Jumat, 07 Desember 2012

III. Warming up

Entah kenapa Rieka ingat nama itu. Ardian Hayy­ra Aldifian. Atau Ardian Hayyra saja ternyata, ka­lau di Facebook. Rieka mengarahkan kursor ke fo­to profil cowok itu, klik dua kali, lalu ternganga. Co­wok itu sedang memangku cowok lain, me­me­luk­nya, lengkap dengan menyadarkan kepala pada pung­gung. Wajah menghadap kamera, mata ter­pe­jam, senyum terulas. Married with Adrian Ha­di­to­mo, begitu keterangan yang tertera di Informasi. Adrian Haditomo, XI IPA 1?, demi apa? Rieka me­nga­kak, setelah reda ia lanjutkan memindai in­for­masi mengenai Dean. Tanggal lahir, sama dengan De­raz, tentu saja. Sekolah… Dalam keterangan me­nge­nai dirinya Dean mengatakan, “i’m charming and lovable person, trust me baby. amin.” Aduh duh duh duh. Cowok itu tidak memasang setelan pri­vasi, Rieka bisa melahap semua informasi yang me­mang hanya sedikit cowok itu cantumkan. Su­dah cukup stalking profil Dean. Rieka tidak ber­mi­nat untuk menekan Add, tidak juga pada siapapun co­wok yang sudah menjadi temannya di Facebook. Ma­af maaf saja ya. Merekalah yang harus me­ngi­rim­kan permintaan untuk menjadi teman Rieka, bu­kan sebaliknya. Selanjutnya Rieka berhak untuk me­nimbang-nimbang antara Confirm atau Ignore. Bah­kan pada Deraz pun Rieka tidak, toh Deraz ti­dak mengirimkan permintaan apapun untuk Rieka, Ri­­ekapun selalu gamang setiap kali menghadapi ka­ta itu. Add. Add. Add! ADD NOW YOU COWARD! Bah­kan meskipun mereka telah tergabung dalam grup yang sama—OSIS 20** SMANSON. Deraz juga ti­dak memasang setelan privasi. Walaupun Deraz ja­rang pajang Status, tapi Rieka harus bisa tahu ke­gi­atan yang baru-baru ini Deraz ikuti berdasarkan fo­to-foto atau apapun yang orang lain tautkan de­ngan Deraz, juga cewek macam apa saja yang meng­isi Kronologinya—direspons ataupun me­res­pons komentar-komentar di mana Deraz terlibat. Stalking Deraz beberapa kali seminggu pernah men­jadi agenda rutin Rieka, hingga Rieka me­mu­tus­kan untuk menunaikan ibadah puasa. Namun la­par dan dahaga Deraz begitu kuat menyerang, Ri­eka tidak tahan, puasa Deraz pun sering batal. La­gi­pu­la puasa itu bukan berarti tidak makan dan mi­num sama sekali selama sehari penuh. Kan?

.

Rieka menolak ajakan untuk menghabiskan jam istirahat bareng, baik pada teman sekelas, geng­nya dulu di LEMPERs, siapalah, apalagi Haqi! Ti­dak berarti Rieka ingin menghabiskan jam is­ti­ra­hat sendirian, seolah tidak punya teman, tidak, ti­dak boleh ada situasi macam itu dalam kehidupan Ri­eka. Toh Rieka sudah memiliki rencana, hendak meng­habiskan jam istirahat dengan siapa. Rieka me­nyumpal kedua telinga dengan earphone yang meng­antarkan tembang milik Zooey Deschanel, un­tuk mengusir kesendirian—se-men-ta-ra. Itu orang­nya. Rieka harap Dean segera melihatnya, se­ba­gai­ma­na ia sering dapati cowok itu diam-diam begitu. Ri­eka tersenyum. Semoga lambaiannya terlihat ang­gun. Sini, sini.

Rieka ingin cowok itu duduk di hadapannya la­gi. Rieka ingin memindai setiap kemiripan cowok itu dengan… seseorang… lagi. Rieka ingin meng­i­den­tifikasi setiap perbedaan, menandainya, bagai me­ngerjakan sebuah permainan yang lumrah bagi anak-anak—TEMUKAN PERBEDAAN DI ANTARA DUA GAMBAR INI—meskipun “gambar” satu lagi ti­dak ada. Rieka tahu pengamatannya membuat De­an kikuk, sementara ia sendiri malah tergeli-geli. Ouh… Bisakah Deraz membuat ekspresi selucu itu? De­an juga memandanginya. Sama saksama, entah un­tuk dibandingkan dengan siapa.

Di penghujung jam istirahat mereka me­ning­gal­kan Kabita dengan jalan beriringan. Rieka men­copot sebelah earphone, lalu mengarahkannya ke te­linga Dean. Tangan Dean menangkapnya, lalu me­nancapkan benda itu ke telinga. Playlist di pon­sel Rieka memutar “Why Do You Let Me Stay Here”[1], lagu yang tepat jika liriknya didengarkan se­cara cermat.

“Sori aku enggak bisa bales pake lagu Sunda la­gi, soalnya aku enggak ada yang hapal.” Dean me­no­leh pada Rieka. “Lagian kalo aku bisa main kibor ju­ga, aku enggak bakal mainin itu di kelas kamu. Itu norak banget tahu enggak?”

Antara tertawa dan tercengang—Rieka tidak bi­sa membayangkan tampang Deraz sekomikal itu...tapi Dean bisa!

Kata Rieka lagi, “Aku pingin nyoba sama ka­mu. Boleh enggak?”

Dean sudah tidak ingin tertawa, tapi Rieka ma­sih ingin merekam bagaimanapun ekspresi co­wok itu di memorinya. That puppy look… unyu ba­nget…!

“…tapi jangan bilang siapa-siapa dulu ya…?” sam­bung Rieka dengan nada memohon, lagi sung­guh-sungguh.

“…elo serius …sama gue?” respons Dean bak ikan terdampar di darat.

Mereka sudah berada di persimpangan jalan me­nuju kelas masing-masing. Bel tanda jam is­ti­ra­hat berakhir pun sudah lama lalu. Rieka mencabut ear­phone dari lubang telinga Dean, bergegas untuk me­nyembunyikan kikih.

.

Beberapa kali tiga—semula dua—bersaudara itu pernah menaiki mobil Rieka saat SD. Disopiri Pak Sam hingga rumah mereka yang memang se­a­rah dengan rumah Rieka. Tidak pernah Dean sen­di­ri, minimal adiknya yang perempuan serta, apalagi ka­lau Deraz!, karena Rieka tidak mau. Toh Mama su­dah pesan pada Pak Sam, “kalau ada anak-anak­nya Bu Dara diantar sekalian aja Mang,”—“anak-anak” kan, bukan “anak”. Sebetulnya mereka ber­lang­ganan jemputan, tapi menebeng mobil Rieka agak­nya merupakan pengalaman khas. Apalagi bagi De­an. Sampai SMA bahkan. Maka, SD-SMP (se­ko­lah mereka bersebelahan)-SMA, Rieka tidak heran sa­at sepulang sekolah mendapati Pak Sam tak sen­di­ri menunggui mobil melainkan ditemani Dean. Ak­rab benar mereka. Sudah biasa pula bagi Dean un­tuk segera melenyapkan diri begitu Rieka sam­pai, ketimbang dihantui tatapan judes Rieka ba­rang­kali. Tapi kali ini tidak.

Rieka usai rapat OSIS. Ia mendapati Dean du­duk di samping jok Pak Sam, ber-jumper pe­la­ngi. Sering kali Dean hanya berdiri di balik pintu Pak Sam. Melihat Rieka, Pak Sam membereskan ku­lit kacang yang bertebaran di atas dashboard, se­men­tara Dean buru-buru keluar dari mobil, meng­ang­guk sopan seraya membukakan pintu agar lebih le­bar. Rieka biasa tidak mengacuhkan. Tapi kali ini ti­dak.

Maka Rieka melontar senyumnya yang bak pla­naria—bercambuk getar. Ia lantas duduk di tem­pat Dean semula. Begitu menaruh ransel di jok te­ngah ia baru sadar kalau biasanya ia duduk di jok te­ngah. Dean sudah menutupkan pintu di sam­ping­nya.

Betapa selama ini Dean menyamakan po­si­si­nya dengan Pak Sam—semacam kalangan yang do­yan merokok sambil makan kacang ketika harus me­nunggu begitu lah, meski Rieka tidak pernah li­hat Dean merokok. Bahkan sebetulnya Dean lebih san­tun dari Pak Sam, entah di bagian mana tapi. Se­tidaknya Dean tidak pernah mengorek-ngorek ke­hidupan asmara Rieka, sedang Pak Sam—Rieka cu­riga pria itu sebetulnya mantan wartawan in­fo­tain­ment.

“Yayan! Udah ada nomornya belum?” seru Pak Sam, namun Dean telah menjauh. Rieka tidak mau tahu nomor apa bahkan siapa yang Pak Sam mak­sud.

Pak Sam sudah memutar gas ketika sosok jang­kung tapi tipis itu kembali. Dean melongok dari ba­lik jendela depan yang masih setengah terbuka. “Ri­ka, saya belum punya nomor kamu!”

Rieka terpana. “Oh ya.” Seperti terhipnotis Ri­eka mengangkat ponselnya yang masih bermotif ha­ti-hati. “…aku juga.”

“Besok mau istirahat bareng lagi?”

“Boleh aja…”

Transaksi nomor berjalan dengan sukses.

“Dah…”

“Dadah…”

Jendela perlahan menutup. Rieka bingung. Ka­lau Dean memang menyukai Rieka selama ini, se­kiranya cowok itu akan menyimpan nomornya, wa­laupun hanya untuk dipandang-pandang—di­ha­pal tapi tidak cukup nyali untuk digunakan—se­ba­gai­mana Rieka dengan nomor Deraz lah. Mobil mu­lai melaju mundur dari pelataran parkir SMANSON se­belah luar.

“Enggak diajak bareng sekalian, Neng?” te­gur Pak Sam.

Rieka menurunkan lagi jendela di sam­ping­nya. Terlihat Dean sepertinya belum begitu jauh. Ri­eka memanggil-manggil, namun cowok itu tak men­dengar. Bikin malu saja! Kalau Rieka yang ber­a­da di posisi Pak Sam tentu ia ingin cekikian.

“Kan udah ada nomor HP-nya…” Pak Sam la­gi.

Rieka berdecak, “Iya, tahu,” seraya mem­bu­ka kontak dan mencari nama itu. “Yan… bareng aja yuk?”

“Eh iya… Eh apa? Istirahat besok?” Deru ken­daraan jelas sekali sebagai latar suara Dean. De­an masih di sekitar sini mestinya, tapi kok tidak ke­li­hatan… Lanjut cowok itu, “Bukannya tadi…”

“Bukan… Kamu udah jauh belum? Pu­lang­nya sekalian aku aja.”

Mobil berhasil menyeberang jalan. Rieka men­dapatkan kesadarannya, terutama mengenai ni­lai penting tindakan yang barusan ia lakukan. Mau-maunya dikerjai Pak Sam! Tapi beberapa me­nit kemudian Dean  sudah duduk di jok tengah, se­men­tara mobil melaju dengan kecepatan sedang. De­mi apa Dean yang sudah menginjakkan kaki di lan­tai angkot mendadak urung?

“Enggak ditemenin Neng, temennya di be­la­kang?”

“Ah udah deh Pak Sam nyetir aja. Bawel!” Ri­eka ingin menangkupkan kedua belah tangan ke mu­ka. Perangai buruknya pada Pak Sam keluar di sa­at ada orang lain melihat. Bukan ia tidak pernah be­gitu sebelumnya. Ia sering marah-marah pada Pak Sam, tidak peduli siapapun yang sedang duduk di jok lain, tapi saat SD. Ekspresi bengong Dean ti­dak cukup menghibur kali ini. Rieka tidak tahu ke­na­pa ia harus malu, padahal cuman di depan cowok ma­cam Dean!

“Saya aja yang nemenin si Neng di depan, Pak Sam,” celetuk Dean dengan sesemringah mung­kin.

“Oh… ya… boleh aja,” jawab Pak Sam. “Pu­guh ngeunah Pak Sam mah sekali-kali disetirin. En­tar pas di belokan itu aja ya Yan.”

“Enggak jadi deng Pak, kapan-kapan aja.” Can­da di muka Dean lenyap.

“Kenapa… Belum bisa nyetir, Yan?”

“He… Belum, Pak.” Dean kembali ce­nge­nges­an.

“Belajar atuh, kayak si Neng nih…”

“Ah Pak Sam udah deh. DIEM!” sentak Rieka ba­gai memberi perintah pada hewan piaraan.

Dean juga tidak bersuara lagi, sampai mobil ber­henti di pangkalan ojek terdekat dari kompleks pe­rumahannya.

.

Setelah tiga kali besok, Dean menjajari lang­kah Rieka yang menuju ke Kabita, “Eh Rika mau ke Ka­bita juga…” ucapnya, dengan beberapa cewek la­in juga mengiringi Rieka. Serempak mereka me­no­leh pada spesies lain yang mengintrusi koloni ter­se­but. Sekilas saja, sekadar untuk merespons senyum De­an yang bersinar.

“Iya,” jawab Rieka. Selanjutnya Dean meng­u­capkan sesuatu secara terlalu pelan. Suaranya ter­pe­leset di muka lubang telinga Rieka, jatuh, tapi ma­sih sempat menggelitik. “Hah?”

“Bareng yuk.”

“Langsung nimbrung aja kali. Enggak usah bi­lang-bilang segala.” Teman-teman Rieka tertawa.

“Ya udah aku mau bareng dia aja,” kata Ri­eka seraya melebarkan jarak dengan teman-te­man­nya. Mereka terkejut, namun membiarkan sejoli itu me­napaki jalannya sendiri. Rieka membalas lam­bai­an mereka.

“Dari kemarin pingin deketin kamu. Tapi eng­gak enak soalnya kamu sama temen-temen ka­mu terus,” kata Dean dengan memiringkan kepala, ba­rangkali agar suaranya lebih sampai pada Rieka.

Kening Rieka berkerut. “Ya udah sekarang di­enakin aja.” Akhirnya Rieka ingat akan situasinya ki­ni bersama Dean. Kehidupan baru sudah meng­a­dang. Rieka harus membuatnya lebih enak. “Ri-e-ka. Nama aku ada ‘e’ di tengahnya,” kata Rieka be­gi­tu mereka duduk berhadapan di salah satu bang­ku panjang yang masih menyisakan ruang, lengkap de­ngan kudapan masing-masing. “’e’-nya dibaca.” Ri­eka tersenyum saat Dean mengeja namanya per su­ku kata. “Eka itu artinya satu. Tapi cuman ke­lu­ar­ga aku yang boleh panggil aku Eka.”

“Oh,” Dean menjentikkan jari meski tidak bu­nyi, “aku tahu. ‘R-I’-nya… Republik Indonesia kan?”

Kening Rieka berkerut. “Bukan… ‘R-I’ tuh Ra­ditya dan Ice, nama orangtua aku.”

“Bukannya nama mama kamu Tante Nira?” la­lu Dean meneguk jus jeruk.

“Ice Nirawati.” Rieka menggigit stik tahu, se­di­kit. Begitu habis ditelan ia berucap lagi, “Kalau na­ma kamu? Aku pingin tahu aja artinya, ‘Hayyra’ ka­yaknya bagus gitu.”

“Kalau ayah saya bilang sih…” Dean men­co­mot stik tahu yang Rieka tawarkan, “…jadi gini kro­no­loginya,” Rieka tersenyum karena lagak Dean yang sok serius, dan apakah cowok tersebut benar-be­nar mengerti arti kata “kronologi”? “waktu itu teh hu­jan deras, ma­ka­nya Deraz namanya Deraz,” Ri­eka tertegun, “terus habis hujannya berhenti, ma­ta­ha­ri terbit, saya lahir. Jadi katanya ‘Hayyra’ itu ar­ti­nya matahari kehidupan—naon lah.”

Mungkin itu sebab kenapa Deraz selalu bikin ge­rimis di hati Rieka, sedang Dean ternyata mampu mem­berikan kehangatan. Rieka tidak doyan gom­bal, atau bisa jadi gombal beda tipis dengan realita, ta­pi begitulah pemikirannya. Pemaknaan yang ris­kan, Rieka.

Nasi goreng pesanan mereka datang.

Rieka memerhatikan bagaimana kedua belah pi­pi Dean timbul tenggelam saat mengunyah. Deraz ma­kan dengan lebih lahap—sama cepat dengan wak­tu yang dibutuhkan untuk mematangkan Pop Mie. Rieka benar-benar mensyukuri OSIS yang me­mung­kinkan kebersamaan dengan Deraz, meski se­se­kali, tapi memberikan kesempatan baginya untuk me­nyaksikan bagaimana cara Deraz makan. Puasa De­raz pun batal lagi. Benar kata Ipong. Program “Lu­pakan Deraz” adalah musykil mengingat ke­ber­sa­maan mereka masih satu tahun kepengurusan se­ka­ligus dua tahun ajaran lagi—satu tahun ajaran la­gi kalau Deraz lolos seleksi AFS. Selanjutnya Rieka ha­nya bisa berdoa supaya ia dan Deraz tidak men­ja­di mahasiswa di kampus yang sama.

“Kamu ngunyahnya lama ya?”

Kepala Dean terangkat. “Iya. Makanya ku­rus.” Sambungnya dengan suara lebih pelan namun ma­sih terdengar, “Bokernya juga lancar.”

Da maneh mah, ngunyahnya juga sampai ma­kanannya jadi cair yak…” celetuk cowok yang du­duk di sebelah Dean. Barulah Rieka ingin bilang, “iyuh.” Dean mengguncang-guncang temannya ter­se­but dengan keakraban. Pengamatan Rieka beralih pa­da spesies macam apa teman Dean itu. Rambut ke­riting. Wajah bermotif jerawat dengan lapisan mi­nyak. Mata sipit. Hidung pesek. Bibir hitam. Se­ring terlihat menongkrongi warnet seberang SMAN­SON bersama anak-anak sejenis—sejenis be­ran­dalan SMANSON barangkali. Rieka bertanya-ta­nya ke mana tipe yang chic macam Ola dan Anne.

“Ri… Neng—Ri-eka,” panggil Dean ketika me­reka jalan meninggalkan Kabita. “Punya jepit ram­but enggak?”

“Ada, di kelas. Buat apa gitu, Yan?”

“Ini…” Dean mengangkat poninya ke atas. “Udah panjang gitu tapi belum sempet aja ke sa­lon…”

Sejenak Rieka terbelalak. “Oke… Yuk…” De­an mengiringinya ke XI IPA 5.

“…pingin ganti model lagi sih…”

“Kok gue asa sering liat potongan rambut elo be­da ya?”

“Iya. Yang ini gue pingin yang rada zadul gi­tu. Potongannya orang serius lah, bae culun ge.”

“Kenapa sih?”

“Biar guenya juga kebawa serius.”

“…demi apa…?” Rieka ingin tertawa tapi le­bih tampak seperti meringis. Mereka sudah me­le­wa­ti pintu kelas. Dean langsung mengenali day­pack milik Rieka, lengkap dengan merek, dan bah­wa ia pernah mengidamkan barang serupa. Rieka meng­ambil sebuah jepit panjang, menyerupai capit, da­ri beauty kit miliknya.

“Biasanya kalau di rumah gue pinjem punya adik gue…”

Pelajaran terakhir di XI IPA 5 usai, Dean su­dah menanti Rieka di sekitar pintu kelas.

“Makasih ya Neng…” Dean menyerahkan je­pit­an Rieka dengan wajah yang berseri-seri. Mereka la­lu jalan beriringan menuju gerbang, sampai Rieka ingat kalau ia seharusnya mampir ke sekre OSIS du­lu. “Tadi sempet diambil sama Bu Pipin gitu. Je­pit­nya.” Dean memperagakan bagaimana guru So­si­ologi tersebut mencabut jepit dari poninya. “Ka­yak cewek aja, katanya.”

“Iyalah!” Duh, Dean, jangan terus-terusan bi­kin Rieka ingin tertawa!

Mereka berjanji untuk istirahat bareng lagi be­sok. Selepas kepergian Dean yang melangkah ri­ngan-ringan, Rieka tersenyum-senyum. Rasanya se­perti terbenam ke masa SD—kali pertama pa­car­an! Nanti lagi Rieka ingin mencubit kedua belah pi­pi Dean sekuat-kuatnya. Biar merah, biar tembam la­ma-lama!

Besok tinggal Rieka seorang di XI IPA 5 pada jam istirahat, saat Dean menghampiri dengan ter­e­ngah-engah.”He… hehehe…” sapa cowok itu.

“Kamu salat duha dulu ya?” Rieka mencoba un­tuk berbaik sangka. Tebakan Rieka sebetulnya De­an sudah sampai Kabita, menghabiskan se­bung­kus cakue mini, menyadari kalau Rieka tidak ber­sa­ma­nya, lalu lekas-lekas ke XI IPA 5. Tapi Rieka bu­tuh mengenal Dean lebih lama agar bisa mem­buk­ti­kan tebakannya.

.

Masih jam lima lebih sedikit ketika Rieka usai salat subuh. Ia mencomot ponsel lalu mencari kon­tak Dean, menerka-nerka apakah cowok itu su­dah bangun. Pasti belum. Panggilan Rieka baru ter­ja­wab setelah kali kedua, tanpa disusul suara sama se­kali selama beberapa detik. “Pagi Dean, udah ba­ngun belum?” Betapa baik Rieka, sejak pagi sudah me­nyirami seseorang dengan kebahagiaan! “Deuh Neng, pantesan tadi tiba-tiba ngilang,” jawab Dean se­telah beberapa lama. “Ternyata udah balik du­lu­an…” Rieka cekikikan. Padahal semalam sama se­ka­li tidak ada Dean dalam mimpinya.

Jam istirahat mereka habiskan bersama. De­an bercerita bagaimana ia biasa mandi ketika ke­lu­ar­ganya sudah sarapan, dan baru sarapan ketika da­lam perjalanan ke sekolah, namun pagi itu tidak bi­asa. Rieka baru hendak menyeruput kuah sup bu­ah ketika pandangannya tak sengaja mengerling ke te­ngah kantin. Deraz. Rieka sering melihat Deraz—se­ngaja atau tidak sengaja—tapi tidak pernah se­be­lum­nya saat Deraz juga sedang melihat ke arahnya. De­raz mungkin baru bakal melihat ke arahnya ke­ti­ka Rieka menegur cowok itu, begitu selalu Rieka me­nyangka. Tapi bagi Rieka hari ini pun me­ngan­dung jam istirahat yang tidak biasa. Deraz melihat ke arahnya… atau mungkin melihat Dean… tapi se­ca­ra otomatis Rieka juga berada dalam lingkup pan­dangan Deraz. Tanda seru bagi Rieka.

Sepulang sekolah Rieka yang hendak latihan ba­reng ekskul Vocal Group alias VG disusul Dean de­ngan lari-lari kecil. Cowok itu ingin menemani Ri­eka ke ruang kelas yang dipakai untuk latihan, sem­bari memperdengarkan sesuatu dalam perekam mi­liknya. Rieka menekan kedua earphone sedalam mung­kin ke lubang telinga agar jelas suara yang meng­alir dari perekam tersebut. Kening berkerut.

…she’s so high… high above me, she’s lovely…[2]

Rieka merasa sering mendengar lagu ter­se­but di radio, tapi tidak tahu penyanyi serta ju­dul­nya.

“Ini kamu yang nyanyi?”

“He eh.”

Rieka baru menyadari cowok itu me­nge­na­kan jumper biru muda dengan motif jejak kaki ku­cing (atau anjing?). Ia dengarkan lagi lagu tersebut de­ngan saksama. Di samping vokal Dean yang tan­pa teknik, serta nada-nada yang mestinya cowok itu ha­silkan dengan kibor, Rieka mendapati suara gi­tar. “…ini… ada gitarnya?”

Dean mengiyakan seraya mengangguk.

“Siapa yang main?” Mendadak Rieka ingin na­ma itu yang disebut, yang selain merupakan Ka­bid I di OSIS juga dikenal piawai memetik gitar. Bin­tang di setiap gig SMANSON. Rieka berharap bi­sa melihat cowok itu mengupil, kentut sem­ba­rang­an, garuk-garuk ketiaknya yang basah, apapun yang bakal melenyapkan perasaan Rieka padanya da­lam sekejap, tapi momen itu tidak kunjung ter­wu­jud.

“Kakek.”

“Kakek siapa… kakek kamu?”

“Kakeknya Zahra.”

“Zahra siapa?”

“Temen aku.”

“Temen yang mana?” Rieka terkejut nadanya ter­dengar posesif. Ulangnya dengan nada yang le­bih terkontrol, “Temen kamu?”

Dean tidak langsung menjawab. Sebatang ja­ri­nya menggaruk-garuk kepala. “Itu… anak… IPA be­rapa ya dia teh… Sms dia dulu atuh yah…”

“Enggak usah, enggak penting! Kamu aneh ba­nget deh…”

Dean menurunkan ponsel.

Dean menceritakan tentang persewaan stu­dio musik milik kakeknya Zahra, dan betapa kakek ter­sebut lebih enak ketimbang kakek yang menjadi gu­ru les pianonya.

Mereka sudah sampai. Mereka saling me­lam­bai. Sepanjang latihan Rieka susah konsentrasi. Li­rik lagu tersebut menyadarkan Rieka betapa De­an memujanya.

Malam Dean meneleponnya, hanya untuk me­mastikan tebakan bahwa Rieka belum tidur. Mem­pertahankan peringkat lima besar di kelas itu bu­tuh upaya, Sayang. Tapi jangan sampai terlalu la­rut. Yang butuh segera tidur itu sebetulnya Dean, pi­kir Rieka, mendengar suara cowok itu yang sudah pa­rau. Dean ingin menemaninya dengan Rach­ma­ni­noff. Rachma… siapa lagi cewek ini? Yang di­ja­wab Dean dengan denting-denting yang berat. Ma­lam-malam main kibor! Bukan kibor, Neneng, ini pi­ano. Namanya Baby. Baby ingin kenalan sama Neng. Baby itu cewek atau cowok? Cewek. Putih mu­lus kayak Devon Aoki, Neng jangan cemburu ya. ...ini cowok!

“Yan… Kenapa sih kamu suka panggil aku ‘Neng’? Kayak Pak Sam aja…”

“’Neng’ itu kan panggilan kehormatan…” De­an berhenti agak lama. “…Neng Ri-eka.”

“Kalau gitu aku juga mau panggil kamu…” Me­lintas di benak Rieka kata ‘aa’ dan ‘akang’, tapi me­manggil Dean dengan panggilan tersebut bikin Ri­eka serasa digelitiki, lagipula cowok itu beberapa bu­lan lebih muda darinya—ya, berarti Deraz juga, ja­ngan ingatkan Rieka. “…Yayan…”

Tawa cowok itu seperti anak kecil. “Itu mah yang nyanyi lagu ‘Curug Cinulangatuh, Neng, Ya­yan Jatnika!”

Rieka tidak mengerti, tapi bagaimanapun ia ter­lanjur suka dengan panggilan itu. Terdengar man­ja lagi mesra. “Itu kan dari ‘Dean’… Yan… Yan… gitu, jadinya Yayan…” Lagipula Rieka sering men­dengar Pak Sam juga memanggil Dean de­mi­ki­an, dengan kesan yang berbeda dengan Rieka, se­mes­tinya.

“Nanggung atuh… tambahin ‘g’ gitu be­la­kang­nya…”

Rieka mencerna, lalu mendengus.

“Iya, Sayang…”

Bukan hal sulit. Rieka sudah terlatih untuk mem­perlakukan setiap cowok yang jadi pacarnya de­ngan “sayang”.

Rutinitas pun dimulai. Membangunkan De­an. Istirahat bareng dengan secangkir senyum De­raz. Mendengarkan hasil ulikan Dean dan Kakek (—ka­kek siapapun itu) sejak “Funny Little Frog” dari Belle & Sebastian sampai “Stay (Beside Me)” dari San­tana. Tidur diantar denting-denting piano. ‘Sa­yang’ dibalas dengan ‘Sayang’. Yang tidak biasa men­jadi biasa.

Sejenak Rieka mengganti pensil dengan pon­sel, matanya memindai isi kontak, lalu mengganti ‘De­an’ dengan ‘LovelYan’. Lovely Yayan.

.

Kembali terasa seperti pacaran pertama kali. Pa­caran ala anak SD. Seolah Rieka hendak meng­u­lang pengalamannya bersama… Rieka agak lupa si­apa nama si pacar pertama. Sepulang sekolah me­re­ka diantar Pak Sam ke BIP. Sejak menapaki lantai BIP tangan mereka bergandengan senantiasa, mata me­reka bertukar tatap sesekali. Lalu lalang orang-orang diterobos begitu saja seolah tidak ada. De­ret­an toko melintas begitu lamban seakan ingin jadi sak­si kebersamaan.

Tangan Dean besar sekali! Menelan nyaris se­luruh tangan Rieka. Tangan pianis!

Kepada Dean Rieka bisa mengungkapkan ka­lau ia masih menggemari Winnie The Pooh dan Sai­lormoon, padahal dengan cowok-cowok se­be­lum­nya Rieka malas kasih tahu. Barangkali karena De­an sedang mengenakan jumper Doraemon—leng­kap dengan kantong putih setengah lingkaran di area perut. Oh, betapa nikmat bisa mem­be­ber­kan rahasia kecil ini!, meski sebetulnya Rieka bisa meng­utarakannya pada siapapun kalau ia mau, tapi te­rasa seru dengan menganggapnya sebagai sebuah ra­hasia!, karena tidak semua orang tahu!

“Kamu sukanya sama Sailor apa?” Tidak ya­kin orang lain bakal merespons sehangat Dean.

“Mm… Aku suka Sailor Jupiter,” karena ujung rambut Sailor Jupiter mengikal seperti ram­but Rieka. Kedua tangan Rieka bergelayut di per­ge­lang­an tangan Dean. “Tapi terus aku suka sama Sai­lor Venus. Tapi aku paling suka sama Sai­lor­moon…” Rieka tersenyum mengenang masa kecil, di mana ia suka meminta pembantu di rumah un­tuk menata rambutnya agar seperti Usagi Tsukino, yang mana ia tidak pernah cukup percaya diri un­tuk pergi ke sekolah dengan model begitu.

“Kalau gitu aku jadi tuksedo bertopengnya.”

Potongan rambut Dean boleh serupa Ma­mo­ru Chiba, tapi menurut Rieka, “kamu tuh cocoknya ja­di temennya si Usagi yang pake kacamata muter-mu­ter itu loh… itu tuh… Umino!”

“…kok…?” Ekspresi Dean membikin Rieka me­ngikik. “Terus kalau Winnie The Pooh…”

“Aku Winnie The Poohnya. Kamu…”

“Christopher Robin!”

“Enggaak…! Kamu tuh cocoknya jadi Piglet!”

“Haaah…”

Rieka ingin memperlihatkan Dean pernak-per­nik lucu di Heartwarmer, yang sebelumnya su­dah ia tandai saat ke sana bersama teman-teman be­berapa hari lalu. Rieka akan membelinya kalau me­nurut Dean cocok. Selera Dean agaknya bisa di­per­caya. Tentu saja tidak cuman Heartwarmer tu­ju­an Rieka, toh ia sudah membawa MasterCard milik Mama.

Ada beberapa film menarik di XXI. Rieka ingin mengajak Dean menonton sekalian.

“Neng, kasihan atuh entar Pak Sam nung­gu­nya kelamaan,” kata Dean, mengingatkan Rieka akan Pak Sam dan mobil yang menunggu di basement.

“Enggak apa-apa kali…” Memang begitulah tu­gas sopir. Untuk menyopir dan menunggu, dan me­nyopir lagi, meski sesekali Pak Sam merangkap pem­bantu umum. Lagipula Pak Sam bisa saja me­ning­galkan Rieka dan Dean, kapanpun nyonya be­sar membutuhkan jasanya, walaupun setelah itu ia mes­ti kembali lagi untuk menjemput.

Mereka pun memutuskan untuk membeli ku­dapan dulu di Hypermart, sembari menimbang film mana yang hendak ditonton.

Di muka Hypermart, “Hweee…!”, se­ke­lom­pok cowok yang mana Dean termasuk ke dalamnya mem­buat keributan. Reuni SMP dadakan. Tangan ber­salaman. Tabok-tabokan. Rieka memindai satu per satu teman SMP Dean, dari kiri ke kanan, lalu atas ke bawah, dan menyimpulkan bahwa mereka ada­lah tipe yang doyan jongkok-jongkok di pinggir ja­lan sambil merokok dan omong jorok. Rieka ber­ta­nya-tanya apakah teman Dean yang chic cuman Ola dan Anne.

“Kenalin, yeuh, cewek urang!”

“Hweee…!” lagi.

Selanjtnya mereka terlalu tercengang untuk be­reaksi.

“Yan, mun karek batur mah tong diaku-aku atuh, karunya ih.

“Ih, ciyuuuus…!”

Satu per satu uluran tangan mereka datang, bak siluet ranting di tengah malam berbadai nan men­cekam. Rieka berupaya agar sebisa mungkin sa­laman terjadi tanpa sentuhan. Namun rupanya co­wok-cowok itu juga ingin berkoloni dengan yang se­joli, menjelajahi BIP beramai-ramai. Ih! Apa kata Ma­ma kalau sampai melihat Rieka jalan dengan co­wok-cowok macam mereka?! Maka Rieka agak men­jaga jarak ketika rombongan berjalan. Padahal De­an tampak begitu terawat, berkulit putih tanpa je­rawat, meski pucat, tapi pergaulannya beririsan de­ngan anak-anak kurang terurus!

Benda-benda di balik etalase demi etalase yang mereka lewati mampu meredakan gejolak yang Rieka alami. Selembar ruffles sweater meng­hen­tikan langkah Rieka. Ia ingin tahu bagaimana pen­dapat Dean apabila pakaian tersebut ia ke­na­kan. Tapi bayangan yang memantul di kaca mem­bu­at Rieka terkesiap. Rieka balik kanan. Dean tidak la­gi di sampingnya. Rieka mengedarkan tatapan ke pe­losok mal. Eskalator. ATM center. Restoran. Lobby. Tidak ada. Bahkan satupun berandal dari kom­plotan itu tidak tampak—Dean diculik!

Rieka mencoba untuk menghubungi Dean sem­bari jalan, semula tak tentu arah, sampai me­lin­tasi Hypermart kembali. Belanjaan mereka tadi di­ba­wa Dean. Rieka memasuki swalayan tersebut, se­ra­ya memencet nomor Dean beberapa kali lagi, lalu ke­luar dengan menenteng plastik gembung. Saat tu­run ke basement dengan eskalator Rieka masih ber­usaha untuk menghubungi Dean. Di mobil Pak Sam gelagapan ketika Rieka menutup pintu tengah. Pria berambut ikal itu menaikkan sandaran jok, dan bertanya, “Kok enggak bareng si Yayan, Neng?”

Pipi Rieka gembung oleh keripik kentang. “Ta­hu tuh. Tiba-tiba aja ngilang.” Rieka biarkan Pak Sam dalam kebingungan. Pria itu sudah duduk te­gak, seakan siaga untuk mengemudi segera. Tapi ma­sih berbalik pada Rieka sekali-kali.

“Mau pulang atau nunggu, Neng?”

Rieka mengangkat pergelangan tangannya yang dilingkari jam. “Tunggu setengah jam lagi deh,” atau sampai nyamikan di dalam plastik tan­das. Rieka lahap dengan amat nafsu. Diselingi te­guk­an demi tegukan besar dari botol jus jambu.

Snack ketiga ketika ponsel Rieka bernyanyi.

“Neeeeng…!” sahut Dean histeris. Rieka se­nga­ja menyetel loadspeaker biar Pak Sam dengar se­kalian. Sekonyong-konyong benak Rieka dijejali be­ragam kalimat—amunisi untuk mengomeli Dean. Mes­ti dipilah mana yang paling tepat, atau ke­lu­ar­kan semua dalam sekali cerocos. “HP aku di-silent…” begitu alasan Dean.

“Terus enggak getar juga?”

“Getar… Cuman—itu kan HP-nya aku taruh di kantong jumper,” mengingatkan Rieka akan mo­del jumper Dean hari ini, “terus aku enggak tahu itu HP aku yang getar. Kirain akunya aja yang laper…”

Beberapa lama Rieka membenamkan muka ke sandaran jok, sebelum dengan susah payah mem­­bentak, “Kamu mau pulang sendiri apa ba­reng?!”

“…kamu sekarang di mana?”

 “Di mobil! Cepetan!”

Rieka memutus panggilan. Setengah badan Pak Sam menghadapnya, entah sudah berapa lama se­perti itu, Rieka belum pernah mendapati so­pir­nya sebengong itu.

.

Dean lanjut mengais-ngais maaf dari Rieka bah­kan hingga rutin malam mereka. Rieka ingin bi­lang, “take it easy aja lah!” tapi ia juga tidak ingin mem­buat Dean kelak menggampangkan urusan de­ngan­nya. Sementara Dean meluapkan apapun yang meng­ganjal di hati, Rieka menyibak halaman demi ha­laman tabloid yang baru Mama beli. Menu ming­gu itu adalah bekal buat si kecil. Rieka terilhami ca­ra untuk menunjukkan pada Dean bahwa ia sudah ti­dak begitu memusingkan perkara tadi sore.

Keesokan paginya Rieka bangun setengah jam lebih awal.

Di pantri Rieka mencari-cari kotak bekalnya sa­at SD, meski wadah tersebut tidak benar-benar ko­tak melainkan… ia menemukan wadah yang ber­ben­tuk kepala Winnie The Pooh—sangat kontras de­ngan bentuk wajah Dean yang lonjong! Tapi toh Ri­eka memang hendak membuat wajah Dean se­bu­lat beruang madu tersebut… hm… sepertinya cowok yang terlalu gemuk tidak bakal look good… minimal ba­gaimana mengisi pipi cowok tersebut agar tidak ter­lalu tirus lah.

Program “Gemukkan Dean” dimulai!

Rieka lalu berdiskusi dengan Bik Mirah di da­pur mengenai nasi goreng yang hendak ia buat, leng­kap dengan modifikasinya. Warna nasi jangan co­kelat, tapi yang putih kekuningan biar me­nye­ru­pai warna kulit Dean. Mata Dean yang berbinar akan dibuat dari belahan kuning telur rebus, se­dang bagian yang putih dimanfaatkan untuk hi­dung­nya yang panjang lagi lancip. Senyum Dean yang lebar berupa sosis gepeng separuh bulat. Ten­tu saja Rieka juga menghendaki wajah yang berseri-se­ri kemerahan, menandakan fisik yang sehat bi­ar­pun wajah Dean biasanya pucat, sehingga kedua be­lah pipi cowok itu akan dihiasi irisan tomat. Se­pa­sang salad ditata di bawah dagu, anggaplah kerah jumper Dean.

Sembari memikirkan bahan apa yang bisa men­jadi alis dan rambut dan telinga Dean, kalau per­lu yang mengandung kalori tinggi dan banyak le­mak!, Rieka mengaduk-aduk kulkas. Kemudian ia me­narik sebongkah plastik berisi kepiting ukuran jum­bo.  “Oh itu semalam dibawa sama Bapak, oleh-oleh dari temennya ceunah,” demikian Bik Mirah mem­beri keterangan. Wajah Rieka mendadak ce­rah. Ia akan membuat telinga Dean dari daging ke­pi­ting!

Instruksi Rieka telah lengkap. Sebetulnya ia bi­sa saja membiarkan Bik Mirah yang mengerjakan un­tuknya, tapi bakal terasa pahit lidahnya kalau nan­ti mengklaim bekal tersebut sebagai buatannya pa­da Dean. Sehabis bersiap ke sekolah Rieka pun kem­bali ke dapur, walaupun sekadar jadi mandor.

“Eka tumben bikin bekal,” sapa Mama seraya me­rangkul pinggang Rieka, dan segera me­le­pas­kan­nya lagi. Mamalah mandor sesungguhnya. Tiap pa­gi menyambangi dapur seolah mengecek kerja si bi­bik, dengan diam-diam mengambili camilan di kul­kas.

“Buat cowok aku, Mama…” sambut Rieka. Ta­ngan-tangannya sedang sibuk menata wajah De­an agar tampak artistik.

“Si Haqi tea?” Mama menuang susu cair ke mug.

Oh, lupakan cowok yang selalu merasa di­ri­nya lebih jago dari ayam itu, Mama!

“Bukan…”

“…oh, udah ganti lagi?”

Bahkan Mama pun bersikap seperti itu! Ri­eka menggerutu dalam hati. Tapi ia memang tidak bi­sa memungkiri, cowok kali ini adalah pacarnya yang ke… sekian kali.

Mama melongokkan kepala dari balik bahu Ri­eka. Jarak antara puncak kepala mereka men­ca­pai belasan senti. “Sekarang pacaran sama anak TK?”

Rieka menggeleng.

Seperti yang sudah Rieka duga, Dean amat sem­ringah akibat bekal tersebut. Apalagi ketika men­dapati wajahnya di balik wajah Winnie The Pooh yang ceria. Perjuangan Rieka terbayar. Wajah De­an masih utuh. Selama melintasi berbagai ruang da­lam jam-jam yang terhampar hingga jam is­ti­ra­hat, Rieka menjaga agar bekal tersebut tidak ter­ke­na guncangan yang merusak.

“Waa… Aku makan muka aku sendiri…” De­an tertawa-tawa seraya menarik sendok dari dalam li­patan tisu.

Uuh… Dean cute banget… Rieka ingin me­re­mas-remas wajah itu sebelum melahap wajah yang ti­ruan. Dean mengingatkan Rieka pada Tito, atau Oon, Tito atau Oon ya?, pokoknya dulu Rieka me­mi­liki boneka badut seukuran bayi. Matanya be­ru­pa bintang dan bibirnya selalu tersenyum, persis se­perti Dean. Pipinya gembil. Rieka senang me­ni­mang-nimangnya seakan ia ibu muda, atau kakak mu­da. Saat itu perabotan Rieka sewaktu bayi, se­ba­gi­an dari yang tersisa, turut menghuni kamar. Ri­eka memakaikan Tito tapi Oon blus renda-renda dan rok merah jambu, yang sering dipakai Rieka sa­at masih batita, walaupun penampakan boneka ter­se­but menunjukkan gender yang tidak sesuai. Rieka me­nyuapi Tito apa Oon walaupun ceruk sendok se­ka­ligus mangkoknya tak berisi. Rieka membuka mu­lutnya lebar-lebar, seakan Tito yang Oon juga ba­kal menganga, membiarkan bubur transparan meng­isi ruang di balik bibirnya. Dalam imajinasi Ri­eka pipi Tito juga Oon tumbuh dari hari ke hari, da­gunya membulat.

“Ini kepiting ya?” Dean memperlihatkan se­cu­il potongan daging di ujung sendok. Rieka meng­ang­guk selagi mulut Dean meraup makanan ter­se­but. “Ya ampun, ternyata kepiting ini emang enak ba­nget…”

ternyata

“Yayan enggak pernah makan kepiting?”

“Jarang. Jarang banget.”

Rieka terperangah tapi sesaat.

“Yayan… Yayan harus banyak makan yah.”

“Iya Neng,” jawab Dean dengan pipi berisi.

Sepulang sekolah Rieka dalam gegas menuju se­kre OSIS ketika jumper sekuning pisang di ke­ja­uh­an menarik perhatiannya. Rieka menoleh sekali. Oh, Dean. Rieka menoleh dua kali. Muka Dean me­rah sekali! Kontan Rieka memutar langkah. Alas se­pa­tu ketsnya beradu-adu dengan ubin lorong se­ko­lah yang hitam. Dean tampak sedang mengobrol de­ngan seseorang—terhalang tiang hingga Rieka ti­dak bisa langsung memastikan. Melihat arah mata De­an, sepertinya lawan bicaranya sama jangkung de­ngan cowok itu. Siapa lagi di sekolah ini yang sa­ma jangkung dengan Dean kalau bukan… Rieka men­dadak mulas. Sekujur tubuhnya serasa di­re­mas-remas dengan tangan gaib yang sedingin es. Sa­tu dari kedua tangan Dean yang semula sem­bu­nyi dalam kantong depan jumper terangkat ke pipi, ga­ruk-garuk. Totol-totol itu bahkan menjalar sam­pai ke punggung tangan! Rieka semakin dekat, se­ma­kin ingin mengoleskan minyak kayu putih ke pe­rut.

“Kamu kenapa… merah-merah gitu?”

Dean menyambut kedatangan Rieka dengan se­nyum, padahal bisa jadi gatal dan panas sedang men­deranya.

Rieka tidak bisa menahan diri untuk me­nger­ling juga ke arah Deraz, sekilas… saja… Deraz me­natapnya(!) tanpa ekspresi. Sontak Rieka me­nun­duk. “Jangan kepiting lagi ya,” suara Deraz pun tan­pa nada. Hembusan angin membawa aroma De­raz dalam penciuman Rieka, sekaligus memberi ta­hu bahwa cowok itu sudah lalu. Bulu kuduk Rieka me­remang. Setelah beberapa lama baru Rieka be­ra­ni mendongak pada Dean.

“Kamu enggak bilang kalau kamu alergi ke­pi­ting…”

“Tenang, Neneng… Yan ada obatnya kok…” sa­hut Dean santai seraya menggiring Rieka ke bang­ku keramik di tepi lorong. Dean memindahkan ran­sel ke pangkuan, lalu mengeluarkan sebuah ko­tak kecil. “Kotak Ajaib”, demikian yang tertera di ba­gian atas kotak tersebut, dengan warna-warni pas­tel, stiker bintang-bintang berukuran mungil, dan sapuan glitter. “Inisiatif si Deraz,” saat kelas 6 SD, sebab sebelumnya Dean membiarkan obat-obat­nya berserakan begitu saja dalam kantong. Se­be­lah tangan Dean menyusup ke balik jumper lewat ba­wah, beberapa lama menggaruk perut.

“Deraz juga yang ngehias-hias…” Rieka tidak per­caya.

“Lupa,” kata Dean. Kali ini kedua tangannya ber­gantian menyuruki punggung.

Baru melintas dalam kenangan Rieka, Deraz se­masa SD yang sekonyong-konyong menghampiri gu­ru di depan kelas saat mengajar, karena asma De­an kumat, lalu Deraz menghabiskan sisa pe­la­jar­an tersebut di UKS untuk menemani saudaranya. Ba­rangkali kegemaran Dean mengenakan jumper di sekolah pun bukan tanpa alasan. “Kamu punya pe­nyakit apa aja sih, Yan?” cemas Rieka.

“Enggak usah terlalu dipikirin kali Neng… Sa­ya tuh sesehat bintang iklan SGM.” Dean me­ma­suk­kan beberapa butir tablet ke dalam mulut, meng­gerusnya bagai mengunyah kacang, lalu meng­ulurkan lidah. “…eeek…” Rieka menyodorkan bo­tol air minum.

Rieka tidak bertemu dengan Deraz di sekre OSIS sepanjang sisa siang itu. Ia tidak tahu harus ber­syukur atau menyesal.

.

Deraz mendatangi Rieka. Sebundel kertas ber­­debam di atas meja di hadapan Rieka—me­nyu­sul tubuh cowok itu dengan tungkai kakinya yang pan­jang bersilang. Rieka membaca tulisan besar yang tercetak di sampul. Panduan Penanganan Per­tama pada Dean. Hah?

Deraz membuka halaman demi halaman bun­­del tersebut. Dengan cergas ia berhenti di satu ha­laman, lalu lanjut ke halaman lain. Ia seperti su­dah hapal letak halaman-halaman penting yang akan ia perlihatkan pada Rieka—tanpa harus di­tan­dai. Selain itu posisi panduan tersebut terbalik dari arah­nya. Setiap berhenti di halaman tertentu—de­ngan suara yang berat, tegas, dan terkendali seperti ke­tika memberi instruksi dalam kegiatan OSIS, De­raz memberi penjelasan.

“Kamu boleh ajak Dean ke mana aja, tapi ja­ngan ke laut atau kolam renang. Dia enggak bisa li­hat air dalam. Nanti dia pusing. Jangan bawa dia ke pa­sar juga. Dia enggak kuat sama bau amis. Dia bi­sa muntah-muntah kalau lihat pemotongan da­ging—apalagi ayam. Kamu boleh bawa Dean ke da­pur, tapi jangan kasih dia benda tajam seperti pisau atau parutan—dia enggak terampil. Kamu bakal bi­kin dia berdarah-darah. Mengerti?

“Kamu harus hapal dia alergi apa saja. Dia eng­gak bisa makan kacang-kacangan. Untuk da­ging-dagingan, dia cuman bisa makan daging ikan air tawar sama daging ayam. Jangan kasih dia ma­kan­an berbau menyengat.

“Kalau asmanya kambuh, inhalernya ada di kan­tong paling depan tasnya. Dia bakal lebih cepat ba­ikan kalau kamu belai-belai kepalanya. Kalau…”

Semakin panjang Deraz bicara, semakin Ri­eka terpaku pada lekuk yang muncul di pipi cowok itu. Tahu-tahu Deraz berhenti. Ia menutup pan­du­an. Menatap Rieka seakan tengah menguji apakah Ri­eka memahami yang sudah panjang lebar ia te­rang­kan barusan. Tambahnya dengan intonasi me­ne­kankan, “Mengerti?”

Senyum Deraz menantang. Begitupun sorot ma­tanya. Bahkan jakunnya.

Baru kali ini Deraz sudi menjejakkan kaki di da­lam mimpi Rieka, meski hanya untuk me­mas­ti­kan keamanan kembarannya.

Rieka menulis di organizer begitu ia ba­ngun: “cari Deraz!”, dan berdoa semoga hari itu ia men­dapatkan situasi yang kondusif untuk bicara de­ngan Deraz.

“Deraz… boleh ngomong sebentar?” begitu pang­gil Rieka saat menemukan cowok itu di sekre OSIS sepulang sekolah. Rieka berusaha untuk tidak meng­indahkan beberapa pasang mata di ruangan itu yang menyorot penasaran. Di pojok Ipong ter­se­nyum-senyum pada Rieka. Padahal Rieka sudah ber­usaha untuk bersuara pelan!, sayangnya Deraz me­mang acap jadi pusat perhatian.

Deraz menyusul Rieka keluar ruangan, tidak ja­uh dari pintu.

“Maaf Deraz… Saya enggak tahu Dean alergi ke­piting…” Rieka masih bisa mengendalikan su­a­ra­nya agar tidak menciut, tapi tidak mukanya, yang mes­tinya sudah memucat!

“…ya?” Deraz tampak heran.

“Yang kemarin itu… Alerginya kambuh kan…” Rieka mulai gelisah. Tidak bisa me­nge­nyah­kan bayangan Deraz bakal mengomelinya sehabis ini, mengungkapkannya dengan sejelas mungkin: “Ja­ngan. Deketin. Dean. Lagi.”

“Oh… Iya. Kenapa?”

Rieka mengerjapkan mata.

“…kemarin kan… anu… saya bikin bekal buat De­an…” Rieka ingin pingsan. Deraz sampai me­nun­duk untuk menyimak ucapannya! Aromanya me­ru­ap—memabukkan! Wajah Deraz tidak pernah se­de­kat ini sebelumnya dengan wajahnya!, hingga war­na iris yang cokelat terang itu tampak. Gerakan se­pa­sang alisnya yang tajam bagai dipahat itu sangat me­mikat. Mulutnya yang sedikit terbuka…

“Bisa gedein suara kamu, Rika?”

Deraz bahkan menyebut namanya!

“…bekal yang kemarin… buat Dean…” Rieka bi­ngung bagaimana mengatur volumenya se­mi­ni­mal mungkin yang bisa ditangkap Deraz, tanpa ha­rus meleset ke telinga milik orang lain juga. Dan sung­guh memalukan bicara tersendat-sendat se­per­ti ini! Beberapa orang duduk tidak sampai dua me­ter dari titik mereka berdiri. Andai bisa mengajak De­raz ke tempat yang lebih sepi…

“Oh… Kamu bikin bekal buat Dean?”

“…iya… yang ada kepitingnya…”

“…oke…” Deraz manggut-manggut.

“Dean enggak bilang sama kamu?”

Deraz menggeleng. 

“…loh, terus kamu tahunya kepiting…”

“Saya kan tanya sama Dean, kemarin itu, dia ha­bis makan apa aja…” Rieka tertegun. “…jadi ke­pi­ting­nya dari kamu, Rika?”

“…iya…” …mungkin inilah saatnya… ke­ma­rah­an Deraz bangkit lagi… Rieka di mata Deraz ha­nya tukang cari gara-gara dengan Dean… mes­ki­pun… sedari tadi nada dalam suara Deraz sedamai se­milir angin. Rieka mengangkat kepala. Deraz meng­hujaninya dengan senyum.

“Makasih loh udah bikinin bekal buat Dean.”

Rieka terkesima.

“Bikin sendiri?”

“…iya,” cuman itu yang sanggup Rieka hem­pas­kan. Maaf ya Bik Mirah. Karena selanjutnya Ri­eka ternyata masih sanggup menahan Deraz untuk bi­cara padanya lebih lama, biarpun cuman soal De­an.

“Asma… dia udah jarang kambuh sih. Asal ja­ngan dikasih macem-macem aja. Yang baunya nye­ngat gitu. Alergi… kayaknya kepiting aja, sama teng­giri.

“Iya, dia kadang ngeluh pusing, enggak enak ba­dan, males makan… tapi tiduran bentar udah ba­ik­an kok.

“Kadang dia makan yang pedes, terus diare.”

Andai riwayat penyakit Dean lebih panjang… dan serius.

“Kamu kayaknya perhatian banget ya sama De­an,” Rieka masih berupaya untuk mem­per­pan­jang pembicaraan, walaupun Deraz sudah kembali me­masuki ruangan.

“Masak sih?” cuman begitu respons Deraz.

Tapi bagaimanapun Rieka merasa beban yang ia pendam selama ini telah meledak. Oleh De­raz. Ini kemajuan yang pesat, Rieka! Sebuah rekor! Be­ribu kelinci berjoget melatari kebahagiaan Rieka. Ri­eka tidak lagi melihat orang-orang di sekitar me­na­ruh prasangka atas kebersamaannya dengan De­raz tadi, entah kenapa. Malah pikiran Rieka men­ca­ri-cari apa lagi tentang Dean yang bisa ia omongkan de­ngan Deraz.

.

Sesekali Rieka tidak dijemput Pak Sam se­pu­lang sekolah, apalagi ketika nyonya besar memiliki ke­perluan yang lebih mendesak. Kadang Rieka pu­lang dengan angkot atas inisiatif sendiri, misal ke­ti­ka kehidupan asmaranya sedang kelam dan ia ter­la­lu muak dengan sopirnya itu. Kali ini Rieka me­mi­lih untuk pulang dengan angkot karena… Dean! La­gi­pula jurusan mereka searah, cukup dengan sekali ang­kot. Kebetulan sepulang sekolah hari itu agenda Ri­eka kosong, tidak ada kegiatan ekskul, OSIS, ma­u­pun kerja kelompok.

Dean yang tidak ikut ekskul, bukan anggota OSIS, maupun doyan mangkir kerja kelompok pun ti­dak memiliki agenda. Les piano bukan hari ini, les ba­hasa Inggris masih petang nanti. “Tadinya mau bim­bel juga… Tapi Bunda belum sempet cari bim­bel buat IPS kelas XI, ya udah,” cerita Dean.

“Kok les piano kamu jauh banget sih di deket He­garmanah?” tanya Rieka. Padahal les bahasa Ing­­gris Dean cuman di kawasan Buah Batu.

“Soalnya rumah guru les piano aku di sana.”

“Ow, privat? Kenapa bukan guru lesnya yang da­tang ke rumah kamu?”

Karena guru les piano Dean bukan guru les pi­ano biasa! Pak Albert Liao alias Pak Albert Wijaya su­dah lansia, dan sebetulnya tidak menawarkan ja­sa les. Setiap orang yang mau berguru padanya ha­rus menemuinya langsung. Dulu ia pianis yang ma­lang melintang di berbagai negara, sebelum pulang ke tanah kelahirannya dan tinggal di sebuah rumah art deco di kawasan Bandung utara. Dean dibawa sang bunda menghadap Pak Al—demikian Dean me­manggil—pada usia 7 tahun, ber­tahan selama ku­rang lebih dua tahun, minggat la­lu kembali pada usia 15 jalan 16 tahun—usia Dean se­­karang 16 ta­hun. “Ternyata dia masih inget sama sa­ya. Terakhir sam­pai mana, ceunah. Mana saya inget lah! Lupa ya?” Dean menirukan gaya lelaki ga­ek tersebut, “Ka­lo gitu kita ulang dari Czerny. Bu­seeet…!” Rieka ti­dak kenal Czerny, tapi cara Dean ber­cerita meng­a­syik­kan.

Mereka keterusan jalan kaki setelah me­nye­be­rang dari sekolah, padahal mereka bisa saja ber­di­ri di satu titik sembari menunggu angkot jurusan me­reka lewat. Barangkali karena jalan kaki itu se­hat, atau mereka tidak terpikir sama sekali saking ter­bius karena satu sama lain!

Barulah seorang emang yang berjualan pe­ra­bot mencuri perhatian Dean. Barulah pula Rieka me­nyadari kalau mereka telah berada di jalan yang ber­beda, barusan angkot jurusan mereka lewat, tapi De­an malah mendekati emang tersebut. “Jual apa aja, Mang?” dan beberapa pertanyaan lain me­nge­nai dagangan si emang, sembari melihat dan me­mi­lah, bak ibu-ibu dengan tukang sayur di kompleks pe­rumahan. Akhirnya Dean mengangkat dua buah ga­yung berbentuk hati. Si emang berlalu. Dean me­nyo­dorkan gayung berwarna merah pada Rieka. “Nih buat kamu. Entar tiap kali mandi pake gayung ini ya, biar kamu inget aku.”

Rieka tersentak.

“Entar aku juga mandinya mau pake gayung ini. Jadi tiap kali mandi aku inget ini gayung yang aku beli waktu jalan sama Neng… Ri-eka.”

Kali ini mereka tidak membiarkan angkot ju­rus­an mereka lewat begitu saja. Di dalam angkot Ri­eka masih terpana. Mimpi apa ia semalam, di si­ang bolong dapat gayung cinta. Masing-masing dari me­reka menggenggam gagang gayung, seperti Sai­lor­moon dengan tongkat sakti. Kini Rieka tahu ba­gai­mana menggunakan gayung tersebut. Dean ter­ge­li-geli ketika Rieka mengayun-ayunkan gayung se­akan benda tersebut mampu memancarkan ke­ku­at­an bulan. Rieka sadar makin lama bersama Dean ra­sa malunya bakal makin pudar.

Di perempatan angkot berhenti. Empat orang pemuda lusuh mengadang di pintu, tepat di se­berang mereka duduk. Seorang bernyanyi, se­o­rang menggesek biola, seorang menggenjreng gitar, dan seorang menabuh drum kecil. “Mimpi yang Sem­­purna”[3], Rieka terkesima, masih ada yang me­ma­­inkan lagu tersebut di era ini?! Tapi Dean mem­be­rikan mereka selembar goceng ketika merah ber­gan­ti hijau. “Maennya bagus, Bro!” Dean meng­a­cung­kan jempol. Angkot melaju.

Nuhun nya Kang!” Salah seorang di antara me­reka berteriak dari jarak yang semakin jauh.

Kepala Rieka berlabuh ke lengan Dean, bu­kan sasaran empuk—Rieka harus bikin bekal lagi yang sangat sarat lemak, sejenak. “Kamu kayaknya friendly banget yah?”

“Saya kan punya pesona sejuta kawan.”

“Hahah…” Rieka tergelak. “Demi apa?”

“Demi spanduk di polsek Kiaracondong!” Ri­eka makin tergelak. “Enggak tahu tah sekarang ma­sih ada apa enggak, udah enggak pernah merhatiin la­gi pas lewat…”

“Apaan?”

“Itu… spanduk di polsek Kircon.”

“Apaan sih itu?”

“Yang ada tulisan… ‘Pesona Sejuta Kawan – Ti­ada Hari tanpa Kawan Baru’[4]… gue banget tuh.”

“Serius?”

“Serius!”

“Maksud aku tuh, beneran itu di kantor po­li­si ada yang gituan?”

Da saya mah temen bisa siapa aja. Emang-emang yang di pangkalan ojek juga jadi…” Rieka me­nyimak. “…kan enggak mesti tiap hari ada yang nga­jakin main kan… di rumah kadang cuman ada si bi­bik… si bibik juga kan kalau udah beres kerjaan mah pulang. Main sama si Baby weh… baca… ma­ja­lah doang, kalau yang berat-berat mah enggak ku­at… nonton… main game…” Tapi aktivitas in­di­vi­du­al yang Dean paling betah kerjakan sendiri hanya ti­­dur (kecuali saat malam) dan memainkan piano (ku­rang dari tiga jam). “…lainnya mah enggak be­tah lama-lama, makanya game saya enggak jago, eng­gak bisa main lama-lama kalau enggak ada te­men mah, asa teu rame, sepi, da saya mah sukanya ra­me-rame, bosen we, keluar rumah, jalan… kuat, ka­lau cuman sampai pangkalan ojek mah… nong­krong we, da udah pada kenal sama emang-emang­nya juga, kan dari SD juga suka dianterin, diminta nga­jarin naik motor juga mau mereka mah.” Rieka ter­bius. “Pernah sampai malam kan di sana, di­a­jar­in main gitar… bukan sama mang ojek! …ada aa-aa ju­ga yang suka nongkrong di sana…”

Rieka membayangkan pangkalan ojek ter­se­but yang memang dilengkapi dipan lebar lagi ber­a­tap, bertanya-tanya apa nyaman minum kopi sam­bil obrol-obrol di tempat semacam itu, dengan di­la­tari deru kendaraan yang berseliweran, udara bisa pa­nas atau dingin tergantung cuaca… Kan lebih cozy duduk di bean bag dalam ruangan dengan tem­peratur sejuk dan interior minimalis, diiringi mu­sik yang jazzy

“…terus tahu-tahu si bunda lewat tea… baru pu­lang. Mobilnya berhenti di seberang. Ditegur we, di­suruh pulang bareng… Diomelin! Hobi nong­krong kok sama emang-emang, kayak enggak pu­nya temen deket aja…”

Rieka terkekeh. Padahal iapun bukan tidak per­nah terjebak dalam kesendirian, apalagi ia tidak me­miliki saudara kandung. Tapi ia tidak terpikir un­tuk mencari teman sampai seperti Dean. Ia bisa ber­tahan di dalam kamar, mencari sesuatu untuk di­kerjakan demi mengusir kejemuan—seperti yang akan ia hadapi sesampainya di rumah nanti se­be­lum bertolak untuk menghadiri kerja kelompok se­ha­bis magrib. Tapi itu terlalu introver! Rieka tidak bi­sa membayangkan hidup tanpa sekolah, ekskul, OSIS, klik, dan pacar—semua yang selalu ia miliki se­jak SMP.

.

Pelataran Berry’s Latte yang gemerlapan. Lam­pu-lampu temaram bergelantungan di muka ka­fe. Seperti baru kemarin di sini terjadi perang krim, kejutan klise yang disiapkan Mama dan Papa sa­at pesta ulang tahun Rieka yang ke-16. Seluruh lam­pu kafe mendadak mati. Teman-teman Rieka, yang ternyata sudah kongkalikong dengan Mama, meng­giring Rieka keluar. Tiba-tiba mukanya basah dan licin dan seluruh lampu menyala kembali dan se­mua tertawa-tawa dan lidah Rieka menjilati apa­pun yang telah berlepotan di mukanya itu. Kue tart yang dibawa orangtuanya masih setumpuk, Rieka le­kas memburu dengan sepenuh tangan lalu mem­bom­bardir orang-orang. Efektif mengusir sendu se­ha­bis tembang-tembang salah yang dibawakan De­raz. Malam yang campur aduk.

Rieka menarik lengan Dean hingga cowok itu ter­gopoh-gopoh. “Ayo, nanti kamu ilang lagi…” Ri­eka tersenyum pada waiter yang berjaga di ambang pin­tu masuk kafe, rupanya pegawai baru, dan se­ga­la­nya menjadi benderang. Rieka kembali tidak puas de­ngan Dean yang hanya mengenakan blazer de­ngan kaos bergambar leak di baliknya, serta celana jeans dan sepatu kets. Tidakkah seharusnya Dean le­­bih fashionable? Padahal Rieka sudah mem­be­ri­ta­hu dresscode malam ini, yang jelas-jelas bukan ka­sual! Rieka sendiri mengenakan gaun selutut ber­war­na merah tua dari bahan tile dan satin, dengan li­pit di dada dan bros bunga. Dan clutch bag dan tiptoe heels tentu saja.

Rieka menunjuk panggung rendah di se­be­rang ruangan. Tepat ketika band yang mengisi area ter­sebut mulai membawakan lagu “Selamat Ulang Ta­hun” dari Jamrud dalam nuansa jazzy. “Inget pas kamu main kibor di situ?”

“Hehe… yah.”

Tidak jauh dari panggung tersebut klik Rieka sa­at SMP sekaligus sang pusat acara berdiri. Semua kom­pak mengenakan strap dress. Sepintas muncul ge­renyot di bibir Rieka.

“Perasaan dulu yang kamu enggak gini…” ko­mentar Dean. Rieka malas menjelaskan bahwa se­betulnya ia juga tidak ingin ulang tahunnya saat itu dirayakan di tempat tertentu dengan meng­un­dang banyak orang. Tapi Mama butuh promosi un­tuk kafe yang baru ia dirikan. Rieka menurut de­ngan syarat tiap orang yang diundang akan datang ke kafe seolah mereka memang ingin makan-mi­num-tralala di sana, dengan voucherfree for all item!, dan bukan untuk menghadiri suatu pe­ra­ya­an. Berbaur saja dengan pengunjung biasa. Meski ke­mudian datang Ipong and the band—yang mana De­raz merupakan salah satu personil—yang mem­be­rikan nuansa “ada yang ulang tahun loh!” di acara tersebut.

“Kamu tahu enggak sih, si Lenna berani nye­wa Berry’s Latte ini berapa?” demi keeksklusifan dan kewenangan untuk menyulap total interior kafe agar sesuai seleranya—hanya untuk semalam!

“Oh… Yang ultah namanya Lenna…”

Dean berjengit. Lengannya kena cubit.

“Kamu ngeliatin apa?!”

Dean menyengir.

“Itu? Si spandek abu-abu itu?”

“…kasian Neng, entar masuk angin…”

“Ya salahnya sendiri kenapa… ya olo… be­ra­pa senti itu di bawah…”

Dasar cowok!

“Iya, Neng, makanya…”

Rieka berhenti melongo lalu memukuli Dean hing­ga menyadari bahwa mood-nya sedang buruk ma­lam ini. Seharusnya ia dan Dean terlihat seperti pa­sangan yang berbahagia! Rieka memutuskan un­tuk tidak mengacuhkan berpasang mata yang men­cu­ri-curi lihat ke arah mereka, setiap orang yang se­la­lu ingin tahu siapa cowok Rieka kali ini. Pesta ulang tahun Lenna ternyata satu paket dengan re­u­ni SMP, seharusnya Rieka sudah bisa menduga, me­nyebalkan.

“Boleronya aku copot aja gitu ya?”

“Jangan Neng, entar masuk angin.”

“Tapi liat deh, temen-temen aku semua pada pa­ke strap dress gitu.”

“Tapi yang kamu entar keliatannya kayak… ga­un tidur gitu…”

Rieka mendelik. Enak saja Dean me­nya­ma­kan gaun pestanya dengan gaun tidur! Yang Rieka ke­nakan toh sama sekali bukan piama berwarna pas­tel dengan motif bunga-bunga!

“Enggak!”

“…ya udah.”

Rieka mencopot bolero berlengan pendek de­ngan kerut itu, lalu menyodorkannya pada Dean, “Nih. Kamu bawa ke Pak Sam…” lalu menyerahkan clutch bag,…terus entar kamu nyamperin aku lagi, aku mau ketemu temen-temen aku yang di situ itu tuh, sambil bawain aku minum…” sebelah tangan Ri­eka memegang cermin kecil sementara sebelah la­gi memoleskan lipbalm ke bibir, “…punch aja, yang jeruk.” Clutch bag di tangan Dean berpindah la­gi. Rieka menyelipkan sejumput rambut ikalnya yang panjang ke balik telinga.

Kehidupan sosial yang berat! Dengan lang­kah-langkah angkuh Rieka menuju kerumunan itu, di­latari ketermanguan si pacar yang masih ber­ge­ming selama beberapa detik ke depan.

Pekik-memekik. Kecup-mengecup. Kikik-me­­ngikik. Rieka bersyukur tidak satupun dari me­re­ka yang kini berdiam di SMANSON!

Segelas punch berwarna oranye mampir ke de­pan muka Rieka. Entah Dean yang terlalu cepat, atau “keriaan” dengan para teman lama yang ter­nya­ta tidak semenyiksa yang diperkirakan semula.

“Kenalin, ini cowok gue…”

“Ini cowok elo yang sekarang, Ka?”

“Iyaa…” Rieka menggandeng lengan Dean, de­ngan kilat menyandarkan kepala di sana, se­men­ta­ra Dean berusaha menjaga agar minuman yang ia ba­wa tidak tumpah.

“Ih jangkung banget yaa…”

Rieka mencomot gelas dari tangan Dean, se­la­gi cowok itu menyambut uluran tangan cewek de­mi cewek. “Dean… Dean… Dean… Eh… Ingga yaa…” Ri­eka tidak mengerti kenapa sikap Dean harus be­gi­tu grogi lagi kagok. Seruput sedikit, taruh di meja ter­dekat. Rieka kembali dengan merengkuh se­ka­li­gus meremas pinggang Dean yang kontan terlonjak, ta­pi tidak langsung melepaskan tangan dari sana.

“Kok gue kayak pernah liat elo ya?”

“Dean kan temen SD-nya gue sama Rieka.”

“Yang main gitar di acaranya Rika kemarin itu bukan ya?”

“Bukan.”

“Dia nih yang main kibor.”

“Oooh… Kok gue ngeliatnya asa mirip ya?”

“Iya… itu kembaran saya…”

“Ooh…”

“Ri… saya ke sana dulu ya…”

“Hm? Iya, Sayang.”

Dan setelah Dean lenyap dimakan ke­ra­mai­an, mereka bersuara lagi.

“Demi apa elo jadian sama Dean, Ka?!” jerit Ing­ga meski kalah dengan volume musik yang se­dang dibawakan band.

“Demi langit dan palung,” jawab Rieka sem­ba­ri meneguk punch lagi.

“Dia anak mana, Ka?”

“Anak SMANSON juga.”

“Bukan… maksud gue… biasanya kan cowok elo ada labelnya gitu, Ka,” sahut Lenna, sudah tidak me­merhatikan lagi kukunya yang rutin dimanikur.

Label Dean yang terpikir oleh Rieka hanya: kem­baran Deraz.         

Akhirnya. Pembicaraan ini mulai tidak me­nye­nangkan.

Jarum jam sepertinya sudah tidak lagi ber­de­tak, tapi merangkak.

Klik bubar. Para cewek kembali pada cowok ma­sing-masing. Tiara dengan mitratama di se­ko­lah­nya. Ingga dengan mahasiswa Fakultas Ke­dok­ter­an. Lenna dengan anak seorang pengusaha. Marsha dengan cowok yang baru beken sebagai pe­ma­in pendukung di suatu film. Rieka dengan kem­bar­an Deraz, yang tidak ia temukan di titik ma­na­pun di ruangan itu.

Barangkali Dean sedang di toilet.

Rieka menutup pintu tengah mobil, mencari kon­tak Dean, memanggil… Sekali. Dua kali. Tubuh Ri­eka membeku. Suara pintu depan dibuka.

“Udah Neng?”

Pak Sam, tolong cari Dean di toilet dong, cek bi­liknya satu-satu. Pak Sam, coba Pak Sam yang pu­tar-putar di kafe, mungkin Dean masih makan… atau minum. Pak Sam, enggak mungkin kan teman-te­man SMP Dean lagi di sini juga… Tadi ada sih te­man-teman yang satu SD juga, mungkin… Ya, Pak Sam, Pak Sam saja yang balik ke kafe, tolong cari, ca­ri sampai ketemu. Pak Sam, apa Dean diculik la­gi?!

Rieka membanting tubuh ke sandaran jok.

“Si Yayan ke mana, Neng?”

Rieka utarakan setiap kalimat yang ber­ke­le­bat dalam benaknya tadi.

“Waduh Neng, masak Pak Sam yang ke da­lem? Malu atuh baju Pak Sam gini doang mah

Rieka berdecak keras. Tapi ia juga tidak ingin kembali, lalu teman-temannya mendapati ia di sana seperti orang yang sedang kebingungan, mes­kipun ia memang begitu. “Pokoknya Pak Sam ca­ri! Cari sampai ketemu!” Rieka ingin menjerit-je­rit sambil menjejak-jejakkan kaki, persis yang be­be­ra­pa kali ia lakukan saat kecil, memukuli jok de­ngan tangan terkepal. “CARIIII!” lalu Pak Sam me­le­sat, ke mana saja, ke seantero halaman, ruangan ka­fe, dapur, toilet, sampai ruangan staf. Pak Sam yang putus asa melapor ke bagian Informasi di kafe itu, kalau memang disediakan Mama, kemudian speaker mengumandangkan kehilangan Dean, lalu se­mua tahu… kali ini Rieka berpacaran dengan co­wok yang bisa meninggalkannya begitu saja!  Hahaha! Tawa seluruh mantan Rieka, dan para ce­wek yang sentimen karena hubungan Rieka dengan se­luruh mantannya, pun membahana.

Tidak pernah terbayangkan seperti ini se­be­lum­nya. Pak Sam bergeming di jok depan, se­men­ta­ra Rieka meringkuk sambil terisak-isak di jok te­ngah, mengumbar kehidupan asmaranya dengan su­karela tanpa lelaki itu mesti berpayah-payah me­ngo­rek. “…ba­ru kali ini, Pak Sam, aku bisa sayang ba­nget sa­ma cowok… huu… huhu… sampai aku pi­ngin nya­nyi­in ‘Heavy Rotation’[5] tiap deket dia… ta­pi ke­na­pa… aku malah ditinggal-tinggal gini aja… ka­yak aku yang bukan siapa-siapa…” Rieka meng­ge­rung. Ia cukupkan pengakuannya, lalu Dean tiba-ti­ba mun­cul di balik jendela, dengan tidak tahu diri ber­­se­ru, “Kena deh!”, tapi yang tampak hanya pun­cak ke­pala milik mereka yang mulai meninggalkan ka­fe.

Yang tersisa tinggal cemberut. Teraba oleh­nya perut yang kembung. Sesuatu sedang meng­ge­le­gak di dalam. Sedari tadi juga ia menahan sen­da­wa dan kentut, uh, coba tadi ikut kata Dean! “Bo­le­ro aku tadi mana, Pak Sam?” Rieka mengenakan kem­bali bolero lengan pendek lagi tipis itu, sama se­kali tidak bikin hangat. “Udah Pak Sam di luar aja deh!” titahnya kemudian, sebelum memanggil kem­ba­li, “Beliin Safecare… Freshcare… Herborist… apa kek…”

“Minyak angin gitu, Neng?”

“….ck, iyaa! Kalo perlu belinya yang di convenience store sekalian, jangan di kios!” me­ne­gas­kan pada Pak Sam agar belilah minyak angin de­ngan kemasan yang sophisticated alih-alih yang tra­disional lengkap dengan akar-akaran di dalam bo­­tol.

Pak Sam mengerti, meskipun ia membelinya di kios jua. “Masih mau nungguin si Yayan, Neng?” te­gurnya seraya mengulurkan sebungkus plastik hi­tam, yang Rieka tidak pedulikan karena isinya su­dah sebagaimana yang ia inginkan. Pertanyaan Pak Sam pun hanya dijawab angin. Segera Pak Sam meng­hilang dari jendela sebelum kena hardik sang no­na lagi.

“Pak Saaam…” panggil Rieka setelah be­be­ra­pa lama. “Dean bakal balik enggak ya?”

Puguh meureun lagi nyariin Neng di da­lem…”

“…kan tadi aku udah bilang enggak ada! Ma­ka­nya Pak Sam tuh cariii!”

“Telepon lagi atuh…”

“Kan udah dari tadi juga… enggak diangkat!”

“Euh… Ya udah atuh pulang aja. Entar Ma­ma nyariin geura.”

“Enggak…”

“Kan Neng juga udah masuk angin kan?”

“Enggak! Aku mau nginep di sini aja!”

Rieka tidak tahu apa yang terjadi di luar mo­bil. Ia berbaring terus. Hanya menerka-nerka dari per­ubahan lanskap suara. Langkah-langkah yang me­mantul dari paving block. Dengung-dengung yang meluncur maupun gelak yang meledak-ledak, da­ri mulut mereka yang bikin kafe makin sepi. Gas ken­daraan yang diinjak disusul deru diiringi salam per­pisahan. Denting-denting di kejauhan, sekiranya pe­ra­bot mulai dibereskan. Mebel diseret-seret dan di­tata kembali.

“Eka… Kok jam segini belum pulang sih…?” te­lepon Mama.

“…masih ngobrol-ngobrol sama temen, Ma, ben­tar ya, Ma…” Rieka terdiam. “…sejam lagi.” Ma­af ya Mama, Eka bohong lagi.

Rieka ingin tahu apa yang orang-orang itu pi­kirkan saat melihat mobil Rieka, kalau mereka cu­kup perhatian, masih terparkir di pelataran Berry’s Latte lengkap dengan sopirnya, kalau Pak Sam juga cukup menarik untuk diperhatikan—se­mo­ga Pak Sam bersembunyi, dengan jendela se­te­ngah terbuka tapi tidak tampak siapapun di da­lam… Dean, Dean yang perhatian, Dean bahkan ha­pal merek rokok favorit Pak Sam!

Uh! Cowok bodoh itu! Pelupa dan ceroboh! Te­nar di sekolah cuman karena kesupelannya, bu­kan karena prestasi sungguhan, dan tentu saja ka­re­na ia kembaran Deraz!, yang memiliki segudang pres­tasi sungguhan.

Lampu-lampu di dalam kafe dipadamkan.

“Neng, beneran kata Pak Sam mah, pulang aja lah… Urusan sama si Yayan mah besok ajalah di se­kolah, kan udah pasti ketemu. Ari sekarang mah teu jelas kieu eta budak ka mana…” agaknya Pak Sam pun mulai gusar. Ia sudah ditelepon Mama, di­su­ruh menyudahi pembicaraan Rieka dengan te­man-temannya yang gaib.

Para waiter dan waitress sudah berganti pa­kai­an. Mereka bercakap-cakap seraya menapaki pe­la­taran. 

Nyala lampu-lampu di luar kafe dibiarkan.

Rieka bangun. Capek juga tiduran melulu. Ia telah sampai pada kesimpulan. Tersangka bukan la­gi teman-teman SMP Dean, tapi alien dari Pulau Mars yang ingin mengajak Dean berdansa dengan la­gu-lagu milik The Upstairs. Beberapa detik ke­mu­di­an Rieka ingat kalau Mars adalah nama planet.

“Pulang yuk, Pak—“

“RIKA!” Kedua tangan Dean menabrak jen­de­la tengah. Jemarinya—panjang sekali! Rieka baru me­nyadari—meraup tepian jendela. “AKU! JANJI! ENG­GAK BAKAL NINGGALIN KAMU LAGI!”

Easy, Dean, ini baru dua kali. Satu kali lagi ka­mu dapat piring cantik, eh, tamparan plus ke­pu­tus­an—PUTUS!

Dean tidak lagi mengenakan blazer, tapi sweater, yang dikenakan Deraz di malam sertijab OSIS “bernuansa kekeluargaan” di Lembang kapan itu.

“Kamu pulang?!”

“Aku ke rumah Oma!”

“Ngapain ke rumah oma kamu?!”

“Keluarga aku lagi pada ngumpul di sana!”

“Jadi keluarga kamu lebih penting daripada aku?!” Rieka terdiam. Lanjut berkata dengan nada yang tidak lagi menyentak-nyentak melainkan lu­nak, “…kok kamu enggak bilang…? Kan kamu eng­gak perlu ikut aku ke sini…”

“…entar kamu enggak ada yang nemenin…”

“…tapi kan akhirnya kamu pergi juga…”

“…tapi da acara keluarga aku juga cuman gi­tu-gitu aja, kumpul-kumpul biasa tiap minggu, jadi eng­gak ikutan juga sebenernya enggak apa-apa…”

“…tapi akhirnya kamu pergi juga…”

“…tadi aku ketiduraaan…”

“Neng, si Ibu nelpon lagi nih…”

Desing kendaraan memecah sunyi di jalan ter­sebut.

“Kamu ke sini pake apa?” suara Rieka lagi.

“Sama Mang Sam, punten Pak Sam, da na­ma­nya emang sama…”

“Mang Sam siapa?”

“Mang ojek  di deket rumah oma aku.”

Dean memberitahu Sam yang Mang untuk kem­bali tanpa membawanya lagi, lalu me­nye­rah­kan beberapa lembar uang pada pria tersebut. Sam yang Pak menyalakan gas, demikian Rieka pada lam­pu di atas kepala. Biar Dean lihat sembap mu­ka­nya, kusut gaunnya. Dean duduk di sebelah Ri­eka, siap diinterogasi.

“Yan, si Neng jangan suka ditinggal-tinggalin atuh, kasian. Lagian yang ngantriin si Neng juga banyak.”

“Pak Sam…” rajuk Rieka.

“Maaf Pak Sam,” ucap Dean.

“Blazer kamu mana?”

“Nih…” Dean menarik kain dari balik sweater, sweater Deraz, berupa rajutan, dengan ke­­rah V, dan aroma… yang menggetarkan.

“Didobel?!”

“Iya, tadi pas mau ke sini disuruh pake sama Bun­da, bisi masuk angin.”

“Kamu tuh ya. Denger. Aku bilangin. Kalau emang ada acara keluarga, ya enggak apa-apa…”

“…tapi aku emang awalnya enggak ada ren­ca­na ke sana…”

“…kamu enggak suka sama pestanya tadi?”

“Aku suka… makanannya enak-enak, mi­num­annya juga, tadi juga sempet ketemu sama…” Dean menyebut beberapa nama yang satu SD de­ngan mereka lalu satu SMP dengan Rieka, wa­lau­pun ia tidak kenal amat.

“…tapi kamu enggak betah kan, kamu pingin ikut acara keluarga kamu,” lanjut Rieka. Mata Dean yang besar menatapnya, sama cokelat, sama terang, de­ngan mata Deraz. “Masalahnya… kenapa kamu eng­gak bilang sama aku? Kan Pak Sam bisa ngan­ter­in kamu sekalian nungguin… terus jemput aku la­gi, apa kek,” sambung Rieka seenaknya.

“…ya aku enggak enak lah sama kamu… la­gi­an kirain juga kamunya bakal lama, da ketemu te­men-temen lama tea

“….uuh… enggak, temen-temen SMP aku tuh ya…”

Pak Sam memasang headset ke ponsel lalu te­linga. Ia sudah terlatih melakukannya selagi me­nye­tir. Bandung Joged Mania… sik asik.

.

OJOMBAS alias OSIS JOIN KOMBAS adalah pro­ker pertama Ipong sebagai ketua bidang VIII—per­sepsi, apresiasi, dan kreasi seni. Tujuannya ti­dak hanya untuk mengenalkan para pengurus baru OSIS sekaligus mengeksplorasi bakat bermusik me­re­ka melalui penampilan ala gig, tapi juga sebagai ajang promosi baik bagi OSIS maupun KOMBAS agar semakin banyak SIMBA yang berminat meng­i­kuti rekrutmen keduanya. KOMBAS adalah Ko­mu­ni­tas Band SMANSON, sedang SIMBA adalah “Si Mu­rid Baru”—sebutan untuk anak kelas X sejak MOS SMANSON. Membuat singkatan merupakan sa­lah satu kompetensi dasar yang dimiliki lulusan SMANSON.

Tiap pengurus OSIS diberi kesempatan un­tuk membawakan minimal satu lagu, diiringi oleh be­rapapun personil KOMBAS yang dibutuhkan. Ipong tidak mau tahu bagaimana kebisaan para te­man sejawatnya di OSIS, entah memetik ukulele, me­­ne­puk galon, maupun menyanyi sember, para per­so­nil KOMBAS yang akan mengatasinya. Butuh gi­ta­ris, drumer, kibordis, bahkan vokalis? Segala ter­se­dia di KOMBAS! Tantangan seru bagi anak-anak KOM­BAS. Ujian mental bagi para penggawa OSIS. Ke­ripuhan bagi Ipong.

“Ke mana mental kalian pas LDK? Udah jadi peng­urus malah jadi melempem semua. Kalian cu­man bisa goyang-goyangin tabung garam juga eng­gak masalah, Son! Makanya itu kita join sama anak-anak KOMBAS!” begitu provokasi Ipong. Teman-te­man sejawatnya menunduk atau bengong. Waktu yang Ipong berikan untuk latihan hanya dua ming­gu. Kabid IV ingin diberi jaminan bahwa ia betulan bo­leh cuman sekadar goyang-goyang tabung garam. Ka­bid II ingin agar grup nasyidnya serta sebagai pe­nyokong moral. Kabid VI cukup tenang karena se­lama dua tahun ini ia les drum, meskipun hanya ta­hu lagu-lagu yang diajarkan sang guru. Mi­tra­ta­ma dan Kabid I sangat bersemangat!

Alfian Fikri Fajri aka Alf atau Elf alias Odong-odong selaku mitratama memandang OJOMBAS dengan amat positif. Sebagai seorang pe­mimpin ia langsung memberi contoh, dengan me­­nyodorkan Ipong setumpuk manga dan be­be­ra­pa keping film berjudul “20th Century Boys”—Alf ingin membawakan soundtrack film tersebut. “Nah, ma­kanya itu saya butuh drumer, gitarisnya tiga, bassist­-nya… dua aja cukup kali ya?, backing vocal­-nya… cewek-cewek VG boleh ikutan juga enggak?”

“Kenapa elo enggak minta marching band aja sekalian?!”

Bukan Ipong kalau tidak gigih memersuasi. Ra­pat gabungan antara OSIS dengan KOMBAS di­he­lat berkali-kali. Tim demi tim terbentuk. Satu per sa­tu pengurus OSIS yang malu-malu pun luluh, mem­beranikan diri untuk unjuk aksi. Yang angin-angin­an terus ditangani. Tentu Rieka pun tidak lu­put, meski statusnya sebagai “sahabat” Ipong me­li­cin­kannya untuk mengelak. H – 7 Ipong frustasi.

“Gimana sih Ka, elo kan anak VG dari SMP ju­ga. Seenggaknya di penampilan elo, elo nya­nyi­lah!” keluh Ipong. Tangannya biasa bergerak-gerak se­lagi bicara, menambah lecek kertas yang selalu ia ba­wa belakangan ini—daftar penampil di OJOM­BAS beserta keperluan masing-masing. Na­ma Ri­eka sudah tercantum di sana, dengan tanda ta­nya su­per besar.

Rieka menggeleng. “Udah gue jadi backing vocal-nya si Alf aja deh…”

“O… Elo mau satu panggung sama si Deraz?” Ipong memelankan suara kendati di dalam sekre OSIS saat itu hanya ia dan Rieka dan satu orang la­gi yang bukan Deraz dan sedang menyetel sound­track anime keras-keras dengan meng­gu­na­kan head­phone. “Boleh-boleh aja.” Ipong meng­ang­guk-angguk. “Entar dia mainin gitar buat si Alf juga loh, di si Soraya juga, terus jadi bass di pe­nam­pil­an­nya gue, vokal tambahan di si Soleh, terus di pe­nam­pilannya dia…”

“…dia main buat semua?!”

“Enggak semua. Tapi elo tahu lah, daya ta­rik­nya dia gimana… seenggaknya biar anak-anak be­­tah nonton gig kita. Makanya, ini kesempatan buat elo, Ka, memesona dia dengan suara elo, pe­nampilan elo, apalah… Elo mau tampil duet sama De­raz juga, oke!, gue usahain…”

Rieka cemberut. “Elo tahu suara gue se­be­ner­nya enggak bagus-bagus amat kan, Pong…”

“Alah…” Ipong berdecak seraya mengibas angin dengan kertas kumal di tangan. “Elo mah ma­sih mending. Si Niken tuh, boro-boro main musik, nya­nyi dikit aja…” Ipong mengeluarkan lidah plus la­gak menebas leher dengan tangan yang bebas ker­tas. Senyum Rieka diiringi dengus. “Atau entar gue su­ruh anak lain aja yang jadi main vocal, elo ngisi backing, tapi ceritanya itu tetep penampilan elo?”

“Gue pikir-pikir lagi deh, Pong.”

“Tapi ini tuh udah kurang dari seminggu la­gi, Ka! Anak-anak udah pada latihan dari kapan… Elo belum—belum apa-apa…” sahut Ipong dengan ge­mas. Sepasang tangannya naik ke kepala lalu meng­arah pada Rieka. Mulutnya berdecak. Ipong me­ninggalkan Rieka, lagi. Kalau Rieka bukan Ri­eka, Ipong bakal merongrong Rieka yang bukan Ri­eka hingga memutuskan saat itu juga.

Memikirkan OJOMBAS sesungguhnya bikin Ri­eka cemas. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi pu­sat perhatian. Cowok-cowok senang melihat ke­je­litaannya. Cewek-cewek pun gemar melirik, de­ngan sinis. Tapi semua terjadi secara alamiah! Se­dang di panggung nanti Rieka harus mengatur su­a­ra, langkah, gerak-gerik… di depan puluhan bahkan ra­tusan mata yang menyorot lurus-lurus ke arah­nya! Bukan Rieka tidak pernah begitu sebelumnya, ia pernah beberapa kali mengikuti lomba vocal group, tapi tampil dalam grup dengan tampil se­ba­gai individu kan berbeda! Lagipula Rieka tahu Ipong bisa mengecualikan dirinya. Ipong tidak akan sam­pai hati mencak-mencak padanya kalaupun ia ti­dak tampil sama sekali. Salah sendiri bikin proker yang berpotensi merusak citra macam begini! Rieka mung­kin akan bersikap lain jika Ipong bukan Ipong.

Tapi kasihan juga Ipong.

Tapi jarak menuju hari H makin tipis. Duh. Ri­eka mencantumkan dalam organizer… “tanya anak2 vg”… barangkali mereka mau diajak kerja sa­ma membawakan lagu apalah—yang tidak perlu pa­kai latihan dengan susah payah.

“Kamu mau ngebawain apa, Ri, di OJOM­BAS?”

Rieka tersentak. Haqi di sampingnya! Haqi di mana-mana! Mendekatinya kapanpun ia sen­di­ri—seperti garong pada wanita yang baru turun dari ang­kot di jalanan sepi pada larut malam. Padahal Ri­eka hanya ingin sendiri—sekali-kali—di Kabita men­jelang “Rayuan Pulau Kelapa” didendangkan, per­tanda dimulainya jam istirahat. Rieka meng­in­safi bahwa seharusnya ia menjauhi Kabita sekalian sam­pai kelulusan Haqi—kurang dari setahun lagi kok!

Haqi menawarkan diri untuk mengiringi Ri­eka menyanyikan “lagu kita” dengan gitar di OJOM­BAS.

“lagu kita”?! “lagu kita” yang mana?!

“Peringatan terakhir!” seru Rieka. “Lagian sa­ya udah punya yang baru.”

“Siapa?” Haqi melongo sementara Rieka bang­kit dari bangku.

“Kamu enggak perlu tahu,” tutup Rieka de­ngan dramatis.

Rieka heran Haqi belum tahu, secara be­la­kang­an ini Rieka rutin menghabiskan jam istirahat ber­sama Dean di Kabita. Dengan bekal yang Rieka bi­kin khusus untuk Dean. Rieka menceritakan ma­sa­lahnya dengan Ipong sementara Dean melumat beef bumbu madu dengan kentang tumbuk. Ba­gai­ma­napun Dean selalu mampu menghibur, badut se­jati.

“Oh, Ipong. Padahal daripada join KOMBAS men­ding dia join Apple aja.” Rieka mengernyit. “Bi-kin produk namanya iPong. Kan jadi kaya raya dia, da­pat royalti terus.”

“Iiih… kamu…!” Rieka makin terbiasa men­cu­biti kedua belah pipi Dean. Tidak sabar melihat ti­rus yang pupus. “Kayaknya aku mau coba ke anak-anak VG aja deh. Semoga aja mereka mau…”

“Hm…” Dean meletakkan sendok dan garpu se­jenak. “Kalau sama aku mau enggak?”

“Kamu mau?”

“Mau.”

“Sama siapa lagi?”

“…berdua?”

“Tapi suara aku pas-pasan.”

“Aku juga mainnya pas-pasan.”

“Kamu yakin?”

“Berarti kita pas kan,” Dean meneguk isi bo­tol air mineral miliknya sebelum melanjutkan, ”PAS pas-pasannya.”

 Rieka tersengal. Oh… Dean… Tentu saja. Ha­nya dengan Dean gengsi Rieka bisa turun. Rieka lang­sung tidak sabar untuk latihan bareng Dean.

Sepulang sekolah pada hari H Alf meng­a­da­kan briefing. Penguatan mental, katanya, sebelum di­bombardir habis-habisan di OJOMBAS. Ter­de­ngar ratapan di kejauhan. Tapi tak satupun yang be­rani menggugat Ipong, si pemilik lidah nan treng­ginas. Bagaimanapun Rieka sudah tidak butuh la­gi penguatan mental, maka ia tidak turut dalam kum­pul-kumpul di sekre OSIS siang itu. Ia bahkan te­lah siaga di pengkolan menuju Kabita, duduk di un­dakan semen sementara Dean menata ram­but­nya dari belakang.

“Kamu kok diem aja sih, Yang?”

“Enggak tahu mau ngomong apa. Kepala aku la­gi penuh sama kamu.”

Rieka tahu Dean tidak menggombal—Rieka su­dah bilang pada Dean kalau ia tidak suka cowok gom­bal—karena Dean adalah cowok paling jujur (atau lugu?) di dunia.

Rombongan OSIS kemudian muncul. Tiap orang berjalan dengan gagah dilatari temaram si­ang, sejak para mitra, para sekretaris yang minus ke­pala, para bendahara sampai para kabid. Ber­ga­gah-gagah dulu, meratap-ratap kemudian, de­mi­ki­an pesan sang mitratama. Rieka kontan meng­ang­kat kepala, mencari Ipong, dan memang cuman Ipong yang menyempatkan diri untuk berhenti di de­pan Rieka sejenak.

“Ngapain elo, Yan, nyariin kutu?”

“Hah?”

“Ipong…” tegur Rieka. Perhatian Ipong se­ge­ra teralih. “Entar giliran saya kapan ya?” Mendadak Ri­eka ingat aturan mitratama baru untuk ber-”sa­ya-kamu” dalam setiap urusan yang menyangkut OSIS. Untuk membentuk karakter siswa santun, ka­ta­nya. No “gue-elo”, “ane-antum”, “I-you”, “eike-yey”, apalagi “aing-maneh”.

“…kirain kamu enggak jadi…” Ipong pun la­tah.

“Oh gitu…” sebetulnya Rieka rada kecewa, ta­pi tidak apa-apa, ia ikhlas dengan setiap momen la­tihan bersama Dean di studio milik kakeknya Zah­ra, walaupun Rieka belum bertemu Zahra sama se­kali, “Ya udah enggak apa-apa.”

“Eh—eh enggak, Ka,” sergah Ipong se­ko­nyong-konyong. “Kamu tampil habis Alf!”

“Alf kapan tampilnya?”

“Tampil pertama—dia kan ketua… Kalau gitu ce­petan ya, Ka, paling enggak sepuluh menit lagi ka­mu udah stay di pinggir panggung!” sahut Ipong sam­bil meneruskan langkah. Sudah terdengar cek su­ara dari arah Kabita sedari tadi.

“Udah?” Rieka menoleh sedikit ke belakang.

“Dah!”

Rieka bangkit lalu menatap bayangan di­ri­nya pada kaca—sedari tadi memang ia duduk mem­be­lakangi Dean yang membelakangi kaca entah ke­las berapa. Dean menggelung rambut panjang Ri­eka menjadi dua bagian di bawah kepala. Kekanak-ka­nakkan lagi agak acak-acakan, tapi, Rieka tetap ter­senyum. Ia gamit tangan Dean menuju Kabita.

Selasar Kabita yang dijadikan panggung be­ru­pa semen. Permukaannya lebih tinggi dari lantai kan­tin yang terhampar di depannya, juga paving block yang mengisi sisi-sisi lainnya. Selasar ter­se­but memang dibangun untuk memfasilitasi ke­gi­at­an ekskul semacam pertunjukan seni dan se­ba­gai­nya. KOMBAS mulai memanfaatkannya sejak se­ta­hun lalu dengan menyelenggarakan gig tiap se­ming­gu atau sebulan sekali—tergantung ada yang mau jadi panitia atau tidak dan lagi rajin atau tidak. Ko­non perjuangan para wakil ekskul agar kantin me­miliki fasilitas semacam ini cukup panjang.

Agil dan Sonjaya dari KOMBAS selaku MC su­dah berceloteh seramai-ramainya di selasar de­ngan volume mic disetel maksimal. Kerumunan di mu­ka selasar terbentuk, jumlah pengisinya ber­tam­bah-tambah. Kegugupan merambati Rieka.

Agil dan Sonjaya surut dari selasar, di­gan­ti­kan Alf dan timnya yang sontak menggebrak su­a­sa­na. Raungan Alf bagai kucing jantan di musim ka­win, dilatari vokal cewek-cewek… entah betulan da­ri VG atau KOMBAS… yang membahana. Melodi gi­tar, dencing kerincing, dentuman bass, tepukan ta­ngan, hentakan kaki, Rieka tidak mengindahkan se­mua melainkan terus menggamit tangan Dean hing­­ga mendekati Ipong di sudut luar selasar. Ke­pa­la cowok itu terangguk-angguk mengikuti irama la­gu.

“Habis ini ya, Pong?” sahut Rieka dengan na­da ceria, sebagai kamuflase atas kegugupannya.

“I—iya, Ka, siap-siap,” tampaknya Ipong ter­ke­sima dengan tataan rambut Rieka, lalu pada De­an, “Ngapain elo di sini, Son?”

“Entar kan aku ngiringin si Neng…” Rieka men­cubit pelan punggung tangan Dean, “eh, Ri-eka…”

Masih pandangan yang sama dari Ipong.

“Oh. Butuh apa lagi selain… kibor?”

“Kibor aja,” senyum Rieka.

“Seriusan… Emang kamu entar mau lagu apa gi­tu? Gampanglah, ada anak-anak KOMBAS yang bi­sa langsung nyesuain gitu…” namun Rieka meng­ge­leng. Maka Ipong menyuruh Rieka untuk segera la­por pada Shasha, si liaison officer. Rieka menurut tan­pa melihat wajah Ipong yang perlahan kecut.

Sorakan ramai menutup pertunjukan Alf, la­lu semuanya terjadi dengan cepat.

Rieka berdiri tidak mau jauh dari Dean du­duk. Gumaman Rieka dimulai seiring dengan ke­mun­culan nada-nada dari jemari Dean. Beberapa ha­ri sebelum hari ini, Rieka ingin membawakan la­gu milik Zooey Deschanel, lagu apapun, karena bagi Ri­eka lirik dalam seluruh lagu Zooey nyaris me­re­flek­sikan hidupnya. Tapi kemudian datanglah ka­kek­nya Zahra—ya ampun Zahra itu yang mana sih—yang menyarankan lagu “Inside and Out” dari BeeGees. Demi apa? Demi Dean yang setuju karena me­nurutnya lagu-lagu Zooey terlalu “lesu”, padahal Ri­eka yakin Dean belum mendengarkan seluruh la­gu dalam dua volume album She and Him. Dean men­carikan judul yang dikehendaki kakeknya Zah­ra di iPod milik Deraz, menemukan versi Feist, la­lu mengirimkannya pada Rieka. Dan Rieka me­nya­dari kalau entah sejak kapan ia memiliki folder ber­isi lagu-lagu Feist dari album “The Remember” di notebook, di mana judul tersebut termasuk. Setelah di­dengarkan lalu dinyanyikan berkali-kali, kini Ri­eka bisa membawakannya dengan nikmat. Me­me­gang pundak Dean membuat Rieka rileks. Cara co­wok itu memainkan kibor seasyik caranya dalam ber­cerita. Di bagian “…loves you, inside and out…” Ri­eka sengaja mengerling pada Dean, sekadar meng­goda entah cowok itu sadar atau tidak. Yang re­aktif malah audiens. Sepintas mata Rieka me­nya­pu mereka, dan mendapati ekspresi bengong, me­lo­ngo, terpana, teringa-inga, dan apapun padanannya di Te­saurus… tapi Deraz!, Deraz malah mem­be­ri­nya senyum yang semisterius Gunung Padang. Ri­eka merasakan kepala Dean menempel di perutnya. Oh… Tauk ah! Ia kembali memalingkan wajah pada De­an. Nakal! Naa-kal! Ia ingin mengusap kepala yang bergerak-gerak tak menentu itu, supaya di­am!, sebab kalau tidak ia bakal ketularan atraktif. Me­reka saling memandang seraya mengatakan “…loves you, inside and out…” bersama, pada satu sa­ma lain, walaupun suara Dean tak terdengar. Ri­eka menurunkan mic hingga ke depan mulut Dean, te­ruslah bernyanyi, Dean, biar yang lain dengar su­a­ramu seperti Rieka dengar racauanmu di perekam mi­likmu. Dan harmoni yang sudah cukup ter­bangun sejak awal pun berantakan.

.

Dengar-dengar hasil dokumentasi OJOM­BAS bakal segera diunggah di Facebook sehingga sa­at malam sudah bisa dinikmati. Setelah PR Ma­te­ma­tika dituntaskan malam itu, halaman Facebook pun tayang di layar notebook. Rieka langsung mem­bu­ka grup OSIS, dan mendapati album baru ber­ju­dul “OJOMBAS OYE”. Semula ia terkikih-kikih men­dapati rekaman ekspresi teman-temannya yang la­gi tanpa kontrol. Bahkan ia sendiri kena! Mangap di belakang Dean yang tengah meniti tuts-tuts kibor de­ngan serius. Sengirannya memudar ketika me­nya­dari bahwa sebagian besar foto dalam album ter­sebut memuat sosok Deraz. Yang jadi seksi do­ku­mentasi cewek atau cowok ya? Rieka segera me­la­cak. Korban berikut untuk diteror dengan se­ge­nap kejutekan di Kabita.

Di pojok kiri layar muncul balon biru berisi pem­beritahuan. Seseorang baru saja mengirimkan per­mintaan pertemanan pada Rieka, namanya… Ar­dian Hayyra?! Dean bahkan belum mengganti fo­to profilnya—yang bersama homoannya itu! Rieka meng­hitung-hitung berapa lama ia telah menjalani ke­bersamaan dengan cowok itu… berbagai kejadian yang telah mereka lewati… sebulan terasa se­ta­hun—padahal sebulan pun kurang! Rieka langsung meng­konfirmasikan.

Dean yang online segera buka kotak obrolan.

Neng Rieka, huruf-huruf itu muncul.

Rieka membalas dengan,

☺☺, balas Dean.

Rieka membalas lagi, ☺☺☺

Dan seterusnya.

Sampai Dean mengirim permintaan pada Ri­eka mengenai hubungan mereka di Facebook.

Di beberapa rumah di Kota Bandung yang ma­sing-masing dihuni oleh siswa atau siswi SMANSON yang sedang menyusuri Beranda me­re­ka di Facebook, ada ekspresi tertegun ketika men­da­pati sebaris kalimat tersebut.

Rd Rieka Ayu Dewi in relationship with Ardian Hayyra. Atau sebaliknya.

Masak sih cuman “in relationship”?!



[1] Performed by She and Him, di mana Zooey Deschanel sebagai vokalis

[2] Tal Bachman – She’s so High

[3] Perfomed by Peterpan

[4] Betulan pernah ada. Ciyus.

[5] Yang versi JKT48 aja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain