Minggu, 16 Desember 2012

VI. Interupsi!

Tanya Mitratama kenapa Deraz ditunjuk men­jadi kabid I, padahal Deraz jarang terlibat de­ngan DKM. Sengaja, katanya, supaya aura SMAN­SON tidak alim amat. Kabid I harus seorang yang ra­da hedonis, walaupun Deraz rajin salat dan meng­aku tidak pacaran. Tapi mengutip kata Titew, “Tu­han itu Maha Adil kok.” Deraz seorang yang sung­guh-sungguh, tema dari keseluruhan pro­ker­nya adalah meningkatkan kereligiusan siswa SMAN­SON. Tanya Dean berapa puluh senti pan­jang deretan buku agama di rak milik Deraz di ru­mah. Deraz tidak menyia-nyiakan kedekatan de­ngan guru pembina yang dekat dengan guru agama yang dekat dengan wakil kepala sekolah urusan… De­mi apa… absensi mentoring diperhitungkan di ra­por dan sebulan sekali siswa harus meresensi se­ti­daknya satu buku agama—bukan proker Deraz ta­pi posisi Deraz di OSIS memungkinkan usulan ter­sebut sampai pada pemutus kebijakan di sekolah. Mit­ratama yang keduniawi-duniawian pun kena ge­tah. “Duh kultum apa ya besok Jumatan?” Proker De­raz toh kultum bergiliran antara perwakilan gu­ru, karyawan, kelas, ekskul, dan tentu saja OSIS sa­at Jumatan di masjid SMANSON.

Sementara Alf galau memikirkan nilai-nilai is­lami dari berbagai produk Jepang yang biasa ia kon­sumsi, Niken dan Soraya berdesas-desus. “De­nger-denger katanya mau ada peraturan, cewek yang muslim tiap Jumat harus jilbaban!”

“Padahal saya tuh pinginnya Deraz fokus aja man­tau anak-anak yang ikut aliran sesat,” keluh Alf yang fanatik dengan manga20th Century Boys”.

Para pengurus OSIS sebetulnya bisa bekerja sa­ma dengan geng Rieka di LEMPERs dalam me­nyu­sun ensiklopedia tentang Deraz. Mereka me­nger­ti benar bagaimana kinerja cowok itu dalam or­ga­nisasi. Alf tercenung ketika Niken dan Soraya meng­ungkapkan bagaimana mereka melihat sang mit­ratama dibayang-bayangi sosok kabid I.

“Kamu ngerasa enggak sih tiap rapat dia tuh nga­rahin keputusan kamu?”

“Menurut saya dia demokratis-demokratis aja tuh,” suara Alf.

“Iya sih, dia masih dengerin pendapat orang-orang, tapi pendapat orang lain tuh dia pake buat nun­jukin kalau pendapatnya dia yang paling be­ner.”

“Kenapa sih enggak dia aja yang mit­ra­ta­ma?”

“Dia kan emang enggak mau jadi calon,” sa­hut Alf.

“Terus inget enggak yang jadwal tanding POR­SON[1] kemarin itu? Yang si Jati lupa masukin fi­nal pingpong atau apa gitu pas hari ke berapa, sa­ma dia dirombak lagi dong semua, dibikin lagi dari awal… sampai si Jati ah ya udahlah biar Deraz aja ker­jain semua, kita mah terima jadi.”

“Yang pas baksos banjir itu juga, yang kata dia makanan harus dipisah sama sabun macem-ma­cem gitu padahal kita kardus enggak cukup tea. Yang kita disuruh nunggu sampai dia dapet kardus la­in gitu. Sampai ketok-ketok rumah Pak Hayat se­ga­la… itu loh, penjaga sekolah kita tea…

Rieka sama diam dengan Alf sementara Ni­ken dan Soraya berbalas ocehan mengenai betapa De­raz dominan dan perfeksionis.

Sampai di sekre OSIS suasana tegang meng­u­ar! Di sisi ruangan tiga cewek dan satu cowok ber­ke­rumun, salah satu yang cewek tersedu-sedu. Ke­dua belah tangannya menangkup muka.

“Tenang… Tenang… Bazaar udah lewat…” ucap Alf begitu kakinya menginjak ubin sekre. Su­dah cukup banjir air mata pada hari-hari menjelang Ba­zaar, ternyata masih ada yang tersisa! Ia ber­jong­kok di dekat mereka. “Kenapa sih?”

“…biasa… Mr. Perfectionist…” jawab Jati. Ni­ken dan Soraya bertukar pandang. Apa kita bi­lang? “Kemarin tuh si Deraz kan minta Friska be­ner­in surat. Terus Friskanya kelupaan atau apa gi­tu…”

“…udah… saya udah benerin suratnya…” Fris­ka memperlihatkan wajahnya yang merah dan ba­sah. “…tapi ya kan—sumpah—gue lupa…”

“Jadi tadi tuh si Deraz ngedatengin Friska, pas kamu masih latihan di stadion ya, Fris?” ucap Ma­ya.

“Bukannya tadi pas lagi rapat si Deraz balik du­lu ke sini, terus si Friskanya udah ada di sini?” tu­kas Jati. “Terus nanya-nanya… apaan tadi teh, Fris?”

Isakan Friska menghebat. Tak bisa men­ja­wab.

Alf bersedekap dalam kebingungan walau ku­rang terekspresikan. “Jadi intinya si Deraz bikin Fris­ka nangis.”

“Intinya gitu,” tegas Jati.

“Ini kasus ke berapa di tahun ini?”

Dijawab Jati dengan decakan dan gelengan.

“Dan sekarang Deraz di…?”

“Lagi rapat OH sama anak-anak MPK.”

“Sama siapa?”

“Ha—harusnya sam—sama… gue…” sengguk Fris­ka.

“Tapi liat sendiri lah si Friska kayak gini…” ka­ta Jati.

“Gue tahu gue salah… tapi… tapi… heu… heu…” Friska mencoba lagi untuk bicara.

Nuri akhirnya nimbrung dengan volume nya­ris menyerupai bisikan. Yang lain mendekatkan ke­pala. “Jadi tadi tuh si Deraz bilang gini sama Fris­ka. ‘Saya tahu kamu juga sibuk di TERSONO, ta­pi bukan berarti kamu bisa lalai sama tanggung ja­wab kamu di OSIS.’ Terus apa lagi, Fris?”

“Si Deraz beneran pake kata ‘lalai’?” Niken me­ngernyit.

“…’lalai’ itu bahasa Indonesia?”  

“Alf, kamu kebanyakan dengerin lagu-lagu Je­pang.”

“Saya tahu kok, ‘lalai areuy mapay areuy[2]kan?”

“Enggak lucu, Alf,” kata Jati.

Dengan cepat Alf melupakan itu. “Rika, ka­mu gantiin Friska lah. Kamu kan sekum—sekretaris umum.”

“Sekretaris umum itu tugasnya ngerjain yang umum-umum. Umum berarti mencakup ke­se­lu­ruh­an…” imbuh Jati.

“Iyah… saya juga tahu!” Rieka sudah men­ca­ri-cari buku folio di rak.

“Di X-5, Ri! X-5!”

Rieka pun menenteng-nenteng buku folio di se­panjang rute sekre OSIS - X-5. Terngiang-ngiang da­lam kepala suara Deraz… “Saya tahu kamu sibuk pa­caran sama Dean, tapi bukan berarti kamu bisa la­lai sama tanggung jawab kamu di OSIS.” Terasa nya­ta sekali dalam pendengaran hingga Rieka me­rin­ding. Tidak terhitung (karena memang tidak sam­pai dihitung) berapa kali Rieka menitipkan pe­ker­jaannya pada sekretaris I atau sekretaris II atau staf yang lain atau sekretaris di kepanitiaan sekadar agar bisa mencoba kafe baru bersama Dean. O De­raz. Pesonamu membuat setiap teguran darimu te­ra­sa menyakitkan. Barangkali Rieka harus mem­bu­at supporting group untuk para cewek yang air ma­ta­nya pernah dikuras Deraz. Dengan bangga Rieka se­bagai founder mengatakan, “Saya yang pertama!” di Indonesia, barangkali, entahlah. Cengkeraman Ri­eka pada buku folio mengeras. Bagaimana se­ki­ra­nya mood Deraz memang belum baik, lalu Rieka ikut kena semprot. Berpengalaman tidak mesti mem­buat seseorang lebih siap dalam menghadapi ke­nyataan, kan. Bagaimanapun Rieka akhirnya me­ma­suki ruangan itu, dan mendapatkan bangku yang ja­uh dari Deraz. Sepanjang rapat ia hanya melihat ba­gian belakang kepala Deraz bahkan. Nasib sial. Se­lepas rapat mereka sempat jalan beriringan me­nu­ju sekre OSIS. Bagaimana kalau Deraz mendadak ingat akan setiap kemangkiran yang Rieka la­ku­kan… yah… kalau selama ini Deraz cukup per­ha­ti­an… karena entah bagaimana dalam takdir tersurat agar mereka jarang berurusan langsung. Deraz yang ngeh tersenyum pada Rieka. Oh. Nasib be­run­tung. Tidak terasa sedikitpun hawa mencekam dari Deraz. Deraz menyerahkan notula rapat yang ia tu­lis sendiri. Setiap sekretaris tinggal ongkang-ong­kang kaki apabila memiliki bos seperti Deraz.

Alf si penjaga sekre menyambut kedatangan Ri­eka dan Deraz, lalu mengajak mereka menyusul te­man-teman di Kabita.

Rombongan yang sama, Rieka mendapati Ja­ti, Nuri, Maya, Friska, Niken, dan Soraya telah meng­isi salah satu bangku di Kabita.

Deraz duduk di samping Friska bahkan.

Sejurus kemudian keduanya telah bertukar ta­wa kecil.

“Itu yang gue seneng dari Deraz,” Rieka men­dengar Niken berkata di sampingnya. “Dia tuh pro­fesional. Masalah di organisasi enggak dibawa-ba­wa jadi masalah pribadi.”

Rieka tersenyum hingga di malam saat ia ber­mimpi. Ia dan Deraz duduk di bangku keramik di tepi salah satu lorong di sekolah, di mana bi­a­sa­nya Dean yang menemani. Lorong itu sunyi namun te­rang karena tampak siang. Terasa kecupan di pi­pi. Wajah Deraz menjauh dari wajahnya. Lihatlah so­rot matanya yang lembut namun tajam. Tidak ter­sirat sedikitpun kepolosan, ia cowok yang tahu pas­ti setiap hal yang ia lakukan. Jangan bilang De­an ya, katanya. Senyumnya melumerkan. Ih… De­raz na-kal!—naa-kal! Rieka terbangun dalam ha­ngat, dengan senyum.

.

Ipong, yang kini lebih dikenal sebagai Jaka, ada­lah manusia yang membuktikan kebenaran ki­tab suci. Takdir merupakan buah dari nasib, sedang nasib diubah oleh manusia itu sendiri. Ipong ubah na­sib Rieka dengan memanfaatkan kedekatan di­ri­nya dengan Deraz dan situasi yang dimungkinkan oleh kebersamaan mereka bertiga di OSIS.

Tiap kali Deraz menghampiri Ipong, Ipong mem­beri respons yang ia pikir dapat mengubah na­sib.

“Ipong—“

“Ada di Rieka.”

“Pong—“

“Coba tanya Rieka.”

“Ip—“

“Rieka kayaknya lebih tahu deh.”           

“Jaka…”

“Bareng sama Rieka aja atuh? Kamu jangan ikut-ikutan manggil saya Jaka, Raz.”

Sampai Deraz latah memanggil Rieka de­ngan Ri-e-ka, walau tidak serta merta membuat Ri­eka girang.

Rieka tahu setiap Deraz bilang, “Ri-eka, kata Ipong…” peringatan kepada Ipong harus diberikan. Ting­kah Ipong tidak dimulai sejak belakangan. Kem­bali mengenang pesta ulang tahun Rieka yang ke-16. Demi apa Ipong menawarkan band-nya un­tuk tampil di acara Rieka, tentu karena Deraz ada­lah salah satu personilnya. Demi apa Ipong me­nya­rankan Rieka untuk mengundang Dean juga, tentu un­tuk memotivasi Deraz agar menghadiri acara ter­se­but. Demi apa Ipong sesumbar bahwa Deraz ba­kal membawakan lagu berlirik romantis pada ma­lam itu, walau akhirnya kecele, tentu untuk mem­bang­kitkan harapan Rieka pada Deraz.

Mendua aku tak mampu…” nyanyi Ipong pa­da suatu jam istirahat di Kabita. Sebagai Kabid VIII yang eksis selalu di KOMBAS Ipong bisa tam­pil di gig kapan saja, menunjuk siapa saja untuk meng­iringinya. “…mengikat cinta bersama de­ngan­mu…

Rieka tahu pasti itu suara Ipong. Dean tidak per­lu mengingatkan, dengan riang pula, “Eh itu Ipong yang nyanyi!”

Maaf jika kau terluka… Saat aku memilih di­rinya…[3]

“Ayan… kita ke depan perpus tea yuk…”

“Bentar ya habis Ipong.” Oh… Rieka kha­wa­tir Dean telah mengukuhkan diri sebagai peng­ge­mar Ipong, sebentar lagi bikin tandingan DFC, ya­i­tu IFC, Ipong Fans Club! Demi apa…!

Kusesali semua salahku… yang tak pernah me­ninggalkan dia…

Tapi Ipong tidak henti menyanyi. Ia benar-be­nar berkuasa. Ia mampu untuk memonopoli se­la­sar satu-jam-istirahat-penuh hanya untuk dirinya. Ta­hu benar ia, Rieka dan Dean gemar meng­ha­bis­kan jam istirahat di Kabita.

AKU… DIRIMU… DIRINYA…[4]

“Kalau dengerin Ipong nyanyi jadi pingin be­la­jar nyanyi,” kata Dean, sedang Rieka malah ingin me­ngubur diri. Setiap batin yang dilantunkan Ipong menusuki lubang telinganya hingga nyeri tak ter­peri.

I just have to let you know… maybe there’s a place for you and me… yeah…! I just have to let you know… that is you I’m thinking of…[5]” dendang Ipong bagai kesetanan.

Dean menoleh pada Rieka. “Kamu suka lagu ini kan, Ka?”

Lagu ini yang seharusnya Deraz bawakan un­tuk Rieka di malam itu. Lagu ini yang Rieka ingin dengar dari Deraz di malam itu. Lagu ini yang... malah Dean yang mainkan di malam itu.

Jeda. “Spesial buat seorang cewek di XI IPA 5.” Seru-teriak-pekik-jerit para penonton yang ter­ke­coh. Ipong punya someone special!

Agaknya Dean sudah tidak mengindahkan Ipong lagi. Ia terus memandangi Rieka.

Everytime I think of you, I get a shot right through, into a bolt of blue, it’s no problem of mine, but it’s a problem I find, living the life that I can’t leave behind.”

“…mau pindah?” suara Dean di tengah de­ngung­an para pengunjung Kabita.

There’s no sense in telling me, the wisdom of a fool won’t set you free, but that’s the way that it goes, and it’s what nobody knows, and every day my confusion grows…[6]

Rieka mengangguk.

Konfrontasi dengan Ipong. Siang ini juga.

Dalam perjalanan menuju ruangan kelas yang akan digunakan untuk rapat OH SMANSON[7], Ri­eka menarik tangan Ipong ke pelipir… tarik lagi hing­ga terhalang tiang… semoga tidak akan terlalu me­narik perhatian. Tubuh Ipong tidak melampaui Ri­eka, tatapannya seperti bocah yang menantang. Anak bandel! BANDEL! MAMA AKAN HUKUM KA­MU SEKARANG!

“Elo tahu gue juga bisa sentimen, Pong.”

“Oh. Yeah. Sentimen, sensian… Enggak di­li­rik Deraz, galau…”

“Sekarang gue sentimen sama setiap yang elo lakuin ke gue.”

Ipong bungkam.

“Gue enggak tahu ya, maksud elo sebenernya apa, Pong… yang gue tahu elo enggak seneng…” Ri­eka tidak sabar. Para peserta rapat juga tidak sabar. Se­kum dan kabid VIII kok malah di pojokan. Su­dah­lah ayo rapat kita mulai. Pintu kelas ditutup. “Elo pikir gue enggak tahu jaga perasaan Dean apa? Sam­pai kapanpun Deraz enggak bakal pernah ada ra­sa sama gue! Kenapa sih elo enggak biarin aja gue nge­lupain Deraz?” tercurah dari Rieka dalam satu tarikan napas.

“Ya udah kalo elo maunya gitu mah,” sahut Ipong dingin. Rieka menyusulnya berjalan ke ruang ra­pat.

Sial! Cuman tersisa kursi di samping Deraz! Ja­ngan-jangan Ipong telah berkonspirasi dengan se­mesta!

Rieka membentangkan buku folio. Secarik ker­tas mampir.

“Tinggal diterusin.”

Uh! Mr. Perfect yang kelewat perfect—perfectionist!

Tiap kali melihat Ipong, sengaja maupun ti­dak sengaja, dalam prasangka Rieka cowok itu pasti pu­as dengan keadaan Rieka kini. Duduk bersanding De­raz… rasakan! rasakan! Bagaimana kamu bisa meng­hindar dari jerat, Rieka, Ipong dengan si­nis­me­nya. Rieka menyanggah. Maaf-maaf saja ya… Pe­ra­saan Rieka pada Deraz toh sudah dinetral-net­ral­kan. Rieka punya Dean, tidak butuh lagi Deraz. Tuh. Sampai tidak terperhatikan tadi Ipong me­nyam­paikan apa… Segala teknik menyanyi boleh pi­a­wai, tapi dalam bicara Ipong tidak kenal tempo. Anak itu harus diberitahu. Rieka mengangkat ta­ngan. “Maaf, yang tadi kecepetan ya… bisa di­u­lang­in lagi enggak?” Rieka menurunkan tangan lagi, si­ap mencatat apa yang akan Kabid VIII ulangi.

Kabid VIII bergeming.

“…Pong… gimana? Yang tadi?” pancing Mo­de­rator.

Jemari Ipong menyisir jambul ke belakang. Pan­dangannya pada Moderator. “…enggak penting, Son, enggak usah dicatet… langsung aja ke masalah yang IPA 9 tadi…”

Demi apa, Ipong…?! Biasanya kamu yang pa­ling kukuh mempertahankan argumen!

“…tadi Ipong ngomongin soal colokan yang di IPA 7 sama IPA 6. Mereka butuh listrik banyak ta­pi dayanya enggak kuat…” bisik Deraz.

“Oh… iya…”

Ipong melihat ke arah Rieka. Matanya, mu­lut­nya, bahkan pucuk hidungnya… membuat ujung pul­pen Rieka menggores permukaan kertas se­ma­kin dalam.

Lepas dari rapat. Rieka pasrah. Jika ia harus men­jalani sisa semester ini bersama Deraz… oh ia ba­ru ingat kalau Deraz kemungkinan akan be­rang­kat ke negeri antah-berantah semester depan… apa­kah hasil seleksi AFS telah memutuskan… Rieka akan pastikan. Tanya Dean, tanya Dean, tanya De­an… Sekre OSIS lalu ke manapun Dean berada, euh!, sore ini Dean les piano! Melihat Ipong, Rieka se­makin geram. Ia ingin mengacak-acak muka bo­cah culas itu!

Akhirnya Ipong bebas dari interaksi dengan yang lain. Rieka dekati. “Pong, elo tuh bisa enggak sih enggak bawa-bawa masalah pribadi ke rapat?” suara Rieka cukup pelan untuk tidak terdengar si­a­pa­pun di sekitar mereka, kecuali kalau memang se­nga­ja dikuping. Ipong berlagak tidak ngeh. “Elo yang profesional gitu bisa enggak sih, kayak Der--“ Ri­eka langsung mengatup mulut.

“Kayak siapa?”

“Yang profesional gitu loh. OSIS-OSIS! Pri­ba­di-pribadi!”

“Kayak siapa?” ulang Ipong. Penekanan pada ti­ap suku kata.

“…kayak Deraz,” Rieka pun bilang. Muka Ipong ia tantang.

“Elo berani enggak bilang gitu sama Dean?”

Rieka menoleh.

Ipong mengulang lagi, “Elo berani enggak bi­lang gitu,” dengan penekanan pada tiap suku kata, “sa­ma si Deraz KW 9?”

Rieka ingin berhenti melangkah, tapi itu akan tampak terlalu dramatis. Ia berjalan terus. Na­pas­nya bergemuruh. Sebal kenapa Ipong meng­i­ringinya. Semakin dekat malah. Karena Ipong akan la­kukan apa yang ia ingin lakukan. Ia tidak me­nyem­bunyikan. “Iya elo emang kembang sekolah,” su­ara Ipong rendah. Tanpa sadar mereka menepi ke si­si yang tidak sejalan dengan arah yang lain. “Ba­nyak cowok yang ngeceng elo, elo populer, tapi bu­kan berarti elo mesti sama Deraz, Ka. Gue kasih ta­hu elo sekali lagi. Elo tuh enggak ada di dunianya dia, enggak tahu yang gitu-gituan dia tuh… Enggak per­lu lah elo sampai nyempil-nyempilin diri di de­ket Dean segala.”

Ipong! Ipong jahat!

Rieka betulan berhenti melangkah. “…elo ju­ga diem-diem suka sama Deraz kan?!”

Ipong terperangah.

“Elo selalu bangga-banggain dia, ngomongin dia seolah-olah elo yang paling ngerti tentang dia…” lu­apan yang tidak tertahankan, “…elo enggak per­nah cerita soal cewek sama gue! Apaan elo, Pong?!” je­rit Rieka dan ia rasakan bagaimana tatapan orang-orang menemui punggungnya.

Perubahan di wajah Ipong berhenti pada sa­tu ekspresi. Sekali ia berpaling dan seterusnya ia ti­dak berpaling lagi. Sosoknya menjauh.

.

Suasana sekre OSIS menjadi tidak tenteram ke­tika dua orang itu berada di ruangan dalam wak­tu bersamaan. Biasanya mereka dekat. Konon akrab se­jak SMP. Yang satu mencurahkan isi hati, yang la­in memberi solusi. Yang satu tersenyum anteng, yang lain terpingkal-pingkal. Belakangan satu sama la­in berjarak. Tidak saling melihat. Menghindar da­ri urusan yang memungkinkan interaksi. Mitratama pun bertindak. Apa boleh buat. Cuman ia yang ber­a­da di ruangan sementara dua orang itu pun ada. Se­bagai penunggu sekre paling setia ia harus men­cip­takan iklim yang senyaman mungkin—se­ti­dak­nya kondusif untuk menonton dorama di PC sem­ba­ri tiduran di sofa tanpa digerayangi hawa per­mu­suh­an.

Dekati dulu yang sekiranya paling kom­pro­mis­tis—tidak temperamen!

“…maaf ya Alf… tapi kayaknya kamu enggak per­lu tahu deh…” suara Rieka. Ia sedang mem­be­res­kan isi rak sekaligus menginventarisasinya. Agen­da bulanan paling menjemukan, Alf tahu wa­lau biasanya hanya menyaksikan.

 “...gimana ya, Ri. Kerasa aja kamu sama dia ada sesuatu, sampai di rapat-rapat juga gitu. Kita kan organisasi… ibarat kata… organ… organ kan ter­diri dari jaringan, ya, Ri. Jaringan-jaringan, sa­ling berhubungan, membentuk kesatuan…” Alf men­jelma guru Biologi, “…kalau ada satu aja ja­ring­an yang putus, organ itu enggak bakal berfungsi de­ngan baik…” Alf lebih merasa seperti nelayan. Mem­perbaiki jaring yang bolong adalah keharusan agar tidak banyak ikan yang lolos. “Seenggaknya ka­lian kayak Deraz lah. Nangisin cewek, bikin galau ki­ta-kita, tapi masalahnya ya udah selesai saat itu ju­ga, habis itu kan disenyumin lagi.”

Rieka mendesah keras-keras. Tidak mengerti ke­napa ada saja orang yang menginginkan orang la­in agar seperti Deraz. “Kamu bisa ngasih tahu hal yang sama ke…” Kepala Rieka menuding ke be­la­kang punggung, tanpa menoleh sepenuhnya. “…dia eng­gak?”

Alf menurut. Walau untuk yang satu ini akan mem­butuhkan waktu lama. Sampai Rieka men­cu­kup­kan tugasnya untuk hari itu, lalu pamit pada Alf, Alf dan Ipong masih berdebat.

Sampai Alf mendatangi Rieka lagi esoknya. Ri­eka tengah melanjutkan inventarisasi, kali ini ber­sama bala bantuan. “Kalau ada perlu apa-apa sa­ma si Jaka, ngomong aja. …saya jadi moderator eh mediator kalian.”

Bukan ini yang Rieka harapkan tapi su­dah­lah.

.

Alf memutuskan untuk menyelenggarakan DA­DANG di Kabita, barangkali bisa mencairkan mood para anak buahnya setelah proker-proker yang menghimpit. Toh dengan segera akan datang pu­la masa di mana proker-proker mendera. Para anak buahnya sudah mulai sakit-sakitan, kiranya ke­lelahan. Alf sudah menerawang risiko apabila DA­DANG diadakan di tempat terbuka, jadi ia bi­ar­kan seorang jelata mengisi bangku yang sedianya akan menjadi properti rapat. Setidaknya kehadiran je­lata tersebut adalah untuk membersamai seorang pe­jabat OSIS. Baru mereka berdua di bangku ter­sebut, sementara para pejabat OSIS yang lain masih ber­­baur dengan masyarakat jelata.

Dean akan bersua DADANG yang bukan ma­nu­sia, semoga ia tidak bakal pernah komplain lagi.

Dean menuangkan kecap ke gelas berisi ca­ir­an jeruk nipis, bagai memberi susu kental manis co­ke­lat ke jus alpukat. “…biar sembuh batuknya. Biar man­tap top creng!” suara Dean. Rieka tergelak, se­be­lum batuk-batuk lagi, lalu menyeruput isi gelas yang sudah dibumbui itu.

“…errgh…”

Pasangan itu tertawa-tawa.

“…gantian aku,” kata Rieka. Ia menantang De­an untuk mengirim sms cinta pada salah satu na­ma di kontak ponsel, seseorang yang tidak begitu De­an kenal.

“…entar cemburu…” ledek Dean.

“Cinta kan universal,” jawab Rieka, lalu me­nye­sap lagi air jeruk nipis saus kecap.

Dean memencet-mencet tuts ponsel, lalu mem­perlihatkan hasilnya pada Rieka. Layar Dean ber­tuliskan, “I love you, deeeaar…

“Kasih emoticon yang kecup-kecup itu loh, Yan…” Rieka mendorong balik ponsel tersebut. De­an yang penurut. “Kirim ke siapa?” tanya Rieka lagi.

“Ng… Zahra, temen sekelas aku pas kelas X tea.”

Zahra melulu!

“Dia pasti seneng dapat sms kamu.” Entah ke­napa Rieka merasa berat. Belakangan ini me­mang hatinya kacau, dan penyebabnya lebih dari se­kadar balon hijau yang meletus.

“Enggak… puguh dia mah kayaknya ku­ma­ha… kitu sama saya teh.”

“Masak sih ada yang enggak suka sama ka­mu…” Rieka tersenyum. Gatal tetap menggaruk-ga­ruk tenggorokan, walau ia ketagihan minuman ra­cik­an Dean.

“…Rika… kutunggu jandamu…!” Bukan si­a­pa-siapa. Sekadar peramai-penggembira yang biasa meng­isi hari-hari Rieka dan Dean di Kabita.

Para pejabat OSIS yang lain mulai ber­da­tang­an dengan kudapan masing-masing. Ke­be­ra­da­an Dean membuat mereka bingung, namun ter­pu­pus dengan permakluman akan Rieka, dan begitu De­raz merangkul si kembaran, bagi mereka bukan la­gi suatu permasalahan.

“…mulai… mulai…”

“…kurang siapa lagi nih?”

“Jaka sama Gilang!”

“Saya cari dulu deh,” kata Deraz yang mum­pung masih berdiri. Kepergiannya diikuti Dean, yang ternyata hanya pindah ke pojok. Sejoli saling me­lambai.

“…lengkap kan? Tinggal tiga itu aja?” ujar Alf.

Hiruk-pikuk di Kabita pun mulai pudar ka­re­na siang telah panjang, sebagian siswa SMANSON da­lam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Se­nyap menyongsong, sesekali pecah oleh anak-anak yang mabal ekskul atau malas pulang ke ru­mah.

Mitratama membuka rapat, Sekum mem­bu­ka buku folio, Bendum membuka anggaran, Kabid III membuka ponsel, Kabid VI membuka bungkus snack, pentolan SISKAMSON membuka per­tun­juk­an. SISKAMSON adalah singkatan dari “Siswa Ke­aman­an SMANSON”, yang secara resmi sebetulnya di­singkat SAMSON. Tapi citra ekskul tersebut mem­buat kebanyakan siswa lebih menyukai sing­kat­an yang plesetan alih-alih yang resmi. Ba­gai­ma­na­pun anak-anak SAMSON aka SISKAMSON di­ke­nal bernyali tinggi dalam memberantas apapun yang tidak sreg di hati.

“Tung—tunggu, Kang! Masalahnya apa?!” su­ara Dean bagai Nobita yang tengah dicekal Giant. Ta­pi memang itulah yang terjadi padanya, oleh Ha­qi. Beberapa orang teman Haqi berkerumun di de­kat mereka, tapi tidak melakukan apapun selain meng­amati.

“Enggak usah tanya-tanya apa masalahnya! Po­koknya gue enggak suka sama elo! Gue sebel tiap ka­li liat muka elo! Enggak usah sok jadi anak baik-ba­ik!” Haqi menyemburkan apapun yang melintas da­lam kepala. Suaranya lebih menyerupai desis se­be­tulnya, meski intonasinya mengancam, tapi ba­gai­manapun gerak-geriknya memancing perhatian. Yang tersisa di Kabita pun memerhatikan, ber­ge­ming di bangku atau berdiri mengawasi, Rieka bah­kan angkat kaki!

“Cowok kayak gini, Ka! Cowok kayak gini?!” Ga­rang sekaligus memelas—hanya Haqi yang bisa!

“Haqi! Udah!” Rieka frustasi.

Pertunjukan yang sangat mengusir kantuk.

Tahu-tahu tubuh Haqi terdorong. Bukan Ri­eka. Tidak mungkin Dean. Pasti Deraz.

“Ngapain elo ikut campur?!” Tatapan man­tan bos SAMSON alias SISKAMSON menyolot. Be­be­rapa temannya mulai memegangi, tapi Haqi me­ne­pis.

“Enggak usah Akang bikin masalah lagi—“

“Apa kamu?! Mau sok jadi pahlawan, hah?”

“Kalau Akang punya masalah sama saudara sa­ya, kita selesaikan sekarang juga!” suara Deraz ti­dak kalah lantang.

Dalam kepala mereka yang tahu kalau Haqi me­miliki sabuk hitam karate dan Deraz pernah ber­la­tih kickboxing dua kali seminggu di gelanggang… per­gumulan akan terjadi. Jantung mereka berdebar me­nunggu aksi. Hantaman demi hantaman. Bang­ku-bangku berpencaran ditimpa tubuh yang ter­pe­lan­ting. Tubrukan-tubrukan di dinding Kabita. Le­bam membayang. Darah memancar.

“Enggak perlu!” Haqi menyentakkan tangan-ta­ngan yang menempel di lengan.

“…yah!” Penonton menahan kecewa.

Kepergian Haqi cum suis menyisakan ke­te­gang­an yang samar-samar berbuah kelegaan.



[1] Pekan Olah Raga SMANSON

[2] Seharusnya ‘laleur areuy mapay areuy

[3] Kahitna – Tak Mampu Mendua

[4] Kahitna – Aku, Dirimu, Dirinya

[5] Relish – You I’m Thinking of

[6] Frente – Bizarre Love Triangle

[7] Open House SMANSON

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain