Sejak
lama Papa Rieka penasaran dengan anak laki-laki yang membopong kibor dari
lorong ke lorong, lalu mempersembahkan lagu Sunda untuk anak perempuannya
dengan alat musik tersebut. Sesekali Papa Rieka juga mendengar selentingan
mengenai tingkah sang pacar baru, baik dari istrinya maupun Rieka sendiri.
Sepertinya anak laki-laki yang eksentrik, yang di Sabtu petang bertandang ke
rumah dengan mengenakan batik.
Dean
belum pernah bertemu dengan Papa Rieka sebelumnya, dan ia termakan stereotip.
Ia bayangkan Papa Rieka bertubuh besar lagi gempal serta berkumis tebal, yang
langsung mengadangnya begitu ia menginjak teras. Memang begitulah yang terjadi,
tanpa asma Dean mesti betulan kumat. Dean tiba ketika Papa Rieka sedang
meninjau tanaman-tanamannya di halaman. Toh omongan Rieka terbukti benar,
Papa Rieka tidak menyerang Dean.
Rieka
berselisih jalan dengan papanya, ketika pria itu hendak bersalin pakaian
sedang Rieka hendak menyambut Dean. “Itu pacarnya Eka mau ngajak ke
undangan?” bisik Papa Rieka. Rieka lalu mendapati Dean masih berdiri tegang di
ambang pintu ruang tamu. Rieka langsung menggiring Dean duduk di sofa.
Teringat sikap Dean beberapa hari lalu ketika Rieka memberitahu bahwa papanya
ingin bertemu. Seperti musim paceklik, sebentar santai sebentar gugup.
“Selera
kamu tuh kalo milihin orang bagus, tapi kok kamu sendiri suka salah kostum?”
kata Rieka masih memegangi lengan Dean. Rieka saja hanya mengenakan blus dan
rok dengan model yang kasual.
“Naik
apa tadi ke sini?” tegur Papa Rieka begitu memasuki ruang tamu lagi. Rieka
bersyukur papanya tidak latah mengganti oblong dengan batik, melainkan kaos
polo.
“…angkot,”
jawab Dean.
“Tiasa nyarios Sunda?”
“Sumuhun, Bapak.”
Selanjutnya
Papa Rieka membombardir Dean dengan pertanyaan-pertanyaan berbahasa Sunda. Dengan
sigap lagi fasih Dean menjawab dalam bahasa Sunda halus. Rieka tidak bisa menerjemahkan
arti dari kata per kata, melainkan sekadar menangkap maksudnya. Dean
menceritakan akar budaya Sunda yang ia dapat dari ayahnya, walau proporsinya
hanya tiga per delapan dari total suku-suku dan ras lain yang bercampur dalam
darahnya. Rieka menjadi malu ketika papanya menyinggung, “Piraku ieu anu mojang Priangan asli teu
tiasa nyarios saeutik-eutik acan, boro-boro anu alus. Budak ngora ayeuna mah nya...” Tampaknya ini saat yang tepat
untuk meninggalkan ruangan sejenak… Rieka masih sempat dengar papanya
menanyakan Dean lagu macam apa yang cowok itu bawakan di kelas Rieka tempo
hari. Papa Rieka pun antusias karena perbendaharaan Dean akan lagu-lagu Sunda
ternyata kaya. Sebutlah Doel Sumbang, Nining Meida, Bungsu Bandung, dan Darso.
Seakan Dean pernah mengintip koleksi kaset dan CD milik Papa Rieka.
Bik
Mirah kembali dari ruang tamu setelah mengantarkan penganan yang lebih dari
sekadar yang biasa disuguhkan, digantikan Rieka dan mamanya yang sudah
dandan.
“Ma,
ini, Ma, cowoknya si Eka tadi ke sini naik angkot…” Papa menyambut Mama yang
lantas duduk di sampingnya. Keduanya lalu kompak menggali aktivitas pacaran
yang dilakukan Dean dengan putri mereka. Dengan polos Dean membeberkan
kalau ia dan Rieka menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah. Kalau mau ke
tempat lain, mereka menggunakan angkot atau minta diantar-jemput Pak Sam.
Dean belum boleh mengendarai motor maupun mobil karena usianya belum 17 tahun,
itu aturan sang bunda. Kedua orangtua Rieka terbahak.
“Aduh
kamu ini pembawaannya kayak orang enggak punya…” seloroh Mama yang padahal
tahu benar siapa kedua orangtua Dean.
Dean
bungkam saja, sementara Rieka yang mengajukan pembelaan. “Ya enggak apa-apa
dong. Kita kan pingin go green, biar
ramah lingkungan sama hemat energi, iya kan, Yan?” Dengan bingung Dean
mengiyakan.
Rieka
pun sebelumnya pernah menampik tawaran sang papa untuk membuat SIM tembak,
mau tunggu sampai usianya genap 17 tahun saja. Biarpun kini menjabat posisi
penting di Gedung Sate, jiwa preman Papa Rieka tetap eksis.
“Ari kamu teh udah bisa naik motor apa belum sih?” Papa Rieka sudah tidak
hendak menguji kemampuan Dean berbahasa Sunda lagi, dengan bangga memberikan
Dean peunteun salapan. Pria itu
menyulut rokok, lalu menawarkan sekotak. Dean mengambil sebatang.
“Masih
belajar sih, Om…” Ganti cowok itu yang menyulut rokok.
“Udah
yang penting mah bisa dulu. Besok lagi
kalo mau keluar sama Eka, tuh ambil aja satu di belakang… tapi entar dibalikin
lagi sekalian sama Ekanya. Daripada pacaran di sekolah melulu...”
Dean
cengengesan.
Papa
Rieka lalu membawa Dean ke garasi lebar di belakang rumah, di mana deretan
Harley, Ducati, dan Goldwing dalam berbagai seri dipamerkan. Papa Rieka
biasa mengambil salah satu, lalu memboncengkan istri atau putri berkeliling
Bandung dan sekitarnya, atau bertemu kawanannya sesama penggemar motor gede.
Papa
Rieka tidak melepaskan Dean sampai ingat kalau jam edar angkot terbatas. Dean
dibiarkan pulang dengan angkot lagi. Rieka mengantar Dean sampai ambang
pagar, di mana ia memberi cowok itu pesan, “Dean, papa aku emang perokok, tapi
aku enggak suka liat kamu ikut-ikutan ngerokok.”
.
Di
ruang tengah Rieka mendapati papa dan mamanya sedang membicarakan Dean…
tentang ayahnya yang mantan atlet dan kini aktif di pelatnas… tentang kakek
dari pihak ibunya yang pensiun sebagai profesor yang ahli bedah tulang…
tentang ibunya yang dermatolog ternama yang sering tampil di TV nasional yang
profilnya pernah diulas di koran nasional yang juga mengajar di perguruan tinggi
negeri favorit di pinggiran Bandung… tentang… Sungguh naif jika kedua orangtua
Rieka menyangka Dean mewarisi berbagai reputasi para pendahulunya, walau Deraz
iya. Bibit dan bebet oke, walau tidak ada lema “bebet” di KBBI, tapi soal bobot
Rieka lebih tahu. Ketika obrolan merembet ke para pacar Rieka sebelum Dean,
Rieka lekas-lekas angkat kaki ke lantai dua.
Rieka
mengetok pintu kamar sepupu yang terletak bersebelahan dengan kamarnya itu.
“Masuk ajaa…” suara dari dalam. Kak Mita yang sedang berjongkok di lantai
kontan menoleh ketika Rieka masuk. Ia menyibak rambut panjangnya yang lurus ke
belakang seraya lanjut membukai halaman The
Jakarta Post. “Lagi ngerjain apa, Kak?” Rieka menghempaskan diri di kursi
putar. “Tugas kuliah.” Yang sekonyong-konyong tuntas dalam hitungan menit. Kak
Mita lebih suka menjamu Rieka—membicarakan pakaiannya yang baru atau pacarnya
yang pencemburu, maksudnya.
“Minum
atuh, Ka…” Kak Mita sudah fasih berlogat
Sunda setelah lebih dari tujuh tahun tinggal di rumah Rieka—di Bandung. Cewek
itu menuding kulkas mini di sudut kamar. Kalau yang dimaksud sepupunya
adalah Mix Max dengan varian rasa, maka Rieka menjawab, “Enggak, Kak, makasih.”
Kak
Mita menyeret asbak ke dekat kakinya yang terawat. “Buka dong, Ka, jendelanya,”
katanya lagi. Rieka menurut. Selanjutnya ia ikut duduk di karpet, menghadap
sepupunya yang murah hati. Kali ini Rieka disodori sekotak superslim, dan bahkan sepupunya sudi
menyulutkan… Rieka membumbungkan asap jauh-jauh. Betapa melegakan… sekaligus
merawankan. Bukan Rieka tidak ingat apa yang tadi ia katakan pada Dean.
Sebuah
CD dari kemasan bergambar mencolok disetel Kak Mita, yang beberapa lama kemudian
dikeluhkan Rieka, “Kak, musik apa sih ini, Kak? Aneh banget gitu sih liriknya.
Elo tahu kan gue mainstream abis…”
membenarkan perkataan Ipong kalau selera Rieka sebatas Zooey Deschanel dan lagu-lagu
milik girlband. “Justru itu, Ka,
dengerin deh. Ini ada anak band indie
gitu kayaknya ngebet banget sama gue, terus gue dikasih album DIY-nya gitu
sama dia…”
Satu
batang telah habis, Rieka pamit ke kamar.
Di
kamar Rieka langsung mengganti blus dengan kaos dye tie hasil tugas prakarya saat SMP, oh, sekalian bawahan deh,
dan pakaian dalam. Tadi ada abu yang tercecer ke rok, jemari Rieka masih belum
terampil juga mengapit puntung—tapi memang tidak perlu. Rieka menggosok gigi,
dinding mulut, hasilkan busa sebanyak-banyaknya, begitupun saat di muka.
Rieka berjanji untuk tidak lagi memasuki lubang neraka itu, seperti janjinya
untuk tidak lagi menguntit profil Deraz di Facebook.
Di
meja belajar Rieka membentangkan organizer,
tepat di halaman berisi tabel proker-prokernya di OSIS, yang ditulis dengan
rapi dan dihiasi stabilo warna-warni plus stiker mini-mini. Ia mengangkat
pensil, lalu pada halaman lain membuat tabel dengan format yang sama, dengan
sesekali menyontek ke halaman sebelumnya. Jemarinya cergas mencorat-coret.
Satu, “Gemukkin Dean!”… bekal… menu… Rieka bakal melakukan penelusuran di internet
tentu saja… Ekskul Dean… tidak yakin Dean ikut ekskul. Anak semacam itu
tampaknya doyan mabal, Rieka akan periksa. Exercise,
Rieka tidak yakin Ola dan Anne betulan mengajak Dean fitness. Oh! Ini bisa sejalan dengan program diet Rieka… Akademik.
Dean IPS. Rieka IPA, tapi sudah berencana untuk ikut jalur IPC… gampang lah!
Gaul—nanti dulu deh… Suruh Pak Sam mengajari Dean menyetir mobil. Jemari
Rieka berhenti ketika ponselnya berbunyi.
DERAZ.
Dean
mengirim sms pakai nomor Deraz, mengabarkan kalau pulsanya habis, dan
setengah jam lalu ia sudah sampai di rumah dengan selamat, dan jangan
begadang melulu dong, Yang, biar kulit tetap cantik!
Rieka
memutuskan untuk menurut pada putra sang dermatolog. Ia terjun ke kasur dan menyambar
zine milik LEMPERs yang sudah lama ia
pinjam tapi lupa melulu untuk mengembalikan—terbitan tiga tahun lalu. LEMPERs
tidak lagi memproduksi zine sejak
anggaran dari sekolah bertambah, formatnya berubah menjadi majalah semesteran
yang terbit saat pembagian rapor akhir semester.
Tidak
lama separuh wajah Rieka mendarat di halaman zine. Lagu milik band indie dari
kamar Kak Mita mengiang-ngiang di sepanjang mimpi, dengan wajah Deraz
membayang-bayang sementara motif tie dye
di kaos Rieka menjadi latar.
.
DADANG,
yang merupakan singkatan dari “Dengar Pendapat antar Bidang”, adalah proker
yang sangat penting bagi Alf selaku mitratama. Berkali-kali Rieka
mengingatkan Dean bahwa DADANG yang hendak ia datangi bukanlah manusia. “Kamu
kok sering banget sih sama Dadang… mending sama Dean…” begitu keluh Dean
dengan nada memelas, sebab selaku sekum Rieka haram untuk melewatkan setiap
edisi DADANG. Buku folio pun ditenteng-tenteng, ruang diskusi dimasuki. OSIS
memiliki kewenangan untuk menggunakan ruang kecil lagi tertutup di samping
ruang BP, yang dilengkapi whiteboard
beserta alat tulis dan hapus, serta sebuah meja panjang dikitari belasan kursi
yang harus dilipat dan dibariskan di tepi begitu usai digunakan. Bonus kipas
angin. Sesungguhnya Alf juga ingin membuat aturan kalau sekum harus duduk
tepat di samping mitratama tiap kali rapat, tapi ia tahu mana yang harus
diprioritaskan. Kabid IV dan Kabid VII juga cewek dan manis dan belum punya
pacar.
Topik
dalam DADANG siang itu adalah optimalisasi selasar kantin. Dengan
bersemangat Kabid VIII membacakan prokernya yang utama: “SMANSON BERSENI”.
Selasar Kabita seyogianya dioptimalkan untuk mengakomodasi dan mengembangkan
kreativitas siswa dalam bermusik. Kabid VIII ingin ada gig di selasar Kabita tiap jam istirahat atau pulang
sekolah—tiap hari! Tiap hari ada jenis musik berbeda yang dibawakan. Indikator
keberhasilan proker ini adalah siswa SMANSON mengenal segala jenis musik,
bukan cuman yang lagi atau pernah top.
“Nah
makanya itu mitra-mitra, kita mesti bikin programnya si Ipong ini
‘realistis’…” kata Mitratama.
“Bukan,
gimana supaya program ini ‘realistis’, Odong-odong…” Kabid VIII ikut memberi
tanda kutip. “Tapi te-re-a-li-sa-si.”
Tidak
enak rasanya dipanggil dengan nama sejenis kendaraan umum jurusan Awiligar
yang berpangkalan di Jalan Pahlawan itu. “No
Odong-odong…” Mitratama goyang-goyang telunjuk.
“…sebab
dia sudah menjadi truk Gajah Oling,” sambung Mitramuda II yang tiap jelang Lebaran
mudik ke Pati. Tawa tertahan di ujung meja.
“Senin
kita bisa ngadain klasik, buat ngaktifin sel-sel otak setelah liburan weekend,” lanjut Kabid VIII tanpa acuh.
“Terus Rabu kita bikin khusus jazz.
SONJAZZ…” kedua tangan Kabid VIII terbuka dengan dramatis bagai Spongebob
menggambarkan imajinasi dengan pelangi, “SMANSON Nge-jazz…” Kabid VIII sedang gandrung dengan jazz, di OJOMBAS ia menampilkan lagu yang tak seorangpun di
SMANSON pernah dengar.
“Kenapa
mesti Rabu, Pong?” tanya Bendum.
“Karena
gue lahir pas hari Rabu.”
“Eh
Raz, proker kamu yang pentas musik islami itu dimasukin sekalian aja,”
senggol Kabid II pada Kabid I.
“Uh.
Iya, tiap Jumatan aja tuh Raz. Sebelum atau sesudah Jumatan,” imbuh Kabid VI.
“Nasyid, marawis, kasidah, keluarin semua tiap Jumat.”
“Enggak
sekalian kita bikin MTQ aja?” Mitratama garuk-garuk kepala yang tanpa
disadari telah bikin rambutnya teracak-acak juga.
“…rock, alternatif, blues, psychedelic, R ‘n B…” Kabid VIII mengabsen. “Kalau
bisa tiap hari ada PJ-nya dari ekskul tertentu, biasanya kan cuman anak KOMBAS
aja. Kalau bukan anak KOMBAS tapi mau nge-jam
ya sok aja. Misal, ya, tadi anak DKM[1]
ngisi pas Jumat. Terus hari apa gitu anak-anak VG. Tiap Selasa kabaret—TERSONO[2].
Terus tiap kapan, Sabtu pagi gitu, anak-anak Hallyufreak disuruh mimpin senam
pake gangnam style! Ekskul kita
banyak, Son!”
Semua
tersengat sunyi ketika Kabid VIII selesai bicara.
Mitratama
pun angkat suara, “Atau di samping ngandelin ekskul mungkin kita bisa pake
jalur independen juga, Pong,” yang diakhiri dengan nada sarkastis tapi halus,
“Gimana kalau kamu tambahin ‘SMANSON’S GOT TALENT’ di proker kamu?”
Terselamatkan
oleh azan asar. Rieka akhirnya bisa lepas dari pertarungan wacana yang
sengit. Tangan kanannya pegal karena hampir tidak ada jeda untuk berhenti mencatat. Dua tangan yang pegal
bahkan, kalau ia membuat notula dengan notebook.
Rieka masih lebih suka menulis dengan tangan, yang langsung menghadirkan bukti
fisik, walau ia membawa notebook ke
sekolah hari itu. Rieka ingin banyak orang mengenang tulisan tangannya yang indah
dan rapi. Barangkali suatu saat akan ada ahli tipografi yang mematenkannya
sebagai font di dunia digital—mimpi
Rieka paling muluk-muluk.
Dean
sudah menantinya di Kabita yang senyap, dengan Sheila. Rieka menghembuskan
napas begitu meletakkan seluruh bawaannya di meja. Daypack yang penuh terisi oleh wadah bekal untuk Dean, botol minum
yang masih setengah isi, notebook,
proposal acara OSIS terdekat yang harus ia ralat, serta berbagai tetek bengek
akademis, dan tas jinjing berisi buku-buku yang tidak tertampung dalam daypack.
“Ri,
aku enggak jadi bisa majang foto kamu sama Dean gede-gede di mading tea,” Sheila menyampaikan kabar,
“sebagai gantinya kalian jadi model majalah semesteran ya?”
“Demi
apa?” Rieka menjatuhkan diri di samping Dean. Sudah tidak begitu terasa
kerasnya tulang saat menyandarkan kepala di otot biseps Dean.
“Demi
pak kepsek yang ingin mensosialisasikan pedoman berseragam yang baik dan
benar,” jawab Sheila dengan mantap. “Entar juga pimpronya ngehubungin kamu
langsung, Ri.”
“Oke.”
Sheila
pun undur diri. Rieka pindah duduk ke seberang Dean, sementara kwetiau goreng
hadir di hadapan mereka—tinggal menu itu yang masih bisa dipesan. Dean
menyodorkan Rieka secarik kertas. Sepulang sekolah itu mereka berjanji untuk
pulang bareng, dengan Pak Sam tentu saja. Sembari menunggu DADANG selesai,
Rieka menugaskan Dean untuk menuliskan jadwal pelajaran dan lesnya.
“Entar
sore kamu ada les bahasa Inggris?” Rieka memindai tulisan Dean yang bukan lagi
cakar ayam tapi cakar bebek itu. Dean mengangguk. “Kalau gitu kita entar
enggak usah ke mana-mana dulu ya, biar kamu istirahat yang cukup…” Rieka juga
akan melahap kwetiau secukupnya, dengan cepat, meski sambil berbagi waktu
dengan menganalisis jadwal Dean… “Kamu tuh sebenernya ada ekskul enggak sih?”
“Ah
saya mah menclok-menclok aja, Neng.
Kalau anak-anak teater lagi pingin ngajakin, hayuk… Kalau lagi pingin main ke
ABS[3],
ya udah dateng we…”
“Kamu
enggak ada ekskul tetep gitu? Di rapor kamu ditulisnya ekskul apa?” Jawaban
Dean tidak memuaskan. “Kamu tuh harus ikut ekskul. Ekskul tuh penting… supaya
foto kamu di buku angkatan bukan cuman foto bareng sama anak-anak kelas kamu
doang, supaya kamu eksis…”
“…emang
aku enggak eksis?”
“Gini
deh, ikut ekskul tuh penting supaya ada dari diri kamu yang menonjol… Potensi kamu,
bakat kamu, apa deh, kalau kamu ikut ekskul, hal-hal kayak gitu tuh bisa
keliatan. Kamu jadi tahu, orang-orang juga bakal tahu, kekuatan kamu di mana.
Kamu bisa jadi sesuatu, diakui. Kamu juga bisa dapet fasilitas buat ngembangin
potensi kamu itu…” Rieka berhenti sejenak untuk melahap isi sendok di
tangannya. “Sekarang, apa coba minat kamu?”
Sorot
mata Dean menanyakan hal yang sama pada Rieka.
“Basket?
Badan kamu kan tinggi…”
“Aku
enggak jago dribel-dribel gitu mah.”
“Teater?
Tadi disebut-sebut…”
“Capek
euy latihannya…”
Puluhan
ekskul tersedia di SMANSON, tapi Rieka harus menemukan ekskul yang cukup bergengsi
untuk Dean.
“Kamu
kan bisa main kibor. Join KOMBAS
aja…”
Tentu
saja KOMBAS. Sarang hipster.
“Rekrutmennya
udah lewat—“
“Enggak
usah pake rekrutmen-rekrutmen! Langsung nongkrong aja. Orang kayak kamu mah bisa
lah. Udah gitu cari orang yang satu visi sama kamu, nge-jam bareng… bikin band,
ikutan gig, yang gitu-gitulah, kan
Deraz juga anak KOMBAS,” oh, betapa nikmatnya menyinggung Deraz di depan Dean!,
“mestinya kamu juga udah ngerti kan alurnya eksis di KOMBAS gimana.” Rieka
yang bukan anak KOMBAS pun tahu, karena ia memang cukup akrab dengan beberapa
anak KOMBAS—Ipong salah satu dari mereka.
“Ya
udah aku coba.”
“Bener
yaa…”
Kwetiau
dalam piring belum tandas, tapi Rieka sudah merasa cukup. Saatnya memanggul beban
berat kembali—hup! Ooh… Serasa setengah populasi dunia pindah ke dalam daypack Rieka, sedang sisanya di dalam
tas jinjing.
“Neng,
mau aku bawain?”
Seperti
biasa Rieka melepaskan sebelah tali jinjingannya.
“Aku
bawain semua aja.”
“Satu
aja enggak apa-apa… Aku enggak suka cowok sok kuat.”
“Aku
enggak sok kuat, cuman lagi belajar buat jadi kuat…”
Rieka
terdiam, sebelum ujarnya, “Kalau gitu aku juga pingin belajar buat jadi kuat.”
Dean
tersenyum dikulum. Ia meraih sebelah tali yang terkulai itu. Mereka pun jalan
beriringan meninggalkan Kabita, menuju mobil Rieka.
“Ya
udah nih kamu bawa semua aja!”
“Tuh
kan…” Dean terkekeh geli.
Lalu
mereka tak bersuara hingga berapa lama. Rieka mengamat-amati tubuh Dean yang
terbalut atasan putih, tampak lebih tegak dari biasa. Seperti ada yang
mengembang dalam dada Rieka, barangkali bibit yang tengah merekah. Ia tahu ia
bisa.
“Kamu
sekarang udah jarang pake jumper lagi,
Dean,” tegur Rieka lembut.
“Kan
udah ada kamu yang ngehangatin aku.”
“Iiih…
Norak! Norak! Dean norak!”
“Ahahaha…”
Jangan
lupa menyetel AC selama perjalanan nanti, setidaknya sampai Dean turun.
.
Geng
Rieka di LEMPERs bagai ensiklopedia mengenai si kembar, dalam format audio dan
dapat berjalan dan dandan bahkan! Topik rumpi kali ini adalah UAS, mengingat
apa yang bakal mereka hadapi dalam beberapa minggu lagi.
Titew
mengenang masa di mana ia satu SMP dan satu kelas dengan Dean. “Sebangku sama
dia tuh berisik banget tahu enggak…” Gelengan kepala Titew seiring gerakan
kipasnya. “Jangan sampai deh deket-deket dia pokoknya, pas ulangan tuh!”
“Seinget
aku mah dia kalem-kalem aja da pas
ulangan teh,” bantah Indah yang satu
kelas dengan Dean sewaktu di X-7. “Tapi meureun
karena pas dia sebangku sama si Zahra kali ya… hihihi…”
“Yang
mana sih si Zahra teh…” sela Rieka,
tapi Indah membisu.
Titew
sudah bicara lagi. “…makanya gue enggak heran aja dia bisa tembus SMANSON…
Yang gue heranin tuh IQ gede-gede kok enggak kepake…” Titew termenung. Gerakan
kipasnya memelan. “Ri, maaf ya, kita bukannya enggak nyadar elo udah jadian
sama Dean…”
“Kita
semua seneng kok sama Dean…” Nilam menyentuh punggung tangan Rieka. “Kita
semua seneng kamu jadian sama Dean. Tapi kenyataan emang pahit, Ri, sabar,
Ri.”
“Iya,
mungkin elo bisa nularin rajinnya elo ke dia, Ri?” tambah Fika.
Rieka
tidak menggubris. “…yang mana sih Zahra?”
Tapi
tidak ada yang mendengarkan Rieka, karena Titew sudah melanjut lagi, “Bakatnya
si Dean tuh emang nyenengin orang, nah terus dia manfaatin buat minta
contekan pas ulangan, sama nyari yang mau ngerjain PR-nya. Tuhan itu Maha Adil
kok.”
Indah
terkikik. “Aku jadi inget dulu… kerjaannya Dean kan tiap pagi nyamperin
bangkunya Zahra terus mintain PR-nya gitu…”
“Hahaha…
iya tuh… terus kita tinggal nadahin aja…” imbuh Fika.
“Loh
elo bukannya di X-6, Fi?”
“Kan
kelas gue sebelahan sama si Dean, guru-gurunya banyak yang sama, kalau ngasih
PR juga suka sama!”
“Ya
ampun… sampai ke kelas sebelah gitu PR-nya Zahra?” suara Indah.
“Zahra
tuh yang mana sih?” desak Rieka.
“Yang
jilbaban gitu orangnya, Ri,” jelas Fika tanpa membuat Rieka jelas. Rieka mulai
berasumsi bahwa Zahra agaknya tipe anak study
oriented yang tidak kelihatan dalam arena pergaulan. “Eh kayaknya dia
sekarang sekelas sama si Deraz bukan sih?”
Obrolan
pun beralih ke Deraz.
Walau
belum juga mengenali Zahra, Rieka kini lebih tahu bagaimana kondisi akademis
Dean, sebetulnya ia bisa melengkapi informasi dalam ensiklopedia yang
disusun gengnya itu—yang sebetulnya fokus pada Deraz. Rieka dan Dean sudah
beberapa kali belajar bareng, dan bakal semakin sering dalam beberapa
minggu ini, yang mana biasanya berarti Rieka membaca buku-buku pelajaran Dean
terlebih dulu—Dean tidak rajin mencatat—agar ia bisa menjelaskannya pada
cowok itu dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.
Sekaligus
bantu mengerjakan PR-nya.
Tempat
favorit mereka untuk belajar bareng adalah (undakan keramik—cukup lebar untuk
tidur-tiduran—di sisi luar) perpustakaan. Waktu favorit adalah kapanpun
Rieka luang, dan menginginkannya.
“Kamu
kok mau sih, baca-baca buku IPS? Kamu kan IPA…” tanya Dean seolah tidak
berpikir bahwa membantu kekasih yang kesusahan adalah kewajiban, walau tak
seorangpun bisa benar-benar membaca maksud Rieka.
Rieka
menurunkan buku Sosiologi yang ia sedang berusaha tekuni. “Enggak apa-apa,
Ayan, aku kan sekalian belajar… Lagian aku juga pingin masuk Hukum.”
“Kok
enggak masuk IPS aja sekalian?”
“Soalnya
aku juga minat belajar IPA. Aku juga kan pingin nyoba ke Kedokteran Gigi.”
Dean
begitu kagum akan luasnya kapasitas otak Rieka, walau Rieka mengaku IQ-nya tak
sampai 130. Tapi biar Rieka sudah mengungkit, Dean tidak lanjut dengan
mengungkap IQ-nya, padahal Rieka ingin dengar dari Dean langsung. “Padahal kamu
masih harus ngerjain PR kamu juga.”
“Nah
itu kamu ngerti, Sayaang…”
Memang
mengherankan kenapa Dean begitu sulit untuk paham, padahal Rieka sendiri
relatif mudah dalam mencerna berbagai mata pelajaran Dean serta menjawab
soal-soalnya.
Dean
bilang ada piano bernama Bumblebbe di dalam kepalanya. Bumblebee akan
berdenting-denting apabila otak Dean harus menyerap hal-hal rumit. Semakin
banyak materi yang harus Dean serap, Bumblebee akan mericuh dengan semakin kencang,
semakin panjang, hingga membentuk nada-nada, bahkan sonata. Dean tidak selalu
mengingatnya. Tapi sewaktu-waktu melodi yang telah tercipta akan
menghampirinya lagi, dibawakan oleh Bumblebee, dan menjadi tameng bagi
hal-hal tidak menyenangkan yang ingin masuk. Kadang Dean memainkannya lagi
dalam kesempatan bersama alat musik sungguhan.
Teringat
oleh Rieka beberapa lagu yang pernah Dean berikan padanya dengan percaya diri,
dikirim lewat bluetooth dari ponsel
ke ponsel, yang tidak pernah Rieka dengar sebelumnya. Memang Dean bilang
semua adalah karangannya, yang tidak kunjung bisa Rieka cerna walau sudah mendengarkan
satu per satu berkali-kali, tidak berlirik pula karena Dean tidak lihai
merangkai kata, namun Rieka tetap memuji-muji, “bagus banget,” karena mereka
dipersembahkan khusus untuknya. Dan jika jam kerja Bumblebee sama dengan jam
KBM, mereka lantas menjadi semacam… guilty…
plea…
Bumblebee
justru berdengung dengan sangat meriah ketika Rieka bersama Dean atau setelahnya!
…terilhami
oleh Rieka—manis sekali… tapi tidak manis lagi kalau rapor Dean semester ini
hancur.
“Tapi
kamu pendengar yang baik kan?” Betapa Dean selalu perhatian ketika Rieka mencurahkan
seluruh gondok di hati.
“Kalau
cuman ngedengerin yang ringan-ringan mah aku gampang nangkapnya, sama kayak baca
majalah aja.”
Persoalan
di OSIS tidak seringan itu juga, Dean…
“Kalau
di kelas, dengerin aja penjelasan gurunya bener-bener, anggap kayak gurunya
lagi curhat…”
“…iya
deh…”
Meski
yang ingin Dean dengarkan hanya suara Rieka.
“Ya
udah… besok yang kira-kira keluar di ulangan mana, aku bacain, kamu dengerin
sambil rekam, terus entar kamu dengerin lagi yaa…”
“Iyaa…”
Setengah
jam kemudian.
“…jadi,
yang ngebantuin Ternate itu Portugis, kalau Spanyol itu dengan Tidore… Yan…
Kok malah ketiduran sih? Bangun, Ayaan…”
Bimbingan
belajar untuk Dean tidak hanya meliputi akademis, tapi juga les, kendati Rieka
hanya bisa bertindak sebagai konselor karena tidak mengerti apapun soal
piano.
“…mentang-mentang
gue mau UAS di sekolah, dia pingin ngetes gue sightseeing juga, enggak boleh kedengeran staccatto gitu… beuh! Mana pedal di rumah dia enggak enakeun. Terus dia bilang kalau gue mainnya
gitu terus sampai kapanpun gue enggak bakal bisa ikutan ABRSM. SNMPTN aja gue
belum kepikiran!”
Padahal
waktu yang harus Dean lewatkan bersama sang guru piano—yang cuman sejam seminggu,
ditambah les bahasa Inggris yang tiga jam seminggu, tidak sebanyak jam yang
Rieka habiskan bersama OSIS.
Dan
sementara langkah Rieka tetap mantap pada jam-jamnya berada di sekolah, Dean
tenggelam dalam sofa rumah, mengirim sms bahwa ia tidak diperkenankan sang
bunda untuk ke sekolah hari itu… tensinya turun.
Rieka
membaca pesan dari Dean yang dikemas dalam bahasa Sunda halus itu.
“…semangat
di sekolah ya, Neng, pasti bisa :D!”
Rieka
tersenyum, lalu membalas sms dari Dean, yang segera dibalas, dan mereka terus
berbalasan, sampai Dean mengiyakan pertanyaan Rieka apakah ia sudah baikan.
Demi apa… Demi kuncup yang mulai tumbuh. Bagaimanapun proses ternyata adalah
suatu hal yang menyenangkan untuk diamati—dijalani! Toh sore Dean sudah bisa
merangkak ke rumah sang guru piano yang puluhan kilometer jauhnya, demi
Rieka yang tidak pernah lupa mengingatkan.
.
Liburan…
Hari
demi hari setelah pergantian tahun, Rieka lalui bersama Dean… di ruang tamu,
dengan pintu menuju ke dalam dan menuju keluar yang terbuka lebar. Cahaya
matahari menerobos jendela yang dilapisi tirai semi transparan, seakan ingin turut
membersamai. Dean datang tiap pagi menjelang siang, mengaku sudah mandi walau
pakaian yang dikenakan belum berganti sejak semalam—tapi aroma Dean selalu
segar! Toh Rieka pun sama berkaos dan bercelana pendek.
Majalah
semesteran terbentang di karpet, memuat sepasang halaman dengan sosok mereka,
tidak berdua saja ternyata, karena harus ada model pula untuk siswi
berjilbab, dalam seragam putih abu, batik, dan olahraga.
Tapi
anak-anak JEPRET—ekskul fotografi di SMANSON—yang umumnya cowok tidak puas memotret
Rieka hanya dalam seragam sekolah. Mereka ingin Rieka menjadi model untuk
sesi latihan rutin mereka, kendati mereka harus menyanggupi syarat: Dean
serta. Mereka menganga. Demi apa, Rieka? Demi apapun yang Rieka ingin kenakan
di depan kamera, yang bisa jadi belasan senti lebih pendek dari rok abu-abu
yang menjadi seragam sekolah—yang kini sudah wajib rempel panjang
omong-omong. Anak-anak JEPRET kejar jua sang kembang SMANSON, pacarnya tak
lupa digandeng, melintasi lanskap berumput hijau segar dan berlangit biru
cerah. Walau hati digigit-gigit mendapati sang model bersandar dengan manisnya,
menatap dengan mesranya, tersenyum dengan manjanya, di dekat model lain yang
tidak diharapkan.
Tapi
Rieka dan Dean tidak peduli. Anak-anak JEPRET adalah paparazi yang mereka
terima dengan suka hati. Yang mereka pedulikan adalah local disk, di notebook
Rieka maupun di PC milik keluarga Dean, yang
kembung oleh foto-foto mereka. Walaupun menjeprat-jepret dengan kurang ikhlas,
jepretan anak-anak JEPRET betulan berkualitas. Rieka dan Dean sampai bingung
memilih mana yang terbaik untuk mereka jadikan foto profil di Facebook, atau wallpaper di Desktop. Mereka putuskan
bahwa sang pemenang, untuk tiap-tiap nominasi, harus mereka beri reward. Rieka akan jadwalkan: berburu reward bareng Dean!
Dan
siapa nyana Dean fotogenik, karena Deraz tidak begitu. Kini Rieka bisa memberi
label baru pada Dean: fotomodel SMANSON!
Gagasan
untuk membuat blog fashion tergali lagi,
sebelumnya terkubur oleh kesibukan Rieka di sekolah. Perlahan-lahan sebagian
isi lemari Rieka pindah ke ruang tamu. Dean membantu Rieka menyusun mix and match untuk setiap potong pakaian
Rieka, membuat Rieka ingin melakukan hal yang sama untuk Dean. Sekiranya bukan
cuman jumper yang mengisi lemari
cowok itu. Terpikir untuk memberdayakan anak-anak JEPRET lagi sebagai juru
potret. Rieka sudah hampir membuat tumblr, ketika Dean menanyakan taman mana
di Kota Bandung yang bakal menjadi lokasi pemotretan mereka. Rieka menerawang
ke jendela. Langit begitu terik, sementara hawa di dalam rumah saja sudah membuat
betis Rieka bak sawah di musim paceklik—makanya menggunakan body lotion itu wajib! Mari kerjakan di
dalam rumah saja, Dean, dengan kamera saku. Blog fashion mereka pun jalan selama seminggu, lalu terlupakan
begitu seragam putih abu kembali dikenakan.
Sesekali
mereka hanya bermalasan di karpet, melontar asal pada satu sama lain.
“Ayan,
Ayan mau diajarin renang?”
“Mau
liat kamu pake baju renang.”
“Mesum…”
Rieka mendorong pipi Dean sejauh mungkin.
“Baju
renang kamu kayak gimana, Ka... Kaos-kaos dikeluarin kok bikini enggak sih,
Ka… Ka…” dan seterusnya.
Menjelang
sore Dean pulang, karena les atau latihan bareng band. Ya! Band! Kata yang
tidak ada dalam KBBI itu! Dean yang penurut telah nangkring di sekre KOMBAS
hampir tiap hari, mengobrol dengan si ini atau si itu, membandingkan wawasan,
mengetahui preferensi, serta mengukur keterampilan bermusik satu sama lain,
lalu sepakat untuk nge-jam... Yang
sudah beberapa kali mereka lakukan sebelum UAS, di sekre KOMBAS, sudut manapun
di SMANSON, teras atau kamar di rumah si anu, studio sewaan… ya di mana
asyiknya aja lah, bray! Anggota band Dean terdiri dari Didi (yang adalah
cewek—satu-satunya) yang vokalis, Izar yang drumer, Bembem yang gitaris, dan
Tamam yang bassist, dan Dean sendiri
sebagai kibordis! Moto mereka adalah: Kami senang memainkan lagu yang riang
dan manis! Rieka tidak sabar untuk melihat penampilan mereka di selasar
SMANSON! Dean bilang Didi dan Bembem, yang pacaran omong-omong, sudah lama
merencanakan untuk merilis lagu—bahkan EP! Target mereka di tahun ini adalah
memasukkan demo ke salah satu radio anak muda di Kota Bandung. Itu lebih bagus
lagi, Dean!
Band aku
juga punya nama, Neng, Popeye The Spinact!—yang kalau diterjemahkan secara harfiah
menjadi Matapop Si Aksimata-mata. Dean sangat senang. Padahal nasib
kembarannya saja tidak seberuntung itu. Band
yang Deraz dan Ipong usung sejak kelas X, selain tidak menciptakan lagu baru
alias sekadar band cover, juga belum
punya nama. Sehingga apabila MC di panggung bertanya, nama band kalian apa nih? Mereka menjawab Belum
Ada Nama. Wah kepanjangan, kata MC, disingkat aja ya, Belum-Ada-Nama, jadi
BAN—BAN BAND! Lalu selaku drumer Adip menabuh tom-tom dan cymbal.
Bagaimanapun
pesona liburan-malas telah bikin Rieka terlena. Padahal ada program penting
yang bisa dioptimalkan saat liburan, tidak hanya menyangkut Dean tapi juga
Rieka sendiri. Exercise! Padahal
mereka bisa joging tiap pagi! Sudah mah terlupakan, mereka pun kebanyakan
makan camilan—yang memang selalu dipasok oleh Mama Rieka. Bagi Dean sih
baik, tapi bagi Rieka, “Aku endutan, Ayaan…” yang walaupun tidak
dipermasalahkan Dean tapi sudah pasti bikin Rieka resah. Ujung-ujungnya waktu
yang tersisa tinggal weekend juga.
Rieka
merasa kecele ketika Sabtu siang Dean datang ke rumah dengan membawa cerita
dari fitness center. Sama siapa?!
O—Ola… tapi kan memang sudah biasa, Neng, saya tiap Sabtu diseret mereka ke
sana… diseret, Neng, diseret!, tidak berdasar atas kesukarelaan…! Rieka
mengamat-amati tubuh Dean yang memang mulai berbentuk. Ah. Bagaimanapun Rieka
seharusnya berterima kasih malah pada kedua cewek itu…
Namun
Sabtu itu Anne tidak serta karena masih liburan di Bali bersama teman-teman
SMP-nya dengan membawa mobil pribadi. Anne yang menyetir dari Bandung sampai
Semarang dalam tempo delapan jam. Jago ngebut dia, Neng, kata Dean. Huh kalau
cuman menyetir mobil Rieka pun bisa, tapi mengebut itu tidak baik!, dan Rieka
tidak berani.
Apapun
yang Dean katakan malah bikin Rieka makin gusar.
“Ayaan…
Pokoknya besok dari pagi banget kita sepedaan yaa, kita ke car free day sekalian!”
Maka
keesokan paginya usai salat subuh Rieka membangunkan Dean seperti biasa,
“Bangun, Ayaan, langsung salat, jangan tidur lagi!” lalu Rieka tidur lagi.
Rieka terbangun karena ketokan di pintu kamar.
“Neng,
Neng… Ada Dean di bawah…”
Setengah
sadar Rieka menyambut Dean yang baru memarkir sepeda balap milik ayahnya di carport. Cowok itu sudah siaga dengan jumper dan celana training. Rieka menyadari bahwa ia hanya mengenakan baby tee kekecilan dan celana boxer untuk cewek. How awful! Rieka menyuruh Dean menunggu di dalam rumah dulu.
Sempat Rieka melihat ke kaca, rambutnya yang riap-riap bak Medusa. Bad hair day pula! Oh, bagaimana
pendapat Dean, Rieka takut untuk tahu. Toh Rieka bisa memiliki rambut halus
bergelombang hingga enak dipegang-pegang, lagi wangi yang memikat untuk
dicium-cium, kan karena treatment juga—Rieka
sangat rajin untuk hal ini! “Rambut aku…” keluh Rieka. “Bagus, Neng, kayak
logo Prambors, vintage abis…” Rieka
ingin meratap.
Bagaimanapun
rencana untuk meramaikan car free day
Buah Batu terlaksana juga. Rieka mengayuh sepeda lipat yang dibeli Mama
beberapa tahun lalu, yang selama itu pula menjadi pajangan di garasi. Melihat
cara Dean mengemudikan sepeda yang hati-hati, Rieka menduga-duga. Sepeda itu cuman
Dean gowes pada separuh jalan menuju rumah Rieka, selebihnya dituntun.
Papa
dan Mama Rieka tidak ke mana-mana hari itu. Hingga menjelang sore Dean masih
bercengkerama dengan Rieka di rumah. Papa Rieka lalu menyuruh Dean berlatih
mengendarai motor. Dean pasti menyangka hendak dipinjami salah satu motor
gede milik Papa, wajahnya begitu antusias. Papa pun meminjamkan Dean Honda C70
tahun 1970. “Itu antik loh!” kata Papa Rieka. Rieka tergeli-geli menyaksikan
ekspresi Dean yang sudah menaiki si Mocil—motor cilik warisan Uak! Padahal kaki
Dean terlalu panjang untuk motor itu, tapi Dean bisa mengemudikannya dengan
baik meski semula rada goyah. Dean berputar-putar di jalanan depan rumah.
Rieka geleng-geleng ketika Dean menawarinya untuk membonceng. Entah kenapa terasa
bakal rawan… “Dean, latihannya jangan cuman di depan rumah aja atuh, sana bawa motornya sampai
Indomaret depan sana tuh, tahu kan?” begitu titah Papa. “Entar pulangnya
sekalian sama Dji Sam Soe dua…” lanjutnya seraya menyodorkan selembar uang
berwarna biru. Mama juga titip Magnum. Rieka ingin yang Gold. Dean melongo.
Dean
pulang setelah makan malam. Sebelum menjauh dari pagar ia menyampaikan pesan,
“Gantian atuh kamu ke rumah aku. Ibu
aku kan belum ketemu kamu lagi semenjak kita jadian.”
.
Mama
Rieka tidak suka kucing. Ia bergidik acap melihat kucing menjilati kaki-kakinya
sendiri. Sehelai saja rambut hewan itu membuatnya berlagak ingin muntah.
Rieka
kecil tidak terpengaruh. Seekor kucing mendekati kakinya sepulang sekolah.
Lucu sekali, walaupun usia hewan itu mungkin sudah beranjak remaja.
Loreng-loreng rambutnya, seperti seragam trio dangdut. Rieka kecil mendekapnya,
memangkunya di atas rok seragamnya yang merah rempel di sepanjang perjalanan
pulang. Pak Sam mengingatkan, “Neng entar kalau ketahuan sama Ibu gimana?”
Rieka kecil mengomel, “Pak Sam jangan bilang-bilang!”
Begitu
pula yang ia katakan pada orang-orang lain yang bekerja di rumahnya. Rieka
kecil mengamati salah satu orang dari mereka memandikan kucing itu dengan
sampo—“pake air hangat, Teh, entar kucingnya kedinginan…!” instruksi Rieka
kecil—hingga bersih benar, lalu mengeringkannya dengan hair dryer. Untung Mama sedang tidak di rumah! Rumah Rieka begitu besar,
Rieka yang biasa mendatangi Mama, bukan sebaliknya, Rieka tahu di mana sisi
rumah yang jarang dikunjungi Mama, di sana ia dan kucing itu akan bercengkerama,
walaupun tetap sesekali Rieka kecil was-was. Untuk sementara keberadaan kucing
itu aman sejahtera.
Kucing
cantik, kucing lucu, menggemaskan seperti bayi, Rieka kecil menamakannya
Dorita. Dorita pasti bakal lebih lucu lagi kalau dipakaikan baju Rieka semasa
bayi. Hyaa… Tuh kan benar… Dorita melenggang di atas empat kaki dalam balutan
kain bermotif beruang. Rieka kecil sangat suka memeluk Dorita,
membela-belainya, menimang-nimangnya, menoel pucuk hidungnya yang basah, menyuapinya
dengan susu. Oh! Dia bisa mencecap—mencecap! Dia lebih responsif ketimbang
Tito setrip Oon! Dia juga hangat, senang menggesek-gesekkan tubuhnya di
betis Rieka hingga Rieka kegelian. Rambutnya yang agak panjang itu begitu harum
karena rajin dimandikan dengan sampo, walau mereka memberitahu Rieka kecil
kalau kucing tidak perlu dimandikan sampai tiap hari—kucing bahkan bisa
memandikan dirinya sendiri!
Tapi
Dorita suka buang air sembarangan. Rieka kecil cepat-cepat memanggil pembantu
untuk membersihkan, inginnya tidak saja kotoran, tapi kemudian ia diberitahu
kalau kucing dapat membersihkan sendiri pantatnya. Haaah…?! Dorita na-kal!
Naa-kal! Apalagi tidak sekali Dorita begitu. Teteh yang menjadi asisten Rieka
kecil dalam mengurus Dorita sampai jemu, tiap hari hingga beberapa kali
harus menangani kotoran dan permukaan berbagai perabot yang dikotori. “Nanti
lama-lama Ibu tahu, Neng Eka…” tapi Rieka kecil tidak mau tahu!
Bayi
yang sehabis buang air harus diberi popok, supaya pantatnya tidak kedinginan,
kalau kedinginan nanti masuk angin, dan tentu saja supaya tidak lagi buang
air sembarangan! Teteh itu terperangah sementara Rieka memakaikan gurita
pada Dorita. Tapi ia biarkan, sampai ia mendengar jeritan. Teteh itupun
terkesiap. Cakaran panjang di wajah majikan!
Sejak
itu benar-benar TIDAK BOLEH ada kucing di dalam rumah, bahkan menginjak teras
pun tidak!
Untunglah
Mama Rieka tidak marah. Ia hanya geleng-geleng sambil garuk-garuk jidat. Toh
Rieka kecil tentu sudah kapok sendiri. Harus datang ke sekolah dengan plester
besar menempel di pipi.
“Mama…
Mama… gimana kalau lukanya enggak ilang-ilang… huuu…” Rieka kecil selalu sedih
tiap menyadari keadaan wajahnya.
“Enggak…
enggak apa-apa Eka, lama-lama juga ilang bekasnya...” Mama Rieka tidak tahu
lagi harus berkomentar apa supaya putrinya berhenti merana. Ia pun tidak
mengerti apakah kedalaman luka tersebut memang tidak bakal meninggalkan bekas
di masa mendatang.
Demi
ketenangan batinnya maupun putrinya, Mama Rieka pun memutuskan untuk bersilaturahmi
ke rumah kenalannya yang baru. Sudah beberapa kali ia mengobrol dengan wanita
itu di sekolah anak-anak mereka. Wanita itu seorang ahli kecantikan, belum
lama ini tinggal kembali di Bandung setelah menuntaskan pendidikan pascadoktoral
di Boston. Sekalian Mama Rieka juga mau konsultasi, tapi ceritanya
silaturahmi, gitu.
Itulah
pertama kali Rieka berkunjung ke rumah Dean.
Sekitar
satu dekade telah berlalu. Tampak depan rumah Dean tidak banyak beda dengan
yang dulu. Tetap tidak semegah rumah Rieka. Tidak begitu kentara kalau rumah
itu sebenarnya bertingkat dua. Lagipula Rieka kecil hanya sampai ruang tamu,
itupun sudah terasa kalau hawa di rumah itu masih hawa baru-pindahan. Dean
kecil mengintip sepintas di ambang pintu sebelah dalam, sekadar ingin tahu,
lalu hilang, tidak pernah terlihat lagi, sampai keesokan harinya di kelas.
Malu
apabila mengenang kejadian konyol itu.
Tapi ibunya Dean tetap menaruh perhatian. Lukanya diamati dengan lembut, oh,
Rieka lupa apa yang wanita itu lakukan saking terpana. Suaranya halus
menenangkan, hingga setelahnya Rieka tidak pernah lagi risau. Terbukti.
Beberapa tahun setelah bekas luka itu hilang sama sekali hingga kini, Rieka bisa
jemawa akan mulus wajahnya yang tanpa secuilpun cacat—apalagi jerawat!
Untunglah
ibunya Dean tidak mengungkit-ungkit kunjungan di masa lalu, ketika Rieka bertandang
lagi ke rumah itu pada suatu Minggu. Dean langsung menggiring Rieka ke ruang
setelah ruang tamu, yang hampir sekujur dindingnya dilapisi lemari berisi
buku-buku tebal, piala, piagam, dan medali. Ruang prestasi, simpul Rieka,
yang tidak menyimpan satupun milik Dean.
“Tadi
sama siapa ke sini?” Wanita itu sendiri yang menyuguhkan secangkir teh untuk
Rieka. Tidak ada pembantu di rumah Dean pada hari selain Senin-Jumat pukul
8.00-16.00 WIB—bisa kurang.
“Dianterin
Papa sama Mama.”
Rieka
berusaha menjaga pandangan dari wanita yang harum itu… tapi ia selalu saja
ingin melihat lagi dan lagi tubuh tinggi semampai wanita itu, kulitnya yang
tetap berseri di usia paruh baya (Dean bilang ibunya baru menikah setelah
berusia kepala tiga dan baru beberapa tahun setelahnya memiliki anak),
rambutnya yang mengikal dengan elok, pakaiannya yang memberi kesan muda lagi gaya
namun sederhana…
Rieka
menghirup aroma dari minuman yang disajikan untuknya… teh, serai, dan jeruk
nipis berpadu satu… menyegarkan! Barangkali inilah yang dirasakan Popeye
setelah meneguk bayam dari kaleng. Wanita ini juga pandai meracik teh, demi
apa…! Sementara Rieka melupakan kalau ia punya hubungan dengan Dean. Ia
terbang ke langit di mana hanya ada ia dan dunia yang begitu nyaman, dan wanita
yang mengagumkan. Lagipula Dean pun tidak di ruangan—Rieka baru menyadari
ketika ia terlempar kembali ke kursi. Terdengar suara cempreng dari ruangan
yang lebih dalam, “…tuh, Bunda mau ngecek Kak Rika dipelet apa enggak sama
elo…”
“…Dean
itu manja banget…” Perhatian Rieka segera teralih ketika wanita itu bersuara.
“Maaf ya udah direpotin Dean terus.”
Rieka
menggeleng dengan senyum semanis mungkin. “Enggak, Tante, enggak apa-apa…”
Saya rela, Tante! Lagian anak Tante gampang banget diatur!
“Kalau
sama Rika nurut ya…” kata Tante Dara lagi seakan bisa mendengar ocehan batin
Rieka. “Makasih loh Rika.” Rieka tidak tahu harus menjawab apa. “Dean itu
emang anaknya rada khusus…” …nada pesimis itu… Rieka termangu.
Adik
Dean muncul sembari menggendong kucing besar berambut lebat berhidung pesek
dan bermata keji, namun masih bisa mengulurkan tangan kanannya pada Rieka.
Ragu-ragu Rieka menjabat—ih tangan yang habis pegang kucing! “Kak Rika masih
kenal sama aku enggak?”
“Zara
ya…” tebak Rieka—yang untung tepat!
“Kalau
ini Adrenalin…” Zara mengangkat kaki depan sebelah kanan milik kucing jahat
itu. Kali ini Rieka tidak bisa menyembunyikan bahasa tubuhnya, walau senyum
tetap lengket di muka. “Enggak suka kucing?” Rieka menggeleng pelan, semoga
cukup sopan.
“Masukin
aja kucingnya ke kandang, Zara. Kak Rika takut,” kata Tante Dara. Zara menurut.
Dalam hati Rieka menyanggah bahwa ia takut, tampang kucing itu saja yang
terlalu menyolot. Zara kembali dengan kakak laki-lakinya. Duduk dan meramaikan.
“Dean
itu punya tahi lalat, keciiil… banget, di bibirnya, bagian dalam sini nih,
makanya cerewet banget…” ujar Zara yang begitu semangat mengumbar aib
kakaknya.
“Si
Zara juga banyak banget tahi lalatnya, Ka, di hidung gitu, kecil-kecil kayak
titik…” balas Dean seraya menunjuk hidung milik sendiri.
“Itu
mah komedo! Dasar, sotoy elo!” semprot Zara yang kontan menutup hidung. Rieka
tertawa kecil. Wanita yang duduk di seberangnya tersenyum anggun.
Aroma
yang manis, hangat, dan gurih melayap hingga ruangan tersebut. “Wah… pasti
udah jadi nih!” suara Zara. Namun obrolan tetap berlanjut beberapa saat lagi,
lalu, “Ngemil dulu, Rika?” tegur Tante Dara. “Yuk,” ajak Dean. Rieka digamit
memasuki bagian rumah yang lebih dalam—samping sebetulnya. Dapur yang cukup
lega, dengan satu set meja makan di tengah dan Deraz. Deraz. Deraz di rumahnya.
Tidak pernah terbayangkan oleh Rieka sebelumnya, mengalami kebersamaan dengan
Deraz di rumah… Deraz. Ini rumah Deraz juga! Hyaa… Deraz di rumah di hari
Minggu di dapur—mengenakan kaos polo hijau tua dan celana panjang khaki… melepaskan sarung tebal
kotak-kotak merah jambu-hitam dari tangan… berkata lembut pada adiknya yang
hendak mencicip isi loyang di meja, “Tunggu rada dingin dulu…”
“Enak
pas masih hangat-hangat gini, Kak!” Zara menghunus pisau.
Tahu-tahu
Rieka telah duduk di salah satu kursi. Kudapan dalam piring kecil tersaji di hadapannya.
Sepotong… bolu… cake… apapun!...
dengan lapisan tipis cokelat, lalu lapisan tebal yang tampak lembut
kekuningan dan dihiasi bercak-bercak cokelat yang menggiurkan, lalu selapis
lagi cokelat yang berbeda. Masih hangat… hangat… hangat… sehangat perasaan
yang menggelora di dalam Rieka… dengan harum yang tidak kalah memabukkan dari
harum pembuatnya. Demi apa ia duduk di sini, bersiap mengudap sesuatu yang
tidak semua orang bisa cicipi—padahal mereka pasti menginginkannya! Bayangan
teman-temannya di OSIS, di LEMPERs, di SMA, di SD, di manapun, siapapun yang
memperluas wawasan Rieka akan Deraz berkelebat. Deraz yang bikin sendiri, Ya
Tuhan…! Rieka ingin memotretnya, mengunggahnya di setiap media sosial yang ia
miliki di Dunia-tanpa-Deraz, terbahak-bahak ketika komentar dari orang-orang
yang tidak seberuntung dirinya bermunculan.
Rieka
mengangkat sendok. Tepian sendok mulai mengenai permukaan kue nan berpori-pori
lagi lembut... dengan kecepatan rendah membelah ke bawah semakin dalam semakin
bawah… hingga beradu dengan piring. Rieka menyerok… mengangkatnya lagi…
menyuapkannya ke dalam mulut. Oh… heavenly…
seseorang harus menggelindingkan Rieka dari surga. Jika tidak ingat siapa
di sekitarnya, Rieka ingin memejamkan mata dalam-dalam dan mendesah
panjang-panjang. Terlezat! yang pernah tercipta! di muka bumi! Setelah
terlontar ke langit Rieka turun sendiri dengan balon. Ia butuh sesendok lagi,
lagi, dan lagi, untuk menerbangkannya lagi, lagi, lagi, dan lagi.
“Enak?”
suara Dean.
Rieka
mengangguk.
“Entar
kalau kebanyakan gendut loh.”
Rasa
manis di mulut Rieka memudar.
Cowok
itu duduk tepat di seberang Dean, sementara Dean duduk tepat di sebelah
Rieka. “Ini kue apa, Deraz?” tanya Rieka dengan sikap yang dibuat sewajar
mungkin. Ia potong lagi kue itu sedikit. Semoga ia sanggup menghabiskannya.
“Sächsischer quarkkuchen mit streusel.”
Semua
memandang Deraz.
“Kue
keju,” ulang Deraz.
“Cuman
kejunya khusus gitu ya, Deraz?” Rieka mulai memerhatikan bagaimana Tante Dara
mengucapkan kata “khusus”.
“Iya,
pakai keju quark.”
“Hm…
Terus bahannya apa lagi, Raz?” sambung Rieka seolah ia pun hobi memasak kue…
sejak sepulang dari rumah ini nanti.
Deraz
pun mulai mengabsen. “…cuman kalau untuk tepungnya, saya pakai yang dari temen
saya. Nama tepungnya Weichweizen grieβ.
Kalau di Indonesia mungkin namanya… tepung semolina. Semacam tepung gandum
gitu.”
“Terus
kamu teh pernah bikin juga… apa itu teh yang kayak lapis legit tea… bomkusen?” tanya Dean.
“Baumkuchen,” Deraz menjawab.
“Lapis
legit tapi rasanya lebih ringan gitu, Ka,” imbuh Dean.
Rieka
berhasil menghabiskan sepotong kue itu, sekaligus tidak minta tambah. Apalagi
karena hidangan tersebut ternyata baru merupakan appetizer. Menu selanjutnya masakan Tante Dara, sangat berasa.
Dean mengambilkan Rieka sebanyak yang ia taruh di piringnya sendiri. “Jangan
malu-malu, Ka. Bunda sama Deraz tuh jarang di rumah, Ka. Mumpung lagi pada
masak, Ka. Kapan lagi, Ka?” Ya. Kapan lagi. Boleh dong bawa pulang kue buatan
Deraz. Rieka tidak sabar untuk berlari ke timbangan. Ya Tuhan, kuatkan aku
dalam menghadapi dilema ini. Aku tahu ini hanya sementara. Terjadi perang
kolosal dalam diri Rieka.
Makan
siang bersama usai. Rieka menawarkan diri untuk mencuci perabot, seakan
sudah biasa melakukannya di rumah sendiri padahal tidak. “Enggak usah,” kata
Tante Dara seolah Rieka belum layak melakukan itu. “Enggak usah,” kata Deraz
seolah pekerjaan tersebut “enggak Dean banget” apalagi untuk dilakukan oleh
pacarnya. “Enggak usah,” kata Dean karena sudah tidak sabar untuk mempertemukan
Rieka dengan Baby. Rieka sempat menengok ke dapur ketika Dean menggiringnya
ke ruang keluarga. Deraz yang mencuci semua!
Baby.
Piano Dean yang putih mulus. Sahabat Dean sejak SD. Rieka berusaha untuk beramah-tamah
dengan Baby senantiasa, selagi piano itu unjuk kemampuannya mengeluarkan
denting-denting merdu. Mata Rieka pada tuts pada jemari Dean pada wajah Dean
yang polos, setelah menangkap sekelebat sosok Deraz memasuki kamar mandi yang
terletak tidak jauh di samping depan. Telinga Rieka pada gemericik air. Mata
Rieka pada sosok Deraz yang keluar dari kamar mandi dengan titik-titik yang
membasahi ujung rambutnya, wajahnya, lengannya, kakinya… pipa celananya
tergulung hingga bawah lutut. Deraz memasuki ruangan di balik dinding di mana
Baby bersandar—kemudian Rieka tahu kalau itu kamar Dean dan Deraz. Deraz tidak
keluar lagi sampai Tante Dara mengajak Rieka berbelanja, sekalian mengantar
Rieka pulang.
“Sekalian
pamit sama ayah kamu, Dean?” bisik Rieka sementara Tante Dara menyiapkan
mobil.
“Ayah
mah lagi enggak di rumah, masih balapan di Jogja.”
“Oh…”
“Bentar
ya, Ka.” Dean melongok ke balik pintu itu. “Yaz… Rika mau udahan…” Deraz tidak
tampak. Rieka hanya bisa mendapati dinding yang putih dan sofa yang merah dan
rak yang cokelat dan selebihnya adalah pintu dan punggung Dean. Dean menutup
pintu. Senyumnya tipis. “Lagi enggak bisa diganggu. Introver kelas berat dia
mah di rumah.”
Oh…
Rieka
tidak menyesali keputusannya sedikitpun. Dean memang pacar yang tepat.
.
Akhirnya
Rieka kembalikan juga zine yang telah
begitu lama ia pinjam ke sekre LEMPERs. Sudah jarang Rieka mampir ke ruangan
tersebut, ia mengundurkan diri dari LEMPERs sejak menginjak kelas XI. Sekarangpun
ia mulai menonaktifkan diri di VG. Semakin hari semakin ia butuh untuk fokus di
akademis. Cukup jabatan di OSIS saja yang menjadi tanggung jawabnya, dan Dean
tentu saja.
Mumpung
letak sekre KOMBAS tidak jauh dari sekre LEMPERs. Barangkali Dean di sana, sedang
bercengkerama dengan teman-teman satu band.
Syukur-syukur sedang latihan. Rieka semakin dekat pada sekre yang hampir
selalu riuh itu, tidak di dalam tidak di luar. Dean tidak di luar. Pandangan
anak-anak KOMBAS yang di luar mengikuti sosok Rieka yang melongok ke
dalam.
“Cari
siapa, Ri?” sambut seorang cowok bertubuh besar lagi beranjak berewokan.
“Dean,”
“Oh…
Enggak di sini dia mah. Hm… Coba cari di sebelah, atau enggak di BASTARD.”
“Di
sebelah? Di BASTARD?”
“Eh…!
Di BASTARD itu maksud gue di Tenis Net. Anak-anak BASTARD biasa nongkrong di sana.”
“…di
sebelah?”
“ABS,
ABS…”
Tempat-tempat
yang begitu asing bagi Rieka. Sama sekali tidak terbayangkan Dean berada di sana.
Seorang cowok di pojok memunggungi Rieka. Asyik betul sama gitarnya! “Eh itu
Izar kan? tunjuk Rieka. Anggukan. “Zar… Izaar…” panggil Rieka, yang lantas
mendapat bantuan. “IZAR! WOEY!” Izar menoleh. “Enggak latihan?” tegur Rieka.
Izar menggeleng dengan heran. Mendapati warna tatapan Izar pun Rieka merasa
aneh. Seperti ada hubungan yang hilang. “Latihan sama Dean?” sambung Rieka.
Izar mengangkat bahu. Ah sudahlah. “Makasih ya…” ucap Rieka pada bang berewok
sebelum meninjau sekre sebelah.
Sekre
ABS tampak sunyi jika dibandingkan dengan dinamika di sekre KOMBAS. Pintunya
tertutup pula. Semula Rieka tidak yakin ada orang di dalam, sampai muncul
ledakan tawa. Rieka mengintip di kaca. Sekelompok cowok sedang menonton sesuatu
di laptop, membelakanginya. Tak satupun menyerupai sosok Dean, Rieka hapal benar
tubuhnya yang ramping lagi jangkung. Rieka mengetuk-ngetuk sampai seseorang
menoleh. “Ada Dean enggak?” Kepala cowok itu berputar-putar seakan Dean tengah
menyepi di sisi lain ruangan, lalu menggeleng.
Rieka
menghembuskan napas. Ia tidak yakin harus ke BASTARD eh Tenis Net. Ada
beberapa warnet di jalan di seberang SMANSON, Rieka tidak yakin letak Tenis
Net yang paling dekat atau yang paling jauh. Masih sekitar seperempat jam lagi
menuju jam dua—rapat Bazaar. Sembari berjalan tanpa arah yang pasti,
pokoknya menjauh dari area sekre-sekre, Rieka mengait-ngaitkan Dean dengan
BASTARD. Rieka pun memantapkan langkah ke gerbang, lalu menyusuri tepian jalan
di seberang sekolah.
“Tenis
Net”, tulisan di kotak yang tampak di kejauhan menjadi panduan bagi Rieka
dalam berjalan. Deru kendaraan yang hilir mudik begitu berisik. Namun Rieka
semakin dekat dengan tujuan, dan semakin jelas menangkap suara yang telah begitu
akrab dalam pendengaran. Ia sukar percaya. Suara itu yang dengan lancar
mencerocos.
“Enya an**** ceuk aing oge naon! An**** hahaha, go**** pisan lah maneh an****… Ayeuna
mah ceuk aing…”
Akhirnya
Dean melihatnya.
“Sakedap nya.”
Dean
mendekat. Rieka tidak melepaskan pergelangan tangan cowok itu sampai berhasil
mencabut puntung dari kepitan jari. Sekarang Rieka bingung membuang puntung
itu di mana. Tapi Dean yang terlebih dulu perlu diurus. “Kamu ngomong apaan
tadi sama…” Rieka masih sukar menerima kenyataan, “…temen-temen kamu?”
“Hah?
Ngomong…” Ujung bibir Dean berkerut-kerut. “Omongan cowok, Neng, itu…”
“Omongan
cowok? Omongan cowok itu apaa, hah?” Lagipula Rieka tidak sampai mencerna isi
omongan Dean tadi, karena yang lebih Rieka permasalahkan adalah, “bahasa kamu
tuh ya! Kamu bisa ngomong halus di depan orangtua aku, tapi enggak dijaga
sama sekali di depan orang-orang kayak gitu. Aku enggak sukaa! mulut kamu
kotor gitu!”
Dean
yang malang! Ia ikuti Rieka yang terus misuh-misuh sembari menjauhi Tenis Net,
mencari tempat sampah sebetulnya. “Aku juga kan udah bilang, aku tuh enggak
suka kamu ngerokok!” Selain itu tampang cowok-cowok di Tenis Net tadi seperti
yang doyan menyelundupkan miras, lalu minum ramai-ramai di manapun terserah
lah Rieka tidak peduli!, dan melakukan berbagai kegiatan negatif lain—Rieka
tidak bisa membayangkan tapi pokoknya negatif! “Kamu sering ya nongkrong sama
mereka?!” Dean terus didakwa.
“…ya…
ya…” Dean menjawab ragu-ragu.
“Udah
jujur aja. Jangan ngawadul sama aku…”
“…iya…”
Sejak
awal kelas X, Neng.
“Kamu
kalo cemburu jangan sama orang-orang kayak gitu, Neng…” cecar Dean karena ekspresi
Rieka yang pahit.
Tapi
Rieka sudah malas meneruskan. Lagipula tujuannya mencari Dean adalah lebih
untuk menanyakan, “Kamu enggak latian sama anak-anak Popeye?”
Tampang
Dean seperti linglung sesaat. “…udah enggak…”
“Udah
enggak?!”
“Iya.
Cocok-cocokkan atuh, Neng, nge-band mah…”
“Kamu
udah enggak cocok sama band kamu?”
“Enggak.”
“Lagian
kamu juga sih, lebih suka nongkrong di situ daripada latian!”
“Beneran
ih! Kita tuh kalau enggak cocok, ya udah…”
“…ya
udah aku enggak mau tahu lagi, aku mau rapat!” tutup Rieka. Dean tidak
mengikutinya lagi. Rieka juga tidak langsung mengikuti rapat. Biarlah
sementara notula rapat dipegang oleh sekretaris di kepanitiaan. Karena Rieka
kebetulan melihat Didi dan Bembem sedang jalan beriringan ke area
sekre-sekre. Rieka harus mengkonfirmasikan! Mereka pun mencari tempat untuk
duduk berhadapan. “Kalian enggak sama Dean lagi?”
Didi
dan Bembem bertukar pandang, lalu menjawab dengan kompak. “Enggak.”
“Kenapa?”
Rieka berusaha menyembunyikan nada protes.
“Ya
kita udah enggak satu visi aja.”
“Emang
visi kalian apa sih?”
“Lollipop
Rock.”
Rieka
mengernyit.
“Gini…
Di zaman postmodern gini kita tuh bebas
ngembangin genre apa aja. Elo tahu Olive Tree? Mereka bikin musik mereka tuh
genrenya Strawberry Rock. Terus elo tahu Kevin Aprilio? Princess?” O tentu saja
Rieka tahu. Rieka menyanyikan “Jangan Pergi” tiap malam, “Vierra? Dia tuh
kan katanya bawain Disney Pop gitu. Nah kalau kita sih, karena permen loli itu
ngewakilin filosofi kita, nah enggak ngerti tuh Dean itu, ngerti ‘filosofi’ aja
enggak…” jelas Bembem.
“Dean
itu bagus sih. Dia enggak eklektik,” imbuh Didi dengan suaranya yang seperti
anak kecil.
“Nah
makanya itu dia tuh enggak ngerti koridor.” Kedua tangan Bembem memeragakan
koridor.
“Gue
rasa dia bakat komposer, ngatur-ngatur komposisi,” sela Didi.
“Enggak
bisa diajak kerja sama dia. Sumpah individualis abis. Kita kan nge-band enggak gitu. Kita tim! Ya kalau
dia pingin kita ngehargain musikalitasnya dia, dia juga hargain musikalitas
kita dong.” Tangan Bembem terus bergerak-gerak.
Didi
bergeming.
“Lagian
kalau cuman piano mah Didi bisa kok. Dia juga pianis,” tambah Bembem.
Dean
menunggui Rieka di sisi luar ruang kelas yang digunakan untuk rapat Bazaar,
bangku keramik menempel di sana. Perkataan di pinggir jalan tadi belum
selesai. Usai rapat Rieka pun menghampiri Dean. Ia taruh tangan Dean di atas
tangannya.
“Kamu
tuh punya potensi, Dean. Biarpun enggak sama mereka kamu mesti terus maju,”
kata Rieka.
Deham
demi deham melalui mereka. Hiburan yang menggigit setelah perundingan yang
ruwet. Yang terlibat dalam Bazaar memang bukan cuman anggota OSIS. Sesaat
konsentrasi Rieka buyar karena lirikan-lirikan jahil dari para teman sejawat.
“Neng,
aku udah bikin band lagi.” Terbayang
kembali dalam benak Rieka anak-anak KOMBAS nan hipster sebagai rekan Dean berkreasi. Semangat tersuntik ke dalam
diri Rieka. Dengan ceria ia amati wajah Dean yang tenang. “Aku sama anak-anak
ABS mau bikin band jazz beraliran
Sunda, atau band Sunda beraliran jazz… mana we lah… Kita malah udah sampai langsung kepikiran namanya gitu,
Neng… Jazzunda[4].
Sekarang kita lagi mau ngaransemen lagunya Darso.”
Rieka
tercengang.
.
Band Dean
yang baru terdiri dari Dean selaku kibordis, satu orang desertir dari KOMBAS
selaku vokalis, satu-anak-KOMBAS-yang-dicomot-si-desertir selaku bassist, dan dua cowok lain yang menurut
Dean masing-masing jago memainkan gitar dan drum tapi menurut Rieka terlalu
minder untuk bergabung dengan KOMBAS. Si desertir dan temannya yang setia
semula berasal dari band cadas. Dua
orang lainnya adalah penggemar tembang Sunda yang mendengarkan tembang jazz hanya ketika berada di
supermarket. Pengetahuan Dean akan jazz
pun bergantung pada apa yang Deraz putar di kamar, atau simpan di iPod.
Rieka
pun menyaksikan mereka latihan di studio sewaan, karena diajak Dean. Rieka
tidak bisa menilai permainan mereka, karena, sekali lagi membenarkan
perkataan Ipong, Rieka hanya mampu mengapresiasi lagu-lagu yang dibawakan
Zooey Deschanel dan girlband. Namun
dalam perspektifnya yang awam Rieka merasa band Dean sudah layak tampil di selasar Kabita. Mereka bisa memainkan
satu lagu secara utuh, tanpa drumer ketinggalan tempo, vokalis lupa nada, bassist tidak ritmis, ataupun gitaris
sesat melodi. Kalaupun kibordis salah pencet tuts, siapa yang tahu? “Itulah jazz, Neng, tiap instrumen bisa menjadi
dirinya sendiri,” kata Dean yang mengutip kata Deraz semalam.
“Jadi
kapan kalian tampil di gig?”
“Tampil
di gig?” Seolah tidak pernah ada dalam
bayangan mereka.
Iban
dan Gito yang sudah berpengalaman dengan KOMBAS pun tidak terpikir. Iban sudah
tidak acuh dengan KOMBAS. Bagi Iban, KOMBAS berarti mantan ceweknya. Dalam
keadaan emosional karena habis putus dengan sang eks yang juga anak KOMBAS
Iban memutuskan untuk keluar dari KOMBAS sekalian, begitu kata Dean. Sedang
Gito yang masih aktif di KOMBAS menganggap dirinya hanya pemain pelengkap, band di ABS adalah sampingan yang bisa
ia tinggalkan sewaktu-waktu apabila pemain pengganti telah ditemukan.
“Neng
da kita mah band suka-suka aja. Suka lagu Sunda, suka ngeksplor yang baru…”
Dean kemukakan terus pleidoi atas kelembaman band-nya, sementara Rieka bergeming.
“Yan…
Gini loh… Kalian punya potensi itu tuh bukan untuk disembunyiin. Kalian punya
kemampuan, kalian punya keunikan, tunjukin kalau kalian tuh ada—eksis.
Apalagi entar yang kena imbasnya juga bukan cuman kalian aja…” Rieka cari lagi
kata-kata bagus untuk diucapkan. “Apalagi kalian kan, apa itu namanya, band Sunda. Tongkrongan kalian aja di
ABS. Kalian tuh… apa ya, bisa semacam
duta kebudayaan Sunda gitu di SMANSON. Kalian bisa ngangkat nama ABS…” yang dalam
pandangan Rieka memang bukan ekskul yang eksis. Sekre tidak ramai, latihan
jarang kelihatan, prestasi tidak kentara. Dibandingkan dengan anak-anak KOMBAS
yang begitu gempita bahkan cenderung eksentrik, ABS bak sekumpulan anak
baik-baik—alim lagi low profile—walaupun
yang Rieka tahu hanya sebagian besar cewek ABS berjilbab. “Ya udah. Sekarang
kamu coba dulu ajakin temen-temen kamu buat nampil, abis itu kamu tanya-tanya
sama yang ngurusin gig selasar.
Setahu aku masih anak KOMBAS yang pegang, Gito-Iban gitu mesti tahu deh.”
Dean
yang penurut. Dean yang mengadu. Dean yang nestapa karena keterampilannya memersuasi
tidak selancar biasa.
Pada
suatu jam istirahat Rieka pun bersimpuh di atas karpet hijau di dalam sekre
ABS. Di sekelilingnya adalah Dean, Gito, Iban dan beberapa pentolan ABS
termasuk dua personil lain band Dean.
Tidak satupun cewek, ternyata para cewek ABS hanya mendatangi sekre
seperlunya.
“Jadi
gini, Neng, Rieka, saya teh udah cari
manajer gig KOMBAS, bareng si Gito,
ya, Gito?” Gito mengiyakan. “Terus kita bilang… kita dari ABS mau tampil…”
“…makanya
gue bilang juga jangan pake nama ABS, Yan,” sela Gito.
“…ya…
masalahnya kan dulu teh pernah ABS juga
tampil di selasar, ya, Depid, ya?” Depid yang bermata sipit mengangguk. “Dulu
tuh KOMBAS pernah bagi-bagi jatah gig.
Sebenernya mah buat KOMBAS aja, cuman waktu itu KOMBAS teh pake sekrenya ABS da
enggak cukup di sebelah. Anak-anak ABS lagi keluar, si Depid masuk, nimbrung
KOMBAS we, terus Depid ngajuin ABS
buat tampil juga. Da boleh waktu itu
mah. Malah kita dikasih jatah banyak gara-gara nampilin Arini tea.”
“Arini?”
“Jaipongan
gitu si Arini,” jawab Satria, yang personil band Dean.
“Kayaknya
waktu itu tuh ABS udah dikasih. Sekali, seminggu. Cuman enggak tahu gimana kelanjutannya,
da sayanya udah jarang ke sini lagi
habis itu mah, hehe…” ujar Dean si free
rider. “Terus gimana kelanjutannya, Dep?”
“Ya
gitulah, Yan… biasa…” Depid menunduk lagi.
“Da kita mah sok kitu da. Gagasan we loba,
tapi realisasina, heu… apeu,” ucap Deding yang kini ketua ABS.
“Kamari teh, naon nya, ceunah rek mawakeun
Adele make calung. Terus Adele rek di-Sunda-keun, kolaborasi
sama KOMBAS.”
Dean
tertawa ditahan seraya menunjuk-nunjuk Depid. “…si Depid nyanyi lagu Jet Li tea…”
“…tapi pas latihan, pada ka marana…?” lanjut Deding.
“Terus
yang sekarang ini masalahnya apa?” Rieka coba mengarahkan pembicaraan.
“Ya
ABS enggak bisa dapet jatah gig,”
kata Dean.
“Enggak
bisa atau belum bisa?”
“Jadwal
gig KOMBAS tuh udah diatur sampai
satu semester ke depan, Ri,” ganti Gito yang bicara. “Coba elo bayangin,
KOMBAS itu nampung berapa band di
SMANSON, gue enggak hapal persisnya berapa, si Anto tuh, manajer, yang tahu,
udah gitu kan semua mesti dikasih jatah. Seenggak-enggaknya sekali lah kalau
masih newbie mah. Dan sehari cuman
bisa nampilin berapa… lima paling… Selebihnya mah jam doang. Mau jam juga,
elo tahu, Ri, tempat duduk di selasar tuh anak KOMBAS aja rebutan
ngedapetinnya. Belum alat musiknya. Gitar meureun
bisa bawa sendiri. Tapi kan kibor, drum, repot… Sound system? Nah ABS mau
nyela gimana… Enggak bisa tiba-tiba.
Kalau perlu ABS ngikutin pembagian jatahnya dari awal… Tunggu semester
depan!”
“Enggak
bisa kayak gitu!” sentak Rieka. “Asal kalian tahu aja, selasar tuh BUKAN PUNYA
KOMBAS. Selasar tuh yang punya
sekolah. Setiap siswa berhak make selasar, dikoordinir lewat ekskul masing-masing.
Jadi seharusnya tiap ekskul bisa punya jatah buat make selasar. Ini tuh udah diomongin
di OSIS dari lama.” Kerja kabid VIII
enggak beres nih, keluh Rieka dalam hati. “Masalahnya, selama ini tuh cuman
KOMBAS aja yang punya inisiatif make. Jadi ya wajar aja kalau lama-lama mereka
ngerasa selasar itu milik mereka, dipake segimana mereka. Tapi harusnya
enggak gitu dong. Bagi-bagi juga sama yang lain, karena itu tuh hak bersama.
Seenggaknya ekskul lain juga punya hak buat tampil sekali-kali. Makanya kalian
tuh jangan ngendon aja di sekre. Eksis dong, EKSIS!”
Para
cowok tertegun!
“Sekarang
kalian udah punya band! Band kalian mesti tampil! Enggak cuman
buat ABS, tapi juga buat nunjukin ke ekskul-ekskul lain kalau selasar bukan
cuman punya KOMBAS!
“Elo,
Git, biarpun elo anak KOMBAS, tapi seenggaknya elo ada respek lah sama
kawan-kawan elo di ABS ini… Ban, bantuin atuh
itu si Gito. Kalian ngomong lagi sama manajer kalian…”
“Kok
kita sih, Ri?” protes Iban.
“Ya
elo bantuin temen-temen elo di ABS. Kalian juga, anak-anak ABS, ramein sekre
kalian. Kalian latihan aja enggak pernah keliatan…”
Banyak
alasan yang bisa dikemukakan sehingga Deding hanya bilang, “Wah, itu rumit masalahnya,
Ri…”
“Kenapa
enggak elo aja sih, Ri? …iya, elo… Yang tahu masalahnya juga kan elo. Da kita mah di KOMBAS juga cuman tahu
latihan, tampil. Soal ngatur-ngatur gig
mah, aah… lieur! Enggak ngerti kita
juga! Tapi kan elo OSIS, Ri. Istilahnya mah yaa pejabat lah, pejabatnya
kita-kita. OSIS kan yang ngatur ekskul-ekskul. Elo yang punya kapasitas buat
mikirin seluruh siswa, dan elo mau ngapain pun ya elo punya wewenang untuk itu.
Ya terus gimana lah caranya, kayak yang elo bilang tadi, biar ekskul-ekskul
bisa gantian tampil di sana,” tukas Gito.
Rieka
geram. Betul! Ia yang harus bertindak! Cowok-cowok ini payah! Semua cowok
payah!
.
Betapa
gembira sang sekum ketika menemukan kabid VIII di sekre OSIS. Semula hanya
jambul keritingnya yang tampak di antara puncak-puncak kepala yang lain, tapi
Rieka tahu pasti itu Ipong! Sebagai pegiat VG sejak SMP hingga SMA Rieka pun
tahu bagaimana harus mengatur intonasi kala memanggil cowok itu. Intonasi yang
terus ia pertahankan hingga mengungkit sebuah proker yang terlupakan.
SMANSON BERSENI.
“Oh…
itu… kata siapa terlupakan?” Ipong mengutak-atik arsip catatan dalam smartphone miliknya. “Itu udah saya
serahin ke Ajeng, manajer KOMBAS. Laporan dari Ajeng sih… dia katanya udah
ngumpulin ekskul-ekskul. Tapi cuman sedikit yang dateng. Keputusannya waktu
itu… belum ada keputusan. Ya udah selasar dipegang lagi sama KOMBAS.”
“Enggak
bisa gitu…” sergah Rieka, menarik tatapan dari orang-orang di ruangan. “Tujuan
kamu enggak tercapai dong. Kamu enggak bisa cuman lempar tugas ke orang lain,
terus setelah enggak jalan, enggak sesuai keinginan kamu, ya udah aja, kamu
enggak ada campur tangan lagi buat ngubah keadaan itu.”
“Beuh,
Ka, kamu pikir saya enggak banyak kerjaan lain apa? Ini kita Bazaar banyak
yang kudu diurus tahu enggak?” Rieka
memberengut. Ipong sok sibuk! Padahal para pengurus OSIS sepakat untuk tidak
memilih kabid VIII sebagai ketua panitia Bazaar dikarenakan terlalu
“nyeni”—saking abstrak gagasan-gagasannya sampai susah diwujudkan! Sambung
Ipong dengan suara merendah, “Emangnya elo, mangkir dari VG…” yang sekaligus
memberitahukan bahwa dirinya masih aktif di ekskul tersebut, plus KOMBAS!
Kurang sibuk apa lagi tuh?!
“Gini,
Pong, saya tuh habis ngobrol sama anak-anak ABS…” Rieka menurunkan lagi nadanya.
“Ngapain
sama anak-anak ABS? Bahasa Sunda aja elo enggak fasih…” Ipong kembali mengarahkan
perhatian pada ketikannya di notebook.
“Iiih…
dengerin dulu!” Ipong menoleh lagi dengan sok sabar. “Mereka tuh ada rencana penampilan
gitu loh, Pong, pinginnya pake selasar, tapi anak-anak KOMBAS bilang kalo
jadwal mereka di selasar udah penuh, anak ABS enggak bisa masuk. Ini gimana,
kok selasar jadi kayak monopoli KOMBAS gitu sih?”
“Ya
emang gitu aturannya di KOMBAS kali,” imbuh Kabid VI yang aktif di KOMBAS saat
kelas X. “Udah lama juga kali di sekolah kita berlakunya kayak gitu.”
“Tapi
kan sebetulnya selasar bukan cuman milik KOMBAS. Itu tuh punya sekolah, hak
umum. Tiap ekskul harusnya bisa make.”
“Iya
saya juga awalnya pingin gitu…” kata Ipong yang multi talented. Ia sudah ketak-ketik lagi di notebook.
“Ya
itu mah terserah mereka aja. Kalau emang mereka enggak ada rencana tampil di sekolah
sendiri masak mau dipaksa,” Kabid III yang menyambi di TERSONO nimbrung. Ia
mengerti jadwal ekskulnya, dan betapa mempersiapkan pertunjukan di suatu
tempat tidak semudah menontonnya.
“Iya…
Tapi jadinya kan selasar monopoli KOMBAS gitu,” Rieka keukeuh. “Anak ekskul lain mau ngedadak pake enggak bisa. Mesti
izin KOMBAS dulu. Mestinya mah ke kamu aja lah, Pong, kamu yang ngatur. Kudunya kamu netral! Mentang-mentang
kamu anak KOMBAS… Enggak adil tahu enggak! Nepotisme itu namanya!”
“Ya
Allah, Ka, jadi kamu maunya gimana?”
“Ya
kamu kumpulin lagi ekskul-ekskul… sama kamu sendiri! Kamu gali minat mereka.
Kalau perlu kamu enggak usah peduli mereka mau tampil apa enggak, kasih jatah
aja, kasih mereka kepercayaan, tanggung jawab buat ngisi, kayak yang kamu
omongin kapan itu, Pong, biar mereka lebih termotivasi…”
Ipong
bergeming. Begitupun yang lain.
“Ya…
Jaka, ya?” mohon Rieka dengan menggunakan panggilan Ipong di rumah.
“…Jakaa…!”
seru Mitratama menirukan suara Mama Ipong, saat para pengurus OSIS dijamu di
rumah Ipong pada suatu Minggu siang dengan nasi timbel komplet lalapan. Tidak
dinyana cowok berambut lurus itu juga mengikuti pembicaraan, padahal
lagaknya sedang asyik menyimak tontonan di PC sekre.
“Udah
turutin aja, Jak, emang sekretaris sejati si Rika tuh, yang udah lama masih
dia inget-inget aja…” tukas Mitramuda I, sebelum kembali ikut menonton anime yang disetel Mitratama.
“…hm,
terus elo ingetin lagi ke gue…” sambung Ipong seraya tersenyum pasrah. Apa sih
yang enggak buat kamu, Rieka?
“Makasih,
Jaka…!” seru Rieka dengan riang.
“Eh,
‘Aturan Mitratama’!: mulai sekarang kita panggil Ipong si Jaka yuk,” sumbar
Mitratama.
“Ogaah…!
Embung siah, tong lah!” ribut Ipong.
Apa
sih yang enggak buat kamu, Rieka, walau Rieka harus menunggu sekitar seminggu
hingga Ipong dapat memberinya kabar. Di sekre OSIS yang sedang rada senyap mereka
bertemu lagi.
“Kamu
tahu enggak, saya… deuh asa cangkeul
kieu ah ngomong pake ‘saya-kamu’…”
Kabid VIII menepis lirikan Mitratama selaku pembuat aturan, “…elo tahu enggak
gue satu jam sendiri sama si Ajeng, ngedebatin jadwal gig KOMBAS yang kudu ditata
ulang…” Kabid VIII mendesah keras-keras.
“Terus
jadinya gimana?” namun Sekum tetap antusias mengikuti.
“Enggak
bisa PJ tiap minggu sih ekskul-ekskul tuh, paling ya occasional aja… Nah… itu yang gue enggak seneng dari mereka tuh,
nawarin gitu tapi jadwal belum ada yang pasti. Mencak-mencak lah si Ajeng…
sama gue! Ah shit gue jadi kudu bikin DADANG khusus bidang gue aja
lah jadinya… Dengar Pendapat Antar Ekskul—DENGKUL!” Mitratama tertawa. Sekum
terkikih. “Da yang gitu mah kan
berarti kudu diomongin rutin…
Makasih, Ka, nambah-nambah kerjaan gue aja elo.”
“Sok gue mau bantuin apa atuh? Jadi sekretaris pribadi elo?”
“Hehe,
enggak usah. Pijetin gue aja.”
“Hm…
Keenakan tuh…”
“Alah
daripada elo pijetin Dean, eusina ngan tulang
hungkul.”
“Ka,
Ka, ini kop kamu pindahin ke mana?” sahut Mitratama.
“Ih…
Alf… Biar saya aja yang ngerjain itu mah…”
Hingga
kabar menggembirakan Rieka dengar langsung dari Dean.
“Neng,
sehari penuh buat ABS!”
Rieka
memekik walau ia sudah tahu keputusan itu sebelumnya dari Ipong.
“…padahal
yang mau tampil kan tadinya Jazzunda doang…” Semula yang mereka inginkan hanyalah
sekadar jadi selipan di tengah gig KOMBAS,
tapi apa daya, Kabid VIII begitu murah hati dan manajer KOMBAS pun (sebetulnya
dengan terpaksa tapi perwakilan dari ABS tidak ngeh) merelakan, ABS malah
mendapatkan paket istimewa tersebut. Selasar akan menjadi milik mereka selama
sehari penuh! “Yah paling entar tambah iklan-iklan lah biar enggak dikit-dikit
amat suguhannya…”
Tapi
euforia itu dimanfaatkan benar oleh ABS. Memang tidak pakai potong tumpeng
segala. Ketua ABS mengumpulkan seluruh orang yang terdaftar sebagai anggota
ABS, yang masih berstatus siswa dan siswi SMANSON—akhirnya Rieka bisa membuktikan
bahwa sebagian besar cewek ABS memang berjilbab! Para senior yang sudah alumni
pun diminta untuk melatih, karena guru pembina sudah dimutasi. Segala calung,
karinding, kacapi, angklung, dan suling dibersihkan dari debu dan dimainkan
kembali. Ini akan menjadi semacam Festival Musik Sunda!—dadakan!—waktu yang
tersedia kurang dari sebulan! Bagaimanapun Rieka lebih senang melihat Dean
turut mengaransemen gending di sekre ABS, ketimbang merokok dan omong kotor di
pelataran Tenis Net. Para pengurus ABS mulai memperlakukan Rieka dengan hormat
bak seorang ibu, padahal maksud Rieka menyambangi sekre ABS sekadar untuk
memantau Dean! Percengkeramaan dengan mereka, walau sebentar, menambah sedikit
perbendaharaan Rieka akan bahasa Sunda.
Hari
Kebangkitan ABS pun tiba. Cowok-cowok ABS mengenakan pangsi dan totopong sepulang
sekolah, yang cewek-cewek menyesuaikan. Untuk menjaga minat penonton, ABS
menyelipkan jaipong dan bobodoran setiap
beberapa kali penampilan sebagaimana Kabid VIII memanfaatkan pesona Kabid
I di OJOMBAS. ABS hanya menggunakan satu jam dari dua puluh empat jam yang disediakan,
tapi besar harapan ABS untuk tampil optimal hingga penonton ketagihan. Lalu
ABS bakal diminta untuk tampil lagi dan lagi. Aamiin…!
Oh
hari yang menyenangkan untuk Rieka. Jumlah anak SMANSON yang menyaksikan pertunjukan
ABS berubah-ubah, tapi secara keseluruhan relatif memuaskan. Itupun belum
termasuk guru-guru dan para karyawan di sekolah, bahkan para pedagang di
Kabita—Dean bilang kedekatan dengan mereka harus dimanfaatkan! Tidak lupa
Rieka menugaskan gengnya di LEMPERs untuk berkoar-koar: Iban bakal tampil
bareng ABS—iya!—Iban yang beda tipis lah sama Kevin Aprilio itu!—yang suaranya
sekasep mukanya—hyaaa! Reaksi
penonton kadang khidmat kadang semarak, tergantung apa yang sedang
ditampilkan.
“Ah…
seneng saya mah, Neng, ini lebih baik dari tahun lalu…” komentar Dean. Cowok
itu menyempatkan diri menghampiri Rieka, yang terus mengawasi pertunjukan
dari seberang selasar. Dalam pandangan Rieka Dean terlihat tampan dengan pangsi dan totopong dan… sandal gladiator! Demi apa?! Demi tarumpah yang tidak berhasil Dean temukan
di rumah Enin, padahal Ayah bilang masih menyimpannya. Rieka pun tidak sempat
mencarikan, waktu sudah terlalu mepet ketika Dean melaporkan.
“Udah
sana, bentar lagi kan penampilan kamu…” Rieka mendorong punggung Dean. Dean
yang penurut. Padahal baru saat itu Dean sempat mengunjungi Rieka, sebelumnya
ia ikut wira-wiri bersama para seksi sibuk. Tapi tangan Dean ditarik lagi,
“Sini…” hingga setengah badannya condong ke bawah. Rieka berjinjit. Dengan
kilat ia kecup pipi Dean. “Sukses yaa…” Dean cengengesan, lalu bergegas,
tidak lupa menabrak orang.
Kabid
VIII mampir. Ia berdiri di samping Rieka dengan kedua tangan masuk ke saku
celana.
“Gimana
tadi rapatnya?” tegur Rieka.
“Amburadul
kayak biasa,” jawab Ipong tanpa kesadaran bahwa ia termasuk oknum yang biasa
bikin amburadul.
Penampilan
pamungkas yang dinanti-nanti (Rieka) pun tiba. Alat-alat musik tradisional
telah disingkirkan, digantikan para cowok yang mengaku (atau memang) tampan.
“Iban! Ibaan…!” groupies Iban masih
siaga—akhirnya… desas-desus Iban bakal tampil itu bukan lagi rumor! Mereka
tidak lagi merasa dijebak agar menyaksikan penampilan ABS hingga tuntas. “Kumaha damang, sarerea?” suara Iban yang
berat bergema, lantas memancing hiruk-pikuk. Setelah beberapa kalimat
basa-basi dalam bahasa Sunda, yang memberitahu penonton bahwa ia memang telah
hijrah dari cadas ke… jazz…? …musik pun mulai mengalun. “Kaseureud” semula dibawakan oleh Darso dengan instrumen calung. Namun
kali ini pukulan-pukulan bambu digantikan improvisasi tuts dan senar, plus
permainan drum yang lembut. Rieka rasa sekarang ia bukan hanya bisa
mengapresiasi… apapun pendapat Ipong… tapi juga jazz! lagu Sunda! apapun deh!
Dean tampak bermain dengan tenang, tanpa menunjukkan sedikitpun kesalahan,
setidaknya tidak kelihatan.
Rieka
menoleh pada Ipong, yang berparas khas jejaka Priangan lagi mengaku gemar jazz. Seharusnya ekspresi Ipong menunjukkan
ketertarikan… bukan cemberut seperti itu!
“Aw…
Ibaan…!”
Penonton
menjerit-jerit ketagihan.
“Lain
kali kalo urusan sama cowok elo yang itu jangan libat-libatin gue lah.”
Tentu
saja Jazzunda sudah menyiapkan lagu(-lagu!) tambahan!
“Cowok
elo adalah orang yang sangat beruntung…” seruan-seruan, “…bisa deket sama
orang kayak Deraz dan elo…” pekikan-pekikan, “…buat manfaatin gue.”
“Saterasna… ‘Mobil Butut’ ti Bungsu Bandung!” Iban membahana.
Di
luar Ipong tanpa emosi. Tapi toh Rieka terseret ke dalam. Ikut teraduk-aduk.
“Tapi
‘Rumasa’ heula nya. Spesial buat Nova XI IPS 2.”
Penonton
gempita.
.
Jazzunda
bubar baik-baik segera setelah “Festival Musik Sunda” berlangsung sukses.
Dalam syukuran ABS yang diisi dengan awug, colenak, bajigur, dan bandrek,
sementara hujan mengguyur pelataran sekre, Iban pamit untuk mudik ke KOMBAS
dengan Gito serta. Sangat disayangkan, walau diikhlaskan. Lagipula Satria dan
Awan selaku dua personil lain dalam Jazzunda (yang kemudian resmi almarhum)
telah memiliki konsep untuk membentuk band
yang baru.
“Sebetulnya
mah si Iban teh balikan lagi sama
ceweknya. Kan sebelum tampil teh si
Iban bilang sama si Nova, ‘liat di gig
ABS entar’, ya udah we si Nova
dateng… dan si Iban teh terus
seolah-olah nyanyiin ‘Kaseureud’
buat si Nova, padahal mah lagu itu juga saya yang milihin… buat kamu…” jelas
Dean pada Rieka, dalam suatu kesempatan mengiris steak sembari menyeruput smoothies
bareng.
“Duh
sayang banget… Padahal audisi band buat
Bazaar kan udah dibuka. Tadinya aku ngeharapin kalian bisa ikutan itu…”
Rieka sangat menyesali. “Enggak bisa dobel gitu Iban sama Gito?”
“…enggak.
Mereka mau fokus di band yang satunya
ceunah, da yang itu juga udah mati segan hidup tak mau…”
“Kamu
masih sama Satria sama Awan?”
“Ah
konsepna oge teu jelas keneh… Ah
ya udah lah, Neng, bisa tampil di yang kemarin aja kita mah udah
alhamdulillah, da seneng-seneng aja
semuanya juga…” Dean kembali sibuk memotongi daging.
“Kamu
tuh bisa enggak sih lebih ambisius dikit?”
Dean
mengangkat kepala—bungkam.
Rieka
menghembuskan napas.
“Kemarin
kamu bilang katanya dulu ABS sempet dikasih jatah banyak,” lanjutnya.
“Iya…”
Dean pun lanjut melahap potongan kentang. “…gara-garanya jaipong itu sih.
Cuman dulu tuh banyak yang protes. Ya udah kita coba tampilin yang biasa aja,
tapi pada kurang apresiatif gitu. Sempet anak-anak ABS tuh udah males juga…
ya… tapi akhirnya semangat lagi sih… habis… itu… coba geura band-nya Deraz
yang bawain lagu Sunda.”
“Pernah
gitu?”
“Pernah…”
“Deraz
bukannya seleranya indie Barat atau
yang jazzy gitu ya?”
“Ya
saya yang milihin lah… Dulu itu pake ‘Wayahna’.
Rame lah. Masak waktu itu enggak nonton sih, Neng?”
“Enggak.
Pas istirahat atau pulang sekolah?”
“Lupa…
Pokoknya rame we, sampai yang nonton
pada ikutan nyanyi gitu, padahal belum tentu tahu tea lagunya. Si Ipongnya juga atraktif sih… Bisaan lah dia!
Komunikatif, gitu, kan kalau di panggung dia mah… ngajakin… ‘hayuk, bareng…’”
Dean memeragakan. “Udah tua entar pasti jadi kakek-kakek lincah.”
“…Ipong?”
“Iya!
Anu leutik tea… hehehe… siapa lagi… Band-nya kan isinya cuman itu-itu aja
mereka mah, enggak pernah ganti-ganti orang. Deraz. Ipong. Bram. Adip. Yoga.”
“Entar…
entar… jadi gimana ceritanya sih… Kamu yang minta band-nya Deraz buat bawain lagu itu… buat ABS?”
“Mau
ABS mau bukan—”
“Demi
apa…?”
“Aku
mah gemes aja da, Neng, yah, orang,
lama tinggal di Bandung, tapi enggak bisa ngehargain lagu-lagu Sunda gitu.
Mikirnya teh musik kampung, padahal
pas si Deraz dekaka yang bawain yaa ikut seru-seruan juga… Akhirnya kan emang
anak-anak ABS jadi semangat lagi… soalnya kan yang nonton juga jadi seneng
sama lagu Sunda. Tapi ya cuman sekali itu aja sih band-nya Deraz main… setelahnya mah kan tergantung sama
anak-anak ABS-nya…” Rieka masih terdiam. Dean menyambung, “Ya kayak si Ipong
itu aja, sama kayak kamu kan, Neng, Sunda asli dia tuh,” Rieka mengiyakan, “…tapi
ya akhirnya dia mau juga sih… Deuh adeuh Ipong…” Dean terkekeh sendiri. “Lucu da eta budak teh. Coba kalau dia di ABS
juga, jadi ekskul laris meureun.
Lagu apa aja gitu dia nyanyiin, orang yang asalnya enggak tahu ya bisa enak aja
gitu dengerinnya.”
Rieka
tersenyum. “…tapi sentimennya kayak cewek…”
Dean
tertawa, “…lucu yah…” agaknya gemas sekali dengan Ipong. “…iya, yang pas dulu
itu juga nyanyi ‘Wayahna’ yah, dia
bisa sampai ngelengking tinggi kayak cewek gitu, nyaring banget…”
“Ngondek
sih enggak, tapi kalau udah ngomel-ngomelnya itu loh…” imbuh Rieka tanpa disertai
nada sebal sedikitpun.
Itulah
obrolan terakhir Rieka dengan Dean sebelum pertemuan-pertemuan berikut, yang
mana saking sempit waktu mereka hanya sempat berkata pada satu sama lain…
“OSIS
kayaknya sibuk banget yah…”
“Aku
enggak suka kamu nongkrong sama BASTARD terus…”
…lalu
Rieka kembali berkutat dengan anak-anak OSIS sementara Dean bersenda gurau
dengan anak-anak BASTARD.
.
Bazar
SMANSON dihelat. Mereka pun tidak ada untuk satu sama lain. Malam yang sama.
Lokasi dan suasana yang beda. Rieka berjaga di area parkir SMANSON dalam hingar
bingar dan warna-warni, menerima sms dari Dean yang telungkup di sofa dalam
pengawasan ibunda.
Mengerjakan
PR Akuntansi.
Meratapi,
“Neng! Kenapa tiap kali Bazaar pas Bunda lagi ada di rumah juga sih?!”
Hibur
Rieka, “Enggak apa-apa, Ayan... Masa depan kamu lebih penting.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar