Liburan
lagi… tapi tanpa Dean. Sepi. Sekaligus mendekatkan Rieka lagi dengan kliknya
saat SD. Pada mereka pun Rieka mengungkapkan… betapa lengang hidup ketika ia
yang biasa memenuhi dirimu pergi. Walau masih bisa tersambung dengan Dean
sekali-kali lewat internet, rasanya beda. Yang membuat Rieka takjub adalah
Dean menempati porsi terbesar dalam pikirannya kini. Deraz? Ya… Dia ada,
sebentar lagi tersingkir. Selepas farewell
party, dadah, Rieka akan membuktikan bahwa proksimitas berpengaruh
signifikan terhadap kedekatan emosional. Akan berlaku untuk Deraz. Tidak berlaku
untuk Dean. Oh, Dean, cepat pulang! Tidak usah lama-lama di tanah kelahiran!
Dean bahkan tidak menjelaskan dengan jelas kenapa ia harus menghabiskan
liburan di Boston… sendiri pula! Rieka tidak bisa bayangkan cowok itu
berkeliaran sendiri di tempat yang begitu jauh… kasihan… walau Dean bilang ia
ditampung di rumah tetangganya dulu saat ia balita.
Di
penghujung liburan akhirnya Dean kembali datang dengan wujud yang membuat
Rieka rada pangling. Oh, lihat, siapa makhluk tampan itu… Kulitnya yang
kecokelatan. Rambutnya yang belum dipangkas mengikal cukup panjang. Tubuhnya…
semakin jangkung saja! Seperti baru melihat Dean untuk pertama kali, dan
langsung jatuh hati! Cowok itu mengenakan kaos setrip-setrip dan celana pendek
selutut… betisnya yang jenjang. Kedua tangan menggenggam setang sepeda balap
milik sang ayah, baru memarkir di carport.
Rieka menerjang. “Ayaan…!” Dean menangkap pinggangnya. Jemari Rieka menerobos
ikal, merabai setiap lekukan, hingga kecupannya mendarat di kening. Dean tidak
lagi menahan. Flip flop Rieka
mendarat di lantai carport.
“Makannya banyak ya, Neng, pas liburan?” kalimat pertama Dean setelah lama.
Getarannya langsung merambati keong di lubang telinga. Rieka merajuk manja.
Tahun
ajaran yang baru pun dimulai, yang bagi Rieka adalah SMANSON yang baru—SMANSON
tanpa Deraz!
Dean
terlibat dalam demo ABS saat MOS. Jumlah SIMBA yang mendaftar sebagai anggota
ABS meningkat drastis dibandingkan tahun lalu.
Dean
tidak memangkas rambutnya hingga secepak pertama. Cukup panjang untuk menunjukkan
ikal, kendati senantiasa disisir rapi. Cukup pendek untuk lolos dari razia.
Cewek-cewek kelas X mencuri-curi pandang ke arahnya… siapa ya akang kelas XII
yang menawan itu. Bahkan Deraz tidak setampan itu! Lagipula cowok tampan
adalah yang memiliki mata dengan sorot lebih ramah, bibir dengan senyum lebih
ceria, wajah dengan raut lebih ekspresif. Rieka selaku teteh kelas XII yang
pacar akang kelas XII yang menawan itu sama sekali tidak berhasrat untuk
melempar tatapan judes. Yang ada hanya kebanggaan seorang putri, yang berhasil
mencabut kutukan hingga katak menjelma pangeran… yeah—belum—tapi kan hampir.
Sebagaimana
potongan rambut yang tidak akan diutak-atik lagi, Dean akan menggunakan ransel
yang sama dari hari ke hari. Ransel yang ia beli bersama Rieka. Kelinci di
ransel Rieka yang merah jambu, kuda nil di ransel Dean yang biru langit. Seperti
anak TK berseragam SMA. Tapi dalam waktu relatif singkat ransel anak-anak
menjadi tren di SMANSON.
Hari
ulang tahun Dean di akhir Agustus.
Dean
ingin sekadar mengulang perayaan yang sederhana tapi hangat di awal Mei. Rieka
di rumah Dean seharian, diajari mengocok telur dan meracik bumbu oleh sang
dermatolog. Deraz yang telah absen dari rumah itu untuk setahun ke depan digantikan
sang ayah, dari mana Dean mewarisi kesundaannya. Bagaimanapun juga kehadiran
Deraz tetap diupayakan. Bandung-Berlin via Skype. Herzlichen Glückwunsch zum Geburtstarg, Deraz! Karena Deraz yang
muncul duluan di dunia. Wilujeng tepang
taun, Dean! Malah konon Dean tidak mau keluar dari rahim ibunda, harus
dipaksa.
Dan
tentu saja Dean amat girang akan kehadiran kendaraan baru di rumah. Warnanya
biru dongker, sehingga dinamakan Hattori!, Dean ingin menggambar spiral merah
jambu di kedua belah bodi motor tersebut. Dean akan segera mendapatkan SIM
sekaligus KTP, dan Rieka mengalah untuk sesekali tidak membawa mobil
Maret-harusnya-Mei miliknya itu sehingga Dean bisa memboncengkannya.
Peringatan
hari jadi di September—baik Rieka maupun Dean tidak pasti akan tanggal, pun bulan
sebetulnya, tapi mereka sepakat untuk menjadikan lagu “September” dari Earth, Wind, and Fire sebagai pengiring di hari
jadi mereka. Perayaan yang hangat tapi sederhana lagi, Sayang? Iya.
Ditemani
cupcake hasil eksperimen Rieka. Di
ruang tamu rumah Rieka. Di siang sepulang sekolah. Seragam putih dan kelabu
masih melekat. Saling menyuapkan cupcake,
menggigit yang tidak dipegang oleh tangan sendiri. Terkekeh dan terkikih.
Terkecup. Mengecup lagi. Cupcake diletakkan.
Tangan tanpa halangan. Tatap yang sayu. Terkecup di tengkuk. Tawa Rieka
gumaman. Geli, Ayan... Enak? Hm hm… Tangan yang besar merengkuh separuh
wajahnya, menyibak gelombang rambutnya. Kecup. Ingin tahu bagaimana rasanya,
Rieka membalas, menjelma cermin. Barangkali tengkuk Dean pun sensitif. Posisi
yang tidak enak. Rieka beringsut ke pangkuan Dean. Bibirnya menyapu yang
dituju tanpa hambatan. Dean pun menjadi cermin. Mmh… Dekapan semakin ketat.
Rebah. Geli, Ayan, geli… Enak? Hehehe… Hm? Mmmh… Pinggangnya hangat. Lehernya
hangat. Dingin ketika wajahnya hangat. Dingin ketika lehernya kembali
hangat. Telinganya. Bagian belakang telinga. Rieka merintih. Bukan reaksi yang
ia kehendaki, tapi tubuhnya bicara sendiri. Tahu-tahu napasnya memburu.
Kepalanya terangkat. Matanya terpejam. Ah… udah Ayan, udah… Tengkuknya kembali
hangat. Hembusan napas yang panas. Hangat merayap ke sisi pinggang. Mata
segera menutup lagi begitu dapat dibuka. Puncak kepala Dean di atasnya. Napasnya
semakin terdesak. Euh. Dean pegang apa. Aduh. Hm… Yan… Ayan… Hm… Rieka terbenam
dalam kubangan air hangat. Tangan Dean mengusap dengan lembut. Auh, Ayan…!
Rieka semakin bergetar. Ah. Mulutnya mendesah sendiri. Ah. Ayan. Tangan…
tangan Rieka juga ingin terangkat… Tangan Rieka juga ingin membalas… mengelus…
dengan kecepatan tinggi.
.
Rieka
tergugu di kamar mandi. Di atasnya shower
sebulat mata, mencurahkan air dengan deras. Rieka membenamkan lagi muka ke
balik lutut. Sengguknya mengeras. Ini sudah ke sekian kali! Tidak juga
berhenti! Sekali lagi ia menggerung kencang. Padahal dingin sudah
mencengkeram. Titik-titik air di kulitnya terus ditimpa titik-titik air yang
baru. Sudah! Sudah! SUDAH! Sekali lagi… saja. Mulutnya menganga lebar-lebar.
Gemericik air menelan gerungnya.
Ah.
Ia lelah sekali. Terhuyung ke kamar dalam balutan mantel handuk. Di kasur
ambruk.
Sudah
berapa liter air yang mengguyur, mililiter sabun yang menggerus. Masih saja
terasa di bagian depan tubuhnya.
Hanya
ia dan Dean yang tahu. Hanya ia dan Dean yang tahu. Dan para malaikat dan Yang
Maha Melihat. Hanya ia dan Dean yang tahu, Dean, bajingan itu, bangsat!, b—
Hanya ia dan Dean yang tahu. Pintu sebelah luar tertutup. Gorden terbuka. Pintu
sebelah dalam… tak berpintu. Tidak seorangpun di bangunan utama. Tidak
seorangpun mengintip dari balik kusen, apalagi menerawang menembus gorden.
Tidak seorangpun tahu, tidak teman-temannya, tidak orangtuanya, tidak para pembantunya,
tidak seorangpun. Kain di bawah mata Rieka membasah. Ah! Sudah! Capek!
Rieka
bangkit. Ia memandang dirinya yang lesu di cermin. Rambutnya yang layu oleh
air. Ah. Rieka. Siapa dia yang telah berhasil menyentuhmu. Kalau tadi kamu
biarkan dia lebih lama lagi, Rieka, kamu harus minta testpack cadangan milik Kak Mita. Ah. Lubang neraka, Rieka telah
sampai di bibir, nyaris, untung dapat mundur, untung, alhamdulillah, tapi
jejak Rieka menapak di sana. Hanya ia dan Dean yang tahu. Hanya ia dan Dean
yang tahu…
…perlahan
tangan Rieka merambat naik. Mencobanya sendiri. Tidak terasa apapun, hanya jijik
karena perbuatan sendiri. Rieka termenung. Tidak mengerti akan reaksi tubuhnya
tadi. Napasnya, suaranya, refleksnya. Bagian lain dalam dirinya yang baru ia
sadari. Bisa ya, seperti itu.
Ia
sudah dewasa.
Ponsel
Rieka bernyanyi. Rieka meraih. Dean. Dean! Ia sudah bisa menduga apa yang akan
Dean katakan, bahkan sekiranya ia tidak harus mendengarkan, Dean lah yang
harus mendengarkan! Rieka keluarkan semua dari perbendaharaan katanya, yang
berawalan huruf “b” dan berkonotasi negatif. Dean menunggu. Rieka menunggu.
“…enggak
ada yang perlu dijelasin, Neng,” kata Dean setelah jeda lama. “Saya khilaf.
Maaf. Apa yang bisa saya lakuin biar kamu baikan.”
“Mati
aja elo,” kata Rieka.
Sambungan
putus.
Rieka
terisak. Semoga Dean tidak sepenurut biasa, ya Tuhaaan…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar