Rieka
tidak serta-merta melupakan Tito garis miring Oon sejak kehadiran Dorita.
Memang mengasuh dua anak itu merepotkan! Kali pertama Rieka memahami
perbedaan karakter. Yang satu lincah, doyan menjatuhkan barang, yang lain anteng.
Yang satu cerewet, tidak henti mengeong, yang lain bungkam. Yang satu bisa
mencecap susu, yang lain membiarkan wajahnya basah. Yang satu banyak pup, yang
lain bersih selalu. Dorita suka pup di
tempat yang bersih. Rieka menjerit ketika mendapati pup di wajah Tito itu Oon,
yang sekaligus menjadi kali terakhir Rieka melihat badutnya. Rieka tidak
sudi menyentuh boneka itu lagi.
.
Tidak
diragukan lagi. Ada sesuatu di antara sejoli paling hangat se-SMANSON
raya—mereka tidak lagi hangat! Tidak ada lagi adegan saling menggamit,
rangkul-merangkul, siapa tiduran di pangkuan siapa. Masing-masing bawa
kendaraan sendiri, pulang sendiri. Dunia tidak lagi terabaikan. Dunia kembali
milik bersama. Wabah penyakit hati di SMANSON berangsur-angsur pulih. Para
cowok yang dengki tidak lagi memerlukan plang bertulisan “DILARANG PACARAN!
MENGGANGGU STABILITAS HATI!”, dan mereka siap untuk berkompetisi. Tidak
saja cowok kelas XII, cowok kelas XI pun tertarik untuk menguji nyali. …tunggu
dulu! Memang sudah pasti sang kembang adalah mantan sekum, tapi mantan… si…
itu…? Belum ada pernyataan resmi! Status mereka di Facebook masih: Menikah.
Itu mah pada malas buka Facebook kali mereka, jadi statusnya juga belum
diubah… Kesenjangan antara dunia maya dan dunia nyata menjadi jelas. Tapi
tetap saja! Diragukan lagi.
“Udah
dicerai Om Dean apa belum sih kamu teh?”
maka mereka yang dianggap sekadar peramai-penggembira oleh Rieka itupun
bertanya-tanya.
Rieka
hanya melengos dengan congkak.
“Gue
bilang juga apa. Pas Deraz pergi, pergi juga perasaan elo sama Dean.”
Untuk
yang ini Rieka tidak bisa tidak acuh.
Ia
pastikan dalam radius satu meter tidak ada lagi orang selain… Ipong. Mulut
Ipong bahkan hanya sepuluh senti—setelah dibulatkan—dari telinganya,
sebelum menjauh.
Kadang
sendiri itu menguntungkan. Seramai ini di Kabita dan ia sendiri. Demi apa…
Kadang Rieka ingat kalau sebenarnya ia memiliki banyak teman, pernah, namun
sudah begitu lama ia kesampingkan. Dan hingga sekarang mereka betah di samping.
Rieka sedang tidak ingin menyamping. Teman-temannya yang cewek, tiap kali ia
melihat tubuh mereka ia bertanya-tanya apakah ada di antara mereka yang juga
pernah mengalami sensasi itu… dengan seseorang. Tidak usah iri pada Rieka yang
pernah, Rieka iri pada mereka yang belum pernah, dan Rieka tidak iri pada Kak
Mita yang tidak saja pernah tapi rutin.
“Ini
enggak ada hubungannya dengan itu,” kalimat pertama Rieka untuk Ipong setelah
beberapa bulan.
“Enggak ada hubungan… terus emang kenapa elo
sama Dean?” Kedua lengan Ipong bertopang pada di meja. “Apa udah ada yang nge-bully elo gara-gara kedeketan elo sama
Dean…” …yang paling sering jadi alasan bagi Rieka untuk putus dengan para
pacarnya semasa SMP, yang rata-rata kakak kelas. Ipong mendengus. “Ah tapi
kayaknya enggak mungkin deh.”
Ipong
juga kenal Anne sejak SMP, dan mungkin Ola sejak SMA, tapi cuman Rieka yang bisa
merasakan tusukan dari tatapan mereka. Keduanya melintas di depan penjual
zuppa-zuppa. Asal elo tahu, gue korban, balas tatapan Rieka, namun mereka
begitu saja berlalu.
“Enggak
pulang, Ri?” ucap Ipong akhirnya, karena Rieka tidak menjawab. Cowok itu pun
duduk di samping Rieka.
“Nunggu
Pak Sam.”
“Elo
bukannya udah bawa mobil sendiri?”
“Entah
ya, Pong. Gue rasa bawa kendaraan sendiri di Bandung ini kalau enggak
perlu-perlu amat itu… konyol. Elo stres di jalan gara-gara macet, panas,
semrawut, padahal elo bagian dari penyebab stres itu sendiri. Ya mending gue
disetirin deh, tinggal tiduran, ngerjain yang lain…”
Ipong
tersenyum.
Rieka
yang veteran OSIS notabene calon mahasiswi di PTN. Sepulang sekolah yang
biasa diisi rapat kini digunakan untuk mengerjakan soal-soal di buku tebal.
Ipong
bergeming di samping Rieka, hingga Rieka pergi, atau hingga Kabita sepi. Pak
Sam masih berkeliaran dengan tugas dari Mama Rieka. Rieka belum pergi saat
Kabita cukup sepi bagi Ipong untuk bilang.
“Gue
enggak tahu waktu elo bilang ‘gue suka sama Deraz’ itu maksud elo sebenernya
apa,” katanya. “Ngomong-ngomong, gue straight,
makanya itu gue enggak bisa enggak merhatiin elo. Ka.”
Oh.
Ipong. Rieka tahu. Rieka selalu tahu. Kan cuman Deraz cowok yang pernah bilang
tidak suka sama Rieka.
“Lagian
logika elo aneh. Kalau gue emang suka sama Deraznya… suka yang kayak gitu… ngapain
gue deket-deketin elo sama dia? Kan mending gue embat sendiri…”
Rieka
meletakkan pensil.
“Gue
enggak pernah cerita soal cewek ke elo… apa gue harus cerita tentang seseorang
ke orang itu sendiri… hmh… enggak lucu, Ka.”
Tangan
Rieka mengusap kedua mata bergantian. Terisak. Mencebik.
Rieka
tahu. Rieka selalu tahu.
Kedua
lengan Rieka meraih leher Ipong. Basah sedikit di pundak Ipong, di pelipisnya.
Rieka menjauh.
“Jaka,
elo harus ngedapetin cewek yang lebih baik dari gue… lebih cantik, lebih
pinter…” Rieka berusaha tersenyum sementara merah membayang di wajah.
“Kok
Jaka…” kernyit Ipong.
“Mama
elo pasti sayang banget sama elo, Ja, gue pingin ikutan manggil elo Jaka…”
“Jangan
ah,” sergah Ipong malu. Ia memalingkan wajah. Tangis Rieka sudah pernah menghampirinya
berkali-kali, tapi baru kali ini tangis karenanya.
“Lain
kali kalo gue reuni elo harus ikut, Ja… Gue kenalin elo sama temen-temen gue
yang single. Temen gue cantik-cantik
juga, Ja, elo mesti suka…”
“Ah…!”
Ipong tambah jengah.
.
Rieka
telah menyimpan gelang berhiaskan mentari mini-mini ke dalam kotak, lalu menyurukkannya
ke sudut laci paling dalam. Rieka mengungsikan Winnie ke kamar Kak Mita,
biar memori itu berada di tempat sepantasnya—lubang neraka. Gayung cinta
dihibahkan untuk kamar mandi pembantu walah mereka tidak butuh gayung lebih.
Rieka
memulai rutinitas baru. Tanpa membangunkan seseorang di pagi hari. Tanpa
belaian di jam istirahat. Tanpa diantar dentang-denting piano sebelum tidur.
Tanpa berbagai kehangatan lain yang berangsur-angsur panas... Semudah hidup tanpa
Deraz.
Cowok
itu pun tidak mengontak Rieka lagi. Cowok yang penurut. Jasadnya masih
berkelebatan di sekolah, namun ia melenyapkan eksistensinya dari kehidupan
Rieka. Walau Rieka tidak benar-benar bisa meluputkannya. Sesekali tertangkap
oleh mata Rieka cowok itu di Kabita, di lorong, di manapun di SMANSON.
Cahayanya yang redup. Potongan rambut yang masih sama, namun raut yang kuyu.
Sesekali Rieka ingin menggapai, ingat betapa dulu ia ingin membuat wajah
itu berisi lagi berseri-seri. Tapi anak bandel harus dihukum. Biarkan ia mencuri
pandang, lalu melengos tanpa asa. Biarkan ia tidak memboncengkan seorangpun
sepulang sekolah. Biarkan entah sampai kapan, selama Rieka masih memendam
geram.
Kehidupan
ternyata begitu luas, bukan hanya tentang satu manusia. Banyak yang ingin mengisi
hatinya, yang tidak lagi didominasi oleh satu manusia.
Tapi
agaknya aturan yang berlaku dalam hidup Rieka adalah ia tidak bisa hidup tanpa
satu manusia terlalu lama.
Saat
reuni kliknya semasa SD di Cihampelas Walk atau mal manapun di Kota Bandung
asal bisa makan, minum, karaoke, nonton, ngeceng, dan mejeng. Selagi jalan
seraya obral-obrol, sekonyong-konyong cowok itu di samping Rieka. Tanpa
pretensi. Rambutnya yang lurus kini panjang sebahu. Putih kulitnya tidak
membuat Rieka merasa tersaingi—sebagaimana diam-diam Rieka pada cowok yang dulu. Beberapa titik bekas jerawat di
wajah, namun secara keseluruhan ia tetap enak dilihat. Tubuhnya ramping dalam
oblong dan celana blue jeans pudar.
Tas selempang rumbai-rumbai dari bahan jeans
berwarna senada menggantung panjang di bahu.
“Rieka ya?” …oh… pangeran!?
“…Kang
Reyhan?”
Cowok
itu tidak sejangkung cowok yang dulu—yang
dulu memang terlampau jangkung
omong-omong—tapi memenuhi standar Rieka. Makanya cowok itu pernah menyandang
status sebagai pacar Rieka.
“Sekarang
di mana?”
“SMANSON,
Kang. Akang… kuliah?”
“Iya,
alhamdulillah keterima di FSRD.”
Oh…
“ITB?”
“Iya.”
“Seniman
geuning, Akang,” seperti cowok yang dulu… Tolong menyingkir dari benak,
Dean.
“Hehe…
Iya… Sebenernya udah dari SMP sih suka ngelukis mah.”
“Ih…
Aku enggak tahu…”
“…kita
kan enggak lama…” pelan ucapan akang tersebut lagi malu-malu.
Rieka
tersipu. Teman-teman Rieka melontar pandang. Rieka tersadar. “Eh duluan ya,
Kang…” Rieka hendak melambai.
Tapi
cowok itu cepat berucap, “Boleh minta nomor kamu, Ri?”
Mereka
bertukar nomor serta akun Facebook dan Twitter, yang segera Rieka lupakan,
sedang akang tersebut manfaatkan beberapa hari kemudian. “Ri, aku pernah
bikin lukisan kamu, udah lama, mau liat?” Boleh, balas Rieka, tanpa memikirkan
bagaimana cara yang akan ditempuh akang tersebut untuk memperlihatkan, yang
jelas mata Rieka siap melihat kapanpun via apapun. “Aku sekalian mau ngasiin
itu ke kamu.” Hyaa… Setelah pianis, kini pelukis. Apa-apaan ini… apa Rieka
telah menjadi penjerat seniman? Setelah bertukar sms beberapa kali lagi
Kang Reyhan bersedia untuk mengantarkan lukisan tersebut ke sekolah Rieka.
Suatu
siang sepulang sekolah Rieka mendapat sms dari Kang Reyhan, yang mengabarkan
kalau cowok itu sudah di depan SMANSON. Senyum cowok itu manis ketika melihat
Rieka. Tubuhnya yang duduk di atas vespa rada bungkuk. Lurus rambutnya
menjuntai dari bawah helmnya yang kulit, jaketnya juga kulit. Kotak pipih
besar berbungkus koran terikat di balik punggungnya.
“Ini
bener buat aku?” tanya Rieka begitu tangannya memegang pemberian sang akang.
“Bener.
Tapi maaf ya kalau enggak mirip.”
“Kok
enggak mirip? Jangan-jangan bukan aku…”
“Liat
aja…”
Akang
tersebut tidak lama.
Rieka
pun segera memasukkan pemberian sang akang ke dalam mobil. Ia tidak sabar
merobek koran yang menyelubungi lukisan tersebut.
Di
kamar akhirnya momen itu tiba. Rieka terperangah. Ia tidak mengerti lukisan,
tapi apapun yang katanya tercipta karena dirinya akan ia katakan bagus. Ia
menyukainya. Wajah dalam bingkai tersebut ia rasa memang menyerupai dirinya,
walau pecah-pecah. Kang Reyhan bilang ia menggunakan teknik kolase. Kang
Reyhan membukakan Rieka dunia yang baru, juga kebiasaan yang baru.
.
“Jadi
gitu ceritanya, Pong…” tutup Rieka yang menurut Ipong untuk tidak memanggil
cowok itu dengan panggilan kesayangan sang mama.
“…Reyhan?”
Mata Ipong menyipit. “Mana sih?”
“Kabid
gue… pas OSIS SMP…”
“Iya,
tahu, cuman seinget gue kan yang pernah jadi pacar elo tuh namanya selalu
berakhiran dengan huruf ‘i’.” Ipong pun mengabsen dengan bantuan jari. “Aldi,
Toni, Sandy, Syamsi, Rezki, Haqi…”
“…Andika,”
Rieka membantu.
“Elo
kan manggilnya Andi.” Rieka mengangkat bahu. “Sekarang Reyhan… Dean, Reyhan…
Besok lagi paling Burhan, Marwan, Aan…”
Rieka
menepuk bahu Ipong pelan.
“Elo
tahu enggak,” lanjut Rieka. “Dia tuh abis sama gue enggak pernah pacaran lagi.
Dia bilang dia trauma!” Rieka tertawa kecil, “…gara-gara masalah sama
ceweknya itu…! Ya iyalah… Dia enggak berani putusin ceweknya sih, udah mau pacaran
aja sama gue…”
“…terus
dia pingin ngelanjutin lagi sama elo?”
Rieka
termenung. Kepalan tangannya menopang dagu, sementara sebelah tangan lagi berpangku
pada pundak Ipong. “Dia liat di Facebook gue. Status gue sama Dean kan masih married…”
Ipong
tidak merespons.
Lanjut
Rieka dengan wajah berseri, “…menurut elo gimana, Pong, kalau pacar gue anak
ITB, seniman…”
“Si
Dean juga bukannya…” Ipong rada kurang ikhlas mengatakannya, “…seniman…? Dia
kan main musik juga…”
“Seniman
tapi ngandang doang…” Rieka cemberut. Tangan tidak lagi bertengger di pundak
Ipong. Pandangan menerawang ke tepian atap Kabita. “…dia juga enggak
ngerokok, Pong… si Kang Rey itu.”
“Inget,
Ri.” Rieka menoleh pada Ipong yang rada memunggunginya. “Dulu elo bilang
kalaupun elo putus sama Dean elo bakal putus baik-baik.” Ipong diam sejenak,
sebelum berpaling pada Rieka. “Masak kejadiannya yang si akang itu mau terulang
sih. Ya emang Dean enggak mungkin ngelabrak Kang Reyhan, tapi seenggaknya elo
hargain lah dia… si Dean itu.”
Bagian
belakang kepala Ipong dalam mata Rieka. Andai cowok itu tahu bagaimana Dean
mengusik harga seorang Rieka.
Akhirnya
saat itu sampai. Ada masa yang harus diakhiri.
.
Malam
Rieka mengiris sms pada Dean. “Saya pingin ngomong sama kamu.” Tempat yang kondusif,
di mana… Setelah bertukar sms beberapa kali mereka sepakat bahwa tempatnya
bisa di manapun selama mereka dapat duduk berhadapan, dalam situasi tenang
di mana orang-orang duduk pada radius minimal dua meter dari mereka. Rieka memutuskan
lokasi adalah kafe yang mengepung pengunjung dengan lemari buku di sana-sini.
Keesokan
harinya Dean membawa dua helm, tapi Rieka ingin mengemudikan March. Toh
setelah ini kita akan resmi jalan masing-masing. Begitu rencana Rieka.
Di
dalam kafe mereka telah dapat duduk lagi berhadapan. Tanpa kata. Sepasang
gelas isi kopi-tapi-es hanya pajangan. Dua tiga orang di sekitar namun tidak
akan acuh kecuali yang sejoli berseteru dalam desibel tinggi. Rieka
mengamat-amati lawannya sambil bersedekap. Dean yang tampan namun tidak lagi
memesona, yang matanya terpicing ke lain arah. Ini bukan Dean. Rieka tidak berhadapan
dengan Dean. Mata Rieka memanas. Padahal masalah ini harus diselesaikan dengan
Dean. Atau jangan-jangan yang kemarin
pun bukan Dean. Ke mana Dean… Ah! Tidak penting memikirkan Dean! Lagipula
Deraz pun sudah pergi, dari Indonesia dan dari mimpi Rieka. Siapa butuh Dean
lagi…?
“…kita
pisah baik-baik ya.”
“…ya.”
Dean menatap Rieka sekilas.
Rieka
gamang.
“Ada
yang mau elo omongin, Yan? Dari elo sendiri gimana…”
Dean
masih menunduk meski tatapannya lari pada Rieka sekali-sekali. “Jujur, Neng,
udah pasti… kalau saya mah pinginnya… Neng kasih kesempatan lagi. Enggak
sekarang. Mungkin kalau waktunya udah tepat…”
Mulut
Rieka membuka.
Sepintas
Dean menggaruk tepian hidung, lantas menatap Rieka dengan sorot yang lebih ringan.
“…tapi enggak apa-apa, Neng, kalau kamu emang enggak nyaman lagi sama saya.
Saya bakal ngilang,” manggut-manggut, “saya bakal menghindar dari kamu.”
Mulut
Rieka membuka makin lebar.
“Kenapa?
Emangnya aku penyakit berbahaya?”
Dean
tercenung.
“Elo
tuh ya…” kepalan Rieka naik ke meja, “elo tuh cowok tapi penurut banget.
Pengecut tahu enggak,” mendadak Haqi tampak baik dalam perspektif Rieka,
contohlah Haqi, “rada agresif dikit, gitu—tapi bukan agresif yang kayak waktu
itu juga!” Ingatan Rieka seketika beralih pada insiden di ruang tamu.
Dean
memandang Rieka dengan salah tingkah. Sesekali matanya jatuh ke meja. Melayang
lagi pada Rieka. Mulutnya terbuka sedikit tapi tidak kunjung melebar dan
bersuara. Jeda. Jeda yang terlalu lama.
“Kenapa?
Kamu udah enggak sayang aku lagi?” Punggung Rieka tegak lagi menjauh dari sandaran.
“Apa karena aku enggak mau kamu gituin kamu mau ngelepasin aku gitu aja?”
Beberapa orang menoleh namun Rieka membelakangi. Di hadapan Rieka hanya Dean
dilatari tembok. Dean pun tidak melepaskan mata dari Rieka. Kepalanya miring.
“Jadi hubungan kita sedangkal itu ya?” Rieka mengangguk-angguk. “Sebenarnya
kamu maunya apa sih dari aku?” Sura Rieka mulai bergetar. “Maaf aja deh kalau
aku enggak sesuai yang kamu pinginin.” Mata menjadi susah untuk dikerjapkan
karena cairan mulai menggenang. “Bolehlah kamu nyentuh aku, tapi aku masih
punya batasan, Yan…” Rieka menunjuk dirinya sendiri. Area yang pernah terambah.
Mulut mengatup.
“…bu—bukan
kayak gitu, Neng…” Punggung Dean pun menjadi tegak.
“Jadi
gitu ya, dengan gampangnya kamu ngelepasin aku?” Rieka tidak mau dengar. “Jadi
aku udah enggak ada artinya lagi bagi kamu?” Kepala orang-orang semakin
terangkat.
“Enggak
gitu…” jawab Dean yang bingung. “Aku sayang kamu. Neng. Yayan sayang sama Neng.
Sayang banget. Cinta.” Tangan Dean terulur pada Rieka, tapi.
“Jangan
pegang-pegang!” hardik Rieka. “Inget enggak, terakhir kali pegang-pegang kamu
ngapain?!”
“Iya,
aku enggak bakal pegang kamu lagi.” Dean yang panik sontak mengangkat tangan.
“Kamu
enggak sayang aku! Aku udah enggak ada lagi artinya bagi kamu…”
Dean
yang terkejut. Matanya melebar, sebagaimana mulut. “Enggaaak…! Enggak
gitu…!”
Rieka
tersedu-sedu. Punggung Dean semakin condong namun meja membatasi. Dean pun turun
dari kursi. Dean berlutut di samping Rieka. Bagaimanapun dari sisi Dean
semula tertangkap orang-orang memandangi mereka, kini terhalang Rieka. Satu
per satu mereka menunduk kembali sementara Rieka menangkupkan kedua belah
tangan ke muka. Kenapa Dean tidak merengkuh kepalanya, merangkul punggungnya,
mendekapnya ke dada. Lengan Rieka menggusah basah dari muka. Cowok itu
termangu saja. Tatapnya lekat pada Rieka, jemarinya menempel di tepian meja.
Parasnya berkata, tenang Rieka, tenang. Rieka tenang. Dean mungkin menyadari
yang keluar dari hidung Rieka, namun rautnya konsisten.
“Kamu
tuh besar banget artinya buat aku,” ucap Dean pelan. “Aku pingin sama kamu selamanya.”
“Kamu
tuh mikirnya kejauhan…!” Rieka menunjuk-nunjuk dengan nada tersendat.
“Makanya jadinya kayak gitu…”
“Iya,
aku enggak bakal mikir kayak gitu lagi,” tukas Dean yang sabar.
“Kamu
tuh, iya iya terus. Jadi bener aku udah enggak ada artinya lagi buat kamu?!”
suara Rieka semakin naik.
“Enggak…
enggak gitu…” Dean yang habis usaha.
Apa
artinya Dean jika Deraz pun sudah tidak lagi berarti. “Bukan gitu, Yaan…
caranya, bukan gitu…” yang sebetulnya Rieka tujukan pada diri sendiri.
“Iya,
maaf Rieka, maaf. Aku nyesel, senyesel-nyeselnya…” Dean menanggapi. “Kasih
tahu aku ada yang lebih mujarab dari maaf enggak.”
Lengan
Rieka menyapu muka. Ke kanan dan ke kiri. Ia tunduk. Napas terhembus. Sesekali
sengguknya muncul namun desakan di dada mulai mereda. Lembap dan lengket di
wajah. Apa barusan tadi.
Mata
yang besar itu masih padanya.
Menunggu.
Kosong
mengisi Rieka.
“Jadi
gimana?” suara Dean, “Kalau kayak gini bukan pisah baik-baik namanya…” ganti
tercekat, “Katanya mau pisah baik-baik…”
Cairan
butek dalam gelas masih penuh.Rieka bangkit. Ia hapal harga di daftar menu.
Tanpa melihat kasir ia membayar di kassa. Dean entah bagaimana. Rieka
tidak akan mampir ke tempat itu lagi.
Rieka
biarkan autopilot dalam dirinya yang
bekerja. Buka kunci mobil. Buka pintu mobil. Tutup pintu mobil. Masukkan
kunci. Putar. Gas. Dan seterusnya. Tertangkap Dean mengenakan helm sembari
mengawasinya. Motor itu Rieka ingat bernama Hattori memantau dari belakang.
Terlirik di spion. Di lampu merah Hattori henti tepat di sisi kiri March. Leher
Rieka nol derajat, tapi tertangkap jua. Cowok itu terselubung helm full face dan jaket, kepala menghadap
ke kanan hingga klakson di belakang menjerit. Pada jalan demi jalan membentuk
iringan pendek. Di sebuah pangkalan ojek motor itu belok.
.
Seperti
biasa Kang Reyhan mengirim sms saat sore, ketika Rieka sedang mengudap roti
tawar dan segelas air mineral di meja makan. Di kulkas ada kiriman
berliter-liter susu murni dari kerabat Bik Mirah di Lembang. “Mau dibikinin
susu enggak, Neng? Rasa apa?” Tidak ada rasa apa-apa, Bik. Tidak tahu
bagaimana membalas sms cowok itu, yang tidak akan membangkitkan percik-percik
harap.
Mendadak
ia ingat pada cowok yang telah membangkitkan gelora di dalam tubuhnya.
…mungkin kalau waktunya udah tepat…
…aku pingin sama kamu selamanya…
Pacaran
tidak mesti seperti itu, Dean. Pacaran tidak mesti seperti apa, Rieka pun
tidak tahu, sekadar senang dikenal orang lain karena dimiliki atau memiliki
seseorang, karena ada yang bisa menyayangi dan disayangi, seakan tidak cukup
kasih dari orang tua, teman, dan siapapun di sekitar. Kamu memang tidak ingin
pacaran, Dean, Rieka pun tidak memahami apa embel-embel itu penting, pacar
Kang Reyhan, pacar Dean, pacar Deraz… Bukankah Rieka sekadar mengikuti aturan
yang berlaku. Cewek populer pacaran dengan cowok keren. Kamu bahkan sama
sekali tidak keren, Dean, kamu kerempeng! Tapi melihatmu sebagai kuncup yang
mulai mekar, lantas layu sebelum berkembang, uh, seperti lagu wajib nasional
yang suka dinyanyikan Papa, apa hanya aku yang punya pupuk, Dean, hanya aku?
Ini salah! Rieka ingin melihat mahkota yang indah, sungguh, mahkota yang indah,
dengan benang sari segar menjulang.
Maaf
Kang, saya tidak tahu apa artinya menjadi
pacar Akang, seharusnya bukan sekadar untuk menjadi pacar seorang mahasiswa
ITB, bukan sekadar karena wajah yang kasep
dan gaya yang asyik, bukan sekadar kita bakal terlihat sebagai pasangan yang
menarik, bukan karena apa-apa.
Saya
ingin melihat sebuah transformasi, dan itulah yang membuat eksistensi saya
sebagai manusia menjadi penting. Eksis, Kang, saya cuman ingin eksis, dengan
upaya saya, bukan upaya Akang. Ketika saya terima saja dari Akang, sesuatu
dalam diri saya terusik. Nah saya sudah kasih tahu dengan amat sangat
gamblang. Tidak usah tanya lagi kenapa. Saya tidak bisa melepaskan apa yang
telah saya mulai, saya harus menyelesaikannya.
Kosong
mengisi Rieka. Segala ocehan yang sempat berkecamuk sekonyong-konyong kehilangan
makna. Tapi ia tahu bahwa ia tidak ingin dimiliki siapapun, ia ingin menjadi
milik dirinya sendiri, jawaban untuk diberikan apabila Kang Reyhan menanyakannya
lagi sudah siap.
Menjelang
malam Rieka kehabisan daya untuk melakukan apapun. Barangkali alam yang satu
lagi sudah tidak bisa menunggu lebih lama, Rieka akan segera pergi ke sana,
tetapi seseorang menarik tangannya. Panggilan dari Dean. Rieka menekan warna
hijau. “…ya, Dean?”
“…udah
tidur ya?”
“…sekarang udah enggak lagi…” Rieka menyadari
suaranya telah parau.
“…ya
udah tidur lagi aja…” Rieka bergeming. “…aku pingin nganterin kamu sama Baby.”
Sukma Rieka pun dipenuhi simfoni lagi, dari sebuah instrumen, dilengkapi
suara lain di latarnya, “…Yan, ngapain elo jrang-jreng malem-malem…” Rieka tersenyum.
“Enggak
usah dianterin juga enggak apa-apa,” ucap Rieka.
“Bener?”
“Bener.”
“Entar
nyasar.”
“Enggak
bakal. Udah hapal jalan.”
“Entar
kalo kesasar telepon balik aja.”
“Hmhmhm…”
Rieka
tidak ragu untuk memutus panggilan. Ia harus segera tidur. Ia ingin bangun
lebih pagi, lagi, besok, sudah lama ia tidak memasak sepagi itu.
.
Dean
sudah tidak di XII IPS 2 saat Rieka mampir pada jam istirahat. Semestinya di
Kabita, atau Rieka akan memakan isi dalam wadah dalam tas jinjing mungil ini
sendiri. Benar. Cengirannya yang ceria. Matahari itu telah kembali bersinar walau
belum menghangatkan. Rieka sodorkan bawaan.
“…gaul
nya pamajikan ayeuna mah, nganter makanan
make wadah nu kitu. Lamun jaman urang baheula
mah make rantang keneh da…” peramai-penggembira kembali bekerja setelah cuti lama.
Ketawa, bray.
“Ayo
makan bareng,” kata cowok itu, walau mangkuk soto sudah ditangkup kedua belah
tangan. Melanjutkan yang semalam. Tertawa lagi. Kehangatan dalam diam, yang
biasa.
“Ditambahin
lauknya…” Rieka menaruh sesuatu dari wadah bekal ke mangkuk Dean.
“Eh…”
“Biar
gendut.”
“Neng
juga ah, biar sama-sama gendut…” Dean pun memindahkan sesuatu.
“Aku
enggak mau gendut…” Rieka memindahkannya lagi.
Sendok
Dean menyerok. Dari mangkuk ke mulut. Dean yang penurut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar