Selasa, 25 Desember 2012

IX. Affair

Rieka tidak serta-merta melupakan Tito ga­ris miring Oon sejak kehadiran Dorita. Memang meng­asuh dua anak itu merepotkan! Kali pertama Ri­eka memahami perbedaan karakter. Yang satu lin­cah, doyan menjatuhkan barang, yang lain an­teng. Yang satu cerewet, tidak henti mengeong, yang lain bungkam. Yang satu bisa mencecap susu, yang lain membiarkan wajahnya basah. Yang satu ba­nyak pup, yang lain bersih selalu. Dorita suka pup di tempat yang bersih. Rieka menjerit ketika men­dapati pup di wajah Tito itu Oon, yang se­ka­li­gus menjadi kali terakhir Rieka melihat badutnya. Ri­eka tidak sudi menyentuh boneka itu lagi.

.

Tidak diragukan lagi. Ada sesuatu di antara se­joli paling hangat se-SMANSON raya—mereka ti­dak lagi hangat! Tidak ada lagi adegan saling meng­ga­mit, rangkul-merangkul, siapa tiduran di pang­ku­an siapa. Masing-masing bawa kendaraan sendiri, pu­lang sendiri. Dunia tidak lagi terabaikan. Dunia kem­bali milik bersama. Wabah penyakit hati di SMAN­SON berangsur-angsur pulih. Para cowok yang dengki tidak lagi memerlukan plang bertulisan “DILARANG PACARAN! MENGGANGGU STA­BI­LI­TAS HATI!”, dan mereka siap untuk ber­kom­pe­ti­si. Tidak saja cowok kelas XII, cowok kelas XI pun ter­tarik untuk menguji nyali. …tunggu dulu! Me­mang sudah pasti sang kembang adalah mantan sek­um, tapi mantan… si… itu…? Belum ada per­nya­ta­an resmi! Status mereka di Facebook masih: Me­ni­kah. Itu mah pada malas buka Facebook kali me­re­ka, jadi statusnya juga belum diubah… Ke­sen­jang­an antara dunia maya dan dunia nyata menjadi jelas. Tapi tetap saja! Diragukan lagi.

“Udah dicerai Om Dean apa belum sih kamu teh?” maka mereka yang dianggap sekadar pe­ra­mai-penggembira oleh Rieka itupun bertanya-ta­nya.

Rieka hanya melengos dengan congkak.

“Gue bilang juga apa. Pas Deraz pergi, pergi ju­ga perasaan elo sama Dean.”

Untuk yang ini Rieka tidak bisa tidak acuh.

Ia pastikan dalam radius satu meter tidak ada lagi orang selain… Ipong. Mulut Ipong bahkan ha­nya sepuluh senti—setelah dibulatkan—dari te­li­nga­nya, sebelum menjauh.

Kadang sendiri itu menguntungkan. Seramai ini di Kabita dan ia sendiri. Demi apa… Kadang Ri­eka ingat kalau sebenarnya ia memiliki banyak te­man, pernah, namun sudah begitu lama ia ke­sam­ping­kan. Dan hingga sekarang mereka betah di sam­ping. Rieka sedang tidak ingin menyamping. Te­man-temannya yang cewek, tiap kali ia melihat tu­buh mereka ia bertanya-tanya apakah ada di an­ta­ra mereka yang juga pernah mengalami sensasi itu… dengan seseorang. Tidak usah iri pada Rieka yang pernah, Rieka iri pada mereka yang belum per­nah, dan Rieka tidak iri pada Kak Mita yang ti­dak saja pernah tapi rutin.

“Ini enggak ada hubungannya dengan itu,” ka­limat pertama Rieka untuk Ipong setelah be­be­ra­pa bulan.

 “Enggak ada hubungan… terus emang ke­na­pa elo sama Dean?” Kedua lengan Ipong bertopang pa­da di meja. “Apa udah ada yang nge-bully elo ga­ra-gara kedeketan elo sama Dean…” …yang paling se­ring jadi alasan bagi Rieka untuk putus dengan pa­ra pacarnya semasa SMP, yang rata-rata kakak ke­las. Ipong mendengus. “Ah tapi kayaknya enggak mung­kin deh.”

Ipong juga kenal Anne sejak SMP, dan mung­kin Ola sejak SMA, tapi cuman Rieka yang bi­sa merasakan tusukan dari tatapan mereka. Ke­dua­nya melintas di depan penjual zuppa-zuppa. Asal elo tahu, gue korban, balas tatapan Rieka, namun me­reka begitu saja berlalu. 

“Enggak pulang, Ri?” ucap Ipong akhirnya, ka­rena Rieka tidak menjawab. Cowok itu pun du­duk di samping Rieka.

“Nunggu Pak Sam.”

“Elo bukannya udah bawa mobil sendiri?”

“Entah ya, Pong. Gue rasa bawa kendaraan sen­diri di Bandung ini kalau enggak perlu-perlu amat itu… konyol. Elo stres di jalan gara-gara ma­cet, panas, semrawut, padahal elo bagian dari pe­nye­bab stres itu sendiri. Ya mending gue disetirin deh, tinggal tiduran, ngerjain yang lain…”

Ipong tersenyum.

Rieka yang veteran OSIS notabene calon ma­ha­siswi di PTN. Sepulang sekolah yang biasa diisi ra­pat kini digunakan untuk mengerjakan soal-soal di buku tebal.

Ipong bergeming di samping Rieka, hingga Ri­eka pergi, atau hingga Kabita sepi. Pak Sam ma­sih berkeliaran dengan tugas dari Mama Rieka. Ri­eka belum pergi saat Kabita cukup sepi bagi Ipong un­tuk bilang.

“Gue enggak tahu waktu elo bilang ‘gue suka sa­ma Deraz’ itu maksud elo sebenernya apa,” ka­ta­nya. “Ngomong-ngomong, gue straight, makanya itu gue enggak bisa enggak merhatiin elo. Ka.”

Oh. Ipong. Rieka tahu. Rieka selalu tahu. Kan cuman Deraz cowok yang pernah bilang tidak su­ka sama Rieka.

“Lagian logika elo aneh. Kalau gue emang su­ka sama Deraznya… suka yang kayak gitu… nga­pain gue deket-deketin elo sama dia? Kan mending gue embat sendiri…”

Rieka meletakkan pensil.

“Gue enggak pernah cerita soal cewek ke elo… apa gue harus cerita tentang seseorang ke orang itu sendiri… hmh… enggak lucu, Ka.”

Tangan Rieka mengusap kedua mata ber­gan­ti­an. Terisak. Mencebik.

Rieka tahu. Rieka selalu tahu.

Kedua lengan Rieka meraih leher Ipong. Ba­sah sedikit di pundak Ipong, di pelipisnya. Rieka men­jauh.

“Jaka, elo harus ngedapetin cewek yang lebih ba­ik dari gue… lebih cantik, lebih pinter…” Rieka ber­usaha tersenyum sementara merah membayang di wajah.

“Kok Jaka…” kernyit Ipong.

“Mama elo pasti sayang banget sama elo, Ja, gue pingin ikutan manggil elo Jaka…”

“Jangan ah,” sergah Ipong malu. Ia me­ma­ling­kan wajah. Tangis Rieka sudah pernah meng­ham­pirinya berkali-kali, tapi baru kali ini tangis ka­re­nanya.

“Lain kali kalo gue reuni elo harus ikut, Ja… Gue kenalin elo sama temen-temen gue yang single. Te­men gue cantik-cantik juga, Ja, elo mesti suka…”

“Ah…!” Ipong tambah jengah.

.

Rieka telah menyimpan gelang berhiaskan men­tari mini-mini ke dalam kotak, lalu me­nyu­ruk­kan­nya ke sudut laci paling dalam. Rieka meng­ung­si­kan Winnie ke kamar Kak Mita, biar memori itu ber­ada di tempat sepantasnya—lubang neraka. Ga­yung cinta dihibahkan untuk kamar mandi pem­bantu walah mereka tidak butuh gayung lebih.

Rieka memulai rutinitas baru. Tanpa mem­ba­ngunkan seseorang di pagi hari. Tanpa belaian di jam istirahat. Tanpa diantar dentang-denting piano se­belum tidur. Tanpa berbagai kehangatan lain yang berangsur-angsur panas... Semudah hidup tan­pa Deraz.

Cowok itu pun tidak mengontak Rieka lagi. Co­wok yang penurut. Jasadnya masih berkelebatan di sekolah, namun ia melenyapkan eksistensinya da­ri kehidupan Rieka. Walau Rieka tidak benar-be­nar bisa meluputkannya. Sesekali tertangkap oleh ma­ta Rieka cowok itu di Kabita, di lorong, di ma­na­pun di SMANSON. Cahayanya yang redup. Po­tong­an rambut yang masih sama, namun raut yang ku­yu. Se­se­ka­li Rieka ingin menggapai, ingat betapa du­lu ia ingin membuat wajah itu berisi lagi berseri-se­ri. Tapi anak bandel harus dihukum. Biarkan ia men­curi pandang, lalu melengos tanpa asa. Biarkan ia tidak memboncengkan seorangpun sepulang se­ko­lah. Biarkan entah sampai kapan, se­la­ma Rieka ma­sih memendam geram.

Kehidupan ternyata begitu luas, bukan ha­nya tentang satu manusia. Banyak yang ingin meng­isi hatinya, yang tidak lagi didominasi oleh sa­tu manusia.

Tapi agaknya aturan yang berlaku dalam hi­dup Rieka adalah ia tidak bisa hidup tanpa satu ma­nu­sia terlalu lama.

Saat reuni kliknya semasa SD di Cihampelas Walk atau mal manapun di Kota Bandung asal bisa ma­kan, minum, karaoke, nonton, ngeceng, dan me­jeng. Selagi jalan seraya obral-obrol, sekonyong-ko­nyong cowok itu di samping Rieka. Tanpa pretensi. Ram­butnya yang lurus kini panjang sebahu. Putih ku­litnya tidak membuat Rieka merasa tersaingi—se­bagaimana diam-diam Rieka pada cowok yang du­lu. Beberapa titik bekas jerawat di wajah, namun se­cara keseluruhan ia tetap enak dilihat. Tubuhnya ram­ping dalam oblong dan celana blue jeans pudar. Tas selempang rumbai-rumbai dari bahan jeans ber­warna senada menggantung panjang di bahu.

“Rieka ya?” …oh… pangeran!?

“…Kang Reyhan?”

Cowok itu tidak sejangkung cowok yang du­lu—yang dulu memang terlampau jangkung omong-omong—tapi memenuhi standar Rieka. Ma­ka­nya cowok itu pernah menyandang status sebagai pa­car Rieka.

“Sekarang di mana?”

“SMANSON, Kang. Akang… kuliah?”

“Iya, alhamdulillah keterima di FSRD.”

Oh… “ITB?”

“Iya.”

“Seniman geuning, Akang,” seperti cowok yang dulu… Tolong menyingkir dari benak, Dean.

“Hehe… Iya… Sebenernya udah dari SMP sih su­ka ngelukis mah.”

“Ih… Aku enggak tahu…”

“…kita kan enggak lama…” pelan ucapan akang tersebut lagi malu-malu.

Rieka tersipu. Teman-teman Rieka melontar pan­dang. Rieka tersadar. “Eh duluan ya, Kang…” Ri­eka hendak melambai.

Tapi cowok itu cepat berucap, “Boleh minta no­mor kamu, Ri?”

Mereka bertukar nomor serta akun Facebook dan Twitter, yang segera Rieka lupakan, sedang akang tersebut manfaatkan beberapa hari ke­mu­di­an. “Ri, aku pernah bikin lukisan kamu, udah lama, mau liat?” Boleh, balas Rieka, tanpa memikirkan ba­gaimana cara yang akan ditempuh akang ter­se­but untuk memperlihatkan, yang jelas mata Rieka si­ap melihat kapanpun via apapun. “Aku sekalian mau ngasiin itu ke kamu.” Hyaa… Setelah pianis, ki­ni pelukis. Apa-apaan ini… apa Rieka telah men­ja­di penjerat seniman? Setelah bertukar sms be­be­ra­pa kali lagi Kang Reyhan bersedia untuk meng­an­tar­kan lukisan tersebut ke sekolah Rieka.

Suatu siang sepulang sekolah Rieka men­da­pat sms dari Kang Reyhan, yang mengabarkan ka­lau cowok itu sudah di depan SMANSON. Senyum co­wok itu manis ketika melihat Rieka. Tubuhnya yang duduk di atas vespa rada bungkuk. Lurus ram­but­nya menjuntai dari bawah helmnya yang kulit, ja­ketnya juga kulit. Kotak pipih besar berbungkus ko­ran terikat di balik punggungnya.

“Ini bener buat aku?” tanya Rieka begitu ta­ngan­nya memegang pemberian sang akang.

“Bener. Tapi maaf ya kalau enggak mirip.”

“Kok enggak mirip? Jangan-jangan bukan aku…”

“Liat aja…”

Akang tersebut tidak lama.

Rieka pun segera memasukkan pemberian sang akang ke dalam mobil. Ia tidak sabar merobek ko­ran yang menyelubungi lukisan tersebut.

Di kamar akhirnya momen itu tiba. Rieka ter­perangah. Ia tidak mengerti lukisan, tapi apapun yang katanya tercipta karena dirinya akan ia ka­ta­kan bagus. Ia menyukainya. Wajah dalam bingkai ter­sebut ia rasa memang menyerupai dirinya, walau pe­cah-pecah. Kang Reyhan bilang ia menggunakan tek­nik kolase. Kang Reyhan membukakan Rieka du­nia yang baru, juga kebiasaan yang baru. 

.

“Jadi gitu ceritanya, Pong…” tutup Rieka yang menurut Ipong untuk tidak memanggil cowok itu dengan panggilan kesayangan sang mama.

“…Reyhan?” Mata Ipong menyipit. “Mana sih?”

“Kabid gue… pas OSIS SMP…”

“Iya, tahu, cuman seinget gue kan yang per­nah jadi pacar elo tuh namanya selalu berakhiran de­ngan huruf ‘i’.” Ipong pun mengabsen dengan ban­tuan jari. “Aldi, Toni, Sandy, Syamsi, Rezki, Ha­qi…”

“…Andika,” Rieka membantu.

“Elo kan manggilnya Andi.” Rieka meng­ang­kat bahu. “Sekarang Reyhan… Dean, Reyhan… Be­sok lagi paling Burhan, Marwan, Aan…”

Rieka menepuk bahu Ipong pelan.

“Elo tahu enggak,” lanjut Rieka. “Dia tuh abis sama gue enggak pernah pacaran lagi. Dia bi­lang dia trauma!” Rieka tertawa kecil, “…gara-gara ma­salah sama ceweknya itu…! Ya iyalah… Dia eng­gak berani putusin ceweknya sih, udah mau pa­car­an aja sama gue…”

“…terus dia pingin ngelanjutin lagi sama elo?”

Rieka termenung. Kepalan tangannya me­no­pang dagu, sementara sebelah tangan lagi ber­pang­ku pada pundak Ipong. “Dia liat di Facebook gue. Sta­tus gue sama Dean kan masih married…”

Ipong tidak merespons.

Lanjut Rieka dengan wajah berseri, “…me­nu­rut elo gimana, Pong, kalau pacar gue anak ITB, se­niman…”

“Si Dean juga bukannya…” Ipong rada ku­rang ikhlas mengatakannya, “…seniman…? Dia kan ma­in musik juga…”

“Seniman tapi ngandang doang…” Rieka cem­berut. Tangan tidak lagi bertengger di pundak Ipong. Pandangan menerawang ke tepian atap Ka­bi­ta. “…dia juga enggak ngerokok, Pong… si Kang Rey itu.”

“Inget, Ri.” Rieka menoleh pada Ipong yang ra­da memunggunginya. “Dulu elo bilang kalaupun elo putus sama Dean elo bakal putus baik-baik.” Ipong diam sejenak, sebelum berpaling pada Rieka. “Ma­sak kejadiannya yang si akang itu mau terulang sih. Ya emang Dean enggak mungkin ngelabrak Kang Reyhan, tapi seenggaknya elo hargain lah dia… si Dean itu.”

Bagian belakang kepala Ipong dalam mata Ri­eka. Andai cowok itu tahu bagaimana Dean meng­usik harga seorang Rieka.

Akhirnya saat itu sampai. Ada masa yang ha­rus diakhiri.

.

Malam Rieka mengiris sms pada Dean. “Saya pi­ngin ngomong sama kamu.” Tempat yang kon­du­sif, di mana… Setelah bertukar sms beberapa kali me­reka sepakat bahwa tempatnya bisa di manapun se­lama mereka dapat duduk berhadapan, dalam si­tu­asi tenang di mana orang-orang duduk pada ra­di­us minimal dua meter dari mereka. Rieka me­mu­tus­kan lokasi adalah kafe yang mengepung pe­ngun­jung dengan lemari buku di sana-sini.

Keesokan harinya Dean membawa dua helm, ta­pi Rieka ingin mengemudikan March. Toh setelah ini kita akan resmi jalan masing-masing. Begitu ren­cana Rieka.

Di dalam kafe mereka telah dapat duduk lagi ber­hadapan. Tanpa kata. Sepasang gelas isi kopi-ta­pi-es hanya pajangan. Dua tiga orang di sekitar na­mun tidak akan acuh kecuali yang sejoli berseteru da­lam desibel tinggi. Rieka mengamat-amati la­wan­nya sambil bersedekap. Dean yang tampan na­mun tidak lagi memesona, yang matanya terpicing ke lain arah. Ini bukan Dean. Rieka tidak ber­ha­dap­an dengan Dean. Mata Rieka memanas. Padahal ma­salah ini harus diselesaikan dengan Dean. Atau ja­ngan-jangan yang kemarin pun bukan Dean. Ke ma­na Dean… Ah! Tidak penting memikirkan Dean! La­gipula Deraz pun sudah pergi, dari Indonesia dan da­ri mimpi Rieka. Siapa butuh Dean lagi…?

“…kita pisah baik-baik ya.”

“…ya.” Dean menatap Rieka se­ki­las.

Rieka gamang.

“Ada yang mau elo omongin, Yan? Dari elo sen­diri gimana…”

Dean masih menunduk meski tatapannya la­ri pada Rieka sekali-sekali. “Jujur, Neng, udah pas­ti… kalau saya mah pinginnya… Neng kasih ke­sem­pat­an lagi. Enggak sekarang. Mungkin kalau wak­tu­nya udah tepat…”

Mulut Rieka membuka.

Sepintas Dean menggaruk tepian hidung, lan­tas menatap Rieka dengan sorot yang lebih ri­ngan. “…tapi enggak apa-apa, Neng, kalau kamu emang enggak nyaman lagi sama saya. Saya bakal ngi­lang,” manggut-manggut, “saya bakal meng­hin­dar dari kamu.”

Mulut Rieka membuka makin lebar.

“Kenapa? Emangnya aku penyakit ber­ba­ha­ya?”

Dean tercenung.

“Elo tuh ya…” kepalan Rieka naik ke meja, “elo tuh cowok tapi penurut banget. Pengecut tahu eng­gak,” mendadak Haqi tampak baik dalam pers­pek­tif Rieka, contohlah Haqi, “rada agresif dikit, gi­tu—tapi bukan agresif yang kayak waktu itu juga!” Ingat­an Rieka seketika beralih pada insiden di ru­ang tamu.

Dean memandang Rieka dengan salah ting­kah. Sesekali matanya jatuh ke meja. Melayang lagi pa­da Rieka. Mulutnya terbuka sedikit tapi tidak kun­jung melebar dan bersuara. Jeda. Jeda yang ter­la­lu lama.

“Kenapa? Kamu udah enggak sayang aku la­gi?” Punggung Rieka tegak lagi menjauh dari san­dar­an. “Apa karena aku enggak mau kamu gituin ka­mu mau ngelepasin aku gitu aja?” Beberapa orang menoleh namun Rieka membelakangi. Di ha­dap­an Rieka hanya Dean dilatari tembok. Dean pun ti­dak melepaskan mata dari Rieka. Kepalanya mi­ring. “Jadi hubungan kita sedangkal itu ya?” Rieka meng­angguk-angguk. “Sebenarnya kamu maunya apa sih dari aku?” Sura Rieka mulai bergetar. “Maaf aja deh kalau aku enggak sesuai yang kamu pingin­in.” Mata menjadi susah untuk dikerjapkan karena cairan mulai menggenang. “Bolehlah kamu nyentuh aku, tapi aku masih punya batasan, Yan…” Rieka me­nunjuk dirinya sendiri. Area yang pernah te­ram­bah. Mulut mengatup.

“…bu—bukan kayak gitu, Neng…” Punggung De­an pun menjadi tegak.

“Jadi gitu ya, dengan gampangnya kamu nge­lepasin aku?” Rieka tidak mau dengar. “Jadi aku udah enggak ada artinya lagi bagi kamu?” Kepala orang-orang semakin terangkat.

“Enggak gitu…” jawab Dean yang bingung. “Aku sayang kamu. Neng. Yayan sayang sama Neng. Sayang banget. Cinta.” Tangan Dean terulur pa­da Rieka, tapi.

“Jangan pegang-pegang!” hardik Rieka. “Inget enggak, terakhir kali pegang-pegang kamu nga­pain?!”

“Iya, aku enggak bakal pegang kamu lagi.” De­an yang panik sontak mengangkat tangan.

“Kamu enggak sayang aku! Aku udah enggak ada lagi artinya bagi kamu…”

Dean yang terkejut. Matanya melebar, se­ba­gai­mana mulut. “Enggaaak…! Enggak gitu…!”

Rieka tersedu-sedu. Punggung Dean se­ma­kin condong namun meja membatasi. Dean pun tu­run dari kursi. Dean berlutut di samping Rieka. Ba­gai­manapun dari sisi Dean semula tertangkap orang-orang memandangi mereka, kini terhalang Ri­eka. Satu per satu mereka menunduk kembali se­men­tara Rieka menangkupkan kedua belah tangan ke muka. Kenapa Dean tidak merengkuh kepalanya, me­rangkul punggungnya, mendekapnya ke dada. Le­ngan Rieka menggusah basah dari muka. Cowok itu termangu saja. Tatapnya lekat pada Rieka, je­ma­ri­nya menempel di tepian meja. Parasnya berkata, te­nang Rieka, tenang. Rieka tenang. Dean mungkin me­nyadari yang keluar dari hidung Rieka, namun ra­utnya konsisten.

“Kamu tuh besar banget artinya buat aku,” ucap Dean pelan. “Aku pingin sama kamu se­la­ma­nya.”

“Kamu tuh mikirnya kejauhan…!” Rieka me­nun­juk-nunjuk dengan nada tersendat. “Makanya ja­dinya kayak gitu…”

“Iya, aku enggak bakal mikir kayak gitu lagi,” tu­kas Dean yang sabar.

“Kamu tuh, iya iya terus. Jadi bener aku udah enggak ada artinya lagi buat kamu?!” suara Ri­eka semakin naik.

“Enggak… enggak gitu…” Dean yang habis usa­ha.

Apa artinya Dean jika Deraz pun sudah tidak la­gi berarti. “Bukan gitu, Yaan… caranya, bukan gi­tu…” yang sebetulnya Rieka tujukan pada diri sen­di­ri.

“Iya, maaf Rieka, maaf. Aku nyesel, senyesel-nye­selnya…” Dean menanggapi. “Kasih tahu aku ada yang lebih mujarab dari maaf enggak.”

Lengan Rieka menyapu muka. Ke kanan dan ke kiri. Ia tunduk. Napas terhembus. Sesekali seng­guk­nya muncul namun desakan di dada mulai me­re­da. Lembap dan lengket di wajah. Apa barusan tadi.

Mata yang besar itu masih padanya.

Menunggu.

Kosong mengisi Rieka.

“Jadi gimana?” suara Dean, “Kalau kayak gi­ni bukan pisah baik-baik namanya…” ganti ter­ce­kat, “Katanya mau pisah baik-baik…”

Cairan butek dalam gelas masih penuh.Rieka bang­kit. Ia hapal harga di daftar menu. Tanpa me­li­hat kasir ia membayar di kassa. Dean entah ba­gai­ma­na. Rieka tidak akan mampir ke tempat itu lagi.

Rieka biarkan autopilot dalam dirinya yang be­kerja. Buka kunci mobil. Buka pintu mobil. Tutup pin­tu mobil. Masukkan kunci. Putar. Gas. Dan se­te­rus­nya. Tertangkap Dean mengenakan helm sem­ba­ri mengawasinya. Motor itu Rieka ingat bernama Hat­tori memantau dari belakang. Terlirik di spion. Di lampu merah Hattori henti tepat di sisi kiri March. Leher Rieka nol derajat, tapi tertangkap jua. Co­wok itu terselubung helm full face dan jaket, ke­pa­la menghadap ke kanan hingga klakson di be­la­kang menjerit. Pada jalan demi jalan membentuk iring­an pendek. Di sebuah pangkalan ojek motor itu be­lok.

.

Seperti biasa Kang Reyhan mengirim sms sa­at sore, ketika Rieka sedang mengudap roti tawar dan segelas air mineral di meja makan. Di kulkas ada kiriman berliter-liter susu murni dari kerabat Bik Mirah di Lembang. “Mau dibikinin susu eng­gak, Neng? Rasa apa?” Tidak ada rasa apa-apa, Bik. Ti­dak tahu bagaimana membalas sms cowok itu, yang tidak akan membangkitkan percik-percik ha­rap.

Mendadak ia ingat pada cowok yang telah mem­bangkitkan gelora di dalam tubuhnya.

…mungkin kalau waktunya udah tepat…

…aku pingin sama kamu selamanya…

Pacaran tidak mesti seperti itu, Dean. Pa­car­an tidak mesti seperti apa, Rieka pun tidak tahu, se­ka­dar senang dikenal orang lain karena dimiliki atau memiliki seseorang, karena ada yang bisa me­nya­yangi dan disayangi, seakan tidak cukup kasih da­ri orang tua, teman, dan siapapun di sekitar. Ka­mu memang tidak ingin pacaran, Dean, Rieka pun ti­dak memahami apa embel-embel itu penting, pa­car Kang Reyhan, pacar Dean, pacar Deraz… Bu­kan­kah Rieka sekadar mengikuti aturan yang ber­laku. Cewek populer pacaran dengan cowok keren. Ka­mu bahkan sama sekali tidak keren, Dean, kamu ke­rempeng! Tapi melihatmu sebagai kuncup yang mu­lai mekar, lantas layu sebelum berkembang, uh, se­perti lagu wajib nasional yang suka dinyanyikan Pa­pa, apa hanya aku yang punya pupuk, Dean, ha­nya aku? Ini salah! Rieka ingin melihat mahkota yang indah, sungguh, mahkota yang indah, dengan be­nang sari segar menjulang.

Maaf Kang, saya  tidak tahu apa artinya men­jadi pacar Akang, seharusnya bukan sekadar un­tuk menjadi pacar seorang mahasiswa ITB, bu­kan sekadar karena wajah yang kasep dan gaya yang asyik, bukan sekadar kita bakal terlihat se­ba­gai pasangan yang menarik, bukan karena apa-apa.

Saya ingin melihat sebuah transformasi, dan itu­lah yang membuat eksistensi saya sebagai ma­nu­sia menjadi penting. Eksis, Kang, saya cuman ingin ek­sis, dengan upaya saya, bukan upaya Akang. Ke­ti­ka saya terima saja dari Akang, sesuatu dalam diri sa­ya terusik. Nah saya sudah kasih tahu dengan amat sangat gamblang. Tidak usah tanya lagi ke­na­pa. Saya tidak bisa melepaskan apa yang telah saya mu­lai, saya harus menyelesaikannya.

Kosong mengisi Rieka. Segala ocehan yang sem­pat berkecamuk sekonyong-konyong ke­hi­lang­an makna. Tapi ia tahu bahwa ia tidak ingin di­mi­liki siapapun, ia ingin menjadi milik dirinya sendiri, ja­waban untuk diberikan apabila Kang Reyhan me­na­nyakannya lagi sudah siap.

Menjelang malam Rieka kehabisan daya un­tuk melakukan apapun. Barangkali alam yang satu la­gi sudah tidak bisa menunggu lebih lama, Rieka akan segera pergi ke sana, tetapi seseorang menarik ta­ngannya. Panggilan dari Dean. Rieka menekan war­na hijau. “…ya, Dean?”

“…udah tidur ya?”

 “…sekarang udah enggak lagi…” Rieka me­nya­dari suaranya telah parau.

“…ya udah tidur lagi aja…” Rieka bergeming. “…aku pingin nganterin kamu sama Baby.” Sukma Ri­eka pun dipenuhi simfoni lagi, dari sebuah ins­tru­men, dilengkapi suara lain di latarnya, “…Yan, nga­pain elo jrang-jreng malem-malem…” Rieka ter­se­nyum.

“Enggak usah dianterin juga enggak apa-apa,” ucap Rieka.

“Bener?”

“Bener.”

“Entar nyasar.”

“Enggak bakal. Udah hapal jalan.”

“Entar kalo kesasar telepon balik aja.”

“Hmhmhm…”

Rieka tidak ragu untuk memutus panggilan. Ia harus segera tidur. Ia ingin bangun lebih pagi, la­gi, besok, sudah lama ia tidak memasak sepagi itu.

.

Dean sudah tidak di XII IPS 2 saat Rieka mam­pir pada jam istirahat. Semestinya di Kabita, atau Rieka akan memakan isi dalam wadah dalam tas jinjing mungil ini sendiri. Benar. Cengirannya yang ceria. Matahari itu telah kembali bersinar wa­lau belum menghangatkan. Rieka sodorkan ba­wa­an.

“…gaul nya pamajikan ayeuna mah, nganter ma­kanan make wadah nu kitu. Lamun jaman urang baheula mah make rantang keneh da…” pe­ra­mai-penggembira kembali bekerja setelah cuti la­ma. Ketawa, bray.

“Ayo makan bareng,” kata cowok itu, walau mang­kuk soto sudah ditangkup kedua belah ta­ngan. Melanjutkan yang semalam. Tertawa lagi. Ke­ha­ngatan dalam diam, yang biasa.

“Ditambahin lauknya…” Rieka menaruh se­su­atu dari wadah bekal ke mangkuk Dean.

“Eh…”

“Biar gendut.”

“Neng juga ah, biar sama-sama gendut…” De­an pun memindahkan sesuatu.

“Aku enggak mau gendut…” Rieka me­min­dah­kannya lagi.

Sendok Dean menyerok. Dari mangkuk ke mu­lut. Dean yang penurut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain