Tanya
Mitratama kenapa Deraz ditunjuk menjadi kabid I, padahal Deraz jarang terlibat
dengan DKM. Sengaja, katanya, supaya aura SMANSON tidak alim amat. Kabid I
harus seorang yang rada hedonis, walaupun Deraz rajin salat dan mengaku tidak
pacaran. Tapi mengutip kata Titew, “Tuhan itu Maha Adil kok.” Deraz seorang
yang sungguh-sungguh, tema dari keseluruhan prokernya adalah meningkatkan
kereligiusan siswa SMANSON. Tanya Dean berapa puluh senti panjang deretan
buku agama di rak milik Deraz di rumah. Deraz tidak menyia-nyiakan kedekatan
dengan guru pembina yang dekat dengan guru agama yang dekat dengan wakil
kepala sekolah urusan… Demi apa… absensi mentoring diperhitungkan di rapor
dan sebulan sekali siswa harus meresensi setidaknya satu buku agama—bukan
proker Deraz tapi posisi Deraz di OSIS memungkinkan usulan tersebut sampai
pada pemutus kebijakan di sekolah. Mitratama yang keduniawi-duniawian pun kena
getah. “Duh kultum apa ya besok Jumatan?” Proker Deraz toh kultum bergiliran
antara perwakilan guru, karyawan, kelas, ekskul, dan tentu saja OSIS saat Jumatan
di masjid SMANSON.
Sementara
Alf galau memikirkan nilai-nilai islami dari berbagai produk Jepang yang biasa
ia konsumsi, Niken dan Soraya berdesas-desus. “Denger-denger katanya mau ada
peraturan, cewek yang muslim tiap Jumat harus jilbaban!”
“Padahal
saya tuh pinginnya Deraz fokus aja mantau anak-anak yang ikut aliran sesat,”
keluh Alf yang fanatik dengan manga “20th Century Boys”.
Para
pengurus OSIS sebetulnya bisa bekerja sama dengan geng Rieka di LEMPERs dalam
menyusun ensiklopedia tentang Deraz. Mereka mengerti benar bagaimana
kinerja cowok itu dalam organisasi. Alf tercenung ketika Niken dan Soraya
mengungkapkan bagaimana mereka melihat sang mitratama dibayang-bayangi sosok
kabid I.
“Kamu
ngerasa enggak sih tiap rapat dia tuh ngarahin keputusan kamu?”
“Menurut
saya dia demokratis-demokratis aja tuh,” suara Alf.
“Iya
sih, dia masih dengerin pendapat orang-orang, tapi pendapat orang lain tuh dia
pake buat nunjukin kalau pendapatnya dia yang paling bener.”
“Kenapa
sih enggak dia aja yang mitratama?”
“Dia
kan emang enggak mau jadi calon,” sahut Alf.
“Terus
inget enggak yang jadwal tanding PORSON[1] kemarin itu? Yang si Jati lupa masukin final
pingpong atau apa gitu pas hari ke berapa, sama dia dirombak lagi dong semua,
dibikin lagi dari awal… sampai si Jati ah ya udahlah biar Deraz aja kerjain
semua, kita mah terima jadi.”
“Yang
pas baksos banjir itu juga, yang kata dia makanan harus dipisah sama sabun
macem-macem gitu padahal kita kardus enggak cukup tea. Yang kita disuruh nunggu sampai dia dapet kardus lain gitu.
Sampai ketok-ketok rumah Pak Hayat segala… itu loh, penjaga sekolah kita tea…”
Rieka
sama diam dengan Alf sementara Niken dan Soraya berbalas ocehan mengenai
betapa Deraz dominan dan perfeksionis.
Sampai
di sekre OSIS suasana tegang menguar! Di sisi ruangan tiga cewek dan satu
cowok berkerumun, salah satu yang cewek tersedu-sedu. Kedua belah tangannya
menangkup muka.
“Tenang…
Tenang… Bazaar udah lewat…” ucap Alf begitu kakinya menginjak ubin sekre. Sudah
cukup banjir air mata pada hari-hari menjelang Bazaar, ternyata masih ada yang
tersisa! Ia berjongkok di dekat mereka. “Kenapa sih?”
“…biasa…
Mr. Perfectionist…” jawab Jati. Niken
dan Soraya bertukar pandang. Apa kita bilang? “Kemarin tuh si Deraz kan minta
Friska benerin surat. Terus Friskanya kelupaan atau apa gitu…”
“…udah…
saya udah benerin suratnya…” Friska memperlihatkan wajahnya yang merah dan basah.
“…tapi ya kan—sumpah—gue lupa…”
“Jadi
tadi tuh si Deraz ngedatengin Friska, pas kamu masih latihan di stadion ya,
Fris?” ucap Maya.
“Bukannya
tadi pas lagi rapat si Deraz balik dulu ke sini, terus si Friskanya udah ada
di sini?” tukas Jati. “Terus nanya-nanya… apaan tadi teh, Fris?”
Isakan
Friska menghebat. Tak bisa menjawab.
Alf
bersedekap dalam kebingungan walau kurang terekspresikan. “Jadi intinya si
Deraz bikin Friska nangis.”
“Intinya
gitu,” tegas Jati.
“Ini
kasus ke berapa di tahun ini?”
Dijawab
Jati dengan decakan dan gelengan.
“Dan
sekarang Deraz di…?”
“Lagi
rapat OH sama anak-anak MPK.”
“Sama
siapa?”
“Ha—harusnya
sam—sama… gue…” sengguk Friska.
“Tapi
liat sendiri lah si Friska kayak gini…” kata Jati.
“Gue
tahu gue salah… tapi… tapi… heu… heu…” Friska mencoba lagi untuk bicara.
Nuri
akhirnya nimbrung dengan volume nyaris menyerupai bisikan. Yang lain
mendekatkan kepala. “Jadi tadi tuh si Deraz bilang gini sama Friska. ‘Saya
tahu kamu juga sibuk di TERSONO, tapi bukan berarti kamu bisa lalai sama
tanggung jawab kamu di OSIS.’ Terus apa lagi, Fris?”
“Si
Deraz beneran pake kata ‘lalai’?” Niken mengernyit.
“…’lalai’
itu bahasa Indonesia?”
“Alf,
kamu kebanyakan dengerin lagu-lagu Jepang.”
“Saya
tahu kok, ‘lalai areuy mapay areuy[2]’ kan?”
“Enggak
lucu, Alf,” kata Jati.
Dengan
cepat Alf melupakan itu. “Rika, kamu gantiin Friska lah. Kamu kan
sekum—sekretaris umum.”
“Sekretaris
umum itu tugasnya ngerjain yang umum-umum. Umum berarti mencakup keseluruhan…”
imbuh Jati.
“Iyah…
saya juga tahu!” Rieka sudah mencari-cari buku folio di rak.
“Di
X-5, Ri! X-5!”
Rieka
pun menenteng-nenteng buku folio di sepanjang rute sekre OSIS - X-5.
Terngiang-ngiang dalam kepala suara Deraz… “Saya tahu kamu sibuk pacaran sama
Dean, tapi bukan berarti kamu bisa lalai sama tanggung jawab kamu di OSIS.”
Terasa nyata sekali dalam pendengaran hingga Rieka merinding. Tidak
terhitung (karena memang tidak sampai dihitung) berapa kali Rieka menitipkan
pekerjaannya pada sekretaris I atau sekretaris II atau staf yang lain atau
sekretaris di kepanitiaan sekadar agar bisa mencoba kafe baru bersama Dean. O
Deraz. Pesonamu membuat setiap teguran darimu terasa menyakitkan. Barangkali
Rieka harus membuat supporting group
untuk para cewek yang air matanya pernah dikuras Deraz. Dengan bangga Rieka
sebagai founder mengatakan, “Saya
yang pertama!” di Indonesia, barangkali, entahlah. Cengkeraman Rieka pada buku
folio mengeras. Bagaimana sekiranya mood
Deraz memang belum baik, lalu Rieka ikut kena semprot. Berpengalaman tidak
mesti membuat seseorang lebih siap dalam menghadapi kenyataan, kan.
Bagaimanapun Rieka akhirnya memasuki ruangan itu, dan mendapatkan bangku yang
jauh dari Deraz. Sepanjang rapat ia hanya melihat bagian belakang kepala
Deraz bahkan. Nasib sial. Selepas rapat mereka sempat jalan beriringan menuju
sekre OSIS. Bagaimana kalau Deraz mendadak ingat akan setiap kemangkiran yang
Rieka lakukan… yah… kalau selama ini Deraz cukup perhatian… karena entah
bagaimana dalam takdir tersurat agar mereka jarang berurusan langsung. Deraz
yang ngeh tersenyum pada Rieka. Oh. Nasib beruntung. Tidak terasa sedikitpun
hawa mencekam dari Deraz. Deraz menyerahkan notula rapat yang ia tulis
sendiri. Setiap sekretaris tinggal ongkang-ongkang kaki apabila memiliki bos
seperti Deraz.
Alf
si penjaga sekre menyambut kedatangan Rieka dan Deraz, lalu mengajak mereka
menyusul teman-teman di Kabita.
Rombongan
yang sama, Rieka mendapati Jati, Nuri, Maya, Friska, Niken, dan Soraya telah
mengisi salah satu bangku di Kabita.
Deraz
duduk di samping Friska bahkan.
Sejurus
kemudian keduanya telah bertukar tawa kecil.
“Itu
yang gue seneng dari Deraz,” Rieka mendengar Niken berkata di sampingnya. “Dia
tuh profesional. Masalah di organisasi enggak dibawa-bawa jadi masalah
pribadi.”
Rieka
tersenyum hingga di malam saat ia bermimpi. Ia dan Deraz duduk di bangku
keramik di tepi salah satu lorong di sekolah, di mana biasanya Dean yang
menemani. Lorong itu sunyi namun terang karena tampak siang. Terasa kecupan di
pipi. Wajah Deraz menjauh dari wajahnya. Lihatlah sorot matanya yang lembut
namun tajam. Tidak tersirat sedikitpun kepolosan, ia cowok yang tahu pasti
setiap hal yang ia lakukan. Jangan bilang Dean ya, katanya. Senyumnya
melumerkan. Ih… Deraz na-kal!—naa-kal! Rieka terbangun dalam hangat, dengan
senyum.
.
Ipong,
yang kini lebih dikenal sebagai Jaka, adalah manusia yang membuktikan
kebenaran kitab suci. Takdir merupakan buah dari nasib, sedang nasib diubah
oleh manusia itu sendiri. Ipong ubah nasib Rieka dengan memanfaatkan kedekatan
dirinya dengan Deraz dan situasi yang dimungkinkan oleh kebersamaan mereka
bertiga di OSIS.
Tiap
kali Deraz menghampiri Ipong, Ipong memberi respons yang ia pikir dapat
mengubah nasib.
“Ipong—“
“Ada
di Rieka.”
“Pong—“
“Coba
tanya Rieka.”
“Ip—“
“Rieka
kayaknya lebih tahu deh.”
“Jaka…”
“Bareng
sama Rieka aja atuh? Kamu jangan
ikut-ikutan manggil saya Jaka, Raz.”
Sampai
Deraz latah memanggil Rieka dengan Ri-e-ka, walau tidak serta merta membuat Rieka
girang.
Rieka
tahu setiap Deraz bilang, “Ri-eka, kata Ipong…” peringatan kepada Ipong harus
diberikan. Tingkah Ipong tidak dimulai sejak belakangan. Kembali mengenang
pesta ulang tahun Rieka yang ke-16. Demi apa Ipong menawarkan band-nya untuk tampil di acara Rieka, tentu karena Deraz adalah salah satu
personilnya. Demi apa Ipong menyarankan Rieka untuk mengundang Dean juga, tentu untuk memotivasi Deraz agar
menghadiri acara tersebut. Demi apa Ipong sesumbar bahwa Deraz bakal
membawakan lagu berlirik romantis pada malam itu, walau akhirnya kecele, tentu untuk membangkitkan harapan
Rieka pada Deraz.
“Mendua aku tak mampu…” nyanyi Ipong pada
suatu jam istirahat di Kabita. Sebagai Kabid VIII yang eksis selalu di KOMBAS
Ipong bisa tampil di gig kapan saja,
menunjuk siapa saja untuk mengiringinya. “…mengikat
cinta bersama denganmu…”
Rieka
tahu pasti itu suara Ipong. Dean tidak perlu mengingatkan, dengan riang pula,
“Eh itu Ipong yang nyanyi!”
“Maaf jika kau terluka… Saat aku memilih dirinya…[3]”
“Ayan…
kita ke depan perpus tea yuk…”
“Bentar
ya habis Ipong.” Oh… Rieka khawatir Dean telah mengukuhkan diri sebagai penggemar
Ipong, sebentar lagi bikin tandingan DFC, yaitu IFC, Ipong Fans Club! Demi
apa…!
“Kusesali semua salahku… yang tak pernah meninggalkan
dia…”
Tapi
Ipong tidak henti menyanyi. Ia benar-benar berkuasa. Ia mampu untuk memonopoli
selasar satu-jam-istirahat-penuh hanya untuk dirinya. Tahu benar ia, Rieka
dan Dean gemar menghabiskan jam istirahat di Kabita.
“AKU… DIRIMU… DIRINYA…[4]”
“Kalau
dengerin Ipong nyanyi jadi pingin belajar nyanyi,” kata Dean, sedang Rieka
malah ingin mengubur diri. Setiap batin yang dilantunkan Ipong menusuki lubang
telinganya hingga nyeri tak terperi.
“I just have to let you know… maybe there’s a
place for you and me… yeah…! I just have to let you know… that is you I’m
thinking of…[5]” dendang Ipong bagai kesetanan.
Dean
menoleh pada Rieka. “Kamu suka lagu ini kan, Ka?”
Lagu
ini yang seharusnya Deraz bawakan untuk Rieka di malam itu. Lagu ini yang
Rieka ingin dengar dari Deraz di malam itu. Lagu ini yang... malah Dean yang
mainkan di malam itu.
Jeda.
“Spesial buat seorang cewek di XI IPA 5.” Seru-teriak-pekik-jerit para penonton
yang terkecoh. Ipong punya someone
special!
Agaknya
Dean sudah tidak mengindahkan Ipong lagi. Ia terus memandangi Rieka.
“Everytime I think of you, I get a shot right
through, into a bolt of blue, it’s no problem of mine, but it’s a problem I
find, living the life that I can’t leave behind.”
“…mau
pindah?” suara Dean di tengah dengungan para pengunjung Kabita.
“There’s no sense in telling me, the wisdom
of a fool won’t set you free, but that’s the way that it goes, and it’s what
nobody knows, and every day my confusion grows…[6]”
Rieka
mengangguk.
Konfrontasi
dengan Ipong. Siang ini juga.
Dalam
perjalanan menuju ruangan kelas yang akan digunakan untuk rapat OH SMANSON[7], Rieka menarik tangan Ipong ke pelipir… tarik lagi
hingga terhalang tiang… semoga tidak akan terlalu menarik perhatian. Tubuh
Ipong tidak melampaui Rieka, tatapannya seperti bocah yang menantang. Anak bandel!
BANDEL! MAMA AKAN HUKUM KAMU SEKARANG!
“Elo
tahu gue juga bisa sentimen, Pong.”
“Oh.
Yeah. Sentimen, sensian… Enggak dilirik Deraz, galau…”
“Sekarang
gue sentimen sama setiap yang elo lakuin ke gue.”
Ipong
bungkam.
“Gue
enggak tahu ya, maksud elo sebenernya apa, Pong… yang gue tahu elo enggak
seneng…” Rieka tidak sabar. Para peserta rapat juga tidak sabar. Sekum dan
kabid VIII kok malah di pojokan. Sudahlah ayo rapat kita mulai. Pintu kelas
ditutup. “Elo pikir gue enggak tahu jaga perasaan Dean apa? Sampai kapanpun
Deraz enggak bakal pernah ada rasa sama gue! Kenapa sih elo enggak biarin aja
gue ngelupain Deraz?” tercurah dari Rieka dalam satu tarikan napas.
“Ya
udah kalo elo maunya gitu mah,” sahut Ipong dingin. Rieka menyusulnya berjalan
ke ruang rapat.
Sial!
Cuman tersisa kursi di samping Deraz! Jangan-jangan Ipong telah berkonspirasi
dengan semesta!
Rieka
membentangkan buku folio. Secarik kertas mampir.
“Tinggal
diterusin.”
Uh!
Mr. Perfect yang kelewat perfect—perfectionist!
Tiap
kali melihat Ipong, sengaja maupun tidak sengaja, dalam prasangka Rieka cowok
itu pasti puas dengan keadaan Rieka kini. Duduk bersanding Deraz… rasakan!
rasakan! Bagaimana kamu bisa menghindar dari jerat, Rieka, Ipong dengan sinismenya.
Rieka menyanggah. Maaf-maaf saja ya… Perasaan Rieka pada Deraz toh sudah dinetral-netralkan.
Rieka punya Dean, tidak butuh lagi Deraz. Tuh. Sampai tidak terperhatikan tadi
Ipong menyampaikan apa… Segala teknik menyanyi boleh piawai, tapi dalam
bicara Ipong tidak kenal tempo. Anak itu harus diberitahu. Rieka mengangkat tangan.
“Maaf, yang tadi kecepetan ya… bisa diulangin lagi enggak?” Rieka menurunkan
tangan lagi, siap mencatat apa yang akan Kabid VIII ulangi.
Kabid
VIII bergeming.
“…Pong…
gimana? Yang tadi?” pancing Moderator.
Jemari
Ipong menyisir jambul ke belakang. Pandangannya pada Moderator. “…enggak
penting, Son, enggak usah dicatet… langsung aja ke masalah yang IPA 9 tadi…”
Demi
apa, Ipong…?! Biasanya kamu yang paling kukuh mempertahankan argumen!
“…tadi
Ipong ngomongin soal colokan yang di IPA 7 sama IPA 6. Mereka butuh listrik
banyak tapi dayanya enggak kuat…” bisik Deraz.
“Oh…
iya…”
Ipong
melihat ke arah Rieka. Matanya, mulutnya, bahkan pucuk hidungnya… membuat
ujung pulpen Rieka menggores permukaan kertas semakin dalam.
Lepas
dari rapat. Rieka pasrah. Jika ia harus menjalani sisa semester ini bersama
Deraz… oh ia baru ingat kalau Deraz kemungkinan akan berangkat ke negeri
antah-berantah semester depan… apakah hasil seleksi AFS telah memutuskan…
Rieka akan pastikan. Tanya Dean, tanya Dean, tanya Dean… Sekre OSIS lalu ke
manapun Dean berada, euh!, sore ini Dean les piano! Melihat Ipong, Rieka semakin
geram. Ia ingin mengacak-acak muka bocah culas itu!
Akhirnya
Ipong bebas dari interaksi dengan yang lain. Rieka dekati. “Pong, elo tuh bisa
enggak sih enggak bawa-bawa masalah pribadi ke rapat?” suara Rieka cukup pelan
untuk tidak terdengar siapapun di sekitar mereka, kecuali kalau memang sengaja
dikuping. Ipong berlagak tidak ngeh. “Elo yang profesional gitu bisa enggak
sih, kayak Der--“ Rieka langsung mengatup mulut.
“Kayak
siapa?”
“Yang
profesional gitu loh. OSIS-OSIS! Pribadi-pribadi!”
“Kayak
siapa?” ulang Ipong. Penekanan pada tiap suku kata.
“…kayak
Deraz,” Rieka pun bilang. Muka Ipong ia tantang.
“Elo
berani enggak bilang gitu sama Dean?”
Rieka
menoleh.
Ipong
mengulang lagi, “Elo berani enggak bilang gitu,” dengan penekanan pada tiap
suku kata, “sama si Deraz KW 9?”
Rieka
ingin berhenti melangkah, tapi itu akan tampak terlalu dramatis. Ia berjalan
terus. Napasnya bergemuruh. Sebal kenapa Ipong mengiringinya. Semakin dekat
malah. Karena Ipong akan lakukan apa yang ia ingin lakukan. Ia tidak menyembunyikan.
“Iya elo emang kembang sekolah,” suara Ipong rendah. Tanpa sadar mereka menepi
ke sisi yang tidak sejalan dengan arah yang lain. “Banyak cowok yang ngeceng
elo, elo populer, tapi bukan berarti elo mesti sama Deraz, Ka. Gue kasih tahu
elo sekali lagi. Elo tuh enggak ada di dunianya dia, enggak tahu yang gitu-gituan
dia tuh… Enggak perlu lah elo sampai nyempil-nyempilin diri di deket Dean
segala.”
Ipong!
Ipong jahat!
Rieka
betulan berhenti melangkah. “…elo juga diem-diem suka sama Deraz kan?!”
Ipong
terperangah.
“Elo
selalu bangga-banggain dia, ngomongin dia seolah-olah elo yang paling ngerti
tentang dia…” luapan yang tidak tertahankan, “…elo enggak pernah cerita soal
cewek sama gue! Apaan elo, Pong?!” jerit Rieka dan ia rasakan bagaimana
tatapan orang-orang menemui punggungnya.
Perubahan
di wajah Ipong berhenti pada satu ekspresi. Sekali ia berpaling dan seterusnya
ia tidak berpaling lagi. Sosoknya menjauh.
.
Suasana
sekre OSIS menjadi tidak tenteram ketika dua orang itu berada di ruangan dalam
waktu bersamaan. Biasanya mereka dekat. Konon akrab sejak SMP. Yang satu
mencurahkan isi hati, yang lain memberi solusi. Yang satu tersenyum anteng,
yang lain terpingkal-pingkal. Belakangan satu sama lain berjarak. Tidak saling
melihat. Menghindar dari urusan yang memungkinkan interaksi. Mitratama pun
bertindak. Apa boleh buat. Cuman ia yang berada di ruangan sementara dua
orang itu pun ada. Sebagai penunggu sekre paling setia ia harus menciptakan
iklim yang senyaman mungkin—setidaknya kondusif untuk menonton dorama di PC
sembari tiduran di sofa tanpa digerayangi hawa permusuhan.
Dekati
dulu yang sekiranya paling kompromistis—tidak temperamen!
“…maaf
ya Alf… tapi kayaknya kamu enggak perlu tahu deh…” suara Rieka. Ia sedang membereskan
isi rak sekaligus menginventarisasinya. Agenda bulanan paling menjemukan, Alf
tahu walau biasanya hanya menyaksikan.
“...gimana ya, Ri. Kerasa aja kamu sama dia
ada sesuatu, sampai di rapat-rapat juga gitu. Kita kan organisasi… ibarat kata…
organ… organ kan terdiri dari jaringan, ya, Ri. Jaringan-jaringan, saling
berhubungan, membentuk kesatuan…” Alf menjelma guru Biologi, “…kalau ada satu
aja jaringan yang putus, organ itu enggak bakal berfungsi dengan baik…” Alf
lebih merasa seperti nelayan. Memperbaiki jaring yang bolong adalah keharusan
agar tidak banyak ikan yang lolos. “Seenggaknya kalian kayak Deraz lah.
Nangisin cewek, bikin galau kita-kita, tapi masalahnya ya udah selesai saat
itu juga, habis itu kan disenyumin lagi.”
Rieka
mendesah keras-keras. Tidak mengerti kenapa ada saja orang yang menginginkan
orang lain agar seperti Deraz. “Kamu bisa ngasih tahu hal yang sama ke…”
Kepala Rieka menuding ke belakang punggung, tanpa menoleh sepenuhnya. “…dia
enggak?”
Alf
menurut. Walau untuk yang satu ini akan membutuhkan waktu lama. Sampai Rieka
mencukupkan tugasnya untuk hari itu, lalu pamit pada Alf, Alf dan Ipong
masih berdebat.
Sampai
Alf mendatangi Rieka lagi esoknya. Rieka tengah melanjutkan inventarisasi,
kali ini bersama bala bantuan. “Kalau ada perlu apa-apa sama si Jaka, ngomong
aja. …saya jadi moderator eh mediator kalian.”
Bukan
ini yang Rieka harapkan tapi sudahlah.
.
Alf
memutuskan untuk menyelenggarakan DADANG di Kabita, barangkali bisa mencairkan
mood para anak buahnya setelah
proker-proker yang menghimpit. Toh dengan segera akan datang pula masa di mana
proker-proker mendera. Para anak buahnya sudah mulai sakit-sakitan, kiranya kelelahan.
Alf sudah menerawang risiko apabila DADANG diadakan di tempat terbuka, jadi ia
biarkan seorang jelata mengisi bangku yang sedianya akan menjadi properti
rapat. Setidaknya kehadiran jelata tersebut adalah untuk membersamai seorang
pejabat OSIS. Baru mereka berdua di bangku tersebut, sementara para pejabat
OSIS yang lain masih berbaur dengan masyarakat jelata.
Dean
akan bersua DADANG yang bukan manusia, semoga ia tidak bakal pernah komplain
lagi.
Dean
menuangkan kecap ke gelas berisi cairan jeruk nipis, bagai memberi susu
kental manis cokelat ke jus alpukat. “…biar sembuh batuknya. Biar mantap top
creng!” suara Dean. Rieka tergelak, sebelum batuk-batuk lagi, lalu menyeruput
isi gelas yang sudah dibumbui itu.
“…errgh…”
Pasangan
itu tertawa-tawa.
“…gantian
aku,” kata Rieka. Ia menantang Dean untuk mengirim sms cinta pada salah satu
nama di kontak ponsel, seseorang yang tidak begitu Dean kenal.
“…entar
cemburu…” ledek Dean.
“Cinta
kan universal,” jawab Rieka, lalu menyesap lagi air jeruk nipis saus kecap.
Dean
memencet-mencet tuts ponsel, lalu memperlihatkan hasilnya pada Rieka. Layar
Dean bertuliskan, “I love you, deeeaar…”
“Kasih
emoticon yang kecup-kecup itu loh,
Yan…” Rieka mendorong balik ponsel tersebut. Dean yang penurut. “Kirim ke
siapa?” tanya Rieka lagi.
“Ng…
Zahra, temen sekelas aku pas kelas X tea.”
Zahra
melulu!
“Dia
pasti seneng dapat sms kamu.” Entah kenapa Rieka merasa berat. Belakangan ini
memang hatinya kacau, dan penyebabnya lebih dari sekadar balon hijau yang
meletus.
“Enggak…
puguh dia mah kayaknya kumaha… kitu sama saya teh.”
“Masak
sih ada yang enggak suka sama kamu…” Rieka tersenyum. Gatal tetap menggaruk-garuk
tenggorokan, walau ia ketagihan minuman racikan Dean.
“…Rika…
kutunggu jandamu…!” Bukan siapa-siapa. Sekadar peramai-penggembira yang biasa
mengisi hari-hari Rieka dan Dean di Kabita.
Para
pejabat OSIS yang lain mulai berdatangan dengan kudapan masing-masing. Keberadaan
Dean membuat mereka bingung, namun terpupus dengan permakluman akan Rieka,
dan begitu Deraz merangkul si kembaran, bagi mereka bukan lagi suatu
permasalahan.
“…mulai…
mulai…”
“…kurang
siapa lagi nih?”
“Jaka
sama Gilang!”
“Saya
cari dulu deh,” kata Deraz yang mumpung masih berdiri. Kepergiannya diikuti
Dean, yang ternyata hanya pindah ke pojok. Sejoli saling melambai.
“…lengkap
kan? Tinggal tiga itu aja?” ujar Alf.
Hiruk-pikuk
di Kabita pun mulai pudar karena siang telah panjang, sebagian siswa SMANSON
dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Senyap menyongsong, sesekali
pecah oleh anak-anak yang mabal ekskul atau malas pulang ke rumah.
Mitratama
membuka rapat, Sekum membuka buku folio, Bendum membuka anggaran, Kabid III
membuka ponsel, Kabid VI membuka bungkus snack,
pentolan SISKAMSON membuka pertunjukan. SISKAMSON adalah singkatan dari
“Siswa Keamanan SMANSON”, yang secara resmi sebetulnya disingkat SAMSON.
Tapi citra ekskul tersebut membuat kebanyakan siswa lebih menyukai singkatan
yang plesetan alih-alih yang resmi. Bagaimanapun anak-anak SAMSON aka SISKAMSON dikenal bernyali tinggi
dalam memberantas apapun yang tidak sreg di hati.
“Tung—tunggu,
Kang! Masalahnya apa?!” suara Dean bagai Nobita yang tengah dicekal Giant. Tapi
memang itulah yang terjadi padanya, oleh Haqi. Beberapa orang teman Haqi
berkerumun di dekat mereka, tapi tidak melakukan apapun selain mengamati.
“Enggak
usah tanya-tanya apa masalahnya! Pokoknya gue enggak suka sama elo! Gue sebel
tiap kali liat muka elo! Enggak usah sok jadi anak baik-baik!” Haqi
menyemburkan apapun yang melintas dalam kepala. Suaranya lebih menyerupai
desis sebetulnya, meski intonasinya mengancam, tapi bagaimanapun
gerak-geriknya memancing perhatian. Yang tersisa di Kabita pun memerhatikan,
bergeming di bangku atau berdiri mengawasi, Rieka bahkan angkat kaki!
“Cowok
kayak gini, Ka! Cowok kayak gini?!” Garang sekaligus memelas—hanya Haqi yang
bisa!
“Haqi!
Udah!” Rieka frustasi.
Pertunjukan
yang sangat mengusir kantuk.
Tahu-tahu
tubuh Haqi terdorong. Bukan Rieka. Tidak mungkin Dean. Pasti Deraz.
“Ngapain
elo ikut campur?!” Tatapan mantan bos SAMSON alias SISKAMSON menyolot. Beberapa
temannya mulai memegangi, tapi Haqi menepis.
“Enggak
usah Akang bikin masalah lagi—“
“Apa
kamu?! Mau sok jadi pahlawan, hah?”
“Kalau
Akang punya masalah sama saudara saya, kita selesaikan sekarang juga!” suara
Deraz tidak kalah lantang.
Dalam
kepala mereka yang tahu kalau Haqi memiliki sabuk hitam karate dan Deraz
pernah berlatih kickboxing dua kali
seminggu di gelanggang… pergumulan akan terjadi. Jantung mereka berdebar menunggu
aksi. Hantaman demi hantaman. Bangku-bangku berpencaran ditimpa tubuh yang terpelanting.
Tubrukan-tubrukan di dinding Kabita. Lebam membayang. Darah memancar.
“Enggak
perlu!” Haqi menyentakkan tangan-tangan yang menempel di lengan.
“…yah!”
Penonton menahan kecewa.
Kepergian
Haqi cum suis menyisakan ketegangan
yang samar-samar berbuah kelegaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar