Senin, 10 Desember 2012

IV. Ciyus? Miapah!?

Demikianlah. Setiap yang melihat Rieka ber­dua Dean di Kabita, di lorong-lorong sekolah, ma­na­pun!, mereka mulai jelas akan hubungan ke­du­a­nya. Oo… Dean ternyata bukan sekadar teman de­kat yang baru bagi Rieka, ia bukan homo, apapun. Ke­duanya menebarkan bunga-bunga kasmaran ke se­luruh penjuru SMANSON, menandingi internet ma­suk desa. Saat sejoli tersebut berpegangan ta­ngan, saling menarik dan mendorong dengan mes­ra, berbisik-bisik seakan tengah diintai mata-mata, orang-orang memandang dengan berbagai per­sep­si.

“Kenapa kamu ganti foto mesra kitaa…?!” To­mo sekonyong-konyong merongrong ketika ber­pa­pasan dengan sejoli itu di salah satu lorong.

“Gue normaal…!” balas Dean. Rieka tertawa-ta­wa. Padahal Dean cuman mengganti foto pro­fil­nya dengan pasfoto Rieka, sebagaimana pasfoto De­an menjadi foto profil Rieka di Facebook.

Pasangan baru SMANSON itu lanjut ber­ja­lan. Kabita menjadi target invasi berikut, untuk di­te­bari dengan bunga-bunga kasmaran. Buruan lezat ba­gi oknum dari LEMPERs divisi gosip. Pimred ma­ding mendatangi mereka dengan DSLR siaga. Je­pret! Jepret! You’re… Jepret! …busted!

Sheila mengamati layar display DSLR pin­jam­an tersebut, dan puas dengan hasil jepretannya. “Tem­pelin di mading aah, LENGKAP sama ucapan se­lamat gitu… yang baru jadian…”

Rieka mengangkat kepala, begitupun Dean yang sudah lanjut mengepangi rambut Rieka, lalu tu­run seiring Sheila duduk di bangku seberang me­re­ka.

“Yang gede sekalian Shel. Gue mau yang se­ge­de papan mading kita… terus entar nama gue sa­ma Dean pake rangkaian bunga-bunga gitu, fresh lang­sung dari Lembang, jangan beli yang udah di Was­tukencana, apalagi Palasari…”

“Hahaha… Langkahin dulu mayat si om bos!” Sheila merujuk pada eks pimred mading yang men­jadi bosnya dan Rieka pada kepengurusan LEMPERs tahun lalu. “Jadian meuni enggak bi­lang-bilang ih. Tahu-tahu… aja.”

“Yang penting jangan fitnah aja deh ah.”

“Siap! Makanya kita juga sekalian mau kon­fir­masi, gimana status kalian? In relationship itu mak­sudnya in relationship with or without status yaa?”

“Bukannya in relationship itu sendiri udah status?” Rieka bingung.

“Aaah… no comment, no comment!” seru De­an dengan nada terlatih, sementara mata dan ke­dua tangannya terus menekuni jalinan rambut Ri­eka. Sheila melempari Dean dengan gumpalan tisu yang semula telantar di meja. Dean menghindar se­ra­ya terkekeh-kekeh.

“Ya elo tafsirin aja sendiri, Shel…” sambung Ri­eka.

Seseorang memanggil Sheila. “Foto sekali la­gi dong,” ucap Sheila sebelum… Jepret! Cewek be­ram­but lurus sebahu itu berlalu. Rieka dan Dean sa­ma tahu foto-foto mereka akan menghiasi Be­ran­da milik orang-orang, lagi. Distribusi bunga-bunga kas­maran telah mencapai jejaring sosial di dunia ma­ya, mereka harus meningkatkan produksi.

“Neng,” kata Dean, “kita married aja yuk.”

“Hehehe…”

Rieka kembali ke kelas sembari mengurai ke­pang. Ia tidak bisa mencegah Dean untuk tidak me­main-mainkan rambutnya, biarlah, bukan hal yang begitu mengganggu… Sampai di kelas Rieka meng­ambil sisir dari beauty kit. Teman sebangku Ri­eka sudah maklum. Bahkan ia memberitahu Ri­eka bahwa ada satu kepang yang luput. Kecil sekali.

“Si Dean rapi juga ya ngepangnya.”

“He eh.”

.

Dua per tiga dari populasi total anggota LEMPERs adalah cewek, dan sepertiga di antaranya me­rupakan penggemar Deraz, yang sudah bisa di­ang­gap sampel untuk populasi siswi di SMANSON se­cara keseluruhan. Mereka tergabung dalam ko­mu­nitas siluman bertitel Deraz Fans Club atau DFC, Ipong pun ikutan karena keanggotaan bersifat ter­buka bagi segala kalangan, sedang Rieka pura-pu­ra tidak mengindahkan. Penggemar Deraz sudah ter­lalu banyak, Rieka tidak mungkin menjuteki se­mua, apalagi karena mencakup teman-teman se­geng Rieka di LEMPERs. Sejak awal kenal mereka su­dah bahu-membahu mengumpulkan berbagai in­for­masi tentang Deraz—cita-cita mereka adalah mem­buat scrapbook tentang Deraz. Sayang an­tu­si­as­me mereka tidak berbuah keberuntungan. Malah Ri­eka, yang selama ini (berusaha) bersikap lem­peng pada apapun mengenai Deraz, yang ditugasi me­wawancarai cowok tersebut untuk majalah se­mes­teran edisi setahun lalu.

Membicarakan Deraz tidak lengkap tanpa me­nyebut-nyebut Dean. Agaknya pembandingan De­raz dengan kembarannya itu justru yang me­ning­katkan kesan cemerlang pada diri Deraz. Jauh se­belum dekat dengan Dean, Rieka sudah terjebak da­lam percakapan yang menyinggung cowok itu…

“…dia tuh bukannya yang tipe-tipe 3G gitu ya?”

“…apaan tuh 3G?”

“Ganteng-ganteng Goblok gitu… hihihi…”

“Tapi kayaknya dia kurusan deh kalau di­se­but ganteng…”

“Hm… 1G aja kalau gitu.”

“Gue mah curiga da, pas masih janin teh pem­bagian nutrisinya enggak merata…”

“Aku mah herannya teh… aku kan dulu satu SMP gitu sama dia. Dia tuh dulu sempet lolos se­lek­si aksel gitu tahu…”

“Ah masak? Ah masak?”

“…iya, tapi cuman lolos di psikotes doang, yang akademiknya kagak, hahaha... IQ-nya dia kan katanya enggak pernah di bawah 140 gitu. Yang hasil psikotes kemarin aja di sekolah  nyam­pe 1** apa ya…”

Dua digit yang disensor itu mengingatkan Ri­eka pada merek kaos yang bermarkas di sekitar la­pangan Gasibu, yang notabene merupakan no­mor bangunan di mana kantor tersebut berlokasi.

“Hah… serius… demi apa?”

“Hahaha… enggak tahu… ceunah kalo orang kepinteran mah sok korslet…”

…dan berlangsung terus hingga setiap orang di SMANSON telah menyaksikan kedekatan di an­ta­ra sejoli tersebut.

“Enak dong, Ka, kamu, ikut dijagain sama De­raz juga.”

Oh… seperti ada yang menyapukan bulu-bu­lu kemoceng ke sekujur tubuh Rieka!

“Deraz kan bodyguard-nya Dean gitu.”

“Kok elo bisa mikir gitu sih, Lam?”

Nilam mencolek punggung tangan Fika, “Be­lum tahu ya. Kemarin tuh ya, aku diceritain sama si An­war… katanya si Deraz ada juga dong pas cowok-co­wok IPS lagi pelajaran renang.”

“Ya pas kebetulan dia emang mau renang ju­ga kali…” tanggap Fika.

“Hm… Enggak dong, Jeng… Anak-anak itu tuh pada seneng nyeburin si Dean ke kolam, kan eng­gak bisa renang tuh anak…”

“…besok elo ajarin si Dean renang tuh, Ka…”

“…jadi si Deraz udah siap nadahin Dean gitu di kolam?” Sheila memperagakan. Tawa Fika me­le­dak. Titew memandangi Nilam dengan serius se­ra­ya kipas-kipas. Indah menyimak dengan senyum yang begitu samar untuk diartikan. Rieka menutup ba­gian bawah wajahnya dengan kedua belah ta­ngan.

“Ya katanya sih gitu… Tahu-tahu si Deraz ada aja di kolam. Ih, kapan-kapan kalau cowok IPS re­nang lagi kita liat yuuk… Penasaran deh gimana De­raz pake swimsuit.”

“Kenapa enggak pas sekalian kelasnya Deraz aja sih… IPA 9 kan dia?”

“Iya, cowok-cowok IPS tuh yang pada suka ke­gatelan gitu enggak sih…”

Sheila melanjutkan, “Eh eh eh, aku juga per­nah denger gitu dari cowok-cowok di belakang ke­las aku… si Deraz katanya pernah marahin anak-anak BASTARD.”

“Hah? Kenapa gitu, Shel?” Pusat perhatian pun berpindah.

“Enggak tahu, enggak jelas aku juga da… cu­man nguping-nguping aja soalnya… kalau enggak sa­lah teh si Dean kan pernah main gitu sama anak-anak BASTARD, terus pas pulang teh kenapa… gitu, si Deraznya enggak seneng.”

BASTARD adalah singkatan dari apapun ke­pan­jangannya, suatu komunitas yang dianggap mu­a­ra bagi cowok-cowok bengal satu SMANSON.

Setidaknya cewek-cewek itu tidak mengkaji sam­pai lika-liku isu hubungan Deraz-Dean-Rieka sa­at SD. Setahu Rieka mereka tidak tahu. Kalaupun me­reka tahu Rieka tidak mau tahu.

.

“Coba elo sebutin kelebihan Dean dalam satu ta­rikan napas!”

“…enggak pilih-pilih temen bisa temenan sa­ma siapa aja selera fashion dia oke pinter milihin ka­do kuat main piano dua jam enggak berenti eng­gak pernah nyasar kalo naik angkot enggak pilih-pi­lih musik nurut sama gue!” Rieka tersengal-sengal ten­tu saja. Ia meneguk teh hijau yang sudah tersaji di hadapannya, dengan anggun… lalu kembali da­da­nya seperti mau pecah.

Juwita tergelak-gelak… “Udah gue sangka da­ri dulu juga, suatu saat elo pasti kena juga sama si bocah! Kocak… kocak…” …setidaknya rada me­me­riahkan suasana Giggle Box yang siang itu relatif se­pi. Kawanan itu duduk di ruangan dalam, bangku po­jok.

Ingga menimpali seraya mengangkat gelas smoothies pesanannya, “Iya, elo berdua tuh cocok ta­hu, saling melengkapi,” seruput.

“Gue juga enggak ngerti da, kenapa yah bisa lang­sung seneng sama dia…” Rieka menusuk po­tong­an pancake dengan garpu, lalu me­nyu­ap­kan­nya ke dalam mulut.

“Menurut gue sih,” Cyntia angkat suara, “je­las­lah, secara yang elo liat itu Deraz… Deraz versi ce­king dan… gue enggak tahu ya dia masih sebeloon du­lu apa enggak sih…”

“…masih…” jawab Rieka dengan kalem, se­be­lum berubah pikiran, “Enggak! Dean tuh orang­nya asyik kok, lucu.”

“Dari dulu juga gitu kali,” Juwita menyilang ka­ki, “elo aja yang baru nyadar sekarang.”

“Iya yah…”

“…karena sekarang momennya. …karena elo udah nyerah sama si Deraz,” lanjut Cyntia.

Sakit.

“Enggak!” sela Juwita sembari mencomot ken­tang goreng. “Teori gue sih ya, sebetulnya dari du­lu si Eka tuh sukanya sama Dean, tapi elo nga­rep­in, Ka, coba aja si dia bisa lebih ganteng… lebih pin­ter… lebih kalem… lebih waras… lebih…” Ingga dan Cyntia menyimak dengan perhatian, meski Ju­wi­ta habis kata untuk melanjutkan, Langsung ke­sim­pulan! “Dan… jreng jreng jreng… datanglah si De­raz, prince charming yang memenuhi semua ha­rap­an elo atas Dean.”

“Kalau teori gue sih si Eka dipelet,” sahut Ing­ga sebelum menyeruput smoothies lagi. Juwita ter­kekeh-kekeh sedang Cyntia kalem saja.

Teman-teman dekat Rieka saat SD tahu se­ga­lanya, terlalu tahu. Mereka tahu bagaimana Ri­eka sudah sentimen pada Dean—anak bandel itu, be­risik melulu, nyaris memecahkan vas di meja gu­ru—sejak sebelum kedatangan Deraz. Mereka tahu ba­gaimana Rieka mulai sering membicarakan De­raz, hingga mencoba untuk berinteraksi dengan co­wok itu. Mereka tahu bagaimana Rieka me­ning­gal­kan pacar pertamanya yang merupakan cowok “pa­ling keren” di sekolah saat itu, demi Deraz. Mereka ta­hu bagaimana hegemoni klik mereka me­ngu­kuh­kan Deraz sebagai “milik” mereka—khususnya Ri­eka. Mereka tahu bagaimana Rieka diam-diam se­nang, ketika anak-anak lain mulai mengait-nga­it­kan apapun tentang Deraz dengan Rieka. Mereka ta­hu bagaimana Dean termasuk anak-anak yang su­ka mengompori hubungan Rieka dengan Deraz. Me­reka tahu bagaimana Dean yang kok tahu-tahu meng­ungkapkan perasaannya pada Rieka dengan ber­macam cara, sedang Deraz seolah tidak tahu-me­nahu. Mereka tahu bagaimana Rieka menjadi ma­kin sentimen pada Dean, dan melarang mereka un­tuk dekat-dekat dengan Dean. Mereka tahu ba­gai­mana asyiknya mengusili Dean—tidak terpikir se­belumnya sampai Rieka mengubah persepsi me­re­ka bahwa bocah polos itu adalah lawan. Mereka ta­hu bagaimana Deraz tidak senang atas sikap me­re­ka pada Dean, dan dengan telak membaca bahwa Ri­eka adalah si ratu lebah. Mereka tahu bagaimana di siang yang cerah namun suram itu Deraz men­da­tangi primadona mereka, dan… Mereka tahu ba­gai­ma­na Dean tidak mengetahui kejadian itu, pun ti­dak menyadari maksud dari perlakuan mereka se­la­ma ini. Mereka tahu bagaimana hegemoni klik me­re­ka tergoyahkan sejak itu, tapi mereka memilih un­tuk tidak memusingkannya. Mereka tahu ba­gai­ma­na lebih baik mereka bercanda dan bercerita de­ngan Dean saja, “lawan” yang lama-lama jadi ka­wan, tapi mereka tidak bisa mengungkapkannya se­ca­ra terang-terangan atau Rieka bakal mengecap me­reka sebagai “pengkhianat”. Mereka tahu ba­gai­ma­na Rieka bakal semakin pedih jika mereka meng­ungkit-ungkit si kembar. Mereka tahu ba­gai­ma­na bersenang-senang dengan Dean di satu sisi se­mentara di sisi lain melipur kesepian Rieka. Me­re­ka tahu bagaimana mereka tidak perlu lagi me­nu­tup-nutupi apapun begitu memasuki SMP yang ber­be­da dengan Rieka—tidak berlaku bagi Ingga. Me­re­ka tahu bagaimana riwayat pacaran Rieka saat SMP yang pelik, kalau bisa mereka tidak ingin se­te­rus­nya pura-pura simpatik.

Ah terserah elo, terserah elo deh, Ka. Mau elo pacaran sama dua-duanya sekaligus juga si­lah­kan.

Kedatangan Natasha meramaikan kumpulan ter­sebut. Cewek yang kini berjilbab itu langsung di­to­dong untuk berteori mengenai hubungan Rieka de­ngan Dean. Ia tidak punya teori, hanya meng­u­cap­kan selamat kendati masih terkaget-kaget. Ia yang paling renggang kontaknya dengan Rieka, wa­lau bukan karena konfrontasi apapun.

Mereka memutuskan untuk memperpanjang ke­bersamaan di Sabtu itu dengan berburu sepatu di Ko­kem, lalu mengopi di Starbucks BIP. Di Kokem Cyntia baru ingat kalau sore itu ia ada les menyetir, la­lu Natasha ditelepon sang mama karena niatnya un­tuk mangkir dari arisan keluarga ketahuan. Ma­ka hanya Ingga, Juwita, dan Rieka yang sore itu me­nyeruput kopi dengan takzim dan gaya. Sungguh ber­belanja adalah aktivitas yang amat melelahkan. Me­reka harap keluarga yang mengisi sofa di pojok le­kas minggat, di penghujung sore ini ternyata be­gi­tu banyak orang yang ingin dilihat sedang minum ko­pi, kursi mereka begitu dekat dengan pintu. Oh oh oh.

Begitu meletakkan latte di meja, barulah Ri­eka melihat sepasang sosok yang familier duduk di si­si luar ruangan. Tubuh yang hampir sama tipis, ram­but yang sama terawat. Jemari lentik pada ta­ngan yang satu mengangkat cangkir, sementara pa­da tangan yang lain membubuhkan abu di tepi as­bak. Sedang Ola baru saja menyulut puntung yang ter­ulum di bibirnya. Rieka memalingkan wajah, ti­dak berharap mengenal mereka. Otak kedua te­man­nya sedang tersambung dengan smartphone milik ma­sing-masing. Kalau begitu Rieka juga.

Ayaan… lagi ngapain?

Lagi pingin nyanyi, nari,

…haaah??

bikin vidklip sama kamu :D

Senyum Rieka terkulum.

Terus tiap orang pingin jadi kita di situ…

Rieka sontak menoleh saat seseorang me­me­gang bahunya, mendongak.

“Hai, Ri…”

Senyum Anne juga terkulum. Kelembutan me­mancar dari parasnya yang ayu. Tas tangan meng­gantung di bahu. Tidak jauh di belakangnya, Ola yang berpembawaan cuek dan lebih tomboi itu ber­diri. Sekilas kontak mata terjadi antara ke­dua­nya dengan kedua teman Rieka yang baru angkat ke­pala.

“Enggak date sama Dean?”

Rieka menggeleng sopan.

Keharuman menyusuri rongga penciuman Ri­eka saat Anne menunduk sedikit. Riuh lanskap su­ara melumat suaranya yang renyah, tapi tidak da­lam pendengaran Rieka. Anne mengucapkannya de­ngan tenang lagi pelan.

“Aku berharap kamu udah cukup belajar dari peng­alaman kamu selama ini, jadi kali ini kamu eng­gak cuman main-main, Rieka.”

.

Teman dekat Rieka saat SMP juga tahu se­ga­la­nya, terlalu tahu, bahkan apa yang barangkali Ri­eka tidak tahu.

Ia beritahu Rieka kapanpun, di manapun, yang tentu saja dengan mempertimbangkan privasi Ri­eka, apa sih yang enggak buat kamu, Rieka?

Di sekre OSIS.

“Gitu ya, untungnya ngeceng cowok yang pu­nya saudara kembar.”

Di Kabita saat mengantri soto.

“Ini ceritanya balas dendam sama Deraz?”

Di lapangan saat bersisian sewaktu upacara ben­dera.

“Kalau Dean enggak kembaran Deraz, elo ma­sih mau jadian sama dia, Ka?”

Di sudut kelas yang digunakan untuk briefing calon anggota OSIS.

“Dengan elo jadian sama Dean itu… sangat me­ngecilkan kemungkinan elo buat jadian sama De­raz—secara enggak etis lah macarin eksnya sau­da­ra kandung elo, Deraz pasti bakal mikir gitu kali! Se­gitu putus asanyakah elo sama Deraz?”

Di sela-sela latihan VG.

“Kulitnya tuh bahkan lebih putih dari kulit elo, Ka! Dia tuh enggak pernah olahraga di luar ru­ang­an! Enggak pernah olahraga sama sekali ma­lah­an!”

Di malam puncak uji mental para calon ang­go­ta OSIS.

Cowok elo tuh, juara makan kerupuk ting­kat RT aja enggak!”

“Kok elo liat orang dari juara apa enggaknya, sih, Pong?”

Rieka menggiring Ipong ke sudut barak, biar su­nyi pecah di sana saja. Sedari tadi panitia lain te­lah melirik-lirik ke arah mereka. Tidak seru lagi ka­lau suasana yang sudah diupayakan sedemikian te­gang lantas terusik oleh perseteruan mengenai… ha­nya seorang cowok.

“Hm? Gue? Justru gue tuh coba liat dia dari pers­pektif elo!” Tanya Rieka bagaimana peng­a­lam­an­nya pacaran dengan cowok-cowok yang ter­da­hu­lu. Rieka sukar mengenang apapun selain bahwa ia per­nah menjadi cewek si A yang aktivis OSIS, atau si B yang pentolan di geng motor, atau si C yang di­kla­im sebagai “akang terganteng” oleh para peserta MOS, atau si D yang… minimal ketua ekskul atau men­jadi yang “ter” dalam konotasi positif ber­da­sar­kan angket yang melibatkan siswa satu angkatan di se­kolah negeri favorit. Ipong hapal setiap cowok yang pernah menjadi pacar Rieka, lengkap dengan ting­gi badan dan aktivitas yang dilakoni. “…elo tuh di­kenal karena reputasi cowok elo,” simpul Ipong.

 “…enggak!” sangkal Rieka. “Ipong, ih, ke­na­pa sih kok mikirnya kayak gitu?”

“Karena yang elo pingin cuman Deraz! Elo ber­usaha nyari sosok Deraz di cowok lain, tapi elo eng­gak dapet-dapet, segimanapun banyak cowok yang bisa elo pilih, mau yang punya posisi tinggi di eks­kul lah, rupawan tingkat dewa lah, bisa nraktir sa­tu kelas di Hanamasa lah, apalagi yang cuman se­ka­dar langganan ranking satu di kelas… karena eng­gak ada yang semirip Deraz selain kembarannya sen­diri!, walaupun cuman fisik! Elo tuh emang tipe fi­sik banget, Ka, doyan guntingin cowok-cowok gan­teng dari majalah terus elo jadiin scrapbook… huh!”

Rieka tertegun sesaat, sebelum kembali me­nyang­gah, “Itu enggak bener! Gue enggak pernah bi­kin scrapbook isinya begituan!”

“Enggak penting elo bikin scrapbook apa eng­gak!”

“Gue yang jadian sama Dean kok elo yang sen­timen sih, Pong?”

“Elo tuh aneh! Gue enggak tahu apa maksud elo sebenernya!”

“Ipong…” nada Rieka melembut.

“Elo bilang kalau elo bisa sama Deraz elo jan­ji, sumpah, enggak bakal pacaran lagi seumur hi­dup elo. Kalau elo enggak bertahan lama sama De­raz elo bakal langsung nikah sama siapapun jo­doh elo. Ini belum apa-apa elo udah—“

“Justru itu gue udah capek…” Rieka masih ber­tahan dengan nada yang melunak, cara yang se­la­lu terpikirkan kala menghadapi tabiat Ipong yang me­ledak-ledak. “…sampai di Haqi, gue tuh sadar, gue…”

“Cowok satu SMANSON frustasi gara-gara elo milihnya cowok kayak Dean! APA ENGGAK ADA YANG MENDING, KA?!”

“Ipong…!”

Cowok itu membungkam. Tatapannya meng­arah pada Rieka dengan tajam.

“…cowok kayak si Haqi itu, Pong, yang bikin gue nyadar, selama ini gue belajar, kalo gue tuh udah males, gue tuh enggak cocok, sama cowok-co­wok yang ngerasa dirinya punya ‘sesuatu’, makanya gue enggak bisa lama-lama sama mereka juga…”

“…ya karena elo…”

“…ya terserah elo mau ngeliat si Dean itu ka­yak gimana, enggak pernah juara balap kerupuk atau makan karung… apalah!, tapi justru karena humble-nya itu gue suka…”

“…enggak, elo enggak kayak gitu, Ka.”

“…iya terserah deh pokoknya gue suka Dean ka­rena apaan. Kooperatif dikit kenapa sih, Pong? Elo kan tahu gue pingin lupain Deraz. Udah! Eng­gak usah ngait-ngaitin sama dia lagi deh…!”

“Nah justru itu ironisnya, Ka. Elo mau nge­lu­pa­in Deraz dengan jadian sama saudara kem­bar­nya? Elo nyadar enggak sih? Mereka tuh tinggal sa­tu rumah, satu kamar malah! Gimana elo mau nge­lu­pain Deraz dengan deketnya elo sama Dean? Mu­ka aja mereka kadang-kadang mirip! Pas elo nelpon ke rumah Dean, bisa aja yang ngangkat Deraz. Pas elo main ke rumah Dean, bisa aja elo ketemu Deraz. En­tar misalnya elo nikah sama Dean, punya anak, te­rus aja elo ketemu sama Deraz, tiap Lebaran, ne­ngok­in keponakan-keponakannya… Atau… Elo tahu kan gimana si Deraz merhatiin Dean banget?”

“Pong…”

“Maksud elo apa sih, Ka? Elo tuh kayak ma­sang ranjau di halaman rumah elo sendiri tahu eng­gak?”

“Gue tahu! GUE TAHU! Gue tahu Deraz ba­kal ngapain gue kalo gue jahatin Dean lagi! Dan ka­lau­pun gue sama Dean entar putus juga kita ba­kal­an putus baik-baik! Ngerti? Puas?”

Ipong terpana. “Oke,” katanya, lalu meng­ang­kat kedua tangan. “Itu keputusan elo, dan elo udah tahu konsekuensinya.” Langkah cowok itu men­jauhkan jarak di antara mereka.

Rieka merasa lemas.

Ipong sudah di dekat pintu barak. “Ayo, Ka, gue udah enggak sabar bentak-bentakin orang.”

Rieka menurut. Berdua mereka menuruni ha­laman landai di muka barak, menembus angin yang menderu kencang di kawasan Situ Lembang.

“Ngomong sama elo tuh suka bikin gue nge­ra­sa lagi main sinetron tahu enggak?”

Sedari tadi Rieka ingin mengatakan hal yang sa­ma pada Ipong.

.

Jam istirahat yang biasa. Sepasang kekasih me­nebarkan bunga-bunga kasmaran di Kabita. Orang-orang yang melintas di sekitar mereka ber­ke­lit agar tidak tersambar. Kadang melihat sejoli yang berasyik-masyuk itu, walaupun tidak di­se­nga­ja, bikin hati jadi berpenyakit. Sirik kan, menurut Jo­shua dan Mega Utami[1], tanda tak mampu. Tak mam­pu berarti fakir, sedang fakir mendekati kufur. Asum­si bahwa pacaran itu berbahaya menjadi logis. Pe­rokok pasif saja lebih berisiko terkena kanker, apa­lagi pacaran pasif. Tapi yang perokok aktif ma­lah sering tidak menyadari, begitupun yang pacaran ak­tif.

“Lo… ve… yan… ini siapa, Neng? Kok sering banget nelepon kamu?” Dean memindai layar pon­sel Rieka.

“Itu kamu, Sayaang...”

Tampang Dean bertanya. Mengingat jam is­ti­rahat anak sekolahan merupakan jam sibuk bagi kar­yawan, Rieka bisa memaklumi kalau kecepatan loading Dean sedang lambat-lambatnya. Ganti Ri­eka mengamati layar ponsel Dean, yang sedang me­na­yangkan halaman Twitter milik cowok itu.

“Dendeng itu apaan, Yan? Kok suka ada yang mang­gil kamu gitu sih?”    

“Soalnya aku kan renyah dan gurih, Neng, ka­yak dendeng…”

“Dean sedeng yah?” Rieka mendengus akibat eks­presi yang menjadi respons Dean. “Kalau Bul? Bul­bul?”

“Itu karena aku kayak es bul, Neng, manis.”

“Oh ya? Aku boleh manggil kamu gitu juga eng­gak?”

“…jangan.”

Bulat. Enggak tuh, pipi Dean masih ke­li­hat­an tirus, program Rieka belum sukses. Buldog. Ka­dang tatapan cowok itu memang kayak anak anjing, eng­gak nahan!, tapi buldog kan berwajah seram! Bul­doser. Iya sih, Dean tuh kadang bisa berisik ba­nget! Bule. Rada-rada sih, biarpun cuman 12,5% ka­tanya. Bulu. Lumayan banyak. Jambul. Rieka ti­dak yakin Dean suka dengan potongan rambut se­per­ti itu. Cabul. …

“Dean….!” Kedua belah tangan Ola mendarat di pundak Dean, menggoyang-goyangkannya se­a­kan ayunan. “Yang udah punya cewek nih… inget Yan, elo udah punya cewek…”

“…iyaa, gue inget…” Dean menoleh-noleh ke be­lakang. “…al-wayssss!”

Anne berdiri di samping Ola. Sepasang ma­ta­nya yang bulat, hitam, dan besar itu menyetrum Ri­eka, menarik sosok-sosok gaib dari dalam kulkas un­tuk menggerayangi Rieka dari belakang.

“Makanya elo tuh kalo diajak fitness jangan ma­les-malesan. Masak cowoknya Rika letoi bin ke­rem­peng gini sih…”

Rieka ingin berdiri lalu pergi lalu mengantri ma­kanan atau minuman apa saja sampai kedua ce­wek berkekuatan intimidasi tingkat tinggi itu—jauh di atas level Rieka!—raib.

“…cowoknya Rika tuh pantesnya yang gagah, yang perkasa, kayak…”

…jangan sebut nama itu… Rieka harap Dean ti­dak pernah mengumbar sejarah hubungan me­re­ka pada cewek-cewek itu, terutama yang di masa SD, apalagi kalau menyangkut…

“…Superman!”

Rieka melakukannya. Susu murni! Stroberi un­tuknya dan cokelat untuk Dean. Rieka tidak mau me­lihat cewek-cewek itu, tidak, tidak sampai me­re­ka menghilang dari sisi Dean.

“Cowok kamu tuh, si Dean anak XI IPS 2 itu ya?”

Rieka geragapan. “Haqi!” Tidak mengerti ke­na­pa kemunculan cowok itu harus selalu tiba-tiba. Ham­pir saja plastik susu di tangan Rieka meluncur ke bawah.

Ia yang bermasam durja. “Tampang cemen gi­tu, kayak artis sinetron,” gerundelnya. Tidak ber­u­paya untuk berlama-lama lagi dengan Rieka. Co­wok itu keluar dari antrian tanpa membawa apa-apa di tangan. Rieka terperangah. Sialan kamu, Ha­qi, dumel Rieka. Jangan komentar kalau suatu saat Ri­eka pacaran dengan binaragawan!



[1] Joshua oh Joshua (film)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain