Dean
suka membelai bagian belakang telinganya, mengusap tepian tengkuknya, atau
merengkuh separuh pinggangnya dari depan… yang baru Rieka sadari sebagai
bagian-bagian sensitifnya. Rasanya seperti dikemoceng dari dalam, dan sejurus
kemudian hangat menyebar timbulkan nyaman. Sensasi menggelikan yang membuat
ingin lagi dan lagi, tapi masih bisa ia kendalikan. Sentuhan menakjubkan dari
jari-jari yang panjang, tangan yang besar. Tidak tahu darimana Dean mengerti.
Kadang
cowok itu tahu-tahu merangkulnya dari belakang, tidak peduli Rieka tengah
bersama kawanan apalagi sorakan dari yang menyaksikan. Menyesap aroma rambut,
curi-curi mengecup tengkuk. Dengan kilat! Rieka bertanya-tanya apakah Dean
pernah salah mengganduli cewek. Jangan di sini, di Kabita, di lorong, di
manapun di sekolah yang sedang ramai-ramainya. Kenapa… maka Dean seolah
merajuk. Suka ada yang enggak senang. Ah itu mah sirik we meureun. Kan enggak baik bikin orang sirik. Justru sirik teh baik, biar jadi motivasi. Eeh…
Kasihan sama yang enggak mampu. Kan sudah diurus sama negara. Memangnya fakir
miskin dan anak telantar?—lagian itu mah cuman tulisan, belum tentu kelihatan
di lapangan!
Ketika
sekolah telah sunyi, sore mulai merambat, dan sesekali saja orang yang
wira-wiri, mereka masih di undakan keramik depan perpustakaan. Dean yang
memainkan jari-jarinya seakan setiap titik pada tubuh Rieka yang disentuhnya
sekonyong-konyong berubah jadi tuts, yang melantunkan nada. Rieka menangkapnya.
Rambut panjang Rieka beruntai di atas wajah Dean, membelai. Dean mendapat
mainan baru, yang dibalas Rieka.
“Rambut
kamu, Ayan…” Jemari Rieka mengelus sejumput rambut di atas dahi Dean. Tapi dalam
matanya juga ada pipi Dean, dagu Dean. “Masih suka di-smoothing?”
Dean
terkekeh. “Rambut itu enaknya yang lurus, hitam, lembut…” Tangannya mengurai
rambut Rieka yang terjulur menjadi beberapa bagian. Lengannya yang kukuh.
“Hm,
korban iklan,” seolah ia bukan. “Padahal rambut kita sama loh, Ayan…”
Mengikal, mengembang, dan sebetulnya agak kasar. Tentu saja Rieka tahu.
Perhatiannya tidak meluputkan rambut Deraz, dan secuil ingatan akan rambut
Dean semasa SD.
“Punya
kamu lebih item…”
“Rambut
kamu dibiarin apa adanya aja, Ayan…” Dean diam. “…pingin deh liat rambut kamu
kalau cepak.” Dean diam. Rieka diam.
Dean
mengangkat kepala dari pangkuan Rieka, lalu menyandarkan punggung pada
dinding. Dengan Rieka bersanding. “Neng, kenapa yah orang-orang mah bilang
pacaran teh enggak boleh?”
“Kamu
sendiri, pacaran.”
“…sama
siapa?”
“Jadi,
selama ini… kamu anggep aku… apa?”
Senyum
Dean. Rieka belum mau mengartikan, ia memilih untuk terus saja menanyakan
toh Dean pun mengelak dari jawaban.
.
Minggu
telah lewat. Kejutan di balik pintu kelas Rieka saat tiba jam istirahat.
“Ayaan…” Rieka menggapai kedua belah pipi yang telah tumbuh. Dean menurunkan
tangan Rieka dengan malu-malu. “Rambut kamu kenapaa?”
“Kan
kamu yang minta…”
“Potong
di mana?”
“Langganan
Ayah di Supratman…”
Dean…!
Kenapa bukan di Kosambi sekalian belanja seragam loreng-loreng… biar dikira
TNI! Rieka tergelak. Mata cowok itu yang bulat lagi besar jadi begitu
kentara. Rieka akan terbiasa. “Pendek banget…”
“…iya…
dikit lagi botak nih.”
Rieka
tergelak. Padahal Deraz saja masih membiarkan rambutnya beberapa senti lebih
panjang.
“Raz,
proposal yang OH tea kamu yang bawa
bukan?” Alf dari kelas di samping kelas Rieka kebetulan lewat sekalian
menuju sekre OSIS. Dean menodongkan emblem nama yang melekat di seragam. Alf
terperanjat.
“Jadi
mirip ya sama Deraz?” tanya Dean sepeninggalan Alf. Ia kelihatan tidak begitu
senang.
“Kalian
kan kembar… masak enggak mirip?”
Walau
tampak tidak senang terlihat mirip Deraz, ekspresi cowok itu kontras saat
bertemu si kembaran. Mereka bertemu saat Dean mengantar Rieka ke sekre OSIS,
bertukar keakraban seperti biasa. Dan seperti biasa pula Dean susah
melepaskan genggamannya pada tangan Rieka. Padahal seluruh teman sejawat
Rieka sudah membentuk lingkaran di dalam ruangan.
“Ih
udah lepasin dong, Yang.”
“Enggak
mau. Tangan kamu lembut banget sih.”
“Iyalah.
Pagi tadi aku luluran…”
“Pakai
yang kemarin beli di Bodyshop itu? Aku juga udah udah nyobain da yang buat adik aku tea.”
“Kamu
pakai juga? Ih pantes tangan kamu lembut juga…”
“Iya,
Sayang.”
“Udah,
Ayang, terlambat rapat nih!”
Kaki
Rieka pun menapak lantai sekre. Sontak semua mata tertuju pada Alf kembali.
Dengan lagak sok santai Alf pun melanjutkan kalimat yang ia lupa apa
kelanjutannya.
Tidak
ada agenda lagi setelah rapat OSIS kali itu. Deraz mengajak Dean pulang bareng.
Tepat ketika Rieka mengajak Dean belanja bareng. Bagaimanapun keduanya
sedang berdiri bersisian ketika Dean menghampiri.
“Abis
belanja kita ngapain, Neng?”
“…pulang…?”
“Gimana
kalau sekalian ngajak Deraz? Deraz, kamu ikutan sekalian enggak?”
Rieka
tidak menyangka Deraz akan menjawab, ”Gimana Rika aja.”
“Boleh.”
Belanja
bareng Deraz… demi apa?!
Semasa
SD Rieka lah yang duduk di samping Pak Sam, sementara si kembar dan adik mereka
menempati jok tengah. Rieka merengut, Dean mengoceh dengan Pak Sam, penumpang
lain terdiam. Semasa SMA Deraz yang menemani Pak Sam, sementara yang sejoli
beradu jempol di jok tengah. Deraz yang anteng memendarkan aura yang bikin Pak
Sam kikuk. Sepasang insan di belakang hanyut dalam lain dunia.
Riau
Junction yang tujuan Rieka menjadi lokasi tidak penting. Sebab ke mana lalu
di manapun ia dan Dean, kenyamanan bakal berkurang apabila Deraz membuntuti.
Rieka tidak bisa menafikan hawa keberadaan cowok itu. Deraz memang tidak
mengawasi yang pacaran, hanya sekadar serta ke manapun langkah mereka ambil.
Jarak bahkan dijaga hingga beberapa meter. Deraz berhenti ketika yang dua
berhenti. Sesekali Deraz tertinggal karena terlampau asyik mengamati barang
tertentu. Tahu-tahu ia sudah berada di sekitar Rieka dan Dean lagi. Sementara
yang dua membahas barang menarik yang ditemukan, Deraz meneliti barang menarik
menurut versinya. Termasuk di area perlengkapan bayi.
Kereta
dorong yang lucu-lucu… Yang merah muda, biru, kuning, oranye, atau kelabu.
Dean mengatakan pada Rieka kalau ia menginginkan jumlah anak perempuan dan
anak lelaki yang sama banyak.
“Emang
entar kamu mau punya anak berapa?” tanggap Rieka sambil lalu.
“…kalau
tiga… masing-masingnya kembar, berarti enam. Atau kalau misalnya entar kita dikasih
cowok dua, berarti kita bikin lagi dua, yang cewek.”
…kita?
“Jangan
banyak-banyak. Entar perut aku melar.” Rieka tidak mengerti kenapa ia harus menanggapi
ocehan Dean dengan serius. Menimang-nimang boneka atau kucing rupanya tidak
sama dengan keinginan memiliki anak sungguhan. Toh sekarang ini bagi Rieka
sudah cukup mengasuh Dean. Rieka segera mengalihkan perhatian… pada baju-baju
balita! Yang rok lebar… renda-renda dengan pita. Warna-warni pastel dan
bunga-bunga. Truk tangki di bagian dada. Baju monyet aih unyunya….
“…tapi
aku kan enggak bakal cari perempuan lain…” Dean masih melanjut saja. Tidak
sengaja Rieka melirik ke samping, dan mendapati Deraz, yang berjarak cukup
dekat, dengan senyumnya yang semisterius Benua Atlantis.
“…repot
ngasuhnya…” Rieka buru-buru memalingkan wajah.
“Aku
mau ngasuh mereka…” rengek Dean yang tidak mau kalah.
“Kamu
kan nanti kerja…!” tandas Rieka.
Deraz
yang berada lebih dekat dengan Dean memperlihatkan sepasang pakaian pada si
kembaran, “Ini… bagus buat kembar cewek-cowok?” bak seorang paman yang
sedang memilih kado untuk para calon keponakan.
.
Keinginan
Rieka untuk mengalami ulang tahun ke-17 yang damai tercapai. Tidak ada undang
sana-sini. Tidak ada kawanan yang berhaha-hihi. Tidak ada hidangan ala kafe.
Tidak ada panggung di mana seseorang memainkan lagu yang salah. Yang ada hanya
Mama dan Papa dan berbagai penganan yang diolah oleh tangan Rieka sendiri
(dengan mengecualikan kontribusi Bik Mirah dan kerabatnya) dan menanti
kedatangan Dean.
Rieka
masih menyiapkan sajian di meja makan ketika bel berbunyi. Pasti Dean!
“Papaa…
tolong bukain dulu ih!” seru Rieka karena kebetulan Papa yang berada paling
dekat dengannya. Papa yang menurut.
Sayup-sayup
Rieka dengar suara Papa dari ruang tamu, “Oh… Dean… kirain si Winnie…” lalu entah
apa lagi, Rieka terlalu larut dalam keasyikan menata. Tidak sabar mengalami
kebahagiaan dalam kesederhanaan suatu perayaan—kata-kata yang ia kutip dari
kartu ucapan di kado ulang tahunnya… yang setahun lalu. Yang Rieka dengar lagi
adalah suara pintu ditutup. Papa kembali tanpa Dean. “Eka, katanya Eka yang
buka sendiri ceunah,” kata Papa
Rieka.
Ih
cowok yang aneh!
Rieka
yang menurut. Ia buka lagi pintu yang belum lama ditutup itu. “Uwaaah….!”
jeritnya. Rieka langsung menghambur dengan pelukan yang erat. Oh… Boneka
Winnie yang besar sekali… begitu empuk. Rieka dan Dean saling memeluk dengan
boneka yang nyaris seukuran tubuh mereka sebagai perantara. Sampai wajah usil
Dean muncul di samping wajah Winnie. Rieka meringis. “Kamu bawa ini gimana…
dianter sama orangtua kamu?” Akhirnya Dean melangkah ke dalam rumah juga.
Cowok itu melapisi pakaian “resmi”-nya dengan jumper merah, biar senada dengan kaos yang dikenakan Winnie.
“Sama
ojek.”
“Ojeek…?!”
Tidak
mungkin tidak. Di atas motor Dean memeluk Winnie yang memeluk mang ojek… menembus
malam yang dingin sekaligus gemerlap oleh lampu jalanan… Motor melonjak saat
lewati polisi tidur. Tiga serangkai melayang sesaat dilatari gemintang.
“Orangtua
aku lagi pada pergi…” Bunda di Aussie, Ayah di Berastagi.
Perayaan
ulang tahun yang khidmat, dengan tart
bikinan sendiri walau Teh Aina yang mengocok adonannya. Di malam itu Papa
akhirnya menyerahkan kunci mobil yang sebenarnya sudah sejak lama ia belikan
untuk Rieka, sehingga kado dari Papa bukan lagi kejutan. Toh sudah sejak lama
pula Rieka melihat March tersebut terpajang di garasi.
“Kok
March sih?” tanya Dean ketika Rieka membuka kunci mobil tersebut untuk pertama
kali.
“Habis
enggak ada yang May sih,” jawab Rieka, mengingat bulan di mana ia berulang
tahun.
“Ih
udah bisa ngelucu ya?”
Rieka
langsung mencubiti Dean, yang kontan mengelak sambil tergelak-gelak. Walau
sejurus kemudian ketika mereka mencoba mobil itu di carport, Rieka yang pegang setir tentu saja, Dean protes. “Ini
enggak lucu, Neng! Harusnya saya yang dapet kendaraan duluan, terus
nganter-jemput Neng ke mana-mana. Terus gimana mobilitas kita, Neng, kalau
Neng ke mana-mana udah bawa kendaraan sendiri sementara saya enggak?”
Rieka
mengerjapkan mata. Dean kenal kata “mobilitas”! Easy, Dean, bukankah selama inipun kamu memang sudah biasa
menebeng kendaraan Rieka? Lagipula Rieka belum bikin SIM. “Ya udah entar kita
bikin SIM bareng ya?” tawar Rieka. Bunda tidak mengizinkan Dean bikin SIM
sampai usianya genap 17 tahun, yang mana masih… Juni, Juli, Agustus… akhir
Agustus pula!—ini masih awal Mei!—lebih dari tiga bulan lagi. Bagaimanapun Bunda
sudah menjanjikan Ninja untuk Dean, yang bisa loncat-loncat di atap dan
menerbangkan shuriken itu loh.
“Kalau gitu aku bikin SIM duluan enggak apa-apa ya? Entar aku anterin kamu ke
Babah Al,” hibur Rieka. “Atau mau aku ajarin nyetir? Eh kita juga bisa
ngobrol-ngobrol di mobil enggak ada yang ngupingin lagi, hihihi…” Selamat
tinggal Pak Sam!
Dean
pamit sebelum malam melarut. Rieka seperti biasa mengantar sampai pagar.
Olala. Masih ada satu hadiah lagi dari Dean! Dean memakaikannya di
pergelangan tangan Rieka. Terasakan oleh Rieka cowok itu menahan kegembiraan
yang hebat, dan kepuasan yang besar begitu lingkaran keemasan itu
menggantung. “Ini kado yang sebenernya mau aku kasih tahun lalu…” Oh… Rieka
takjub. Setahun lamanya benda itu menunggu!
Jemari
Rieka merabai mentari-mentari kecil yang menghias sekujur gelang. “Kok
matahari…” Karena aku jadi hangat kalau sama kamu, Rieka sudah bisa mendengar
jawaban itu di dalam kepala. Mungkin ini yang dinamakan telepati.
“Enggak
tahu. Ibu aku yang milihin.”
Oh.
Dean…!
.
Rieka
ingin menulisi satu halaman penuh buku tulis dengan empat huruf itu. D, E, A,
lalu N.
Dean,
yang kemarin Rieka keseleo memanggilnya “Deraz”, tapi lempeng saja,
belakangan Rieka lupa kalau mereka adalah dua individu yang berbeda—Rieka
tidak akan mengulanginya lagi!
Dean,
yang siap menghibur di sela-sela kesibukan Rieka bersama OSIS—kejar
proker-proker yang belum jalan di akhir kepengurusan! Menanti di Kabita hingga
dipan depan OSIS. Memberi tips untuk memudarkan bayang-bayang hitam di bawah
mata. “Hebat loh, kalau kamu bisa ngerjain semua itu tanpa harus kurang tidur.
Dicoba aja dulu. Yang penting tidurnya cukup, minimal enam jam. Barangkali
entar kamu bisa punya energi lebih buat ngerjain tugas-tugas kamu dengan lebih
cepet? Ya enggak, Say? The power of kepepet…
Bukan masalah waktunya, tapi kemampuan kamu buat ngerjain itu semua dengan
lebih cepet.” Dean tidak menyia-nyiakan informasi yang ia dapat dari
kegemarannya membaca majalah. Menyegarkan dengan sentuhan-sentuhannya yang
menggetarkan. “Nakal! Enggak boleh naa-kal, Yayaan…” Rieka mengacungkan jari
di depan muka Dean setelah akhirnya berhasil menjaga jarak dari cowok itu.
“Pingin nakaal…” rajukan manjanya. Menyebarkan wabah penyakit hati berupa
sirik sampai dengki ke setiap insan yang menyaksikan.
Dean,
yang sesekali minta diajari mengendarai mobil. Rieka turuti, walau grogi
kalau Dean yang pegang kendali di jalan raya. “Kamu nyetirnya entar pas udah
sampai kompleks aja ya, Ayan…”
Dean,
yang di suatu hari tampak dengan lebam. Dean, yang sama sekali tidak ada
tampang doyan kelahi. “Itu kenapa?” maka wajar apabila Rieka memekik.
“Makanya aku bilang kamu tuh jangan main sama anak-anak kayak BASTARD itu!”
sambung Rieka dengan penekanan pada tiap kata. “Bukan sama BASTARD, Neng,”
sanggah Dean. “Sama siapa?” kejar Rieka. “Lama-lama juga ilang,” ucap Dean.
Rieka mencecar. Dean mengajak Rieka berasumsi kalau lebam Dean diakibatkan
benturan dengan tembok yang tidak disengaja. Rieka tidak sepolos itu!
Dean,
yang mogok les piano. “Aku enggak bisa, Neng, digitu-gituin terus. Aku main
piano buat bebas, enggak buat yang lain-lainnya. Udah. Mending sore ini kita
momobilan ke Tegallega aja yuk, Neng.”
Dean,
yang biasanya ekspresif namun tidak ekspresif saat menyinggung hal yang
menurut Rieka sudah pasti sangat pribadi. Dasar cowok! Di mana-mana sama! Sok
kuat! Sok bisa menanggung semua sendiri!
Dean,
yang lebih memilih untuk mencari kesenangan ketimbang terseret dalam
kecemasan Rieka. Toh Rieka jua sumber kesenangan Dean.
.
Tur
budaya, yang lebih enak disebut dengan turbud, diputuskan ke Anyer. Batal ke
Bali. Anggaran terbatas. Kebanyakan proker. Salahkan Alf. Pokoknya semua
salah Alf!
Walaupun
dinamakan “tur budaya”, tidak ada budaya apapun yang bakal dipelajari selain budaya
hura-hura. Bagi kebanyakan siswa kelas XI, turbud adalah sarana untuk
berenang-renang sebelum berakit-rakit—UAS mengadang tepat seminggu setelah
turbud. Bagi pengurus OSIS, turbud adalah momen untuk melepas dengan meriah
Kabid I yang telah lolos seleksi AFS dan akan terbang ke Jerman semester
depan. Bagi Rieka, turbud di manapun lokasinya bisa menjadi monumen atas
hubungannya dengan Dean. Sebuah pencapaian bagi Rieka. Sebelumnya ia tidak
pernah bertahan dengan seorang cowok hingga delapan bulan. Bagi Rieka, mengingat
statusnya sebagai bagian dari pengurus OSIS, turbud juga merupakan perayaan
akan kepergian Deraz!—walau masih sekitar dua bulan lagi.
Alf
menugasi Rieka untuk membeli tart.
“Terserah lah tart-nya mau gimana
juga, yang penting yang bisa dimakan rame-rame sama anak-anak OSIS. Tombokin
dulu lah. Si bendum baru mau ngajakin anak-anak patungan.” Mengingat Alf pernah
mengklaim diri sebagai mediator antara Rieka dengan Ipong, Rieka pun komplain,
“Ini… Ipong yah?” Alf memandang Rieka dengan heran. “Mau si Jaka mau si bukan,
yang penting tart-nya ada, Ri.” Rieka
baru sadar Alf (semestinya) tidak mengetahui polemik antara
Rieka-Ipong-Deraz(-Dean).
Rieka
gamang antara membikin sendiri atau membeli tart untuk… ah ini kan untuk dimakan ramai-ramai.. bukan untuk
Deraz seorang. Kenang-kenangan terakhir untuk Deraz sebelum melupakan cowok
itu untuk selama-lamanya loh, Ri. Kenang-kenangan yang akan hancur di lambung
anak-anak OSIS dan keluar lagi dalam wujud feses. Tidak ada seorangpun yang
akan bilang pada Deraz, “Ini tart yang
bikin Rika loh, Raz. Jangan dimakan ya, temen-temen. Ini buat diawetin terus
disimpen terus sama Deraz biar Deraz enggak lupa sama Rika.” Rieka memutuskan
untuk melemparkan tugas dari Alf pada Pak Sam. Rieka tidak akan membuka kotak
berisi tart tersebut sampai Anyer,
biar anak-anak saja yang melakukannya.
Hari
keberangkatan tiba. Pagi benar para siswa kelas XI sudah berkumpul. Sebagian
bis untuk masing-masing kelas berjajar di area parkir SMANSON, selebihnya di
sisi luar pagar. Korlap koar-koar dengan megafon, semua harap bergegas supaya
tidak terlampau sore saat sampai di Anyer—jadi kita semua bisa langsung main
ombak!
Rieka
yang disibukkan oleh kepanitiaan turbud hanya sempat melihat Dean sekali
sebelum rombongan diberangkatkan kepala sekolah, saat anak-anak tengah
memasukkan bawaan ke bagasi. Seseorang berseru pada Dean, “Yan, bawa apaan
tuh? Baju selam?”
Rombongan
siswa kelas XI SMANSON pun meninggalkan Kota Bandung. Dari bis XI IPA 5 Rieka
bertukar sms dengan Dean di bis XI IPS 2. Seterusnya begitu walau rombongan
berbaur saat berhenti untuk makan siang di suatu rumah makan. Kali ini
keduanya dapat bertukar lirikan juga dari koloni masing-masing. Rieka merasa
kurang gereget. Apalagi ketika intensitas pertukaran sms berkurang
sementara perjalanan berlanjut.
Rombongan
sampai di penginapan di Anyer menjelang gelap. Kemauan empat ratusan anak yang
terbagi dalam sepuluh bis jelas berbeda-beda. Ada yang ingin langsung menuju
kamar, ada yang cari-cari pantai, ada yang minta makan, ada yang sudah
jalan-jalan, ada-ada deh! Rieka ingin termasuk yang ada-ada deh tapi sukar
menolak perintah untuk ikut mengontrol anak-anak. Di tengah rusuh dan ajakan
untuk ke sana ke mari, Dean pun tersingkir dari pikiran Rieka. Ada kala
ketika Rieka ingat, mata Rieka mencari-mencari hingga Dean tertangkap
berkali-kali.
Hanya
tiga hari dua malam, sejumput saja waktu untuk berdua.
Sehari
semalam lewat tanpa terasa, yang Rieka habiskan bersama teman-temannya sesama
cewek.
Pagi
hingga siang berikutnya masih sama. Satu angkatan tumpah ke jalanan di sekitar
penginapan hingga pantai. Sepertinya tidak ada yang tidak bersemangat untuk
mengejar ombak, bahkan para panitia yang bertugas menyiapkan malam hura-hura.
Rieka pun bersukaria, mendokumentasikan momen bersama teman-teman dengan
kamera, saling lempar gumpalan pasir, berkelana dengan banana boat, dan sebagainya.
Hei
Rieka, bagaimana soal monumen dengan Dean, mo-nu-men, monumeen…!
Rieka
pun sadar kalau ia sama sekali belum melihat Dean di pantai. Walau hanya mimpi
Rieka ingat salah satu poin dalam “Panduan Penanganan Pertama pada Dean”:
“…kamu boleh ajak Dean ke mana aja, tapi jangan ke laut atau kolam renang. Dia
enggak bisa lihat air dalam. Nanti dia pusing…” Tergugah niat Rieka untuk
mencari Dean selepas makan siang.
.
Ke
penginapan cowok.
Jangan
ah.
Siang
dalam pemikiran Rieka adalah waktu di mana para cowok bermalas-malasan di kamar
sambil pamer anggota tubuh tanpa sungkan-sungkan.
Selepas
asar kalau begitu, yang dalam pemikiran Rieka adalah waktu di mana para
cowok sudah kembali segar untuk menyerbu pantai.
Asumsi
Rieka terbukti.
Dalam
perjalanan Rieka berpapasan dengan cowok-cowok yang baru meninggalkan
penginapan. Tinggal segelintir tersisa di penginapan cowok, sebagian tengah
bersiap-siap untuk pergi juga. Beberapa menegur Rieka, satu orang
menunjukkan di mana kamar Dean.
Kamar
cowok itu di lantai dua. Pintu terbuka lebar. Dari ambang pintu Rieka
mendapati Dean selonjor di lantai, bersandar pada kayu salah satu tempat
tidur, sedang kedua tangannya menekan-nekan tombol joystick. Di seberang Dean sebuah rak dengan TV 14 inch dan kotak PlayStation. Tidak ada
lagi seorangpun di sana. Rieka bersimpuh di sebelah Dean, yang lantas melirik.
“Sempet-sempetnya…
main PS,” tegur Rieka, yang disambut tawa Dean dalam gumaman.
Arah
mata Dean kembali ke layar TV. “Ya kebeneran ada TV, ada colokan, gue bawa
PS, ya tancepin aja…”
“Udah
jauh-jauh ke Anyer tuh dinikmatin… bukannya malah ngamar…”
“…males
ah,” nada yang sama malas dengan wajahnya.
“Kamu
sakit?” Rieka menempelkan punggung tangan ke dahi Dean, yang mengelak. Sepertinya
Dean sehat saja, cuman agak suntuk. “…kasihan kan panitianya, udah
rempong-rempong nyiapin…”
“…yang
penting gue udah bayar…”
“Kamu
kenapa sih?”
Dean
diam.
“Pusing?”
“…enggak
mood…”
“…enggak
mood kenapa?” Bikin Rieka galau akan
bibir yang melengkung ke bawah itu. Rieka menyandarkan kepala ke bahu Dean.
Lama Dean tidak jawab. Perasaan buruk Dean telah menimpa Rieka beberapa kali
sebelum ini, namun hanya sesaat. Dean tahu Rieka lebih senang melihat Dean
yang ceria, senang melucu, bikin Rieka tertawa. Rieka tidak bisa membalasnya
dengan cara yang sama. “Orang-orang jadi ngira kita lagi kenapa-kenapa coba,”
imbuh Rieka.
Barulah
Dean menoleh dengan air muka yang berubah. “Kita enggak kenapa-kenapa kan?”
“Ya
kenapa-kenapa…” Rieka bersungut. “Kalau kamu diem melulu.”
Jeda
lama sebelum, “Ri,” panggil Dean.
“Ya,
Sayang?”
“Kenapa
sih kamu mau jadi cewek aku?”
“Hm…”
“…aku
enggak hebat.”
“…aku
seneng sama kamu.” Rieka mengangkat kepala.
“…seneng
doang?”
“Aku
sayang sama kamu…” Rieka memeluk sebelah lengan Dean.
Mobil
yang dikemudikan Dean menabrak pembatas jalan. Desah keluar dalam bisikan.
“…yah…” Tulisan “GAME OVER” terpampang di layar TV. Dean menyodorkan joystick pada Rieka. “Neng mau main?”
“Enggak
bisa.”
“Aku
ajarin.”
“Kamu
aja.”
“Aku
bawa joystick satu lagi kok. Main duaan
aja.”
Apapun
deh untuk membuat Dean mendingan. Bagaimanapun Rieka masih penasaran problem
apa yang sebetulnya Dean simpan, mestinya bukan sekadar makanan penginapan
yang tidak cocok atau betulan pusing dan tidak enak badan tapi tidak mau
mengaku.
Sedikit-sedikit
mereka mulai tertawa. Tersenyum pada satu sama lain lain. Cara mengajar Dean
yang tidak sok tahu, memberitahu Rieka sebaiknya begini dan begitu dengan
lembut. Malah bersorak ketika Rieka berhasil mengalahkannya. Mulutnya yang
pabrik puja dan puji. “Tuh kan, Neng mah pinter da, cepet diajarinnya juga…” Tapi selanjutnya Rieka hanya ingin
mengamati Dean bermain. Rieka letakkan joystick,
bersandar lagi di bahu Dean, lalu sedikit-sedikit bersuara karena tersengat kecerobohan
Dean yang tidak di dunia nyata saja ternyata. Nyawa Dean habis. Rieka angkat
lagi joystick dan mengajak Dean
beradu. Lain kali ia ingin mencoba bersama Dean di rumah, rumahnya atau rumah
Dean, tidak pergi ke manapun melainkan menjadi zombi di layar kaca.
Cahaya
yang merambah kamar sudah tidak seterang semula. Rieka ingin ke pantai,
menanti matahari membenamkan senja. Sama siapa lagi kalau bukan Dean, walau
memerlukan bujukan. Akhirnya Dean mengiyakan, tapi setelah tamat satu ronde
lagi. Keburu sore… rengek Rieka. Iya Neng, iya.
“Eh
tapi aku salat dulu deng. Entar kamu tunggu di depan penginapan yang aku ya.”
“Salat
di sini aja.”
“Orang
mukenanya di kamar aku juga. Kamu udah salat belum?”
“Belum,
he. Pake sarung aku atuh, Neng.”
“Ih
kamu sukanya ngaco deh.”
Sekitar
setengah jam kemudian dari beranda kamar Rieka melihat Dean di dekat pagar
penginapan cewek, sedang mengobrol dengan emang pedagang bakso. Duh! Hobi
mengobrol dengan emang-emang kambuh! Mereka pun mengudap semangkuk bakso
sebelum melaju ke pantai.
Dean
kembali pendiam. Mereka menenteng sandal masing-masing. Rieka pun tidak
tergerak untuk bertukar kata. Ia arahkan Dean ke sisi pantai yang tidak begitu
ramai. Banyak yang ingin menutup senja juga di sini.
Rieka
mencari ranting atau semacam. Sesaat ia tidak indahkan Dean. Ia jadikan pasir
sebagai buku gambar. Ia gurat nama itu, “D”, “E”, ah, terhapus ombak. Rieka
mundur beberapa langkah. “d”, “e”, “a”, ups, nyaris, “n”. Rieka menoleh ke
belakang. Di sana Dean duduk, mengawasi, tersenyum saat Rieka melihat.
“Sini
dong!” teriakan Rieka dilahap debur ombak.
“…pusing…”
begitu perkataan Dean yang Rieka tangkap. Memang wajah cowok itu memucat.
Rieka
teruskan menoreh. Namanya di bawah nama Dean. Tulang ikan. Bintang-bintang.
Bunga. Matahari. Ardian Hayyra, mataharinya, yang sedang redup.
Rieka
mendekati Dean. Tepat di depan Dean, ia membungkuk. Dean mendongak. Helai-helai
rambut Rieka yang panjang nyaris menimpa wajah Dean, Rieka selipkan gelombang
itu ke balik telinga. Sempat terlihat sekilas raut Dean yang terpaku, ketika
wajah Rieka semakin dekat, semakin dekat, ke wajahnya. Terkecup bibirnya.
Kecupan pertama Rieka, yang Rieka ikhlaskan.
Rieka
mengangkat wajah. Senyumnya terulas begitu mendapati Dean yang terpana. Rieka
mengulum bibirnya sendiri, merasakan jejak yang baru singgah di sana,
sekaligus untuk menyembunyikan grogi. Di matanya kini, setiap detail wajah
Dean menjelma detail wajah Deraz. Mereka memang kembar, tapi, dulu mereka
tidak semirip ini…
…aku
bukan hanya senang sama kamu, tapi juga sayang, dan… aku… cinta… kamu….
…Deraz…
“Balik
yuk?” Wajah Rieka masih di atas wajah Dean. Helai-helai rambutnya bergelora,
didera angin kencang yang menerpa dari belakang. “…nanti kamu masuk angin…”
Dean
menyambut uluran tangan Rieka.
Pantai
sudah begitu sepi ketika mereka berjalan untuk kembali ke penginapan. Angin
mengguyur mereka dengan asin yang pekat dari arah pantai. Ujung-ujung jemari
kaki terbenam dalam kelam pasir, lalu terangkat dengan membawa gumpalan-gumpalan
yang lantas terburai.
“…Neng,
pernah kepikiran buat sekolah di luar negeri?” tanya Dean.
Rieka
tidak berminat. Toh banyak perguruan tinggi yang bagus di dalam negeri.
Lagipula Rieka belum mau jauh dari Mama dan Papa.
“…aku
juga…” ucap Dean, meski kemudian, “kalau aku yang keluar negeri gimana?”
“Aku
belum mau ngebayangin itu,” jawab Rieka.
Dean
yang diam lagi, Rieka senggol pinggangnya dengan siku. “Ceria lagi dong,
Yang...” Senyum Dean terulas, tapi tidak sungguh-sungguh, maka sebelum
mengerut kembali, “Bibir kamu jelek loh kalau manyun gitu…”
“Masak?”
Dean manyun betulan. Kecupannya menyosor ke pipi Rieka.
Rieka
menjerit. Ia usap pipi. “Dean!” sergah Rieka.
“Tadi
siapa yang ngajak duluan…” senyum yang jahil.
Rieka
terperangah, lalu dengan bertubi-tubi Dean sasarkan kecupan ke arahnya. Sontak
Rieka menghindar, dan merajuk, meski tak satupun yang kena.
“Marah…?”
nada yang menggoda.
Rieka
bergeming. Ia tidak mau melihat Dean. Kening berkerut. Bibir terkatup rapat,
ia biarkan tersapu angin saja.
Kecupan
itu mendarat lagi, tepat, namun lebih lembut. Rieka biarkan ia memagut, balas,
ia balas lagi, agak lama… mmh… Deraz.
.
Malam
hura-hura diisi dengan pentas seni di ruang makan salah satu penginapan. Tiap
kelas mengirimkan perwakilan masing-masing. Tugas mereka adalah menjadikan
malam itu sebagai malam yang meriah, minimal mampu meledakkan tawa seantero
ruangan.
Dean
yang malam itu banyak bengong. Sehabis ikut penampilan anak-anak kelasnya, ia
tidak menghabiskan waktu lebih lama lagi di ruang makan. Ia pamit pada Rieka,
hendak balik ke kamar. Ia bilang ia bukan mendadak meriang atau apa, hanya
ingin balik.
Semakin
larut anak-anak OSIS minus Deraz mulai gelisah. Kejutan untuk Deraz seharusnya
digelar sehabis acara bersama para jelata, dan tertutup bagi siapapun yang
bukan anak OSIS. Tapi beberapa anak non-OSIS masih betah tinggal dalam
ruangan.
Lokasi
kejutan sudah ditentukan sejak siang, dan kini beberapa orang telah ditugaskan
untuk bersiap di sana. Satu orang ditugaskan untuk menggiring Deraz ke TKP
tanpa menimbulkan penasaran dan kecurigaan siapapun, baik anak non-OSIS
maupun Deraz sendiri, begitu segalanya siap. Selebihnya mengendap-endap keluar
ruangan dengan hati-hati.
Rieka
termasuk kloter pertama yang meninggalkan ruang makan, ia dan seorang cewek
lagi yang menyiapkan segala bahan untuk melempari Deraz dan dimakan
ramai-ramai, serta para cowok yang kemudian mengatur strategi penyergapan Deraz.
“Pokoknya
entar pas saya lempar telor, kamu langsung nyergap dari belakang, Lang.”
“Badan
si Deraz gede gitu. Entar saya kalau kebanting gimana…”
“Tenang…
Entar saya sama Galih bantuin dari samping, Son… Kamu juga, Luh!”
“Ngapain
pake sergap-sergapan? Entar kita ikut kena lempar dong!”
Aksi
dimulai. Jaka padahal Ipong, yang diklaim paling dekat dengan Deraz, membawa
Deraz melintasi lorong penginapan yang jadi TKP. Dua orang cowok sembunyi di
beranda. Selebihnya berpencar di balik dinding pembatas kamar, di semak-semak,
di manapun. Malam bantu menyelubungi mereka. Sontak sesuatu melesat dan pecah
di bahu Deraz—tembakan telak! Penyerbuan dimulai. Malam itu memang bukan
malam terakhir mereka bertemu dengan Deraz. Tapi mereka memperlakukan Deraz
seolah mereka ingin menghukum cowok itu habis-habisan karena keputusannya
untuk pergi—walau sebenarnya panitia AFS lah yang menentukan. Mereka
muncrati Deraz dengan telur, terigu, dan berbagai bahan lain—yang kalau di
tangan Deraz bakal diolah menjadi kuchen—bagai
jamaah haji melontar jumrah. Mereka tidak peduli bahwa mereka sudah memecah
hening, bahwa sebentar lagi bakal ada yang melempar desis bahkan gertak
terusik pada mereka.
Tentu
saja Rieka turut dalam gempita, menghayati kesempatan untuk bisa secair ini dengan
Deraz—walau dilakukan beramai-ramai. Ia berteriak, Rieka tertawa. Rieka
tertawa, ia berteriak.
Ia,
yang barangkali tidak ingat Rieka sebagai cewek yang ia pernah menyatakan
tidak suka, cewek yang kini jadi pacar si kembaran yang amat ia sayangi,
cewek yang selalu ia nafikan sampai kapanpun.
Ia,
yang menyadarkan Rieka sebagai cewek yang memiliki kekurangan, yang entah
bagaimana harus menggenapinya.
Ia,
yang akan kembali ke SMANSON setelah Rieka tidak lagi ada di sana.
Selamat
tinggal selamanya, Deraz. Rieka tidak ingin bertemu lagi.
.
Hari
ketiga turbud Dean memasuki bis XI IPA 5. Memanfaatkan bangku yang tersisa di
bis, Rieka dan Dean bernegosiasi dengan teman sebangku Rieka sebelumnya,
hingga mereka bisa bersanding di bangku dua seat sepanjang perjalanan kembali ke Bandung.
Anak-anak
XI IPA 5 masih ingat bagaimana Dean mengintervensi mereka sebelumnya. Mereka
bertanya-tanya sejak kapan Dean menjadi bagian dari mereka, begitu mendapati
cowok itu dalam bis. Barangkali ia hendak memainkan kibor lagi. Sedang asyik
mengobrol dengan Rieka, kaos Dean ditarik-tarik. Anak-anak menyuruhnya ke
depan bis untuk berorkes tunggal. Ada-ada deh!
Dean
duduk di dekat jendela. Alih-alih memantau pemandangan, ia malah lebih sering
menghadap Rieka. Perlahan ia kembali menjadi Dean yang gemar bergurau,
bercerita, dan balas mendengarkan cerita Rieka dengan penuh perhatian. Hanya
sesekali saja Dean melempar pandang keluar, itupun ia akan berbagi dengan
Rieka hal menarik apa yang ia lihat. Lagipula pemandangan tidak bisa dilihat
lama-lama. Rombongan bertolak dari Anyer saat sore, sehingga sebagian
perjalanan terlalui dalam gelap.
Belum
separuh perjalanan suasana dalam bis sudah senyap. Semula pendar remang-remang
masih mewarnai puncak-puncak kepala dan bangku, lama-lama meredup. Terdengar
cakap dari beberapa titik, meski sayup-sayup, salah satunya dari bangku
Rieka dan Dean. Mereka masih asyik menggelitiki satu sama lain.
“TANGAN
DI ATAS. TANGAN DI ATAS.” Koordinator kelas berkoar dengan megafon yang kebetulan
disimpan di bis XI IPA 5. Sontak lampu-lampu menyala. Dean refleks mengangkat
kedua tangan, begitupun semua cowok yang duduk sebangku dengan cewek. Bis
mampir di SPBU.
Lampu
kembali dipadamkan. Rieka telah mengantuk, capek, sedari tadi mengoceh atau mengikik.
Terjebak selama berjam-jam bersama Dean, Rieka menyadari bahwa ia tidak kuasa
mengimbangi energi cowok itu. Seolah tidak habis-habis, padahal kemarin
lesunya kayak apa! Rieka benamkan punggung dalam-dalam pada sandaran kursi,
pejamkan mata.
Elusan
pada bagian belakang telinga kiri Rieka. Kantuk Rieka seketika raib,
digantikan getaran yang menjalari sekujur tubuh dari dalam.
“…jangan…”
Rieka turunkan tangan Dean.
“Udah
ngantuk?” suara Dean.
“…iya…”
ucap Rieka tanpa daya. Matanya lekas mengatup lagi.
Desahan
Rieka. Tengkuknya. Rieka tersengat. Ia tegakkan tubuh. Tangan Dean ia
turunkan hingga menempel di jok. Suara Rieka lebih tegas. “Jangan.” O Dean.
Lihatlah beban yang bercokol di kelopak mata Rieka! Katupan mata Rieka masih
menyisakan celah untuk mengintip ketidakpuasan di wajah Dean. Tangan satu lagi
naik, segera Rieka tangkap. “Kenapa sih, kamu suka sentuh-sentuh bagian itu?”
“Pingin
aja.”
“Kenapa
harus di situ?”
Dean
tidak menjawab. Tahu-tahu tangan Dean berusaha menjamah lagi. Dengan tangkas
Rieka menahan. Tangan Dean yang satu tidak kalah gesit. Adu tangan berakhir
ketika tengkuk Rieka berhasil diusap. Lembut… lembut sekali… Rieka berusaha untuk
tidak merintih sementara setrum mengaliri tubuhnya.
“…udah
ya?” nada Rieka memohon.
Dalam
kilasan cahaya ia melihat Dean termangu. Pelukannya menelan Rieka, yang tidak
peduli lagi. Pokoknya Rieka mau tidur! Maka Rieka pejamkan mata, merasakan
tubuh yang telah padat lagi berisi. Betapa senang, betapa nyaman, seakan Rieka
tidak akan dilepaskan lagi… jangan sampai hilang… tapi Rieka mendorongnya.
“…malu
ah, Yan, entar ada yang lihat…” gumaman Rieka tidak jelas. Kesadaran setengah
kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar