Demikianlah.
Setiap yang melihat Rieka berdua Dean di Kabita, di lorong-lorong sekolah, manapun!,
mereka mulai jelas akan hubungan keduanya. Oo… Dean ternyata bukan sekadar
teman dekat yang baru bagi Rieka, ia bukan homo, apapun. Keduanya menebarkan
bunga-bunga kasmaran ke seluruh penjuru SMANSON, menandingi internet masuk
desa. Saat sejoli tersebut berpegangan tangan, saling menarik dan mendorong
dengan mesra, berbisik-bisik seakan tengah diintai mata-mata, orang-orang
memandang dengan berbagai persepsi.
“Kenapa
kamu ganti foto mesra kitaa…?!” Tomo sekonyong-konyong merongrong ketika berpapasan
dengan sejoli itu di salah satu lorong.
“Gue
normaal…!” balas Dean. Rieka tertawa-tawa. Padahal Dean cuman mengganti foto
profilnya dengan pasfoto Rieka, sebagaimana pasfoto Dean menjadi foto profil
Rieka di Facebook.
Pasangan
baru SMANSON itu lanjut berjalan. Kabita menjadi target invasi berikut, untuk
ditebari dengan bunga-bunga kasmaran. Buruan lezat bagi oknum dari LEMPERs
divisi gosip. Pimred mading mendatangi mereka dengan DSLR siaga. Jepret!
Jepret! You’re… Jepret! …busted!
Sheila
mengamati layar display DSLR pinjaman
tersebut, dan puas dengan hasil jepretannya. “Tempelin di mading aah, LENGKAP
sama ucapan selamat gitu… yang baru jadian…”
Rieka
mengangkat kepala, begitupun Dean yang sudah lanjut mengepangi rambut Rieka,
lalu turun seiring Sheila duduk di bangku seberang mereka.
“Yang
gede sekalian Shel. Gue mau yang segede papan mading kita… terus entar nama
gue sama Dean pake rangkaian bunga-bunga gitu, fresh langsung dari Lembang, jangan beli yang udah di Wastukencana,
apalagi Palasari…”
“Hahaha…
Langkahin dulu mayat si om bos!” Sheila merujuk pada eks pimred mading yang menjadi
bosnya dan Rieka pada kepengurusan LEMPERs tahun lalu. “Jadian meuni enggak bilang-bilang ih.
Tahu-tahu… aja.”
“Yang
penting jangan fitnah aja deh ah.”
“Siap!
Makanya kita juga sekalian mau konfirmasi, gimana status kalian? In relationship itu maksudnya in relationship with or without status yaa?”
“Bukannya
in relationship itu sendiri udah
status?” Rieka bingung.
“Aaah…
no comment, no comment!” seru Dean
dengan nada terlatih, sementara mata dan kedua tangannya terus menekuni
jalinan rambut Rieka. Sheila melempari Dean dengan gumpalan tisu yang semula
telantar di meja. Dean menghindar seraya terkekeh-kekeh.
“Ya
elo tafsirin aja sendiri, Shel…” sambung Rieka.
Seseorang
memanggil Sheila. “Foto sekali lagi dong,” ucap Sheila sebelum… Jepret! Cewek
berambut lurus sebahu itu berlalu. Rieka dan Dean sama tahu foto-foto mereka
akan menghiasi Beranda milik orang-orang, lagi. Distribusi bunga-bunga kasmaran
telah mencapai jejaring sosial di dunia maya, mereka harus meningkatkan
produksi.
“Neng,”
kata Dean, “kita married aja yuk.”
“Hehehe…”
Rieka
kembali ke kelas sembari mengurai kepang. Ia tidak bisa mencegah Dean untuk
tidak memain-mainkan rambutnya, biarlah, bukan hal yang begitu mengganggu…
Sampai di kelas Rieka mengambil sisir dari beauty
kit. Teman sebangku Rieka sudah maklum. Bahkan ia memberitahu Rieka bahwa
ada satu kepang yang luput. Kecil sekali.
“Si
Dean rapi juga ya ngepangnya.”
“He
eh.”
.
Dua
per tiga dari populasi total anggota LEMPERs adalah cewek, dan sepertiga di
antaranya merupakan penggemar Deraz, yang sudah bisa dianggap sampel untuk
populasi siswi di SMANSON secara keseluruhan. Mereka tergabung dalam komunitas
siluman bertitel Deraz Fans Club atau DFC, Ipong pun ikutan karena keanggotaan
bersifat terbuka bagi segala kalangan, sedang Rieka pura-pura tidak
mengindahkan. Penggemar Deraz sudah terlalu banyak, Rieka tidak mungkin
menjuteki semua, apalagi karena mencakup teman-teman segeng Rieka di LEMPERs.
Sejak awal kenal mereka sudah bahu-membahu mengumpulkan berbagai informasi
tentang Deraz—cita-cita mereka adalah membuat scrapbook tentang Deraz. Sayang antusiasme mereka tidak berbuah
keberuntungan. Malah Rieka, yang selama ini (berusaha) bersikap lempeng
pada apapun mengenai Deraz, yang ditugasi mewawancarai cowok tersebut untuk
majalah semesteran edisi setahun lalu.
Membicarakan
Deraz tidak lengkap tanpa menyebut-nyebut Dean. Agaknya pembandingan Deraz
dengan kembarannya itu justru yang meningkatkan kesan cemerlang pada diri
Deraz. Jauh sebelum dekat dengan Dean, Rieka sudah terjebak dalam percakapan
yang menyinggung cowok itu…
“…dia tuh bukannya yang tipe-tipe 3G gitu ya?”
“…apaan tuh 3G?”
“Ganteng-ganteng Goblok gitu… hihihi…”
“Tapi kayaknya dia kurusan deh kalau disebut
ganteng…”
“Hm… 1G aja kalau gitu.”
“Gue mah curiga da, pas masih janin teh pembagian
nutrisinya enggak merata…”
“Aku mah herannya teh… aku kan dulu satu SMP gitu sama
dia. Dia tuh dulu sempet lolos seleksi aksel gitu tahu…”
“Ah masak? Ah masak?”
“…iya, tapi cuman lolos di psikotes doang, yang
akademiknya kagak, hahaha... IQ-nya dia kan katanya enggak pernah di bawah 140
gitu. Yang hasil psikotes kemarin aja di sekolah nyampe 1** apa ya…”
Dua digit yang disensor itu mengingatkan Rieka pada
merek kaos yang bermarkas di sekitar lapangan Gasibu, yang notabene merupakan
nomor bangunan di mana kantor tersebut berlokasi.
“Hah… serius… demi apa?”
“Hahaha… enggak tahu… ceunah kalo
orang kepinteran mah sok korslet…”
…dan
berlangsung terus hingga setiap orang di SMANSON telah menyaksikan kedekatan di
antara sejoli tersebut.
“Enak
dong, Ka, kamu, ikut dijagain sama Deraz juga.”
Oh…
seperti ada yang menyapukan bulu-bulu kemoceng ke sekujur tubuh Rieka!
“Deraz
kan bodyguard-nya Dean gitu.”
“Kok
elo bisa mikir gitu sih, Lam?”
Nilam
mencolek punggung tangan Fika, “Belum tahu ya. Kemarin tuh ya, aku diceritain
sama si Anwar… katanya si Deraz ada juga dong pas cowok-cowok IPS lagi
pelajaran renang.”
“Ya
pas kebetulan dia emang mau renang juga kali…” tanggap Fika.
“Hm…
Enggak dong, Jeng… Anak-anak itu tuh pada seneng nyeburin si Dean ke kolam, kan
enggak bisa renang tuh anak…”
“…besok
elo ajarin si Dean renang tuh, Ka…”
“…jadi
si Deraz udah siap nadahin Dean gitu di kolam?” Sheila memperagakan. Tawa Fika
meledak. Titew memandangi Nilam dengan serius seraya kipas-kipas. Indah
menyimak dengan senyum yang begitu samar untuk diartikan. Rieka menutup bagian
bawah wajahnya dengan kedua belah tangan.
“Ya
katanya sih gitu… Tahu-tahu si Deraz ada aja di kolam. Ih, kapan-kapan kalau
cowok IPS renang lagi kita liat yuuk… Penasaran deh gimana Deraz pake swimsuit.”
“Kenapa
enggak pas sekalian kelasnya Deraz aja sih… IPA 9 kan dia?”
“Iya,
cowok-cowok IPS tuh yang pada suka kegatelan gitu enggak sih…”
Sheila
melanjutkan, “Eh eh eh, aku juga pernah denger gitu dari cowok-cowok di
belakang kelas aku… si Deraz katanya pernah marahin anak-anak BASTARD.”
“Hah?
Kenapa gitu, Shel?” Pusat perhatian pun berpindah.
“Enggak
tahu, enggak jelas aku juga da… cuman
nguping-nguping aja soalnya… kalau enggak salah teh si Dean kan pernah main gitu sama anak-anak BASTARD, terus pas
pulang teh kenapa… gitu, si Deraznya
enggak seneng.”
BASTARD
adalah singkatan dari apapun kepanjangannya, suatu komunitas yang dianggap muara
bagi cowok-cowok bengal satu SMANSON.
Setidaknya
cewek-cewek itu tidak mengkaji sampai lika-liku isu hubungan Deraz-Dean-Rieka
saat SD. Setahu Rieka mereka tidak tahu. Kalaupun mereka tahu Rieka tidak mau
tahu.
.
“Coba
elo sebutin kelebihan Dean dalam satu tarikan napas!”
“…enggak
pilih-pilih temen bisa temenan sama siapa aja selera fashion dia oke pinter milihin kado kuat main piano dua jam enggak
berenti enggak pernah nyasar kalo naik angkot enggak pilih-pilih musik nurut
sama gue!” Rieka tersengal-sengal tentu saja. Ia meneguk teh hijau yang sudah
tersaji di hadapannya, dengan anggun… lalu kembali dadanya seperti mau pecah.
Juwita
tergelak-gelak… “Udah gue sangka dari dulu juga, suatu saat elo pasti kena
juga sama si bocah! Kocak… kocak…” …setidaknya rada memeriahkan suasana
Giggle Box yang siang itu relatif sepi. Kawanan itu duduk di ruangan dalam,
bangku pojok.
Ingga
menimpali seraya mengangkat gelas smoothies
pesanannya, “Iya, elo berdua tuh cocok tahu, saling melengkapi,” seruput.
“Gue
juga enggak ngerti da, kenapa yah
bisa langsung seneng sama dia…” Rieka menusuk potongan pancake dengan garpu, lalu menyuapkannya ke dalam mulut.
“Menurut
gue sih,” Cyntia angkat suara, “jelaslah, secara yang elo liat itu Deraz…
Deraz versi ceking dan… gue enggak tahu ya dia masih sebeloon dulu apa enggak
sih…”
“…masih…”
jawab Rieka dengan kalem, sebelum berubah pikiran, “Enggak! Dean tuh orangnya
asyik kok, lucu.”
“Dari
dulu juga gitu kali,” Juwita menyilang kaki, “elo aja yang baru nyadar
sekarang.”
“Iya
yah…”
“…karena
sekarang momennya. …karena elo udah nyerah sama si Deraz,” lanjut Cyntia.
Sakit.
“Enggak!”
sela Juwita sembari mencomot kentang goreng. “Teori gue sih ya, sebetulnya
dari dulu si Eka tuh sukanya sama Dean, tapi elo ngarepin, Ka, coba aja si
dia bisa lebih ganteng… lebih pinter… lebih kalem… lebih waras… lebih…” Ingga
dan Cyntia menyimak dengan perhatian, meski Juwita habis kata untuk
melanjutkan, Langsung kesimpulan! “Dan… jreng jreng jreng… datanglah si Deraz,
prince charming yang memenuhi semua
harapan elo atas Dean.”
“Kalau
teori gue sih si Eka dipelet,” sahut Ingga sebelum menyeruput smoothies lagi. Juwita terkekeh-kekeh
sedang Cyntia kalem saja.
Teman-teman
dekat Rieka saat SD tahu segalanya, terlalu tahu. Mereka tahu bagaimana Rieka
sudah sentimen pada Dean—anak bandel itu, berisik melulu, nyaris memecahkan
vas di meja guru—sejak sebelum kedatangan Deraz. Mereka tahu bagaimana Rieka
mulai sering membicarakan Deraz, hingga mencoba untuk berinteraksi dengan cowok
itu. Mereka tahu bagaimana Rieka meninggalkan pacar pertamanya yang
merupakan cowok “paling keren” di sekolah saat itu, demi Deraz. Mereka tahu
bagaimana hegemoni klik mereka mengukuhkan Deraz sebagai “milik”
mereka—khususnya Rieka. Mereka tahu bagaimana Rieka diam-diam senang, ketika
anak-anak lain mulai mengait-ngaitkan apapun tentang Deraz dengan Rieka.
Mereka tahu bagaimana Dean termasuk anak-anak yang suka mengompori hubungan
Rieka dengan Deraz. Mereka tahu bagaimana Dean yang kok tahu-tahu mengungkapkan
perasaannya pada Rieka dengan bermacam cara, sedang Deraz seolah tidak tahu-menahu.
Mereka tahu bagaimana Rieka menjadi makin sentimen pada Dean, dan melarang
mereka untuk dekat-dekat dengan Dean. Mereka tahu bagaimana asyiknya
mengusili Dean—tidak terpikir sebelumnya sampai Rieka mengubah persepsi mereka
bahwa bocah polos itu adalah lawan. Mereka tahu bagaimana Deraz tidak senang
atas sikap mereka pada Dean, dan dengan telak membaca bahwa Rieka adalah si ratu
lebah. Mereka tahu bagaimana di siang yang cerah namun suram itu Deraz mendatangi
primadona mereka, dan… Mereka tahu bagaimana Dean tidak mengetahui kejadian
itu, pun tidak menyadari maksud dari perlakuan mereka selama ini. Mereka
tahu bagaimana hegemoni klik mereka tergoyahkan sejak itu, tapi mereka
memilih untuk tidak memusingkannya. Mereka tahu bagaimana lebih baik mereka
bercanda dan bercerita dengan Dean saja, “lawan” yang lama-lama jadi kawan,
tapi mereka tidak bisa mengungkapkannya secara terang-terangan atau Rieka
bakal mengecap mereka sebagai “pengkhianat”. Mereka tahu bagaimana Rieka
bakal semakin pedih jika mereka mengungkit-ungkit si kembar. Mereka tahu bagaimana
bersenang-senang dengan Dean di satu sisi sementara di sisi lain melipur
kesepian Rieka. Mereka tahu bagaimana mereka tidak perlu lagi menutup-nutupi
apapun begitu memasuki SMP yang berbeda dengan Rieka—tidak berlaku bagi
Ingga. Mereka tahu bagaimana riwayat pacaran Rieka saat SMP yang pelik, kalau
bisa mereka tidak ingin seterusnya pura-pura simpatik.
Ah
terserah elo, terserah elo deh, Ka. Mau elo pacaran sama dua-duanya sekaligus
juga silahkan.
Kedatangan
Natasha meramaikan kumpulan tersebut. Cewek yang kini berjilbab itu langsung
ditodong untuk berteori mengenai hubungan Rieka dengan Dean. Ia tidak punya
teori, hanya mengucapkan selamat kendati masih terkaget-kaget. Ia yang
paling renggang kontaknya dengan Rieka, walau bukan karena konfrontasi apapun.
Mereka
memutuskan untuk memperpanjang kebersamaan di Sabtu itu dengan berburu sepatu
di Kokem, lalu mengopi di Starbucks BIP. Di Kokem Cyntia baru ingat kalau sore
itu ia ada les menyetir, lalu Natasha ditelepon sang mama karena niatnya untuk
mangkir dari arisan keluarga ketahuan. Maka hanya Ingga, Juwita, dan Rieka
yang sore itu menyeruput kopi dengan takzim dan gaya. Sungguh berbelanja
adalah aktivitas yang amat melelahkan. Mereka harap keluarga yang mengisi sofa
di pojok lekas minggat, di penghujung sore ini ternyata begitu banyak orang
yang ingin dilihat sedang minum kopi, kursi mereka begitu dekat dengan pintu.
Oh oh oh.
Begitu
meletakkan latte di meja, barulah Rieka
melihat sepasang sosok yang familier duduk di sisi luar ruangan. Tubuh yang
hampir sama tipis, rambut yang sama terawat. Jemari lentik pada tangan yang
satu mengangkat cangkir, sementara pada tangan yang lain membubuhkan abu di
tepi asbak. Sedang Ola baru saja menyulut puntung yang terulum di bibirnya.
Rieka memalingkan wajah, tidak berharap mengenal mereka. Otak kedua temannya
sedang tersambung dengan smartphone milik
masing-masing. Kalau begitu Rieka juga.
Ayaan… lagi ngapain?
Lagi pingin nyanyi, nari,
…haaah??
bikin vidklip sama kamu :D
Senyum
Rieka terkulum.
Terus tiap orang pingin jadi kita di situ…
Rieka
sontak menoleh saat seseorang memegang bahunya, mendongak.
“Hai,
Ri…”
Senyum
Anne juga terkulum. Kelembutan memancar dari parasnya yang ayu. Tas tangan
menggantung di bahu. Tidak jauh di belakangnya, Ola yang berpembawaan cuek dan
lebih tomboi itu berdiri. Sekilas kontak mata terjadi antara keduanya dengan
kedua teman Rieka yang baru angkat kepala.
“Enggak
date sama Dean?”
Rieka
menggeleng sopan.
Keharuman
menyusuri rongga penciuman Rieka saat Anne menunduk sedikit. Riuh lanskap suara
melumat suaranya yang renyah, tapi tidak dalam pendengaran Rieka. Anne
mengucapkannya dengan tenang lagi pelan.
“Aku
berharap kamu udah cukup belajar dari pengalaman kamu selama ini, jadi kali
ini kamu enggak cuman main-main, Rieka.”
.
Teman
dekat Rieka saat SMP juga tahu segalanya, terlalu tahu, bahkan apa yang
barangkali Rieka tidak tahu.
Ia
beritahu Rieka kapanpun, di manapun, yang tentu
saja dengan mempertimbangkan privasi Rieka, apa sih yang enggak buat kamu,
Rieka?
Di
sekre OSIS.
“Gitu
ya, untungnya ngeceng cowok yang punya saudara kembar.”
Di
Kabita saat mengantri soto.
“Ini
ceritanya balas dendam sama Deraz?”
Di
lapangan saat bersisian sewaktu upacara bendera.
“Kalau
Dean enggak kembaran Deraz, elo masih mau jadian sama dia, Ka?”
Di
sudut kelas yang digunakan untuk briefing
calon anggota OSIS.
“Dengan
elo jadian sama Dean itu… sangat mengecilkan kemungkinan elo buat jadian sama
Deraz—secara enggak etis lah macarin eksnya saudara kandung elo, Deraz pasti
bakal mikir gitu kali! Segitu putus asanyakah elo sama Deraz?”
Di
sela-sela latihan VG.
“Kulitnya
tuh bahkan lebih putih dari kulit elo, Ka! Dia tuh enggak pernah olahraga di
luar ruangan! Enggak pernah olahraga sama sekali malahan!”
Di
malam puncak uji mental para calon anggota OSIS.
“Cowok elo tuh, juara makan kerupuk tingkat
RT aja enggak!”
“Kok
elo liat orang dari juara apa enggaknya, sih, Pong?”
Rieka
menggiring Ipong ke sudut barak, biar sunyi pecah di sana saja. Sedari tadi
panitia lain telah melirik-lirik ke arah mereka. Tidak seru lagi kalau
suasana yang sudah diupayakan sedemikian tegang lantas terusik oleh
perseteruan mengenai… hanya seorang cowok.
“Hm?
Gue? Justru gue tuh coba liat dia dari perspektif elo!” Tanya Rieka bagaimana
pengalamannya pacaran dengan cowok-cowok yang terdahulu. Rieka sukar
mengenang apapun selain bahwa ia pernah menjadi cewek si A yang aktivis OSIS,
atau si B yang pentolan di geng motor, atau si C yang diklaim sebagai “akang
terganteng” oleh para peserta MOS, atau si D yang… minimal ketua ekskul atau
menjadi yang “ter” dalam konotasi positif berdasarkan angket yang
melibatkan siswa satu angkatan di sekolah negeri favorit. Ipong hapal setiap
cowok yang pernah menjadi pacar Rieka, lengkap dengan tinggi badan dan
aktivitas yang dilakoni. “…elo tuh dikenal karena reputasi cowok elo,” simpul
Ipong.
“…enggak!” sangkal Rieka. “Ipong, ih, kenapa
sih kok mikirnya kayak gitu?”
“Karena
yang elo pingin cuman Deraz! Elo berusaha nyari sosok Deraz di cowok lain,
tapi elo enggak dapet-dapet, segimanapun banyak cowok yang bisa elo pilih, mau
yang punya posisi tinggi di ekskul lah, rupawan tingkat dewa lah, bisa nraktir
satu kelas di Hanamasa lah, apalagi yang cuman sekadar langganan ranking satu di kelas… karena enggak
ada yang semirip Deraz selain kembarannya sendiri!, walaupun cuman fisik! Elo
tuh emang tipe fisik banget, Ka, doyan guntingin cowok-cowok ganteng dari
majalah terus elo jadiin scrapbook…
huh!”
Rieka
tertegun sesaat, sebelum kembali menyanggah, “Itu enggak bener! Gue enggak
pernah bikin scrapbook isinya
begituan!”
“Enggak
penting elo bikin scrapbook apa enggak!”
“Gue
yang jadian sama Dean kok elo yang sentimen sih, Pong?”
“Elo
tuh aneh! Gue enggak tahu apa maksud elo sebenernya!”
“Ipong…”
nada Rieka melembut.
“Elo
bilang kalau elo bisa sama Deraz elo janji, sumpah, enggak bakal pacaran lagi
seumur hidup elo. Kalau elo enggak bertahan lama sama Deraz elo bakal
langsung nikah sama siapapun jodoh elo. Ini belum apa-apa elo udah—“
“Justru
itu gue udah capek…” Rieka masih bertahan dengan nada yang melunak, cara yang
selalu terpikirkan kala menghadapi tabiat Ipong yang meledak-ledak. “…sampai
di Haqi, gue tuh sadar, gue…”
“Cowok
satu SMANSON frustasi gara-gara elo milihnya cowok kayak Dean! APA ENGGAK ADA
YANG MENDING, KA?!”
“Ipong…!”
Cowok
itu membungkam. Tatapannya mengarah pada Rieka dengan tajam.
“…cowok
kayak si Haqi itu, Pong, yang bikin gue nyadar, selama ini gue belajar, kalo
gue tuh udah males, gue tuh enggak cocok, sama cowok-cowok yang ngerasa dirinya
punya ‘sesuatu’, makanya gue enggak bisa lama-lama sama mereka juga…”
“…ya
karena elo…”
“…ya
terserah elo mau ngeliat si Dean itu kayak gimana, enggak pernah juara balap
kerupuk atau makan karung… apalah!, tapi justru karena humble-nya itu gue suka…”
“…enggak,
elo enggak kayak gitu, Ka.”
“…iya
terserah deh pokoknya gue suka Dean karena apaan. Kooperatif dikit kenapa sih,
Pong? Elo kan tahu gue pingin lupain Deraz. Udah! Enggak usah ngait-ngaitin
sama dia lagi deh…!”
“Nah
justru itu ironisnya, Ka. Elo mau ngelupain Deraz dengan jadian sama saudara
kembarnya? Elo nyadar enggak sih? Mereka tuh tinggal satu rumah, satu kamar
malah! Gimana elo mau ngelupain Deraz dengan deketnya elo sama Dean? Muka
aja mereka kadang-kadang mirip! Pas elo nelpon ke rumah Dean, bisa aja yang
ngangkat Deraz. Pas elo main ke rumah Dean, bisa aja elo ketemu Deraz. Entar
misalnya elo nikah sama Dean, punya anak, terus aja elo ketemu sama Deraz,
tiap Lebaran, nengokin keponakan-keponakannya… Atau… Elo tahu kan gimana si
Deraz merhatiin Dean banget?”
“Pong…”
“Maksud
elo apa sih, Ka? Elo tuh kayak masang ranjau di halaman rumah elo sendiri tahu
enggak?”
“Gue
tahu! GUE TAHU! Gue tahu Deraz bakal ngapain gue kalo gue jahatin Dean lagi!
Dan kalaupun gue sama Dean entar putus juga kita bakalan putus baik-baik!
Ngerti? Puas?”
Ipong
terpana. “Oke,” katanya, lalu mengangkat kedua tangan. “Itu keputusan elo,
dan elo udah tahu konsekuensinya.” Langkah cowok itu menjauhkan jarak di
antara mereka.
Rieka
merasa lemas.
Ipong
sudah di dekat pintu barak. “Ayo, Ka, gue udah enggak sabar bentak-bentakin
orang.”
Rieka
menurut. Berdua mereka menuruni halaman landai di muka barak, menembus angin
yang menderu kencang di kawasan Situ Lembang.
“Ngomong
sama elo tuh suka bikin gue ngerasa lagi main sinetron tahu enggak?”
Sedari
tadi Rieka ingin mengatakan hal yang sama pada Ipong.
.
Jam
istirahat yang biasa. Sepasang kekasih menebarkan bunga-bunga kasmaran di
Kabita. Orang-orang yang melintas di sekitar mereka berkelit agar tidak
tersambar. Kadang melihat sejoli yang berasyik-masyuk itu, walaupun tidak disengaja,
bikin hati jadi berpenyakit. Sirik kan, menurut Joshua dan Mega Utami[1], tanda tak mampu. Tak mampu berarti fakir, sedang
fakir mendekati kufur. Asumsi bahwa pacaran itu berbahaya menjadi logis. Perokok
pasif saja lebih berisiko terkena kanker, apalagi pacaran pasif. Tapi yang
perokok aktif malah sering tidak menyadari, begitupun yang pacaran aktif.
“Lo…
ve… yan… ini siapa, Neng? Kok sering banget nelepon kamu?” Dean memindai layar
ponsel Rieka.
“Itu
kamu, Sayaang...”
Tampang
Dean bertanya. Mengingat jam istirahat anak sekolahan merupakan jam sibuk
bagi karyawan, Rieka bisa memaklumi kalau kecepatan loading Dean sedang lambat-lambatnya. Ganti Rieka mengamati layar
ponsel Dean, yang sedang menayangkan halaman Twitter milik cowok itu.
“Dendeng
itu apaan, Yan? Kok suka ada yang manggil kamu gitu sih?”
“Soalnya
aku kan renyah dan gurih, Neng, kayak dendeng…”
“Dean
sedeng yah?” Rieka mendengus akibat ekspresi yang menjadi respons Dean. “Kalau
Bul? Bulbul?”
“Itu
karena aku kayak es bul, Neng, manis.”
“Oh
ya? Aku boleh manggil kamu gitu juga enggak?”
“…jangan.”
Bulat.
Enggak tuh, pipi Dean masih kelihatan tirus, program Rieka belum sukses. Buldog.
Kadang tatapan cowok itu memang kayak anak anjing, enggak nahan!, tapi buldog
kan berwajah seram! Buldoser. Iya sih, Dean tuh kadang bisa berisik banget!
Bule. Rada-rada sih, biarpun cuman 12,5% katanya. Bulu. Lumayan banyak.
Jambul. Rieka tidak yakin Dean suka dengan potongan rambut seperti itu.
Cabul. …
“Dean….!”
Kedua belah tangan Ola mendarat di pundak Dean, menggoyang-goyangkannya seakan
ayunan. “Yang udah punya cewek nih… inget Yan, elo udah punya cewek…”
“…iyaa,
gue inget…” Dean menoleh-noleh ke belakang. “…al-wayssss!”
Anne
berdiri di samping Ola. Sepasang matanya yang bulat, hitam, dan besar itu
menyetrum Rieka, menarik sosok-sosok gaib dari dalam kulkas untuk
menggerayangi Rieka dari belakang.
“Makanya
elo tuh kalo diajak fitness jangan males-malesan.
Masak cowoknya Rika letoi bin kerempeng gini sih…”
Rieka
ingin berdiri lalu pergi lalu mengantri makanan atau minuman apa saja sampai
kedua cewek berkekuatan intimidasi tingkat tinggi itu—jauh di atas level
Rieka!—raib.
“…cowoknya
Rika tuh pantesnya yang gagah, yang perkasa, kayak…”
…jangan
sebut nama itu… Rieka harap Dean tidak pernah mengumbar sejarah hubungan mereka
pada cewek-cewek itu, terutama yang di masa SD, apalagi kalau menyangkut…
“…Superman!”
Rieka
melakukannya. Susu murni! Stroberi untuknya dan cokelat untuk Dean. Rieka
tidak mau melihat cewek-cewek itu, tidak, tidak sampai mereka menghilang
dari sisi Dean.
“Cowok
kamu tuh, si Dean anak XI IPS 2 itu ya?”
Rieka
geragapan. “Haqi!” Tidak mengerti kenapa kemunculan cowok itu harus selalu
tiba-tiba. Hampir saja plastik susu di tangan Rieka meluncur ke bawah.
Ia
yang bermasam durja. “Tampang cemen gitu, kayak artis sinetron,” gerundelnya.
Tidak berupaya untuk berlama-lama lagi dengan Rieka. Cowok itu keluar dari
antrian tanpa membawa apa-apa di tangan. Rieka terperangah. Sialan kamu, Haqi,
dumel Rieka. Jangan komentar kalau suatu saat Rieka pacaran dengan
binaragawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar