Kamis, 13 Desember 2012

V. Empowering!

Sejak lama Papa Rieka penasaran dengan anak laki-laki yang membopong kibor dari lorong ke lorong, lalu mempersembahkan lagu Sunda un­tuk anak perempuannya dengan alat musik ter­se­but. Sesekali Papa Rieka juga mendengar se­len­ting­an mengenai tingkah sang pacar baru, baik dari is­tri­nya maupun Rieka sendiri. Sepertinya anak laki-la­ki yang eksentrik, yang di Sabtu petang ber­tan­dang ke rumah dengan mengenakan batik.

Dean belum pernah bertemu dengan Papa Ri­eka sebelumnya, dan ia termakan stereotip. Ia ba­yangkan Papa Rieka bertubuh besar lagi gempal ser­ta berkumis tebal, yang langsung mengadangnya be­gitu ia menginjak teras. Memang begitulah yang ter­jadi, tanpa asma Dean mesti betulan kumat. De­an tiba ketika Papa Rieka sedang meninjau ta­naman-tanamannya di halaman. Toh omongan Ri­eka terbukti benar, Papa Rieka tidak menyerang De­an.

Rieka berselisih jalan dengan papanya, ke­ti­ka pria itu hendak bersalin pakaian sedang Rieka hen­dak menyambut Dean. “Itu pacarnya Eka mau nga­jak ke undangan?” bisik Papa Rieka. Rieka lalu men­dapati Dean masih berdiri tegang di ambang pin­tu ruang tamu. Rieka langsung menggiring Dean du­duk di sofa. Teringat sikap Dean beberapa hari la­lu ketika Rieka memberitahu bahwa papanya ingin bertemu. Seperti musim paceklik, sebentar san­tai sebentar gugup.   

“Selera kamu tuh kalo milihin orang bagus, ta­pi kok kamu sendiri suka salah kostum?” kata Ri­eka masih memegangi lengan Dean. Rieka saja ha­nya mengenakan blus dan rok dengan model yang ka­sual.

“Naik apa tadi ke sini?” tegur Papa Rieka be­gi­tu memasuki ruang tamu lagi. Rieka bersyukur pa­panya tidak latah mengganti oblong dengan ba­tik, melainkan kaos polo.

“…angkot,” jawab Dean.

Tiasa nyarios Sunda?”

Sumuhun, Bapak.”

Selanjutnya Papa Rieka membombardir De­an dengan pertanyaan-pertanyaan berbahasa Sun­da. Dengan sigap lagi fasih Dean menjawab dalam ba­hasa Sunda halus. Rieka tidak bisa me­nerjemahkan arti dari kata per kata, melainkan se­kadar menangkap maksudnya. Dean menceritakan akar budaya Sunda yang ia dapat dari ayahnya, wa­lau proporsinya hanya tiga per delapan dari total su­ku-suku dan ras lain yang bercampur dalam da­rahnya. Rieka menjadi malu ketika papanya me­nying­gung, “Piraku ieu anu mojang Priangan asli teu tiasa nyarios saeutik-eutik acan, boro-boro anu alus. Budak ngora ayeuna mah nya...” Tam­pak­nya ini saat yang tepat untuk meninggalkan ru­ang­an sejenak… Rieka masih sempat dengar pa­pa­nya menanyakan Dean lagu macam apa yang cowok itu bawakan di kelas Rieka tempo hari. Papa Rieka pun antusias karena perbendaharaan Dean akan la­gu-lagu Sunda ternyata kaya. Sebutlah Doel Sum­bang, Nining Meida, Bungsu Bandung, dan Darso. Se­a­kan Dean pernah mengintip koleksi kaset dan CD milik Papa Rieka.

Bik Mirah kembali dari ruang tamu setelah meng­antarkan penganan yang lebih dari sekadar yang biasa disuguhkan, digantikan Rieka dan ma­ma­nya yang sudah dandan.

“Ma, ini, Ma, cowoknya si Eka tadi ke sini na­ik angkot…” Papa menyambut Mama yang lantas du­duk di sampingnya. Keduanya lalu kompak meng­gali aktivitas pacaran yang dilakukan Dean de­ngan putri mereka. Dengan polos Dean mem­be­ber­kan kalau ia dan Rieka menghabiskan waktu le­bih banyak di sekolah. Kalau mau ke tempat lain, me­reka menggunakan angkot atau minta diantar-jem­put Pak Sam. Dean belum boleh mengendarai mo­tor maupun mobil karena usianya belum 17 ta­hun, itu aturan sang bunda. Kedua orangtua Rieka ter­bahak.

“Aduh kamu ini pembawaannya kayak orang eng­gak punya…” seloroh Mama yang padahal tahu be­nar siapa kedua orangtua Dean.

Dean bungkam saja, sementara Rieka yang meng­ajukan pembelaan. “Ya enggak apa-apa dong. Ki­ta kan pingin go green, biar ramah lingkungan sama hemat energi, iya kan, Yan?” Dengan bingung De­an mengiyakan.

Rieka pun sebelumnya pernah menampik ta­war­an sang papa untuk membuat SIM tembak, mau tung­gu sampai usianya genap 17 tahun saja. Bi­ar­pun kini menjabat posisi penting di Gedung Sate, ji­wa preman Papa Rieka tetap eksis.

Ari kamu teh udah bisa naik motor apa be­lum sih?” Papa Rieka sudah tidak hendak menguji ke­mampuan Dean berbahasa Sunda lagi, dengan bang­ga memberikan Dean peunteun salapan. Pria itu menyulut rokok, lalu menawarkan sekotak. De­an mengambil sebatang.

“Masih belajar sih, Om…” Ganti cowok itu yang menyulut rokok.

“Udah yang penting mah bisa dulu. Besok la­gi kalo mau keluar sama Eka, tuh ambil aja satu di be­lakang… tapi entar dibalikin lagi sekalian sama Ekanya. Daripada pacaran di sekolah melulu...”

Dean cengengesan.

Papa Rieka lalu membawa Dean ke garasi le­bar di belakang rumah, di mana deretan Harley, Ducati, dan Goldwing dalam berbagai seri di­pa­mer­kan. Papa Rieka biasa mengambil salah satu, lalu mem­boncengkan istri atau putri berkeliling Ban­dung dan sekitarnya, atau bertemu kawanannya se­sa­ma penggemar motor gede.

Papa Rieka tidak melepaskan Dean sampai ingat kalau jam edar angkot terbatas. Dean di­bi­ar­kan pulang dengan angkot lagi. Rieka mengantar De­an sampai ambang pagar, di mana ia memberi co­wok itu pesan, “Dean, papa aku emang perokok, ta­pi aku enggak suka liat kamu ikut-ikutan nge­ro­kok.”

.

Di ruang tengah Rieka mendapati papa dan ma­manya sedang membicarakan Dean… tentang ayah­nya yang mantan atlet dan kini aktif di pe­lat­nas… tentang kakek dari pihak ibunya yang pensiun se­bagai profesor yang ahli bedah tulang… tentang ibu­nya yang dermatolog ternama yang sering tam­pil di TV nasional yang profilnya pernah diulas di ko­ran nasional yang juga mengajar di perguruan ting­gi negeri favorit di pinggiran Bandung… ten­tang… Sungguh naif jika kedua orangtua Rieka me­nyang­ka Dean mewarisi berbagai reputasi para pen­dahulunya, walau Deraz iya. Bibit dan bebet oke, walau tidak ada lema “bebet” di KBBI, tapi soal bo­bot Rieka lebih tahu. Ketika obrolan merembet ke para pacar Rieka sebelum Dean, Rieka lekas-le­kas angkat kaki ke lantai dua.

Rieka mengetok pintu kamar sepupu yang ter­letak bersebelahan dengan kamarnya itu. “Ma­suk ajaa…” suara dari dalam. Kak Mita yang sedang ber­jongkok di lantai kontan menoleh ketika Rieka ma­suk. Ia menyibak rambut panjangnya yang lurus ke belakang seraya lanjut membukai halaman The Jakarta Post. “Lagi ngerjain apa, Kak?” Rieka meng­hempaskan diri di kursi putar. “Tugas kuliah.” Yang sekonyong-konyong tuntas dalam hitungan me­nit. Kak Mita lebih suka menjamu Rieka—mem­bi­carakan pakaiannya yang baru atau pacarnya yang pencemburu, maksudnya.

“Minum atuh, Ka…” Kak Mita sudah fasih ber­logat Sunda setelah lebih dari tujuh tahun ting­gal di rumah Rieka—di Bandung. Cewek itu me­nu­ding kulkas mini di sudut kamar. Kalau yang di­mak­sud sepupunya adalah Mix Max dengan varian ra­sa, maka Rieka menjawab, “Enggak, Kak, ma­ka­sih.”

Kak Mita menyeret asbak ke dekat kakinya yang terawat. “Buka dong, Ka, jendelanya,” katanya la­gi. Rieka menurut. Selanjutnya ia ikut duduk di kar­pet, menghadap sepupunya yang murah hati. Ka­li ini Rieka disodori sekotak superslim, dan bah­kan sepupunya sudi menyulutkan… Rieka mem­bum­bungkan asap jauh-jauh. Betapa melegakan… se­kaligus merawankan. Bukan Rieka tidak ingat apa yang tadi ia katakan pada Dean.

Sebuah CD dari kemasan bergambar men­co­lok disetel Kak Mita, yang beberapa lama kemudian di­keluhkan Rieka, “Kak, musik apa sih ini, Kak? Aneh banget gitu sih liriknya. Elo tahu kan gue mainstream abis…” membenarkan perkataan Ipong ka­lau selera Rieka sebatas Zooey Deschanel dan la­gu-lagu milik girlband. “Justru itu, Ka, dengerin deh. Ini ada anak band indie gitu kayaknya ngebet ba­nget sama gue, terus gue dikasih album DIY-nya gi­tu sama dia…”

Satu batang telah habis, Rieka pamit ke ka­mar.

Di kamar Rieka langsung mengganti blus de­ngan kaos dye tie hasil tugas prakarya saat SMP, oh, sekalian bawahan deh, dan pakaian dalam. Tadi ada abu yang tercecer ke rok, jemari Rieka masih be­lum terampil juga mengapit puntung—tapi me­mang tidak perlu. Rieka menggosok gigi, dinding mu­lut, hasilkan busa sebanyak-banyaknya, be­gi­tu­pun saat di muka. Rieka berjanji untuk tidak lagi me­masuki lubang neraka itu, seperti janjinya untuk ti­dak lagi menguntit profil Deraz di Facebook.

Di meja belajar Rieka membentangkan organizer, tepat di halaman berisi tabel proker-pro­ker­nya di OSIS, yang ditulis dengan rapi dan dihiasi sta­bilo warna-warni plus stiker mini-mini. Ia meng­ang­kat pensil, lalu pada halaman lain membuat ta­bel dengan format yang sama, dengan sesekali me­n­yon­tek ke halaman sebelumnya. Jemarinya cergas men­corat-coret. Satu, “Gemukkin Dean!”… bekal… me­nu… Rieka bakal melakukan penelusuran di in­ter­net tentu saja… Ekskul Dean… tidak yakin Dean ikut ekskul. Anak semacam itu tampaknya doyan ma­bal, Rieka akan periksa. Exercise, Rieka tidak ya­kin Ola dan Anne betulan mengajak Dean fitness. Oh! Ini bisa sejalan dengan program diet Rieka… Aka­demik. Dean IPS. Rieka IPA, tapi sudah be­ren­ca­na untuk ikut jalur IPC… gampang lah! Gaul—nan­ti dulu deh… Suruh Pak Sam mengajari Dean me­nyetir mobil. Jemari Rieka berhenti ketika pon­sel­nya berbunyi.

DERAZ.

Dean mengirim sms pakai nomor Deraz, me­nga­­barkan kalau pulsanya habis, dan setengah jam la­lu ia sudah sampai di rumah dengan selamat, dan ja­ngan begadang melulu dong, Yang, biar kulit te­tap cantik!

Rieka memutuskan untuk menurut pada pu­tra sang dermatolog. Ia terjun ke kasur dan me­nyam­bar zine milik LEMPERs yang sudah lama ia pin­jam tapi lupa melulu untuk mengembalikan—ter­bitan tiga tahun lalu. LEMPERs tidak lagi mem­pro­duksi zine sejak anggaran dari sekolah ber­tam­bah, formatnya berubah menjadi majalah se­mes­ter­an yang terbit saat pembagian rapor akhir se­mes­ter.

Tidak lama separuh wajah Rieka mendarat di halaman zine. Lagu milik band indie dari kamar Kak Mita mengiang-ngiang di sepanjang mimpi, de­ngan wajah Deraz membayang-bayang sementara mo­tif tie dye di kaos Rieka menjadi latar.

.

DADANG, yang merupakan singkatan dari “De­ngar Pendapat antar Bidang”, adalah proker yang sangat penting bagi Alf selaku mitratama. Ber­ka­li-kali Rieka mengingatkan Dean bahwa DA­DANG yang hendak ia datangi bukanlah manusia. “Ka­mu kok sering banget sih sama Dadang… men­ding sama Dean…” begitu keluh Dean dengan nada me­melas, sebab selaku sekum Rieka haram untuk me­lewatkan setiap edisi DADANG. Buku folio pun di­tenteng-tenteng, ruang diskusi dimasuki. OSIS me­miliki kewenangan untuk menggunakan ruang ke­cil lagi tertutup di samping ruang BP, yang di­leng­kapi whiteboard beserta alat tulis dan hapus, ser­ta sebuah meja panjang dikitari belasan kursi yang harus dilipat dan dibariskan di tepi begitu usai di­gunakan. Bonus kipas angin. Sesungguhnya Alf ju­ga ingin membuat aturan kalau sekum harus du­duk tepat di samping mitratama tiap kali rapat, tapi ia tahu mana yang harus diprioritaskan. Kabid IV dan Kabid VII juga cewek dan manis dan belum pu­nya pacar.

Topik dalam DADANG siang itu adalah op­ti­mal­isasi selasar kantin. Dengan bersemangat Kabid VIII membacakan prokernya yang utama: “SMANSON BERSENI”. Selasar Kabita seyogianya di­optimalkan untuk mengakomodasi dan me­ngem­bang­kan kreativitas siswa dalam bermusik. Kabid VIII ingin ada gig di selasar Kabita tiap jam is­ti­ra­hat atau pulang sekolah—tiap hari! Tiap hari ada je­nis musik berbeda yang dibawakan. Indikator ke­ber­hasilan proker ini adalah siswa SMANSON me­nge­nal segala jenis musik, bukan cuman yang lagi atau pernah top.

“Nah makanya itu mitra-mitra, kita mesti bi­kin programnya si Ipong ini ‘realistis’…” kata Mit­ra­tama.

“Bukan, gimana supaya program ini ‘re­a­lis­tis’, Odong-odong…” Kabid VIII ikut memberi tan­da kutip. “Tapi te-re-a-li-sa-si.”

Tidak enak rasanya dipanggil dengan nama se­jenis kendaraan umum jurusan Awiligar yang ber­pangkalan di Jalan Pahlawan itu. “No Odong-odong…” Mitratama goyang-goyang telunjuk.

“…sebab dia sudah menjadi truk Gajah Oling,” sambung Mitramuda II yang tiap jelang Le­ba­ran mudik ke Pati. Tawa tertahan di ujung meja.

“Senin kita bisa ngadain klasik, buat ngak­tif­in sel-sel otak setelah liburan weekend,” lanjut Ka­bid VIII tanpa acuh. “Terus Rabu kita bikin khusus jazz. SONJAZZ…” kedua tangan Kabid VIII terbuka de­ngan dramatis bagai Spongebob menggambarkan ima­jinasi dengan pelangi, “SMANSON Nge-jazz…” Ka­bid VIII sedang gandrung dengan jazz, di OJOM­BAS ia menampilkan lagu yang tak seorangpun di SMANSON pernah dengar.

“Kenapa mesti Rabu, Pong?” tanya Bendum.

“Karena gue lahir pas hari Rabu.”

“Eh Raz, proker kamu yang pentas musik is­la­mi itu dimasukin sekalian aja,” senggol Kabid II pada Kabid I.

“Uh. Iya, tiap Jumatan aja tuh Raz. Sebelum atau sesudah Jumatan,” imbuh Kabid VI. “Nasyid, ma­rawis, kasidah, keluarin semua tiap Jumat.”

“Enggak sekalian kita bikin MTQ aja?” Mit­ra­tama garuk-garuk kepala yang tanpa disadari te­lah bikin rambutnya teracak-acak juga.

“…rock, alternatif, blues, psychedelic, R ‘n B…” Kabid VIII mengabsen. “Kalau bisa tiap hari ada PJ-nya dari ekskul tertentu, biasanya kan cu­man anak KOMBAS aja. Kalau bukan anak KOM­BAS tapi mau nge-jam ya sok aja. Misal, ya, tadi anak DKM[1] ngisi pas Jumat. Terus hari apa gitu anak-anak VG. Tiap Selasa kabaret—TERSONO[2]. Te­rus tiap kapan, Sabtu pagi gitu, anak-anak Hallyu­freak disuruh mimpin senam pake gangnam style! Ekskul kita banyak, Son!”

Semua tersengat sunyi ketika Kabid VIII se­le­sai bicara.

Mitratama pun angkat suara, “Atau di sam­ping ngandelin ekskul mungkin kita bisa pake jalur in­dependen juga, Pong,” yang diakhiri dengan nada sar­kastis tapi halus, “Gimana kalau kamu tambahin ‘SMANSON’S GOT TALENT’ di proker kamu?”

Terselamatkan oleh azan asar. Rieka ak­hir­nya bisa lepas dari pertarungan wacana yang sengit. Ta­ngan kanannya pegal karena hampir tidak ada je­da untuk berhenti mencatat. Dua tangan yang pegal bah­kan, kalau ia membuat notula dengan notebook. Ri­eka masih lebih suka menulis dengan tangan, yang langsung menghadirkan bukti fisik, walau ia mem­bawa notebook ke sekolah hari itu. Rieka ingin ba­nyak orang mengenang tulisan tangannya yang in­dah dan rapi. Barangkali suatu saat akan ada ahli ti­pografi yang mematenkannya sebagai font di du­nia digital—mimpi Rieka paling muluk-muluk.

Dean sudah menantinya di Kabita yang se­nyap, dengan Sheila. Rieka menghembuskan napas be­gitu meletakkan seluruh bawaannya di meja. Daypack yang penuh terisi oleh wadah bekal untuk De­an, botol minum yang masih setengah isi, note­book, proposal acara OSIS terdekat yang harus ia ra­lat, serta berbagai tetek bengek akademis, dan tas jin­jing berisi buku-buku yang tidak tertampung da­lam daypack.

“Ri, aku enggak jadi bisa majang foto kamu sa­ma Dean gede-gede di mading tea,” Sheila me­nyam­paikan kabar, “sebagai gantinya kalian jadi mo­del majalah semesteran ya?”

“Demi apa?” Rieka menjatuhkan diri di sam­ping Dean. Sudah tidak begitu terasa kerasnya tu­lang saat menyandarkan kepala di otot biseps Dean.

“Demi pak kepsek yang ingin men­so­si­a­li­sa­si­kan pedoman berseragam yang baik dan benar,” ja­wab Sheila dengan mantap. “Entar juga pimpronya nge­hubungin kamu langsung, Ri.”

“Oke.”

Sheila pun undur diri. Rieka pindah duduk ke seberang Dean, sementara kwetiau goreng hadir di hadapan mereka—tinggal menu itu yang masih bi­sa dipesan. Dean menyodorkan Rieka secarik ker­tas. Sepulang sekolah itu mereka berjanji untuk pu­lang bareng, dengan Pak Sam tentu saja. Sembari me­nunggu DADANG selesai, Rieka menugaskan De­an untuk menuliskan jadwal pelajaran dan les­nya.

“Entar sore kamu ada les bahasa Inggris?” Ri­eka memindai tulisan Dean yang bukan lagi cakar ayam tapi cakar bebek itu. Dean mengangguk. “Ka­lau gitu kita entar enggak usah ke mana-mana dulu ya, biar kamu istirahat yang cukup…” Rieka juga akan melahap kwetiau secukupnya, dengan cepat, mes­ki sambil berbagi waktu dengan menganalisis jad­wal Dean… “Kamu tuh sebenernya ada ekskul eng­gak sih?”

“Ah saya mah menclok-menclok aja, Neng. Ka­lau anak-anak teater lagi pingin ngajakin, ha­yuk… Kalau lagi pingin main ke ABS[3], ya udah da­teng we…”

“Kamu enggak ada ekskul tetep gitu? Di ra­por kamu ditulisnya ekskul apa?” Jawaban Dean ti­dak memuaskan. “Kamu tuh harus ikut ekskul. Eks­kul tuh penting… supaya foto kamu di buku ang­kat­an bukan cuman foto bareng sama anak-anak kelas ka­mu doang, supaya kamu eksis…”

“…emang aku enggak eksis?”

“Gini deh, ikut ekskul tuh penting supaya ada dari diri kamu yang menonjol… Potensi kamu, ba­kat kamu, apa deh, kalau kamu ikut ekskul, hal-hal kayak gitu tuh bisa keliatan. Kamu jadi tahu, orang-orang juga bakal tahu, kekuatan kamu di ma­na. Kamu bisa jadi sesuatu, diakui. Kamu juga bisa da­pet fasilitas buat ngembangin potensi kamu itu…” Rieka berhenti sejenak untuk melahap isi sen­dok di tangannya. “Sekarang, apa coba minat ka­mu?”

Sorot mata Dean menanyakan hal yang sama pa­da Rieka.

“Basket? Badan kamu kan tinggi…”

“Aku enggak jago dribel-dribel gitu mah.”

“Teater? Tadi disebut-sebut…”

“Capek euy  latihannya…”

Puluhan ekskul tersedia di SMANSON, tapi Ri­eka harus menemukan ekskul yang cukup ber­geng­si untuk Dean.

“Kamu kan bisa main kibor. Join KOMBAS aja…”

Tentu saja KOMBAS. Sarang hipster.

“Rekrutmennya udah lewat—“

“Enggak usah pake rekrutmen-rekrutmen! Lang­sung nongkrong aja. Orang kayak kamu mah bi­sa lah. Udah gitu cari orang yang satu visi sama ka­mu, nge-jam bareng… bikin band, ikutan gig, yang gitu-gitulah, kan Deraz juga anak KOMBAS,” oh, betapa nikmatnya menyinggung Deraz di depan De­an!, “mestinya kamu juga udah ngerti kan alur­nya eksis di KOMBAS gimana.” Rieka yang bukan anak KOMBAS pun tahu, karena ia memang cukup ak­rab dengan beberapa anak KOMBAS—Ipong sa­lah satu dari mereka.

“Ya udah aku coba.”

“Bener yaa…”

Kwetiau dalam piring belum tandas, tapi Ri­eka sudah merasa cukup. Saatnya memanggul be­ban berat kembali—hup! Ooh… Serasa setengah po­pu­lasi dunia pindah ke dalam daypack Rieka, se­dang sisanya di dalam tas jinjing.

“Neng, mau aku bawain?”

Seperti biasa Rieka melepaskan sebelah tali jin­jingannya.

“Aku bawain semua aja.”

“Satu aja enggak apa-apa… Aku enggak suka co­wok sok kuat.”

“Aku enggak sok kuat, cuman lagi belajar bu­at jadi kuat…”

Rieka terdiam, sebelum ujarnya, “Kalau gitu aku juga pingin belajar buat jadi kuat.”

Dean tersenyum dikulum. Ia meraih sebelah ta­li yang terkulai itu. Mereka pun jalan beriringan me­ninggalkan Kabita, menuju mobil Rieka.

“Ya udah nih kamu bawa semua aja!”

“Tuh kan…” Dean terkekeh geli.

Lalu mereka tak bersuara hingga berapa la­ma. Rieka mengamat-amati tubuh Dean yang ter­ba­lut atasan putih, tampak lebih tegak dari biasa. Se­per­ti ada yang mengembang dalam dada Rieka, ba­rang­kali bibit yang tengah merekah. Ia tahu ia bisa.

“Kamu sekarang udah jarang pake jumper la­gi, Dean,” tegur Rieka lembut.

“Kan udah ada kamu yang ngehangatin aku.”

“Iiih… Norak! Norak! Dean norak!”

“Ahahaha…”

Jangan lupa menyetel AC selama perjalanan nan­ti, setidaknya sampai Dean turun.

.

Geng Rieka di LEMPERs bagai ensiklopedia me­ngenai si kembar, dalam format audio dan dapat berjalan dan dandan bahkan! Topik rumpi kali ini ada­lah UAS, mengingat apa yang bakal mereka ha­dapi dalam beberapa minggu lagi.

Titew mengenang masa di mana ia satu SMP dan satu kelas dengan Dean. “Sebangku sama dia tuh berisik banget tahu enggak…” Gelengan kepala Ti­tew seiring gerakan kipasnya. “Jangan sampai deh deket-deket dia pokoknya, pas ulangan tuh!”

“Seinget aku mah dia kalem-kalem aja da pas ulangan teh,” bantah Indah yang satu kelas de­ngan Dean sewaktu di X-7. “Tapi meureun karena pas dia sebangku sama si Zahra kali ya… hihihi…”

“Yang mana sih si Zahra teh…” sela Rieka, ta­pi Indah membisu.

Titew sudah bicara lagi. “…makanya gue eng­gak heran aja dia bisa tembus SMANSON… Yang gue heranin tuh IQ gede-gede kok enggak kepake…” Ti­tew termenung. Gerakan kipasnya memelan. “Ri, ma­af ya, kita bukannya enggak nyadar elo udah ja­di­an sama Dean…”

“Kita semua seneng kok sama Dean…” Nilam me­nyentuh punggung tangan Rieka. “Kita semua se­neng kamu jadian sama Dean. Tapi kenyataan emang pahit, Ri, sabar, Ri.”

“Iya, mungkin elo bisa nularin rajinnya elo ke dia, Ri?” tambah Fika.

Rieka tidak menggubris. “…yang mana sih Zah­ra?”

Tapi tidak ada yang mendengarkan Rieka, ka­rena Titew sudah melanjut lagi, “Bakatnya si De­an tuh emang nyenengin orang, nah terus dia man­fa­atin buat minta contekan pas ulangan, sama nyari yang mau ngerjain PR-nya. Tuhan itu Maha Adil kok.”

Indah terkikik. “Aku jadi inget dulu… ker­ja­an­nya Dean kan tiap pagi nyamperin bangkunya Zah­ra terus mintain PR-nya gitu…”

“Hahaha… iya tuh… terus kita tinggal na­dah­in aja…” imbuh Fika.

“Loh elo bukannya di X-6, Fi?”

“Kan kelas gue sebelahan sama si Dean, gu­ru-gurunya banyak yang sama, kalau ngasih PR ju­ga suka sama!”

“Ya ampun… sampai ke kelas sebelah gitu PR-nya Zahra?” suara Indah.

“Zahra tuh yang mana sih?” desak Rieka.

“Yang jilbaban gitu orangnya, Ri,” jelas Fika tan­pa membuat Rieka jelas. Rieka mulai berasumsi bah­wa Zahra agaknya tipe anak study oriented yang tidak kelihatan dalam arena pergaulan. “Eh ka­yaknya dia sekarang sekelas sama si Deraz bukan sih?”

Obrolan pun beralih ke Deraz.

Walau belum juga mengenali Zahra, Rieka ki­ni lebih tahu bagaimana kondisi akademis Dean, se­betulnya ia bisa melengkapi informasi dalam en­sik­lopedia yang disusun gengnya itu—yang se­be­tul­nya fokus pada Deraz. Rieka dan Dean sudah be­be­ra­­pa kali belajar bareng, dan bakal semakin sering da­lam beberapa minggu ini, yang mana biasanya ber­arti Rieka membaca buku-buku pelajaran Dean ter­lebih dulu—Dean tidak rajin mencatat—agar ia bi­sa menjelaskannya pada cowok itu dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.

Sekaligus bantu mengerjakan PR-nya.

Tempat favorit mereka untuk belajar bareng ada­lah (undakan keramik—cukup lebar untuk ti­dur-tiduran—di sisi luar) perpustakaan. Waktu fa­vo­rit adalah kapanpun Rieka luang, dan meng­i­ngin­kannya.

“Kamu kok mau sih, baca-baca buku IPS? Ka­mu kan IPA…” tanya Dean seolah tidak berpikir bah­wa membantu kekasih yang kesusahan adalah ke­wajiban, walau tak seorangpun bisa benar-benar mem­baca maksud Rieka.

Rieka menurunkan buku Sosiologi yang ia se­dang berusaha tekuni. “Enggak apa-apa, Ayan, aku kan sekalian belajar… Lagian aku juga pingin ma­suk Hukum.”

“Kok enggak masuk IPS aja sekalian?”

“Soalnya aku juga minat belajar IPA. Aku ju­ga kan pingin nyoba ke Kedokteran Gigi.”

Dean begitu kagum akan luasnya kapasitas otak Rieka, walau Rieka mengaku IQ-nya tak sam­pai 130. Tapi biar Rieka sudah mengungkit, Dean ti­dak lanjut dengan mengungkap IQ-nya, padahal Ri­eka ingin dengar dari Dean langsung. “Padahal ka­mu masih harus ngerjain PR kamu juga.”

“Nah itu kamu ngerti, Sayaang…”

Memang mengherankan kenapa Dean begitu su­lit untuk paham, padahal Rieka sendiri relatif mu­dah dalam mencerna berbagai mata pelajaran De­an serta menjawab soal-soalnya.

Dean bilang ada piano bernama Bumblebbe di dalam kepalanya. Bumblebee akan berdenting-den­ting apabila otak Dean harus menyerap hal-hal ru­mit. Semakin banyak materi yang harus Dean se­rap, Bumblebee akan mericuh dengan semakin ken­cang, semakin panjang, hingga membentuk nada-na­da, bahkan sonata. Dean tidak selalu meng­i­ngat­nya. Tapi sewaktu-waktu melodi yang telah tercipta akan menghampirinya lagi, dibawakan oleh Bum­ble­bee, dan menjadi tameng bagi hal-hal tidak me­nye­nangkan yang ingin masuk. Kadang Dean me­ma­inkannya lagi dalam kesempatan bersama alat mu­sik sungguhan.

Teringat oleh Rieka beberapa lagu yang per­nah Dean berikan padanya dengan percaya diri, di­ki­rim lewat bluetooth dari ponsel ke ponsel, yang ti­dak pernah Rieka dengar sebelumnya. Memang De­an bilang semua adalah karangannya, yang tidak kun­jung bisa Rieka cerna walau sudah men­de­ngar­kan satu per satu berkali-kali, tidak berlirik pula ka­re­na Dean tidak lihai merangkai kata, namun Rieka te­tap memuji-muji, “bagus banget,” karena mereka di­persembahkan khusus untuknya. Dan jika jam ker­ja Bumblebee sama dengan jam KBM, mereka lan­tas menjadi semacam… guiltyplea

Bumblebee justru berdengung dengan sa­ngat meriah ketika Rieka bersama Dean atau se­te­lah­nya!

…terilhami oleh Rieka—manis sekali… tapi ti­dak manis lagi kalau rapor Dean semester ini han­cur.

“Tapi kamu pendengar yang baik kan?” Be­ta­pa Dean selalu perhatian ketika Rieka men­cu­rah­kan seluruh gondok di hati.

“Kalau cuman ngedengerin yang ringan-ri­ngan mah aku gampang nangkapnya, sama kayak ba­ca majalah aja.”

Persoalan di OSIS tidak seringan itu juga, De­an…

“Kalau di kelas, dengerin aja penjelasan gu­ru­nya bener-bener, anggap kayak gurunya lagi cur­hat…”

“…iya deh…”

Meski yang ingin Dean dengarkan hanya su­ara Rieka.

“Ya udah… besok yang kira-kira keluar di ulang­an mana, aku bacain, kamu dengerin sambil re­kam, terus entar kamu dengerin lagi yaa…”

“Iyaa…”

Setengah jam kemudian.

“…jadi, yang ngebantuin Ternate itu Por­tu­gis, kalau Spanyol itu dengan Tidore… Yan… Kok ma­lah ketiduran sih? Bangun, Ayaan…”

Bimbingan belajar untuk Dean tidak hanya me­liputi akademis, tapi juga les, kendati Rieka ha­nya bisa bertindak sebagai konselor karena tidak me­ngerti apapun soal piano.

“…mentang-mentang gue mau UAS di se­ko­lah, dia pingin ngetes gue sightseeing juga, enggak bo­leh kedengeran staccatto gitu… beuh! Mana pe­dal di rumah dia enggak enakeun. Terus dia bilang ka­lau gue mainnya gitu terus sampai kapanpun gue eng­gak bakal bisa ikutan ABRSM. SNMPTN aja gue be­lum kepikiran!”

Padahal waktu yang harus Dean lewatkan ber­sama sang guru piano—yang cuman sejam se­ming­gu, ditambah les bahasa Inggris yang tiga jam se­minggu, tidak sebanyak jam yang Rieka habiskan ber­sama OSIS.

Dan sementara langkah Rieka tetap mantap pa­da jam-jamnya berada di sekolah, Dean teng­ge­lam dalam sofa rumah, mengirim sms bahwa ia ti­dak diperkenankan sang bunda untuk ke sekolah ha­ri itu… tensinya turun.

Rieka membaca pesan dari Dean yang di­ke­mas dalam bahasa Sunda halus itu.

“…semangat di sekolah ya, Neng, pasti bisa :D!”

Rieka tersenyum, lalu membalas sms dari De­an, yang segera dibalas, dan mereka terus ber­ba­las­an, sampai Dean mengiyakan pertanyaan Rieka apa­kah ia sudah baikan. Demi apa… Demi kuncup yang mulai tumbuh. Bagaimanapun proses ternyata ada­lah suatu hal yang menyenangkan untuk dia­mati—dijalani! Toh sore Dean sudah bisa me­rang­kak ke rumah sang guru piano yang puluhan ki­lo­me­ter jauhnya, demi Rieka yang tidak pernah lupa meng­ingatkan.

.

Liburan…

Hari demi hari setelah pergantian tahun, Ri­eka lalui bersama Dean… di ruang tamu, dengan pin­tu menuju ke dalam dan menuju keluar yang ter­buka lebar. Cahaya matahari menerobos jendela yang dilapisi tirai semi transparan, seakan ingin tu­rut membersamai. Dean datang tiap pagi menjelang si­ang, mengaku sudah mandi walau pakaian yang di­kenakan belum berganti sejak semalam—tapi aro­ma Dean selalu segar! Toh Rieka pun sama berkaos dan bercelana pendek.

Majalah semesteran terbentang di karpet, me­muat sepasang halaman dengan sosok mereka, ti­dak berdua saja ternyata, karena harus ada model pu­la untuk siswi berjilbab, dalam seragam putih abu, batik, dan olahraga.

Tapi anak-anak JEPRET—ekskul fotografi di SMANSON—yang umumnya cowok tidak puas me­mo­tret Rieka hanya dalam seragam sekolah. Me­re­ka ingin Rieka menjadi model untuk sesi latihan ru­tin mereka, kendati mereka harus menyanggupi sya­rat: Dean serta. Mereka menganga. Demi apa, Ri­eka? Demi apapun yang Rieka ingin kenakan di de­pan kamera, yang bisa jadi belasan senti lebih pen­dek dari rok abu-abu yang menjadi seragam se­ko­lah—yang kini sudah wajib rempel panjang omong-omong. Anak-anak JEPRET kejar jua sang kem­bang SMANSON, pacarnya tak lupa digandeng, me­lintasi lanskap berumput hijau segar dan ber­la­ngit biru cerah. Walau hati digigit-gigit mendapati sang model bersandar dengan manisnya, menatap de­ngan mesranya, tersenyum dengan manjanya, di de­kat model lain yang tidak diharapkan.

Tapi Rieka dan Dean tidak peduli. Anak-anak JEPRET adalah paparazi yang mereka terima de­ngan suka hati. Yang mereka pedulikan adalah local disk, di notebook Rieka maupun di PC milik ke­luarga Dean, yang kembung oleh foto-foto me­re­ka. Walaupun menjeprat-jepret dengan kurang ikh­las, jepretan anak-anak JEPRET betulan ber­ku­ali­tas. Rieka dan Dean sampai bingung memilih mana yang terbaik untuk mereka jadikan foto profil di Facebook, atau wallpaper di Desktop. Mereka pu­tus­kan bahwa sang pemenang, untuk tiap-tiap no­mi­nasi, harus mereka beri reward. Rieka akan jad­wal­kan: berburu reward bareng Dean!

Dan siapa nyana Dean fotogenik, karena De­raz tidak begitu. Kini Rieka bisa memberi label baru pa­da Dean: fotomodel SMANSON!

Gagasan untuk membuat blog fashion tergali la­gi, sebelumnya terkubur oleh kesibukan Rieka di se­­kolah. Perlahan-lahan sebagian isi lemari Rieka pin­dah ke ruang tamu. Dean membantu Rieka me­nyu­sun mix and match untuk setiap potong pa­kai­an Rieka, membuat Rieka ingin melakukan hal yang sa­ma untuk Dean. Sekiranya bukan cuman jumper yang mengisi lemari cowok itu. Terpikir untuk mem­berdayakan anak-anak JEPRET lagi sebagai ju­ru potret. Rieka sudah hampir membuat tumblr, ke­tika Dean menanyakan taman mana di Kota Ban­dung yang bakal menjadi lokasi pemotretan me­reka. Rieka menerawang ke jendela. Langit begitu te­rik, sementara hawa di dalam rumah saja sudah mem­buat betis Rieka bak sawah di musim pa­cek­lik—makanya menggunakan body lotion itu wajib! Ma­ri kerjakan di dalam rumah saja, Dean, dengan ka­mera saku. Blog fashion mereka pun jalan se­lama seminggu, lalu terlupakan begitu seragam pu­tih abu kembali dikenakan.

Sesekali mereka hanya bermalasan di karpet, me­lontar asal pada satu sama lain.

“Ayan, Ayan mau diajarin renang?”

“Mau liat kamu pake baju renang.”

“Mesum…” Rieka mendorong pipi Dean se­ja­uh mungkin.

“Baju renang kamu kayak gimana, Ka... Ka­os-kaos dikeluarin kok bikini enggak sih, Ka… Ka…” dan seterusnya.

Menjelang sore Dean pulang, karena les atau latihan bareng band. Ya! Band! Kata yang tidak ada dalam KBBI itu! Dean yang penurut telah nang­kring di sekre KOMBAS hampir tiap hari, me­ngo­brol dengan si ini atau si itu, membandingkan wa­was­an, mengetahui preferensi, serta mengukur ke­te­rampilan bermusik satu sama lain, lalu sepakat un­tuk nge-jam... Yang sudah beberapa kali mereka la­kukan sebelum UAS, di sekre KOMBAS, sudut ma­napun di SMANSON, teras atau kamar di rumah si anu, studio sewaan… ya di mana asyiknya aja lah, bray! Anggota band Dean terdiri dari Didi (yang ada­lah cewek—satu-satunya) yang vokalis, Izar yang drumer, Bembem yang gitaris, dan Tamam yang bassist, dan Dean sendiri sebagai kibordis! Mo­to mereka adalah: Kami senang memainkan la­gu yang riang dan manis! Rieka tidak sabar untuk me­lihat penampilan mereka di selasar SMANSON! De­an bilang Didi dan Bembem, yang pacaran omong-omong, sudah lama merencanakan untuk me­ri­lis lagu—bahkan EP! Target mereka di tahun ini adalah memasukkan demo ke salah satu radio anak muda di Kota Bandung. Itu lebih bagus lagi, De­an!

Band aku juga punya nama, Neng, Popeye The Spinact!—yang kalau diterjemahkan secara har­fiah menjadi Matapop Si Aksimata-mata. Dean sa­ngat senang. Padahal nasib kembarannya saja ti­dak seberuntung itu. Band yang Deraz dan Ipong usung sejak kelas X, selain tidak menciptakan lagu ba­ru alias sekadar band cover, juga belum punya na­ma. Se­hing­ga apabila MC di panggung bertanya, na­ma band kalian apa nih? Mereka menjawab Be­lum Ada Na­ma. Wah kepanjangan, kata MC, di­sing­kat aja ya, Belum-Ada-Nama, jadi BAN—BAN BAND! Lalu se­laku drumer Adip menabuh tom-tom dan cymbal.

Bagaimanapun pesona liburan-malas telah bi­kin Rieka terlena. Padahal ada program penting yang bisa dioptimalkan saat liburan, tidak hanya me­nyangkut Dean tapi juga Rieka sendiri. Exercise! Pa­dahal mereka bisa joging tiap pagi! Sudah mah ter­lupakan, mereka pun kebanyakan makan ca­mil­an—yang memang selalu dipasok oleh Mama Rieka. Ba­gi Dean sih baik, tapi bagi Rieka, “Aku endutan, Ayaan…” yang walaupun tidak dipermasalahkan De­an tapi sudah pasti bikin Rieka resah. Ujung-ujung­nya waktu yang tersisa tinggal weekend juga.

Rieka merasa kecele ketika Sabtu siang Dean da­tang ke rumah dengan membawa cerita dari fit­ness center. Sama siapa?! O—Ola… tapi kan me­mang sudah biasa, Neng, saya tiap Sabtu diseret me­reka ke sana… diseret, Neng, diseret!, tidak ber­dasar atas kesukarelaan…! Rieka mengamat-amati tu­buh Dean yang memang mulai berbentuk. Ah. Ba­gaimanapun Rieka seharusnya berterima kasih ma­lah pada kedua cewek itu…

Namun Sabtu itu Anne tidak serta karena ma­sih liburan di Bali bersama teman-teman SMP-nya dengan membawa mobil pribadi. Anne yang me­nyetir dari Bandung sampai Semarang dalam tem­po delapan jam. Jago ngebut dia, Neng, kata De­an. Huh kalau cuman menyetir mobil Rieka pun bi­sa, tapi mengebut itu tidak baik!, dan Rieka tidak be­rani.

Apapun yang Dean katakan malah bikin Ri­eka makin gusar.

“Ayaan… Pokoknya besok dari pagi banget ki­ta sepedaan yaa, kita ke car free day sekalian!”

Maka keesokan paginya usai salat subuh Ri­eka membangunkan Dean seperti biasa, “Bangun, Ayaan, langsung salat, jangan tidur lagi!” lalu Rieka ti­dur lagi. Rieka terbangun karena ketokan di pintu ka­mar.

“Neng, Neng… Ada Dean di bawah…”

Setengah sadar Rieka menyambut Dean yang ba­ru memarkir sepeda balap milik ayahnya di car­port. Cowok itu sudah siaga dengan jumper dan ce­la­na training. Rieka menyadari bahwa ia hanya me­nge­nakan baby tee kekecilan dan celana boxer un­tuk cewek. How awful! Rieka menyuruh Dean me­nung­gu di dalam rumah dulu. Sempat Rieka me­li­hat ke kaca, rambutnya yang riap-riap bak Medusa. Bad hair day pula! Oh, bagaimana pendapat Dean, Ri­eka takut untuk tahu. Toh Rieka bisa memiliki ram­but halus bergelombang hingga enak dipegang-pegang, lagi wangi yang memikat untuk dicium-ci­um, kan karena treatment juga—Rieka sangat rajin un­tuk hal ini! “Rambut aku…” keluh Rieka. “Bagus, Neng, kayak logo Prambors, vintage abis…” Rieka ingin meratap.

Bagaimanapun rencana untuk meramaikan car free day Buah Batu terlaksana juga. Rieka me­nga­yuh sepeda lipat yang dibeli Mama beberapa ta­hun lalu, yang selama itu pula menjadi pajangan di ga­rasi. Melihat cara Dean mengemudikan sepeda yang hati-hati, Rieka menduga-duga. Sepeda itu cu­man Dean gowes pada separuh jalan menuju rumah Ri­eka, selebihnya dituntun.

Papa dan Mama Rieka tidak ke mana-mana ha­ri itu. Hingga menjelang sore Dean masih ber­ceng­kerama dengan Rieka di rumah. Papa Rieka la­lu menyuruh Dean berlatih mengendarai motor. De­an pasti menyangka hendak dipinjami salah satu mo­tor gede milik Papa, wajahnya begitu antusias. Pa­pa pun meminjamkan Dean Honda C70 tahun 1970. “Itu antik loh!” kata Papa Rieka. Rieka ter­ge­li-geli menyaksikan ekspresi Dean yang sudah me­na­iki si Mocil—motor cilik warisan Uak! Padahal ka­ki Dean terlalu panjang untuk motor itu, tapi De­an bisa mengemudikannya dengan baik meski se­mu­la rada goyah. Dean berputar-putar di jalanan de­pan rumah. Rieka geleng-geleng ketika Dean me­na­warinya untuk membonceng. Entah kenapa te­ra­sa bakal rawan… “Dean, latihannya jangan cuman di depan rumah aja atuh, sana bawa motornya sam­pai Indomaret depan sana tuh, tahu kan?” begitu ti­tah Papa. “Entar pulangnya sekalian sama Dji Sam Soe dua…” lanjutnya seraya menyodorkan selembar uang berwarna biru. Mama juga titip Magnum. Ri­eka ingin yang Gold. Dean melongo.

Dean pulang setelah makan malam. Sebelum men­jauh dari pagar ia menyampaikan pesan, “Gan­tian atuh kamu ke rumah aku. Ibu aku kan belum ke­temu kamu lagi semenjak kita jadian.”

.

Mama Rieka tidak suka kucing. Ia bergidik acap melihat kucing menjilati kaki-kakinya sendiri. Se­helai saja rambut hewan itu membuatnya ber­la­gak ingin muntah.

Rieka kecil tidak terpengaruh. Seekor kucing men­dekati kakinya sepulang sekolah. Lucu sekali, wa­laupun usia hewan itu mungkin sudah beranjak re­maja. Loreng-loreng rambutnya, seperti seragam trio dangdut. Rieka kecil mendekapnya, me­mang­kunya di atas rok seragamnya yang merah rempel di sepanjang perjalanan pulang. Pak Sam meng­i­ngat­kan, “Neng entar kalau ketahuan sama Ibu gi­ma­na?” Rieka kecil mengomel, “Pak Sam jangan bi­lang-bilang!”

Begitu pula yang ia katakan pada orang-orang lain yang bekerja di rumahnya. Rieka kecil meng­amati salah satu orang dari mereka me­man­di­kan kucing itu dengan sampo—“pake air hangat, Teh, entar kucingnya kedinginan…!” instruksi Ri­eka kecil—hingga bersih benar, lalu me­nge­ring­kan­nya dengan hair dryer. Untung Mama sedang tidak di rumah! Rumah Rieka begitu besar, Rieka yang bi­asa mendatangi Mama, bukan sebaliknya, Rieka ta­hu di mana sisi rumah yang jarang dikunjungi Ma­ma, di sana ia dan kucing itu akan ber­ceng­ke­ra­ma, walaupun tetap sesekali Rieka kecil was-was. Un­tuk sementara keberadaan kucing itu aman se­jah­tera.

Kucing cantik, kucing lucu, menggemaskan se­perti bayi, Rieka kecil menamakannya Dorita. Do­rita pasti bakal lebih lucu lagi kalau dipakaikan ba­ju Rieka semasa bayi. Hyaa… Tuh kan benar… Do­rita melenggang di atas empat kaki dalam ba­lut­an kain bermotif beruang. Rieka kecil sangat suka me­meluk Dorita, membela-belainya, menimang-ni­mang­nya, menoel pucuk hidungnya yang basah, me­nyuapinya dengan susu. Oh! Dia bisa men­ce­cap—mencecap! Dia lebih responsif ketimbang Tito se­trip Oon! Dia juga hangat, senang menggesek-ge­sek­kan tubuhnya di betis Rieka hingga Rieka ke­ge­li­an. Rambutnya yang agak panjang itu begitu ha­rum karena rajin dimandikan dengan sampo, walau me­reka memberitahu Rieka kecil kalau kucing tidak per­lu dimandikan sampai tiap hari—kucing bahkan bi­sa memandikan dirinya sendiri!

Tapi Dorita suka buang air sembarangan. Ri­eka kecil cepat-cepat memanggil pembantu untuk mem­bersihkan, inginnya tidak saja kotoran, tapi ke­mudian ia diberitahu kalau kucing dapat mem­ber­sihkan sendiri pantatnya. Haaah…?! Dorita na-kal! Naa-kal! Apalagi tidak sekali Dorita begitu. Te­teh yang menjadi asisten Rieka kecil dalam meng­u­rus Dorita sampai jemu, tiap hari hingga beberapa ka­li harus menangani kotoran dan permukaan ber­ba­gai perabot yang dikotori. “Nanti lama-lama Ibu ta­hu, Neng Eka…” tapi Rieka kecil tidak mau tahu!

Bayi yang sehabis buang air harus diberi po­pok, supaya pantatnya tidak kedinginan, kalau ke­di­nginan nanti masuk angin, dan tentu saja supaya ti­dak lagi buang air sembarangan! Teteh itu ter­pe­ra­ngah sementara Rieka memakaikan gurita pada Do­rita. Tapi ia biarkan, sampai ia mendengar je­rit­an. Teteh itupun terkesiap. Cakaran panjang di wa­jah majikan!

Sejak itu benar-benar TIDAK BOLEH ada ku­cing di dalam rumah, bahkan menginjak teras pun tidak!

Untunglah Mama Rieka tidak marah. Ia ha­nya geleng-geleng sambil garuk-garuk jidat. Toh Ri­eka kecil tentu sudah kapok sendiri. Harus datang ke sekolah dengan plester besar menempel di pipi.

“Mama… Mama… gimana kalau lukanya eng­gak ilang-ilang… huuu…” Rieka kecil selalu se­dih tiap menyadari keadaan wajahnya.

“Enggak… enggak apa-apa Eka, lama-lama ju­ga ilang bekasnya...” Mama Rieka tidak tahu lagi ha­rus berkomentar apa supaya putrinya berhenti me­rana. Ia pun tidak mengerti apakah kedalaman lu­ka tersebut memang tidak bakal meninggalkan be­kas di masa mendatang.

Demi ketenangan batinnya maupun pu­tri­nya, Mama Rieka pun memutuskan untuk ber­si­la­tu­rahmi ke rumah kenalannya yang baru. Sudah be­be­rapa kali ia mengobrol dengan wanita itu di se­ko­lah anak-anak mereka. Wanita itu seorang ahli ke­can­tikan, belum lama ini tinggal kembali di Ban­dung setelah menuntaskan pendidikan pas­ca­dok­to­ral di Boston. Sekalian Mama Rieka juga mau kon­sul­tasi, tapi ceritanya silaturahmi, gitu.

Itulah pertama kali Rieka berkunjung ke ru­mah Dean.

Sekitar satu dekade telah berlalu. Tampak de­pan rumah Dean tidak banyak beda dengan yang du­lu. Tetap tidak semegah rumah Rieka. Tidak be­gi­tu kentara kalau rumah itu sebenarnya bertingkat dua. Lagipula Rieka kecil hanya sampai ruang ta­mu, itupun sudah terasa kalau hawa di rumah itu ma­sih hawa baru-pindahan. Dean kecil mengintip se­pintas di ambang pintu sebelah dalam, sekadar ingin tahu, lalu hilang, tidak pernah terlihat lagi, sam­pai keesokan harinya di kelas.

Malu apabila  mengenang kejadian konyol itu. Tapi ibunya Dean tetap menaruh perhatian. Lu­ka­nya diamati dengan lembut, oh, Rieka lupa apa yang wanita itu lakukan saking terpana. Suaranya ha­lus menenangkan, hingga setelahnya Rieka tidak per­nah lagi risau. Terbukti. Beberapa tahun setelah be­kas luka itu hilang sama sekali hingga kini, Rieka bi­sa jemawa akan mulus wajahnya yang tanpa se­cu­il­pun cacat—apalagi jerawat!

Untunglah ibunya Dean tidak mengungkit-ung­kit kunjungan di masa lalu, ketika Rieka ber­tan­dang lagi ke rumah itu pada suatu Minggu. Dean lang­sung menggiring Rieka ke ruang setelah ruang ta­mu, yang hampir sekujur dindingnya dilapisi le­ma­ri berisi buku-buku tebal, piala, piagam, dan me­da­li. Ruang prestasi, simpul Rieka, yang tidak me­nyim­pan satupun milik Dean.

“Tadi sama siapa ke sini?” Wanita itu sendiri yang menyuguhkan secangkir teh untuk Rieka. Ti­dak ada pembantu di rumah Dean pada hari selain Se­nin-Jumat pukul 8.00-16.00 WIB—bisa kurang.

“Dianterin Papa sama Mama.”

Rieka berusaha menjaga pandangan dari wa­ni­ta yang harum itu… tapi ia selalu saja ingin me­li­hat lagi dan lagi tubuh tinggi semampai wanita itu, ku­litnya yang tetap berseri di usia paruh baya (De­an bilang ibunya baru menikah setelah berusia ke­pala tiga dan baru beberapa tahun setelahnya me­mi­liki anak), rambutnya yang mengikal dengan elok, pakaiannya yang memberi kesan muda lagi ga­ya namun sederhana…

Rieka menghirup aroma dari minuman yang di­sajikan untuknya… teh, serai, dan jeruk nipis ber­pa­du satu… menyegarkan! Barangkali inilah yang di­rasakan Popeye setelah meneguk bayam dari ka­leng. Wanita ini juga pandai meracik teh, demi apa…! Sementara Rieka melupakan kalau ia punya hu­bungan dengan Dean. Ia terbang ke langit di ma­na hanya ada ia dan dunia yang begitu nyaman, dan wa­nita yang mengagumkan. Lagipula Dean pun ti­dak di ruangan—Rieka baru menyadari ketika ia ter­lempar kembali ke kursi. Terdengar suara cem­preng dari ruangan yang lebih dalam, “…tuh, Bunda mau ngecek Kak Rika dipelet apa enggak sama elo…”

“…Dean itu manja banget…” Perhatian Rieka se­gera teralih ketika wanita itu bersuara. “Maaf ya udah direpotin Dean terus.”

Rieka menggeleng dengan senyum semanis mung­kin. “Enggak, Tante, enggak apa-apa…” Saya re­la, Tante! Lagian anak Tante gampang banget diatur!

“Kalau sama Rika nurut ya…” kata Tante Da­ra lagi seakan bisa mendengar ocehan batin Rieka. “Ma­kasih loh Rika.” Rieka tidak tahu harus men­ja­wab apa. “Dean itu emang anaknya rada khusus…” …na­da pesimis itu… Rieka termangu.

Adik Dean muncul sembari menggendong ku­cing besar berambut lebat berhidung pesek dan ber­mata keji, namun masih bisa mengulurkan ta­ngan kanannya pada Rieka. Ragu-ragu Rieka men­ja­bat—ih tangan yang habis pegang kucing! “Kak Ri­ka masih kenal sama aku enggak?”

“Zara ya…” tebak Rieka—yang untung tepat!

“Kalau ini Adrenalin…” Zara mengangkat ka­ki depan sebelah kanan milik kucing jahat itu. Kali ini Rieka tidak bisa menyembunyikan bahasa tu­buh­nya, walau senyum tetap lengket di muka. “Eng­gak suka kucing?” Rieka menggeleng pelan, se­mo­ga cukup sopan.

“Masukin aja kucingnya ke kandang, Zara. Kak Rika takut,” kata Tante Dara. Zara menurut. Da­lam hati Rieka menyanggah bahwa ia takut, tam­pang kucing itu saja yang terlalu menyolot. Zara kem­bali dengan kakak laki-lakinya. Duduk dan me­ra­maikan.

“Dean itu punya tahi lalat, keciiil… banget, di bi­birnya, bagian dalam sini nih, makanya cerewet ba­nget…” ujar Zara yang begitu semangat meng­um­bar aib kakaknya.

“Si Zara juga banyak banget tahi lalatnya, Ka, di hidung gitu, kecil-kecil kayak titik…” balas De­an seraya menunjuk hidung milik sendiri.

“Itu mah komedo! Dasar, sotoy elo!” semprot Za­ra yang kontan menutup hidung. Rieka tertawa ke­cil. Wanita yang duduk di seberangnya ter­se­nyum anggun.

Aroma yang manis, hangat, dan gurih me­la­yap hingga ruangan tersebut. “Wah… pasti udah ja­di nih!” suara Zara. Namun obrolan tetap berlanjut be­berapa saat lagi, lalu, “Ngemil dulu, Rika?” tegur Tan­te Dara. “Yuk,” ajak Dean. Rieka digamit me­ma­suki bagian rumah yang lebih dalam—samping se­be­tulnya. Dapur yang cukup lega, dengan satu set me­ja makan di tengah dan Deraz. Deraz. Deraz di ru­mahnya. Tidak pernah terbayangkan oleh Rieka se­belumnya, mengalami kebersamaan dengan De­raz di rumah… Deraz. Ini rumah Deraz juga! Hyaa… De­raz di rumah di hari Minggu di dapur—me­nge­na­kan kaos polo hijau tua dan celana panjang khaki… me­lepaskan sarung tebal kotak-kotak merah jam­bu-hitam dari tangan… berkata lembut pada adik­nya yang hendak mencicip isi loyang di meja, “Tung­gu rada dingin dulu…”

“Enak pas masih hangat-hangat gini, Kak!” Za­ra menghunus pisau.

Tahu-tahu Rieka telah duduk di salah satu kur­­si. Kudapan dalam piring kecil tersaji di ha­dap­an­nya. Sepotong… bolu… cake… apapun!... dengan la­pisan tipis cokelat, lalu lapisan tebal yang tampak lem­but kekuningan dan dihiasi bercak-bercak co­ke­lat yang menggiurkan, lalu selapis lagi cokelat yang ber­beda. Masih hangat… hangat… hangat… se­ha­ngat perasaan yang menggelora di dalam Rieka… de­ngan harum yang tidak kalah memabukkan dari ha­rum pembuatnya. Demi apa ia duduk di sini, ber­si­ap mengudap sesuatu yang tidak semua orang bi­sa cicipi—padahal mereka pasti menginginkannya! Ba­yangan teman-temannya di OSIS, di LEMPERs, di SMA, di SD, di manapun, siapapun yang mem­per­luas wawasan Rieka akan Deraz berkelebat. De­raz yang bikin sendiri, Ya Tuhan…! Rieka ingin me­mo­tretnya, mengunggahnya di setiap media sosial yang ia miliki di Dunia-tanpa-Deraz, terbahak-ba­hak ketika komentar dari orang-orang yang tidak se­beruntung dirinya bermunculan.

Rieka mengangkat sendok. Tepian sendok mu­lai mengenai permukaan kue nan berpori-pori la­gi lembut... dengan kecepatan rendah membelah ke bawah semakin dalam semakin bawah… hingga ber­adu dengan piring. Rieka menyerok… meng­ang­kat­nya lagi… menyuapkannya ke dalam mulut. Oh… heavenly… seseorang harus meng­ge­lin­ding­kan Rieka dari surga. Jika tidak ingat siapa di se­ki­tar­nya, Rieka ingin memejamkan mata dalam-da­lam dan mendesah panjang-panjang. Terlezat! yang per­nah tercipta! di muka bumi! Setelah terlontar ke la­ngit Rieka turun sendiri dengan balon. Ia butuh se­sendok lagi, lagi, dan lagi, untuk me­ner­bang­kan­nya lagi, lagi, lagi, dan lagi.

“Enak?” suara Dean.

Rieka mengangguk.

“Entar kalau kebanyakan gendut loh.”

Rasa manis di mulut Rieka memudar.

Cowok itu duduk tepat di seberang Dean, se­men­tara Dean duduk tepat di sebelah Rieka. “Ini kue apa, Deraz?” tanya Rieka dengan sikap yang di­bu­at sewajar mungkin. Ia potong lagi kue itu se­di­kit. Semoga ia sanggup menghabiskannya.

Sächsischer quarkkuchen mit streusel.”

Semua memandang Deraz.

“Kue keju,” ulang Deraz.

“Cuman kejunya khusus gitu ya, Deraz?” Ri­eka mulai memerhatikan bagaimana Tante Dara meng­ucapkan kata “khusus”.

“Iya, pakai keju quark.”

“Hm… Terus bahannya apa lagi, Raz?” sam­bung Rieka seolah ia pun hobi memasak kue… sejak se­pulang dari rumah ini nanti.

Deraz pun mulai mengabsen. “…cuman ka­lau untuk tepungnya, saya pakai yang dari temen sa­ya. Nama tepungnya Weichweizen grieβ. Kalau di In­donesia mungkin namanya… tepung semolina. Se­macam tepung gandum gitu.”

“Terus kamu teh pernah bikin juga… apa itu teh yang kayak lapis legit tea… bomkusen?” tanya De­an.

Baumkuchen,” Deraz menjawab.

“Lapis legit tapi rasanya lebih ringan gitu, Ka,” imbuh Dean.

Rieka berhasil menghabiskan sepotong kue itu, sekaligus tidak minta tambah. Apalagi karena hi­dangan tersebut ternyata baru merupakan appetizer. Menu selanjutnya masakan Tante Dara, sa­ngat berasa. Dean mengambilkan Rieka sebanyak yang ia taruh di piringnya sendiri. “Jangan malu-ma­lu, Ka. Bunda sama Deraz tuh jarang di rumah, Ka. Mumpung lagi pada masak, Ka. Kapan lagi, Ka?” Ya. Kapan lagi. Boleh dong bawa pulang kue bu­atan Deraz. Rieka tidak sabar untuk berlari ke tim­bangan. Ya Tuhan, kuatkan aku dalam meng­ha­dapi dilema ini. Aku tahu ini hanya sementara. Ter­ja­di perang kolosal dalam diri Rieka.

Makan siang bersama usai. Rieka me­na­war­kan diri untuk mencuci perabot, seakan sudah biasa me­lakukannya di rumah sendiri padahal tidak. “Eng­gak usah,” kata Tante Dara seolah Rieka belum la­yak melakukan itu. “Enggak usah,” kata Deraz se­o­lah pekerjaan tersebut “enggak Dean banget” apa­la­gi untuk dilakukan oleh pacarnya. “Enggak usah,” kata Dean karena sudah tidak sabar untuk mem­per­temukan Rieka dengan Baby. Rieka sempat me­ne­ngok ke dapur ketika Dean menggiringnya ke ru­ang keluarga. Deraz yang mencuci semua!

Baby. Piano Dean yang putih mulus. Sahabat De­an sejak SD. Rieka berusaha untuk beramah-ta­mah dengan Baby senantiasa, selagi piano itu unjuk kemampuannya mengeluarkan denting-denting merdu. Mata Rieka pada tuts pada jemari Dean pa­da wajah Dean yang polos, setelah menangkap se­ke­lebat sosok Deraz memasuki kamar mandi yang ter­letak tidak jauh di samping depan. Telinga Rieka pa­da gemericik air. Mata Rieka pada sosok Deraz yang keluar dari kamar mandi dengan titik-titik yang membasahi ujung rambutnya, wajahnya, le­ngan­nya, kakinya… pipa celananya tergulung hing­ga bawah lutut. Deraz memasuki ruangan di balik din­ding di mana Baby bersandar—kemudian Rieka ta­hu kalau itu kamar Dean dan Deraz. Deraz tidak ke­luar lagi sampai Tante Dara mengajak Rieka ber­be­lanja, sekalian mengantar Rieka pulang.

“Sekalian pamit sama ayah kamu, Dean?” bi­sik Rieka sementara Tante Dara menyiapkan mobil.

“Ayah mah lagi enggak di rumah, masih ba­lap­an di Jogja.”

“Oh…”

“Bentar ya, Ka.” Dean melongok ke balik pin­tu itu. “Yaz… Rika mau udahan…” Deraz tidak tam­pak. Rieka hanya bisa mendapati dinding yang pu­tih dan sofa yang merah dan rak yang cokelat dan se­lebihnya adalah pintu dan punggung Dean. Dean me­nutup pintu. Senyumnya tipis. “Lagi enggak bisa di­ganggu. Introver kelas berat dia mah di rumah.”

Oh…

Rieka tidak menyesali keputusannya se­di­kit­pun. Dean memang pacar yang tepat.

.

Akhirnya Rieka kembalikan juga zine yang te­lah begitu lama ia pinjam ke sekre LEMPERs. Su­dah jarang Rieka mampir ke ruangan tersebut, ia meng­undurkan diri dari LEMPERs sejak menginjak ke­las XI. Sekarangpun ia mulai menonaktifkan diri di VG. Semakin hari semakin ia butuh untuk fokus di akademis. Cukup jabatan di OSIS saja yang men­ja­di tanggung jawabnya, dan Dean tentu saja.

Mumpung letak sekre KOMBAS tidak jauh da­ri sekre LEMPERs. Barangkali Dean di sana, se­dang bercengkerama dengan teman-teman satu band. Syukur-syukur sedang latihan. Rieka se­ma­kin dekat pada sekre yang hampir selalu riuh itu, ti­dak di dalam tidak di luar. Dean tidak di luar. Pan­dang­an anak-anak KOMBAS yang di luar mengikuti so­sok Rieka yang melongok ke dalam. 

“Cari siapa, Ri?” sambut seorang cowok ber­tu­buh besar lagi beranjak berewokan.

“Dean,”

“Oh… Enggak di sini dia mah. Hm… Coba ca­ri di sebelah, atau enggak di BASTARD.”

“Di sebelah? Di BASTARD?”

“Eh…! Di BASTARD itu maksud gue di Tenis Net. Anak-anak BASTARD biasa nongkrong di sa­na.”

“…di sebelah?”

“ABS, ABS…”

Tempat-tempat yang begitu asing bagi Rieka. Sa­ma sekali tidak terbayangkan Dean berada di sa­na. Seorang cowok di pojok memunggungi Rieka. Asyik betul sama gitarnya! “Eh itu Izar kan? tunjuk Ri­eka. Anggukan. “Zar… Izaar…” panggil Rieka, yang lantas mendapat bantuan. “IZAR! WOEY!” Izar menoleh. “Enggak latihan?” tegur Rieka. Izar meng­geleng dengan heran. Mendapati warna ta­tap­an Izar pun Rieka merasa aneh. Seperti ada hu­bung­an yang hilang. “Latihan sama Dean?” sam­bung Rieka. Izar mengangkat bahu. Ah sudahlah. “Ma­kasih ya…” ucap Rieka pada bang berewok se­be­lum meninjau sekre sebelah.

Sekre ABS tampak sunyi jika dibandingkan de­ngan dinamika di sekre KOMBAS. Pintunya ter­tu­tup pula. Semula Rieka tidak yakin ada orang di da­lam, sampai muncul ledakan tawa. Rieka meng­in­tip di kaca. Sekelompok cowok sedang menonton se­suatu di laptop, membelakanginya. Tak satupun me­nyerupai sosok Dean, Rieka hapal benar tu­buh­nya yang ramping lagi jangkung. Rieka mengetuk-nge­tuk sampai seseorang menoleh. “Ada Dean eng­gak?” Kepala cowok itu berputar-putar seakan Dean te­ngah menyepi di sisi lain ruangan, lalu meng­geleng.

Rieka menghembuskan napas. Ia tidak yakin ha­rus ke BASTARD eh Tenis Net. Ada beberapa war­net di jalan di seberang SMANSON, Rieka tidak ya­kin letak Tenis Net yang paling dekat atau yang pa­ling jauh. Masih sekitar seperempat jam lagi me­nu­ju jam dua—rapat Bazaar. Sembari berjalan tan­pa arah yang pasti, pokoknya menjauh dari area sek­re-sekre, Rieka mengait-ngaitkan Dean dengan BASTARD. Rieka pun memantapkan langkah ke ger­bang, lalu menyusuri tepian jalan di seberang se­kolah.

“Tenis Net”, tulisan di kotak yang tampak di ke­jauhan menjadi panduan bagi Rieka dalam ber­ja­lan. Deru kendaraan yang hilir mudik begitu be­ri­sik. Namun Rieka semakin dekat dengan tujuan, dan semakin jelas menangkap suara yang telah be­gi­tu akrab dalam pendengaran. Ia sukar percaya. Su­ara itu yang dengan lancar mencerocos.

Enya an**** ceuk aing oge naon! An**** hahaha, go**** pisan lah maneh an****… Ayeuna mah ceuk aing…”

Akhirnya Dean melihatnya.

Sakedap nya.”

Dean mendekat. Rieka tidak melepaskan per­gelangan tangan cowok itu sampai berhasil men­cabut puntung dari kepitan jari. Sekarang Ri­eka bingung membuang puntung itu di mana. Tapi De­an yang terlebih dulu perlu diurus. “Kamu ngo­mong apaan tadi sama…” Rieka masih sukar me­ne­ri­ma kenyataan, “…temen-temen kamu?”

“Hah? Ngomong…” Ujung bibir Dean ber­ke­rut-kerut. “Omongan cowok, Neng, itu…”

“Omongan cowok? Omongan cowok itu apaa, hah?” Lagipula Rieka tidak sampai mencerna isi omongan Dean tadi, karena yang lebih Rieka per­masalahkan adalah, “bahasa kamu tuh ya! Kamu bi­sa ngomong halus di depan orangtua aku, tapi eng­gak dijaga sama sekali di depan orang-orang ka­yak gitu. Aku enggak sukaa! mulut kamu kotor gi­tu!”

Dean yang malang! Ia ikuti Rieka yang terus mi­suh-misuh sembari menjauhi Tenis Net, mencari tem­pat sampah sebetulnya. “Aku juga kan udah bi­lang, aku tuh enggak suka kamu ngerokok!” Selain itu tampang cowok-cowok di Tenis Net tadi seperti yang doyan menyelundupkan miras, lalu minum ra­mai-ramai di manapun terserah lah Rieka tidak pe­du­li!, dan melakukan berbagai kegiatan negatif la­in—Rieka tidak bisa membayangkan tapi pokoknya ne­gatif! “Kamu sering ya nongkrong sama me­re­ka?!” Dean terus didakwa.

“…ya… ya…” Dean menjawab ragu-ragu.

“Udah jujur aja. Jangan ngawadul sama aku…”

“…iya…”

Sejak awal kelas X, Neng.

“Kamu kalo cemburu jangan sama orang-orang kayak gitu, Neng…” cecar Dean karena eks­pre­si Rieka yang pahit.

Tapi Rieka sudah malas meneruskan. La­gi­pu­la tujuannya mencari Dean adalah lebih untuk me­nanyakan, “Kamu enggak latian sama anak-anak Popeye?”

Tampang Dean seperti linglung sesaat. “…udah enggak…”

“Udah enggak?!”

“Iya. Cocok-cocokkan atuh, Neng, nge-band mah…”

“Kamu udah enggak cocok sama band ka­mu?”

“Enggak.”

“Lagian kamu juga sih, lebih suka nongkrong di situ daripada latian!”

“Beneran ih! Kita tuh kalau enggak cocok, ya udah…”

“…ya udah aku enggak mau tahu lagi, aku mau rapat!” tutup Rieka. Dean tidak mengikutinya la­gi. Rieka juga tidak langsung mengikuti rapat. Bi­ar­lah sementara notula rapat dipegang oleh sek­re­ta­ris di kepanitiaan. Karena Rieka kebetulan me­li­hat Didi dan Bembem sedang jalan beriringan ke area sekre-sekre. Rieka harus mengkonfirmasikan! Me­reka pun mencari tempat untuk duduk ber­ha­dap­an. “Kalian enggak sama Dean lagi?”

Didi dan Bembem bertukar pandang, lalu men­jawab dengan kompak. “Enggak.”

“Kenapa?” Rieka berusaha menyembunyikan na­da protes.

“Ya kita udah enggak satu visi aja.”

“Emang visi kalian apa sih?”

“Lollipop Rock.”

Rieka mengernyit.

“Gini… Di zaman postmodern gini kita tuh be­bas ngembangin genre apa aja. Elo tahu Olive Tree? Mereka bikin musik mereka tuh genrenya Strawberry Rock. Terus elo tahu Kevin Aprilio? Princess?” O tentu saja Rieka tahu. Rieka me­nya­nyi­kan “Jangan Pergi” tiap malam, “Vierra? Dia tuh kan katanya bawain Disney Pop gitu. Nah kalau kita sih, karena permen loli itu ngewakilin filosofi kita, nah enggak ngerti tuh Dean itu, ngerti ‘filosofi’ aja enggak…” jelas Bembem.

“Dean itu bagus sih. Dia enggak eklektik,” im­buh Didi dengan suaranya yang seperti anak ke­cil.

“Nah makanya itu dia tuh enggak ngerti ko­ri­dor.” Kedua tangan Bembem memeragakan ko­ri­dor.

“Gue rasa dia bakat komposer, ngatur-nga­tur komposisi,” sela Didi.

“Enggak bisa diajak kerja sama dia. Sumpah in­dividualis abis. Kita kan nge-band enggak gitu. Ki­ta tim! Ya kalau dia pingin kita ngehargain mu­si­ka­­litasnya dia, dia juga hargain musikalitas kita dong.” Tangan Bembem terus bergerak-gerak.

Didi bergeming.

“Lagian kalau cuman piano mah Didi bisa kok. Dia juga pianis,” tambah Bembem.

Dean menunggui Rieka di sisi luar ruang ke­las yang digunakan untuk rapat Bazaar, bangku ke­ra­mik menempel di sana. Perkataan di pinggir jalan ta­di belum selesai. Usai rapat Rieka pun meng­ham­piri Dean. Ia taruh tangan Dean di atas tangannya.

“Kamu tuh punya potensi, Dean. Biarpun eng­gak sama mereka kamu mesti terus maju,” kata Ri­eka.

Deham demi deham melalui mereka. Hi­bur­an yang menggigit setelah perundingan yang ruwet. Yang terlibat dalam Bazaar memang bukan cuman ang­gota OSIS. Sesaat konsentrasi Rieka buyar ka­re­na lirikan-lirikan jahil dari para teman sejawat.

“Neng, aku udah bikin band lagi.” Terbayang kem­bali dalam benak Rieka anak-anak KOMBAS nan hipster sebagai rekan Dean berkreasi. Se­ma­ngat tersuntik ke dalam diri Rieka. Dengan ceria ia amati wajah Dean yang tenang. “Aku sama anak-anak ABS mau bikin band jazz beraliran Sunda, atau band Sunda beraliran jazz… mana we lah… Ki­ta malah udah sampai langsung kepikiran namanya gi­tu, Neng… Jazzunda[4]. Sekarang kita lagi mau nga­ransemen lagunya Darso.”

Rieka tercengang.

.

Band Dean yang baru terdiri dari Dean se­la­ku kibordis, satu orang desertir dari KOMBAS se­la­ku vokalis, satu-anak-KOMBAS-yang-dicomot-si-de­sertir selaku bassist, dan dua cowok lain yang me­nurut Dean masing-masing jago memainkan gi­tar dan drum tapi menurut Rieka terlalu minder un­tuk bergabung dengan KOMBAS. Si desertir dan te­mannya yang setia semula berasal dari band ca­das. Dua orang lainnya adalah penggemar tembang Sun­da yang mendengarkan tembang jazz hanya ke­tika berada di supermarket. Pengetahuan Dean akan jazz pun bergantung pada apa yang Deraz pu­tar di kamar, atau simpan di iPod.

Rieka pun menyaksikan mereka latihan di stu­dio sewaan, karena diajak Dean. Rieka tidak bisa me­nilai permainan mereka, karena, sekali lagi mem­benarkan perkataan Ipong, Rieka hanya mam­pu mengapresiasi lagu-lagu yang dibawakan Zooey Deschanel dan girlband. Namun dalam pers­pek­tif­nya yang awam Rieka merasa band Dean sudah la­yak tampil di selasar Kabita. Mereka bisa me­ma­in­kan satu lagu secara utuh, tanpa drumer ke­ting­gal­an tempo, vokalis lupa nada, bassist tidak ritmis, atau­pun gitaris sesat melodi. Kalaupun kibordis sa­lah pencet tuts, siapa yang tahu? “Itulah jazz, Neng, ti­ap instrumen bisa menjadi dirinya sendiri,” kata De­an yang mengutip kata Deraz semalam.

“Jadi kapan kalian tampil di gig?”

“Tampil di gig?” Seolah tidak pernah ada da­lam bayangan mereka.

Iban dan Gito yang sudah berpengalaman de­ngan KOMBAS pun tidak terpikir. Iban sudah ti­dak acuh dengan KOMBAS. Bagi Iban, KOMBAS ber­arti mantan ceweknya. Dalam keadaan emo­si­o­nal karena habis putus dengan sang eks yang juga anak KOMBAS Iban memutuskan untuk keluar dari KOM­BAS sekalian, begitu kata Dean. Sedang Gito yang masih aktif di KOMBAS menganggap dirinya ha­nya pemain pelengkap, band di ABS adalah sam­ping­an yang bisa ia tinggalkan sewaktu-waktu apa­bi­la pemain pengganti telah ditemukan.

“Neng da kita mah band suka-suka aja. Suka la­gu Sunda, suka ngeksplor yang baru…” Dean ke­mu­kakan terus pleidoi atas kelembaman band-nya, se­mentara Rieka bergeming.

“Yan… Gini loh… Kalian punya potensi itu tuh bukan untuk disembunyiin. Kalian punya ke­mam­puan, kalian punya keunikan, tunjukin kalau ka­lian tuh ada—eksis. Apalagi entar yang kena im­bas­nya juga bukan cuman kalian aja…” Rieka cari la­gi kata-kata bagus untuk diucapkan. “Apalagi ka­li­an kan, apa itu namanya, band Sunda. Tong­krong­an kalian aja di ABS.  Kalian tuh… apa ya, bisa se­macam duta kebudayaan Sunda gitu di SMAN­SON. Kalian bisa ngangkat nama ABS…” yang da­lam pandangan Rieka memang bukan ekskul yang ek­sis. Sekre tidak ramai, latihan jarang kelihatan, pres­tasi tidak kentara. Dibandingkan dengan anak-anak KOMBAS yang begitu gempita bahkan cen­de­rung eksentrik, ABS bak sekumpulan anak baik-ba­ik—alim lagi low profile—walaupun yang Rieka ta­hu hanya sebagian besar cewek ABS berjilbab. “Ya udah. Sekarang kamu coba dulu ajakin temen-te­men kamu buat nampil, abis itu kamu tanya-tanya sa­ma yang ngurusin gig selasar. Setahu aku masih anak KOMBAS yang pegang, Gito-Iban gitu mesti ta­hu deh.”

Dean yang penurut. Dean yang mengadu. De­an yang nestapa karena keterampilannya me­mer­suasi tidak selancar biasa.

Pada suatu jam istirahat Rieka pun ber­sim­puh di atas karpet hijau di dalam sekre ABS. Di se­ke­lilingnya adalah Dean, Gito, Iban dan beberapa pen­tolan ABS termasuk dua personil lain band De­an. Tidak satupun cewek, ternyata para cewek ABS ha­nya mendatangi sekre seperlunya.

“Jadi gini, Neng, Rieka, saya teh udah cari ma­najer gig KOMBAS, bareng si Gito, ya, Gito?” Gi­to mengiyakan. “Terus kita bilang… kita dari ABS mau tampil…”

“…makanya gue bilang juga jangan pake na­ma ABS, Yan,” sela Gito.

“…ya… masalahnya kan dulu teh pernah ABS ju­ga tampil di selasar, ya, Depid, ya?” Depid yang ber­mata sipit mengangguk. “Dulu tuh KOMBAS per­nah bagi-bagi jatah gig. Sebenernya mah buat KOM­BAS aja, cuman waktu itu KOMBAS teh pake sek­renya ABS da enggak cukup di sebelah. Anak-anak ABS lagi keluar, si Depid masuk, nimbrung KOM­BAS we, terus Depid ngajuin ABS buat tampil ju­ga. Da boleh waktu itu mah. Malah kita dikasih ja­tah banyak gara-gara nampilin Arini tea.”

“Arini?”

“Jaipongan gitu si Arini,” jawab Satria, yang per­sonil band Dean.

“Kayaknya waktu itu tuh ABS udah dikasih. Se­kali, seminggu. Cuman enggak tahu gimana ke­lan­jutannya, da sayanya udah jarang ke sini lagi ha­bis itu mah, hehe…” ujar Dean si free rider. “Terus gi­mana kelanjutannya, Dep?”

“Ya gitulah, Yan… biasa…” Depid menunduk la­gi.

Da kita mah sok kitu da. Gagasan we loba, ta­pi realisasina, heu… apeu,” ucap Deding yang kini ke­tua ABS. “Kamari teh, naon nya, ceunah rek ma­wa­keun Adele make calung. Terus Adele rek di-Sun­da-keun, kolaborasi sama KOMBAS.”

Dean tertawa ditahan seraya menunjuk-nun­juk Depid. “…si Depid nyanyi lagu Jet Li tea…”

“…tapi pas latihan, pada ka marana…?” lan­jut Deding.

“Terus yang sekarang ini masalahnya apa?” Ri­eka coba mengarahkan pembicaraan.

“Ya ABS enggak bisa dapet jatah gig,” kata De­an.

“Enggak bisa atau belum bisa?”

“Jadwal gig KOMBAS tuh udah diatur sam­pai satu semester ke depan, Ri,” ganti Gito yang bi­ca­ra. “Coba elo bayangin, KOMBAS itu nampung be­rapa band di SMANSON, gue enggak hapal per­sis­nya berapa, si Anto tuh, manajer, yang tahu, udah gitu kan semua mesti dikasih jatah. Seenggak-eng­gaknya sekali lah kalau masih newbie mah. Dan se­hari cuman bisa nampilin berapa… lima paling… Se­lebihnya mah jam doang. Mau jam juga, elo tahu, Ri, tempat duduk di selasar tuh anak KOMBAS aja re­butan ngedapetinnya. Belum alat musiknya. Gitar meu­reun bisa bawa sendiri. Tapi kan kibor, drum, re­pot… Sound system? Nah ABS mau nyela gi­ma­na…  Enggak bisa tiba-tiba. Kalau perlu ABS ngi­kutin pembagian jatahnya dari awal… Tunggu se­mes­ter depan!”

“Enggak bisa kayak gitu!” sentak Rieka. “Asal kalian tahu aja, selasar tuh BUKAN PUNYA KOM­BAS. Selasar tuh yang punya sekolah. Setiap sis­wa berhak make selasar, dikoordinir lewat ekskul ma­sing-masing. Jadi seharusnya tiap ekskul bisa punya jatah buat make selasar. Ini tuh udah di­omong­in di OSIS dari lama.” Kerja kabid VIII eng­gak beres nih, keluh Rieka dalam hati. “Ma­sa­lah­nya, selama ini tuh cuman KOMBAS aja yang punya ini­siatif make. Jadi ya wajar aja kalau lama-lama me­reka ngerasa selasar itu milik mereka, dipake se­gi­mana mereka. Tapi harusnya enggak gitu dong. Ba­gi-bagi juga sama yang lain, karena itu tuh hak ber­sama. Seenggaknya ekskul lain juga punya hak bu­at tampil sekali-kali. Makanya kalian tuh jangan ngen­don aja di sekre. Eksis dong, EKSIS!”

Para cowok tertegun!

“Sekarang kalian udah punya band! Band ka­lian mesti tampil! Enggak cuman buat ABS, tapi ju­ga buat nunjukin ke ekskul-ekskul lain kalau se­la­sar bukan cuman punya KOMBAS!

“Elo, Git, biarpun elo anak KOMBAS, tapi se­eng­gaknya elo ada respek lah sama kawan-kawan elo di ABS ini… Ban, bantuin atuh itu si Gito. Ka­li­an ngomong lagi sama manajer kalian…”

“Kok kita sih, Ri?” protes Iban.

“Ya elo bantuin temen-temen elo di ABS. Ka­li­an juga, anak-anak ABS, ramein sekre kalian. Ka­li­an latihan aja enggak pernah keliatan…”

Banyak alasan yang bisa dikemukakan se­hing­ga Deding hanya bilang, “Wah, itu rumit ma­sa­lah­nya, Ri…”

“Kenapa enggak elo aja sih, Ri? …iya, elo… Yang tahu masalahnya juga kan elo. Da kita mah di KOM­BAS juga cuman tahu latihan, tampil. Soal nga­tur-ngatur gig mah, aah… lieur! Enggak ngerti ki­ta juga! Tapi kan elo OSIS, Ri. Istilahnya mah yaa pe­jabat lah, pejabatnya kita-kita. OSIS kan yang nga­tur ekskul-ekskul. Elo yang punya kapasitas bu­at mikirin seluruh siswa, dan elo mau ngapain pun ya elo punya wewenang untuk itu. Ya terus gimana lah caranya, kayak yang elo bilang tadi, biar ekskul-eks­kul bisa gantian tampil di sana,” tukas Gito.

Rieka geram. Betul! Ia yang harus bertindak! Co­wok-cowok ini payah! Semua cowok payah!

.

Betapa gembira sang sekum ketika me­ne­mu­kan kabid VIII di sekre OSIS. Semula hanya jambul ke­ritingnya yang tampak di antara puncak-puncak ke­pala yang lain, tapi Rieka tahu pasti itu Ipong! Se­bagai pegiat VG sejak SMP hingga SMA Rieka pun tahu bagaimana harus mengatur intonasi kala me­manggil cowok itu. Intonasi yang terus ia per­ta­han­kan hingga mengungkit sebuah proker yang ter­lu­pakan. SMANSON BERSENI.

“Oh… itu… kata siapa terlupakan?” Ipong meng­utak-atik arsip catatan dalam smartphone mi­lik­nya. “Itu udah saya serahin ke Ajeng, manajer KOM­BAS. Laporan dari Ajeng sih… dia katanya udah ngumpulin ekskul-ekskul. Tapi cuman sedikit yang dateng. Keputusannya waktu itu… belum ada ke­putusan. Ya udah selasar dipegang lagi sama KOM­BAS.”

“Enggak bisa gitu…” sergah Rieka, menarik ta­tapan dari orang-orang di ruangan. “Tujuan kamu eng­gak tercapai dong. Kamu enggak bisa cuman lem­par tugas ke orang lain, terus setelah enggak ja­lan, enggak sesuai keinginan kamu, ya udah aja, ka­mu enggak ada campur tangan lagi buat ngubah ke­a­daan itu.”

“Beuh, Ka, kamu pikir saya enggak banyak ker­jaan lain apa? Ini kita Bazaar banyak yang kudu di­urus tahu enggak?” Rieka memberengut. Ipong sok sibuk! Padahal para pengurus OSIS sepakat un­tuk tidak memilih kabid VIII sebagai ketua panitia Ba­zaar dikarenakan terlalu “nyeni”—saking abstrak ga­gasan-gagasannya sampai susah diwujudkan! Sam­bung Ipong dengan suara merendah, “Emang­nya elo, mangkir dari VG…” yang sekaligus mem­be­ri­tahukan bahwa dirinya masih aktif di ekskul ter­sebut, plus KOMBAS! Kurang sibuk apa lagi tuh?!

“Gini, Pong, saya tuh habis ngobrol sama anak-anak ABS…” Rieka menurunkan lagi nadanya.

“Ngapain sama anak-anak ABS? Bahasa Sun­da aja elo enggak fasih…” Ipong kembali meng­a­rahkan perhatian pada ketikannya di notebook.

“Iiih… dengerin dulu!” Ipong menoleh lagi dengan sok sabar. “Mereka tuh ada rencana pe­nam­pil­an gitu loh, Pong, pinginnya pake selasar, tapi anak-anak KOMBAS bilang kalo jadwal mereka di se­lasar udah penuh, anak ABS enggak bisa masuk. Ini gimana, kok selasar jadi kayak monopoli KOM­BAS gitu sih?”

“Ya emang gitu aturannya di KOMBAS kali,” im­buh Kabid VI yang aktif di KOMBAS saat kelas X. “Udah lama juga kali di sekolah kita berlakunya ka­yak gitu.”

“Tapi kan sebetulnya selasar bukan cuman mi­lik KOMBAS. Itu tuh punya sekolah, hak umum. Ti­ap ekskul harusnya bisa make.”

“Iya saya juga awalnya pingin gitu…” kata Ipong yang multi talented. Ia sudah ketak-ketik lagi di notebook.

“Ya itu mah terserah mereka aja. Kalau emang mereka enggak ada rencana tampil di se­ko­lah sendiri masak mau dipaksa,” Kabid III yang me­nyam­bi di TERSONO nimbrung. Ia mengerti jadwal eks­kulnya, dan betapa mempersiapkan pertunjukan di suatu tempat tidak semudah menontonnya.

“Iya… Tapi jadinya kan selasar monopoli KOM­BAS gitu,” Rieka keukeuh. “Anak ekskul lain mau ngedadak pake enggak bisa. Mesti izin KOM­BAS dulu. Mestinya mah ke kamu aja lah, Pong, ka­mu yang ngatur. Kudunya kamu netral! Mentang-men­tang kamu anak KOMBAS… Enggak adil tahu eng­gak! Nepotisme itu namanya!”

“Ya Allah, Ka, jadi kamu maunya gimana?”

“Ya kamu kumpulin lagi ekskul-ekskul… sa­ma kamu sendiri! Kamu gali minat mereka. Kalau per­lu kamu enggak usah peduli mereka mau tampil apa enggak, kasih jatah aja, kasih mereka ke­per­ca­ya­an, tanggung jawab buat ngisi, kayak yang kamu omong­in kapan itu, Pong, biar mereka lebih ter­mo­ti­vasi…”

Ipong bergeming. Begitupun yang lain.

“Ya… Jaka, ya?” mohon Rieka dengan meng­gu­nakan panggilan Ipong di rumah.

“…Jakaa…!” seru Mitratama menirukan su­a­ra Mama Ipong, saat para pengurus OSIS dijamu di ru­mah Ipong pada suatu Minggu siang dengan nasi tim­bel komplet lalapan. Tidak dinyana cowok be­ram­but lurus itu juga mengikuti pembicaraan, pa­da­hal lagaknya sedang asyik menyimak tontonan di PC sekre.

“Udah turutin aja, Jak, emang sekretaris se­ja­ti si Rika tuh, yang udah lama masih dia inget-inget aja…” tukas Mitramuda I, sebelum kembali ikut menonton anime yang disetel Mitratama.

“…hm, terus elo ingetin lagi ke gue…” sam­bung Ipong seraya tersenyum pasrah. Apa sih yang eng­gak buat kamu, Rieka?

“Makasih, Jaka…!” seru Rieka dengan riang.

“Eh, ‘Aturan Mitratama’!: mulai sekarang ki­ta panggil Ipong si Jaka yuk,” sumbar Mitratama.

“Ogaah…! Embung siah, tong lah!” ribut Ipong.

Apa sih yang enggak buat kamu, Rieka, wa­lau Rieka harus menunggu sekitar seminggu hingga Ipong dapat memberinya kabar. Di sekre OSIS yang se­dang rada senyap mereka bertemu lagi.

“Kamu tahu enggak, saya… deuh asa cang­keul kieu ah ngomong pake ‘saya-kamu’…” Kabid VIII menepis lirikan Mitratama selaku pembuat atur­an, “…elo tahu enggak gue satu jam sendiri sa­ma si Ajeng, ngedebatin jadwal gig KOMBAS yang ku­du ditata ulang…” Kabid VIII mendesah keras-ke­ras.

“Terus jadinya gimana?” namun Sekum te­tap antusias mengikuti.

“Enggak bisa PJ tiap minggu sih ekskul-eks­kul tuh, paling ya occasional aja… Nah… itu yang gue enggak seneng dari mereka tuh, nawarin gitu ta­pi jadwal belum ada yang pasti. Mencak-mencak lah si Ajeng… sama gue! Ah shit gue jadi kudu bikin DA­DANG khusus bidang gue aja lah jadinya… De­ngar Pendapat Antar Ekskul—DENGKUL!” Mit­ra­tama tertawa. Sekum terkikih. “Da yang gitu mah kan berarti kudu diomongin rutin… Makasih, Ka, nam­bah-nambah kerjaan gue aja elo.”

Sok gue mau bantuin apa atuh? Jadi sek­re­ta­ris pribadi elo?”

“Hehe, enggak usah. Pijetin gue aja.”

“Hm… Keenakan tuh…”

“Alah daripada elo pijetin Dean, eusina ngan tu­lang hungkul.”

“Ka, Ka, ini kop kamu pindahin ke mana?” sa­hut Mitratama.

“Ih… Alf… Biar saya aja yang ngerjain itu mah…”

Hingga kabar menggembirakan Rieka de­ngar langsung dari Dean.

“Neng, sehari penuh buat ABS!”

Rieka memekik walau ia sudah tahu ke­pu­tus­an itu sebelumnya dari Ipong.

“…padahal yang mau tampil kan tadinya Jazzunda doang…” Semula yang mereka inginkan ha­nyalah sekadar jadi selipan di tengah gig KOM­BAS, tapi apa daya, Kabid VIII begitu murah hati dan manajer KOMBAS pun (sebetulnya dengan ter­pak­sa tapi perwakilan dari ABS tidak ngeh) me­re­la­kan, ABS malah mendapatkan paket istimewa ter­se­but. Selasar akan menjadi milik mereka selama se­hari penuh! “Yah paling entar tambah iklan-iklan lah biar enggak dikit-dikit amat suguhannya…”

Tapi euforia itu dimanfaatkan benar oleh ABS. Memang tidak pakai potong tumpeng segala. Ke­tua ABS mengumpulkan seluruh orang yang ter­daf­tar sebagai anggota ABS, yang masih berstatus sis­wa dan siswi SMANSON—akhirnya Rieka bisa mem­buktikan bahwa sebagian besar cewek ABS me­mang berjilbab! Para senior yang sudah alumni pun diminta untuk melatih, karena guru pembina su­dah dimutasi. Segala calung, karinding, kacapi, ang­klung, dan suling dibersihkan dari debu dan di­ma­inkan kembali. Ini akan menjadi semacam Fes­ti­val Musik Sunda!—dadakan!—waktu yang tersedia ku­rang dari sebulan! Bagaimanapun Rieka lebih se­nang melihat Dean turut mengaransemen gending di sekre ABS, ketimbang merokok dan omong kotor di pelataran Tenis Net. Para pengurus ABS mulai mem­perlakukan Rieka dengan hormat bak seorang ibu, padahal maksud Rieka menyambangi sekre ABS sekadar untuk memantau Dean! Per­ceng­ke­ra­ma­an dengan mereka, walau sebentar, menambah se­dikit perbendaharaan Rieka akan bahasa Sunda.

Hari Kebangkitan ABS pun tiba. Cowok-co­wok ABS mengenakan pangsi dan totopong se­pu­lang sekolah, yang cewek-cewek menyesuaikan. Un­tuk menjaga minat penonton, ABS menyelipkan ja­i­pong dan bobodoran setiap beberapa kali pe­nam­pil­an sebagaimana Kabid VIII memanfaatkan pe­so­na Kabid I di OJOMBAS. ABS hanya menggunakan sa­tu jam dari dua puluh empat jam yang di­se­di­a­kan, tapi besar harapan ABS untuk tampil optimal hing­ga penonton ketagihan. Lalu ABS bakal di­min­ta untuk tampil lagi dan lagi. Aamiin…!

Oh hari yang menyenangkan untuk Rieka. Jum­lah anak SMANSON yang menyaksikan per­tun­jukan ABS berubah-ubah, tapi secara ke­se­lu­ruh­an relatif memuaskan. Itupun belum termasuk gu­ru-guru dan para karyawan di sekolah, bahkan para pe­dagang di Kabita—Dean bilang kedekatan dengan me­reka harus dimanfaatkan! Tidak lupa Rieka me­nu­gaskan gengnya di LEMPERs untuk berkoar-ko­ar: Iban bakal tampil bareng ABS—iya!—Iban yang be­da tipis lah sama Kevin Aprilio itu!—yang su­a­ra­nya se­kasep mukanya—hyaaa! Reaksi penonton ka­dang khidmat kadang semarak, tergantung apa yang sedang ditampilkan.

“Ah… seneng saya mah, Neng, ini lebih baik da­ri tahun lalu…” komentar Dean. Cowok itu me­nyem­patkan diri menghampiri Rieka, yang terus meng­awasi pertunjukan dari seberang selasar. Da­lam pandangan Rieka Dean terlihat tampan dengan pang­si dan totopong dan… sandal gladiator! Demi apa?! Demi tarumpah yang tidak berhasil Dean te­mu­kan di rumah Enin, padahal Ayah bilang masih me­nyimpannya. Rieka pun tidak sempat men­ca­ri­kan, waktu sudah terlalu mepet ketika Dean me­la­por­kan.

“Udah sana, bentar lagi kan penampilan ka­mu…” Rieka mendorong punggung Dean. Dean yang penurut. Padahal baru saat itu Dean sempat mengun­jungi Rieka, sebelumnya ia ikut wira-wiri ber­sama para seksi sibuk. Tapi tangan Dean ditarik la­gi, “Sini…” hingga setengah badannya condong ke ba­wah. Rieka berjinjit. Dengan kilat ia kecup pipi De­an. “Sukses yaa…” Dean cengengesan, lalu ber­ge­gas, tidak lupa menabrak orang.

Kabid VIII mampir. Ia berdiri di samping Ri­eka dengan kedua tangan masuk ke saku celana.

“Gimana tadi rapatnya?” tegur Rieka.

“Amburadul kayak biasa,” jawab Ipong tanpa ke­sadaran bahwa ia termasuk oknum yang biasa bi­kin amburadul.

Penampilan pamungkas yang dinanti-nanti (Ri­eka) pun tiba. Alat-alat musik tradisional telah di­singkirkan, digantikan para cowok yang mengaku (atau memang) tampan. “Iban! Ibaan…!” groupies Iban masih siaga—akhirnya… desas-desus Iban ba­kal tampil itu bukan lagi rumor! Mereka tidak lagi me­rasa dijebak agar menyaksikan penampilan ABS hing­ga tuntas. “Kumaha damang, sarerea?” suara Iban yang berat bergema, lantas memancing hiruk-pi­kuk. Setelah beberapa kalimat basa-basi dalam ba­hasa Sunda, yang memberitahu penonton bahwa ia memang telah hijrah dari cadas ke… jazz…? …mu­sik pun mulai mengalun. “Kaseureud” semula di­bawakan oleh Darso dengan instrumen calung. Na­mun kali ini pukulan-pukulan bambu digantikan im­provisasi tuts dan senar, plus permainan drum yang lembut. Rieka rasa sekarang ia bukan hanya bi­sa mengapresiasi… apapun pendapat Ipong… tapi ju­ga jazz! lagu Sunda! apapun deh! Dean tampak ber­main dengan tenang, tanpa menunjukkan se­di­kit­pun kesalahan, setidaknya tidak kelihatan.

Rieka menoleh pada Ipong, yang berparas khas jejaka Priangan lagi mengaku gemar jazz. Se­ha­­rus­nya ekspresi Ipong menunjukkan ke­ter­ta­rik­an… bu­kan cemberut seperti itu!

“Aw… Ibaan…!”

Penonton menjerit-jerit ketagihan.

“Lain kali kalo urusan sama cowok elo yang itu jangan libat-libatin gue lah.”

Tentu saja Jazzunda sudah menyiapkan lagu(-lagu!) tambahan!

“Cowok elo adalah orang yang sangat be­run­tung…” seruan-seruan, “…bisa deket sama orang ka­yak Deraz dan elo…” pekikan-pekikan, “…buat man­faatin gue.”

Saterasna… ‘Mobil Butut’ ti Bungsu Ban­dung!” Iban membahana.

Di luar Ipong tanpa emosi. Tapi toh Rieka ter­seret ke dalam. Ikut teraduk-aduk.

“Tapi ‘Rumasaheula nya. Spesial buat Nova XI IPS 2.”

Penonton gempita.

.

Jazzunda bubar baik-baik segera setelah “Fes­tival Musik Sunda” berlangsung sukses. Dalam syu­kuran ABS yang diisi dengan awug, colenak, ba­ji­gur, dan bandrek, sementara hujan mengguyur pe­lataran sekre, Iban pamit untuk mudik ke KOM­BAS dengan Gito serta. Sangat disayangkan, walau di­ikhlaskan. Lagipula Satria dan Awan selaku dua per­sonil lain dalam Jazzunda (yang kemudian res­mi almarhum) telah memiliki konsep untuk mem­ben­tuk band yang baru.

“Sebetulnya mah si Iban teh balikan lagi sa­ma ceweknya. Kan sebelum tampil teh si Iban bi­lang sama si Nova, ‘liat di gig ABS entar’, ya udah we si Nova dateng… dan si Iban teh terus seolah-o­lah nyanyiin ‘Kaseureud’ buat si Nova, padahal mah lagu itu juga saya yang milihin… buat kamu…” je­las Dean pada Rieka, dalam suatu kesempatan meng­iris steak sembari menyeruput smoothies ba­reng.

“Duh sayang banget… Padahal audisi band bu­at Bazaar kan udah dibuka. Tadinya aku nge­ha­rap­in kalian bisa ikutan itu…” Rieka sangat me­nye­sali. “Enggak bisa dobel gitu Iban sama Gito?”

“…enggak. Mereka mau fokus di band yang sa­tunya ceunah, da yang itu juga udah mati segan hi­dup tak mau…”

“Kamu masih sama Satria sama Awan?”

“Ah konsepna oge teu jelas keneh… Ah ya udah lah, Neng, bisa tampil di yang kemarin aja ki­ta mah udah alhamdulillah, da seneng-seneng aja se­muanya juga…” Dean kembali sibuk memotongi daging.

“Kamu tuh bisa enggak sih lebih ambisius dikit?”

Dean mengangkat kepala—bungkam.

Rieka menghembuskan napas.

“Kemarin kamu bilang katanya dulu ABS sem­pet dikasih jatah banyak,” lanjutnya.

“Iya…” Dean pun lanjut melahap potongan ken­tang. “…gara-garanya jaipong itu sih. Cuman du­lu tuh banyak yang protes. Ya udah kita coba tam­pilin yang biasa aja, tapi pada kurang apresiatif gi­tu. Sempet anak-anak ABS tuh udah males juga… ya… tapi akhirnya semangat lagi sih… habis… itu… co­ba geura band­-nya Deraz yang bawain lagu Sun­da.”

“Pernah gitu?”

“Pernah…”

“Deraz bukannya seleranya indie Barat atau yang jazzy gitu ya?”

“Ya saya yang milihin lah… Dulu itu pake ‘Wa­yahna’. Rame lah. Masak waktu itu enggak non­ton sih, Neng?”

“Enggak. Pas istirahat atau pulang sekolah?”

“Lupa… Pokoknya rame we, sampai yang non­ton pada ikutan nyanyi gitu, padahal belum ten­tu tahu tea lagunya. Si Ipongnya juga atraktif sih… Bi­saan lah dia! Komunikatif, gitu, kan kalau di pang­gung dia mah… ngajakin… ‘hayuk, bareng…’” De­an memeragakan. “Udah tua entar pasti jadi ka­kek-kakek lincah.”

“…Ipong?”

“Iya! Anu leutik tea… hehehe… siapa lagi… Band-nya kan isinya cuman itu-itu aja mereka mah, eng­gak pernah ganti-ganti orang. Deraz. Ipong. Bram. Adip. Yoga.”

“Entar… entar… jadi gimana ceritanya sih… Ka­mu yang minta band-nya Deraz buat bawain lagu itu… buat ABS?”

“Mau ABS mau bukan—”

“Demi apa…?”

“Aku mah gemes aja da, Neng, yah, orang, la­ma tinggal di Bandung, tapi enggak bisa nge­har­ga­in lagu-lagu Sunda gitu. Mikirnya teh musik kam­pung, padahal pas si Deraz dekaka yang bawain yaa ikut seru-seruan juga… Akhirnya kan emang anak-anak ABS jadi semangat lagi… soalnya kan yang non­ton juga jadi seneng sama lagu Sunda. Tapi ya cu­man sekali itu aja sih band­-nya Deraz main… se­te­lahnya mah kan tergantung sama anak-anak ABS-nya…” Rieka masih terdiam. Dean menyambung, “Ya kayak si Ipong itu aja, sama kayak kamu kan, Neng, Sunda asli dia tuh,” Rieka mengiyakan, “…ta­pi ya akhirnya dia mau juga sih… Deuh adeuh Ipong…” Dean terkekeh sendiri. “Lucu da eta bu­dak teh. Coba kalau dia di ABS juga, jadi ekskul la­ris meureun. Lagu apa aja gitu dia nyanyiin, orang yang asalnya enggak tahu ya bisa enak aja gitu de­nger­innya.”

Rieka tersenyum. “…tapi sentimennya kayak ce­wek…”

Dean tertawa, “…lucu yah…” agaknya gemas se­kali dengan Ipong. “…iya, yang pas dulu itu juga nya­nyi ‘Wayahna’ yah, dia bisa sampai ngelengking ting­gi kayak cewek gitu, nyaring banget…”

“Ngondek sih enggak, tapi kalau udah ngo­mel-ngomelnya itu loh…” imbuh Rieka tanpa di­ser­tai nada sebal sedikitpun. 

Itulah obrolan terakhir Rieka dengan Dean se­belum pertemuan-pertemuan berikut, yang mana sa­king sempit waktu mereka hanya sempat berkata pa­da satu sama lain…

“OSIS kayaknya sibuk banget yah…”

“Aku enggak suka kamu nongkrong sama BAS­TARD terus…”

…lalu Rieka kembali berkutat dengan anak-anak OSIS sementara Dean bersenda gurau dengan anak-anak BASTARD.

.

Bazar SMANSON dihelat. Mereka pun tidak ada untuk satu sama lain. Malam yang sama. Lokasi dan suasana yang beda. Rieka berjaga di area parkir SMANSON dalam hingar bingar dan warna-warni, me­nerima sms dari Dean yang telungkup di sofa da­lam pengawasan ibunda.

Mengerjakan PR Akuntansi.

Meratapi, “Neng! Kenapa tiap kali Bazaar pas Bunda lagi ada di rumah juga sih?!”

Hibur Rieka, “Enggak apa-apa, Ayan... Masa de­pan kamu lebih penting.”



[1] Dewan Kelestarian Masjid

[2] Teater SMANSON Oke

[3] Apresiasi Budaya Sunda

[4] Yeah. Rada terinspirasi sama Jafunisun. Band Sunda beraliran Jepang, atau band Jepang beraliran Sunda. Mereka luar biasa. Hidup “Tahu Sumedang”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain