Sabtu, 22 Desember 2012

VIII. Insiden

Liburan lagi… tapi tanpa Dean. Sepi. Se­ka­li­gus mendekatkan Rieka lagi dengan kliknya saat SD. Pada mereka pun Rieka mengungkapkan… be­ta­pa lengang hidup ketika ia yang biasa memenuhi dirimu pergi. Walau masih bisa tersambung dengan De­an sekali-kali lewat internet, rasanya beda. Yang mem­buat Rieka takjub adalah Dean menempati por­si terbesar dalam pikirannya kini. Deraz? Ya… Dia ada, sebentar lagi tersingkir. Selepas farewell party, dadah, Rieka akan membuktikan bahwa prok­simitas berpengaruh signifikan terhadap ke­de­kat­an emosional. Akan berlaku untuk Deraz. Tidak ber­laku untuk Dean. Oh, Dean, cepat pulang! Tidak usah lama-lama di tanah kelahiran! Dean bahkan ti­dak menjelaskan dengan jelas kenapa ia harus meng­habiskan liburan di Boston… sendiri pula! Ri­eka tidak bisa bayangkan cowok itu berkeliaran sen­diri di tempat yang begitu jauh… kasihan… wa­lau Dean bilang ia ditampung di rumah tetangganya du­lu saat ia balita.

Di penghujung liburan akhirnya Dean kem­bali datang dengan wujud yang membuat Rieka ra­da pangling. Oh, lihat, siapa makhluk tampan itu… Ku­litnya yang kecokelatan. Rambutnya yang belum di­pangkas mengikal cukup panjang. Tubuhnya… se­ma­kin jangkung saja! Seperti baru melihat Dean un­tuk pertama kali, dan langsung jatuh hati! Cowok itu mengenakan kaos setrip-setrip dan celana pen­dek selutut… betisnya yang jenjang. Kedua tangan meng­genggam setang sepeda balap milik sang ayah, ba­ru memarkir di carport. Rieka menerjang. “Ayaan…!” Dean menangkap pinggangnya. Jemari Ri­eka menerobos ikal, merabai setiap lekukan, hing­ga kecupannya mendarat di kening. Dean tidak la­gi menahan. Flip flop Rieka mendarat di lantai car­port. “Makannya banyak ya, Neng, pas liburan?” kalimat pertama Dean setelah lama. Getarannya langsung merambati keong di lubang telinga. Rieka me­rajuk manja.

Tahun ajaran yang baru pun dimulai, yang ba­gi Rieka adalah SMANSON yang baru—SMAN­SON tanpa De­raz!

Dean terlibat dalam demo ABS saat MOS. Jum­lah SIMBA yang mendaftar sebagai anggota ABS meningkat drastis dibandingkan tahun lalu.

Dean tidak memangkas rambutnya hingga se­cepak pertama. Cukup panjang untuk me­nun­juk­kan ikal, kendati senantiasa disisir rapi. Cukup pen­dek untuk lolos dari razia. Cewek-cewek kelas X men­curi-curi pandang ke arahnya… siapa ya akang ke­las XII yang menawan itu. Bahkan Deraz tidak se­tampan itu! Lagipula cowok tampan adalah yang me­miliki mata dengan sorot lebih ramah, bibir de­ngan senyum lebih ceria, wajah dengan raut lebih eks­presif. Rieka selaku teteh kelas XII yang pacar akang kelas XII yang menawan itu sama sekali ti­dak berhasrat untuk melempar tatapan judes. Yang ada hanya kebanggaan seorang putri, yang berhasil men­cabut kutukan hingga katak menjelma pa­ngeran… yeah—belum—tapi kan hampir.

Sebagaimana potongan rambut yang tidak akan diutak-atik lagi, Dean akan menggunakan ran­sel yang sama dari hari ke hari. Ransel yang ia beli ber­sama Rieka. Kelinci di ransel Rieka yang merah jam­bu, kuda nil di ransel Dean yang biru langit. Se­per­ti anak TK berseragam SMA. Tapi dalam waktu re­latif singkat ransel anak-anak menjadi tren di SMAN­SON.

Hari ulang tahun Dean di akhir Agustus.

Dean ingin sekadar mengulang perayaan yang sederhana tapi hangat di awal Mei. Rieka di ru­mah Dean seharian, diajari mengocok telur dan me­racik bumbu oleh sang dermatolog. Deraz yang te­lah absen dari rumah itu untuk setahun ke depan di­gantikan sang ayah, dari mana Dean mewarisi ke­sun­daannya. Bagaimanapun juga kehadiran Deraz te­tap diupayakan. Bandung-Berlin via Skype. Herzlichen Glückwunsch zum Geburtstarg, Deraz! Ka­rena Deraz yang muncul duluan di dunia. Wi­lu­jeng tepang taun, Dean! Malah konon Dean tidak mau keluar dari rahim ibunda, harus dipaksa.

Dan tentu saja Dean amat girang akan ke­ha­dir­an kendaraan baru di rumah. Warnanya biru dong­ker, sehingga dinamakan Hattori!, Dean ingin meng­gambar spiral merah jambu di kedua belah bo­di motor tersebut. Dean akan segera men­da­pat­kan SIM sekaligus KTP, dan Rieka mengalah untuk se­sekali tidak membawa mobil Maret-harusnya-Mei miliknya itu sehingga Dean bisa mem­bon­ceng­kan­nya.

Peringatan hari jadi di September—baik Ri­eka maupun Dean tidak pasti akan tanggal, pun bu­lan sebetulnya, tapi mereka sepakat untuk men­ja­di­kan lagu “September” dari Earth, Wind, and Fire se­bagai pengiring di hari jadi mereka. Perayaan yang hangat tapi sederhana lagi, Sayang? Iya.

Ditemani cupcake hasil eksperimen Rieka. Di ruang tamu rumah Rieka. Di siang sepulang se­ko­lah. Seragam putih dan kelabu masih melekat. Sa­ling menyuapkan cupcake, menggigit yang tidak di­pegang oleh tangan sendiri. Terkekeh dan ter­kikih. Terkecup. Mengecup lagi. Cupcake di­le­tak­kan. Tangan tanpa halangan. Tatap yang sayu. Ter­ke­cup di tengkuk. Tawa Rieka gumaman. Geli, Ayan... Enak? Hm hm… Tangan yang besar me­reng­kuh separuh wajahnya, menyibak gelombang ram­butnya. Kecup. Ingin tahu bagaimana rasanya, Ri­eka membalas, menjelma cermin. Barangkali teng­kuk Dean pun sensitif. Posisi yang tidak enak. Ri­eka beringsut ke pangkuan Dean. Bibirnya me­nya­pu yang dituju tanpa hambatan. Dean pun men­jadi cermin. Mmh… Dekapan semakin ketat. Rebah. Ge­li, Ayan, geli… Enak? Hehehe… Hm? Mmmh… Ping­gangnya hangat. Lehernya hangat. Dingin ke­ti­ka wajahnya hangat. Dingin ketika lehernya kem­ba­li hangat. Telinganya. Bagian belakang telinga. Ri­eka merintih. Bukan reaksi yang ia kehendaki, tapi tu­buhnya bicara sendiri. Tahu-tahu napasnya mem­­buru. Kepalanya terangkat. Matanya terpejam. Ah… udah Ayan, udah… Tengkuknya kembali ha­ngat. Hembusan napas yang panas. Hangat me­ra­yap ke sisi pinggang. Mata segera menutup lagi be­gi­tu dapat dibuka. Puncak kepala Dean di atasnya. Na­pasnya semakin terdesak. Euh. Dean pegang apa. Aduh. Hm… Yan… Ayan… Hm… Rieka ter­be­nam dalam kubangan air hangat. Tangan Dean meng­usap dengan lembut. Auh, Ayan…! Rieka se­ma­kin bergetar. Ah. Mulutnya mendesah sendiri. Ah. Ayan. Tangan… tangan Rieka juga ingin ter­ang­kat… Tangan Rieka juga ingin membalas… meng­e­lus… dengan kecepatan tinggi.

.

Rieka tergugu di kamar mandi. Di atasnya shower sebulat mata, mencurahkan air dengan de­ras. Rieka membenamkan lagi muka ke balik lutut. Seng­guknya mengeras. Ini sudah ke sekian kali! Ti­dak juga berhenti! Sekali lagi ia menggerung ken­cang. Padahal dingin sudah mencengkeram. Titik-ti­tik air di kulitnya terus ditimpa titik-titik air yang ba­ru. Sudah! Sudah! SUDAH! Sekali lagi… saja. Mu­lutnya menganga lebar-lebar. Gemericik air me­ne­lan gerungnya.

Ah. Ia lelah sekali. Terhuyung ke kamar da­lam balutan mantel handuk. Di kasur ambruk.

Sudah berapa liter air yang mengguyur, mi­li­li­ter sabun yang menggerus. Masih saja terasa di ba­gian depan tubuhnya.  

Hanya ia dan Dean yang tahu. Hanya ia dan De­an yang tahu. Dan para malaikat dan Yang Maha Me­lihat. Hanya ia dan Dean yang tahu, Dean, ba­jing­an itu, bangsat!, b— Hanya ia dan Dean yang ta­hu. Pintu sebelah luar tertutup. Gorden terbuka. Pin­tu sebelah dalam… tak berpintu. Tidak se­orang­pun di bangunan utama. Tidak seorangpun meng­in­tip dari balik kusen, apalagi menerawang me­nem­bus gorden. Tidak seorangpun tahu, tidak teman-te­mannya, tidak orangtuanya, tidak para pem­ban­tu­nya, tidak seorangpun. Kain di bawah mata Rieka mem­basah. Ah! Sudah! Capek!

Rieka bangkit. Ia memandang dirinya yang le­su di cermin. Rambutnya yang layu oleh air. Ah. Ri­eka. Siapa dia yang telah berhasil menyentuhmu. Ka­lau tadi kamu biarkan dia lebih lama lagi, Rieka, ka­mu harus minta testpack cadangan milik Kak Mi­ta. Ah. Lubang neraka, Rieka telah sampai di bibir, nya­ris, untung dapat mundur, untung, al­ham­du­lil­lah, tapi jejak Rieka menapak di sana. Hanya ia dan De­an yang tahu. Hanya ia dan Dean yang tahu…

…perlahan tangan Rieka merambat naik. Men­cobanya sendiri. Tidak terasa apapun, hanya ji­jik karena perbuatan sendiri. Rieka termenung. Ti­dak mengerti akan reaksi tubuhnya tadi. Napasnya, su­aranya, refleksnya. Bagian lain dalam dirinya yang baru ia sadari. Bisa ya, seperti itu.

Ia sudah dewasa.

Ponsel Rieka bernyanyi. Rieka meraih. Dean. De­an! Ia sudah bisa menduga apa yang akan Dean ka­takan, bahkan sekiranya ia tidak harus men­de­ngar­kan, Dean lah yang harus mendengarkan! Ri­eka keluarkan semua dari perbendaharaan katanya, yang berawalan huruf “b” dan berkonotasi negatif. De­an menunggu. Rieka menunggu.

“…enggak ada yang perlu dijelasin, Neng,” ka­ta Dean setelah jeda lama. “Saya khilaf. Maaf. Apa yang bisa saya lakuin biar kamu baikan.”

“Mati aja elo,” kata Rieka.

Sambungan putus.

Rieka terisak. Semoga Dean tidak sepenurut bi­asa, ya Tuhaaan…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain