Sabtu, 01 Desember 2012

I. Dean

Seharusnya Bu Euis yang mengisi pelajaran se­habis jam istirahat ini, Seni Musik. Namun yang da­tang ketika para siswa kelas XI IPA 5 sudah du­duk di bangku masing-masing malah cowok itu. Sung­guh langka cowok zaman sekarang betah de­ngan potongan rambut ala Mamoru Chiba. Kuat ju­ga tubuh ceking itu memanggul kibor.

Acil menyusul dengan kedua lengan me­no­pang penyangga. Penyangga itu lalu ia taruh di de­pan kelas, tepat di tengah. Dean meletakkan kibor di atasnya.

“Makasih ya Ragil. Nanti saya taruh nilai se­be­las di rapor kamu,” ucap Dean sembari me­mu­kul-mukul pundak kirinya yang tadi menopang ki­bor.

Acil melongo, tapi mulut itu memang tak mu­dah menutup. Tampangnya seperti ia tidak suka di­panggil dengan nama aslinya. Tapi anak itu terus sa­ja berjalan ke bangkunya.

Dean mengambil spidol di atas meja guru. Ia ti­dak mengindahkan seruan-seruan yang tertuju pa­danya.

“Woi Yan, ngapain kamu di sini?”

“Bu Euis ke mana, Yan?”

“Yan, entar dicariin anak-anak PS3 lo Yan…”

PS3 itu Paguyuban Siswa Sosial SMANSON.

Namanya kini tertera di whiteboard. Tu­lis­an­nya tidak begitu rapi, tapi cukup terbaca. Ardian Hayy­ra Aldifian.

“Pada kesempatan ini Bu Euis berhalangan ha­dir, jadi saya gantiin beliau buat sementara…” Anak-anak bersorak dengan gaduh, kebanyakan ada­lah cowok yang memang dekat dengan Dean. “Ke­marin udah sampai di mana, Anak-anak? Ba­ik­lah, karena tidak ada yang jawab, kita langsung aja ke pelajaran berikutnya yah…” cerocos cowok itu tanpa mengindahkan sama sekali ce­le­tuk­an-ce­le­tukan dari sesama orang iseng. “Ini pen­ting sekali, Anak-anak, karena selama ini kalian te­lah banyak diracuni oleh musik Barat yang kadang amo­ral dan berbahaya…”

“Huuuu….”

“…jadi sekarang saya akan mengembalikan ka­lian pada fitrah kalian, penduduk Bandung yang no­tabene orang Sunda…”

“Emang notabene apa gitu, Yan?”

“Itu kan… Yang kalau kita beli barang harus pa­kai itu, bayarnya di kasir tapi ngambil barangnya di tempat lain…” Cowok itu tidak melihat kepada si­a­pa ia bicara, ia sedang menggambar garis-garis di white­board. Not-not balok ia bubuhkan kemudian. Ia bahkan tidak mendengarkan tanggapan untuk oceh­an asalnya itu, begitu berbalik ia langsung ber­se­ru, “Nah! Ada yang masih inget enggak apa itu na­da pentatonis?” Ramai lagi, terutama dengan na­da-nada sok mencemooh. “Serius, anying, ieu aya di kurikulum maneh[1]!” balasnya. Bangkitlah derai ta­wa.

Cowok itu kini sedang coba memainkan lagu Adele dengan menggunakan nada-nada pentatonis yang tadi ia ajarkan. “…tuh kan, jadinya aneh…” gu­mam­annya bikin kelas makin ramai dengan bahak. “…ja­di kita kembalikan saja nada-nada pentatonis ini pada kodratnya, yaitu sebagai penyusun da­ri­pa­da tembang-tembang Sunda. Ada yang ngerti tem­bang-tembang Sunda enggak? Tuh kan, pada teu nya­hoeun. Maneh teh urang mana?[2]” Rentetan ka­li­mat­nya meluncur dengan cepat. Ketika jawaban-ja­wab­an bermunculan, ia malah diam hingga suasana he­ning dengan sendirinya. Matanya yang bulat dan be­sar itu mengarah pada audiensnya, yang per­la­han menguar bingung karena bibir tipis yang ter­ka­tup itu. “Nah, bageur[3], JEP…?”

“…JEMPEEE[4]” sahut anak-anak. Hawa tak sa­bar makin mendera.

“…karena kalian pada kuper, sekarang Bapak mau kasih contoh tembang Sunda itu yang kayak gi­mana, Barudaks[5]

Lamat-lamat sorakan memelan seiring de­ngan gerakan jemari Dean yang menekan-nekan tuts kibor. Bisik-bisik masih mengambang, namun le­bih banyak yang menyimak. Apalagi ketika bocah itu mulai bernyanyi, “Loba nu nganjang ka Rika, lo­ba nu resep ka Rika, loba nu bogoh ka Rika, loba nu gelo ku Rika, waduh…[6]” …sontak para cewek ber­teriak, para cowok memukul-mukul meja sambil ter­tawa-tawa…rumasa Dean oge suka… nga­da­dak gaduh rasa cinta. Rumasa ngan Dean ru­ma­sa… rek naon anu disogrokeun…[7]

Seakan belum puas menyinggung-nyinggung se­buah nama, Dean melanjutkan, “Kurunyung An­dra jeung Mio, jol Acil mawa Polygon, Samsul Lin­tang mawa… mawa naon maneh teh, Sul[8]?” Jemari De­an berhenti menginjak-injak tuts.

“Ah, aing mah modal angkot wae[9], Yan.”

“Ah ya udah, karena Dean mah baik yah…” De­an melanjutkan, “Samsul Lintang mawa CBR, Ra­ga mawa Tiger. Waduh. Rumasa Dean mah teu bo­ga… Rumasa Dean sangsara ku dunya. Rumasa mo­dal ukur cinta …nawaetu rek satia… Rika, milih ma­na? Ri-ri-ri-rika, milih saha[10]?

…ngagebrai dunya jadi caang… asatuh ka­re­na pipikiran… Sare tibra dahar mirasa… Nyata cin­ta teu kabeh ningali dunya…[11]

Rieka menegakkan tubuh, mendadak  me­ra­sa sudah bisa mengendalikan dirinya, tapi masih de­ngan menutup mulut, tak memedulikan tatap-ta­tap yang menusuknya. Ia berusaha tersenyum pada wa­jah yang begitu cerah sekaligus memucat itu.

Dean balas tersenyum dengan tidak kalah sem­ringah. Ia menyentuh kibor lagi. “...masih ada sa­tu tembang lagi, Anak-anak…” Anak-anak me­nyam­but dengan kegaduhan berlebihan. “’Ka­seu­red’, dari Darso…” Dean menoleh ke sebelah kiri. Se­betulnya sudah dari tadi dehaman-dehaman ter­tu­ju padanya.

Bu Euis di ambang pintu, bersama seorang gu­ru lain dan beberapa siswa dari kelas sebelah yang penasaran. “Udah pelajarannya, Dean?” tegur Bu Euis. Guru di samping Bu Euis menggeleng-ge­leng lalu menghalau para siswanya agar kembali ke ke­las. “Udah ditunggu sama Pak Kobo tuh di kelas… En­tar pelajaran Akuntansinya enggak mulai-mu­lai… Nunggu Dean katanya.”

Dean mengangguk seraya menggaruk-garuk ba­gian belakang kepalanya. “Hehe… Iya Bu…” Ia me­ngeloyor.

Beberapa cowok hendak menyusulnya, tapi Bu Euis menahan mereka di pintu. Berlomba-lom­ba mereka mengekspresikan kekecewaan. Salah sa­tu di antara mereka menoleh pada Rieka dalam per­jalanannya kembali ke bangku. “Ditunggu ceu­nah[12] jawabannya, Ka!” serunya dengan nada usil.

Rieka mendengus, tidak yakin apa yang mes­ti dijawab.

.

Sebetulnya dimulai dari pertemuan di Trans Stu­dio Mall.

Jujur. Memang potongan rambut ala Ma­mo­ru Chiba—lurus-hitam-belah tengah—itulah yang me­mikat. Dilengkapi dengan nerd glasses, bo­leh­lah. Jaket bisbol, di baliknya ada kaos putih dengan de­sain yang sebetulnya cute. Dipadu dengan celana se­lutut, gosh!, sewarna dengan yang dipakai Mor­gan SM*SH dalam videoklip “I Heart You”, untung mo­delnya tidak! Rieka semakin mengernyit ketika ta­tapannya sampai ke kaki. Sandal gladiator, demi apa?, untuk ukuran kaki sebesar itu? Tapi lagak cowok itu cu­ek. Kedua tangannya masuk ke saku. Se­saat tu­buh­nya condong ke belakang, matanya me­ne­ra­wang sebuah etalase, lalu condong ke depan kala ber­jalan,  mengikuti ibunya.

Dan wanita cantik itu menatap Mama Rieka di kejauhan. Dan cowok itu tertegun karena Rieka yang tahu-tahu ada secara tak terduga.

“Jeng Daraaaa…!” Mama Rieka melambai, de­ngan suara nyaring khas emak gaul.

“Bu Nira…” wanita itu balas menyapa de­ngan anggun.

Jarak di antara keduanya semakin dekat. Se­pa­sang mudi dan muda yang menjadi saksi tak tahu ha­rus berbuat apa. Dua wanita itu telah dekat, telah se­kian tahun tak bersua. Sementara yang masing-ma­sing di samping dan di belakang mereka hampir jum­pa tiap hari. Ada begitu banyak kata yang hen­dak dibarter Bu Nira dengan Jeng Dara. Sementara Ri­eka tidak ingat pernah mengobrol dengan Dean, se­lama sekitar sewindu kenal cowok itu.

Bertahun-tahun mereka satu kelas di SD, la­lu melanjutkan ke SMP yang berbeda, dan bertemu di SMA yang sama. Dean juga yang memainkan ki­bor di pesta ulang tahun Rieka Mei lalu.

Di restoran pilihan para ibu mereka duduk ber­hadapan. Semula mereka masih diam-diaman. Ma­ma Rieka menegur. Topik di antara kedua ibu ber­alih ke Dean. Ibunya Dean menggeser pem­bi­ca­ra­an. Meja itu kembali terbagi jadi dua kubu.

Berapa lama mulut mereka mengatup saja. Ri­eka ingin nimbrung percakapan dua ibu, tapi ti­dak selalu menemukan jeda yang tepat. Ia lirik De­an, cowok itu sedang menyeruput jus alpukat. Mata be­sar itu melayap, sebelum terpaku pada Rieka. Ka­ca­mata cowok itu merosot, hingga jembatan antar dua lensa bertengger tepat di pucuk hidung. Rieka ter­senyum geli, tidak yakin cowok itu sungguh ber­ma­ta minus.

“Seharusnya kamu pakai tuksedo,” akhirnya Ri­eka tahu bagaimana harus merespons Dean, yang se­dari tadi berupaya untuk menarik perhatian Ri­eka dengan ramah, “kacamatanya diganti topeng.” Ri­eka memperagakan dengan kedua belah ta­ngan­nya terbalik, sebagian jemarinya menopang di sisi wa­jah, sementara selebihnya membingkai mata.

“Kenapa?” Cowok itu menyungging senyum he­ran.

Rieka tersengal… “rambut elo… enggak na­han…” …susah untuk menahan gelak.

“Oh…” Cowok yang belum berhenti ter­se­nyum sejak bertemu Rieka. “Iya. Gue kan mau ka­yak Andy Lau…”

“Andy Lau!” Rieka terbahak.

Seleb zaman kapan itu!?

Sejenak ia me­ra­sa aneh, ia belum pernah se­ka­lipun tertawa ka­re­na cowok itu, kemudian ter­pe­rangah, ketika cowok itu membandingkan treat­ment yang didapatkannya di beberapa salon ber­be­da. Cowok itu tahu mana yang terbaik dari semua yang ada di mal tersebut.

Perawatan rambut. “…elo tahu ya, yang ka­yak gitu…”

Tentu saja. Dean juga suka membaca ma­ja­lah milik ibu dan adik perempuannya.

Para ibu memutuskan untuk singgah di butik yang sama-sama mereka belum kunjungi di mal itu. Pa­ra pengiring ibu berjalan di belakang sembari me­lanjutkan obrolan. Dean yang bicara lebih ba­nyak sebetulnya, memberitahu Rieka hal-hal yang Ri­eka tidak tahu, kurang tahu, tahu, atau sangat ta­hu, namun tidak menyangka kalau cowok itupun ta­hu. Cloe Haan, Harry Winston, Dorothy Perkins, dan Anna Sui bukan sekadar nama orang, Mango ti­dak selalu berarti buah, Gucci bukan kata lain dari vas, dan Dean juga kenal Mary Jane yang bukan pa­car Spiderman. Ia bisa membedakan Zara yang adik­nya dengan Zara yang barusan ia dan Rieka le­wati, juga antara wedges, flip flop, pumps, peep toe, de­ngan sling back shoes, apalagi antara bikini de­ngan halter top! Rieka tidak merasa mesti bilang wow, meski diam-diam ia takjub. Dean mengupas se­mua dengan gaya semaskulin cowok manapun sa­at membicarakan pertandingan antara AC Milan dan Juventus, sampai Rieka baru sadar kalau me­re­ka telah melangkah ke ruangan yang menjadi tu­ju­an para ibu.

“Padahal gue udah milihin strapless dress yang bagus buat adek gue, tapi ibu gue pinginnya yang wrap dress biasa aja. Ya udahlah... Eh, Ri, ka­yak­nya bolero ini caem deh buat atasan lo itu…” De­an termangu mendapati Rieka yang seolah tak be­reaksi. Padahal bolero jade green sudah ter­sam­pir di lengannya.

Rieka tidak lama-lama menahan geli. Ia me­ra­ih pakaian tersebut, “sini gue coba…” lalu me­ma­tut-matut diri di depan cermin, di depan Dean. Se­nyum cowok itu semringah.

Ketimbang jadi manekin, Rieka lebih ingin ta­hu apakah Dean juga bisa membedakan antara tote bag, clutch bag, duffel bag, baguette bag, de­ngan postman bag. Ia lepaskan bolero, De­an mem­ban­tunya mengembalikan pakaian tersebut ke tem­pat semula, lalu mereka duduk di salah satu bang­ku, tapi para ibu memutuskan untuk kembali ke Za­ra. Di perjalanan Dean menjawab ujian dari Rieka de­ngan baik. Malah tadi ia mengidamkan sebuah post­man bag Billabong, tapi sang bunda menolak, ka­rena cowok itu sudah memiliki lima tas yang ma­sing-masing untuk digunakan pada hari yang ber­be­da—Senin sampai Jumat. Dean belum punya tas un­tuk Sabtu dan Minggu, tapi sang Bunda bilang De­an memang tidak memerlukannya, karena agen­da Dean di kedua hari tersebut kalau bukan tidur di ru­mah, ya menemani ibunya belanja seperti hari ini. Padahal senyatanya tidak selalu begitu. Rieka ter­tawa kecil.

“Boleh nanya enggak, Ri?”

“Hm?”

“Elo masih enggak suka sama gue enggak sih?”

Rieka menjawab dengan senyum yang per­la­han mengembang.

“…berarti suka?” Dean melanjutkan dengan na­da menggoda.

Rieka meninju lengan Dean pelan. “Lo­gi­ka­nya enggak mesti gitu juga kali!”

“Haha… Gue minta maaf ya dulu suka bikin elo enggak enak…” Rieka bahkan hampir lupa de­ngan apa saja yang Dean pernah lakukan padanya du­lu. Ah iya. Sweater rajutan. Puisi akrostik. Dan bu­nga matahari. “Maklumlah dulu kan gue masih ke­cil, masih enggak tahu malu…”

Rieka pun heran kenapa dulu ia begitu gusar ke­tika Dean mempersembahkan benda-benda itu pa­danya. Rasa malu yang keterlaluan. “Iya… Malu-ma­luin banget sih elo…” Padahal ketika diingat-ingat lagi kini, malah rasa geli yang mengemuka. Po­los benar mereka waktu itu. Dasar bocah. Kontan Ri­eka tergelak-gelak hingga Dean terpana.

“…eee… nyebut, Neng…”

Barulah Rieka berusaha mengendalikan ta­wa.

“Inget enggak, pas dulu elo dateng ke se­ko­lah pake sweater rajutan tea… Yang ada gambar ce­wek sama cowok pake merah-putih gitu, terus elo bi­lang… ‘Ini kamu, yang di sebelahnya aku…’ …hahaha…”

“Hehe… Iya…” Dean mesem-mesem. “Itu ide­nya oma gue.”

“Hah? Yang bener?! Huahahaha…” Padahal se­mula Rieka ingin mengatai Dean sedeng, tapi ter­nya­ta omanya berperan.

“Terus yang puisi elo tempel di mading tea… Yang ada nama lengkap guenya?”

“Itu bikinan ayah gue…!”

“Hahahaha…. Kok elo bisa tahu sih… Nama leng­kap gue kan panjang banget sampai di presensi aja disingkat.”

“Gue nanya sama wali kelas!”

“Norak, sumpah, elo norak abis!”

“Tapi seneng kan?”

“Hihihihi… Terus yang bunga matahari?”

“Itu mah gue pingin aja tiba-tiba ngasih ke elo…”

“Hahaha… Enggak dimarahin sama petugas ta­man elo?”

“Enggak tuh.”

Rieka tertawa terus.

“Sekarang elo masih sebel sama gue enggak sih, gara-gara itu…”

Tapi nada Dean malah serius.

Rieka yakin mukanya sudah memerah, mu­dah-mudahan masih terlihat cantik, ingin segera me­ngeceknya, di manakah cermin terdekat?, ter­ba­tuk-batuk. “Emang gue keliatannya kayak yang ben­ci sama elo gitu ya?”

“Elo inget enggak sih, dulu, pas kita simulasi UAN tea. Tempat duduk kita kan diacak. Terus ja­di­nya gue duduk sebangku sama elo. Temen elo yang di sebelah gue manggil-manggil elo, mau pin­jem pensil, tapi elo enggak mau noleh sama sekali. So­­alnya kalo elo nengok, elo pasti ngeliat gue ju­ga…”

“Tapi waktu itu gue emang lagi marahan sa­ma temen gue yang itu…”

“Oh…”

“Sekarang elo masih nyimpen perasaan ka­yak gitu enggak sih ke gue?” tanya Rieka sebelum ma­sa akhir SD yang penuh warna itu terkuak makin le­bar, sebelum sampai pada masalah lain yang sa­ngat ingin Rieka lupakan.

“Perasaan apa…?” tanya Dean, sok heran, sok tidak paham.

“Perasaan yang bikin elo ngelakuin hal-hal eng­gak jelas ke gue kayak waktu itu! Hehehe…” Ri­eka menjulurkan lidah sepintas, sebelum per­ha­ti­an­nya terpaku pada sebuah jam tangan di etalase yang sedang mereka lewati. Toh Dean pun me­ma­ling­kan wajah, Rieka bisa melihat pantulannya di kaca. Ada kenikmatan tersendiri dalam membuat se­orang cowok terpojok. Lagipula Rieka sudah bisa me­nerka jawabannya. Selama setahun kembali ber­se­kolah di tempat yang sama, beberapa kali Rieka me­nangkap mata Dean terarah padanya. Dean juga me­mainkan lagu yang paling ingin Rieka dengarkan di pesta ulang tahunnya yang ke-16, entah ba­gai­ma­na cowok itu tahu. Rieka tidak yakin soal telepati, pun tidak memusingkan kejadian tersebut lebih lan­jut.

Dean berlagak pertanyaan itu tidak pernah sam­pai ke telinganya. Ia menunjuk vendor di se­be­rang, sementara para ibu telah memasuki tujuan me­reka yang baru. Cowok itu hendak memilihkan charm­bracelet, tapi yang Rieka senangi malah straw belt. Rieka pun menarik Dean ke toko se­be­lah, tapi para ibu keburu dadah-dadah. Rieka me­nyo­piri Mama sampai rumah, biarpun ia baru bisa men­dapatkan SIM legal sekitar setahun lagi. Dean ter­lupa.

Malam. Rieka berbincang dengan Juwita via Skype, sambil melahap pancake yang dibawakan Kak Mita—sepupu yang menghuni kamar sebelah.

“Sebentar ya,” kata Juwita tiba-tiba, seraya me­mindahkan perhatiannya pada Blackberry. Ce­ki­kik­an sendiri. Rieka hanya mengamati. “Elo tadi nga­pain sama Dean?”

“Hah?” Terasa janggal Juwita menanyakan itu, padahal Rieka belum menceritakan apapun. “Ta­di gue ketemu sama dia di Trans, terus ya udah ki­ta ngobrol-ngobrol aja sambil nungguin emak-emak tuh… Eh, elo BB-an sama Dean?”

“Iya. Elo enggak bakal ngatain gue peng­khi­a­nat lagi gara-gara ini kan?”

“Iiih Juwi… Itu kan udah lama banget. Ya eng­gaklah, Say.” Rieka heran kenapa di hari ini ma­sa lalu jadi terungkit-ungkit kembali, meski bu­kan­nya tidak pernah terngiang-ngiang sama sekali se­la­ma ini. Tapi untuk bagian Rieka-sebal-sama-De­an, Rieka benar-benar lupa, baru ingat saat Dean me­nyinggungnya tadi. Kenapa dulu hal-hal yang be­gitu lucu malah terasa menyebalkan, betapa labil ia saat menjelang ABG. “Elo tuh deket ya sama De­an?”

“Yaa…” Sesekali Juwita mengangkat kepala se­mentara jemarinya sibuk memenceti tuts Black­berry. “…gue sama dia kan satu SMP, Jeng.” Rieka mang­gut-manggut. “Eh dia nanyain nih… yang tadi mau dijawab pake norak-norakan juga enggak?”

“Yang tadi teh yang mana…?”

“Bentar, gue tanyain… Yang elo nanya ke dia tea ceunah. Emang elo nanya apaan sih ke dia?”

“Ooh…” Rieka lekas paham pada pertanyaan apa, yang memang seingatnya Dean menghindar un­tuk menjawab. “Kenapa dia enggak langsung ke gue aja sih?”

Kepala Juwita menunduk, konsentrasi men­ja­lani perannya sebagai mediator, lalu mengangkat ke­dua belah tangan yang menggenggam Black­berrynya ke meja. “Dia enggak ada nomor elo ceu­nah.” Keningnya berkerut, sebelum mulutnya ter­bu­ka. “Hah. Jadi kalian belum friend di Facebook… Di Twitter juga…?” Tidak jelas Juwita menujukan ucap­annya pada Rieka, Dean, atau dirinya seorang. Ia terkikik. “Dean… Dean… Ckckck… Jadi elo mau ja­wab apa nih?”

“Ya udah, have a nice try aja gitu,” kata Ri­eka sambil lalu, hampir saja ia buka tab baru, “tam­bah­in emoticon yang smile. Udah, gitu aja.”

“Enggak yang ada tanda bintangnya se­ka­li­an?”

Rieka menjulurkan lidah.

Lebih dari sebulan setelah itu Dean me­ma­suki XI IPA 5 sambil memanggul kibor.

.

Kantin Kabita begitu riuh, karena dua kantin la­in di SMAN Selonongan Bandung aka SMANSON te­lah bermerger dengannya. Semula kantin baru ter­sebut hanya diramaikan oleh siswa senior, dan sis­wa junior yang sok tidak tahu atau merasa sudah cu­kup eksis. Rieka duduk di salah satu bangku, me­na­tap sepintas Haqi yang menyodorkan segelas jus mar­kisa padanya.

Ri-ri-ri-rika, milih saha?” Beberapa cowok sam­bil lalu mendendangkan bait tersebut lantas ter­tawa-tawa. Bait itu juga telah Rieka dengar di ke­las, di lorong, di sekre, di laboratorium, di ma­na­pun udara berada.

“Kenapa sih dari tadi orang-orang pada nya­nyi­in itu? Gue udah hitung, tiga kali!” Haqi meng­a­cung­kan tiga jarinya pada Rieka. “Ada lagi enggak sih yang namanya Rika di sekolah ini?”

Rieka melengos. Yang jelas yang bernama Ri-E-ka hanya ia seorang, dan Haqi sebagai cowok yang kerap mengaku-aku pacarnya itu bahkan tidak per­nah ngeh. Walau Rieka pernah memberitahu Ha­qi, tapi cowok itu mengeyel, “Ri-e-ka? Kagok ah. Enak­an Rika aja.” Maka siapapun cowok yang me­mang­gilnya tanpa meluputkan huruf ‘e’ di tengah na­ma itu, Rieka bakal memperlakukannya bak pa­nge­ran yang menemukan sepatu kaca.

“Oke. Sekarang kita perjelas lagi…”

“Enggak ada yang perlu diperjelas lagi.”

“Tapi kenapa kamu bilang ke orang-orang ka­lau kita udah putus…”

“Faktanya udah jelas. Akang jalan lagi sama Teh Tari, dan Akang juga tahu saya jalan sama si­a­pa. Akang enggak pernah bilang kalau kita open relationship kan…?”

“Ya, makanya sekarang…”

“Aah, udah! Elo tuh cuman enggak tahan sa­ma status jomblo lama-lama!” Tak sudi me­nyak­si­kan cowok berambut jabrik itu merengut, Rieka meng­alihkan pandangan ke ujung kantin. Seorang ce­wek melambai padanya. “Eeh… temen-temen gue ma­lah pindah ke sana…” ucapannya tertelan ke­ra­mai­an. Ia menoleh lagi pada Haqi. “Udah kan? Saya ca­pek tiap kali ketemu urusannya cuman mem­per­je­las terus.”

“Ck. Kamu dengerin dulu…”

“Nih buat ganti jus…” Rieka meletakkan be­be­rapa lembar ribuan di hadapan Haqi seraya bangkit. Ia tidak akan melihat, pun mendengar, apa­pun yang Haqi sampaikan di belakang.

Tapi tak sengaja Rieka melihat ke samping. Pa­da makhluk ceking yang membelakanginya dari ke­jauhan, yang mempopulerkan lagu berbahasa Sun­da dengan nama Rika—RiEka—di dalamnya. So­sok tegap yang sama menjulang merangkul tu­buh tersebut. Sepasang muka yang nyaris serupa ber­temu, bertukar ekspresi keakraban.

“Eh. Akang-akang yang itu teh kembar ya?”

Heu euh, asa mirip…”

 “Tapi kenapa asa beda yah? Yang di kanan mah lebih cakep.”

“Itu si Kang Deraz yang katanya baru pulang da­ri Swiss bukan? Ikut konferensi apaa gitu…”

“Oh iya? Ari yang kiri siapa ya? Kayaknya orang­nya rada aneh gitu.”

“Yang barusan ngejatuhin tempat sampah?”

Cewek-cewek kelas X itu norak sekali sih. Ri­eka melempar tatapan judesnya hingga mereka meng­keret, I-watch-you!—kini sebagai siswi kelas XI ia telah sah mengambil alih wewenang tersebut.

Rieka sampai di koloninya.

“Nih, Ri, titipan elo…” Titew menggeser mang­kuk berkuah dan piring bernasi ke hadapan Ri­eka, yang baru saja duduk. “Kok murung gitu sih, Jeng?”

“Biasa, si Haqi.” Rieka menggepeng-ge­peng­kan kubah nasi dengan sendok, seolah-olah itu ke­pa­la Haqi.

“Dia tuh ngebet sama kamu…” kata Indah yang duduk di seberang Rieka.

“…yang baru diangkat jadi sekum geto…” tam­bah Fika, yang mengilhami sekaligus disetujui Ri­eka untuk pernyataan berikut.

“Aku tuh cuman label buat dia…” keluh Ri­eka, yang segera menyadari bahwa ia telah me­nying­gung dirinya sendiri, “Aku udah males sama yang gini-ginian,” lantas menggantinya dengan per­nya­taan yang lebih jujur.

Sekonyong-konyong aroma yang meng­ge­tar­kan Rieka—tentu saja Rieka hapal setelah lebih dari se­tahun ini mencuri-curi—mampir. Rieka merasa tu­buhnya melemas, lantas terkejut mendapati kuah yang sudah menenggelamkan seluruh nasi, padahal ia sendiri pelakunya—seharusnya ia makan dengan le­bih elegan!

Serasa hawa AC menyembur tepat di be­la­kang tengkuknya, padahal Kabita berupa ruang ter­bu­ka, saat ia menoleh pelan ke sisi kanan. Deraz se­dang menebar senyum pada kawanan Rieka, lalu pa­da Rieka, tidak sampai satu detik. Deraz sudah ber­paling lagi pada kawanannya yang juga baru meng­isi bangku panjang tersebut. Cowok itu tanpa pe­nganan apa-apa, sedang kawanannya dengan chicken katsu, kupat tahu, dan semacamnya. Rieka ber­syukur tangannya tidak bergetar saat me­nyen­dok nasi kembali, dalam ukuran yang tidak akan mem­buat pipinya gembung, memasukkannya se­ha­ti-hati mungkin ke dalam mulut, lalu me­ngu­nyah­nya dengan lamban—jangan sampai terdengar de­cap sekalipun! Ia tahu Deraz tak akan menoleh pa­da­nya lagi, apalagi menegur, lalu cowok itu akan me­ninggalkannya begitu saja kapanpun mau.

Rieka melirik Indah dan Fika yang duduk di se­berangnya. Mereka juga tampak grogi, tidak, me­re­ka memberikan isyarat dengan mata! Sontak Ri­eka menoleh ke sisi kanan. Senyum Deraz me­ner­pa­nya. Rieka mengangguk, susah payah menelan ku­nyahannya agar tidak kentara. Senyum cowok itu meng­hanyutkannya makin dalam. “Gimana… itu… ka­mu sama Dean?”

“Apa?” namun hanya terekspresikan dalam se­nyum.

Tampang Deraz pun masih bertanya. Andai sa­ja bisa melakukan kontak mata dengan Deraz le­bih lama. Tapi tatapan Deraz malah beralih ke de­pan. “Di rumah dia jadi suka ngomongin kamu…”

Terus gue mesti bilang… apa?

“…ngomongin apa…?” balas Rieka, tidak bisa me­nahan nadanya untuk tidak lembut.

“Dia pernah ke kelas kamu kan?”

“Iya…?”

“Ngomongin yang dia sampain di kelas ka­mu.”

Deraz menutup percakapan itu dengan se­nyum, lebih misterius dari Monalisa. Tidak me­no­leh lagi, apalagi menegur, lalu meninggalkannya be­gitu saja seiring dengan kawanannya yang usai meng­isi perut. Andai kecepatan makan cowok-co­wok tidak sekilat itu…



[1] Sunda: …ini ada di kurikulum kamu!

[2] Sunda: Tuh kan, pada enggak tahu. Kalian orang mana sih?

[3] Sunda: (anak) baik

[4] Sunda: diam

[5] Sunda: anak-anak (seharusnya tidak pakai “s”)

[6] Sunda: Banyak yang bertamu ke Rika, banyak yang suka sama Rika, banyak yang cinta sama Rika, banyak yang gila karena Rika, waduh…

[7] Sunda: …sadar, Dean juga suka… mendadak punya rasa cinta. Sadar, cuman Dean sadar… apa yang mau diberikan…

[8] Sunda: Datanglah Andra dengan Mio, Acil bawa Polygon, Samsul Lintang bawa… bawa apa kamu, Sul?

[9] Sunda: …saya modal angkot aja…

[10] Sunda: Samsul Lintang bawa CBR, Raga bawa Tiger. Waduh. Sadar Dean mah enggak punya… Sadar Dean sengsara di dunia. Sadar modal cuman cinta… niat akan setia… Rika, pilih mana? Ri-ri-ri-rika, pilih siapa?

[11] Penggalan-penggalan lirik yang dinyanyikan Dean dimodifikasi dari lirik lagu Doel Sumbang, “Mumun”.

[12] Sunda: katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain