau Junction yang tujuan Rieka menjadi lo­ka­si tidak penting. Sebab ke mana lalu di manapun ia dan Dean, kenyamanan bakal berkurang apabila De­raz membuntuti. Rieka tidak bisa menafikan ha­wa keberadaan cowok itu. Deraz memang tidak mengawasi yang pacaran, hanya sekadar serta ke ma­napun langkah mereka ambil. Jarak bahkan di­ja­ga hingga beberapa meter. Deraz berhenti ketika yang dua berhenti. Sesekali Deraz tertinggal karena ter­lampau asyik mengamati barang tertentu. Tahu-ta­hu ia sudah berada di sekitar Rieka dan Dean lagi. Se­mentara yang dua membahas barang menarik yang ditemukan, Deraz meneliti barang menarik me­nurut versinya. Termasuk di area perlengkapan bayi.

Kereta dorong yang lucu-lucu… Yang merah mu­da, biru, kuning, oranye, atau kelabu. Dean me­nga­takan pada Rieka kalau ia menginginkan jumlah anak perempuan dan anak lelaki yang sama banyak.

“Emang entar kamu mau punya anak be­ra­pa?” tanggap Rieka sambil lalu.

“…kalau tiga… masing-masingnya kembar, ber­arti enam. Atau kalau misalnya entar kita di­ka­sih cowok dua, berarti kita bikin lagi dua, yang ce­wek.”

…kita?

“Jangan banyak-banyak. Entar perut aku me­lar.” Rieka tidak mengerti kenapa ia harus me­nang­gapi ocehan Dean dengan serius. Menimang-ni­mang boneka atau kucing rupanya tidak sama de­ngan keinginan memiliki anak sungguhan. Toh se­ka­rang ini bagi Rieka sudah cukup mengasuh Dean. Ri­eka segera mengalihkan perhatian… pada baju-ba­ju balita! Yang rok lebar… renda-renda dengan pi­ta. Warna-warni pastel dan bunga-bunga. Truk tang­ki di bagian dada. Baju monyet aih unyunya….

“…tapi aku kan enggak bakal cari perempuan la­in…” Dean masih melanjut saja. Tidak sengaja Ri­eka melirik ke samping, dan mendapati Deraz, yang ber­jarak cukup dekat, dengan senyumnya yang se­mis­terius Benua Atlantis.

“…repot ngasuhnya…” Rieka buru-buru me­ma­lingkan wajah.

“Aku mau ngasuh mereka…” rengek Dean yang tidak mau kalah.

“Kamu kan nanti kerja…!” tandas Rieka.

Deraz yang berada lebih dekat dengan Dean mem­perlihatkan sepasang pakaian pada si kem­bar­an, “Ini… bagus buat kembar cewek-cowok?” bak se­orang paman yang sedang memilih kado untuk pa­ra calon keponakan.

.

Keinginan Rieka untuk mengalami ulang ta­hun ke-17 yang damai tercapai. Tidak ada undang sa­na-sini. Tidak ada kawanan yang berhaha-hihi. Ti­dak ada hidangan ala kafe. Tidak ada panggung di ma­na seseorang memainkan lagu yang salah. Yang ada hanya Mama dan Papa dan berbagai penganan yang diolah oleh tangan Rieka sendiri (dengan me­nge­cualikan kontribusi Bik Mirah dan kerabatnya) dan menanti kedatangan Dean.

Rieka masih menyiapkan sajian di meja ma­kan ketika bel berbunyi. Pasti Dean!

“Papaa… tolong bukain dulu ih!” seru Rieka ka­rena kebetulan Papa yang berada paling dekat de­ngannya. Papa yang menurut.

Sayup-sayup Rieka dengar suara Papa dari ru­ang tamu, “Oh… Dean… kirain si Winnie…” lalu en­tah apa lagi, Rieka terlalu larut dalam keasyikan me­nata. Tidak sabar mengalami kebahagiaan da­lam kesederhanaan suatu perayaan—kata-kata yang ia kutip dari kartu ucapan di kado ulang tahunnya… yang setahun lalu. Yang Rieka dengar lagi adalah su­ara pintu ditutup. Papa kembali tanpa Dean. “Eka, katanya Eka yang buka sendiri ceunah,” kata Pa­pa Rieka.

Ih cowok yang aneh!

Rieka yang menurut. Ia buka lagi pintu yang be­lum lama ditutup itu. “Uwaaah….!” jeritnya. Ri­eka langsung menghambur dengan pelukan yang erat. Oh… Boneka Winnie yang besar sekali… begitu em­puk. Rieka dan Dean saling memeluk dengan bo­neka yang nyaris seukuran tubuh mereka sebagai per­antara. Sampai wajah usil Dean muncul di sam­ping wajah Winnie. Rieka meringis. “Kamu bawa ini gimana… dianter sama orangtua kamu?” Ak­hir­nya Dean melangkah ke dalam rumah juga. Cowok itu melapisi pakaian “resmi”-nya dengan jumper me­rah, biar senada dengan kaos yang dikenakan Winnie.

“Sama ojek.”

“Ojeek…?!”

Tidak mungkin tidak. Di atas motor Dean me­meluk Winnie yang memeluk mang ojek… me­nem­bus malam yang dingin sekaligus gemerlap oleh lampu jalanan… Motor melonjak saat lewati po­lisi tidur. Tiga serangkai melayang sesaat dilatari ge­mintang.

“Orangtua aku lagi pada pergi…” Bunda di Aussie, Ayah di Berastagi.

Perayaan ulang tahun yang khidmat, dengan tart bikinan sendiri walau Teh Aina yang mengocok adon­annya. Di malam itu Papa akhirnya me­nye­rah­kan kunci mobil yang sebenarnya sudah sejak lama ia belikan untuk Rieka, sehingga kado dari Papa bu­kan lagi kejutan. Toh sudah sejak lama pula Rieka me­lihat March tersebut terpajang di garasi.

“Kok March sih?” tanya Dean ketika Rieka mem­buka kunci mobil tersebut untuk pertama kali.

“Habis enggak ada yang May sih,” jawab Ri­eka, mengingat bulan di mana ia berulang tahun.

“Ih udah bisa ngelucu ya?”

Rieka langsung mencubiti Dean, yang kon­tan mengelak sambil tergelak-gelak. Walau sejurus ke­mudian ketika mereka mencoba mobil itu di car­port, Rieka yang pegang setir tentu saja, Dean pro­tes. “Ini enggak lucu, Neng! Harusnya saya yang da­pet kendaraan duluan, terus nganter-jemput Neng ke mana-mana. Terus gimana mobilitas kita, Neng, ka­lau Neng ke mana-mana udah bawa kendaraan sen­diri sementara saya enggak?”

Rieka mengerjapkan mata. Dean kenal kata “mo­bilitas”! Easy, Dean, bukankah selama inipun ka­mu memang sudah biasa menebeng kendaraan Ri­eka? Lagipula Rieka belum bikin SIM. “Ya udah en­tar kita bikin SIM bareng ya?” tawar Rieka. Bun­da tidak mengizinkan Dean bikin SIM sampai usi­a­nya genap 17 tahun, yang mana masih… Juni, Juli, Agus­tus… akhir Agustus pula!—ini masih awal Mei!—lebih dari tiga bulan lagi. Bagaimanapun Bun­da sudah menjanjikan Ninja untuk Dean, yang bi­sa loncat-loncat di atap dan menerbangkan shu­ri­ken itu loh. “Kalau gitu aku bikin SIM duluan eng­gak apa-apa ya? Entar aku anterin kamu ke Babah Al,” hibur Rieka. “Atau mau aku ajarin nyetir? Eh ki­ta juga bisa ngobrol-ngobrol di mobil enggak ada yang ngupingin lagi, hihihi…” Selamat tinggal Pak Sam!

Dean pamit sebelum malam melarut. Rieka se­perti biasa mengantar sampai pagar. Olala. Masih ada satu hadiah lagi dari Dean! Dean me­ma­kai­kan­nya di pergelangan tangan Rieka. Terasakan oleh Ri­eka cowok itu menahan kegembiraan yang hebat, dan kepuasan yang besar begitu lingkaran ke­emas­an itu menggantung. “Ini kado yang sebenernya mau aku kasih tahun lalu…” Oh… Rieka takjub. Se­ta­hun lamanya benda itu menunggu!

Jemari Rieka merabai mentari-mentari kecil yang menghias sekujur gelang. “Kok matahari…” Ka­rena aku jadi hangat kalau sama kamu, Rieka su­dah bisa mendengar jawaban itu di dalam kepala. Mung­kin ini yang dinamakan telepati.

“Enggak tahu. Ibu aku yang milihin.”

Oh. Dean…!

.

Rieka ingin menulisi satu halaman penuh bu­ku tulis dengan empat huruf itu. D, E, A, lalu N.

Dean, yang kemarin Rieka keseleo me­mang­gil­nya “Deraz”, tapi lempeng saja, belakangan Rieka lu­pa kalau mereka adalah dua individu yang ber­be­da—Rieka tidak akan meng­ulanginya lagi!

Dean, yang siap menghibur di sela-sela ke­si­buk­an Rieka bersama OSIS—kejar proker-proker yang belum jalan di akhir kepengurusan! Menanti di Kabita hingga dipan depan OSIS. Memberi tips un­tuk memudarkan bayang-bayang hitam di bawah ma­ta. “Hebat loh, kalau kamu bisa ngerjain semua itu tanpa harus kurang tidur. Dicoba aja dulu. Yang pen­ting tidurnya cukup, minimal enam jam. Ba­rang­kali entar kamu bisa punya energi lebih buat nger­jain tugas-tugas kamu dengan lebih cepet? Ya eng­gak, Say? The power of kepepet… Bukan ma­sa­lah waktunya, tapi kemampuan kamu buat ngerjain itu semua dengan lebih cepet.” Dean tidak menyia-nyia­kan informasi yang ia dapat dari kegemarannya mem­baca majalah. Menyegarkan dengan sentuhan-sen­tuhannya yang menggetarkan. “Nakal! Enggak bo­leh naa-kal, Yayaan…” Rieka mengacungkan jari di depan muka Dean setelah akhirnya berhasil men­jaga jarak dari cowok itu. “Pingin nakaal…” ra­juk­an manjanya. Menyebarkan wabah penyakit hati be­rupa sirik sampai dengki ke setiap insan yang me­nyaksikan.

Dean, yang sesekali minta diajari me­ngen­da­rai mobil. Rieka turuti, walau grogi kalau Dean yang pegang kendali di jalan raya. “Kamu nyetirnya en­tar pas udah sampai kompleks aja ya, Ayan…”

Dean, yang di suatu hari tampak dengan le­bam. Dean, yang sama sekali tidak ada tampang do­yan kelahi. “Itu kenapa?” maka wajar apabila Rieka me­mekik. “Makanya aku bilang kamu tuh jangan ma­in sama anak-anak kayak BASTARD itu!” sam­bung Rieka dengan penekanan pada tiap kata. “Bu­kan sama BASTARD, Neng,” sanggah Dean. “Sama si­apa?” kejar Rieka. “Lama-lama juga ilang,” ucap De­an. Rieka mencecar. Dean mengajak Rieka ber­asum­si kalau lebam Dean diakibatkan benturan de­ngan tembok yang tidak disengaja. Rieka tidak se­po­los itu!

Dean, yang mogok les piano. “Aku enggak bi­sa, Neng, digitu-gituin terus. Aku main piano buat be­bas, enggak buat yang lain-lainnya. Udah. Men­ding sore ini kita momobilan ke Tegallega aja yuk, Neng.”

Dean, yang biasanya ekspresif namun tidak eks­presif saat menyinggung hal yang menurut Ri­eka sudah pasti sangat pribadi. Dasar cowok! Di ma­na-mana sama! Sok kuat! Sok bisa menanggung se­mua sendiri!

Dean, yang lebih memilih untuk mencari ke­se­nangan ketimbang terseret dalam kecemasan Ri­eka. Toh Rieka jua sumber kesenangan Dean.

.

Tur budaya, yang lebih enak disebut dengan tur­bud, diputuskan ke Anyer. Batal ke Bali. Ang­gar­an terbatas. Kebanyakan proker. Salahkan Alf. Po­kok­nya semua salah Alf!

Walaupun dinamakan “tur budaya”, tidak ada budaya apapun yang bakal dipelajari selain bu­da­ya hura-hura. Bagi kebanyakan siswa kelas XI, tur­bud adalah sarana untuk berenang-renang se­be­lum berakit-rakit—UAS mengadang tepat seminggu se­telah turbud. Bagi pengurus OSIS, turbud adalah mo­men untuk melepas dengan meriah Kabid I yang te­lah lolos seleksi AFS dan akan terbang ke Jerman se­mester depan. Bagi Rieka, turbud di manapun lo­ka­sinya bisa menjadi monumen atas hubungannya de­ngan Dean. Sebuah pencapaian bagi Rieka. Se­be­lum­nya ia tidak pernah bertahan dengan seorang co­wok hingga delapan bulan. Bagi Rieka, meng­i­ngat statusnya sebagai bagian dari pengurus OSIS, tur­bud juga merupakan perayaan akan kepergian De­raz!—walau masih sekitar dua bulan lagi.

Alf menugasi Rieka untuk membeli tart. “Ter­serah lah tart-nya mau gimana juga, yang pen­ting yang bisa dimakan rame-rame sama anak-anak OSIS. Tombokin dulu lah. Si bendum baru mau nga­jakin anak-anak patungan.” Mengingat Alf per­nah mengklaim diri sebagai mediator antara Rieka de­ngan Ipong, Rieka pun komplain, “Ini… Ipong yah?” Alf memandang Rieka dengan heran. “Mau si Ja­ka mau si bukan, yang penting tart-nya ada, Ri.” Ri­eka baru sadar Alf (semestinya) tidak mengetahui po­lemik antara Rieka-Ipong-Deraz(-Dean).

Rieka gamang antara membikin sendiri atau mem­beli tart untuk… ah ini kan untuk dimakan ra­mai-ramai.. bukan untuk Deraz seorang. Kenang-ke­nangan terakhir untuk Deraz sebelum melupakan co­wok itu untuk selama-lamanya loh, Ri. Kenang-ke­nangan yang akan hancur di lambung anak-anak OSIS dan keluar lagi dalam wujud feses. Tidak ada se­orangpun yang akan bilang pada Deraz, “Ini tart yang bikin Rika loh, Raz. Jangan dimakan ya, te­men-temen. Ini buat diawetin terus disimpen terus sa­ma Deraz biar Deraz enggak lupa sama Rika.” Ri­eka memutuskan untuk melemparkan tugas dari Alf pa­da Pak Sam. Rieka tidak akan membuka kotak ber­isi tart tersebut sampai Anyer, biar anak-anak sa­ja yang melakukannya.

Hari keberangkatan tiba. Pagi benar para sis­wa kelas XI sudah berkumpul. Sebagian bis un­tuk masing-masing kelas berjajar di area parkir SMANSON, selebihnya di sisi luar pagar. Korlap ko­ar-koar dengan megafon, semua harap bergegas su­paya tidak terlampau sore saat sampai di Anyer—ja­di kita semua bisa langsung main ombak!

Rieka yang disibukkan oleh kepanitiaan tur­bud hanya sempat melihat Dean sekali sebelum rom­bongan diberangkatkan kepala sekolah, saat anak-anak tengah memasukkan bawaan ke bagasi. Se­seorang berseru pada Dean, “Yan, bawa apaan tuh? Baju selam?”

Rombongan siswa kelas XI SMANSON pun me­ninggalkan Kota Bandung. Dari bis XI IPA 5 Ri­eka bertukar sms dengan Dean di bis XI IPS 2. Se­te­rusnya begitu walau rombongan berbaur saat ber­hen­ti untuk makan siang di suatu rumah makan. Ka­li ini keduanya dapat bertukar lirikan juga dari ko­loni masing-masing. Rieka merasa kurang ge­re­get. Apalagi ketika intensitas pertukaran sms ber­ku­rang sementara perjalanan berlanjut.

Rombongan sampai di penginapan di Anyer men­jelang gelap. Kemauan empat ratusan anak yang terbagi dalam sepuluh bis jelas berbeda-beda. Ada yang ingin langsung menuju kamar, ada yang ca­ri-cari pantai, ada yang minta makan, ada yang su­dah jalan-jalan, ada-ada deh! Rieka ingin ter­ma­suk yang ada-ada deh tapi sukar menolak perintah un­tuk ikut mengontrol anak-anak. Di tengah rusuh dan ajakan untuk ke sana ke mari, Dean pun ter­sing­kir dari pikiran Rieka. Ada kala ketika Rieka ingat, mata Rieka mencari-mencari hingga Dean ter­tangkap berkali-kali.

Hanya tiga hari dua malam, sejumput saja wak­tu untuk berdua.

Sehari semalam lewat tanpa terasa, yang Ri­eka habiskan bersama teman-temannya sesama ce­wek.

Pagi hingga siang berikutnya masih sama. Sa­tu angkatan tumpah ke jalanan di sekitar peng­i­nap­an hingga pantai. Sepertinya tidak ada yang ti­dak bersemangat untuk mengejar ombak, bahkan para panitia yang bertugas menyiapkan malam hu­ra-hura. Rieka pun bersukaria, men­do­ku­men­ta­si­kan momen bersama teman-teman dengan kamera, sa­ling lempar gumpalan pasir, berkelana dengan ba­nana boat, dan sebagainya.

Hei Rieka, bagaimana soal monumen de­ngan Dean, mo-nu-men, monumeen…!

Rieka pun sadar kalau ia sama sekali belum me­lihat Dean di pantai. Walau hanya mimpi Rieka ingat salah satu poin dalam “Panduan Penanganan Per­tama pada Dean”: “…kamu boleh ajak Dean ke ma­na aja, tapi jangan ke laut atau kolam renang. Dia enggak bisa lihat air dalam. Nanti dia pusing…” Ter­gugah niat Rieka untuk mencari Dean selepas ma­kan siang.

.

Ke penginapan cowok.

Jangan ah.

Siang dalam pemikiran Rieka adalah waktu di mana para cowok bermalas-malasan di kamar sam­bil pamer anggota tubuh tanpa sungkan-sung­kan.

Selepas asar kalau begitu, yang dalam pe­mi­kir­an Rieka adalah waktu di mana para cowok su­dah kembali segar untuk menyerbu pantai.

Asumsi Rieka terbukti.

Dalam perjalanan Rieka berpapasan dengan co­wok-cowok yang baru meninggalkan penginapan. Ting­gal segelintir tersisa di penginapan cowok, se­ba­gian tengah bersiap-siap untuk pergi juga. Be­be­ra­pa menegur Rieka, satu orang menunjukkan di ma­na kamar Dean.

Kamar cowok itu di lantai dua. Pintu terbuka le­bar. Dari ambang pintu Rieka mendapati Dean se­lon­jor di lantai, bersandar pada kayu salah satu tem­pat tidur, sedang kedua tangannya menekan-ne­kan tombol joystick. Di seberang Dean sebuah rak dengan TV 14 inch dan kotak PlayStation. Tidak ada lagi seorangpun di sana. Rieka bersimpuh di se­be­lah Dean, yang lantas melirik.

“Sempet-sempetnya… main PS,” tegur Rieka, yang disambut tawa Dean dalam gumaman.

Arah mata Dean kembali ke layar TV. “Ya ke­be­neran ada TV, ada colokan, gue bawa PS, ya tan­cep­in aja…”

“Udah jauh-jauh ke Anyer tuh dinikmatin… bu­kannya malah ngamar…”

“…males ah,” nada yang sama malas dengan wa­jahnya.

“Kamu sakit?” Rieka menempelkan pung­gung tangan ke dahi Dean, yang mengelak. Se­per­ti­nya Dean sehat saja, cuman agak suntuk. “…ka­sih­an kan panitianya, udah rempong-rempong nyi­ap­in…”

“…yang penting gue udah bayar…”

“Kamu kenapa sih?”

Dean diam.

“Pusing?”

“…enggak mood…”

“…enggak mood kenapa?” Bikin Rieka galau akan bibir yang melengkung ke bawah itu. Rieka me­nyandarkan kepala ke bahu Dean. Lama Dean ti­dak jawab. Perasaan buruk Dean telah menimpa Ri­eka beberapa kali sebelum ini, namun hanya se­sa­at. Dean tahu Rieka lebih senang melihat Dean yang ceria, senang melucu, bikin Rieka tertawa. Ri­eka tidak bisa membalasnya dengan cara yang sa­ma. “Orang-orang jadi ngira kita lagi kenapa-ke­na­pa coba,” imbuh Rieka.

Barulah Dean menoleh dengan air muka yang berubah. “Kita enggak kenapa-kenapa kan?”

“Ya kenapa-kenapa…” Rieka bersungut. “Ka­lau kamu diem melulu.”

Jeda lama sebelum, “Ri,” panggil Dean.

“Ya, Sayang?”

“Kenapa sih kamu mau jadi cewek aku?”

“Hm…”

“…aku enggak hebat.”

“…aku seneng sama kamu.” Rieka meng­ang­kat kepala.

“…seneng doang?”

“Aku sayang sama kamu…” Rieka memeluk se­belah lengan Dean.

Mobil yang dikemudikan Dean menabrak pem­batas jalan. Desah keluar dalam bisikan. “…yah…” Tulisan “GAME OVER” terpampang di la­yar TV. Dean menyodorkan joystick pada Rieka. “Neng mau main?”

“Enggak bisa.”

“Aku ajarin.”

“Kamu aja.”

“Aku bawa joystick satu lagi kok. Main dua­an aja.”

Apapun deh untuk membuat Dean men­ding­an. Bagaimanapun Rieka masih penasaran problem apa yang sebetulnya Dean simpan, mestinya bukan se­­ka­dar makanan penginapan yang tidak cocok atau betulan pusing dan tidak enak badan tapi tidak mau mengaku.

Sedikit-sedikit mereka mulai tertawa. Ter­se­nyum pada satu sama lain lain. Cara mengajar De­an yang tidak sok tahu, memberitahu Rieka se­ba­ik­nya be­gini dan begitu dengan lembut. Malah ber­so­rak ketika Rieka berhasil mengalahkannya. Mu­lut­nya yang pabrik puja dan puji. “Tuh kan, Neng mah pin­ter da, cepet diajarinnya juga…” Tapi se­lan­jut­nya Rieka hanya ingin mengamati Dean bermain. Ri­eka letakkan joystick, bersandar lagi di bahu De­an, lalu sedikit-sedikit bersuara karena tersengat ke­cerobohan Dean yang tidak di dunia nyata saja ter­nyata. Nyawa Dean habis. Rieka angkat lagi joy­stick dan mengajak Dean beradu. Lain kali ia ingin men­coba bersama Dean di rumah, rumahnya atau ru­mah Dean, tidak pergi ke manapun melainkan men­jadi zombi di layar kaca.

Cahaya yang merambah kamar sudah tidak se­terang semula. Rieka ingin ke pantai, menanti ma­tahari membenamkan senja. Sama siapa lagi ka­lau bukan Dean, walau memerlukan bujukan. Ak­hir­nya Dean mengiyakan, tapi setelah tamat satu ron­de lagi. Keburu sore… rengek Rieka. Iya Neng, iya.

“Eh tapi aku salat dulu deng. Entar kamu tung­gu di depan penginapan yang aku ya.”

“Salat di sini aja.”

“Orang mukenanya di kamar aku juga. Kamu udah salat belum?”

“Belum, he. Pake sarung aku atuh, Neng.”

“Ih kamu sukanya ngaco deh.”

Sekitar setengah jam kemudian dari beranda ka­mar Rieka melihat Dean di dekat pagar peng­i­nap­an cewek, sedang mengobrol dengan emang pe­da­gang bakso. Duh! Hobi mengobrol dengan emang-emang kambuh! Mereka pun mengudap se­mang­kuk bakso sebelum melaju ke pantai.

Dean kembali pendiam. Mereka menenteng san­dal masing-masing. Rieka pun tidak tergerak un­tuk bertukar kata. Ia arahkan Dean ke sisi pantai yang tidak begitu ramai. Banyak yang ingin me­nu­tup senja juga di sini.

Rieka mencari ranting atau semacam. Sesaat ia tidak indahkan Dean. Ia jadikan pasir sebagai bu­ku gambar. Ia gurat nama itu, “D”, “E”, ah, terhapus om­bak. Rieka mundur beberapa langkah. “d”, “e”, “a”, ups, nyaris, “n”. Rieka menoleh ke belakang. Di sa­na Dean duduk, mengawasi, tersenyum saat Ri­eka melihat.

“Sini dong!” teriakan Rieka dilahap debur om­bak.

“…pusing…” begitu perkataan Dean yang Ri­eka tangkap. Memang wajah cowok itu memucat.

Rieka teruskan menoreh. Namanya di bawah na­ma Dean. Tulang ikan. Bintang-bintang. Bunga. Ma­tahari. Ardian Hayyra, mataharinya, yang se­dang redup.

Rieka mendekati Dean. Tepat di depan Dean, ia membungkuk. Dean mendongak. Helai-helai ram­but Rieka yang panjang nyaris menimpa wajah De­an, Rieka selipkan gelombang itu ke balik te­linga. Sempat terlihat sekilas raut Dean yang ter­pa­ku, ketika wajah Rieka semakin dekat, semakin de­kat, ke wajahnya. Terkecup bibirnya. Kecupan per­ta­ma Rieka, yang Rieka ikhlaskan.

Rieka mengangkat wajah. Senyumnya ter­u­las begitu mendapati Dean yang terpana. Rieka meng­ulum bibirnya sendiri, merasakan jejak yang ba­ru singgah di sana, sekaligus untuk me­nyem­bu­nyi­kan grogi. Di matanya kini, setiap detail wajah De­an menjelma detail wajah Deraz. Mereka me­mang kembar, tapi, dulu mereka tidak semirip ini…

…aku bukan hanya senang sama kamu, tapi ju­ga sayang, dan… aku… cinta… kamu….

…Deraz…

“Balik yuk?” Wajah Rieka masih di atas wa­jah Dean. Helai-helai rambutnya bergelora, didera angin kencang yang menerpa dari belakang. “…nan­ti kamu masuk angin…”

Dean menyambut uluran tangan Rieka.

Pantai sudah begitu sepi ketika mereka ber­ja­lan untuk kembali ke penginapan. Angin meng­gu­yur mereka dengan asin yang pekat dari arah pan­tai. Ujung-ujung jemari kaki terbenam dalam kelam pa­sir, lalu terangkat dengan membawa gumpalan-gum­palan yang lantas terburai.

“…Neng, pernah kepikiran buat sekolah di lu­ar negeri?” tanya Dean.

Rieka tidak berminat. Toh banyak perguruan ting­gi yang bagus di dalam negeri. Lagipula Rieka be­lum mau jauh dari Mama dan Papa.

“…aku juga…” ucap Dean, meski kemudian, “ka­lau aku yang keluar negeri gimana?”

“Aku belum mau ngebayangin itu,” jawab Ri­eka.

Dean yang diam lagi, Rieka senggol ping­gang­nya dengan siku. “Ceria lagi dong, Yang...” Se­nyum Dean terulas, tapi tidak sungguh-sungguh, ma­ka sebelum mengerut kembali, “Bibir kamu jelek loh kalau manyun gitu…”

“Masak?” Dean manyun betulan. Ke­cup­an­nya menyosor ke pipi Rieka.

Rieka menjerit. Ia usap pipi. “Dean!” sergah Ri­eka. 

“Tadi siapa yang ngajak duluan…” senyum yang jahil.

Rieka terperangah, lalu dengan bertubi-tubi De­an sasarkan kecupan ke arahnya. Sontak Rieka meng­hindar, dan merajuk, meski tak satupun yang ke­na.

“Marah…?” nada yang menggoda.

Rieka bergeming. Ia tidak mau melihat De­an. Kening berkerut. Bibir terkatup rapat, ia bi­ar­kan tersapu angin saja.

Kecupan itu mendarat lagi, tepat, namun le­bih lembut. Rieka biarkan ia memagut, balas, ia ba­las lagi, agak lama… mmh… Deraz.

.

Malam hura-hura diisi dengan pentas seni di ru­ang makan salah satu penginapan. Tiap kelas me­ngi­rimkan perwakilan masing-masing. Tugas me­re­ka adalah menjadikan malam itu sebagai malam yang meriah, minimal mampu meledakkan tawa se­an­tero ruangan.

Dean yang malam itu banyak bengong. Se­ha­bis ikut penampilan anak-anak kelasnya, ia tidak meng­habiskan waktu lebih lama lagi di ruang ma­kan. Ia pamit pada Rieka, hendak balik ke kamar. Ia bilang ia bukan mendadak meriang atau apa, ha­nya ingin balik.

Semakin larut anak-anak OSIS minus Deraz mu­lai gelisah. Kejutan untuk Deraz seharusnya di­ge­lar sehabis acara bersama para jelata, dan ter­tu­tup bagi siapapun yang bukan anak OSIS. Tapi be­be­rapa anak non-OSIS masih betah tinggal dalam ruangan.

Lokasi kejutan sudah ditentukan sejak siang, dan kini beberapa orang telah ditugaskan untuk ber­siap di sana. Satu orang ditugaskan untuk meng­giring Deraz ke TKP tanpa menimbulkan pe­na­saran dan kecurigaan siapapun, baik anak non-OSIS maupun Deraz sendiri, begitu segalanya siap. Se­lebihnya mengendap-endap keluar ruangan de­ngan hati-hati.

Rieka termasuk kloter pertama yang me­ning­galkan ruang makan, ia dan seorang cewek lagi yang menyiapkan segala bahan untuk melempari De­raz dan dimakan ramai-ramai, serta para cowok yang kemudian mengatur strategi penyergapan De­raz.

“Pokoknya entar pas saya lempar telor, kamu lang­sung nyergap dari belakang, Lang.” 

“Badan si Deraz gede gitu. Entar saya kalau ke­banting gimana…”

“Tenang… Entar saya sama Galih bantuin da­ri samping, Son… Kamu juga, Luh!”

“Ngapain pake sergap-sergapan? Entar kita ikut kena lempar dong!”

Aksi dimulai. Jaka padahal Ipong, yang di­kla­im paling dekat dengan Deraz, membawa Deraz me­lintasi lorong penginapan yang jadi TKP. Dua orang cowok sembunyi di beranda. Selebihnya ber­pen­car di balik dinding pembatas kamar, di semak-se­mak, di manapun. Malam bantu menyelubungi me­reka. Sontak sesuatu melesat dan pecah di bahu De­raz—tembakan telak! Penyerbuan dimulai. Ma­lam itu memang bukan malam terakhir mereka ber­te­mu dengan Deraz. Tapi mereka memperlakukan De­raz seolah mereka ingin menghukum cowok itu ha­bis-habisan karena keputusannya untuk pergi—wa­lau sebenarnya panitia AFS lah yang me­nen­tu­kan. Mereka muncrati Deraz dengan telur, terigu, dan berbagai bahan lain—yang kalau di tangan De­raz bakal diolah menjadi kuchen—bagai jamaah haji me­lontar jumrah. Mereka tidak peduli bahwa me­re­ka sudah memecah hening, bahwa sebentar lagi ba­kal ada yang melempar desis bahkan gertak terusik pa­da mereka.

Tentu saja Rieka turut dalam gempita, meng­hayati kesempatan untuk bisa secair ini de­ngan Deraz—walau dilakukan beramai-ramai. Ia ber­teriak, Rieka tertawa. Rieka tertawa, ia ber­te­ri­ak.

Ia, yang barangkali tidak ingat Rieka sebagai ce­wek yang ia pernah menyatakan tidak suka, ce­wek yang kini jadi pacar si kembaran yang amat ia sa­yangi, cewek yang selalu ia nafikan sampai ka­pan­pun.

Ia, yang menyadarkan Rieka sebagai cewek yang memiliki kekurangan, yang entah bagaimana ha­rus menggenapinya.

Ia, yang akan kembali ke SMANSON setelah Ri­eka tidak lagi ada di sana.

Selamat tinggal selamanya, Deraz. Rieka ti­dak ingin bertemu lagi.

.

Hari ketiga turbud Dean memasuki bis XI IPA 5. Memanfaatkan bangku yang tersisa di bis, Ri­eka dan Dean bernegosiasi dengan teman se­bang­ku Rieka sebelumnya, hingga mereka bisa ber­san­ding di bangku dua seat sepanjang perjalanan kem­bali ke Bandung.

Anak-anak XI IPA 5 masih ingat bagaimana De­an mengintervensi mereka sebelumnya. Mereka ber­tanya-tanya sejak kapan Dean menjadi bagian da­ri mereka, begitu mendapati cowok itu dalam bis. Ba­rangkali ia hendak memainkan kibor lagi. Se­dang asyik mengobrol dengan Rieka, kaos Dean di­ta­rik-tarik. Anak-anak menyuruhnya ke depan bis un­tuk berorkes tunggal. Ada-ada deh!

Dean duduk di dekat jendela. Alih-alih me­man­tau pemandangan, ia malah lebih sering meng­ha­dap Rieka. Perlahan ia kembali menjadi Dean yang gemar bergurau, bercerita, dan balas men­de­ngar­kan cerita Rieka dengan penuh perhatian. Ha­nya sesekali saja Dean melempar pandang keluar, itu­pun ia akan berbagi dengan Rieka hal menarik apa yang ia lihat. Lagipula pemandangan tidak bisa di­lihat lama-lama. Rombongan bertolak dari Anyer sa­at sore, sehingga sebagian perjalanan terlalui da­lam gelap.

Belum separuh perjalanan suasana dalam bis su­dah senyap. Semula pendar remang-remang ma­sih mewarnai puncak-puncak kepala dan bangku, la­ma-lama meredup. Terdengar cakap dari be­be­ra­pa titik, meski sayup-sayup, salah satunya dari bang­ku Rieka dan Dean. Mereka masih asyik meng­ge­litiki satu sama lain.

“TANGAN DI ATAS. TANGAN DI ATAS.” Ko­ordinator kelas berkoar dengan megafon yang ke­betulan disimpan di bis XI IPA 5. Sontak lampu-lam­pu menyala. Dean refleks mengangkat kedua ta­ngan, begitupun semua cowok yang duduk se­bang­ku dengan cewek. Bis mampir di SPBU.

Lampu kembali dipadamkan. Rieka telah me­ngantuk, capek, sedari tadi mengoceh atau me­ngi­kik. Terjebak selama berjam-jam bersama Dean, Ri­eka menyadari bahwa ia tidak kuasa meng­im­bangi energi cowok itu. Seolah tidak habis-habis, pa­dahal kemarin lesunya kayak apa! Rieka be­nam­kan punggung dalam-dalam pada sandaran kursi, pe­jamkan mata.

Elusan pada bagian belakang telinga kiri Ri­eka. Kantuk Rieka seketika raib, digantikan getaran yang menjalari sekujur tubuh dari dalam.

“…jangan…” Rieka turunkan tangan Dean.

“Udah ngantuk?” suara Dean.

“…iya…” ucap Rieka tanpa daya. Matanya le­kas mengatup lagi.

Desahan Rieka. Tengkuknya. Rieka ter­se­ngat. Ia tegakkan tubuh. Tangan Dean ia turunkan hing­ga menempel di jok. Suara Rieka lebih tegas. “Ja­ngan.” O Dean. Lihatlah beban yang bercokol di ke­lopak mata Rieka! Katupan mata Rieka masih me­nyisakan celah untuk mengintip ketidakpuasan di wajah Dean. Tangan satu lagi naik, segera Rieka tang­kap. “Kenapa sih, kamu suka sentuh-sentuh ba­gian itu?”

“Pingin aja.”

“Kenapa harus di situ?”

Dean tidak menjawab. Tahu-tahu tangan De­an berusaha menjamah lagi. Dengan tangkas Rieka me­nahan. Tangan Dean yang satu tidak kalah gesit. Adu tangan berakhir ketika tengkuk Rieka berhasil di­usap. Lembut… lembut sekali… Rieka berusaha un­tuk tidak merintih sementara setrum mengaliri tu­buhnya.

“…udah ya?” nada Rieka memohon.

Dalam kilasan cahaya ia melihat Dean ter­ma­ngu. Pelukannya menelan Rieka, yang tidak pe­du­li lagi. Pokoknya Rieka mau tidur! Maka Rieka pe­jamkan mata, merasakan tubuh yang telah padat la­gi berisi. Betapa senang, betapa nyaman, seakan Ri­eka tidak akan dilepaskan lagi… jangan sampai hi­lang… tapi Rieka mendorongnya.

“…malu ah, Yan, entar ada yang lihat…” gu­mam­an Rieka tidak jelas. Kesadaran setengah ko­song.

Dean yang penurut, tidak lama kepala Rieka ja­tuh ke bahunya, dan lenyap. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain