Entah
kenapa Rieka ingat nama itu. Ardian Hayyra Aldifian. Atau Ardian Hayyra saja
ternyata, kalau di Facebook. Rieka mengarahkan kursor ke foto profil cowok
itu, klik dua kali, lalu ternganga.
Cowok itu sedang memangku cowok lain, memeluknya, lengkap dengan
menyadarkan kepala pada punggung. Wajah menghadap kamera, mata terpejam,
senyum terulas. Married with Adrian Haditomo,
begitu keterangan yang tertera di Informasi. Adrian Haditomo, XI IPA 1?, demi
apa? Rieka mengakak, setelah reda ia lanjutkan memindai informasi mengenai
Dean. Tanggal lahir, sama dengan Deraz, tentu saja. Sekolah… Dalam keterangan
mengenai dirinya Dean mengatakan, “i’m
charming and lovable person, trust me baby. amin.” Aduh duh duh duh. Cowok
itu tidak memasang setelan privasi, Rieka bisa melahap semua informasi yang memang
hanya sedikit cowok itu cantumkan. Sudah cukup stalking profil Dean. Rieka tidak berminat untuk menekan Add, tidak juga pada siapapun cowok
yang sudah menjadi temannya di Facebook. Maaf maaf saja ya. Merekalah yang
harus mengirimkan permintaan untuk menjadi teman Rieka, bukan sebaliknya.
Selanjutnya Rieka berhak untuk menimbang-nimbang antara Confirm atau Ignore. Bahkan
pada Deraz pun Rieka tidak, toh Deraz tidak mengirimkan permintaan apapun
untuk Rieka, Riekapun selalu gamang setiap kali menghadapi kata itu. Add. Add. Add! ADD NOW YOU COWARD! Bahkan
meskipun mereka telah tergabung dalam grup yang sama—OSIS 20** SMANSON. Deraz
juga tidak memasang setelan privasi. Walaupun Deraz jarang pajang Status,
tapi Rieka harus bisa tahu kegiatan yang baru-baru ini Deraz ikuti
berdasarkan foto-foto atau apapun yang orang lain tautkan dengan Deraz, juga
cewek macam apa saja yang mengisi Kronologinya—direspons ataupun merespons
komentar-komentar di mana Deraz terlibat. Stalking
Deraz beberapa kali seminggu pernah menjadi agenda rutin Rieka, hingga Rieka
memutuskan untuk menunaikan ibadah puasa. Namun lapar dan dahaga Deraz
begitu kuat menyerang, Rieka tidak tahan, puasa Deraz pun sering batal. Lagipula
puasa itu bukan berarti tidak makan dan minum sama sekali selama sehari penuh.
Kan?
.
Rieka
menolak ajakan untuk menghabiskan jam istirahat bareng, baik pada teman
sekelas, gengnya dulu di LEMPERs, siapalah, apalagi Haqi! Tidak berarti Rieka
ingin menghabiskan jam istirahat sendirian, seolah tidak punya teman, tidak,
tidak boleh ada situasi macam itu dalam kehidupan Rieka. Toh Rieka
sudah memiliki rencana, hendak menghabiskan jam istirahat dengan siapa. Rieka
menyumpal kedua telinga dengan earphone yang
mengantarkan tembang milik Zooey Deschanel, untuk mengusir
kesendirian—se-men-ta-ra. Itu orangnya. Rieka harap Dean segera melihatnya, sebagaimana
ia sering dapati cowok itu diam-diam begitu. Rieka tersenyum. Semoga
lambaiannya terlihat anggun. Sini, sini.
Rieka
ingin cowok itu duduk di hadapannya lagi. Rieka ingin memindai setiap
kemiripan cowok itu dengan… seseorang… lagi. Rieka ingin mengidentifikasi
setiap perbedaan, menandainya, bagai mengerjakan sebuah permainan yang lumrah
bagi anak-anak—TEMUKAN PERBEDAAN DI ANTARA DUA GAMBAR INI—meskipun “gambar”
satu lagi tidak ada. Rieka tahu pengamatannya membuat Dean kikuk, sementara
ia sendiri malah tergeli-geli. Ouh… Bisakah Deraz membuat ekspresi selucu itu?
Dean juga memandanginya. Sama saksama, entah untuk dibandingkan dengan siapa.
Di
penghujung jam istirahat mereka meninggalkan Kabita dengan jalan beriringan.
Rieka mencopot sebelah earphone,
lalu mengarahkannya ke telinga Dean. Tangan Dean menangkapnya, lalu menancapkan
benda itu ke telinga. Playlist di ponsel
Rieka memutar “Why Do You Let Me Stay
Here”[1], lagu yang tepat jika liriknya didengarkan secara
cermat.
“Sori
aku enggak bisa bales pake lagu Sunda lagi, soalnya aku enggak ada yang
hapal.” Dean menoleh pada Rieka. “Lagian kalo aku bisa main kibor juga, aku
enggak bakal mainin itu di kelas kamu. Itu norak banget tahu enggak?”
Antara
tertawa dan tercengang—Rieka tidak bisa membayangkan tampang Deraz sekomikal
itu...tapi Dean bisa!
Kata
Rieka lagi, “Aku pingin nyoba sama kamu. Boleh enggak?”
Dean
sudah tidak ingin tertawa, tapi Rieka masih ingin merekam bagaimanapun
ekspresi cowok itu di memorinya. That
puppy look… unyu banget…!
“…tapi
jangan bilang siapa-siapa dulu ya…?” sambung Rieka dengan nada memohon, lagi
sungguh-sungguh.
“…elo
serius …sama gue?” respons Dean bak ikan terdampar di darat.
Mereka
sudah berada di persimpangan jalan menuju kelas masing-masing. Bel tanda jam
istirahat berakhir pun sudah lama lalu. Rieka mencabut earphone dari lubang telinga Dean, bergegas untuk menyembunyikan
kikih.
.
Beberapa
kali tiga—semula dua—bersaudara itu pernah menaiki mobil Rieka saat SD.
Disopiri Pak Sam hingga rumah mereka yang memang searah dengan rumah Rieka.
Tidak pernah Dean sendiri, minimal adiknya yang perempuan serta, apalagi kalau
Deraz!, karena Rieka tidak mau. Toh Mama sudah pesan pada Pak Sam, “kalau ada
anak-anaknya Bu Dara diantar sekalian aja Mang,”—“anak-anak” kan, bukan
“anak”. Sebetulnya mereka berlangganan jemputan, tapi menebeng mobil Rieka agaknya
merupakan pengalaman khas. Apalagi bagi Dean. Sampai SMA bahkan. Maka, SD-SMP
(sekolah mereka bersebelahan)-SMA, Rieka tidak heran saat sepulang sekolah
mendapati Pak Sam tak sendiri menunggui mobil melainkan ditemani Dean. Akrab
benar mereka. Sudah biasa pula bagi Dean untuk segera melenyapkan diri begitu
Rieka sampai, ketimbang dihantui tatapan judes Rieka barangkali. Tapi kali
ini tidak.
Rieka
usai rapat OSIS. Ia mendapati Dean duduk di samping jok Pak Sam, ber-jumper pelangi. Sering kali Dean hanya
berdiri di balik pintu Pak Sam. Melihat Rieka, Pak Sam membereskan kulit
kacang yang bertebaran di atas dashboard,
sementara Dean buru-buru keluar dari mobil, mengangguk sopan seraya
membukakan pintu agar lebih lebar. Rieka biasa tidak mengacuhkan. Tapi kali
ini tidak.
Maka
Rieka melontar senyumnya yang bak planaria—bercambuk getar. Ia lantas duduk di
tempat Dean semula. Begitu menaruh ransel di jok tengah ia baru sadar kalau
biasanya ia duduk di jok tengah. Dean sudah menutupkan pintu di sampingnya.
Betapa
selama ini Dean menyamakan posisinya dengan Pak Sam—semacam kalangan yang doyan
merokok sambil makan kacang ketika harus menunggu begitu lah, meski Rieka
tidak pernah lihat Dean merokok. Bahkan sebetulnya Dean lebih santun dari Pak
Sam, entah di bagian mana tapi. Setidaknya Dean tidak pernah mengorek-ngorek
kehidupan asmara Rieka, sedang Pak Sam—Rieka curiga pria itu sebetulnya
mantan wartawan infotainment.
“Yayan!
Udah ada nomornya belum?” seru Pak Sam, namun Dean telah menjauh. Rieka tidak
mau tahu nomor apa bahkan siapa yang Pak Sam maksud.
Pak
Sam sudah memutar gas ketika sosok jangkung tapi tipis itu kembali. Dean
melongok dari balik jendela depan yang masih setengah terbuka. “Rika, saya
belum punya nomor kamu!”
Rieka
terpana. “Oh ya.” Seperti terhipnotis Rieka mengangkat ponselnya yang masih
bermotif hati-hati. “…aku juga.”
“Besok
mau istirahat bareng lagi?”
“Boleh
aja…”
Transaksi
nomor berjalan dengan sukses.
“Dah…”
“Dadah…”
Jendela
perlahan menutup. Rieka bingung. Kalau Dean memang menyukai Rieka selama ini,
sekiranya cowok itu akan menyimpan nomornya, walaupun hanya untuk
dipandang-pandang—dihapal tapi tidak cukup nyali untuk digunakan—sebagaimana
Rieka dengan nomor Deraz lah. Mobil mulai melaju mundur dari pelataran parkir
SMANSON sebelah luar.
“Enggak
diajak bareng sekalian, Neng?” tegur Pak Sam.
Rieka
menurunkan lagi jendela di sampingnya. Terlihat Dean sepertinya belum begitu
jauh. Rieka memanggil-manggil, namun cowok itu tak mendengar. Bikin malu
saja! Kalau Rieka yang berada di posisi Pak Sam tentu ia ingin cekikian.
“Kan
udah ada nomor HP-nya…” Pak Sam lagi.
Rieka
berdecak, “Iya, tahu,” seraya membuka kontak dan mencari nama itu. “Yan…
bareng aja yuk?”
“Eh
iya… Eh apa? Istirahat besok?” Deru kendaraan jelas sekali sebagai latar suara
Dean. Dean masih di sekitar sini mestinya, tapi kok tidak kelihatan… Lanjut
cowok itu, “Bukannya tadi…”
“Bukan…
Kamu udah jauh belum? Pulangnya sekalian aku aja.”
Mobil
berhasil menyeberang jalan. Rieka mendapatkan kesadarannya, terutama mengenai
nilai penting tindakan yang barusan ia lakukan. Mau-maunya dikerjai Pak Sam!
Tapi beberapa menit kemudian Dean sudah
duduk di jok tengah, sementara mobil melaju dengan kecepatan sedang. Demi apa
Dean yang sudah menginjakkan kaki di lantai angkot mendadak urung?
“Enggak
ditemenin Neng, temennya di belakang?”
“Ah
udah deh Pak Sam nyetir aja. Bawel!” Rieka ingin menangkupkan kedua belah
tangan ke muka. Perangai buruknya pada Pak Sam keluar di saat ada orang lain
melihat. Bukan ia tidak pernah begitu sebelumnya. Ia sering marah-marah pada
Pak Sam, tidak peduli siapapun yang sedang duduk di jok lain, tapi saat SD.
Ekspresi bengong Dean tidak cukup menghibur kali ini. Rieka tidak tahu kenapa
ia harus malu, padahal cuman di depan cowok macam Dean!
“Saya
aja yang nemenin si Neng di depan, Pak Sam,” celetuk Dean dengan sesemringah
mungkin.
“Oh…
ya… boleh aja,” jawab Pak Sam. “Puguh
ngeunah Pak Sam mah sekali-kali
disetirin. Entar pas di belokan itu aja ya Yan.”
“Enggak
jadi deng Pak, kapan-kapan aja.” Canda di muka Dean lenyap.
“Kenapa…
Belum bisa nyetir, Yan?”
“He…
Belum, Pak.” Dean kembali cengengesan.
“Belajar
atuh, kayak si Neng nih…”
“Ah
Pak Sam udah deh. DIEM!” sentak Rieka bagai memberi perintah pada hewan
piaraan.
Dean
juga tidak bersuara lagi, sampai mobil berhenti di pangkalan ojek terdekat
dari kompleks perumahannya.
.
Setelah
tiga kali besok, Dean menjajari langkah Rieka yang menuju ke Kabita, “Eh Rika
mau ke Kabita juga…” ucapnya, dengan beberapa cewek lain juga mengiringi
Rieka. Serempak mereka menoleh pada spesies lain yang mengintrusi koloni tersebut.
Sekilas saja, sekadar untuk merespons senyum Dean yang bersinar.
“Iya,”
jawab Rieka. Selanjutnya Dean mengucapkan sesuatu secara terlalu pelan.
Suaranya terpeleset di muka lubang telinga Rieka, jatuh, tapi masih sempat
menggelitik. “Hah?”
“Bareng
yuk.”
“Langsung
nimbrung aja kali. Enggak usah bilang-bilang segala.” Teman-teman Rieka
tertawa.
“Ya
udah aku mau bareng dia aja,” kata Rieka seraya melebarkan jarak dengan
teman-temannya. Mereka terkejut, namun membiarkan sejoli itu menapaki
jalannya sendiri. Rieka membalas lambaian mereka.
“Dari
kemarin pingin deketin kamu. Tapi enggak enak soalnya kamu sama temen-temen kamu
terus,” kata Dean dengan memiringkan kepala, barangkali agar suaranya lebih
sampai pada Rieka.
Kening
Rieka berkerut. “Ya udah sekarang dienakin aja.” Akhirnya Rieka ingat akan
situasinya kini bersama Dean. Kehidupan baru sudah mengadang. Rieka harus
membuatnya lebih enak. “Ri-e-ka. Nama aku ada ‘e’ di tengahnya,” kata Rieka begitu
mereka duduk berhadapan di salah satu bangku panjang yang masih menyisakan
ruang, lengkap dengan kudapan masing-masing. “’e’-nya dibaca.” Rieka tersenyum
saat Dean mengeja namanya per suku kata. “Eka itu artinya satu. Tapi cuman keluarga
aku yang boleh panggil aku Eka.”
“Oh,”
Dean menjentikkan jari meski tidak bunyi, “aku tahu. ‘R-I’-nya… Republik
Indonesia kan?”
Kening
Rieka berkerut. “Bukan… ‘R-I’ tuh Raditya dan Ice, nama orangtua aku.”
“Bukannya
nama mama kamu Tante Nira?” lalu Dean meneguk jus jeruk.
“Ice
Nirawati.” Rieka menggigit stik tahu, sedikit. Begitu habis ditelan ia
berucap lagi, “Kalau nama kamu? Aku pingin tahu aja artinya, ‘Hayyra’ kayaknya
bagus gitu.”
“Kalau
ayah saya bilang sih…” Dean mencomot stik tahu yang Rieka tawarkan, “…jadi
gini kronologinya,” Rieka tersenyum karena lagak Dean yang sok serius, dan
apakah cowok tersebut benar-benar mengerti arti kata “kronologi”? “waktu itu teh hujan deras, makanya Deraz
namanya Deraz,” Rieka tertegun, “terus habis hujannya berhenti, matahari
terbit, saya lahir. Jadi katanya ‘Hayyra’ itu artinya matahari kehidupan—naon lah.”
Mungkin
itu sebab kenapa Deraz selalu bikin gerimis di hati Rieka, sedang Dean
ternyata mampu memberikan kehangatan. Rieka tidak doyan gombal, atau bisa
jadi gombal beda tipis dengan realita, tapi begitulah pemikirannya. Pemaknaan
yang riskan, Rieka.
Nasi
goreng pesanan mereka datang.
Rieka
memerhatikan bagaimana kedua belah pipi Dean timbul tenggelam saat mengunyah.
Deraz makan dengan lebih lahap—sama cepat dengan waktu yang dibutuhkan untuk
mematangkan Pop Mie. Rieka benar-benar mensyukuri OSIS yang memungkinkan
kebersamaan dengan Deraz, meski sesekali, tapi memberikan kesempatan baginya
untuk menyaksikan bagaimana cara Deraz makan. Puasa Deraz pun batal lagi.
Benar kata Ipong. Program “Lupakan Deraz” adalah musykil mengingat kebersamaan
mereka masih satu tahun kepengurusan sekaligus dua tahun ajaran lagi—satu
tahun ajaran lagi kalau Deraz lolos seleksi AFS. Selanjutnya Rieka hanya bisa
berdoa supaya ia dan Deraz tidak menjadi mahasiswa di kampus yang sama.
“Kamu
ngunyahnya lama ya?”
Kepala
Dean terangkat. “Iya. Makanya kurus.” Sambungnya dengan suara lebih pelan
namun masih terdengar, “Bokernya juga lancar.”
“Da maneh
mah, ngunyahnya juga sampai makanannya jadi cair yak…” celetuk cowok yang
duduk di sebelah Dean. Barulah Rieka ingin bilang, “iyuh.” Dean
mengguncang-guncang temannya tersebut dengan keakraban. Pengamatan Rieka
beralih pada spesies macam apa teman Dean itu. Rambut keriting. Wajah
bermotif jerawat dengan lapisan minyak. Mata sipit. Hidung pesek. Bibir hitam.
Sering terlihat menongkrongi warnet seberang SMANSON bersama anak-anak
sejenis—sejenis berandalan SMANSON barangkali. Rieka bertanya-tanya ke mana
tipe yang chic macam Ola dan Anne.
“Ri…
Neng—Ri-eka,” panggil Dean ketika mereka jalan meninggalkan Kabita. “Punya
jepit rambut enggak?”
“Ada,
di kelas. Buat apa gitu, Yan?”
“Ini…”
Dean mengangkat poninya ke atas. “Udah panjang gitu tapi belum sempet aja ke salon…”
Sejenak
Rieka terbelalak. “Oke… Yuk…” Dean mengiringinya ke XI IPA 5.
“…pingin
ganti model lagi sih…”
“Kok
gue asa sering liat potongan rambut
elo beda ya?”
“Iya.
Yang ini gue pingin yang rada zadul gitu. Potongannya orang serius lah, bae culun ge.”
“Kenapa
sih?”
“Biar
guenya juga kebawa serius.”
“…demi
apa…?” Rieka ingin tertawa tapi lebih tampak seperti meringis. Mereka sudah melewati
pintu kelas. Dean langsung mengenali daypack
milik Rieka, lengkap dengan merek, dan bahwa ia pernah mengidamkan barang
serupa. Rieka mengambil sebuah jepit panjang, menyerupai capit, dari beauty kit miliknya.
“Biasanya
kalau di rumah gue pinjem punya adik gue…”
Pelajaran
terakhir di XI IPA 5 usai, Dean sudah menanti Rieka di sekitar pintu kelas.
“Makasih
ya Neng…” Dean menyerahkan jepitan Rieka dengan wajah yang berseri-seri.
Mereka lalu jalan beriringan menuju gerbang, sampai Rieka ingat kalau ia seharusnya
mampir ke sekre OSIS dulu. “Tadi sempet diambil sama Bu Pipin gitu. Jepitnya.”
Dean memperagakan bagaimana guru Sosiologi tersebut mencabut jepit dari
poninya. “Kayak cewek aja, katanya.”
“Iyalah!”
Duh, Dean, jangan terus-terusan bikin Rieka ingin tertawa!
Mereka
berjanji untuk istirahat bareng lagi besok. Selepas kepergian Dean yang
melangkah ringan-ringan, Rieka tersenyum-senyum. Rasanya seperti terbenam ke
masa SD—kali pertama pacaran! Nanti lagi Rieka ingin mencubit kedua belah pipi
Dean sekuat-kuatnya. Biar merah, biar tembam lama-lama!
Besok
tinggal Rieka seorang di XI IPA 5 pada jam istirahat, saat Dean menghampiri
dengan terengah-engah.”He… hehehe…” sapa cowok itu.
“Kamu
salat duha dulu ya?” Rieka mencoba untuk berbaik sangka. Tebakan Rieka
sebetulnya Dean sudah sampai Kabita, menghabiskan sebungkus cakue mini,
menyadari kalau Rieka tidak bersamanya, lalu lekas-lekas ke XI IPA 5. Tapi
Rieka butuh mengenal Dean lebih lama agar bisa membuktikan tebakannya.
.
Masih
jam lima lebih sedikit ketika Rieka usai salat subuh. Ia mencomot ponsel lalu
mencari kontak Dean, menerka-nerka apakah cowok itu sudah bangun. Pasti
belum. Panggilan Rieka baru terjawab setelah kali kedua, tanpa disusul suara
sama sekali selama beberapa detik. “Pagi Dean, udah bangun belum?” Betapa
baik Rieka, sejak pagi sudah menyirami seseorang dengan kebahagiaan! “Deuh
Neng, pantesan tadi tiba-tiba ngilang,” jawab Dean setelah beberapa lama.
“Ternyata udah balik duluan…” Rieka cekikikan. Padahal semalam sama sekali
tidak ada Dean dalam mimpinya.
Jam
istirahat mereka habiskan bersama. Dean bercerita bagaimana ia biasa mandi
ketika keluarganya sudah sarapan, dan baru sarapan ketika dalam perjalanan
ke sekolah, namun pagi itu tidak biasa. Rieka baru hendak menyeruput kuah sup
buah ketika pandangannya tak sengaja mengerling ke tengah kantin. Deraz.
Rieka sering melihat Deraz—sengaja atau tidak sengaja—tapi tidak pernah sebelumnya
saat Deraz juga sedang melihat ke arahnya. Deraz mungkin baru bakal melihat ke
arahnya ketika Rieka menegur cowok itu, begitu selalu Rieka menyangka. Tapi
bagi Rieka hari ini pun mengandung jam istirahat yang tidak biasa. Deraz
melihat ke arahnya… atau mungkin melihat Dean… tapi secara otomatis Rieka juga
berada dalam lingkup pandangan Deraz. Tanda seru bagi Rieka.
Sepulang
sekolah Rieka yang hendak latihan bareng ekskul Vocal Group alias VG disusul Dean dengan lari-lari kecil. Cowok
itu ingin menemani Rieka ke ruang kelas yang dipakai untuk latihan, sembari
memperdengarkan sesuatu dalam perekam miliknya. Rieka menekan kedua earphone sedalam mungkin ke lubang
telinga agar jelas suara yang mengalir dari perekam tersebut. Kening berkerut.
“…she’s so high… high above me, she’s lovely…[2]”
Rieka
merasa sering mendengar lagu tersebut di radio, tapi tidak tahu penyanyi
serta judulnya.
“Ini
kamu yang nyanyi?”
“He
eh.”
Rieka
baru menyadari cowok itu mengenakan jumper
biru muda dengan motif jejak kaki kucing (atau anjing?). Ia dengarkan lagi
lagu tersebut dengan saksama. Di samping vokal Dean yang tanpa teknik, serta
nada-nada yang mestinya cowok itu hasilkan dengan kibor, Rieka mendapati suara
gitar. “…ini… ada gitarnya?”
Dean
mengiyakan seraya mengangguk.
“Siapa
yang main?” Mendadak Rieka ingin nama itu yang disebut, yang selain merupakan
Kabid I di OSIS juga dikenal piawai memetik gitar. Bintang di setiap gig SMANSON. Rieka berharap bisa
melihat cowok itu mengupil, kentut sembarangan, garuk-garuk ketiaknya yang
basah, apapun yang bakal melenyapkan perasaan Rieka padanya dalam sekejap,
tapi momen itu tidak kunjung terwujud.
“Kakek.”
“Kakek
siapa… kakek kamu?”
“Kakeknya
Zahra.”
“Zahra
siapa?”
“Temen
aku.”
“Temen
yang mana?” Rieka terkejut nadanya terdengar posesif. Ulangnya dengan nada yang
lebih terkontrol, “Temen kamu?”
Dean
tidak langsung menjawab. Sebatang jarinya menggaruk-garuk kepala. “Itu… anak…
IPA berapa ya dia teh… Sms dia dulu atuh yah…”
“Enggak
usah, enggak penting! Kamu aneh banget deh…”
Dean
menurunkan ponsel.
Dean
menceritakan tentang persewaan studio musik milik kakeknya Zahra, dan betapa
kakek tersebut lebih enak ketimbang kakek yang menjadi guru les pianonya.
Mereka
sudah sampai. Mereka saling melambai. Sepanjang latihan Rieka susah
konsentrasi. Lirik lagu tersebut menyadarkan Rieka betapa Dean memujanya.
Malam
Dean meneleponnya, hanya untuk memastikan tebakan bahwa Rieka belum tidur. Mempertahankan
peringkat lima besar di kelas itu butuh upaya, Sayang. Tapi jangan sampai
terlalu larut. Yang butuh segera tidur itu sebetulnya Dean, pikir Rieka,
mendengar suara cowok itu yang sudah parau. Dean ingin menemaninya dengan Rachmaninoff.
Rachma… siapa lagi cewek ini? Yang dijawab Dean dengan denting-denting yang
berat. Malam-malam main kibor! Bukan
kibor, Neneng, ini piano. Namanya Baby. Baby ingin kenalan sama Neng. Baby
itu cewek atau cowok? Cewek. Putih mulus
kayak Devon Aoki, Neng jangan cemburu ya. ...ini cowok!
“Yan…
Kenapa sih kamu suka panggil aku ‘Neng’? Kayak Pak Sam aja…”
“’Neng’
itu kan panggilan kehormatan…” Dean berhenti agak lama. “…Neng Ri-eka.”
“Kalau
gitu aku juga mau panggil kamu…” Melintas di benak Rieka kata ‘aa’ dan
‘akang’, tapi memanggil Dean dengan panggilan tersebut bikin Rieka serasa
digelitiki, lagipula cowok itu beberapa bulan lebih muda darinya—ya, berarti
Deraz juga, jangan ingatkan Rieka. “…Yayan…”
Tawa
cowok itu seperti anak kecil. “Itu mah yang
nyanyi lagu ‘Curug Cinulang’ atuh, Neng, Yayan Jatnika!”
Rieka
tidak mengerti, tapi bagaimanapun ia terlanjur suka dengan panggilan itu.
Terdengar manja lagi mesra. “Itu kan dari ‘Dean’… Yan… Yan… gitu, jadinya
Yayan…” Lagipula Rieka sering mendengar Pak Sam juga memanggil Dean demikian,
dengan kesan yang berbeda dengan Rieka, semestinya.
“Nanggung
atuh… tambahin ‘g’ gitu belakangnya…”
Rieka
mencerna, lalu mendengus.
“Iya,
Sayang…”
Bukan
hal sulit. Rieka sudah terlatih untuk memperlakukan setiap cowok yang jadi
pacarnya dengan “sayang”.
Rutinitas
pun dimulai. Membangunkan Dean. Istirahat bareng dengan secangkir senyum Deraz.
Mendengarkan hasil ulikan Dean dan Kakek (—kakek siapapun itu) sejak “Funny Little Frog” dari Belle &
Sebastian sampai “Stay (Beside Me)”
dari Santana. Tidur diantar denting-denting piano. ‘Sayang’ dibalas dengan
‘Sayang’. Yang tidak biasa menjadi biasa.
Sejenak
Rieka mengganti pensil dengan ponsel, matanya memindai isi kontak, lalu
mengganti ‘Dean’ dengan ‘LovelYan’. Lovely
Yayan.
.
Kembali
terasa seperti pacaran pertama kali. Pacaran ala anak SD. Seolah Rieka hendak
mengulang pengalamannya bersama… Rieka agak lupa siapa nama si pacar
pertama. Sepulang sekolah mereka diantar Pak Sam ke BIP. Sejak menapaki
lantai BIP tangan mereka bergandengan senantiasa, mata mereka bertukar tatap
sesekali. Lalu lalang orang-orang diterobos begitu saja seolah tidak ada. Deretan
toko melintas begitu lamban seakan ingin jadi saksi kebersamaan.
Tangan
Dean besar sekali! Menelan nyaris seluruh tangan Rieka. Tangan pianis!
Kepada
Dean Rieka bisa mengungkapkan kalau ia masih menggemari Winnie The Pooh dan
Sailormoon, padahal dengan cowok-cowok sebelumnya Rieka malas kasih tahu.
Barangkali karena Dean sedang mengenakan jumper
Doraemon—lengkap dengan kantong putih setengah lingkaran di area perut. Oh,
betapa nikmat bisa membeberkan rahasia kecil ini!, meski sebetulnya Rieka
bisa mengutarakannya pada siapapun kalau ia mau, tapi terasa seru dengan
menganggapnya sebagai sebuah rahasia!, karena tidak semua orang tahu!
“Kamu
sukanya sama Sailor apa?” Tidak yakin orang lain bakal merespons sehangat
Dean.
“Mm…
Aku suka Sailor Jupiter,” karena ujung rambut Sailor Jupiter mengikal seperti
rambut Rieka. Kedua tangan Rieka bergelayut di pergelangan tangan Dean.
“Tapi terus aku suka sama Sailor Venus. Tapi aku paling suka sama Sailormoon…”
Rieka tersenyum mengenang masa kecil, di mana ia suka meminta pembantu di rumah
untuk menata rambutnya agar seperti Usagi Tsukino, yang mana ia tidak pernah
cukup percaya diri untuk pergi ke sekolah dengan model begitu.
“Kalau
gitu aku jadi tuksedo bertopengnya.”
Potongan
rambut Dean boleh serupa Mamoru Chiba, tapi menurut Rieka, “kamu tuh cocoknya
jadi temennya si Usagi yang pake kacamata muter-muter itu loh… itu tuh…
Umino!”
“…kok…?”
Ekspresi Dean membikin Rieka mengikik. “Terus kalau Winnie The Pooh…”
“Aku
Winnie The Poohnya. Kamu…”
“Christopher
Robin!”
“Enggaak…!
Kamu tuh cocoknya jadi Piglet!”
“Haaah…”
Rieka
ingin memperlihatkan Dean pernak-pernik lucu di Heartwarmer, yang sebelumnya
sudah ia tandai saat ke sana bersama teman-teman beberapa hari lalu. Rieka
akan membelinya kalau menurut Dean cocok. Selera Dean agaknya bisa dipercaya.
Tentu saja tidak cuman Heartwarmer tujuan Rieka, toh ia sudah membawa
MasterCard milik Mama.
Ada
beberapa film menarik di XXI. Rieka ingin mengajak Dean menonton sekalian.
“Neng,
kasihan atuh entar Pak Sam nunggunya
kelamaan,” kata Dean, mengingatkan Rieka akan Pak Sam dan mobil yang menunggu
di basement.
“Enggak
apa-apa kali…” Memang begitulah tugas sopir. Untuk menyopir dan menunggu, dan
menyopir lagi, meski sesekali Pak Sam merangkap pembantu umum. Lagipula Pak
Sam bisa saja meninggalkan Rieka dan Dean, kapanpun nyonya besar membutuhkan
jasanya, walaupun setelah itu ia mesti kembali lagi untuk menjemput.
Mereka
pun memutuskan untuk membeli kudapan dulu di Hypermart, sembari menimbang film
mana yang hendak ditonton.
Di
muka Hypermart, “Hweee…!”, sekelompok cowok yang mana Dean termasuk ke
dalamnya membuat keributan. Reuni SMP dadakan. Tangan bersalaman.
Tabok-tabokan. Rieka memindai satu per satu teman SMP Dean, dari kiri ke kanan,
lalu atas ke bawah, dan menyimpulkan bahwa mereka adalah tipe yang doyan
jongkok-jongkok di pinggir jalan sambil merokok dan omong jorok. Rieka bertanya-tanya
apakah teman Dean yang chic cuman Ola
dan Anne.
“Kenalin,
yeuh, cewek urang!”
“Hweee…!”
lagi.
Selanjtnya
mereka terlalu tercengang untuk bereaksi.
“Yan,
mun karek batur mah tong diaku-aku atuh, karunya ih.”
“Ih,
ciyuuuus…!”
Satu
per satu uluran tangan mereka datang, bak siluet ranting di tengah malam
berbadai nan mencekam. Rieka berupaya agar sebisa mungkin salaman terjadi
tanpa sentuhan. Namun rupanya cowok-cowok itu juga ingin berkoloni dengan yang
sejoli, menjelajahi BIP beramai-ramai. Ih! Apa kata Mama kalau sampai melihat
Rieka jalan dengan cowok-cowok macam mereka?! Maka Rieka agak menjaga jarak
ketika rombongan berjalan. Padahal Dean tampak begitu terawat, berkulit putih
tanpa jerawat, meski pucat, tapi pergaulannya beririsan dengan anak-anak
kurang terurus!
Benda-benda
di balik etalase demi etalase yang mereka lewati mampu meredakan gejolak yang
Rieka alami. Selembar ruffles sweater
menghentikan langkah Rieka. Ia ingin tahu bagaimana pendapat Dean apabila
pakaian tersebut ia kenakan. Tapi bayangan yang memantul di kaca membuat
Rieka terkesiap. Rieka balik kanan. Dean tidak lagi di sampingnya. Rieka
mengedarkan tatapan ke pelosok mal. Eskalator. ATM center. Restoran. Lobby. Tidak
ada. Bahkan satupun berandal dari komplotan itu tidak tampak—Dean diculik!
Rieka
mencoba untuk menghubungi Dean sembari jalan, semula tak tentu arah, sampai melintasi
Hypermart kembali. Belanjaan mereka tadi dibawa Dean. Rieka memasuki swalayan
tersebut, seraya memencet nomor Dean beberapa kali lagi, lalu keluar dengan
menenteng plastik gembung. Saat turun ke basement
dengan eskalator Rieka masih berusaha untuk menghubungi Dean. Di mobil Pak
Sam gelagapan ketika Rieka menutup pintu tengah. Pria berambut ikal itu
menaikkan sandaran jok, dan bertanya, “Kok enggak bareng si Yayan, Neng?”
Pipi
Rieka gembung oleh keripik kentang. “Tahu tuh. Tiba-tiba aja ngilang.” Rieka
biarkan Pak Sam dalam kebingungan. Pria itu sudah duduk tegak, seakan siaga
untuk mengemudi segera. Tapi masih berbalik pada Rieka sekali-kali.
“Mau
pulang atau nunggu, Neng?”
Rieka
mengangkat pergelangan tangannya yang dilingkari jam. “Tunggu setengah jam lagi
deh,” atau sampai nyamikan di dalam plastik tandas. Rieka lahap dengan amat
nafsu. Diselingi tegukan demi tegukan besar dari botol jus jambu.
Snack
ketiga ketika ponsel Rieka bernyanyi.
“Neeeeng…!”
sahut Dean histeris. Rieka sengaja menyetel loadspeaker biar Pak Sam dengar sekalian. Sekonyong-konyong benak
Rieka dijejali beragam kalimat—amunisi untuk mengomeli Dean. Mesti dipilah
mana yang paling tepat, atau keluarkan semua dalam sekali cerocos. “HP aku
di-silent…” begitu alasan Dean.
“Terus
enggak getar juga?”
“Getar…
Cuman—itu kan HP-nya aku taruh di kantong jumper,”
mengingatkan Rieka akan model jumper Dean
hari ini, “terus aku enggak tahu itu HP aku yang getar. Kirain akunya aja yang
laper…”
Beberapa
lama Rieka membenamkan muka ke sandaran jok, sebelum dengan susah payah membentak,
“Kamu mau pulang sendiri apa bareng?!”
“…kamu
sekarang di mana?”
“Di mobil! Cepetan!”
Rieka
memutus panggilan. Setengah badan Pak Sam menghadapnya, entah sudah berapa lama
seperti itu, Rieka belum pernah mendapati sopirnya sebengong itu.
.
Dean
lanjut mengais-ngais maaf dari Rieka bahkan hingga rutin malam mereka. Rieka
ingin bilang, “take it easy aja
lah!” tapi ia juga tidak ingin membuat Dean kelak menggampangkan urusan dengannya.
Sementara Dean meluapkan apapun yang mengganjal di hati, Rieka menyibak
halaman demi halaman tabloid yang baru Mama beli. Menu minggu itu adalah
bekal buat si kecil. Rieka terilhami cara untuk menunjukkan pada Dean bahwa ia
sudah tidak begitu memusingkan perkara tadi sore.
Keesokan
paginya Rieka bangun setengah jam lebih awal.
Di
pantri Rieka mencari-cari kotak bekalnya saat SD, meski wadah tersebut tidak
benar-benar kotak melainkan… ia menemukan wadah yang berbentuk kepala Winnie
The Pooh—sangat kontras dengan bentuk wajah Dean yang lonjong! Tapi toh Rieka
memang hendak membuat wajah Dean sebulat beruang madu tersebut… hm…
sepertinya cowok yang terlalu gemuk tidak bakal look good… minimal bagaimana mengisi pipi cowok tersebut agar
tidak terlalu tirus lah.
Program
“Gemukkan Dean” dimulai!
Rieka
lalu berdiskusi dengan Bik Mirah di dapur mengenai nasi goreng yang hendak ia
buat, lengkap dengan modifikasinya. Warna nasi jangan cokelat, tapi yang
putih kekuningan biar menyerupai warna kulit Dean. Mata Dean yang berbinar
akan dibuat dari belahan kuning telur rebus, sedang bagian yang putih
dimanfaatkan untuk hidungnya yang panjang lagi lancip. Senyum Dean yang lebar
berupa sosis gepeng separuh bulat. Tentu saja Rieka juga menghendaki wajah
yang berseri-seri kemerahan, menandakan fisik yang sehat biarpun wajah Dean
biasanya pucat, sehingga kedua belah pipi cowok itu akan dihiasi irisan tomat.
Sepasang salad ditata di bawah dagu, anggaplah kerah jumper Dean.
Sembari
memikirkan bahan apa yang bisa menjadi alis dan rambut dan telinga Dean, kalau
perlu yang mengandung kalori tinggi dan banyak lemak!, Rieka mengaduk-aduk
kulkas. Kemudian ia menarik sebongkah plastik berisi kepiting ukuran jumbo. “Oh itu semalam dibawa sama Bapak, oleh-oleh
dari temennya ceunah,” demikian Bik
Mirah memberi keterangan. Wajah Rieka mendadak cerah. Ia akan membuat telinga
Dean dari daging kepiting!
Instruksi
Rieka telah lengkap. Sebetulnya ia bisa saja membiarkan Bik Mirah yang
mengerjakan untuknya, tapi bakal terasa pahit lidahnya kalau nanti mengklaim
bekal tersebut sebagai buatannya pada Dean. Sehabis bersiap ke sekolah Rieka
pun kembali ke dapur, walaupun sekadar jadi mandor.
“Eka
tumben bikin bekal,” sapa Mama seraya merangkul pinggang Rieka, dan segera melepaskannya
lagi. Mamalah mandor sesungguhnya. Tiap pagi menyambangi dapur seolah mengecek
kerja si bibik, dengan diam-diam mengambili camilan di kulkas.
“Buat
cowok aku, Mama…” sambut Rieka. Tangan-tangannya sedang sibuk menata wajah Dean
agar tampak artistik.
“Si
Haqi tea?” Mama menuang susu cair ke
mug.
Oh,
lupakan cowok yang selalu merasa dirinya lebih jago dari ayam itu, Mama!
“Bukan…”
“…oh,
udah ganti lagi?”
Bahkan
Mama pun bersikap seperti itu! Rieka menggerutu dalam hati. Tapi ia memang
tidak bisa memungkiri, cowok kali ini adalah pacarnya yang ke… sekian kali.
Mama
melongokkan kepala dari balik bahu Rieka. Jarak antara puncak kepala mereka
mencapai belasan senti. “Sekarang pacaran sama anak TK?”
Rieka
menggeleng.
Seperti
yang sudah Rieka duga, Dean amat semringah akibat bekal tersebut. Apalagi
ketika mendapati wajahnya di balik wajah Winnie The Pooh yang ceria.
Perjuangan Rieka terbayar. Wajah Dean masih utuh. Selama melintasi berbagai
ruang dalam jam-jam yang terhampar hingga jam istirahat, Rieka menjaga agar
bekal tersebut tidak terkena guncangan yang merusak.
“Waa…
Aku makan muka aku sendiri…” Dean tertawa-tawa seraya menarik sendok dari
dalam lipatan tisu.
Uuh…
Dean cute banget… Rieka ingin meremas-remas
wajah itu sebelum melahap wajah yang tiruan. Dean mengingatkan Rieka pada
Tito, atau Oon, Tito atau Oon ya?, pokoknya dulu Rieka memiliki boneka badut
seukuran bayi. Matanya berupa bintang dan bibirnya selalu tersenyum, persis
seperti Dean. Pipinya gembil. Rieka senang menimang-nimangnya seakan ia ibu
muda, atau kakak muda. Saat itu perabotan Rieka sewaktu bayi, sebagian dari
yang tersisa, turut menghuni kamar. Rieka memakaikan Tito tapi Oon blus
renda-renda dan rok merah jambu, yang sering dipakai Rieka saat masih batita,
walaupun penampakan boneka tersebut menunjukkan gender yang tidak sesuai.
Rieka menyuapi Tito apa Oon walaupun ceruk sendok sekaligus mangkoknya tak
berisi. Rieka membuka mulutnya lebar-lebar, seakan Tito yang Oon juga bakal
menganga, membiarkan bubur transparan mengisi ruang di balik bibirnya. Dalam
imajinasi Rieka pipi Tito juga Oon tumbuh dari hari ke hari, dagunya
membulat.
“Ini
kepiting ya?” Dean memperlihatkan secuil potongan daging di ujung sendok.
Rieka mengangguk selagi mulut Dean meraup makanan tersebut. “Ya ampun,
ternyata kepiting ini emang enak banget…”
…ternyata…
“Yayan
enggak pernah makan kepiting?”
“Jarang.
Jarang banget.”
Rieka
terperangah tapi sesaat.
“Yayan…
Yayan harus banyak makan yah.”
“Iya
Neng,” jawab Dean dengan pipi berisi.
Sepulang
sekolah Rieka dalam gegas menuju sekre OSIS ketika jumper sekuning pisang di kejauhan menarik perhatiannya. Rieka
menoleh sekali. Oh, Dean. Rieka menoleh dua kali. Muka Dean merah sekali!
Kontan Rieka memutar langkah. Alas sepatu ketsnya beradu-adu dengan ubin
lorong sekolah yang hitam. Dean tampak sedang mengobrol dengan
seseorang—terhalang tiang hingga Rieka tidak bisa langsung memastikan. Melihat
arah mata Dean, sepertinya lawan bicaranya sama jangkung dengan cowok itu.
Siapa lagi di sekolah ini yang sama jangkung dengan Dean kalau bukan… Rieka
mendadak mulas. Sekujur tubuhnya serasa diremas-remas dengan tangan gaib
yang sedingin es. Satu dari kedua tangan Dean yang semula sembunyi dalam
kantong depan jumper terangkat ke
pipi, garuk-garuk. Totol-totol itu bahkan menjalar sampai ke punggung tangan!
Rieka semakin dekat, semakin ingin mengoleskan minyak kayu putih ke perut.
“Kamu
kenapa… merah-merah gitu?”
Dean
menyambut kedatangan Rieka dengan senyum, padahal bisa jadi gatal dan panas
sedang menderanya.
Rieka
tidak bisa menahan diri untuk mengerling juga ke arah Deraz, sekilas… saja…
Deraz menatapnya(!) tanpa ekspresi. Sontak Rieka menunduk. “Jangan kepiting
lagi ya,” suara Deraz pun tanpa nada. Hembusan angin membawa aroma Deraz
dalam penciuman Rieka, sekaligus memberi tahu bahwa cowok itu sudah lalu. Bulu
kuduk Rieka meremang. Setelah beberapa lama baru Rieka berani mendongak pada
Dean.
“Kamu
enggak bilang kalau kamu alergi kepiting…”
“Tenang,
Neneng… Yan ada obatnya kok…” sahut Dean santai seraya menggiring Rieka ke
bangku keramik di tepi lorong. Dean memindahkan ransel ke pangkuan, lalu
mengeluarkan sebuah kotak kecil. “Kotak Ajaib”, demikian yang tertera di bagian
atas kotak tersebut, dengan warna-warni pastel, stiker bintang-bintang
berukuran mungil, dan sapuan glitter.
“Inisiatif si Deraz,” saat kelas 6 SD, sebab sebelumnya Dean membiarkan obat-obatnya
berserakan begitu saja dalam kantong. Sebelah tangan Dean menyusup ke balik jumper lewat bawah, beberapa lama
menggaruk perut.
“Deraz
juga yang ngehias-hias…” Rieka tidak percaya.
“Lupa,”
kata Dean. Kali ini kedua tangannya bergantian menyuruki punggung.
Baru
melintas dalam kenangan Rieka, Deraz semasa SD yang sekonyong-konyong
menghampiri guru di depan kelas saat mengajar, karena asma Dean kumat, lalu
Deraz menghabiskan sisa pelajaran tersebut di UKS untuk menemani saudaranya.
Barangkali kegemaran Dean mengenakan jumper
di sekolah pun bukan tanpa alasan. “Kamu punya penyakit apa aja sih, Yan?”
cemas Rieka.
“Enggak
usah terlalu dipikirin kali Neng… Saya tuh sesehat bintang iklan SGM.” Dean memasukkan beberapa butir
tablet ke dalam mulut, menggerusnya bagai mengunyah kacang, lalu mengulurkan
lidah. “…eeek…” Rieka menyodorkan botol air minum.
Rieka
tidak bertemu dengan Deraz di sekre OSIS sepanjang sisa siang itu. Ia tidak
tahu harus bersyukur atau menyesal.
.
Deraz mendatangi
Rieka. Sebundel kertas berdebam di atas meja di hadapan Rieka—menyusul tubuh
cowok itu dengan tungkai kakinya yang panjang bersilang. Rieka membaca tulisan besar yang tercetak di sampul. “Panduan Penanganan Pertama pada Dean”. Hah?
Deraz membuka halaman demi halaman bundel tersebut. Dengan cergas ia berhenti di satu halaman, lalu lanjut ke halaman lain. Ia seperti sudah hapal letak halaman-halaman penting yang akan ia
perlihatkan pada Rieka—tanpa harus ditandai. Selain itu posisi panduan
tersebut terbalik dari arahnya. Setiap berhenti di halaman
tertentu—dengan suara yang berat, tegas, dan
terkendali seperti ketika memberi instruksi dalam
kegiatan OSIS, Deraz memberi penjelasan.
“Kamu boleh ajak Dean ke mana aja, tapi jangan ke laut atau kolam renang. Dia enggak bisa lihat air dalam. Nanti dia pusing. Jangan bawa dia ke pasar juga. Dia enggak kuat sama bau amis. Dia bisa muntah-muntah kalau lihat pemotongan daging—apalagi ayam. Kamu boleh bawa Dean ke dapur, tapi jangan kasih dia benda tajam seperti pisau atau
parutan—dia enggak terampil. Kamu bakal bikin dia berdarah-darah. Mengerti?
“Kamu harus hapal dia alergi apa saja. Dia enggak bisa makan kacang-kacangan. Untuk daging-dagingan, dia cuman bisa makan daging ikan air tawar sama daging ayam. Jangan kasih dia makanan berbau menyengat.
“Kalau asmanya kambuh, inhalernya ada di kantong paling depan tasnya. Dia bakal lebih cepat baikan kalau kamu belai-belai kepalanya. Kalau…”
Semakin panjang Deraz bicara, semakin Rieka terpaku pada lekuk yang muncul di pipi cowok itu.
Tahu-tahu Deraz berhenti. Ia menutup panduan. Menatap Rieka seakan tengah menguji apakah Rieka memahami yang sudah panjang lebar ia terangkan barusan. Tambahnya dengan
intonasi menekankan,
“Mengerti?”
Senyum
Deraz menantang. Begitupun
sorot matanya. Bahkan jakunnya.
Baru kali ini Deraz sudi menjejakkan kaki di dalam mimpi
Rieka, meski hanya untuk memastikan keamanan kembarannya.
Rieka
menulis di organizer begitu ia bangun:
“cari Deraz!”, dan berdoa semoga hari itu ia mendapatkan situasi yang kondusif
untuk bicara dengan Deraz.
“Deraz…
boleh ngomong sebentar?” begitu panggil Rieka saat menemukan cowok itu di
sekre OSIS sepulang sekolah. Rieka berusaha untuk tidak mengindahkan beberapa
pasang mata di ruangan itu yang menyorot penasaran. Di pojok Ipong tersenyum-senyum
pada Rieka. Padahal Rieka sudah berusaha untuk bersuara pelan!, sayangnya
Deraz memang acap jadi pusat perhatian.
Deraz
menyusul Rieka keluar ruangan, tidak jauh dari pintu.
“Maaf
Deraz… Saya enggak tahu Dean alergi kepiting…” Rieka masih bisa mengendalikan
suaranya agar tidak menciut, tapi tidak mukanya, yang mestinya sudah
memucat!
“…ya?”
Deraz tampak heran.
“Yang
kemarin itu… Alerginya kambuh kan…” Rieka mulai gelisah. Tidak bisa mengenyahkan
bayangan Deraz bakal mengomelinya sehabis ini, mengungkapkannya dengan sejelas
mungkin: “Jangan. Deketin. Dean. Lagi.”
“Oh…
Iya. Kenapa?”
Rieka
mengerjapkan mata.
“…kemarin
kan… anu… saya bikin bekal buat Dean…” Rieka ingin pingsan. Deraz sampai menunduk
untuk menyimak ucapannya! Aromanya meruap—memabukkan! Wajah Deraz tidak
pernah sedekat ini sebelumnya dengan wajahnya!, hingga warna iris yang
cokelat terang itu tampak. Gerakan sepasang alisnya yang tajam bagai dipahat
itu sangat memikat. Mulutnya yang sedikit terbuka…
“Bisa
gedein suara kamu, Rika?”
Deraz
bahkan menyebut namanya!
“…bekal
yang kemarin… buat Dean…” Rieka bingung bagaimana mengatur volumenya seminimal
mungkin yang bisa ditangkap Deraz, tanpa harus meleset ke telinga milik orang
lain juga. Dan sungguh memalukan bicara tersendat-sendat seperti ini!
Beberapa orang duduk tidak sampai dua meter dari titik mereka berdiri. Andai
bisa mengajak Deraz ke tempat yang lebih sepi…
“Oh…
Kamu bikin bekal buat Dean?”
“…iya…
yang ada kepitingnya…”
“…oke…”
Deraz manggut-manggut.
“Dean
enggak bilang sama kamu?”
Deraz
menggeleng.
“…loh,
terus kamu tahunya kepiting…”
“Saya
kan tanya sama Dean, kemarin itu, dia habis makan apa aja…” Rieka tertegun.
“…jadi kepitingnya dari kamu, Rika?”
“…iya…”
…mungkin inilah saatnya… kemarahan Deraz bangkit lagi… Rieka di mata Deraz
hanya tukang cari gara-gara dengan Dean… meskipun… sedari tadi nada dalam
suara Deraz sedamai semilir angin. Rieka mengangkat kepala. Deraz menghujaninya
dengan senyum.
“Makasih
loh udah bikinin bekal buat Dean.”
Rieka
terkesima.
“Bikin
sendiri?”
“…iya,”
cuman itu yang sanggup Rieka hempaskan. Maaf ya Bik Mirah. Karena selanjutnya
Rieka ternyata masih sanggup menahan Deraz untuk bicara padanya lebih lama,
biarpun cuman soal Dean.
“Asma…
dia udah jarang kambuh sih. Asal jangan dikasih macem-macem aja. Yang baunya
nyengat gitu. Alergi… kayaknya kepiting aja, sama tenggiri.
“Iya,
dia kadang ngeluh pusing, enggak enak badan, males makan… tapi tiduran bentar
udah baikan kok.
“Kadang
dia makan yang pedes, terus diare.”
Andai
riwayat penyakit Dean lebih panjang… dan serius.
“Kamu
kayaknya perhatian banget ya sama Dean,” Rieka masih berupaya untuk memperpanjang
pembicaraan, walaupun Deraz sudah kembali memasuki ruangan.
“Masak
sih?” cuman begitu respons Deraz.
Tapi
bagaimanapun Rieka merasa beban yang ia pendam selama ini telah meledak. Oleh
Deraz. Ini kemajuan yang pesat, Rieka! Sebuah rekor! Beribu kelinci berjoget
melatari kebahagiaan Rieka. Rieka tidak lagi melihat orang-orang di sekitar menaruh
prasangka atas kebersamaannya dengan Deraz tadi, entah kenapa. Malah pikiran
Rieka mencari-cari apa lagi tentang Dean yang bisa ia omongkan dengan Deraz.
.
Sesekali
Rieka tidak dijemput Pak Sam sepulang sekolah, apalagi ketika nyonya besar
memiliki keperluan yang lebih mendesak. Kadang Rieka pulang dengan angkot
atas inisiatif sendiri, misal ketika kehidupan asmaranya sedang kelam dan ia
terlalu muak dengan sopirnya itu. Kali ini Rieka memilih untuk pulang
dengan angkot karena… Dean! Lagipula jurusan mereka searah, cukup dengan
sekali angkot. Kebetulan sepulang sekolah hari itu agenda Rieka kosong, tidak
ada kegiatan ekskul, OSIS, maupun kerja kelompok.
Dean
yang tidak ikut ekskul, bukan anggota OSIS, maupun doyan mangkir kerja kelompok
pun tidak memiliki agenda. Les piano bukan hari ini, les bahasa Inggris masih
petang nanti. “Tadinya mau bimbel juga… Tapi Bunda belum sempet cari bimbel
buat IPS kelas XI, ya udah,” cerita Dean.
“Kok
les piano kamu jauh banget sih di deket Hegarmanah?” tanya Rieka. Padahal les
bahasa Inggris Dean cuman di kawasan Buah Batu.
“Soalnya
rumah guru les piano aku di sana.”
“Ow,
privat? Kenapa bukan guru lesnya yang datang ke rumah kamu?”
Karena
guru les piano Dean bukan guru les piano biasa! Pak Albert Liao alias Pak
Albert Wijaya sudah lansia, dan sebetulnya tidak menawarkan jasa les. Setiap
orang yang mau berguru padanya harus menemuinya langsung. Dulu ia pianis yang
malang melintang di berbagai negara, sebelum pulang ke tanah kelahirannya dan
tinggal di sebuah rumah art deco di
kawasan Bandung utara. Dean dibawa sang bunda menghadap Pak Al—demikian Dean memanggil—pada
usia 7 tahun, bertahan selama kurang lebih dua tahun, minggat lalu kembali
pada usia 15 jalan 16 tahun—usia Dean sekarang 16 tahun. “Ternyata dia masih
inget sama saya. Terakhir sampai mana, ceunah.
Mana saya inget lah! Lupa ya?” Dean menirukan gaya lelaki gaek tersebut, “Kalo
gitu kita ulang dari Czerny. Buseeet…!” Rieka tidak kenal Czerny, tapi cara
Dean bercerita mengasyikkan.
Mereka
keterusan jalan kaki setelah menyeberang dari sekolah, padahal mereka bisa
saja berdiri di satu titik sembari menunggu angkot jurusan mereka lewat.
Barangkali karena jalan kaki itu sehat, atau mereka tidak terpikir sama sekali
saking terbius karena satu sama lain!
Barulah
seorang emang yang berjualan perabot mencuri perhatian Dean. Barulah pula
Rieka menyadari kalau mereka telah berada di jalan yang berbeda, barusan
angkot jurusan mereka lewat, tapi Dean malah mendekati emang tersebut. “Jual
apa aja, Mang?” dan beberapa pertanyaan lain mengenai dagangan si emang,
sembari melihat dan memilah, bak ibu-ibu dengan tukang sayur di kompleks perumahan.
Akhirnya Dean mengangkat dua buah gayung berbentuk hati. Si emang berlalu.
Dean menyodorkan gayung berwarna merah pada Rieka. “Nih buat kamu. Entar tiap
kali mandi pake gayung ini ya, biar kamu inget aku.”
Rieka
tersentak.
“Entar
aku juga mandinya mau pake gayung ini. Jadi tiap kali mandi aku inget ini
gayung yang aku beli waktu jalan sama Neng… Ri-eka.”
Kali
ini mereka tidak membiarkan angkot jurusan mereka lewat begitu saja. Di dalam
angkot Rieka masih terpana. Mimpi apa ia semalam, di siang bolong dapat
gayung cinta. Masing-masing dari mereka menggenggam gagang gayung, seperti Sailormoon
dengan tongkat sakti. Kini Rieka tahu bagaimana menggunakan gayung tersebut.
Dean tergeli-geli ketika Rieka mengayun-ayunkan gayung seakan benda tersebut
mampu memancarkan kekuatan bulan. Rieka sadar makin lama bersama Dean rasa
malunya bakal makin pudar.
Di
perempatan angkot berhenti. Empat orang pemuda lusuh mengadang di pintu, tepat
di seberang mereka duduk. Seorang bernyanyi, seorang menggesek biola,
seorang menggenjreng gitar, dan seorang menabuh drum kecil. “Mimpi yang Sempurna”[3], Rieka terkesima, masih ada yang memainkan lagu
tersebut di era ini?! Tapi Dean memberikan mereka selembar goceng ketika
merah berganti hijau. “Maennya bagus, Bro!” Dean mengacungkan jempol.
Angkot melaju.
“Nuhun nya Kang!” Salah seorang di antara mereka berteriak dari jarak
yang semakin jauh.
Kepala
Rieka berlabuh ke lengan Dean, bukan sasaran empuk—Rieka harus bikin bekal
lagi yang sangat sarat lemak, sejenak. “Kamu kayaknya friendly banget yah?”
“Saya
kan punya pesona sejuta kawan.”
“Hahah…”
Rieka tergelak. “Demi apa?”
“Demi
spanduk di polsek Kiaracondong!” Rieka makin tergelak. “Enggak tahu tah
sekarang masih ada apa enggak, udah enggak pernah merhatiin lagi pas lewat…”
“Apaan?”
“Itu…
spanduk di polsek Kircon.”
“Apaan
sih itu?”
“Yang
ada tulisan… ‘Pesona Sejuta Kawan – Tiada Hari tanpa Kawan Baru’[4]… gue banget tuh.”
“Serius?”
“Serius!”
“Maksud
aku tuh, beneran itu di kantor polisi ada yang gituan?”
“Da saya mah temen bisa siapa aja.
Emang-emang yang di pangkalan ojek juga jadi…” Rieka menyimak. “…kan enggak
mesti tiap hari ada yang ngajakin main kan… di rumah kadang cuman ada si bibik…
si bibik juga kan kalau udah beres kerjaan mah pulang. Main sama si Baby weh… baca… majalah doang, kalau yang
berat-berat mah enggak kuat… nonton… main game…”
Tapi aktivitas individual yang Dean paling betah kerjakan sendiri hanya tidur
(kecuali saat malam) dan memainkan piano (kurang dari tiga jam). “…lainnya mah enggak betah lama-lama, makanya game saya enggak jago, enggak bisa main
lama-lama kalau enggak ada temen mah, asa
teu rame, sepi, da saya mah sukanya rame-rame, bosen we, keluar rumah, jalan… kuat, kalau
cuman sampai pangkalan ojek mah… nongkrong we,
da udah pada kenal sama emang-emangnya
juga, kan dari SD juga suka dianterin, diminta ngajarin naik motor juga mau
mereka mah.” Rieka terbius. “Pernah sampai malam kan di sana, diajarin main
gitar… bukan sama mang ojek! …ada aa-aa juga yang suka nongkrong di sana…”
Rieka
membayangkan pangkalan ojek tersebut yang memang dilengkapi dipan lebar lagi
beratap, bertanya-tanya apa nyaman minum kopi sambil obrol-obrol di tempat
semacam itu, dengan dilatari deru kendaraan yang berseliweran, udara bisa panas
atau dingin tergantung cuaca… Kan lebih cozy
duduk di bean bag dalam ruangan
dengan temperatur sejuk dan interior minimalis, diiringi musik yang jazzy…
“…terus
tahu-tahu si bunda lewat tea… baru pulang.
Mobilnya berhenti di seberang. Ditegur we,
disuruh pulang bareng… Diomelin! Hobi nongkrong kok sama emang-emang, kayak
enggak punya temen deket aja…”
Rieka
terkekeh. Padahal iapun bukan tidak pernah terjebak dalam kesendirian, apalagi
ia tidak memiliki saudara kandung. Tapi ia tidak terpikir untuk mencari teman
sampai seperti Dean. Ia bisa bertahan di dalam kamar, mencari sesuatu untuk dikerjakan
demi mengusir kejemuan—seperti yang akan ia hadapi sesampainya di rumah nanti
sebelum bertolak untuk menghadiri kerja kelompok sehabis magrib. Tapi itu
terlalu introver! Rieka tidak bisa membayangkan hidup tanpa sekolah, ekskul,
OSIS, klik, dan pacar—semua yang selalu ia miliki sejak SMP.
.
Pelataran
Berry’s Latte yang gemerlapan. Lampu-lampu temaram bergelantungan di muka kafe.
Seperti baru kemarin di sini terjadi perang krim, kejutan klise yang disiapkan
Mama dan Papa saat pesta ulang tahun Rieka yang ke-16. Seluruh lampu kafe
mendadak mati. Teman-teman Rieka, yang ternyata sudah kongkalikong dengan Mama,
menggiring Rieka keluar. Tiba-tiba mukanya basah dan licin dan seluruh lampu
menyala kembali dan semua tertawa-tawa dan lidah Rieka menjilati apapun yang
telah berlepotan di mukanya itu. Kue tart
yang dibawa orangtuanya masih setumpuk, Rieka lekas memburu dengan sepenuh
tangan lalu membombardir orang-orang. Efektif mengusir sendu sehabis
tembang-tembang salah yang dibawakan Deraz. Malam yang campur aduk.
Rieka
menarik lengan Dean hingga cowok itu tergopoh-gopoh. “Ayo, nanti kamu ilang
lagi…” Rieka tersenyum pada waiter
yang berjaga di ambang pintu masuk kafe, rupanya pegawai baru, dan segalanya
menjadi benderang. Rieka kembali tidak puas dengan Dean yang hanya mengenakan
blazer dengan kaos bergambar leak di baliknya, serta celana jeans dan sepatu kets. Tidakkah
seharusnya Dean lebih fashionable?
Padahal Rieka sudah memberitahu dresscode
malam ini, yang jelas-jelas bukan kasual! Rieka sendiri mengenakan gaun
selutut berwarna merah tua dari bahan tile dan satin, dengan lipit di dada
dan bros bunga. Dan clutch bag dan tiptoe heels tentu saja.
Rieka
menunjuk panggung rendah di seberang ruangan. Tepat ketika band yang mengisi area tersebut mulai
membawakan lagu “Selamat Ulang Tahun” dari Jamrud dalam nuansa jazzy. “Inget pas kamu main kibor di
situ?”
“Hehe…
yah.”
Tidak
jauh dari panggung tersebut klik Rieka saat SMP sekaligus sang pusat acara
berdiri. Semua kompak mengenakan strap
dress. Sepintas muncul gerenyot di bibir Rieka.
“Perasaan
dulu yang kamu enggak gini…” komentar Dean. Rieka malas menjelaskan bahwa sebetulnya
ia juga tidak ingin ulang tahunnya saat itu dirayakan di tempat tertentu dengan
mengundang banyak orang. Tapi Mama butuh promosi untuk kafe yang baru ia
dirikan. Rieka menurut dengan syarat tiap orang yang diundang akan datang ke
kafe seolah mereka memang ingin makan-minum-tralala di sana, dengan voucher—free for all item!, dan bukan untuk menghadiri suatu perayaan.
Berbaur saja dengan pengunjung biasa. Meski kemudian datang Ipong and the band—yang mana Deraz merupakan
salah satu personil—yang memberikan nuansa “ada yang ulang tahun loh!” di
acara tersebut.
“Kamu
tahu enggak sih, si Lenna berani nyewa Berry’s Latte ini berapa?” demi
keeksklusifan dan kewenangan untuk menyulap total interior kafe agar sesuai seleranya—hanya
untuk semalam!
“Oh…
Yang ultah namanya Lenna…”
Dean
berjengit. Lengannya kena cubit.
“Kamu
ngeliatin apa?!”
Dean
menyengir.
“Itu?
Si spandek abu-abu itu?”
“…kasian
Neng, entar masuk angin…”
“Ya
salahnya sendiri kenapa… ya olo… berapa senti itu di bawah…”
Dasar
cowok!
“Iya,
Neng, makanya…”
Rieka
berhenti melongo lalu memukuli Dean hingga menyadari bahwa mood-nya sedang buruk malam ini.
Seharusnya ia dan Dean terlihat seperti pasangan yang berbahagia! Rieka
memutuskan untuk tidak mengacuhkan berpasang mata yang mencuri-curi lihat ke
arah mereka, setiap orang yang selalu ingin tahu siapa cowok Rieka kali ini.
Pesta ulang tahun Lenna ternyata satu paket dengan reuni SMP, seharusnya
Rieka sudah bisa menduga, menyebalkan.
“Boleronya
aku copot aja gitu ya?”
“Jangan
Neng, entar masuk angin.”
“Tapi
liat deh, temen-temen aku semua pada pake strap
dress gitu.”
“Tapi
yang kamu entar keliatannya kayak… gaun tidur gitu…”
Rieka
mendelik. Enak saja Dean menyamakan gaun pestanya dengan gaun tidur! Yang
Rieka kenakan toh sama sekali bukan piama berwarna pastel dengan motif
bunga-bunga!
“Enggak!”
“…ya
udah.”
Rieka
mencopot bolero berlengan pendek dengan kerut itu, lalu menyodorkannya pada
Dean, “Nih. Kamu bawa ke Pak Sam…” lalu menyerahkan clutch bag, “…terus entar
kamu nyamperin aku lagi, aku mau ketemu temen-temen aku yang di situ itu tuh,
sambil bawain aku minum…” sebelah tangan Rieka memegang cermin kecil sementara
sebelah lagi memoleskan lipbalm ke
bibir, “…punch aja, yang jeruk.” Clutch bag di tangan Dean berpindah lagi.
Rieka menyelipkan sejumput rambut ikalnya yang panjang ke balik telinga.
Kehidupan
sosial yang berat! Dengan langkah-langkah angkuh Rieka menuju kerumunan itu,
dilatari ketermanguan si pacar yang masih bergeming selama beberapa detik ke
depan.
Pekik-memekik.
Kecup-mengecup. Kikik-mengikik. Rieka bersyukur tidak satupun dari mereka
yang kini berdiam di SMANSON!
Segelas
punch berwarna oranye mampir ke depan
muka Rieka. Entah Dean yang terlalu cepat, atau “keriaan” dengan para teman
lama yang ternyata tidak semenyiksa yang diperkirakan semula.
“Kenalin,
ini cowok gue…”
“Ini
cowok elo yang sekarang, Ka?”
“Iyaa…”
Rieka menggandeng lengan Dean, dengan kilat menyandarkan kepala di sana, sementara
Dean berusaha menjaga agar minuman yang ia bawa tidak tumpah.
“Ih
jangkung banget yaa…”
Rieka
mencomot gelas dari tangan Dean, selagi cowok itu menyambut uluran tangan
cewek demi cewek. “Dean… Dean… Dean… Eh… Ingga yaa…” Rieka tidak mengerti kenapa
sikap Dean harus begitu grogi lagi kagok. Seruput sedikit, taruh di meja terdekat.
Rieka kembali dengan merengkuh sekaligus meremas pinggang Dean yang kontan
terlonjak, tapi tidak langsung melepaskan tangan dari sana.
“Kok
gue kayak pernah liat elo ya?”
“Dean
kan temen SD-nya gue sama Rieka.”
“Yang
main gitar di acaranya Rika kemarin itu bukan ya?”
“Bukan.”
“Dia
nih yang main kibor.”
“Oooh…
Kok gue ngeliatnya asa mirip ya?”
“Iya…
itu kembaran saya…”
“Ooh…”
“Ri…
saya ke sana dulu ya…”
“Hm?
Iya, Sayang.”
Dan
setelah Dean lenyap dimakan keramaian, mereka bersuara lagi.
“Demi
apa elo jadian sama Dean, Ka?!” jerit Ingga meski kalah dengan volume musik
yang sedang dibawakan band.
“Demi
langit dan palung,” jawab Rieka sembari meneguk punch lagi.
“Dia
anak mana, Ka?”
“Anak
SMANSON juga.”
“Bukan…
maksud gue… biasanya kan cowok elo ada labelnya gitu, Ka,” sahut Lenna, sudah
tidak memerhatikan lagi kukunya yang rutin dimanikur.
Label
Dean yang terpikir oleh Rieka hanya: kembaran Deraz.
Akhirnya.
Pembicaraan ini mulai tidak menyenangkan.
Jarum
jam sepertinya sudah tidak lagi berdetak, tapi merangkak.
Klik
bubar. Para cewek kembali pada cowok masing-masing. Tiara dengan mitratama di
sekolahnya. Ingga dengan mahasiswa Fakultas Kedokteran. Lenna dengan anak
seorang pengusaha. Marsha dengan cowok yang baru beken sebagai pemain
pendukung di suatu film. Rieka dengan kembaran Deraz, yang tidak ia temukan
di titik manapun di ruangan itu.
Barangkali
Dean sedang di toilet.
Rieka
menutup pintu tengah mobil, mencari kontak Dean, memanggil… Sekali. Dua kali.
Tubuh Rieka membeku. Suara pintu depan dibuka.
“Udah
Neng?”
Pak
Sam, tolong cari Dean di toilet dong, cek biliknya satu-satu. Pak Sam, coba
Pak Sam yang putar-putar di kafe, mungkin Dean masih makan… atau minum. Pak
Sam, enggak mungkin kan teman-teman SMP Dean lagi di sini juga… Tadi ada sih
teman-teman yang satu SD juga, mungkin… Ya, Pak Sam, Pak Sam saja yang balik
ke kafe, tolong cari, cari sampai ketemu. Pak Sam, apa Dean diculik lagi?!
Rieka
membanting tubuh ke sandaran jok.
“Si
Yayan ke mana, Neng?”
Rieka
utarakan setiap kalimat yang berkelebat dalam benaknya tadi.
“Waduh
Neng, masak Pak Sam yang ke dalem? Malu atuh
baju Pak Sam gini doang mah…”
Rieka
berdecak keras. Tapi ia juga tidak ingin kembali, lalu teman-temannya mendapati
ia di sana seperti orang yang sedang kebingungan, meskipun ia memang begitu.
“Pokoknya Pak Sam cari! Cari sampai ketemu!” Rieka ingin menjerit-jerit
sambil menjejak-jejakkan kaki, persis yang beberapa kali ia lakukan saat
kecil, memukuli jok dengan tangan terkepal. “CARIIII!” lalu Pak Sam melesat,
ke mana saja, ke seantero halaman, ruangan kafe, dapur, toilet, sampai ruangan
staf. Pak Sam yang putus asa melapor ke bagian Informasi di kafe itu, kalau
memang disediakan Mama, kemudian speaker mengumandangkan
kehilangan Dean, lalu semua tahu… kali ini Rieka berpacaran dengan cowok yang
bisa meninggalkannya begitu saja!
Hahaha! Tawa seluruh mantan Rieka, dan para cewek yang sentimen karena
hubungan Rieka dengan seluruh mantannya, pun membahana.
Tidak
pernah terbayangkan seperti ini sebelumnya. Pak Sam bergeming di jok depan,
sementara Rieka meringkuk sambil terisak-isak di jok tengah, mengumbar
kehidupan asmaranya dengan sukarela tanpa lelaki itu mesti berpayah-payah mengorek.
“…baru kali ini, Pak Sam, aku bisa sayang banget sama cowok… huu… huhu…
sampai aku pingin nyanyiin ‘Heavy
Rotation’[5] tiap deket dia… tapi kenapa… aku malah
ditinggal-tinggal gini aja… kayak aku yang bukan siapa-siapa…” Rieka menggerung.
Ia cukupkan pengakuannya, lalu Dean tiba-tiba muncul di balik jendela, dengan
tidak tahu diri berseru, “Kena deh!”, tapi yang tampak hanya puncak kepala
milik mereka yang mulai meninggalkan kafe.
Yang
tersisa tinggal cemberut. Teraba olehnya perut yang kembung. Sesuatu sedang
menggelegak di dalam. Sedari tadi juga ia menahan sendawa dan kentut, uh,
coba tadi ikut kata Dean! “Bolero aku tadi mana, Pak Sam?” Rieka mengenakan
kembali bolero lengan pendek lagi tipis itu, sama sekali tidak bikin hangat.
“Udah Pak Sam di luar aja deh!” titahnya kemudian, sebelum memanggil kembali,
“Beliin Safecare… Freshcare… Herborist… apa kek…”
“Minyak
angin gitu, Neng?”
“….ck,
iyaa! Kalo perlu belinya yang di convenience
store sekalian, jangan di kios!” menegaskan pada Pak Sam agar belilah
minyak angin dengan kemasan yang sophisticated
alih-alih yang tradisional lengkap dengan akar-akaran di dalam botol.
Pak
Sam mengerti, meskipun ia membelinya di kios jua. “Masih mau nungguin si Yayan,
Neng?” tegurnya seraya mengulurkan sebungkus plastik hitam, yang Rieka tidak
pedulikan karena isinya sudah sebagaimana yang ia inginkan. Pertanyaan Pak Sam
pun hanya dijawab angin. Segera Pak Sam menghilang dari jendela sebelum kena
hardik sang nona lagi.
“Pak
Saaam…” panggil Rieka setelah beberapa lama. “Dean bakal balik enggak ya?”
“Puguh meureun lagi nyariin Neng di dalem…”
“…kan
tadi aku udah bilang enggak ada! Makanya Pak Sam tuh cariii!”
“Telepon
lagi atuh…”
“Kan
udah dari tadi juga… enggak diangkat!”
“Euh…
Ya udah atuh pulang aja. Entar Mama
nyariin geura.”
“Enggak…”
“Kan
Neng juga udah masuk angin kan?”
“Enggak!
Aku mau nginep di sini aja!”
Rieka
tidak tahu apa yang terjadi di luar mobil. Ia berbaring terus. Hanya
menerka-nerka dari perubahan lanskap suara. Langkah-langkah yang memantul
dari paving block. Dengung-dengung
yang meluncur maupun gelak yang meledak-ledak, dari mulut mereka yang bikin
kafe makin sepi. Gas kendaraan yang diinjak disusul deru diiringi salam perpisahan.
Denting-denting di kejauhan, sekiranya perabot mulai dibereskan. Mebel
diseret-seret dan ditata kembali.
“Eka…
Kok jam segini belum pulang sih…?” telepon Mama.
“…masih
ngobrol-ngobrol sama temen, Ma, bentar ya, Ma…” Rieka terdiam. “…sejam lagi.”
Maaf ya Mama, Eka bohong lagi.
Rieka
ingin tahu apa yang orang-orang itu pikirkan saat melihat mobil Rieka, kalau
mereka cukup perhatian, masih terparkir di pelataran Berry’s Latte lengkap
dengan sopirnya, kalau Pak Sam juga cukup menarik untuk diperhatikan—semoga
Pak Sam bersembunyi, dengan jendela setengah terbuka tapi tidak tampak
siapapun di dalam… Dean, Dean yang perhatian, Dean bahkan hapal merek rokok
favorit Pak Sam!
Uh!
Cowok bodoh itu! Pelupa dan ceroboh! Tenar di sekolah cuman karena
kesupelannya, bukan karena prestasi sungguhan, dan tentu saja karena ia
kembaran Deraz!, yang memiliki segudang prestasi sungguhan.
Lampu-lampu
di dalam kafe dipadamkan.
“Neng,
beneran kata Pak Sam mah, pulang aja
lah… Urusan sama si Yayan mah besok ajalah di sekolah, kan udah pasti ketemu. Ari sekarang mah teu jelas kieu eta budak ka
mana…” agaknya Pak Sam pun mulai gusar. Ia sudah ditelepon Mama, disuruh
menyudahi pembicaraan Rieka dengan teman-temannya yang gaib.
Para
waiter dan waitress sudah berganti pakaian. Mereka bercakap-cakap seraya
menapaki pelataran.
Nyala
lampu-lampu di luar kafe dibiarkan.
Rieka
bangun. Capek juga tiduran melulu. Ia telah sampai pada kesimpulan. Tersangka
bukan lagi teman-teman SMP Dean, tapi alien dari Pulau Mars yang ingin
mengajak Dean berdansa dengan lagu-lagu milik The Upstairs. Beberapa detik kemudian
Rieka ingat kalau Mars adalah nama planet.
“Pulang
yuk, Pak—“
“RIKA!”
Kedua tangan Dean menabrak jendela tengah. Jemarinya—panjang sekali! Rieka
baru menyadari—meraup tepian jendela. “AKU! JANJI! ENGGAK BAKAL NINGGALIN
KAMU LAGI!”
Easy, Dean,
ini baru dua kali. Satu kali lagi kamu dapat piring cantik, eh, tamparan plus
keputusan—PUTUS!
Dean
tidak lagi mengenakan blazer, tapi sweater,
yang dikenakan Deraz di malam sertijab OSIS “bernuansa kekeluargaan” di Lembang
kapan itu.
“Kamu
pulang?!”
“Aku
ke rumah Oma!”
“Ngapain
ke rumah oma kamu?!”
“Keluarga
aku lagi pada ngumpul di sana!”
“Jadi
keluarga kamu lebih penting daripada aku?!” Rieka terdiam. Lanjut berkata
dengan nada yang tidak lagi menyentak-nyentak melainkan lunak, “…kok kamu
enggak bilang…? Kan kamu enggak perlu ikut aku ke sini…”
“…entar
kamu enggak ada yang nemenin…”
“…tapi
kan akhirnya kamu pergi juga…”
“…tapi
da acara keluarga aku juga cuman gitu-gitu
aja, kumpul-kumpul biasa tiap minggu, jadi enggak ikutan juga sebenernya
enggak apa-apa…”
“…tapi
akhirnya kamu pergi juga…”
“…tadi
aku ketiduraaan…”
“Neng,
si Ibu nelpon lagi nih…”
Desing
kendaraan memecah sunyi di jalan tersebut.
“Kamu
ke sini pake apa?” suara Rieka lagi.
“Sama
Mang Sam, punten Pak Sam, da namanya emang sama…”
“Mang
Sam siapa?”
“Mang
ojek di deket rumah oma aku.”
Dean
memberitahu Sam yang Mang untuk kembali tanpa membawanya lagi, lalu menyerahkan
beberapa lembar uang pada pria tersebut. Sam yang Pak menyalakan gas, demikian
Rieka pada lampu di atas kepala. Biar Dean lihat sembap mukanya, kusut
gaunnya. Dean duduk di sebelah Rieka, siap diinterogasi.
“Yan,
si Neng jangan suka ditinggal-tinggalin atuh,
kasian. Lagian yang ngantriin si Neng juga banyak.”
“Pak
Sam…” rajuk Rieka.
“Maaf
Pak Sam,” ucap Dean.
“Blazer
kamu mana?”
“Nih…”
Dean menarik kain dari balik sweater,
sweater Deraz, berupa rajutan, dengan
kerah V, dan aroma… yang menggetarkan.
“Didobel?!”
“Iya,
tadi pas mau ke sini disuruh pake sama Bunda, bisi masuk angin.”
“Kamu
tuh ya. Denger. Aku bilangin. Kalau emang ada acara keluarga, ya enggak
apa-apa…”
“…tapi
aku emang awalnya enggak ada rencana ke sana…”
“…kamu
enggak suka sama pestanya tadi?”
“Aku
suka… makanannya enak-enak, minumannya juga, tadi juga sempet ketemu sama…”
Dean menyebut beberapa nama yang satu SD dengan mereka lalu satu SMP dengan
Rieka, walaupun ia tidak kenal amat.
“…tapi
kamu enggak betah kan, kamu pingin ikut acara keluarga kamu,” lanjut Rieka.
Mata Dean yang besar menatapnya, sama cokelat, sama terang, dengan mata Deraz.
“Masalahnya… kenapa kamu enggak bilang sama aku? Kan Pak Sam bisa nganterin
kamu sekalian nungguin… terus jemput aku lagi, apa kek,” sambung Rieka
seenaknya.
“…ya
aku enggak enak lah sama kamu… lagian kirain juga kamunya bakal lama, da ketemu temen-temen lama tea…
“….uuh…
enggak, temen-temen SMP aku tuh ya…”
Pak
Sam memasang headset ke ponsel lalu
telinga. Ia sudah terlatih melakukannya selagi menyetir. Bandung Joged
Mania… sik asik.
.
OJOMBAS
alias OSIS JOIN KOMBAS adalah proker
pertama Ipong sebagai ketua bidang VIII—persepsi, apresiasi, dan kreasi seni.
Tujuannya tidak hanya untuk mengenalkan para pengurus baru OSIS sekaligus
mengeksplorasi bakat bermusik mereka melalui penampilan ala gig, tapi juga sebagai ajang promosi
baik bagi OSIS maupun KOMBAS agar semakin banyak SIMBA yang berminat mengikuti
rekrutmen keduanya. KOMBAS adalah Komunitas Band SMANSON, sedang SIMBA adalah “Si Murid Baru”—sebutan untuk
anak kelas X sejak MOS SMANSON. Membuat singkatan merupakan salah satu
kompetensi dasar yang dimiliki lulusan SMANSON.
Tiap
pengurus OSIS diberi kesempatan untuk membawakan minimal satu lagu, diiringi
oleh berapapun personil KOMBAS yang dibutuhkan. Ipong tidak mau tahu bagaimana
kebisaan para teman sejawatnya di OSIS, entah memetik ukulele, menepuk
galon, maupun menyanyi sember, para personil KOMBAS yang akan mengatasinya.
Butuh gitaris, drumer, kibordis, bahkan vokalis? Segala tersedia di KOMBAS!
Tantangan seru bagi anak-anak KOMBAS. Ujian mental bagi para penggawa OSIS. Keripuhan
bagi Ipong.
“Ke
mana mental kalian pas LDK? Udah jadi pengurus malah jadi melempem semua.
Kalian cuman bisa goyang-goyangin tabung garam juga enggak masalah, Son!
Makanya itu kita join sama anak-anak
KOMBAS!” begitu provokasi Ipong. Teman-teman sejawatnya menunduk atau bengong.
Waktu yang Ipong berikan untuk latihan hanya dua minggu. Kabid IV ingin diberi
jaminan bahwa ia betulan boleh cuman sekadar goyang-goyang tabung garam. Kabid
II ingin agar grup nasyidnya serta sebagai penyokong moral. Kabid VI cukup
tenang karena selama dua tahun ini ia les drum, meskipun hanya tahu lagu-lagu
yang diajarkan sang guru. Mitratama dan Kabid I sangat bersemangat!
Alfian
Fikri Fajri aka Alf atau Elf alias Odong-odong selaku
mitratama memandang OJOMBAS dengan amat positif. Sebagai seorang pemimpin ia
langsung memberi contoh, dengan menyodorkan Ipong setumpuk manga dan beberapa keping film
berjudul “20th Century Boys”—Alf
ingin membawakan soundtrack film
tersebut. “Nah, makanya itu saya butuh drumer, gitarisnya tiga, bassist-nya… dua aja cukup kali ya?, backing vocal-nya… cewek-cewek VG boleh
ikutan juga enggak?”
“Kenapa
elo enggak minta marching band aja
sekalian?!”
Bukan
Ipong kalau tidak gigih memersuasi. Rapat gabungan antara OSIS dengan KOMBAS
dihelat berkali-kali. Tim demi tim terbentuk. Satu per satu pengurus OSIS
yang malu-malu pun luluh, memberanikan diri untuk unjuk aksi. Yang angin-anginan
terus ditangani. Tentu Rieka pun tidak luput, meski statusnya sebagai
“sahabat” Ipong melicinkannya untuk mengelak. H – 7 Ipong frustasi.
“Gimana
sih Ka, elo kan anak VG dari SMP juga. Seenggaknya di penampilan elo, elo nyanyilah!”
keluh Ipong. Tangannya biasa bergerak-gerak selagi bicara, menambah lecek
kertas yang selalu ia bawa belakangan ini—daftar penampil di OJOMBAS beserta
keperluan masing-masing. Nama Rieka sudah tercantum di sana, dengan tanda tanya
super besar.
Rieka
menggeleng. “Udah gue jadi backing vocal-nya
si Alf aja deh…”
“O…
Elo mau satu panggung sama si Deraz?” Ipong memelankan suara kendati di dalam
sekre OSIS saat itu hanya ia dan Rieka dan satu orang lagi yang bukan Deraz
dan sedang menyetel soundtrack anime keras-keras dengan menggunakan headphone. “Boleh-boleh aja.” Ipong
mengangguk-angguk. “Entar dia mainin gitar buat si Alf juga loh, di si Soraya
juga, terus jadi bass di penampilannya gue, vokal tambahan di si Soleh,
terus di penampilannya dia…”
“…dia
main buat semua?!”
“Enggak
semua. Tapi elo tahu lah, daya tariknya dia gimana… seenggaknya biar
anak-anak betah nonton gig kita.
Makanya, ini kesempatan buat elo, Ka, memesona dia dengan suara elo, penampilan
elo, apalah… Elo mau tampil duet sama Deraz juga, oke!, gue usahain…”
Rieka
cemberut. “Elo tahu suara gue sebenernya enggak bagus-bagus amat kan, Pong…”
“Alah…”
Ipong berdecak seraya mengibas angin dengan kertas kumal di tangan. “Elo mah masih mending. Si Niken tuh, boro-boro
main musik, nyanyi dikit aja…” Ipong mengeluarkan lidah plus lagak menebas
leher dengan tangan yang bebas kertas. Senyum Rieka diiringi dengus. “Atau
entar gue suruh anak lain aja yang jadi main
vocal, elo ngisi backing, tapi
ceritanya itu tetep penampilan elo?”
“Gue
pikir-pikir lagi deh, Pong.”
“Tapi
ini tuh udah kurang dari seminggu lagi, Ka! Anak-anak udah pada latihan dari
kapan… Elo belum—belum apa-apa…” sahut Ipong dengan gemas. Sepasang tangannya
naik ke kepala lalu mengarah pada Rieka. Mulutnya berdecak. Ipong meninggalkan
Rieka, lagi. Kalau Rieka bukan Rieka, Ipong bakal merongrong Rieka yang bukan
Rieka hingga memutuskan saat itu juga.
Memikirkan
OJOMBAS sesungguhnya bikin Rieka cemas. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi pusat
perhatian. Cowok-cowok senang melihat kejelitaannya. Cewek-cewek pun gemar
melirik, dengan sinis. Tapi semua terjadi secara alamiah! Sedang di panggung
nanti Rieka harus mengatur suara, langkah, gerak-gerik… di depan puluhan
bahkan ratusan mata yang menyorot lurus-lurus ke arahnya! Bukan Rieka tidak
pernah begitu sebelumnya, ia pernah beberapa kali mengikuti lomba vocal group, tapi tampil dalam grup
dengan tampil sebagai individu kan berbeda! Lagipula Rieka tahu Ipong bisa
mengecualikan dirinya. Ipong tidak akan sampai hati mencak-mencak padanya
kalaupun ia tidak tampil sama sekali. Salah sendiri bikin proker yang
berpotensi merusak citra macam begini! Rieka mungkin akan bersikap lain jika
Ipong bukan Ipong.
Tapi
kasihan juga Ipong.
Tapi
jarak menuju hari H makin tipis. Duh. Rieka mencantumkan dalam organizer… “tanya anak2 vg”… barangkali
mereka mau diajak kerja sama membawakan lagu apalah—yang tidak perlu pakai
latihan dengan susah payah.
“Kamu
mau ngebawain apa, Ri, di OJOMBAS?”
Rieka
tersentak. Haqi di sampingnya! Haqi di mana-mana! Mendekatinya kapanpun ia sendiri—seperti
garong pada wanita yang baru turun dari angkot di jalanan sepi pada larut
malam. Padahal Rieka hanya ingin sendiri—sekali-kali—di Kabita menjelang
“Rayuan Pulau Kelapa” didendangkan, pertanda dimulainya jam istirahat. Rieka
menginsafi bahwa seharusnya ia menjauhi Kabita sekalian sampai kelulusan
Haqi—kurang dari setahun lagi kok!
Haqi
menawarkan diri untuk mengiringi Rieka menyanyikan “lagu kita” dengan gitar di
OJOMBAS.
“lagu
kita”?! “lagu kita” yang mana?!
“Peringatan
terakhir!” seru Rieka. “Lagian saya udah punya yang baru.”
“Siapa?”
Haqi melongo sementara Rieka bangkit dari bangku.
“Kamu
enggak perlu tahu,” tutup Rieka dengan dramatis.
Rieka
heran Haqi belum tahu, secara belakangan ini Rieka rutin menghabiskan jam
istirahat bersama Dean di Kabita. Dengan bekal yang Rieka bikin khusus
untuk Dean. Rieka menceritakan masalahnya dengan Ipong sementara Dean melumat
beef bumbu madu dengan kentang
tumbuk. Bagaimanapun Dean selalu mampu menghibur, badut sejati.
“Oh,
Ipong. Padahal daripada join KOMBAS
mending dia join Apple aja.” Rieka
mengernyit. “Bi-kin produk namanya iPong. Kan jadi kaya raya dia, dapat
royalti terus.”
“Iiih…
kamu…!” Rieka makin terbiasa mencubiti kedua belah pipi Dean. Tidak sabar
melihat tirus yang pupus. “Kayaknya aku mau coba ke anak-anak VG aja deh.
Semoga aja mereka mau…”
“Hm…”
Dean meletakkan sendok dan garpu sejenak. “Kalau sama aku mau enggak?”
“Kamu
mau?”
“Mau.”
“Sama
siapa lagi?”
“…berdua?”
“Tapi
suara aku pas-pasan.”
“Aku
juga mainnya pas-pasan.”
“Kamu
yakin?”
“Berarti
kita pas kan,” Dean meneguk isi botol air mineral miliknya sebelum
melanjutkan, ”PAS pas-pasannya.”
Rieka tersengal. Oh… Dean… Tentu saja. Hanya
dengan Dean gengsi Rieka bisa turun. Rieka langsung tidak sabar untuk latihan
bareng Dean.
Sepulang
sekolah pada hari H Alf mengadakan briefing.
Penguatan mental, katanya, sebelum dibombardir habis-habisan di OJOMBAS. Terdengar
ratapan di kejauhan. Tapi tak satupun yang berani menggugat Ipong, si pemilik
lidah nan trengginas. Bagaimanapun Rieka sudah tidak butuh lagi penguatan
mental, maka ia tidak turut dalam kumpul-kumpul di sekre OSIS siang itu. Ia
bahkan telah siaga di pengkolan menuju Kabita, duduk di undakan semen
sementara Dean menata rambutnya dari belakang.
“Kamu
kok diem aja sih, Yang?”
“Enggak
tahu mau ngomong apa. Kepala aku lagi penuh sama kamu.”
Rieka
tahu Dean tidak menggombal—Rieka sudah bilang pada Dean kalau ia tidak suka
cowok gombal—karena Dean adalah cowok paling jujur (atau lugu?) di dunia.
Rombongan
OSIS kemudian muncul. Tiap orang berjalan dengan gagah dilatari temaram siang,
sejak para mitra, para sekretaris yang minus kepala, para bendahara sampai para
kabid. Bergagah-gagah dulu, meratap-ratap kemudian, demikian pesan sang
mitratama. Rieka kontan mengangkat kepala, mencari Ipong, dan memang cuman
Ipong yang menyempatkan diri untuk berhenti di depan Rieka sejenak.
“Ngapain
elo, Yan, nyariin kutu?”
“Hah?”
“Ipong…”
tegur Rieka. Perhatian Ipong segera teralih. “Entar giliran saya kapan ya?”
Mendadak Rieka ingat aturan mitratama baru untuk ber-”saya-kamu” dalam setiap
urusan yang menyangkut OSIS. Untuk membentuk karakter siswa santun, katanya. No “gue-elo”, “ane-antum”, “I-you”,
“eike-yey”, apalagi “aing-maneh”.
“…kirain
kamu enggak jadi…” Ipong pun latah.
“Oh
gitu…” sebetulnya Rieka rada kecewa, tapi tidak apa-apa, ia ikhlas dengan
setiap momen latihan bersama Dean di studio milik kakeknya Zahra, walaupun
Rieka belum bertemu Zahra sama sekali, “Ya udah enggak apa-apa.”
“Eh—eh
enggak, Ka,” sergah Ipong sekonyong-konyong. “Kamu tampil habis Alf!”
“Alf
kapan tampilnya?”
“Tampil
pertama—dia kan ketua… Kalau gitu cepetan ya, Ka, paling enggak sepuluh menit
lagi kamu udah stay di pinggir
panggung!” sahut Ipong sambil meneruskan langkah. Sudah terdengar cek suara
dari arah Kabita sedari tadi.
“Udah?”
Rieka menoleh sedikit ke belakang.
“Dah!”
Rieka
bangkit lalu menatap bayangan dirinya pada kaca—sedari tadi memang ia duduk
membelakangi Dean yang membelakangi kaca entah kelas berapa. Dean menggelung
rambut panjang Rieka menjadi dua bagian di bawah kepala. Kekanak-kanakkan
lagi agak acak-acakan, tapi, Rieka tetap tersenyum. Ia gamit tangan Dean
menuju Kabita.
Selasar
Kabita yang dijadikan panggung berupa semen. Permukaannya lebih tinggi dari
lantai kantin yang terhampar di depannya, juga paving block yang mengisi sisi-sisi lainnya. Selasar tersebut
memang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan ekskul semacam pertunjukan seni
dan sebagainya. KOMBAS mulai memanfaatkannya sejak setahun lalu dengan
menyelenggarakan gig tiap seminggu
atau sebulan sekali—tergantung ada yang mau jadi panitia atau tidak dan lagi
rajin atau tidak. Konon perjuangan para wakil ekskul agar kantin memiliki
fasilitas semacam ini cukup panjang.
Agil
dan Sonjaya dari KOMBAS selaku MC sudah berceloteh seramai-ramainya di selasar
dengan volume mic disetel maksimal.
Kerumunan di muka selasar terbentuk, jumlah pengisinya bertambah-tambah.
Kegugupan merambati Rieka.
Agil
dan Sonjaya surut dari selasar, digantikan Alf dan timnya yang sontak
menggebrak suasana. Raungan Alf bagai kucing jantan di musim kawin,
dilatari vokal cewek-cewek… entah betulan dari VG atau KOMBAS… yang membahana.
Melodi gitar, dencing kerincing, dentuman bass, tepukan tangan, hentakan
kaki, Rieka tidak mengindahkan semua melainkan terus menggamit tangan Dean
hingga mendekati Ipong di sudut luar selasar. Kepala cowok itu
terangguk-angguk mengikuti irama lagu.
“Habis
ini ya, Pong?” sahut Rieka dengan nada ceria, sebagai kamuflase atas
kegugupannya.
“I—iya,
Ka, siap-siap,” tampaknya Ipong terkesima dengan tataan rambut Rieka, lalu
pada Dean, “Ngapain elo di sini, Son?”
“Entar
kan aku ngiringin si Neng…” Rieka mencubit pelan punggung tangan Dean, “eh,
Ri-eka…”
Masih
pandangan yang sama dari Ipong.
“Oh.
Butuh apa lagi selain… kibor?”
“Kibor
aja,” senyum Rieka.
“Seriusan…
Emang kamu entar mau lagu apa gitu? Gampanglah, ada anak-anak KOMBAS yang bisa
langsung nyesuain gitu…” namun Rieka menggeleng. Maka Ipong menyuruh Rieka
untuk segera lapor pada Shasha, si liaison
officer. Rieka menurut tanpa melihat wajah Ipong yang perlahan kecut.
Sorakan
ramai menutup pertunjukan Alf, lalu semuanya terjadi dengan cepat.
Rieka
berdiri tidak mau jauh dari Dean duduk. Gumaman Rieka dimulai seiring dengan
kemunculan nada-nada dari jemari Dean. Beberapa hari sebelum hari ini, Rieka
ingin membawakan lagu milik Zooey Deschanel, lagu apapun, karena bagi Rieka
lirik dalam seluruh lagu Zooey nyaris merefleksikan hidupnya. Tapi kemudian
datanglah kakeknya Zahra—ya ampun Zahra itu yang mana sih—yang menyarankan
lagu “Inside and Out” dari BeeGees.
Demi apa? Demi Dean yang setuju karena menurutnya lagu-lagu Zooey terlalu
“lesu”, padahal Rieka yakin Dean belum mendengarkan seluruh lagu dalam dua
volume album She and Him. Dean mencarikan judul yang dikehendaki kakeknya Zahra
di iPod milik Deraz, menemukan versi Feist, lalu mengirimkannya pada Rieka.
Dan Rieka menyadari kalau entah sejak kapan ia memiliki folder berisi
lagu-lagu Feist dari album “The Remember”
di notebook, di mana judul tersebut
termasuk. Setelah didengarkan lalu dinyanyikan berkali-kali, kini Rieka bisa
membawakannya dengan nikmat. Memegang pundak Dean membuat Rieka rileks. Cara
cowok itu memainkan kibor seasyik caranya dalam bercerita. Di bagian “…loves you, inside and out…” Rieka
sengaja mengerling pada Dean, sekadar menggoda entah cowok itu sadar atau
tidak. Yang reaktif malah audiens. Sepintas mata Rieka menyapu mereka, dan
mendapati ekspresi bengong, melongo, terpana, teringa-inga, dan apapun
padanannya di Tesaurus… tapi Deraz!, Deraz malah memberinya senyum yang
semisterius Gunung Padang. Rieka merasakan kepala Dean menempel di perutnya.
Oh… Tauk ah! Ia kembali memalingkan wajah pada Dean. Nakal! Naa-kal! Ia ingin
mengusap kepala yang bergerak-gerak tak menentu itu, supaya diam!, sebab kalau
tidak ia bakal ketularan atraktif. Mereka saling memandang seraya mengatakan
“…loves you, inside and out…”
bersama, pada satu sama lain, walaupun suara Dean tak terdengar. Rieka
menurunkan mic hingga ke depan mulut
Dean, teruslah bernyanyi, Dean, biar yang lain dengar suaramu seperti Rieka
dengar racauanmu di perekam milikmu. Dan harmoni yang sudah cukup terbangun
sejak awal pun berantakan.
.
Dengar-dengar
hasil dokumentasi OJOMBAS bakal segera diunggah di Facebook sehingga saat
malam sudah bisa dinikmati. Setelah PR Matematika dituntaskan malam itu,
halaman Facebook pun tayang di layar notebook.
Rieka langsung membuka grup OSIS, dan mendapati album baru berjudul
“OJOMBAS OYE”. Semula ia terkikih-kikih mendapati rekaman ekspresi
teman-temannya yang lagi tanpa kontrol. Bahkan ia sendiri kena! Mangap di
belakang Dean yang tengah meniti tuts-tuts kibor dengan serius. Sengirannya
memudar ketika menyadari bahwa sebagian besar foto dalam album tersebut
memuat sosok Deraz. Yang jadi seksi dokumentasi cewek atau cowok ya? Rieka
segera melacak. Korban berikut untuk diteror dengan segenap kejutekan di
Kabita.
Di
pojok kiri layar muncul balon biru berisi pemberitahuan. Seseorang baru saja
mengirimkan permintaan pertemanan pada Rieka, namanya… Ardian Hayyra?! Dean
bahkan belum mengganti foto profilnya—yang bersama homoannya itu! Rieka menghitung-hitung
berapa lama ia telah menjalani kebersamaan dengan cowok itu… berbagai kejadian
yang telah mereka lewati… sebulan terasa setahun—padahal sebulan pun kurang!
Rieka langsung mengkonfirmasikan.
Dean
yang online segera buka kotak
obrolan.
Neng Rieka,
huruf-huruf itu muncul.
Rieka membalas dengan, ☺
☺☺, balas Dean.
Rieka membalas lagi, ☺☺☺
Dan
seterusnya.
Sampai
Dean mengirim permintaan pada Rieka mengenai hubungan mereka di Facebook.
Di
beberapa rumah di Kota Bandung yang masing-masing dihuni oleh siswa atau siswi
SMANSON yang sedang menyusuri Beranda mereka di Facebook, ada ekspresi
tertegun ketika mendapati sebaris kalimat tersebut.
Rd Rieka Ayu Dewi in relationship with Ardian Hayyra. Atau sebaliknya.
Masak
sih cuman “in relationship”?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar