Seharusnya Bu Euis yang mengisi pelajaran sehabis jam istirahat ini, Seni Musik. Namun yang datang ketika para siswa kelas XI IPA 5 sudah duduk di bangku masing-masing malah cowok itu. Sungguh langka cowok zaman sekarang betah dengan potongan rambut ala Mamoru Chiba. Kuat juga tubuh ceking itu memanggul
kibor.
Acil menyusul dengan kedua lengan menopang penyangga. Penyangga itu
lalu ia taruh di depan kelas, tepat di tengah. Dean
meletakkan kibor di atasnya.
“Makasih ya Ragil. Nanti saya taruh nilai sebelas di rapor kamu,” ucap Dean
sembari memukul-mukul
pundak kirinya yang tadi menopang kibor.
Acil melongo, tapi mulut itu
memang tak mudah menutup. Tampangnya seperti
ia tidak suka dipanggil dengan nama aslinya. Tapi
anak itu terus saja berjalan ke bangkunya.
Dean mengambil spidol di atas meja guru. Ia tidak mengindahkan seruan-seruan yang tertuju padanya.
“Woi Yan, ngapain kamu di sini?”
“Bu Euis ke mana, Yan?”
“Yan, entar dicariin anak-anak PS3 lo Yan…”
PS3 itu Paguyuban Siswa Sosial SMANSON.
Namanya kini tertera di whiteboard. Tulisannya tidak begitu rapi, tapi cukup terbaca. Ardian Hayyra Aldifian.
“Pada kesempatan ini Bu Euis berhalangan hadir, jadi saya gantiin beliau buat sementara…” Anak-anak
bersorak dengan gaduh, kebanyakan adalah cowok yang memang dekat
dengan Dean. “Kemarin udah sampai di mana, Anak-anak? Baiklah, karena tidak
ada yang jawab, kita langsung aja ke pelajaran berikutnya yah…” cerocos cowok
itu tanpa mengindahkan sama sekali celetukan-celetukan dari sesama orang
iseng. “Ini penting sekali, Anak-anak, karena
selama ini kalian telah banyak diracuni oleh musik
Barat yang kadang amoral dan berbahaya…”
“Huuuu….”
“…jadi sekarang saya akan mengembalikan kalian pada fitrah kalian, penduduk Bandung yang notabene orang Sunda…”
“Emang notabene apa gitu, Yan?”
“Itu kan… Yang kalau kita beli barang harus pakai itu, bayarnya di kasir tapi ngambil barangnya di tempat
lain…” Cowok itu tidak melihat kepada siapa ia
bicara, ia sedang menggambar garis-garis di whiteboard. Not-not balok ia bubuhkan kemudian. Ia bahkan tidak
mendengarkan tanggapan untuk ocehan asalnya itu, begitu berbalik
ia langsung berseru, “Nah!
Ada yang masih inget enggak apa itu nada pentatonis?” Ramai lagi,
terutama dengan nada-nada sok mencemooh. “Serius, anying, ieu aya di kurikulum maneh[1]!”
balasnya. Bangkitlah derai tawa.
Cowok itu kini sedang coba memainkan lagu Adele dengan
menggunakan nada-nada pentatonis yang tadi ia ajarkan. “…tuh kan, jadinya
aneh…” gumamannya bikin
kelas makin ramai dengan bahak. “…jadi kita kembalikan saja nada-nada pentatonis ini pada
kodratnya, yaitu sebagai penyusun daripada tembang-tembang Sunda. Ada yang ngerti tembang-tembang Sunda enggak? Tuh kan, pada teu nyahoeun. Maneh teh urang
mana?[2]”
Rentetan kalimatnya meluncur dengan cepat. Ketika jawaban-jawaban bermunculan, ia malah diam
hingga suasana hening dengan sendirinya. Matanya yang
bulat dan besar itu mengarah pada audiensnya,
yang perlahan menguar
bingung karena bibir tipis yang terkatup itu.
“Nah, bageur[3],
JEP…?”
“…JEMPEEE…[4]”
sahut anak-anak. Hawa tak sabar makin mendera.
“…karena kalian pada kuper, sekarang Bapak mau kasih
contoh tembang Sunda itu yang kayak gimana, Barudaks…[5]”
Lamat-lamat sorakan memelan seiring dengan gerakan jemari Dean yang menekan-nekan tuts kibor.
Bisik-bisik masih mengambang, namun lebih banyak yang menyimak. Apalagi ketika
bocah itu mulai bernyanyi, “Loba nu
nganjang ka Rika, loba nu resep ka Rika, loba nu bogoh ka Rika, loba nu gelo
ku Rika, waduh…[6]”
…sontak para cewek berteriak, para cowok memukul-mukul
meja sambil tertawa-tawa… “…rumasa Dean oge
suka… ngadadak gaduh rasa cinta. Rumasa ngan
Dean rumasa… rek naon anu disogrokeun…[7]”
Seakan belum puas menyinggung-nyinggung sebuah nama, Dean melanjutkan, “Kurunyung
Andra jeung Mio, jol Acil mawa Polygon, Samsul Lintang mawa… mawa naon maneh teh, Sul[8]?”
Jemari Dean berhenti menginjak-injak tuts.
“Ah, aing mah
modal angkot wae[9],
Yan.”
“Ah ya udah, karena Dean mah baik yah…” Dean melanjutkan, “Samsul
Lintang mawa CBR, Raga mawa Tiger. Waduh. Rumasa Dean
mah teu boga… Rumasa Dean sangsara ku
dunya. Rumasa modal ukur cinta …nawaetu rek
satia… Rika, milih mana? Ri-ri-ri-rika, milih saha[10]?
“…ngagebrai dunya
jadi caang… asatuh karena pipikiran… Sare tibra dahar mirasa… Nyata cinta teu kabeh ningali dunya…[11]”
Rieka
menegakkan
tubuh, mendadak merasa sudah bisa mengendalikan dirinya,
tapi masih dengan menutup mulut, tak memedulikan tatap-tatap yang menusuknya. Ia berusaha
tersenyum pada wajah yang begitu cerah sekaligus
memucat itu.
Dean
balas tersenyum
dengan tidak kalah semringah. Ia
menyentuh kibor lagi. “...masih ada satu tembang lagi, Anak-anak…”
Anak-anak menyambut dengan kegaduhan berlebihan. “’Kaseured’, dari Darso…” Dean menoleh ke sebelah kiri. Sebetulnya sudah dari tadi dehaman-dehaman tertuju padanya.
Bu Euis di ambang pintu, bersama seorang guru lain dan beberapa siswa dari kelas sebelah yang
penasaran. “Udah pelajarannya, Dean?” tegur Bu Euis. Guru di samping Bu Euis
menggeleng-geleng lalu menghalau para siswanya
agar kembali ke kelas. “Udah ditunggu sama Pak Kobo tuh di kelas… Entar pelajaran Akuntansinya enggak
mulai-mulai… Nunggu Dean katanya.”
Dean mengangguk seraya menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. “Hehe… Iya Bu…” Ia mengeloyor.
Beberapa cowok hendak menyusulnya, tapi Bu Euis menahan
mereka di pintu. Berlomba-lomba mereka mengekspresikan
kekecewaan. Salah satu di antara mereka menoleh pada Rieka dalam perjalanannya kembali ke bangku.
“Ditunggu ceunah[12] jawabannya, Ka!” serunya dengan
nada usil.
Rieka
mendengus, tidak yakin apa yang mesti dijawab.
.
Sebetulnya
dimulai dari pertemuan di Trans Studio Mall.
Jujur.
Memang potongan rambut ala Mamoru Chiba—lurus-hitam-belah tengah—itulah yang
memikat. Dilengkapi dengan nerd glasses,
bolehlah. Jaket bisbol, di baliknya ada kaos putih dengan desain yang
sebetulnya cute. Dipadu dengan celana
selutut, gosh!, sewarna dengan yang
dipakai Morgan SM*SH dalam videoklip “I
Heart You”, untung modelnya tidak! Rieka semakin mengernyit ketika tatapannya
sampai ke kaki. Sandal gladiator, demi apa?, untuk ukuran kaki sebesar itu?
Tapi lagak cowok itu cuek. Kedua tangannya masuk ke saku. Sesaat tubuhnya
condong ke belakang, matanya menerawang sebuah etalase, lalu condong ke
depan kala berjalan, mengikuti ibunya.
Dan
wanita cantik itu menatap Mama Rieka di kejauhan. Dan cowok itu tertegun karena
Rieka yang tahu-tahu ada secara tak terduga.
“Jeng
Daraaaa…!” Mama Rieka melambai, dengan suara nyaring khas emak gaul.
“Bu
Nira…” wanita itu balas menyapa dengan anggun.
Jarak
di antara keduanya semakin dekat. Sepasang mudi dan muda yang menjadi saksi
tak tahu harus berbuat apa. Dua wanita itu telah dekat, telah sekian tahun
tak bersua. Sementara yang masing-masing di samping dan di belakang mereka
hampir jumpa tiap hari. Ada begitu banyak kata yang hendak dibarter Bu Nira
dengan Jeng Dara. Sementara Rieka tidak ingat pernah mengobrol dengan Dean, selama
sekitar sewindu kenal cowok itu.
Bertahun-tahun
mereka satu kelas di SD, lalu melanjutkan ke SMP yang berbeda, dan bertemu di
SMA yang sama. Dean juga yang memainkan kibor di pesta ulang tahun Rieka Mei
lalu.
Di
restoran pilihan para ibu mereka duduk berhadapan. Semula mereka masih
diam-diaman. Mama Rieka menegur. Topik di antara kedua ibu beralih ke Dean.
Ibunya Dean menggeser pembicaraan. Meja itu kembali terbagi jadi dua kubu.
Berapa
lama mulut mereka mengatup saja. Rieka ingin nimbrung percakapan dua ibu, tapi
tidak selalu menemukan jeda yang tepat. Ia lirik Dean, cowok itu sedang
menyeruput jus alpukat. Mata besar itu melayap, sebelum terpaku pada Rieka. Kacamata
cowok itu merosot, hingga jembatan antar dua lensa bertengger tepat di pucuk
hidung. Rieka tersenyum geli, tidak yakin cowok itu sungguh bermata minus.
“Seharusnya
kamu pakai tuksedo,” akhirnya Rieka tahu bagaimana harus merespons Dean, yang
sedari tadi berupaya untuk menarik perhatian Rieka dengan ramah, “kacamatanya
diganti topeng.” Rieka memperagakan dengan kedua belah tangannya terbalik,
sebagian jemarinya menopang di sisi wajah, sementara selebihnya membingkai
mata.
“Kenapa?”
Cowok itu menyungging senyum heran.
Rieka
tersengal… “rambut elo… enggak nahan…” …susah untuk menahan gelak.
“Oh…”
Cowok yang belum berhenti tersenyum sejak bertemu Rieka. “Iya. Gue kan mau kayak
Andy Lau…”
“Andy
Lau!” Rieka terbahak.
Seleb zaman kapan itu!?
Sejenak
ia merasa aneh, ia belum pernah sekalipun tertawa karena cowok itu,
kemudian terperangah, ketika cowok itu membandingkan treatment yang didapatkannya di beberapa salon berbeda. Cowok
itu tahu mana yang terbaik dari semua yang ada di mal tersebut.
Perawatan
rambut. “…elo tahu ya, yang kayak gitu…”
Tentu
saja. Dean juga suka membaca majalah milik ibu dan adik perempuannya.
Para
ibu memutuskan untuk singgah di butik yang sama-sama mereka belum kunjungi di
mal itu. Para pengiring ibu berjalan di belakang sembari melanjutkan obrolan.
Dean yang bicara lebih banyak sebetulnya, memberitahu Rieka hal-hal yang Rieka
tidak tahu, kurang tahu, tahu, atau sangat tahu, namun tidak menyangka kalau
cowok itupun tahu. Cloe Haan, Harry Winston, Dorothy Perkins, dan Anna Sui
bukan sekadar nama orang, Mango tidak selalu berarti buah, Gucci bukan kata
lain dari vas, dan Dean juga kenal Mary Jane yang bukan pacar Spiderman. Ia
bisa membedakan Zara yang adiknya dengan Zara yang barusan ia dan Rieka lewati,
juga antara wedges, flip flop, pumps,
peep toe, dengan sling back shoes,
apalagi antara bikini dengan halter top!
Rieka tidak merasa mesti bilang wow, meski diam-diam ia takjub. Dean mengupas
semua dengan gaya semaskulin cowok manapun saat membicarakan pertandingan
antara AC Milan dan Juventus, sampai Rieka baru sadar kalau mereka telah
melangkah ke ruangan yang menjadi tujuan para ibu.
“Padahal
gue udah milihin strapless dress yang
bagus buat adek gue, tapi ibu gue pinginnya yang wrap dress biasa aja. Ya udahlah... Eh, Ri, kayaknya bolero ini
caem deh buat atasan lo itu…” Dean termangu mendapati Rieka yang seolah tak bereaksi.
Padahal bolero jade green sudah tersampir
di lengannya.
Rieka
tidak lama-lama menahan geli. Ia meraih pakaian tersebut, “sini gue coba…”
lalu mematut-matut diri di depan cermin, di depan Dean. Senyum cowok itu
semringah.
Ketimbang
jadi manekin, Rieka lebih ingin tahu apakah Dean juga bisa membedakan antara tote bag, clutch bag, duffel bag, baguette
bag, dengan postman bag. Ia
lepaskan bolero, Dean membantunya mengembalikan pakaian tersebut ke tempat semula,
lalu mereka duduk di salah satu bangku, tapi para ibu memutuskan untuk kembali
ke Zara. Di perjalanan Dean menjawab ujian dari Rieka dengan baik. Malah tadi
ia mengidamkan sebuah postman bag
Billabong, tapi sang bunda menolak, karena cowok itu sudah memiliki lima tas
yang masing-masing untuk digunakan pada hari yang berbeda—Senin sampai
Jumat. Dean belum punya tas untuk Sabtu dan Minggu, tapi sang Bunda bilang Dean
memang tidak memerlukannya, karena agenda Dean di kedua hari tersebut kalau
bukan tidur di rumah, ya menemani ibunya belanja seperti hari ini. Padahal
senyatanya tidak selalu begitu. Rieka tertawa kecil.
“Boleh
nanya enggak, Ri?”
“Hm?”
“Elo
masih enggak suka sama gue enggak sih?”
Rieka
menjawab dengan senyum yang perlahan mengembang.
“…berarti
suka?” Dean melanjutkan dengan nada menggoda.
Rieka
meninju lengan Dean pelan. “Logikanya enggak mesti gitu juga kali!”
“Haha…
Gue minta maaf ya dulu suka bikin elo enggak enak…” Rieka bahkan hampir lupa dengan
apa saja yang Dean pernah lakukan padanya dulu. Ah iya. Sweater rajutan. Puisi akrostik. Dan bunga matahari. “Maklumlah
dulu kan gue masih kecil, masih enggak tahu malu…”
Rieka
pun heran kenapa dulu ia begitu gusar ketika Dean mempersembahkan benda-benda
itu padanya. Rasa malu yang keterlaluan. “Iya… Malu-maluin banget sih elo…”
Padahal ketika diingat-ingat lagi kini, malah rasa geli yang mengemuka. Polos
benar mereka waktu itu. Dasar bocah. Kontan Rieka tergelak-gelak hingga Dean
terpana.
“…eee…
nyebut, Neng…”
Barulah
Rieka berusaha mengendalikan tawa.
“Inget
enggak, pas dulu elo dateng ke sekolah pake sweater rajutan tea… Yang
ada gambar cewek sama cowok pake merah-putih gitu, terus elo bilang… ‘Ini
kamu, yang di sebelahnya aku…’ …hahaha…”
“Hehe…
Iya…” Dean mesem-mesem. “Itu idenya oma gue.”
“Hah?
Yang bener?! Huahahaha…” Padahal semula Rieka ingin mengatai Dean sedeng, tapi
ternyata omanya berperan.
“Terus
yang puisi elo tempel di mading tea…
Yang ada nama lengkap guenya?”
“Itu
bikinan ayah gue…!”
“Hahahaha….
Kok elo bisa tahu sih… Nama lengkap gue kan panjang banget sampai di presensi
aja disingkat.”
“Gue
nanya sama wali kelas!”
“Norak,
sumpah, elo norak abis!”
“Tapi
seneng kan?”
“Hihihihi…
Terus yang bunga matahari?”
“Itu
mah gue pingin aja tiba-tiba ngasih
ke elo…”
“Hahaha…
Enggak dimarahin sama petugas taman elo?”
“Enggak
tuh.”
Rieka
tertawa terus.
“Sekarang
elo masih sebel sama gue enggak sih, gara-gara itu…”
Tapi
nada Dean malah serius.
Rieka
yakin mukanya sudah memerah, mudah-mudahan masih terlihat cantik, ingin segera
mengeceknya, di manakah cermin terdekat?, terbatuk-batuk. “Emang gue
keliatannya kayak yang benci sama elo gitu ya?”
“Elo
inget enggak sih, dulu, pas kita simulasi UAN tea. Tempat duduk kita kan diacak. Terus jadinya gue duduk
sebangku sama elo. Temen elo yang di sebelah gue manggil-manggil elo, mau pinjem
pensil, tapi elo enggak mau noleh sama sekali. Soalnya kalo elo nengok, elo
pasti ngeliat gue juga…”
“Tapi
waktu itu gue emang lagi marahan sama temen gue yang itu…”
“Oh…”
“Sekarang
elo masih nyimpen perasaan kayak gitu enggak sih ke gue?” tanya Rieka sebelum
masa akhir SD yang penuh warna itu terkuak makin lebar, sebelum sampai pada
masalah lain yang sangat ingin Rieka lupakan.
“Perasaan
apa…?” tanya Dean, sok heran, sok tidak paham.
“Perasaan
yang bikin elo ngelakuin hal-hal enggak jelas ke gue kayak waktu itu! Hehehe…”
Rieka menjulurkan lidah sepintas, sebelum perhatiannya terpaku pada sebuah
jam tangan di etalase yang sedang mereka lewati. Toh Dean pun memalingkan
wajah, Rieka bisa melihat pantulannya di kaca. Ada kenikmatan tersendiri dalam
membuat seorang cowok terpojok. Lagipula Rieka sudah bisa menerka jawabannya.
Selama setahun kembali bersekolah di tempat yang sama, beberapa kali Rieka menangkap
mata Dean terarah padanya. Dean juga memainkan lagu yang paling ingin Rieka
dengarkan di pesta ulang tahunnya yang ke-16, entah bagaimana cowok itu
tahu. Rieka tidak yakin soal telepati, pun tidak memusingkan kejadian tersebut
lebih lanjut.
Dean
berlagak pertanyaan itu tidak pernah sampai ke telinganya. Ia menunjuk vendor di seberang, sementara para ibu
telah memasuki tujuan mereka yang baru. Cowok itu hendak memilihkan charmbracelet, tapi yang Rieka senangi
malah straw belt. Rieka pun menarik
Dean ke toko sebelah, tapi para ibu keburu dadah-dadah. Rieka menyopiri
Mama sampai rumah, biarpun ia baru bisa mendapatkan SIM legal sekitar setahun
lagi. Dean terlupa.
Malam.
Rieka berbincang dengan Juwita via Skype, sambil melahap pancake yang dibawakan Kak Mita—sepupu yang menghuni kamar sebelah.
“Sebentar
ya,” kata Juwita tiba-tiba, seraya memindahkan perhatiannya pada Blackberry.
Cekikikan sendiri. Rieka hanya mengamati. “Elo tadi ngapain sama Dean?”
“Hah?”
Terasa janggal Juwita menanyakan itu, padahal Rieka belum menceritakan apapun.
“Tadi gue ketemu sama dia di Trans, terus ya udah kita ngobrol-ngobrol aja
sambil nungguin emak-emak tuh… Eh, elo BB-an sama Dean?”
“Iya.
Elo enggak bakal ngatain gue pengkhianat lagi gara-gara ini kan?”
“Iiih
Juwi… Itu kan udah lama banget. Ya enggaklah, Say.” Rieka heran kenapa di hari
ini masa lalu jadi terungkit-ungkit kembali, meski bukannya tidak pernah
terngiang-ngiang sama sekali selama ini. Tapi untuk bagian Rieka-sebal-sama-Dean,
Rieka benar-benar lupa, baru ingat saat Dean menyinggungnya tadi. Kenapa dulu
hal-hal yang begitu lucu malah terasa menyebalkan, betapa labil ia saat
menjelang ABG. “Elo tuh deket ya sama Dean?”
“Yaa…”
Sesekali Juwita mengangkat kepala sementara jemarinya sibuk memenceti tuts
Blackberry. “…gue sama dia kan satu SMP, Jeng.” Rieka manggut-manggut. “Eh
dia nanyain nih… yang tadi mau dijawab pake norak-norakan juga enggak?”
“Yang
tadi teh yang mana…?”
“Bentar,
gue tanyain… Yang elo nanya ke dia tea
ceunah. Emang elo nanya apaan sih ke dia?”
“Ooh…”
Rieka lekas paham pada pertanyaan apa, yang memang seingatnya Dean menghindar
untuk menjawab. “Kenapa dia enggak langsung ke gue aja sih?”
Kepala
Juwita menunduk, konsentrasi menjalani perannya sebagai mediator, lalu
mengangkat kedua belah tangan yang menggenggam Blackberrynya ke meja. “Dia
enggak ada nomor elo ceunah.”
Keningnya berkerut, sebelum mulutnya terbuka. “Hah. Jadi kalian belum friend di Facebook… Di Twitter juga…?”
Tidak jelas Juwita menujukan ucapannya pada Rieka, Dean, atau dirinya seorang.
Ia terkikik. “Dean… Dean… Ckckck… Jadi elo mau jawab apa nih?”
“Ya
udah, have a nice try aja gitu,” kata
Rieka sambil lalu, hampir saja ia buka tab
baru, “tambahin emoticon yang smile. Udah, gitu aja.”
“Enggak
yang ada tanda bintangnya sekalian?”
Rieka
menjulurkan lidah.
Lebih
dari sebulan setelah itu Dean memasuki XI IPA 5 sambil memanggul kibor.
.
Kantin
Kabita begitu riuh, karena dua kantin lain di SMAN Selonongan Bandung aka SMANSON telah bermerger dengannya.
Semula kantin baru tersebut hanya diramaikan oleh siswa senior, dan siswa
junior yang sok tidak tahu atau merasa sudah cukup eksis. Rieka duduk di salah
satu bangku, menatap sepintas Haqi yang menyodorkan segelas jus markisa padanya.
“Ri-ri-ri-rika, milih saha?” Beberapa
cowok sambil lalu mendendangkan bait tersebut lantas tertawa-tawa. Bait itu
juga telah Rieka dengar di kelas, di lorong, di sekre, di laboratorium, di manapun
udara berada.
“Kenapa
sih dari tadi orang-orang pada nyanyiin itu? Gue udah hitung, tiga kali!”
Haqi mengacungkan tiga jarinya pada Rieka. “Ada lagi enggak sih yang namanya
Rika di sekolah ini?”
Rieka
melengos. Yang jelas yang bernama Ri-E-ka hanya ia seorang, dan Haqi sebagai
cowok yang kerap mengaku-aku pacarnya itu bahkan tidak pernah ngeh. Walau
Rieka pernah memberitahu Haqi, tapi cowok itu mengeyel, “Ri-e-ka? Kagok ah.
Enakan Rika aja.” Maka siapapun cowok yang memanggilnya tanpa meluputkan
huruf ‘e’ di tengah nama itu, Rieka bakal memperlakukannya bak pangeran yang
menemukan sepatu kaca.
“Oke.
Sekarang kita perjelas lagi…”
“Enggak
ada yang perlu diperjelas lagi.”
“Tapi
kenapa kamu bilang ke orang-orang kalau kita udah putus…”
“Faktanya
udah jelas. Akang jalan lagi sama Teh Tari, dan Akang juga tahu saya jalan sama
siapa. Akang enggak pernah bilang kalau kita open relationship kan…?”
“Ya,
makanya sekarang…”
“Aah,
udah! Elo tuh cuman enggak tahan sama status jomblo lama-lama!” Tak sudi menyaksikan
cowok berambut jabrik itu merengut, Rieka mengalihkan pandangan ke ujung
kantin. Seorang cewek melambai padanya. “Eeh… temen-temen gue malah pindah ke
sana…” ucapannya tertelan keramaian. Ia menoleh lagi pada Haqi. “Udah kan?
Saya capek tiap kali ketemu urusannya cuman memperjelas terus.”
“Ck.
Kamu dengerin dulu…”
“Nih
buat ganti jus…” Rieka meletakkan beberapa lembar ribuan di hadapan Haqi
seraya bangkit. Ia tidak akan melihat, pun mendengar, apapun yang Haqi
sampaikan di belakang.
Tapi
tak sengaja Rieka melihat ke samping. Pada makhluk ceking yang membelakanginya
dari kejauhan, yang mempopulerkan lagu berbahasa Sunda dengan nama
Rika—RiEka—di dalamnya. Sosok tegap yang sama menjulang merangkul tubuh
tersebut. Sepasang muka yang nyaris serupa bertemu, bertukar ekspresi
keakraban.
“Eh.
Akang-akang yang itu teh kembar ya?”
“Heu euh, asa mirip…”
“Tapi kenapa asa beda yah? Yang di kanan mah lebih cakep.”
“Itu
si Kang Deraz yang katanya baru pulang dari Swiss bukan? Ikut konferensi apaa
gitu…”
“Oh
iya? Ari yang kiri siapa ya? Kayaknya
orangnya rada aneh gitu.”
“Yang
barusan ngejatuhin tempat sampah?”
Cewek-cewek
kelas X itu norak sekali sih. Rieka melempar tatapan judesnya hingga mereka
mengkeret, I-watch-you!—kini sebagai
siswi kelas XI ia telah sah mengambil alih wewenang tersebut.
Rieka
sampai di koloninya.
“Nih,
Ri, titipan elo…” Titew menggeser mangkuk berkuah dan piring bernasi ke
hadapan Rieka, yang baru saja duduk. “Kok murung gitu sih, Jeng?”
“Biasa,
si Haqi.” Rieka menggepeng-gepengkan kubah nasi dengan sendok, seolah-olah
itu kepala Haqi.
“Dia
tuh ngebet sama kamu…” kata Indah yang duduk di seberang Rieka.
“…yang
baru diangkat jadi sekum geto…” tambah Fika, yang mengilhami sekaligus
disetujui Rieka untuk pernyataan berikut.
“Aku
tuh cuman label buat dia…” keluh Rieka, yang segera menyadari bahwa ia telah
menyinggung dirinya sendiri, “Aku udah males sama yang gini-ginian,” lantas
menggantinya dengan pernyataan yang lebih jujur.
Sekonyong-konyong
aroma yang menggetarkan Rieka—tentu saja Rieka hapal setelah lebih dari setahun
ini mencuri-curi—mampir. Rieka merasa tubuhnya melemas, lantas terkejut
mendapati kuah yang sudah menenggelamkan seluruh nasi, padahal ia sendiri
pelakunya—seharusnya ia makan dengan lebih elegan!
Serasa
hawa AC menyembur tepat di belakang tengkuknya, padahal Kabita berupa ruang
terbuka, saat ia menoleh pelan ke sisi kanan. Deraz sedang menebar senyum
pada kawanan Rieka, lalu pada Rieka, tidak sampai satu detik. Deraz sudah berpaling
lagi pada kawanannya yang juga baru mengisi bangku panjang tersebut. Cowok itu
tanpa penganan apa-apa, sedang kawanannya dengan chicken katsu, kupat
tahu, dan semacamnya. Rieka bersyukur tangannya tidak bergetar saat menyendok
nasi kembali, dalam ukuran yang tidak akan membuat pipinya gembung,
memasukkannya sehati-hati mungkin ke dalam mulut, lalu mengunyahnya dengan
lamban—jangan sampai terdengar decap sekalipun! Ia tahu Deraz tak akan menoleh
padanya lagi, apalagi menegur, lalu cowok itu akan meninggalkannya begitu
saja kapanpun mau.
Rieka
melirik Indah dan Fika yang duduk di seberangnya. Mereka juga tampak grogi,
tidak, mereka memberikan isyarat dengan mata! Sontak Rieka menoleh ke sisi
kanan. Senyum Deraz menerpanya. Rieka mengangguk, susah payah menelan kunyahannya
agar tidak kentara. Senyum cowok itu menghanyutkannya makin dalam. “Gimana…
itu… kamu sama Dean?”
“Apa?”
namun hanya terekspresikan dalam senyum.
Tampang
Deraz pun masih bertanya. Andai saja bisa melakukan kontak mata dengan Deraz
lebih lama. Tapi tatapan Deraz malah beralih ke depan. “Di rumah dia jadi
suka ngomongin kamu…”
Terus gue mesti bilang… apa?
“…ngomongin
apa…?” balas Rieka, tidak bisa menahan nadanya untuk tidak lembut.
“Dia
pernah ke kelas kamu kan?”
“Iya…?”
“Ngomongin
yang dia sampain di kelas kamu.”
Deraz
menutup percakapan itu dengan senyum, lebih misterius dari Monalisa. Tidak menoleh
lagi, apalagi menegur, lalu meninggalkannya begitu saja seiring dengan
kawanannya yang usai mengisi perut. Andai kecepatan makan cowok-cowok tidak
sekilat itu…
[1] Sunda: …ini ada di
kurikulum kamu!
[2] Sunda: Tuh kan, pada
enggak tahu. Kalian orang mana sih?
[3] Sunda: (anak) baik
[4] Sunda: diam
[5] Sunda: anak-anak
(seharusnya tidak pakai “s”)
[6] Sunda: Banyak yang bertamu
ke Rika, banyak yang suka sama Rika, banyak yang cinta sama Rika, banyak yang
gila karena Rika, waduh…
[7] Sunda: …sadar, Dean juga
suka… mendadak punya rasa cinta. Sadar, cuman Dean sadar…
apa yang mau diberikan…
[8] Sunda: Datanglah Andra
dengan Mio, Acil bawa Polygon, Samsul Lintang bawa… bawa apa kamu, Sul?
[9] Sunda: …saya modal
angkot aja…
[10] Sunda: Samsul Lintang
bawa CBR, Raga bawa Tiger. Waduh. Sadar Dean mah enggak punya… Sadar Dean
sengsara di dunia. Sadar modal cuman cinta… niat akan setia… Rika, pilih mana?
Ri-ri-ri-rika, pilih siapa?
[11] Penggalan-penggalan
lirik yang dinyanyikan Dean dimodifikasi dari lirik lagu Doel Sumbang, “Mumun”.
[12] Sunda: katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar